referat isi dm ckd ok

63
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di antara penyakit degenerative atau penyakit yang tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa yang akan mendatang, diabetes adalah salah satu di antaranya. Peningkatan prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang adalah akibat dari peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degenerative seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, dll. Data epidemiologis Negara berkembang masih belum banyak, oleh karena itu angka prevalensi yang dapat di telusuri terutama berasal dari Negara maju. 1 WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik,diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar113 juta jiwa, dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Diabetes Melitus (DM) jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan

Upload: endahwm

Post on 16-Nov-2015

233 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

j

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDi antara penyakit degenerative atau penyakit yang tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa yang akan mendatang, diabetes adalah salah satu di antaranya. Peningkatan prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang adalah akibat dari peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degenerative seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, dll. Data epidemiologis Negara berkembang masih belum banyak, oleh karena itu angka prevalensi yang dapat di telusuri terutama berasal dari Negara maju.1WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita NonInsulinDependentDiabetesMellitus(NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik,diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun adalah sebesar113jutajiwa,denganprevalensiDMpadadaerahurbansebesar14,7%dandaerahrural sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Diabetes Melitus (DM) jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf, dll.2Gagal ginjal kronik atau cronic kidney disease merupakan salah satu komplikasi berat yang terjadi pada penderita DM. MenurutdatadariWHO,Indonesia termasuk dalamurutanke-4 sebagai negara denganpenderita gagalginjal kronik terbanyak yang jumlahnyamencapai 16 juta jiwa. Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal mengalami penurunan yang signifikan. Sehingga,keadaaninimemerlukanterapi pengganti seperti cuci darah maupun transplantasi ginjal yang memerlukan biayabesar. Dengan penatalaksanaan yang cepat dapat mencegah atau menghilangkan komplikasi serta menghambat prgresifitas sehingga menjadi gagal ginjal.3

BAB II PEMBAHASAN2.1 DefinisiDiabetes Melitus Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. 4Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible dan pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.5,6,7

Tabel 1. Kriteria penyakit ginjal kronik1.Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : kelainan patologis terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2.Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sana atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2 tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik.6,7

2.2 EpidemiologiWorld Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratuhr. Beberapa dari penderita diabetes juga telah mengalami komplikasi salah satu komplikasi terbanyak adalah penyakit ginjal konik.3 (ferdi) Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya.6 World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sebanyak 155 juta penduduk dunia pada tahun 2002 mengidap penyakit ginjal kronik dan diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat hingga melebihi angka 200 juta pada tahun 2025.7 Survei yang dilakukan oleh Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada tahun 2009 menyatakan prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%.82.3 Etiologi dan Klasifikasi2.3.1 Penyakit Ginjal KronikUmumnya gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsik difus dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan gagal ginjal kronik. Umumnya penyakit diluar ginjal, misal nefropati obstruktif dapat menyebabkan kelainan ginjal instrinsik dan berakhir dengan gagal ginjal kronik.6Glomerulonefritis, hipertensi esensial dan pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari gagal ginjal kronik, kira-kira 60%. Gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20%. Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus, seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Laki-laki lebih sering dari wanita, umur antara 20-40 tahun. Sebagian besar pasien relatif muda dan merupakan calon utama untuk transplantasi ginjal. Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit sistem (glomerulonefritis sekunder) seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amiloidosis sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis, artritis reumatoid dan mieloma.6Penyakit ginjal hipertensi (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10 %. Pada orang dewasa gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel, nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat.Nefritis interstisial menunjukkan kelainan histopatologi berupa fibrosis dan reaksi inflamasi atau radang dari jaringan interstisial dengan etiologi yang banyak. Kadang dijumpai juga kelainan-kelainan mengenai glomerulus dan pembuluh darah. Nefropati asam urat menempati urutan pertama dari etiologi nefritis interstisial.6Pehimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2012 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, dikelompokan menjadi diantaranya glomerulopati primer, nefropati diabetika, nefropati lupus/SLE, penyakit ginjal hipertensi, ginjal polikistik, nefropati asam urat, lain-lain dan penyebab yang tidak diketahui.9Tabel 2. Penyebab Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia8

PenyebabInsiden

Penyakit ginjal hipertensiNefropati diabetikaGlomerulopati primerNefropati obstruksiPielonefritis kronisLain-lainTidak diketahui35%26%12%8%7%6%2%

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, berdasarkan derajat (stage) penyakit dan berdasarkan diagnosis etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG (Laju Filtrasi Glomerulus), yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockkcroft-Gault sebagai berikut6:LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) x berat badan *)72 x kreatinin plasma (mg/dl)*) pada perempuan dikalikan 0,85Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit6,7

DerajatPenjelasanLFG (ml/menit/1,73 m2)

