student.blog.dinus.ac.idstudent.blog.dinus.ac.id/.../11/makalah-surveilans-dbd.docx · web...
TRANSCRIPT
MAKALAH SURVEILANS DBD
(DEMAM BERDARAH DENGUE)
Dosen Pengampu : Sri Handayani S.KM, M.Kes
Disusun oleh :
Nama : Siti Aminatuz Zuhriyah
NIM : D11.2016.02231
Kelas : D11.52
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS DIAN NUSWANTOROSEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemrrhagic Fever (DHF) ialah penyakit
yang disebabkan virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegyti dan Aedes
albbopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali
ditempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Ginanjar, 2008).
Musim hujan tiba maka perlu diwaspadai adanya genangan – genangan air yang terjadi
pada selokan yang buntu, gorong – gorong yang tidak lancar serta adanya banjir yang
berkepanjangan, perlu diwaspadai adanya tempat reproduksi atau berkembangbiaknya nyamuk
pada genangan – genangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan musim nyamuk telah tiba
pula, itulah kata-kata yang melakat pada saat ini. saatnya kita melakukan antisipasi adanya
musim nyamuk dengan cara pengendalian nyamuk dengan pendekatan perlakukan sanitasi
lingkungan atau non kimiawi yang tepat sangat diutamakan sebelum dilakukannya pengendalian
secara kimiawi.
Selama ini semua manusia pasti mengatahui dan mengenal serangga yang disebut
nyamuk. Antara nyamuk dan manusia bisa dikatakan hidup berdampingan bahkan nyaris tanpa
batas. Namun, berdampingannya manusia dengan nyamuk bukan dalam makna positif. Tetapi
nyamuk dianggap mengganggu kehidupan umat manusia. Meski jumlah nyamuk yang dibunuh
manusia jauh lebih banyak daripada jumlah manusia yang meninggal karena nyamuk, perang
terhadap nyamuk seolah menjadi kegiatan tak pernah henti yang dilakukan oleh manusia.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan
gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga
mengakibatkan perdarahan-perdarahan.Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis seperti
Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-
tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Hal ini disebabkan karena
penyakit ini telah merenggut banyak nyawa. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI
terdapat 14 propinsi dalam kurun waktu bulan Juli sampai dengan Agustus 2005 tercatat jumlah
penderita sebanyak 1781 orang dengan kejadian meninggal sebanyak 54 orang.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati
dan manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan
pasien jatuh syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. DBD merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang penularannya dari satu penderita ke penderita lain disebarkan
oleh nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran DBD adalah dengan memotong siklus penyebarannya dengan memberantas nyamuk
tersebut. Salah satu cara untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti adalah dengan melakukan
Fogging. Selain itu juga dapat dilakukan pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan abatisasi
untuk memberantas jentik nyamuk.
Berbagai upaya pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD) telah
dilaksanakan meliputi : promosi kesehatan tentang pemberantasan sarang nyamuk, pencegahan
dan penanggulangan faktor resiko serta kerja sama lintas program dan lintas sector terkait sampai
dengan tingkat desa /kelurahan untuk pemberantasan sarang nyamuk. Masalah utama dalam
upaya menekan angka kesakitan DBD adalah belum optimalnya upaya pergerakan peran serta
masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue. Oleh karena itu
partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD tersebut perlu di tingkatkan
antara lain pemeriksaan jentik secara berkala dan berkesinambungan serta menggerakan
masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit demam berdarah dengue?
2. Apakah penyebab dari penyakit DBD?
3. Bagaimana cara penularan penyakit demam berdarah dan siklus hidup vektor penular
penyakit DBD?
4. Bagaimana tanda dan gejala DBD?
5. Seperti apa patofisologi DBD?
6. Bagaiman diagnosa penyakit DBD?
C. TUJUAN
1. Memberi pengetahuan mengenai penyakit demam berdarah dengue.
2. Memberi pengetahuan tentang cara penularan DBD.
3. Memberi pengetahuan tentang penyebab DBD.
4. Memberi pengetahuan tentang tanda dan gejala DBD.
5. Memberi pengetahuan tentang patofisiologi DBD.
6. Memberi pengetahuan tentang diagnosa DBD.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan
gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga
mengakibatkan perdarahan-perdarahan.
Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara, India, Brazil,
Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari
1000 meter di atas permukaan air laut. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya seperti Bidan dan
Pak Mantri ;-) seringkali salah dalam penegakkan diagnosa, karena kecenderungan gejala awal
yang menyerupai penyakit lain seperti Flu dan Tipes (Typhoid).
2. PENULARAN DBD
Demam berdarah ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk betina Aedes yang terinfeksi
virus dengue. Penyakit ini tidak dapat ditularkan langsung dari orang ke orang. Penyebar utama
virus dengue yaitu nyamuk Aedes aegypti, tidak ditemukan di Hong Kong, namun virus dengue
juga dapat disebarkan oleh spesies lain yaitu Aedes albopictus.
3. PENYEBAB DBDDemam berdarah disebabkan oleh virus Dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. Virus tersebut akan masuk ke aliran darah manusia melalui gigitan nyamuk.
Biasanya, jenis nyamuk ini menggigit di pagi hari sampai sore menjelang petang.
Penularan virus Dengue terjadi bila seseorang yang terinfeksi digigit oleh nyamuk perantara.
Virus dari orang yang terinfeksi akan dibawa oleh nyamuk, dan menginfeksi orang lain yang
digigit nyamuk tersebut. Virus Dengue hanya menular melalui nyamuk, dan tidak dari orang ke
orang.
Virus Dengue terbagi menjadi empat tipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. Ketika
seseorang terinfeksi salah satu tipe virus Dengue dan berhasil pulih, maka tubuhnya akan
membentuk kekebalan seumur hidup terhadap tipe virus tersebut. Akan tetapi, kekebalan
terhadap salah satu virus tidak menutup kemungkinan terjadinya infeksi oleh tipe virus Dengue
yang lain. Bahkan, seseorang yang pernah terinfeksi virus Dengue lebih berisiko terinfeksi untuk
kedua kalinya. Selain pernah mengalami infeksi virus Dengue, faktor lain yang dapat
meningkatkan risiko seseorang terkena demam berdarah adalah tinggal atau bepergian ke daerah
tropis. Demam berdarah juga lebih berisiko dialami oleh bayi, anak-anak, lansia, dan orang
dengan kekebalan tubuh lemah.
DBD disebabkan virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
utama. Selain itu, masih ada nyamuk Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Penyakit ini
biasanya mencapai puncak pada akhir musim penghujan atau awal musim kemarau. Umumnya,
terjadi pada bulan Maret atau Desember. HIngga kini, belum ada obat atau vaksin bagi penyakit
ini. Pencegahan DBD saat ini hanya dilakukan dengan menghindari nyamuk penyebar penyakit,
misalnya dengan membersihkan lingkungan dan pengasapan. Spesialis penyakit dalam dari
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta, dr.Gustan Syahri. Sp.PD menuturkan, ada
4 jenis (serotipe) berbeda virus dengue yang menjadi penyebab DBD yaitu virus dengue-1
(DEN-1), DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe DEN-3 diketahui merupakan tipe yang paling
ganas menyerang. Namun sampai saat ini, belum ada hasil penelitian serulogi, untuk mengetahui
dampak serangan dan ciri khusus DEN-3.
4. GEJALA DAN TANDA DBD
Tanda dan Gejala Penyakit Demam Berdarah Dengue Masa tunas / inkubasi selama 3 –
15 hari sejak seseorang terserang virus dengue, Selanjutnya penderita akan menampakkan
berbagai tanda dan gejala demam berdarah sebagai berikut :
1. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38 – 40 derajat Celsius).
2. Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya jentik (puspura) perdarahan.
3. Adanya bentuk perdarahan dikelopak mata bagian dalam (konjungtiva), Mimisan (Epitaksis),
Buang air besar dengan kotoran (Peaces) berupa lendir bercampur darah (Melena), dan lain-
lainnya.
4. Terjadi pembesaran hati (Hepatomegali).
5. Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok.
6. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 – 7 terjadi penurunan trombosit dibawah
100.000 /mm3 (Trombositopeni), terjadi peningkatan nilai Hematokrit diatas 20% dari nilai
normal (Hemokonsentrasi).
7. Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti mual, muntah, penurunan nafsu
makan (anoreksia), sakit perut, diare, menggigil, kejang dan sakit kepala.
8. Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi.
9. Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada persendian.
10. Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
Masa inkubasi DBD (Demam Berdarah Dengue) bervariasi antara 3-15 hari. Pada
umumnya adalah 4 hari. Masa inkubasi terjadi setelah Anda mendapat gigitan nyamuk
yang membawa virus penyakit DBD hingga muncul tanda dan gejala yang menunjukkan
bahwa Anda mengidap DBD.
5. PATOFISIOLOGI DBD
Fenomena patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan membedakan demam berdarah
dengue dengan dengue klasik ialah tingginya permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diabetes hemoragik.
Meningginya nilai hematokrit pada penderita dengan renjatan menimbulkan dugaan bahwa
renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang
rusak dengan mengakibatkan menurunnya volume plasma dan meningginya nilai hematokrit.
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam
berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the
secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi
apabila seseorang setelahinfeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus
dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan
sampai 5 tahun. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi sekunder dicoba
dirumuskan oleh Suvatte dan dapat dilihat pada gambar
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita dengan kadar
antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi anamnestik yang akan terjardi dalam
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan
antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya
virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan
C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada
penderita renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan
berlangsung selama 24 - 48 jam.
Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis
metabolik dan kematian.
6. DIAGNOSA DBD
1. Klinis
Gejala klinis berikut harus ada, yaitu:
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7
hari
Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
o uji bendung positif
o petekie, ekimosis, purpura
o perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
o hematemesis dan atau melena
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20
mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary
refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.
2. Laboratorium
Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)
Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi
sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
o Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan
o Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD.
Derajat Penyakit
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan
trombositopenia dan hemokonsentrasi)
Derajat
I
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji bendung.
Derajat
II
Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat
III
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak
gelisah.
Derajat
IV
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.
Perlu mendapat perhatian bahwa yang disebut mendadak adalah tidak didahului oleh demam
ringan, seperti misalnya anak pulang sekolah belum demam, kemudian tidur, bangun tidur anak
menderita demam tinggi di atas 38,5 C. Demam bersifat terus-menerus berarti perbedaan suhu⁰
terendah dengan suhu tertinggi kurang dari 1 C.⁰
Masalah yang timbul dalam menilai pola demam ini adalah tidak selalu orang tua mengukur
tingginya demam dan pengaruh pemberian obat penurun panas oleh orang tua. Tingginya demam
dapat diperkirakan melalui pertanyaan mengenai akibat demam terhadap pasien, seperti anak
rewel/gelisah, kulit kemerahan terutama pada wajah (flushing) dan fotofobia.
Efek obat penurun panas, pada umumnya hanya sebentar, paling lama sesuai dengan masa kerja
obat, setelah itu demam kembali meningkat tinggi. Adanya epistaksis pada anak yang biasa
mengalami epistaksis, harus dicari petunjuk lain, misalnya pemeriksaan uji tourniquet atau tanda
dan gejala manifestasi perdarahan lain.
Diagnosis Klinis Demam Berdarah DengueTanda dan gejala demam berdarah dengue pada fase awal sangat menyerupai demam dengue,
tanda dan gejala yang karakteristik berupa tanda kebocoran plasma baru timbul beberapa hari
kemudian.
Oleh karena itu pada pasien dengan diagnosis klinis demam dengue yang ditegakkan pada saat
masuk, baik yang kemudian diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun rawat inap, masih
perlu dievaluasi lebih lanjut apakah hanya demam dengue atau merupakan demam berdarah
dengue fase awal.
Pasien demam berdarahan dengue memiliki risiko untuk mengalami syok, sehingga harus
menjalani rawat inap dengan tatalaksana yang berbeda dari demam dengue.
