bab i

43
BAB I STATUS PASIEN IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. S Umur : 46 tahun Jenis kelamin : laki-laki Alamat : Tipar cakung Pekerjaan : Swasta Agama : Islam No RM : 25xxxx Tanggal Masuk : 20 Oktober 2015 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS) Keluhan Utama : sesak nafas ± 1 minggu SMRS Riwayat Penyakit Sekarang : ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak nafas, awal mula sesak nafas dirasakan semakin lama semakin berat. Sesak di rasakan terus menerus, sesak tidak berkurang saat istirahat, sesak bertambah berat saat aktifitas ringan seperti

Upload: luthfita-rahmawati

Post on 02-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ckd

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 46 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Alamat : Tipar cakung

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

No RM : 25xxxx

Tanggal Masuk : 20 Oktober 2015

ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)

Keluhan Utama : sesak nafas ± 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang : ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak

nafas, awal mula sesak nafas dirasakan semakin lama semakin

berat. Sesak di rasakan terus menerus, sesak tidak berkurang saat

istirahat, sesak bertambah berat saat aktifitas ringan seperti saat

pasien berjalan ke kamar mandi, dan saat posisi tidur terlentang,

berkurang saat posisi tidur setengah duduk, sehingga untuk

aktivitas pasien memerlukan bantuan anggota keluarga yang lain.

Pasien sempat memeriksakan diri kelaboratorium atas kehendak

pasien sendiri dan didapatkan hasil ureum dan creatinin yang

Page 2: BAB I

meninggi, akan tetapi pasien tidak menghiraukan hasil

pemeriksaan tersebut. Keluhan semakin lama semakin dirasakan

memberat. Pasien juga mengeluh badan lemes, seluruh badan

bengkak, BAK hanya keluar sedikit – sedikit, BAB tidak ada

keluhan, tidak mual, tidak muntah, tidak pusing, tidak demam,

penglihatan kabur tidak dirasakan, nafsu makan masih baik.

Sehingga pasien berinisiatif untuk periksa ke rumah sakit dan

disarankan opnam oleh dokter dan disarankan untuk dilakukan

hemodialisa.

Saat di bangsal, setelah menjalani hemodialisa , pasien masih

mengeluh sesak, namun sesak sudah berkurang, sesak dirasakan

saat tidur posisi terlentang dan saat berjalan ke kamar mandi.

Bengkak masih ada tetapi sudah berkurang, bengkak hanya di

daerah kaki sampai kelamin pasien. Pasien masih merasakan

lemas, tidak mual, tidak muntah, tidak demam. BAK masih sedikit,

BAB tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sebelumnya belum pernah mengalami keluhan seperti ini.

Pasien menyangkal adanya riwayat kencing manis, hipertensi,

ataupun jantung, ISK.

Riwayat Penyakit Keluarga : Di keluarga tidak ada yang menderita keluhan yang sama, riwayat

HT dan DM disangkal.

Riwayat Alergi : Riwayat alergi obat-obatan, makanan, dan cuaca disangkal.

Riwayat Pengobatan : Pasien belum meminum obat untuk keluhan ini dan sedang tidak

mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang.

Riwayat Psikososial : Sebelum sakit, pasien makan tidak teratur tiga hingga empat kali

sehari dengan nasi, sayur, tahu, dan tempe, terkadang daging, telur

dan ikan. Jarang mengonsumsi buah-buahan. Beberapa hari

terakhir, sejak sakit nafsu makan pasien menurun, makan dalam

Page 3: BAB I

jumlah sedikit. Pasien sering mengonsumsi makanan asin dan

manis, pasien belum menjaga pola makannya. Pasien

mengkonsumsi rokok sebanyak 1 bungkus / hari. Pasien juga

mengkonsumsi extra joss + 3 bungkus setiap hari sejak usia 20

tahun.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Composmentis

BB : 60 kg

TB : 170 cm

Status gizi : (20,7) Normoweight

TANDA VITAL

Tekanan darah : 160/90 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Suhu : 24 x/menit

RR : 37,1oC

STATUS GENERALISATA

Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata (+), rambut tidak mudah rontok (+).

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+), mata cekung (-/-)

Hidung : Normonasi, sekret (-/-), polip (-/-), deviasi septum (-).

Telinga : Normotia, serumen (-/-), nyeri tekan tragus (-/-).