1Kerusakan ginjal dengan FLG normal atau> 90

2Kerusakan ginjal dengan FLG ringan 60 - 89

3Kerusakan ginjal dengan FLG sedang30 - 59

4Kerusakan ginjal dengan FLG berat15 - 29

5Gagal Ginjal< 15 atau dialisis

Tabel 4. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi5,6

Penyakit ginjal diabetes Penyakit ginjal non diabetesDiabetes Mellitus tipe 1 dan 2

Penyakit glomerular(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)Penyakit vaskular(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)Penyakit tubulointerstitial(pieloneftritis kronik, batuk, obstruksi, keracunan obat)Penyakit kistik(ginjal polikstik)

Penyakit pada transplantasiRejeksi kronikKeracunan obat (sikloporin/takrolimus)Penyakit recurrent (glomerular)Transplant glomerulopathy

Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik sebagai berikut :1. Penurunan cadangan faal ginjal ( LFG = 40 75 %)Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih dapat dipertahankan normal. Masalah ini sesuai dengan konsep intac nephron hypothesis. Kelompok pasien ini sering ditemukan kebetulan pada laboratorium rutin.

1. Insufisiensi renal (LFG = 20 50 %)Pasien GGk pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun sudah memperlihatkan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan retensi azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia (penurunan HCT) dan hiperurikemia. Pasien pada tahap ini mudah terjun ke sindrom acute on chronic renal failure artinya gambaran klinik gagal ginjal akut (GGA) pada seorang pasien gagal ginjal kronik (GGK), dengan faktor pencetus (triger) yang memperburuk faal ginjal (LFG) Sindrom ini sering berhubungan dengan faktor-faktor yang memperburuk faal ginjal (LFG).Sindrom acute on chronic renal failure ditandai dengan oliguria, tandatanda overhidrasi (bendungan paru, bendungan hepar, kardiomegali), edema perifer (ekstrimitas & otak), asidosis, hiperkalemi, anemia dan hipertensi berat.1. Gagal ginjal (LFG = 5 25 %)Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata yaitu anemia, hipertensi, overhydration atau dehidrasi, kelainan laboratorium seperti penurunan HCT, hiperurikemia, kenaikan ureum dan kreatinin serum, hiperfosfatemia, hiponatremia dilusi atau normonatremia, kalium K+ serum biasanya masih normal.1. Sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5 %)Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik sangat komplek dan melibatkan banyak organ (multi organ).102.3.2 Fungsi Ginjal Sebagai Keseimbangan Asam Basa14Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter penting, yaitu, volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankankeseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urin sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengekskresi ion hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.

Keseimbangan Cairan dan ElektrolitPengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter penting, yaitu:volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairanekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairanekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankankeseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

1. Pengaturan volume cairan ekstraselPenurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri denganmenurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapatmenyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma.Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangkapanjang. Pengaturan volume cairan ekstrasel dapat dilakukan dengan cara sbb.:a. Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake & output) airuntuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus adakeseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini terjadikarena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkunganluarnya. b. Memperhatikan keseimbangan garamSeperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankansehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseoranghampir tidak pernah memperhatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuaidengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranyadan cenderung lebih dari kebutuhan.Kelebihan garam yang dikonsumsi harusdiekskresikan dalam urin untuk mempertahankan keseimbangan garam.Ginjal mengontrol jumlah garam yang diekskresi dengan cara:1. Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju FiltrasiGlomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate(GFR).2. Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal Jumlah Na+ yang direabsorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri .

Selain sistem renin-angiotensin-aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atauhormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi olehsel atrium jantung jika mengalami distensi akibat peningkatan volume plasma.Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urinsehingga mengembalikan volume darah kembali normal.

2. Pengaturan osmolaritas cairan ekstraselOsmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatularutan. Semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakinrendah konsentrasi air dalam larutan tersebut. Air akan berpindah dengan cara osmosisdari area yang konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yangkonsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah).Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menembusmembran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium merupakan solut yang banyakditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukanaktivitas osmotik cairan ekstrasel. Sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kaliumbertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yangtidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion inibertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan melalui:a. Perubahan osmolaritas di nefron Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di duktus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal ( 300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars desending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik. Dinding tubulus ansa henle pars asenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsorbsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadihipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasibergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urin yang dibentuk diduktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantungpada ada tidaknya vasopresin/ ADH.

b. Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic hormone/ ADH)Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan merangsang osmoreseptordi hypothalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypothalamus yangmenyintesis vasopressin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalamdarah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. Ikatan vasopressindengan resptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air dimembrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukan aquaporin ini memungkinkanterjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urin yang terbentuk diduktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalamtubuh tetap dapat dipertahankan. Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypothalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypothalamus sehingga terbentuk perilaku untuk mengatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal. Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan ElektrolitSebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan olehsystem saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahankeseimbangan cairan dan elektrolit melali baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotiikus,osmoreseptor di hypothalamus, dan volumereseptor atau reseptor regang di atrium.Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalamikekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ ADH denganmeningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volumecairan tubuh, maka hormone atripeptin (ANP) akan meningkatkan ekskresi volumenatrium dan air . Perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan. Sebagai contoh Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit diantaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stress, dan penyakit.