TAHAP PERSIAPAN
Tahap persiapan dalam survailens epidemiologi penyakit demam berdarah merupakan
identifikasi faktor risiko DBD untuk menggambarkan tingkat risiko suatu wilayah, yang telah
diambil sebelum musim penularan DBD hingga mulai terjadinya kasus melalui kegiatan survey
cepat. Materi faktor risiko dibatasi pada faktor perilaku dan lingkungan, sedangkan faktor vector
(nyamuk) misalnya jarak terbang nyamuk, jenis nyamuk dan kepadatan nyamuk tidak
dimasukkan sebagai variable mengingat tingginya tingkat mobilitas penduduk memungkinkan
seseorang menderita DBD dari penularan nyamuk di daerah lain. Pada tahap pertama dihasilkan
peta stratifikasi faktor risiko DBD untuk masing-masing desa. Hasil dari tahap ini digunakan
untuk intervensi guna pengendalian faktor risiko sesuai hasil survey cepat. Materi penelitian
dianalisis berdasarkan unsur–unsure epidemiologi yaitu orang, tempat dan waktu, yang
ditampilkan dalam bentuk peta faktor risiko.
Implementasi
Dilakukan pendataan faktor risiko DBD melalui Rapid Survey pada saat menjelang
musim penularan untuk mendapatkan data terbaru untuk menentukan jenis intervensi sehingga
dapat dihasilkan peta faktor risiko, peta kasus dan peta kegiatan lain, dan dengan teknik over
layer dapat dilakukan perencanaan maupun evaluasi program pemberantasan.
TAHAP PENGUMPULAN DATA
Berdasarkan Ditjen PPM & PL Depkes RI (2005) dalam Leviana Erdiati (2009) bahwa
Pengumpulan dan pencatatan data dapat dilakukan yaitu :
1) Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan
penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima
puskesmas dapat berasal dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas
sendiri atau puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan
kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain – lain), dan hasil
penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah sakit / unit
pelayanan kesehatan lainnya).
2) Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan ‘Buku catatan
harian penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form
DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.
Berdasarkan penelitian sitepu dkk (2010) Pengumpulan data yang dilakukan dalam pelaksanaan
sistem surveilans DBD, yaitu Petugas di DKK Singkawang mengumpulkan. data kasus DBD
dari rumah sakit (RS) dengan cara dijemput langsung. Laporan dari RS akan ditabulasi untuk
diteruskan kepada masing-masing petugas di tingkat Puskesmas agar segera dilakukan
Penyelidikan Epidemiologi (PE).
Petugas surveilans lebih aktif dalam mengumpulkan data kasus DBD d a n menginformasikan
kepada petugas Puskesmas Petugas puskesmas melaksanakan active case finding di masyarakat
di sekitar tempat tinggal kasus.
TAHAP ANALISIS DAN INTERPRETASI
a. Analisis Data
Data yang terkumpul dari kegiatan surveilans epidemiologi diolah dan disajikan dalam
bentuk tabel situasi demam berdarah tiap puskesmas, RS maupun daerah. serta tabel endemisitas
dan grafik kasus DBD per minggu/bulan/tahun. Analisis dilakukan dengan melihat pola
maksimal-minimal kasus DBD, dimana jumlah penderita tiap tahun ditampilkan dalam bentuk
grafik sehingga tampak tahun dimana terjadi terdapat jumlah kasus tertinggi (maksimal) dan
tahun dengan jumlah kasus terendah (minimal). Kasus tertinggi biasanya akan berulang setiap
kurun waktu 3–5 tahun, sehingga kapan akan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat
diperkirakan. Analisis juga dilakukan dengan membuat rata–rata jumlah penderita tiap bulan
selama 5 tahun, dimana bulan dengan rata–rata jumlah kasus terendah merupakan bulan yang
tepat untuk intervensi karena bulanberikutnya merupakan awal musim penularan.
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan dipergunakan
untuk perencanaan,monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan penanggulangan
penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti rate, proporsi, rasio dan
lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi penyakit.
Dalam program pemberantasan DBD dikenal beberapa indikator yang diperoleh dari hasil
analisis data yaitu:
· Angka kesakitan / CFR (Case Fatality Rate) merupakan jumlah kasus DBD disuatu
wilayah tertentu selama 1 tahun tiap 100ribu penduduk.
· Angka kematian / IR (Insidence Rate) adalah banyaknya penderita DBD yang meninggal dari
seluruh penderita DBD di suatu wilayah.
· ABJ (Angka Bebas Jentik)/ Case fatality rate didefinisikan sebagai prosentase rumah yang
bebas dari jentik dari seluruh rumah yang diperiksa.
Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas kesehatan
Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes berperan dalam penyelenggaraan Surveilans Terpadu
Penyakit bersumber data Puskesmas (STP Puskesmas), Rumah Sakit (STP Rumah Sakit) dan
Laboratorium (STP Laboratorium).
- Unit surveilans Puskesmas
- Unit surveilans Rumah Sakit
- Unit surveilans Laboratorium
- Unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
- Unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi
- Unit surveilans Ditjen PPM&PL Depkes
b. Interpretasi
Disamping menghasilkan informasi untuk pihak puskesmas dan DKK, informasi juga
harus disebarluaskan kepada stakeholder yang lain seperti Camat dan lurah,lembaga swadaya
masyarakat, Pokja/Pokjanal DBD dan lain-lain. Penyabarluasan informasi dapat berbentuk
laporan rutin mingguan wabah dan laporan insidentil bila terjadi KLB.
Implementasi
Data surveilans DBD didapatkan dari Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2009 yang
disajikan dalam bentuk tabel, grafik yang menjelaskan penyebaran penyakit DBD di Indonesia.
Penyebaran kasus DBD dilihat dari tahun 1968 – 2009 di seluruh provinsi di Indonesia yang
disajikan dalam bentuk tabel. Dari data surveilans tersebut juga dapat dilihat Angka Insiden
( AI ) / Insident Rate ( IR ) berdasarkan 100.000 penduduk dari tahun 1968 – 2009. JIka terjadi
peningkatan kasus DBD tiap tahunnya maka harus dilakukan program pengendalian DBD dan
menjadi perhatian utama pada tingkat Kota/Kabupaten maupun Puskesmas.
Selain itu, dengan menggunakan data surveilans, Angka Insiden pada tahun 2009 di
setiap Provinsi dapat diketahui. Hasil analisi ini dapat disajikan menggunakan grafik sehingga
dapat diketahui Provinsi mana saja yang mengalami kasus DBD tertinggi maupun terendah.
Selain Analisis data surveilans DBD menurut tempat dan waktu, analisis juga dilakukan menurut
orang dengan menghitung Angka Insiden berdasarkan kelompok umur dan Jenis Kelamin. Dari
data yang ada, dapat dihitung pula Angka Kematian / Case Fatality Rate ( CFR ) berdasarkan
provinsi di Indonesia.
Jika data surveilans didapatkan dari laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan
pasien DBD di RS dari tahun 2004-2008 dan tidak diketahui jumlah rumah sakit yang
melaporkan dari tahun ke tahun, sehingga sulit menganalisis atau menginterpretasi data tersebut.
Dari data ini tampak cukup banyak pasien DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu dilakukan
validasi data apakah pasien rawat jalan adalah pasien kontrol pasca rawat inap saja atau pasien
lama diitambah dengan pasien baru.
Selain laporan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll. Analisis juga dapat menggunakan faktor-
faktor yang mempengaruhi kejadian DBD seperti perubahan iklim dapat memperpanjang masa
penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah luas geografinya, dengan
kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan populasinya rendah atau dengan infrastruktur
kesehatan masyarakat yang kurang. Selain perubahan iklim faktor risiko yang mungkin
mempengaruhi penularan DBD adalah faktor lingkungan, urbanisasi, mobilitas penduduk,
kepadatan penduduk dan transportasi.
Selain itu, laporan KLB yang didapatkan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll dapat digunakan untuk
analisis hubungannya dengan IR maupun CFR pada setiap provinsi. Yang kemudian hasil
analisis ini dapat digunakan sebagai landasan atau acuan Puskesmas, RS, Dinkes dll. Untuk
membuat upaya program pencegahan DBD.
TAHAP DISEMINASI DAN ADVOKASI
Tahap Diseminasi
Tahap disseminasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring & evaluasi,
koordinasi kajian, pengembangan dan diseminasi, serta pendidikan dan pelatihan bidang
surveilans epidemiologi (BBTKLPP, 2013). Yang mana hasil analisis dan interpretasi
didiseminasikan kepada orang-orang yang berkepentingan dan sebagai umpan balik (feedback)
agar pengumpulan data di masa yang akan datang menjadi lebih baik. Diseminasi berguna
kepada orang-orang yang mengumpulkan data, decision maker, orang-orang tertentu (pakar) dan
masyarakat. Pelaksanaan diseminasi dapat berupa buletin dan laporan, seminar, symposium serta
laporan (Isna, 2013).
