serangan syok pada demam berdarah dengue

Upload: andre-a-pause

Post on 15-Oct-2015

90 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Penanganan pada syok demam berdarah

TRANSCRIPT

Serangan Syok pada Demam Berdarah Dengue

Dengue Shock Syndrome

PENDAHULUANDalam keseharian kita, sering kali kita mendengarkan orang-orang disekitar kita menyebutkan istilah infeksi. Misalnya saja seorang ibu yang melarang anaknya untuk menggaruk luka yang ada pada kulitnya agar tidak menyebabkan infeksi. Kebanyakan orang mengartikan infeksi sebagai kondisi dimana masuknya kuman ke dalam tubuh dan dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah dari penyakit sebelumnya. Secara singkat mungkin istilah infeksi ini dapat diartikan seperti pengertian kebanyakan orang tersebut. Namun perlu kita ketahui, infeksi bukanlah hanya sebuah kondisi sederhana yang diawali dengan masuknya kuman kedalam tubuh yang dapat memperburuk penyakit yang sebelumnya kita alami. Infeksi itu sendiri bisa menjadi pemicu atau penginduksi munculnya penyakit dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi ini dikenal dengan sebutan penyakit infeksi.Infeksi sendiri menurut pengertiannya berdasarkan kamus kedokteran adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh yang secara klinis mungkin tidak menunjukkan gejala atau dapat pula menunjukkan gejala yang merupakan respon dari sistem pertahanan tubuh manusia. Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit.Dalam penyebarannya, mikroorganisme penyebab infeksi ini tidak bekerja sendirian. Kebanyakan dari mikroorganisme penyebab infeksi membutuhkan perantara atau vektor yang dapat membantunya untuk bisa menyebabkan infeksi pada organisme lain. Nyamuk yang sering kita lihat di sekitar kita merupakan salah satu vektor yang dapat membantu mikroorganisme untuk menginfeksi manusia khususnya dan masih banyak hewan lainnya yang berperan menjadi vektor untuk berbagai penyakit infeksi. Selain hewan, udara dan airpun dapat menjadi medium perantara yang baik bagi mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi. Dalam pembahasan berikutnya akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang diperantarai oleh nyamuk Aedes sebagai vektor utama untuk penyakit ini. Selain itu pula akan dibahas mengenai gejala klinis yang dapat ditimbulkan serta etiologi, epidemiologi, patofisiologi serta penatalaksanaan penyakit infeksi ini.PEMBAHASANAnamnesisAnamnesis atau wawancara dengan pasien diperlukan untuk mendapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya mengenai data identitas pasien terlebih lagi mengenai riwayat penyakit sekarang dari pasien serta beberapa informasi lainnya yang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis terhadap penyakit. Pasien yang datang dengan keluhan utama demam dapat mengarah pada beberapa penyakit. Untuk membantu menegakkan diagnosis ada beberapa hal yang perlu untuk dipertanyakan kepada pasien, diantaranya adalah: Sejak kapan pasien mengalami demam?

Bagaimana sifat demam yang dialami pasien? Apakah kontinua atau berlangsung terus menerus, intermiten; demam disertai penurunan suhu ke normal dan kemudian kembali meningkat lagi, atau mungkin remiten yaitu demam disertai dengan penurunan suhu tidak mencapai normal kemudian meningkat lagi? Berapa suhu tubuh pasien selama demam?

Gejala lain yang menyertai demam seperti batuk, pilek, atau nyeri otot?

Adakah muncul ruam-ruam kulit atau kemerahan di kulit selama demam?

Apakah pernah terjadi perdarahan selama demam? Apakah sudah pernah memeriksakan diri ke dokter sebelumnya atau sudah pernah mengkonsumsi obat dan bagaimana kondisinya setelah itu?

Apakah sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan laboratorium dan bagaimana hasil pemeriksaan yang didapatkan?Pertanyaan-pertanyaan yang ada diatas merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan riwayat penyakit sekarang pasien. Selain menanyakan pertanyaan yang berkenaan dengan riwayat penyakit sekarang, dapat pula ditanyakan mengenai riwayat pribadi, salah satunya yang berkaitan dengan lingkungan tempat tinggal, dan informasi lainnya yang berkaitan atau berhubungan dengan penyakit yang diderita oleh pasien.Pemeriksaan Fisik1,2Setelah melakukan anamnesis, hal selanjutnya yang dilakukan adalah pemeriksaan fisik yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis, diantaranya adalah pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang (inspeksi), pemeriksaan raba (palpasi), pemeriksaan ketuk (perkusi), dan pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (auskultasi). Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi :

1. Pemeriksaan Keadaan UmumBertujuan untuk memeriksa tingkat kesadaran dari pasien. Dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil atau bahkan dengan memberikan rangsangan nyeri.Tingkat-tingkat kesadaran diantaranya adalah:

Kompos mentis, yaitu kesadaraan sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya.