Keseimbangan Asam-BasaKeseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan pengaturan konsentrasi ion H bebasdalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4, pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35.Jika pH darah < 7,35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah > 7,45 dikatakan alkalosis. Ion Hterutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyuakan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:1. pembentukan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H danbikarbonat2. katabolisme zat organik3. disosiasi asam organic pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolismelemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasimelepaskan ion H.

Fluktuasi konsentrasi ion h dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:1. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat,sebalikny pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.2. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh.3. mempengaruhi konsentrasi ion K

Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H sepertinilai semula dengan cara:1. mengaktifkan sistem dapar kimia2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernapasan3. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan

Ada 4 sistem dapar kimia, yaitu:1. Dapar bikarbonat, merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel teutama untukperubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat.2. Dapar protein, merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel.3. Dapar hemoglobin, merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asamkarbonat.4. Dapar fosfat, merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementera. Jika dengandapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akandilanjutkan oleh paru-paru yang berespons secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akibat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernapasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan mensekresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan ammonia.

Ketidakseimbangan asam-basaAda 4 kategori ketidakseimbangan asam-basa, yaitu:1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi. PembentukanH2CO3 meningkat, dan disosiasi asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H.2. Alkalosis respiratori, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan akibathiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga pembentukan ion H menurun.3. Asidosis metabolik, asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru.Diare akut, diabetes mellitus, olahraga yang terlalu berat, dan asidosis uremia akibatgagal ginjal akan menyebabkan penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion Hbebas meningkat.4. Alkalosis metabolik, terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena defisiensiasam non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat. Hal ini terjadikarena kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum obat-obat alkalis.Hilangnya ion H akan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk menetralisirbikarbonat, sehingga kadar bikarbonat plasma meningkat. Untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan asam-basa tersebut, fungsi pernapasan dan ginjal sangat penting.

2.3.3 Diabetes MelitusKlasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005, yaitu11 :1. Diabetes Melitus Tipe 1DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.

2. Diabetes Melitus Tipe 2DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.3. Diabetes Melitus Tipe laina. Defek genetik pada fungsi sel betab. Defek genetik pada kerja insulinc. Penyakit eksokrin pankreasd. Endokrinopatie. Diinduksi obat atau zat kimiaf. Infeksig. Imunologi

4. DM GestasionalKLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI 1998

DM GESTASIONALDM TIPE LAIN :1. Defek genetik fungsi sel beta :Maturity onset diabetes of the youngMutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain2. Penyakit eksokrin pankreas :PankreatitisPankreatektomy3.Endokrinopati : akromegali, cushing, hipertiroidisme4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme5.Akibat virus: CMV, Rubella6.Imunologi: antibodi anti insulin7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, KlinefelterDM TIPE 2 :Defisiensi insulin relatif :1, defek sekresi insulin lebih dominan daripada resistensi insulin.2. resistensi insulin lebih dominan daripada defek sekresi insulin.

DM TIPE 1:Defisiensi insulin absolut akibat destuksi sel beta, karena:1.autoimun2. idiopatik

A

Gambar 1. Klasifikasi diabetes melitus menurut Perkeni2.4 Patofiologi2.4.1 Penyakit Ginjal KronikPatofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya.2 Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional pada nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.6,10 Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron) intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, skelrosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksi renin angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, disiplidemia.11 Terdapat variabilitas interinvidual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.6,10,11Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadinya kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang di tandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan.2,6 Sampai pada LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme, fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15%, akan terjadi komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tranplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.6

2.4.2 Diabetes MelitusTubuh manusia membutuhkan energi agar dapat berfungsi dengan baik. Energi tersebut diperoleh dari hasil pengolahan makanan melalui proses pencernaan di usus. Di dalam saluran pencernaan itu, makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan tersebut. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan tersebut akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan akan diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan sebagai bahan bakar. Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar. Pengeluaran insulin tergantung pada kadar glukosa dalam darah. Kadar glukosa darah sebesar > 70 mg/dl akan menstimulasi sintesa insulin. Insulin yang diterima oleh reseptor pada sel target, akan mengaktivasi tyrosin kinase dimana akan terjadi aktivasi sintesa protein, glikogen, lipogenesis dan meningkatkan transport glukosa ke dalam otot skelet dan jaringan adipose dengan bantuan transporter glukosa (GLUT 4).InkretinSuatu hormone yang diproduksi di usus ( jejunum dan ileum) akibat adanya makanan dalam usus dan dilepaskan ke darah dengan tujuan respon insulin menjadi lebih intensif.Respon lebih intensif karena : Adanya proliferasi dan peningkatan massa sel Pankreas Menghambat apoptosis sel Mensupresi pelepasan glukagon sel . 1