Contohnya seperti yang tertera pada Buletin Jendela Epidemiologi tahap disseminasi
informasi yang telah dilakukan yaitu :
· Buletin Jendela Epidemiologi Vol.2 yang diterbitkan pada Agustus 2010 merupakan salah satu
bentuk disseminasi informasi surveilans epidemiologi pada penyakit DBD yang diterbitkan oleh
Kementerian Kesehatan RI.
· Laporan data berupa grafik dan tabel mengenai kejadian DBD yang bersumber dari penelitian,
Depkes RI dan WHO.
· Metode komunikasi/penyampaian informasi/pesan pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan
PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode
Communication for Behavioral Impact (COMBI).
Tahap Advokasi
Tahap advokasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring & evaluasi,
koordinasi pelaksanaan advokasi dan fasilitasi kejadian luar biasa, serta wabah dan bencana
(BBTKLPP, 2013). Advokasi dilakukan kepada Bupati / Walikota dan DPRD.
Contohnya seperti yang tertera pada Buletin Jendela Epidemiologi tahap advokasi yang telah
dilakukan yaitu :
· Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992,
bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat
yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus.
· Pada provinsi yang belum mencapai target dalam menurunkan AK maka dilakukan pelatihan
manajemen kasus terhadap petugas, penyediaan sarana dan prasarana untuk deteksi dini
dan penanganan yang tepat dan cepat.
TAHAP EVALUASI
Tahap evaluasi system surveilans merupakan suatu tahapan dalam surveilans yang
dilakukan secara sistematis untuk menilai efektivitas program. Hasil evaluasi terhadap data
system surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk perencanaan, penanggulangan khusus serta
program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan
perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi
maupun penilaian hasil kegiatan.
Setiap program surveilans sebaiknya dinilai secara periodic untuk mengevaluasi
manfaatnya. Sistem atau program tersebut dikatakan dapat berguna apabila secara memuaskan
memenuhi paling tidak salah satu dari pernyataan berikut :
- apakah kegiatan surveilans dapat mendeteksi kecenderungan yang mengidentifikasi perubahan
dalam kejadian kasus penyakit,
- apakah program surveilans dapat mendeteksi epidemic kejadian penyakit di wilayah tersebut,
- apakah kegiatan surveilans dapat memberikan informasi tentang besarnya morbiditas dan
mortalitas yang berhubungan dengan kejadian penyakit di wilayah tersebut,
- apakah program surveilans dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang berhubungan
dengan kejadian penyakit, dan
- apakah program surveilans tersebut dapat menilai efek tindakan pengendalian (Arias, 2010).
Seperti contoh kasus DBD, surveilans epidemiologi untuk kasus DBD ini juga memiliki
tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Hingga diakhir tahapan dilakukannya evaluasi dari
system surveilans epidemiologi DBD tersebut.
Berdasarkan pemaparan pada bulletin Jendela Epidemiologi DBD tersebut, data hasil
surveilans DBD seperti angka kejadian DBD tertinggi tahun 2009 terdapat pada daerah DKI
Jakarta. Sehingga, perlu dilakukannya evaluasi serta peningkatan yang lebih signifikan lagi
dalam program-program pemberantasan kasus DBD di provinsi tersebut. Seperti, program
pengendalian vektor DBD. Program tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode yakni :
é Pengendalian Biologis (pengendalian jumlah predator vector untuk mengendalikan jumlah vektor
DBD)
é Pengendalian kimiawi (melalui penggunaan insektisida)
é Perlindungan individu (penggunaan repellent, penggunaan pakaian yang menguran gigigitan
nyamuk)
é Partisipasi masyarakat
é Peraturan Perundangan (bahwa pengendalian DBD juga memerlukan peran serta masyarakat
bukan hanya dari sector kesehatan).
Dengan adanya evaluasi program-program kesehatan yang telah dilakukan diharapkan dapat
lebih mengefektifkan serta mengefisienkan program pengendalian kasus DBD. Sehingga,
program pengendalian yang dilakukan tidak hanya sia-sia dan dapat bermanfaat khususnya
dalam menurunkan jumlah kejadian kasus DBD di daerah setempat.