Mulut : Mukosa bibir lembab, stomatitis (-), sianosis (-)

Page 4: BAB I

Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax : Paru-paru

Inspeksi : Bentuk dada normal, gerak dada simetris, tidak terlihat retraksi dinding dada

Palpasi : Vocal fremitus simetris dikedua lapang paru

Perkusi : Sonor dikedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-) ,wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra

Perkusi : Batas atas : ICS 2 parasternal dextra

Batas kanan : ICS 4 parasternal dextra

Batas kiri : ICS 5 linea mid clavicula sinistra

Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-). Gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, scar (-), spider navi (-)

Auskultasi : BU (+) normal.

Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepatospenomegali (-).

Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen,

Ekstremitas

Superior : CRT <2 detik +/+, akral hangat, udem -/-, pucat +/+

Inferior : CRT <2 detik +/+, akral hangat, udem +/+, pucat +/+

Page 5: BAB I

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin 20 Oktober 2015

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Lekosit 5,19 3,8 – 10,6

Eritrosit L 2,77 4,4 – 5,9

Hemoglobin L 8,00 13,2 – 17,3

Hematokrit L 24,10 40 – 52

MCV 87,00 80 – 100

MCH 28,90 26 – 34

MCHC 33,20 32 – 36

Trombosit 151 150 – 440

RDW 12,90 11,5 – 14,5

Eosinofil absolute 0,15 0,045 – 0,44

Basofil absolute 0,01 0 – 0,02

Neutrofil absolute 2,97 1,8 – 8

Limfosit absolute 1,61 0,9 – 5,2

Monosit absolute 0,45 0,16 – 1

Eosinofil 2,90 2 – 4

Basofil 0,20 0 – 1

Neutrofil 57,20 50 – 70

Limfosit 31,00 25 – 40

Monosit H 8,70 2 – 8

a. Kimia Klinik (Serum)

Pemeriksaan Hasil Satuan Harga normal

GDS 83 Mg/dL < 125

SGOT 8 U/L 0 – 35

SGPT 9 U/L 0 – 35

Page 6: BAB I

Ureum H 88,0 Mg/dL 10,00 – 50,00

Kreatinin H 9,67 Mg/dL 0,70 – 1,10

Kalium L 3,1 Mmol/L 3,5 – 5,0

Natrium 140 Mmol/L 135 – 145

Chlorida 101 Mmol/L 95 – 105

Total protein L 5,7 g/dL 6,1 – 8

Albumin 3,8 g/dL 3,2 – 5,2

Globulin L 1,9 g/dL 2,9 – 3,0

RESUME

Seorang laki – laki berusia 46 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas kurang

lebih 1 minggu ini. sesak nafas dirasakan semakin lama semakin berat. Sesak di

rasakan terus menerus, sesak tidak berkurang saat istirahat, sesak bertambah berat saat

aktifitas ringan seperti saat pasien berjalan ke kamar mandi, dan saat posisi tidur

terlentang, berkurang saat posisi tidur setengah duduk, Pasien juga mengeluhkan

badan lemas, BAK sedikit - sedikit.

Pada pemeriksaan mata didapatkan conjungtiva palpebra anemis. Pada pemeriksaan

ekstremitas, edema di inferior.

Pada darah didapatkan Eritrosit L 2,77, Hb L 8,00, Ht L 24,10, monosit H 8,70, ureum

H 88,00, kreatinin H 9,67, kalium L 3,1, GFR 8,1.

DAFTAR MASALAH

1. CKD (aktif) → diagnosis klinik

2. Hipertensi (aktif) → diagnosis klinik

Page 7: BAB I

PEMBAHASAN

CKD

Sesak nafas kurang lebih 1 minggu ini. sesak nafas dirasakan semakin lama semakin berat. Sesak

di rasakan terus menerus, sesak tidak berkurang saat istirahat, sesak bertambah berat saat

aktifitas ringan seperti saat pasien berjalan ke kamar mandi, dan saat posisi tidur terlentang,

berkurang saat posisi tidur setengah duduk, Pasien juga mengeluhkan badan lemas, BAK sedikit

- sedikit.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 160/90 mmhg, R 24 x/menit,

Pada pemeriksaan mata didapatkan conjungtiva palpebra anemis. Pada pemeriksaan ekstremitas,

edema di inferior.

WD : CKD

DD/ CHF

Hipertensi

Badan terasa lemas,

Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 160/90 mmHg

WD: hipertensi grade II

PLANNING

Planning Diagnostik

CKD

Diagnostik etiologic

• Pemeriksaan darah rutin, ureum, kreatinin, Gula darah sewaktu, AGD, elektrolit,

EKG, GDP dan GD2PP, HbA1c, urin lengkap

Diagnostik komplikasi

o EKG, pemeriksaan darah rutin, CK, CK-MB

Diagnostik Komorbid

o GDP dan GD2PP, HbA1c.

Diagnostic Gawat darurat

Urin lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit.

Hipertensi grade II

Diagnostik etiologic

Page 8: BAB I

EKG, ureum, kreatinin, darah rutin,

Diagnostik komplikasi

Pemeriksaan darah rutin, ureum, kreatinin, Gula darah sewaktu, AGD, elektrolit, EKG,

GDP dan GD2PP, HbA1c, urin lengkap

Diagnostik Komorbid

-

Diagnostic Gawat darurat

-

Planning Terapi

• Klasifikasi perawatan

• Perawatan Biasa, di ruangan biasa, jika terjadi gawat darurat masuk ke ICCU

• Vital sign, Kondisi umum, pemeriksaan lab: ureum kreatinin, Hb

• Hidrasi

• Oral secara adekuat (minuman ringan, sari buah, sup, minuman tidak bergas, dan

teh)

• Nutrisi

• diet: rendah protein, cukup asupan kalori,

• perhatikan jumlah air minum dan pengeluaran setiap hari

• istirahat cukup

• mengikuti program Hemodialisis secara rutin dengan jadwal yang sudah

ditentukan.

• Hindari rokok, minum-minuman berenergi

• latihan fisik

• Farmakologi

• eritropoetin dengan dosis inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb

meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu.

Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu

atau transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC) dengan target hemoglobin

adal 11-12 gr/dL.

• Mual: anti mual: ranitidine injeksi IV 2 x 1 amp (bila perlu)

• Sesak nafas: berikan O2 kanul 3L

Page 9: BAB I

• Hemodialisis

• furosemid 1x 40 mg

• captopril 3 x 25 mg

MONITORING DAN EVALUASI

Tanggal 21 Oktober 2015

S

O

Keadaan umum

Kesadaran

TD

N

RR

T

Kepala

Mata

Leher

Thorax

Cor

Pulmo

Lemas (+) sesak nafas (-) mual (-) pusing nggliyeng (+) nyeri ulu

hati (-) BAB biasa, BAK ± 1 botol aqua sedang

Tampak sakit sedang

Compos mentis

150/70 mmHg

80 x/m

20 x/m

36,0°C

mesochepal

Konjungtivsa pucat ( +/+ ), sclera ikterik (-/-)

KGB membesar (-/-)

sela iga tak melebar

Iktus kordis tak tampak, Konfigurasi jantung dalam batas normal,

BJ I-II regula, bising jantung -/-

Taktil fremitus kanan=kiri, perkusi sonor seluruh lapang paru,

SDV(+)N, wheezing(-/,-), ronki (-)

Datar, BU(+)normal, tympani, nyeri tekan (+), hepar/lien tidak

Page 10: BAB I

Abdomen

Ekstremitas

A

P

teraba

Dalam batas normal

CKD, gastritis akut, ht grade I

Infus Nacl 0,9% 8 tpm

OMZ 1x1

Inj. Cefotaxime 2x1 gr (IV)

Inj. Ranitidine 2x1 Ampul (IV)

furosemid 1x1 ampul

asam folat 1x1tablet

captopril 3 x 25 mg

program : hemodialisis

Tanggal 22 Oktober 2015

S

O

Keadaan umum

Kesadaran

TD

N

RR

T

Lemas (+) sesak nafas (+) mual (-) pusing nggliyeng (+) nyeri ulu

hati (-) BAB biasa, BAK ± 1 botol aqua sedang

Tampak sesak

Compos mentis

150/80 mmHg

84 x/m

24 x/m

36,8°C

mesochepal

Page 11: BAB I

Kepala

Mata

Leher

Thorax

Cor

Pulmo

Abdomen

Ekstremitas

A

P

Konjungtiva pucat ( +/+ ), sclera ikterik (-/-)

KGB membesar -/-

sela iga tak melebar

Iktus kordis tak tampak, Konfigurasi jantung dalam batas normal,

BJ I-II regula, bising jantung -/-

Taktil fremitus kanan=kiri, perkusi sonor seluruh lapang paru,

SDV(+)N, wheezing(-/-), ronki (-)

Datar, BU (+) normal, tympani, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak

teraba

Dalam batas normal

CKD ht grade I

O2 3L

Lain lain terapi lanjut

Tanggal 23 Oktober 2015

S

O

Keadaan umum

Kesadaran

TD

N

Lemas (+) sesak nafas (-) mual (-) pusing nggliyeng (-) nyeri ulu

hati (-) BAB biasa, BAK ± 1 botol aqua besar

Tampak sakit sedang

Compos mentis

150/70 mmHg

80 x/m

Page 12: BAB I

RR

T

Kepala

Mata

Leher

Thorax

Cor

Pulmo

Abdomen

Ekstremitas

A

P

20 x/m

36,0°C

mesochepal

Konjungtivsa pucat ( +/+ ), sclera ikterik (-/-)

KGB membesar (-/-)

sela iga tak melebar

Iktus kordis tak tampak, Konfigurasi jantung dalam batas normal,

BJ I-II regula, bising jantung -/-

Taktil fremitus kanan=kiri, perkusi sonor seluruh lapang paru,

SDV(+)N, wheezing(-/,-), ronki (-)

Datar, BU(+)normal, tympani, nyeri tekan (+), hepar/lien tidak

teraba

Dalam batas normal

CKD, ht grade I

terapi tetap

Tanggal 24 Oktober 2015

S

O

Lemas (+) sesak nafas (+) mual (-) pusing nggliyeng (+) nyeri ulu

hati (-) BAB biasa, BAK ± 1 botol aqua besar

Page 13: BAB I

Keadaan umum

Kesadaran

TD

N

RR

T

Kepala

Mata

Leher

Thorax

Cor

Pulmo

Abdomen

Ekstremitas

A

P

Tampak sakit sedang

Compos mentis

150/80 mmHg

84 x/m

24 x/m

36,8°C

mesochepal

Konjungtiva pucat ( +/+ ), sclera ikterik (-/-)

KGB membesar -/-

sela iga tak melebar

Iktus kordis tak tampak, Konfigurasi jantung dalam batas normal,

BJ I-II regula, bising jantung -/-

Taktil fremitus kanan=kiri, perkusi sonor seluruh lapang paru,

SDV(+)N, wheezing(-/-), ronki (-)

Datar, BU (+) normal, tympani, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak

teraba

Dalam batas normal

CKD ht grade I

O2 3L

Lain lain terapi lanjut

KESIMPULAN

Page 14: BAB I

Diagnosa Akhir : CKD dan HT grade I dalam pengobatan

Terapi pulang : OMZ 1x1, ranitidine 2 x 150 mg (bila perlu) furosemid 1x 40 mg, asam

folat 1x1tablet, captopril 3 x 25 mg, program : hemodialisis

Rawat jalan : Kontrol ke poli penyakit dalam tanggal 30/10/2015.

BAB II

PEMBAHASAN

Page 15: BAB I

I. Definisi

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,

berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada

tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi

glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal kronik:1.2

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa

penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

Kelainan patologik

Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan

pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju

filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus

yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.

Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan

ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan

penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi

ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:1

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.1,3

Derajat Penjelasan LFG

(mL/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

Page 16: BAB I

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau

dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).3

GFR

(ml/min/1,73 m2)

Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal

Dengan HT Tanpa HT Dengan HT Tanpa HT

> 90 1 1 HT Normal

60 – 89 2 2 HT dengan

penurunan GFR

Penurunan

GFR

30 – 59 3 3 3 3

15 – 29 4 4 4 4

< 15 (atau dialisis) 5 5 5 5

II. Etiologi1,3,4

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR)

pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis

(25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).

a. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana

mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang dapat

mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.

Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga

oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu

Page 17: BAB I

menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli

berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai

serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah

merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal

terganggu.2

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan

sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri

sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik

lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau

amiloidosis.2

Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada pasien

yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi hematurim

oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri

pinggang karena peregangan kapsul ginjal.2

b. Diabetes mellitus

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.2

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat

mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat

bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari

akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering

ataupun berat badan yang menurun.2

Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan

mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan

munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal

diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada

Page 18: BAB I

akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria dan

komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein urin

mencerminkan gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk mata,

jantung, dan sistem saraf .2,4

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90

mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya,

hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang

tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi

renal.5,6

Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta terapi

obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:5,6

Klasifikasi

Tekanan

Darah

Sistolik

(mmHg)

Diastolik

(mmHg)

Modifikas

i Gaya

Hidup

Terapi

Normal < 120 Dan < 80 edukasi tidak perlu obat

antihipertensiPrehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89 Ya

Stage 1 HT 140 – 159 Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik

Dapat juga ACEI, ARB,

BB, CCB, atau

kombinasi

Stage 2 HT > 160 Atau > 100 Ya Kombinasi 2 jenis obat

(biasanya thiazid tipe

diuretik dan ACEI atau

ARB atau BB atau

CCB)

Page 19: BAB I

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah <130/80

mmHg.

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang

semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista yang

tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik,

kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan

kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah

penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar

baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus,

bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah

penyakit ginjal polikistik dewasa.2

III. Epidemiologi

Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan 100 juta

kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di

Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara

berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per tahun.1

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000:1,7

1. Glomerulonefritis (46,39%)

2. Diabetes Mellitus (18,65%)

3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)

4. Hipertensi (8,46%)

5. Sebab lain (13,65%)

Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya

pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.2

Page 20: BAB I

IV. Faktor risiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau

hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,

berat badan lahir rendah, dan faktor social dan lingkungan seperti obesitas atau perokok,

berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi,

dan penyakit ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia

dan lingkungan tertentu.3

V. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.

Page 21: BAB I

Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih

tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif

seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung

singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa.

Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit

dasarnya sudah tidak aktif lagi.1,2

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut

memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.

Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth

factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan

terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,

hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan

fibrosis glomerolus maupun interstitial.1

Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium

ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar

BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat

diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan

kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.1

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75%

jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar BUN

baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda,

tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai

meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya

mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal

ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai

timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau

minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini,

sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

teliti.1

Page 22: BAB I

Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium akhir

atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah

hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari

keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada

keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai

respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal,

penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi

mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis

dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik

(pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses

penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala

yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir

gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk

transplantasi ginjal atau dialisis.1

Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium, tetapi

dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.

VI. Gambaran klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,

meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,

kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.1,2,6

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada

pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh

defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi

besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang

pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh

substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.1

Page 23: BAB I

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit < 30

%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi

total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi

eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya.1,6

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain

bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian

tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat

dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan

kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin

menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal

kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga

mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia

inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-

keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan

antibiotika.2

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal

ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal

ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala

nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan

hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan

atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi

dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal

kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit

Page 24: BAB I

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga

berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah

tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan

kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.1,3

e. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering

dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak

jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan

atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari

dasar kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.

Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering

dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat

menyebabkan kegagalan faal jantung.

VII. Pendekatan Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan

fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.1,6

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Meramalkan prognosis

Page 25: BAB I

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan

yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan

penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan

dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk

semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif

dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan

banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia,

kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic frost,

perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

chlorida).1

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang

mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-

Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau

hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri,

leukosuria, dan silinder.1

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1

Page 26: BAB I

1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak

2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa

melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh

kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi

4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang

menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi

5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

VIII. Penatalaksanaan1,2,3,6

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara

progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki

metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

a.Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi

toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan

keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan

utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan

memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis

mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Page 27: BAB I

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan

penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan

suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila

pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg

IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi

2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam

seminggu.6

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan

terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati

karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai

pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari

GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai

anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-

obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Page 28: BAB I

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler

yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting

Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi

terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang

penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit

kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang

diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan

terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada

LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,

dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik

azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK

yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi

dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam

indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan

kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah

persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,

muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)

Page 29: BAB I

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu

pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah

menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan

mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,

pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih

cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-

medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri

(mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

IX. Prognosis

Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau stadium

V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi, dan

juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka

kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani

transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian

terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak

(6%), dan keganasan (4%).2

X. Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan

pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti

bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi

(makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula

darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian

berat badan.

Page 30: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti

S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.

2. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.

medscape.com/article/238798-overview, 25 Mei 2013.

3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,

Classification, and Stratification. Diunduh dari:

http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 25 Mei 2013.

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,

Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.

5. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of

Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.

6. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta: CMP

Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.