Patofisiologi DM tipe 1Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian sel beta pancreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meski rinciannya masih samar. Pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan biasanya memulai proses ini pada individu dengan kerentanan genetik. Infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu tetapi agen non infeksius juga dapat terlibat. Ketiga, dalam rangkaian respon peradangan pankreas, disebut insulitis. Sel yang mengifiltrasi sel beta adalah monosit atau makrofag dan limfosit T teraktivasi. Keempat, adalah perubahan atau transformasi sel beta sehingga tidak dikenali sebagai sel sendiri, tetapi dilihat oleh sistem imun sebagai sel. Kelima, perkembangan respon imun karena dianggap sel asing terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja bersama-sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.Patofisiologi DM tipe 2Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologis. Sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Ada tiga fase normalitas. Pertama glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi urin karena kadar insulin meningkat. Kedua, resistensi insulin cenderung menurun sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa bentuk hiperglikemia. Pada diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin normal, malah mungkin banyak, tetapi jumlah reseptor pada permukaan sel yang kurang. Dengan demikian, pada DM tipe 2 selain kadar glukosa yang tinggi, terdapat kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Penyebab resistensi insulin sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor berikut ini turut berperan : Obesitas terutama sentral. Diet tinggi lemak rendah karbohidrat. Tubuh yang kurang aktivitas. Faktor keturunan.Baik pada DM tipe 1 atau 2, jika kadar glukosa dalam darah melebihi ambang batas ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urine.Pada DM tipe II, jumlah insulin normal atau mungkin jumlahnya banyak, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat dalam permukaan sel berkurang. Akibatnya glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat (Suyono, 2002).

DM TIPE II. 11Gangguan reseptor insulin

Insulin darah tinggi tapi glukosa darah juga tinggi

Gula intrasel rendah Nafsu makan meningkat

Merangsang sel Pankreas terus berproduksi

Kerusakan sel Pankreas

Insulin darah rendah

Failed counter pada glukagon

Glukagon meningkat

Hepato Glucos Production meningkat

Gula darah meningkatGambar 2. Patofisiologi DM tipe II

2.5 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik Akibat Diabetes MelitusPenyebab pasti dari nefropati diabetik belum diketahui namun berbagai macam studi mengatakan hal tersebut karena hiperglikemia yang memicu terjadinya hiperfiltrasi dan kerusakan pada ginjal, kelanjutan glikosilasi, dan aktivasi dari sitokin. Adanya pengontrolan terhadap glukosa darah menunjukan keseimbangan antara asupan atau intake, glukoneogenesis, penggunaan pada jaringan atau penyimpanan sebagai glikogen atau lemak dan oksidasinya. Keseimbangan ini diatur lewat produksi insulin oleh sel beta pada pankreas. Insulin mengatur serum glukosa di hati, otot skelet, dan jaringan lemak. Ketika terjadi resistensi insulin, insulin tidak dapat lagi melakukan glukoneogenesis di hepatik dan menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Sementara itu resistensi insulin menyebabkan terjadinya peningkatan lipolisis pada jaringan adipose dan otot skelet yang akan menyebabkan terjadinya hiperlipidemia. Ketika terjadi resistensi insulin, pankreas berusaha ntuk meningkatkan pengeluaran insulin yang mengakibatkan stres pada sel beta. Tingginya kadar glukosa dan asam lemak menjadi mediator inflamasi yang mengaktifkan innate immunity pada seseorang.9 Hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari ekspresi Transforming Growth Factor (TGF- ) pada glomerulus dan matriks protein serta adanya Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berkontribusi terhadap hipertrofi dan meningkatkan sintesis kolagen serta menginduksi perubahan vaskular pada seorang dengan nefropati diabetik. Hiperglikemia juga mengaktivasi protein C kinase yang berkontribusi terhadap penyakit ginjal dan berbagai komplikasi vaskular dari diabetes.13Terdapat 3 perubahan histologi mayor utama pada glomerulus seorang dengan nefropati diabetik:1. Ekspansi dari mesangial yang langsung diinduksi oleh hiperglikemia, diperkirakan melalui peningkatan produksi matriks atau glikosilasi dari protein matriks.2. Penebalan dari membran basalis glomerulus terjadi.3. Terjadi sklerosis dari glomerulus akibat hipertensi (diinduksi oleh dilatasi dari arteri aferen renalis atau dari kerusakan atau iskemia yang diinduksi oleh penipisan hialin dari pembuluh darah yang menyuplai ke glomerulus)