CONTOH SAJIAN DATA SURVEILANS DBD
Angka Insiden
Dari Gambar di bawah ini tampak siklus epidemik terjadi setiap sembilan-sepuluh tahunan,
hal ini terjadi kemungkinan karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap
kehidupan vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Faktor perilaku dan
partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang
sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD
semakin mudah dan semakin luas.
Dalam lima tahun terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi dapat dilihat pada
Gambar. Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan
DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena
pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang
lebih baik disbanding daerah lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih
luas. Berbeda dengan Kaltim yang penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS 2005
kepadatan penduduk Kalimantan Timur hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta 13.344 orang/km2).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan
adalah karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang
menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembang biak.
Berdasarkan AI suatu daerah dapat dikategorikan termasuk dalam risiko tinggi, sedang dan rendah yaitu risiko tinggi bila AI > 55per 100.000 penduduk, risiko sedang bila AI 20-55 per 100.000 penduduk danrisiko rendah bila AI <20 per 100.000 penduduk. Dari Gambar 3 di atas terlihat dari tahun 2005 hingga 2009, jumlah provinsi yang berisiko tinggi (high risk) meningkat dan terjadi perubahan. Misalnya pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali masuk sebagai daerah risiko tinggi dimana pada tahun ini terjadi epidemik (Gambar 1). Tetapi pada tahun 2009 terjadi perubahan dimana provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masuk dalam resiko tinggi.
Angka Kematian
Contoh sajian data angka kematian akibat penyakit DBD di setiap Provinsi pada tahun 2009
Dari grafik di atas pada tahun 2009, provinsi dengan Angka Kematian tertinggi karena DBD
adalah Bangka Belitung (4,58%), Bengkulu (3,08%) dan Gorontalo (2,2%). Provinsi yang angka
kematian tidak ada adalah Sulawesi Barat. Tetapi sebagian besar provinsi atau 19 provinsi
(61,3%) belum mencapai target CFR < 1%, maka dari itu setiap pemerintah provinsi harus lebih
mencanangkan penanggulangan dan pemberantasan penyakit DBD.
Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD
Jumlah kasus KLB DBD yang dilaporkan pada tahun 1998 – 2009 tampak berfluktuasi.
Demikian juga dengan jumlah provinsi dan kabupaten yang melaporkan KLB DBD dari tahun
1998 – 2009 tampak berfluktuasi. Tampak pada tahun 1998 dan 2004 jumlah kab/kota
melaporkan kejadian KLB DBD paling tinggi yaitu 104 kab/kota dan 75 kab/kota. Pada tahun
tersebut juga dilaporkan jumlah kasus DBD mengalami peningkatan. Tahun 1998 kasus KLB
menyumbang 58% (41.843/72.133) dari total laporan kasus DBD, sedangkan tahun 2004 kasus
KLB hanya menyumbang 9,5% (7.588/79.462) dari kasus DBD. Setelah tahun 2004 AI dan
kasus absolut DBD terus meningkat namun laporan kasus KLB dan jumlah kab/kota yang
melaporkan KLB terus menurun. Hal ini apakah karena adanya keengganan melaporkan
terjadinya KLB DBD oleh pemerintah daerah atau karena lemahnya sistem pelaporan KLB,
untuk mengetahuinya perlu diteliti lebih lanjut.
Pada Gambar di bawah ini, tampak AK pada KLB setelah tahun 1999 mulai tampak mengalami
penurunan, namun umumnya masih diatas 1 persen, kecuali pada tahun 2002, 2007 dan 2008.
Pada tahun 2009 AK meningkat di atas 1 persen, setelah mengalami penurunan yang signifikan
pada tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 jumlah kasus KLB yang dilaporkan lebih rendah
dari tahun 2008 (lihat Gambar). Hal ini perlu menjadi perhatian dan diteliti faktor-faktor yang
mempengaruhi, sehingga dapat diketahui upaya pencegahannya dan dilakukan tindak lanjut.