Apatis, yaitu keadaan dimana pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.

Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, dan meronta-ronta.

Somnolen (letargia, obtundasi, hipersomnia), yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang tetapi bila rangsang berhenti, pasien tertidur kembali.

Sopor (stupor), yaitu keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsangan nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik.

Semi koma (koma ringan), yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik. Respon terhadap rangsang nyeri tidak adekuat.

Koma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respon terhadap rangsang nyeri.

2. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan.

3. Pemeriksaan Fisik Paru

4. Pemeriksaan Fisik Organ Abdomen terutama hati

5. Pemeriksaan Uji tourniquet/Uji bendung/ Uji Rumple leedePemeriksaan kulit dapat dilakukan dengan menggunakan tes tourniquet (uji bendung) yaitu dengan memompa manset tekanan darah sampai suatu titik tengah antara tekanan sistolik dan diastolik selama lima menit. Hasil uji dinyatakan positif jika tampak 10 atau lebih petekie per 2,5 cm2. Pada kasus DHF, uji tersebut biasanya memberikan hasil yang pasti positif bila tampak 20 petekie atau lebih.Pemeriksaan Penunjang1,3,4Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk membantu dalam penegasan diagnosis berdasarkan gejala-gejala klinis yang telah didapatkan sebelumnya melalui pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penegasan diagnosis mengenai penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue, salah satunya adalah dengan pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).Pemeriksaan darah yang mungkin dilakukan adalah :

1. Pemeriksaan darah tepi.

Untuk mengetahui jumlah leukosit yang berperan dalam mengatasi infeksi. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengatasi terjadinya leukopenia, yaitu jumlah leukosit kurang dari 5.000 sel/mm3. Leukosit dapat normal pada permulaan demam dan akan terus menurun hingga periode demam berakhir. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase shock akan meningkat. Meningkatnya LPB mengindikasikan dalam waktu kurang lebih 24 jam penderita akan bebas demam dan memasuki fase kritis.2. Pemeriksaan trombosit.Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke-3 sampai ke-8. Kadar trombosit dapat mencapai kurang dari 100.000/mm3.3. Pemeriksaan hematokrit. Ada atau tidaknya kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.4. Pemeriksaan Hemostasis.Dilakukan pemeriksaan PT (Protrombin time), APTT (activated partial thromboplastin time), Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP (fibrin/fibrinogen degradation product) pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan, atau kelainan pembekuan darah.5. Pemeriksaan protein/albumin. Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.

6. SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase) atau SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase) dapat meningkat. GOT merupakan enzim yang dapat menjadi sebuah indikator terjadinya necrosis jantung sedangkan GPT lebih spesifik untuk kerusakan hati.7. Pemeriksaan ureum, keratin; bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu.Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.

Pemeriksaan radiologis (foto toraks tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.DiagnosisDiagnosis Banding (Differential Diagnosis)Terdapat beberapa penyakit yang harus dipertimbangkan saat akan menegakkan diagnosis terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue ini terutama kesesuaian gejala klinis yang di tunjukkan, penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah demam tifoid dan idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam.1Demam tifoid memiliki manifestasi klinik hampir sama dengan DBD yaitu adanya demam pada awal penyakit. Penampilan demam pada kasus demam kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperatur chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap setiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Demam yang terjadi pada infeksi bakteri Salmonella thypi ini seringkali dilaporkan meninggi pada saat sore dan malam hari dibandingkan dengan paginya. Gejala lainnya yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang ditepi dan ujungnya kemerahan. Banyak ditemukan hepatomegali daripada splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae (rose spot) jarang di temukan pada orang Indonesia. Pada hasil pemeriksaan darah ditemukan leukopenia, aneosinofilia, limfositosis relatif, dan trombositopenia pada demam tifoid berat.1,5,6Purpura trombositopenia imun (PTI) atau yang dikenal dengan istilah Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP) merupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Imunoglobilin G. Pada penyakit ini ditemukan kondisi trombositopenia yang menetap yaitu kurang dari 150.000. Kata trombositopenia menunjukkan bahwa terdapat angka trombosit yang rendah, sedangkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi akan kulit yang berwarna lebam karena symptom penyakit ini, warna ungu pada kulit ini disebabkan oleh merembesnya darah di bawah kulit.