Ketiga perbedaan pola histologi ini memiliki signifikansi nilai prognostik yang sama. Perubahan pada glomerulopati diabetik ini akibat adanya penimbunan dari matriks ekstraseluler. Perubahan morfologi paling awal pada nefropati diabetik ini adalah penebalan dari membran basalis glomerulus dan ekspansi dari mesangium selama terjadi akumulasi dari matriks ekstraseluler. Derajat dari glomerulopati diabetik ini diperkirakan melalui penebalan dari membran basalis perifer, mesangium, serta ekspresi dari matriks atau sama dengan fraksi atas ruang yang sesuai (volum fraksi dari mesangium/, matriks /mesangium, atau matriks/glomerulus).9 Glomerulus dan ginjal biasanya normal atau mengalami pembesaran ukuran pada nefropati diabetik Selain itu adanya perubahan hemodinamik, pasien dengan nefropati diabetik biasanya mengalami hipertensi sistemik. Hipertensi adalah faktor utama pada seluruh penyakit ginjal progresif terutama untuk nefropati diabetik. Efek dari hipertensi mempengaruhi vaskularisasi ataupun mikrovaskularisasi. Hipertensi yang berhubungan dengan obesitas, sindroma metabolik, dan diabetes memiliki peran penting terhadap patogenesis dari nefropati diabetik. Obesitas sentral, sindroma metabolik, dan diabetes memicu terjadinya peningkatan tekanan darah. Obesitas sentral menginduksi terjadinya hipertensi melalui peningkatan reabsorbsi dari natrium pada tubulus renalis dan menyebabkan terjadinya hipertensi renalis dan natriuresis melalui berbagai mekanisme, termasuk pengaktifan dari sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS) yang dapat menyebabkan terjadinya kompresi fisik dari ginjal. Hipertensi juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari tekanan kapiler intraglomerular dan kelainan metabolik (dislipidemia dan hiperglikemia) saling berinteraksi untuk menyebabkan terjadinya kerusakan pada ginjal. Seperti obesitas yang berhubungan dengan hiperfiltrasi glomerulus, vasodilatasi renalis, penurunan nilai LFG, peningkatan tekanan kapiler intraglomerular, dan peningkatan tekanan darah menjadi karakteristik dari nefropati diabetik. Peningkatan tekanan darah sistolik memiliki eksaserbasi dari progresivitas proteinuria dan penurunan dari LFG yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal kronik stadium akhir (gagal ginjal kronik).13

2.6 Etilogi yang menyebabkan CKD pada penderita DM121. HiperglikemiaEfek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF- yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Pada awalnya glukosa akan mengikat residu asam amino secara non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentukAdvanced Glycation End Product(AGEs) yang ireversibel

2. Mikrongiopati menyebabkan kerusakan pembuluh darah perifer pada ginjal oleh gula darah tinggi yang akan mengakibatkan kerusakan glomerulus menjadi glomerulopati yang nantinya akan membuat kerja ginjal semakin berat sehingga terjadi gagal ginjal kronik 3. Glikolisasi Non EnzimatikHiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products). Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka panjang akan merusak membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan merusak seluruh glomerulus.4. PolyolpathywayDalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran utama dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah meningkat maka sorbitol akan meningkat dalam sel ginjal dan akan mengakibatkan kurangnya kadar mioinositol, yang akan mengganggu osmoregulase sel sehingga sel itu rusak.5. GlukotoksisitasKonsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam perkembangan nefropati diabetik studi tentang sel ginjal dan glomerulus yang disolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah penimbunan matriks ekstraselular sehingga dapat terjadi nefropati diabetik.6. MikroalbuminuriaLaju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.7. Kelainan glomerulusKelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria.8. ProteinuriaProteinuria merupakan predictor independent dan kuat dari penurunan fungsi ginjal baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya. Adanya hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang berlangsung lama dan berlebihan akan menyebabkan kerusakan tubulo-intertisiel dan progresifitas penyakit. Bila reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi akumulasi protein dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti endotelin I, osteoponin, dan monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Factor factor ini akan merubah ekspresi dari pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan infiltrasi sel mononuclear, menyebabkan kerusakan dari tubulointertisiel dan akhirnya terjadi renal scarring dan insufis

Diubah menjadi sorbitolPerubahan fungsional jaringan

Uptake mio-inositol intra sel menurunAktifitas K+, Na+, ATPase menurunSel bengkak