Sajian Data di Rumah Sakit
Laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan pasien DBD di RS dari tahun 2004-2008
tidak diketahui jumlah rumah sakit yang melaporkan dari tahun ke tahun, sehingga sulit
menganalisis atau menginterpretasi data tersebut. Dari data ini tampak cukup banyak pasien
DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu dilakukan validasi data apakah pasien rawat jalan
adalah pasien kontrol pasca rawat inap saja atau pasien lama diitambah dengan pasien baru. Dari
data ini tampak peringkat kematian DBD (menurut 50 peringkat kematian), tidak termasuk
dalam 10 besar penyebab kematian. Berdasarkan laporan yang bersumber dari Ditjen.PP&PL
dan laporan yang bersumber dari Ditjen.Yanmed tampak perbedaan jumlah kasus DBD yang
dilaporkan. Hal ini kemungkinan karena sistem laporan DBD belum terintegrasi dan belum ada
mekanisme tukar menukar (sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota.
No Tahun Rawat jalan Rawat inap 50 peringkat kematian
Lk Pr Total Lk Pr Total
1 2004 13.960 12.536 26.496 26.420 23.321 49.741 192 2005 23.041 19.866 42.907 40.913 36.626 77.539 303 2006 22.699 20.905 43.604 42.312 39.080 81.392 204 2007 27.226 28.120 55.346 42.603 38.172 80.775 275 2008 4.467 4.214 8.681 47.334 43.132 90.466
1. Suspek Infeksi Dengue ditegakkan bila terdapat 2 kriteria yaitu: a. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari, dan b. Adanya manifestasi perdarahan : sekurang-kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif.2. Demam Dengue ialah demam disertai 2 atau lebih gejala penyerta seperti sakit kepala, nyeri di belakang bola mata, pegal, nyeri sendi (athralgia), ruam (rash). Adanya manifestasi perdarahan, leucopenia (lekosit < 5000/mm3) jumlah trombosit < 150.000/mm3 dan peningkatan hematokrit 5-10%.3. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam 2-7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, jumlah trombosit < 100.000/mm3, adanya tanda-tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit > 20% dari nilai normal, dan atau efusi pleura, dan atau ascites, dan atau hypoproteinemia/hipoalbuminemia).4. Sindrom Renjatan Dengue (SRD/DSS) adalah kasus DBD yang masuk dalam derajat III dan IV dimana terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (< 20 mmHg) atau hipotensi yang ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah sampai terjadi syok/renjatan berat (tidak terabanya denyut nadi maupun tekanan darah).5. Expanded Dengue Syndrom (EDS) adalah demam dengue yang disertai manifestasi klinis yang tidak biasa (unusual manifestation) yang ditandai dengan kegagalan organ berat seperti hati, ginjal, otak dan jantung.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan masalah yang telah dibuat, dapat diambil kesimpulan bahwa
fogging merupakan salah satu upaya untuk memberantas nyamuk yang merupakan vektor penyakit
demam berdarah sehingga rantai penularan penyakit dapat diputuskan. Selain fogging juga dapat
dilakukan abatisasi, yaitu penaburan abate dengan dosis 10 gram untuk 100 liter air pada tampungan air
yang ditemukan jentik nyamuk. Penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam PSN ( Pemberantasan
Sarang Nyamuk ) dengan 3M, yaitu :
· Menguras
· Menutup tampungan air, dan
· Mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk juga dapat menjadi cara untuk memberantas DBD.
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam mengobati penyakit DBD diantaranya yaitu:
· Mengatasi perdarahan.
· Mencegah keadaan syok.
· Menambah cairan tubuh dengan infus.
Untuk mencegah DBD, dapat dilakukan dengan cara menghindari gigitan nyamuk pada waktu
pagi hingga sore hari dengan cara mengoleskan lotion anti nyamuk.
DAFTAR PUSTAKA
http://alviescoot.blogspot.com/2014/09/makalah-penyakit-demam-berdarah-dbd.html
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=148812&val=5502
http://www.academia.edu/32818281/GAMBARAN_PELAKSANAAN_SURVEILANS_DBD_Studi_di_Puskesmas_Siantan_Tengah_Kecamatan_Pontianak_Utara_Tahun_2015
https://www.chp.gov.hk/files/pdf/ol_dengue_fever_indonesian_version.pdf