Adanya trombositopenia pada PTI ini akan mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat sangat bervariasi mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sampai mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal.1Sindrom Syok Dengue (Working Diagnosis)1,5Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

Uji bendung positif

Petekie, ekimosis, atau purpura

Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau perdarahan dari tempat lain.

Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul). Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut: Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Tanda kebocoran plasma lainnya seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Manifestasi syok pada demam berdarah dengue terdiri atas :

1. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada pada ujung jari kaki, tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatik secara refleks

2. Kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.

3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi lebih cepat dan lembut sampai tidak teraba lagi oleh karena kolaps sirkulasi

4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang

5. Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang

6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalisDari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa perbedaan pataofisiologik utama antara DD/DBD/DSS dan penyakit lainnya adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/DSS sangat khas yaitu, demam tinggi mendadak, diatesis hemoragik, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi.Penatalaksanaan1,5Dasar patologis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar pengobatannya adalah penggatian volume plasma yang hilang. Walau demikian, penggatian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan hati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering yaitu setiap 30-60 menit. Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda-tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume urin.Pemilihan jenis dan volume cairan yang dibutuhkan tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Jenis cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO yaitu larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah.Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium, dan klorida, serta ureum dan kreatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan sudah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100mmHg dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diureis diusahakan 2ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan kolid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 /hari). Dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID (koagulativa intravaskular diseminata), infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

Pemberantasan (Upaya Preventif)5Strategi pemberantasan penyakit DBD lebih ditekankan pada (1) upaya preventif, yaitu melaksanakan penyemprotan massal sebelum musim penularan penyakit di desa/kelurahan endemis DBD, yang merupakan pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya, (2) strategi ini diperkuat dengan menggalakan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), (3) melaksanakan penanggulangan fokus di rumah pasien dan sekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB), dan (4) melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media.

Kewajiban pelaporan kasus/tersangka dalam tempo 24 jam ke DinKes Dati II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan sesuai dengan Peraturan Mentri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas / DinKes Dati II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan risiko penularan.

Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya risiko penularan DBD, maka Puskesmas / DinKes Dati II akan melakukan langkah-langkah upaya penanggulangan berupa (1) foging fokus, (2) abatisasi selektif. Tujuan abatisasi ialah membunuh larva dengan butir-butir abate sand granule (SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per million), yaitu 10 gram meter 100 liter air, (3) menggalakan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalam PSN.Manifestasi Klinik1,5Menurut WHO derajat penyakit infekssi virus dengue dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut1 DD (Dengue fever)

Gejala yang ditemukan adalah demam disertai 2 atau lebih tanda (sakit kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia). Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda kebocoran plasma seperti hemokonsentrasi, efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia.

DBD derajat I

Gejala yang sama pada demam dengue ditambah dengan uji bendung positif. Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan keadaan trombositopenia dan ada bukti kebocoran plasma.

DBD derajat II

Gejala yang sama dengan DBD derajat I ditambah dengan adanya perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain. pada pemeriksaan laboratorium, hasil yang didapatkan sama sepserti pada DBD derajat I. DBD derajat III

Gejala yang sama dengan DBD derajat II ditambah kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi cepat dan lembut , tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan pasien tampak gelisah.

DBD derajat IVSyok berat (profound shock) disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur.

Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulation failure). Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus diingatkan juga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi terjadi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan. Pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan atau telapak kaki.Pada DBD syok, setelah demam berlangsung beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3 sampai hari ke 7. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi cepat dan lembut. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

Di samping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak teraba. Tekanan nadi turun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan yang tepat termasuk segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit 100.000/ul ditemukan antara hari sakit ke 3 sampai ke 7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus berderajat ringan meskipun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan urea nitrogen darah meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara lekopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara.5Prognosis

Syok yang terjadi selama periode demam tanpa pengobatan yang adekuat biasanya mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan yang tepat termasuk segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.Patofisiologi5,7,8Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Masa inkubasi virus 3-15 hari (rerata 7-10 hari). Beberapa glikoprotein kapsul virus dengue homolog dengan segmen faktor pembekuan, termasuk plasminogen. Keadaan ini menyebabkan demam berdarah dapat menyerupai reaksi autoimun.