Difusi cairan ke intra selTekanan osmotik meningkatAkumulasi sorbitol intra selHiperglikemiaGlukosa inrtrasel meningkat

Gambar 3. Patofisiologi disfungsi sel pada hiperglikemi Hiperglikemia terhadap aktifnya protein kinase CHiperglikemia

Mengaktifkan jalur protein kinase C

Permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat Peningkatan pH intrasel Peningkatan proliferase dan vaskularisasi Perangsangan sintesis kolagen membran basal Rangsangan perubahan ekpresi gen

Disfungsi endotel

Gambar 4. Patofisologi disfungsi endotel pada hiperglikemi

Gambar 5. Patofisiologi penyakit ginjal diabetikum2.7 Penegakan Diagnosa CKDPendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari gambaran klinis, laboratorium, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaran histopatologis serta biopsi.5,6Tabel 5. Gambaran Klinis Penyakit Ginjal KronikGejalaPemeriksaan Fisik

Kelelahan , lemahan, malaise, insomniaKelemahan otot, kehilangan tonus otot, penurunan rentang gerak

Nyeri dadaNadi kuat, pitting pada kaki, distrimia jantung, pucat

Faktor stess Ansietas, takut, perubahan kepribadian

Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuriaPerubahan warna urin

Peningkatan berat badan cepat (edema), malnutrisiDistensi abdomen, perubahan turgor, edema

Sakit kepala, pengelihatan kabur, kesemutanKejang, ketidak mampuan berkonsentrasi

Nyeri panggulDistraksi, gelisah

Nafas pendek, batuk tanpa sputumTakipnea, dispnea

Kulit gatalPruritus, dermatitis

Tabel 6. Manifestasi Sindrom UremikSistem tubuhManifestasi

Biokimia Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L) Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN, kreatinin) Hiperkalemia Retensi atau pembuangan Natrium Hipermagnesia Hiperurisemia

Perkemihan& Kelamin Poliuria, menuju oliguri lalu anuria Nokturia, pembalikan irama diurnal Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010 Protein silinder Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas

Kardiovaskular Hipertensi Retinopati dan enselopati hipertensif Beban sirkulasi berlebihan Edema Gagal jantung kongestif Perikarditis (friction rub) Disritmia

Pernafasan Pernafasan Kusmaul, dispnea Edema paru Pneumonitis

Hematologik Anemia menyebabkan kelelahan Hemolisis Kecenderungan perdarahan Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK, pneumonia,septikemia)

Kulit Pucat, pigmentasi Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan dengan kehilangan protein) Pruritus kristal uremik kulit kering memar

Saluran cerna Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB Nafas berbau amoniak Rasa kecap logam, mulut kering Stomatitis, parotitid Gastritis, enteritis Perdarahan saluran cerna Diare

Metabolisme intermedier Protein-intoleransi, sintesisi abnormal Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun Lemak-peninggian kadar trigliserida

Neuromuskular Mudah lelah Otot mengecil dan lemah Susunan saraf pusat : Penurunan ketajaman mental Konsentrasi buruk Apati Letargi/gelisah, insomnia Kekacauan mental Koma Otot berkedut, asteriksis, kejang Neuropati perifer : Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg Perubahan sensorik pada ekstremitas parestesi Perubahan motorik foot drop yang berlanjut menjadi paraplegi

Gangguan kalsium dan rangka Hiperfosfatemia, hipokalsemia Hiperparatiroidisme sekunder Osteodistropi ginjal Fraktur patologik (demineralisasi tulang) Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru) Konjungtivitis (uremik mata merah)

Tabel 7. Gambaran LaboratoriumPemeriksaan Laboratorium Hasil

HEMATOLOGI

Darah lengkap

Laju endap darah Meningkat

Leukosit Leukositosis

Eritrosit Menurun

Hemoglobin Anemia

Hematokrit Menurun

Indeks eritrosit

MCV Normal

MCHNormal

MCHCNormal

TrombositNormal

KIMIA KLINIK

TP, ALB, GLOB

Protein totalMenurun

AlbuminHipoalbuminemia

GlobulinHiperglobulinemia

FUNGSI HATI

SGOT (AST)Normal

SGPT (ALT)Normal

Alkali phospatMeningkat

BILI. TOTAL, DIREK, INDIREK

Bilirubin totalNormal

Bilirubin direkNormal

Bilirubin indirekNormal

FUNGSI GINJAL

UreumHiperuresemia

KreatininMeningkat

Profil Lipid

TrigliseridaHipertrigliserid

Kolesterol totalMeningkat

Kolesterol HDLNormal

Kolesterol LDLNormal

Gula darah sewaktuNormal atau Meningkat

Elektrolit

Natrium (Na)Hiponatremi

Kalium (K)Normal atau Meningkat

Clorida (Cl)Hipoklorida

MagnesiumMeningkat

FosforMeningkat

PotassiumMeningkat

PhMenurun

GLOMEROLUS FILTRATION RATE (GFR) (ml/menit/1,73 m2)

Stage I >90 Stage II 60 89 Stage III 30 59 Stage IV 15 29

URINALISA

VolumeOliguria s/d anuria

WarnaGelap, endapan coklat

Berat JenisMenurun

OsmolaritasHiperosmolaritas

Creatinin KlereanceMenurun

SodiumMenurun

proteinProteinuria (+++-++++)

EritrositHematuria (++)

GlukosaGlukosuria

Leukosit+++

Tabel 8. Gambaran RadiologisPemeriksaan radiologiHasil

Foto polos abdomenTampak batu radio opaque

Pielografi intravenaGambaran bentuk kedua ginjal abnormal, jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus. Toksik kontras juga dapat merusak ginjal

Pielografi anterograd atau retrogradTampak anatomi traktus urinarius bagian atas abnormal, lesi dan fistel. Dilakukan sesuai indikiasi.

Ultrasonografi Ukuran ginjal mengecil Korteks menipis Adaya hidronefrosis Batu ginjal Kista Massa Klasifikasi

Tabel 9. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatolgi GinjalPemeriksaanHasil

1. Biopsi PA Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Biopsi ginjal kontra indikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.

2. Histopatolgi Ginjal Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan

Gambar 6. Retograde urography pada kelainan ginjalGambar 7. USG Pada Gagal Ginjal Kronik2.8 Penatalaksanaan ginjalPenatalaksaan ginjal dibagi menjadi 2, terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal. Untuk terapi pengganti ginjal terbagi lagi menjadi 3, yaitu dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi6: Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid Memperlambat pemburukan atau progresivitas fungsi ginjal Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronis Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnyaWaktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.6,7

Tabel 10. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya

DerajatLFG(ml/mnt/1,73m2Rencana Tatalaksana

1

2

345> 90

60-89

30-5912-2960

25 60

5-25

2,5 kali normal.6 Pembatasan Cairan dan ElektrolitPembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah yang dianjurkan adalah 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.66. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)Terapi pengganti ginjal pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. Hemodialisis (HD)16a. Indikasi untuk inisiasi terapi dialisisInisiasi terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksikazotemia dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis terlalu cepat pada pasien gagal ginjal kronik yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal. Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan pertimbangan klinis dan parameter biokimia. Tidak jarang presentasi klinik retensi atau akumulasi toksin azotemia tidak sejalan dengan gangguan biokimia. Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l,73 m2. Pemeriksaan LFG (radionuklida) paling tepat untuk mencermin faal ginjal yang sebenarnya, sesuai dengan klirens inulin. Untuk kepentingan klinis, estimasi klirens kreatinin dapat digunakan formula Cockcroft dan Gault.16b. Persiapan untuk program dialisis regularSetiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus mendapat informasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya. Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular meliputi: Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu Keadaan psikoligis yang stabil Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas hidup optimal Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan: Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis Operasi A-V fstula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/% terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus. Dialisis peritoneal Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Frekuensi dialisis peritoneal intermiten makin meningkat, di Amerika 2-3% dan Kanada 10% dari semua pasien yang memerlukan dialisis peritoneal intermiten. TENCKHOF (1974) telah meramalkan bahwa dari semua pasien yang memerlukan dialisis kronik di Kanada (40-50%), diantaranya kira-kira 20-25% akan memerlukan dialisis peritoneal kronik.18 Transplantasi ginjalTransplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).Pertimbangan program transplantasi ginjal : Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 - 80% faal ginjal alamiah. Kualitas hidup normal kembali Masa hidup (survival rate) lebih lama Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.Adapun persiapan program transplantasi ginjal, yaitu: Pemeriksaan imunologi Golongan darah dan tipe jaringan HLA (human leucocyte antigen) Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga16,19

2.9 Indikasi HemodialisaIndikasi untuk dialisis pada pada pasien dengan gagal ginjal akut adalah:191.Asidosis metabolik, dalam situasi dimana koreksi dengan natrium bikarbonat tidak praktis atau dapat mengakibatkan overload cairan.2.Kelainan elektrolit seperti hiperkalemia.3.Overload cairan tidak diharapkan untuk merespon pengobatan dengan diuretic.4.Komplikasi uremia, seperti perikarditis, ensefalopati atau perdarahan gastrointestinal.5.Keracunan, yaitu keracunan akut dengan zat dialyzable.Indikasi untuk pasien dengan gagal ginjal kronis:1.Gejala gagal ginjal.2.Rendah LFG sering dianjrrkan untuk dimulai pada LFG kurang dari 10-15 mls/min/1,73 m2. Pada penderita diabetes dialisis dimulai sebelumnya.3.Kesulitan dalam medis mengendalikan overload cairan kalium serum dan atau fosfor saat LFG rendahIndikasi medik Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD):18 pasien anak-anak dan orang tua, umur lebih dari 65 tahun pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskuler, misal infark miokard atau iskemi koroner pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis. kesulitan pembuatan AV shunting pasien dengan stroke pasien neropati diabetik disertai co-morbiditi dan co-mortalitiIndikasi non-medik : keinginan pasien sendiri tingkat intelektual tinggi untuk melaksanakan sendiri (mandiri) di daerah yang jauh dari pusat ginjal16