Virus dengue yang tergolong virus RNA, genus flavivirus, famili Flaviviridae dengan 4 serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 serta genotipe berbeda-beda. Penularan melalui perantara arthtropoda yang menghisap darah, yaitu nyamuk Aedes aegypti yang bersifat endofilik dan Aedes albopictus yang bersifat eksofilik.

Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah the secondary heterologous infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun dan hipotesis lainnya adalah the immunological enhancement hypothesis. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.Secara garis besar the immunological enhancement hypothesis dapat dijelaskan sebagai berikut. Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi untuk menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing-antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis antibodi yaitu (1) kelompok monoklonal reaksi yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) antibodi yang dapat menetralisir secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang dapat mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enchanment hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut :(a) Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.

(b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut sebagai mekanisme aferen.(c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah terinfeksi.(d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.

(e) Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.Virus dengue sebagai mikroorganisme memiliki komponen dan struktur pathogen associated molecular pattern (PAMP). Awalnya komponen dan struktur unik virus dengue akan dikenali oleh pattern recognition molecules (PRMs) yang terletak pada permukaan makrofag. Melalui toll like receptor (TLR), PMRs makrofag akan mengenal dan mengidentifikasi PAMP virus dengue. Makrofag melalui aktivitas protein membran pengikat yaitu PRMs, bertugas melakukan analisis, identifikasi dan investigasi terhadap patogen virus dengue. PRMs merupakan protein spesifik yang mengenal dan mengidentifikasi PAMP, terutama mengidentifikasi komponen dan struktur permukaan sel virus dengue. Terdapat dua jenis PRMs yaitu mannan-binding lectin (MBL) dan properdin (faktor P). Kedua PRMs tersebut bukan hanya berpengaruh pada peran makrofag, tetapi juga mempengaruhi komplemen. Awalnya dapat meningkatkan aktivitas sistem komplemen untuk melakukan lisis terhadap virus dengue.Sehubungan dengan peran TLRs, pada tubuh manusia saat ini diketahui terdapat 10 TLRs, salah satu peran adalah mengidentifikasi virus dengue. Beberapa TLRs dapat memberikan respons lebih dari satu PAMP. TLR-4 selain memberikan respon alamiah terhadap mikroorganisme juga memberikan respon terhadap molekul respon stres heat shock protein (HSP). Intervensi virus dengue dapat mempengaruhi lingkungan mikro, sel, subsel, molekul sinyal mendorong lingkungan mikro menjadi penuh suasana stres. Heat shock protein, termasuk protein spesifik yang memberi respon terhadap kehadiran virus dan mempunyai peran sebagai sitoprotektor. Interaksi PAMP dengan TLR fagosit dapat terjadi langsung maupun tidak langsung melalui transduksi sinyal transmembran, memicu translasi berbagai protein dan aktivasi fagosit. Peningkatan aktivitas fagosit akan meningkatkan kemampuan fagositosis dan eliminasi virus dengue oleh makrofag. Di samping itu juga memicu produksi berbagai sitokin proinflamatori termasuk IL-1, IL-6, dan TNF-. IL-1 dan IL-6 memicu produksi prostaglandin, mempengaruhi pusat termoregulasi, mengakibatkan disregulasi di pusat termoregulasi, memicu munculnya keluhan dan gejala demam.Karakteristik demam yang dipicu virus dengue berupa demam tinggi mendadak, berlangsung 2-7 hari, bifasik, fase pertama berlangsung mulai beberapa jam sejak paparan hingga 2 hari. Fase kedua berlangsung 1-2 hari diselingi fase