Tabel 13. Indikasi inisiasi terapi dialisis16

1. Indikasi absolut Perikarditis Ensefalopati / neuropati azotemik Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik Hipertensi refrakter Muntah persisten BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg

2. Indikasi elektif LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73 m2 Mual, anoreksia, muntah berat

BAB IIIKESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%) merupakan penyakit ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik.Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada organ tubuh, yang paling sering terjadi yaitu mikroangipati dan makroangiopati diabetikum yang nantinya dapat mengakibatkan nefropati diabetikum. Penyebab pasti dari nefropati diabetik belum diketahui namun berbagai macam studi mengatakan hal tersebut karena hiperglikemia yang memicu terjadinya hiperfiltrasi dan kerusakan pada ginjal, kelanjutan glikosilasi, dan aktivasi dari sitokin. Hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari ekspresi Transforming Growth Factor (TGF- ) pada glomerulus dan matriks protein serta adanya Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berkontribusi terhadap hipertrofi dan meningkatkan sintesis kolagen serta menginduksi perubahan vaskular pada seorang dengan nefropati diabetik. Hiperglikemia juga mengaktivasi protein C kinase yang berkontribusi terhadap penyakit ginjal dan berbagai komplikasi vaskular dari diabetes Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti kelainan saluran cerna (nafsu makan menurun, mual, muntah dan uremik), kelainan kulit (gatal di kulit), kelainan neuromuskular (tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi menurun, insomnia, gelisah), kelainan kardiovaskular (hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema), kangguan kelamin (libido menurun, nokturia, oligouria).Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, serta pemeriksaan biopsi dan histopatologi ginjal. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Penyakit penyakit ginjal kronik dengan komplikasi gagal ginjal tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk.

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,Edisi IV:Diabetes Melitus DiIndonesia. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. p: 1875.2. Soegondo, Sidartawan. Soewondo, Pradana. Subekti, Imam. 1995. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan kelima, 2005. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.3. Hogg RJ et al. National Kidney Foundations Kidney Disease Outcomes Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Children and Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification. Pediatrics 2003;111:1416-1421.4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 20115. National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. United States: 2002. Available https://www.kidney.org/professionals/ kdoqi/guidelines_ckd/p9_approach.html Accessed on August 10, 2014.6. Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4 Jilid ke-2. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2009; p.1035-7.7. National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. United States: 2002. Available at: https://www.kidney.org/professionals/ kdoqi/guidelines_ckd/p9_approach.html. Accessed on: July 31th 2014.8. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Annual Meeting 2009 Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Available at: http://www.pernefri-inasn.org/ Accessed on: August 14, 2014.9. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Program Indonesian Renal Registry. 5th Report of Indonesian Renal Registry 2012;5:p.1-4010. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. In: Brahm U. Pendit, editors. 6th ed. Jakarta: EGC, 2005. p. 931-2.11. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.12. Permanasari, A., Dwiana A., Saleh A., Dharma M. 2010. Nefropati Diabetes.13. Batuman V. Diabetic Nephropathy. Medscape. Update on May 28th, 2014. At : http://emedicine.medscape.com/article/238946-overview. Accessed January 8th 2014.14. Swaminathan R. Handbook of Clinical Biochemistry. New Delhi: Oxford University Press, 2005, p. 29-42.15. Bidani AK, Griffin KA. Chronic kidney disease: blood-pressure targets in chronic kidney disease. Nat Rev Nephrol. 2011 Mar;7(3):128-30.16. Rahardjo P, Susalit E, Suhardjono. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Dept. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009. P.1050-51.17. National Kidney Foundation. Definition and classification of stages of chronic kidney disease. Available at: https://www.kidney.org/professio nals/kdoqi/guidelines_ckd/p4_class_g1.html. Accessed on: August 12, 2014.18. Suhardjono. The Development of a Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Program In Indonesia. Perit Dial Int 2008; 28(3): 59-62.19. Sukandar, Enday. 2006.Gagal Ginjal dan Panduan Dialisis. Bandung : PPI FK UNPAD

36