remisi. Dampak lain dari sitokin proinflamatori selain induktor demam juga nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, nafsu makan menurun, dan sulit tidur. TNF- merupakan suatu sitokin poten yang diproduksi akibat aktivasi makrofag yang diintervensi virus dengue.Makrofag yang terpapar virus dengue mengalami aktivasi, meningkatkan produksi dan sekresi enzim phospolipase A2-activating protein (PLA2) sitosolik dan sekretorik. PLA2 ini berpengaruh luas terhadap perjalanan infeksi DBD khususnya PLA2 sekretori. PLA2 sekretori mempengaruhi biosintesis asam arakhidonat. PLA2 mempunyai efek metabolik dan memicu metabolisme asam arakhidonat. Pelepasan asam arakhidonat memicu biosintesis eicosanoids, terjadi produksi dan sekresi mediator sekunder. Mediator sekunder yang diproduksi dan sekresinya meningkat adalah prostasiklin, prostaglandin E2, tromboksan A2, leukotrien.Berbagai mediator sekunder ini berpengaruh dalam mempercepat pelebaran celah endotel yang telah terbuka lebar melalui pengaruh sitokin (IL-1, IL-6, TNF-) dan komplemen dalam mekanisme sebelumnya. IL-1 dan IL-6 menyebabkan disfungsi endotel, TNF- menyebabkan destruksi endotel. Dengan demikian pengaruh komplemen, sitokin dan mediator sekunder tersebut membuka peluang terjadi perpindahan plasma yang berlangsung hebat, menggeser cairan intravaskular ke ekstravaskular.Dampaknya terjadi penurunan volume intravaskular dan terjadi sindrom syok dengue (SSD) yang mengancam jiwa. Dampak metabolik lain yang terjadi pada infeksi virus dengue adalah memosisikan tubuh host dalam kondisi hipermetabolik. Pada kondisi yang hipermetabolik ini tubuh menuntut mitokondria untuk meningkatkan produksi ATP. Efek samping peningkatan produksi ATP adalah peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS). ROS bersama sitokin proinflamatori mempengaruhi dan menyebabkan penurunan elastisitas otot polos kapiler, miokard dan berpengaruh pada sistem konduksi jantung terutama pada sindrom syok dengue. Dapat dipahami bahwa syok pada infeksi DBD dapat terjadi akibat perpindahan plasma, perdarahan, kelumpuhan otot polos vaskuler, kelumpuhan miokard. Situasi ini dapat berlangsung lebih 24-36 jam dan menyebabkan syok berkepanjangan bila tanpa diikuti intervensi terapi yang memadai. Pada perpindahan plasma, selain keadaan umum penderita secara klinis lemah, nampak sakit berat, akral dingin, juga didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit. Intervensi virus dengue menyababkan gangguan pada sistem hematopoetik sentral dan perifer. Di sentral hematopoeises atau di sumsum tulang, terutama pada mekanisme aferen virus dengue yang mengintervensi makrofag, memicu makrofag menjadi aktif melakukan fagositosis diikuti replikasi virus. Dampak replikasi, produksi mediator dan sitokin akibat paparan virus dengue pada makrofag tersebut berpengaruh terhadap lingkungan mikro di sumsum tulang belakang. Pada biopsi sumsum tulang belakang yang dilakukan pada hari ke-4 demam, terdapat gambaran hiposeluler, penurunan jumlah megakariosit, penurunan eritropoiesis dan penurunan granulositopoiesis. Biopsi ulang pada hari ke-7 dan ke-10 demam, menunjukkan perbaikan gambaran seluluer menuju normoseluler atau hiperseluler sebagai mekanisme kompensasi pada semua komponen darah.Melalui mekanisme eferen, virus dengue melakukan intervensi ke dalam sumsum tulang belakang, limpa, liver, kelenjar limfe saluran cerna dan histiosit kulit. Pada mekanisme efektor aktivasi makrofag yang terpapar virus dengue diikuti aktivasi limfosit T. Pada sirkulasi darah perifer, terdapat leukopenia selama berlangsungnya demam. Leukopenia terjadi secara bertahap selama demam. Leukopenia mulai terjadi pada hari ke-2 demam dan penurunan terberat terjadi pada hari ke-4 sampai ke-6 demam. Demam berangsur normal pada hari ke-9 dan 10. Keadaan tersebut diikuti penurunan jumlah leukosit PMN dan eosinofilia menuju normal.

Pada pembuluh darah terjadi jejas vaskuler ditandai adanya disfungsi, malfungsi endotel dan vaskulopati. Manifestasi vaskulopati pada DBD adalah petekhiae, uji bendung positif, perpindahan plasma, perpindahan protein yang diikuti perubahan kadar elektrolit. Pada DBD dan SSD terjadi peningkatan kadar histamin yang memicu vaskulopati. Peningkatan histamin memediasi peningkatan permeabilitas vaskuler dan kenaikan kadar histamin dalam urin 24 jam. Pengaruh histamin pada kulit penderita DBD dapat menimbulkan rash bifasik : rash cepat hilang (evanescent), kemudian dapat muncul rash makulopapuler, scarlatiniform maupun morbiliform. Dapat juga peningkatan kadar histamin ditandai oleh urtikaria, dan eritem multiform. Dapat terjadi perdarahan saluran cerna, hematemesis, melena terutama bila terdapat tukak peptik sebelumnya.Trombositopenia merupakan parameter penting pada DBD, penyebab trombositopenia pada fase awal perjalanan penyakit adalah gangguan produksi trombosit, dsifungsi megakariosit. Pada fase berikutnya trombositopenia dapat terjadi disebabkan adanya ikatan antara antibodi dan antigen virus dengue. Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.Intervensi virus dengue pada sumsum tulang belakang terutama pada 3 hari pertama menyebabkan penekanan produksi trombosit. Pada hari berikutnya, terutama, hari ke-4, 5, dan 6 penurunan trombosit bukan hanya pengaruh sentral tetapi juga perifer oleh hiperaktivitas RES sehingga jumlah trombosit dapat sangat rendah. Selain penurunan jumlah, trombosit dapat mengalami gangguan fungsi akibat pengaruh sitokin dan reactive oxygen species (ROS). Faal pembekuan juga dapat terganggu pada infeksi virus dengue. Gangguan fungsi trombosit, penurunan jumlah trombosit, gangguan faal koagulasi, penurunan integritas vaskuler memicu terjadinya perdarahan berupa petekia, rash ptekhial, ekimosis, metromenoragia, perdarahan saluran cerna dan manifestasi perdarahan saluran di organ lain.Sitokin IL-1, IL-2, dan IL-4 memicu peningkatan produksi antibodi. Sitokin mengirim sinyal pada makrofag, sel T, dan sel B. Sitokin menstimulasi makrofag menghancurkan virus serta aktivasi, diferensiasi, dan ekspansi limfosit T dan B. Intervensi virus dengue juga memicu respon imun didapat (acquired immunology), superfamili gen imunoglobulin dan berbagai produk protein. Terdapat 3 protein permukaan sel berbeda yang saling berinteraksi dengan virus dengue selama berlangsung respon imun yang didapat. Ketiga protein spesifik tersebut adalah imunoglobulin (Igs), reseptor sel-T (TCRs) dan protein MHC. Masing-masing protein spesifik tersebut mengikat protein pengikat antigen berbeda dalam hal lokasi, struktur maupun fungsi.

Selama intervensi virus dengue terjadi aktivasi sel T dan molekul sinyal. Pada awalnya sel T tidak aktif kemudian teraktivasi menjadi sel efektor melalui induktor makrofag. Aktivasi sel T diawali melalui pengikatan peptida MHC oleh TCR dan sinyal-1. Aktivasi sel T juga terjadi melalui interaksi 2 protein spesifik yaitu B7 dan CD28 diperantaraii sinyal-2. Tanpa dukungan sinyal-1 dan sinyal-2, sel T tidak akan teraktivasi. Sel T yang teraktivasi akan bertindak sebagai sel efektor. Komunikasi intraseluler diperlukan dalam aktivasi sistem imun melalui protein terlarut disebut sitokin. Sitokin diproduksi makrofag maupun limfosit. Makrofag sebagai sel target virus dengue mempunyai sifat memberikan respons berupa ambilan, processing dan presentasi antigen virus.Pada DBD terjadi rash diakibatkan oleh dilatasi kapiler; transudasi protein dan cairan ke ruang interstesial, dan diapedesis sel darah merah. Terkadang perdarahan menjadi lebih berat, terjadi ekimosis. Bila melibatkan seluruh kapiler dapat menyebabkan hipovolemia, syok, perdarahan dan munculnya fenomena korolari (corollary phenomena). Beberapa penderita berkembang progresif ke arah SSD dengan demam akut yang diikuti penurunan demam, manifestasi perdarahan, disertai petanda perpindahan plasma yang menonjol, disertai efusi pleura, asites, dan petanda dini syok yang diawali hipotermia.7Etiologi1,5Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorragic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemikonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan atau syok.

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak dan keempat serotipe dari virus dengue ini bersirkulasi sepanjang tahun. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanes enchephalitis ,dan West Nile virus.Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar, dan primate. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomya) dan Toxorhynchites.Epidemiologi1,5Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain di Asia Tenggara, diantaranya di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan virus dengue tipe-2, dan Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan chikungu berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang.Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur