lp ckd + capd

Upload: shinta-rosi

Post on 30-Oct-2015

422 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUANCHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALISYS (CAPD)

Di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang

Oleh :Shinta Rosiana0810720067

JURUSAN KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2013Laporan PendahuluanChronic Kidney Disease

A. DefinisiGagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) ( Smeltzer & Bare, 2000).Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001)Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2000)

Gambar: Anatomi ginjal

B. EtiologiPenyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)7. Nefropati toksik8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)(Price & Wilson, 2006)

Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat dibagi dalam 2 kelompok :1. Penyakit parenkim ginjalPenyakit ginjal primer : Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal polikistik, Tbc ginjalPenyakit ginjal sekunder : Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal, Poliarteritis nodasa, Sclerosis sistemik progresif, Gout, DM2. Penyakit ginjal obstruktif : pembesaran prostat, batu saluran kemih, Refluks ureter,

Secara garis besar penyebab gagal ginjal dapat dikategorikan Infeksi yang berulang dan nefron yang memburuk Obstruksi saluran kemih Destruksi pembuluh darah akibat diabetes dan hipertensi yang lama Scar pada jaringan dan trauma langsung pada ginjal

C. KlasifikasiSesuai dengan test kreatinin klirens, maka GGK dapat di klasifikasikan derajat penurunan faal ginjal sebagai berikut: DerajatPrimer (LFG)Sekunder = Kreatinin (mg %)

ABCDEFNormal50 80 % normal20 50 % normal10 20 % normal5 10 % normal< 5 % normalNormalNormal 2,42,5 4,95,0 7,98,0 12,0> 12,0

(Long, 1996)

Pada 2002, National Kidney Foundation AS menerbitkan pedoman pengobatan yang menetapkan lima stadium CKD berdasarkan ukuran GFR yang menurun. Pedoman tersebut mengusulkan tindakan yang berbeda untuk masing-masing stadium penyakit ginjal.1. Resiko CKD meningkat.GFR 90 atau lebih dianggap normal. Bahkan dengan GFR normal, kita mungkin beresiko lebih tinggi terhadap CKD bila kita diabetes, mempunyai tekanan darah yang tinggi, atau keluarga kita mempunyai riwayat penyakit ginjal. Semakin kita tua, semakin tinggi resiko. Orang berusia di atas 65 tahun dua kali lipat lebih mungkin mengembangkan CKD dibandingkan orang berusia di antara 45 dan 65 tahun. Orang Amerika keturunan Afrika lebih beresiko mengembangkan CKD.2. Stadium 1Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat perkembangan CKD dan mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah3. Stadium 2Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat fungsi ginjal kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan perkembangan CKD kita dan meneruskan pengobatan untuk mengurangi resiko masalah kesehatan lain.4. Stadium 3Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita sebaiknya bekerja dengan dokter untuk mencegah atau mengobati masalah ini.5. Stadium 4Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk komplikasi CKD dan belajar semaksimal mungkin mengenai pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan membutuhkan persiapan. Bila kita memilih hemodialisis, kita akan membutuhkan tindakan untuk memperbesar dan memperkuat pembuluh darah dalam lengan agar siap menerima pemasukan jarum secara sering. Untuk dialisis peritonea, sebuah kateter harus ditanam dalam perut kita. Atau mungkin kita ingin minta anggota keluarga atau teman menyumbang satu ginjal untuk dicangkok.6. Stadium 5Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja cukup untuk menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis atau pencangkokan ginjal.(Reeves, 2001)

D. Prognosis PenyakitPerjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium1. Stadium IPenurunan cadangan ginjal (faal ginjal antara 40 % - 75 %). Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.2. Stadium IIInsufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % - 25 % . faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, , aktifitas penderita mulai terganggu.3. Stadium IIIUremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %)Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan diman tak dapat melakukan tugas sehari hair sebaimana mestinya. Gejal gejal yang timbul antara lain mual, munta, nafsu makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang.Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal,kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

E. PatofisiologiGagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR (Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :1. Penurunan cadangan ginjal;Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi2. Insufisiensi ginjal;Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis3. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.4. Penyakit gagal ginjal stadium akhir;Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal.(Corwin, 2001)

Pathways (terlampir)

F. Tanda Dan Gejala1. Gangguan pernafasan2. Udema3. Hipertensi4. Anoreksia, nausea, vomitus5. Ulserasi lambung6. Stomatitis7. Proteinuria8. Hematuria9. Letargi, apatis, penuruna konsentrasi10. Anemia11. Perdarahan12. Turgor kulit jelek, gatak gatal pada kulit13. Distrofi renal14. Hiperkalemia15. Asidosis metabolic

1. Kardiovaskuler Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis Pitting edema (kaki, tangan) Edema periorbital Friction rub pericardial Pembesaran vena leher

2. Dermatologi Warna kulit abu-abu mengkilat Kulit kering bersisik Pruritus Ekimosis Kuku tipis dan rapuh Rambut tipis dan kasar3. Pulmoner Krekels Sputum kental dan liat Nafas dangkal Pernafasan kussmaul4. Gastrointestinal Anoreksia, mual, muntah, cegukan Nafas berbau ammonia Ulserasi dan perdarahan mulut Konstipasi dan diare Perdarahan saluran cerna5. Neurologi Tidak mampu konsentrasi Kelemahan dan keletihan Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran Disorientasi Kejang Rasa panas pada telapak kaki Perubahan perilaku6. Muskuloskeletal Kram otot Kekuatan otot hilang Kelemahan pada tungkai Fraktur tulang Foot drop7. Reproduktif Amenore Atrofi testekuler(Smeltzer & Bare, 2001)

G. Pemeriksaan PenunjangMenurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara sebagai berikut:a. Pemeriksaan laboratoriumMenentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi.b. Pemeriksaan USGUntuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal.c. Pemeriksaan EKG Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolitd. Pielografi intravenaMenunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter. Pielografi retrograddilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible. e. Sistouretrogram berkemihMenunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureterf. Ultrasono ginjalMenunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.g. Biopsi ginjalMungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologisth. Endoskopi ginjal nefroskopiDilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif

H. KomplikasiKomplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :a. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diit berlebih.b. Perkarditis: Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-angiotensin-aldosteron.d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.e. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadarkalsium serum rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium. (Smeltzer & Bare, 2001)I. Penatalaksanaan1. DialisisDialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.2. Penanganan hiperkalemiaKeseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.3. Mempertahankan keseimbangan cairanPenatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.Glomerular Filtration Rate (GFR)=[ (140 age in years) weight (kg) ]/plasma creatinine (mol/l) 0.82 (subtract 15 per cent for females)

Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.3. Dialisis4. Transplantasi ginjal(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)

Gambar. hemodialisa

Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Disease

A. Pengkajian1. Aktifitas dan IstirahatKelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidurKelemahan otot dan tonus, penurunan ROM2. SirkulasiRiwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dadaPeningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub3. Integritas EgoFaktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatanMenolak, cemas, takut, marah, irritable

4. EliminasiPenurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin pekat warna merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung5. Makanan/CairanPeningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi, anoreksia, mual, muntah, rasa logam pada mulut, asitesPenurunan otot, penurunan lemak subkutan6. NeurosensoriSakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutanGangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma7. Nyeri/KenyamananNyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kakiDistraksi, gelisah8. PernafasanPernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal Dyspnea (+)Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal9. KeamananKulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi), petekie, ekimosis, fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada kulit, ROM terbatas10. SeksualitasPenurunan libido, amenore, infertilitas11. Interaksi SosialTidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya(Doengoes, 2000)B. Diagnosa & Intervensi Keperawatan 1) Kelebihan volume cairanditandai dengan edema pada ekstremitas bawah, peningkatan TD, Peningkatan BB, penurunan urine outputTujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tanda-tanda kelebihan volume cairan teratasiKriteria Hasil :Pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indikator NOCNOC : Keparahan Kelebihan Cairan

No.Indikator12345

1.2.3.4. Edema pada ektremitas bawahPeningkatan TDPeningkatan BBPenurunan urine output

Keterangan Penilaian :1 : secara konsisten2 : sering3 : kadang kadang4 : jarang5 : tidak pernah

Intervensi NIC :1. Monitor BB2. Monitor intake dan output3. Monitor TTV4. Monitor perubahan edema perifer5. Kolaborasi pemberian diuretik

2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhanditandai dengan penurunan nafsu makan, porsi makan berkurang, pemasukan cairan tidak sesuai kebutuhan, lemahTujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tanda-tanda kelebihan volume cairan teratasiKriteria Hasil :Pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indikator NOCNOC : nafsu makanNo.Indikator12345

1.2.3.Ada Keinginan makanMenghabiskan porsi makananPemasukan cairan sesuai kebutuhan & indikasi

Keterangan Penilaian :1. : selalu2. : sering 3. : kadang kadang 4. : jarang 5. : tidak pernah

Intervensi NIC :1. Identifikasi makanan kesukaan2. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah kalori gizi yang dibutuhkan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya3. Monitor intake nutrisi4. Monitor BB5. Berikan informasi yang sesuai tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana cara memenuhinya

3) Intoleransi aktivitasTujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien toleran terhadap aktivitasKriteria Hasil :Pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indikator NOCNOC : toleran aktivitasNo.Indikator12345

1.2.3.4.TTVWarna kulitKekuatan ototKemudahan melakukan ADL

Keterangan Penilaian :1. : selalu2. : sering 3. : kadang kadang 4. : jarang 5. : tidak pernahIntervensi NIC :1. Kaji membran mukosa, warna kuit2. Monitor TTV3. Monitor Hb dan Ht4. Tingkatkan aktivitas motorik secara bertahap sesuai toleransi5. Bantu pemenuhan ADL klien6. Bantu keluarga dan pasien mengidentifikasi tingkat kelemahan aktivitas

4) Gangguan integritas kulitTujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, gangguan integritas kulit pasien teratasiKriteria Hasil :Pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indikator NOCNOC : integritas kulit dan membran mukosaNo.Indikator12345

1.2.3.Penurunan kelembabanPenurunan integritasErythema

Keterangan Penilaian :1. : selalu2. : sering 3. : kadang kadang 4. : jarang 5. : tidak pernah

Intervensi NIC :1. Kaji kerusakan integritas kulit misal lesi2. Berikan krim dan lotion kulit sesuai indikasi3. Hindari pemakaian sabun yang mengandung parfum

LAPORAN PENDAHULUANCAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALISYS)A. PengertianCAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya Husada, 2008).Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum yang luasnya sekitar 22.000 cm2 berfungsi sebagai permukaan difusi. Cairan dialisat yang tepat dan steril dimasukkan ke dalam cavum peritoneal menggunakan kateter abdomen dengan interval. Ureum dan creatinin yang keduanya merupakan produk akhir metabolism yang diekskresikan oleh ginjal dikeluarkan (dibersihkan) dari darah melalui difusi dan osmosis ketika produk limbah mengalir dari daerah dengan konsentrasi tinggi (suplai darah peritoneum) ke daerah dengan konsentrasi rendah (cavum peritoneal) melalui membrane semipermeable (membrane peritoneum). Ureum dibersihkan dengan kecepatan 15 hingga 20 ml/menit, sedangkan creatinin dikeluarkan lebih lambat.

B. Tujuan Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah metabolic, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan cairan yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.C. Indikasi Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat (hemodinamik yang tidak stabil) Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia) Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

D. Kontraindikasi Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi) Adhesi abdominal Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis dalam abdomen yang kontinyu Pasien dengan imunosupresi

E. Cara kerja CAPDa. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang ditanam di dalam rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut exit site.Sebelum pemasangan kateter peritoneal, dokter mencuci dan mendesinfeksi abdomen. Anastesi lokal diberikan di daerah tengah abdomen sekitar 5 cm di bawah umbilicus. Dokter membuat insisi kecil dan kateter multinilon dimasukkan ke dalam rongga peritoneum. Kemudian, daerah tersebut ditutup dengan balutan.Proses pemasanganMula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter dinealR61L yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong cairan dialysis 1 L. Dari pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa tambahan yang menuju ke belakang, ini untuk mengsyphon off cairan dari peritoneum. Seluruh pipa harus terisi dengan cairan yang dipakai. Sebuah kantong pengumpulan steril yang besar (paling sedikit volume 2 L) diikatkan pada pipa keluar.Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara pusar atau umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari pubis. Bekas luka pada dinding abdominal harus dihindari dan kateter dapat dimasukkan sebelah lateral dari selaput otot rectus abdominus. Anastesi local yang diberikan cukup banyak (10-15 ml) dan yang paling penting untuk meraba peritoneum dan mengetahui bahwa telah diinfiltrasi, bila penderita gemuk, sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau pungsi lumbal) diperlukan untuk menganastesi peritoneum.Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di kulit dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke ruang peritoneal dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau ditarik 1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang dinding atau selaput peritoneum terasa sebagai dua lapis yang dapat dibedakan, keduanya harus ditembus sebelum menarik pisau dan mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman. Segera setelah cairan ini masuk, harus di syphon off untuk melihat bahwa system tersebut mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran cukup baik. Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat dirapikan bila perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol dari dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan ditempat dengan elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang pendek yang menghubungkan kateter ke alat perangkat. b. Pemasukan cairan dialisat Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian disambungkan dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril dibiarkan mengalir secepat mungkin kedalam rongga peritoneum. Dialisat steril 2 L dihabiskan dalam waktu 10 menit. Kemudian klem selang ditutup. Osmosis cairan yang maksimal dan difusi solut/butiran ke dalam dialisat mungkin terjadi dalam 20-30 menit. Pada akhir dwell-time (waktu yang diperlukan dialisat menetap di dalam peritoneum), klem selang dibuka dan cairan dibiarkan mengalir karena gravitasi dari rongga peritoneum ke luar (ada kantong khusus). Cairan ini harus mengalir dengan lancar. Waktu drainase (waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan semua dialisat dari rongga peritoneum) adalah 10-15 menit. Drainase yang pertama mungkin berwarna merah muda karena trauma yang terjadi waktu memasang kateter peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3, drainase sudah jernih dan tidak boleh ada lagi drainase yang bercampur dengan darah. Setelah cairan dikeluarkan dari rongga peritoneum, siklus yang selanjutnya harus segera dimulai. Pada pasien yang sudah dipasang kateter peritoneal, sebelum memasukkan dialisat kulit diberi obat bakterisida. Setelah dialisis selesai, kateter dicuci lagi dan ujungnya ditutup dengan penutup yang steril.Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai alat penyaring, proses perpindahan ini disebut Difusi. Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.c. Proses Penggantian Cairan DialisisProses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat ( 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:1. Pengeluaran cairanCairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit. 2. Memasukkan cairan 2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter. 3. Waktu tinggalSesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir ke dalam dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter Tenchoff yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap akhir. Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu. F. Prinsip-prinsip CAPDCAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada dalam kisaran normal. Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik. Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya. Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari (misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.

G. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta KerugianEfektifitas Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).Keuntungan CAPD dibandingkan HDTerdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-fungsi tersebut.b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).

Keuntungan tambahan yang lain yaitu :a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerjab) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diric) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HDe) Pembuangan cairan dan racun lebih stabilf) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebasg) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantungh) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.

Kelemahan CAPDa) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi infeksi paru karena goncangan diafragmab) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 haric) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi (pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat terjadi.d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).

Komplikasi CAPD1. PeritonitisKomplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:1. Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh kateter.2. Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat3. Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama proses penukaran cairan)4. Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran cairan dialisat tersebut5. Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-sentra dialisa di kota tujuanJika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan untuk menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri oleh pasien.2. Kebocoran Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-faktor yang dapat memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran melalui tempat pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi spontan beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut. 3. Perdarahan Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat prosedur tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase dialisat yang berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan. Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu ini mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.4. Hernia abdomenHernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal, diafragmatik dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat juga akan memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid. 5. HipertrigliseridemiaHipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis6. Nyeri punggung bawah dan anoreksiaNyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam rongga abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera pengecap serta berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi CAPD7. Gangguan citra rubuh dan seksualitasMeskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk mengontrol sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal, namun bentuk terapi ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami gangguan citra tubuh dengan adanya kateter abdomen dan kantong penampung serta selang dibadannya

Asuhan keperawatan klien dengan CAPDFase persiapan sebelum melakukan CAPDPersiapan bagi klien dan keluarga yang menjalani CAPD tergantung dari status fisik dan psikologis klien, tingkat kesadaran, pengalaman sebelumnya mengenai terapi dialysis dan pemahaman serta adaptasi klien terhadap prosedur tersebut. Mungkin klien yang akan menjalani hemodialis peritoneal berada dalam kondisi akut sehingga memerlukan terapi jangka pendek untuk memperbaiki kondisi yang berat pada status cairan dan elektrolit. Prosedur dialisis peritoneal perlu dijelaskan terlebih dahulu kepada pasien dan surat persetujuan (inform consent) yang sudah ditandatangani harus sudah diperoleh sebelum prosedur tersebut dilaksanakan. data dasar mengenai tanda-tanda vital, berat badan dan kadar elektrolit serum harus dicatat. pengosongan kandung kemih dan usus diperlukan untuk memperkecil resiko tertusuknya organ-organ internal. Perawat juga harus mengkaji rasa cemas klien dan memberikan dukungan serta petunjuk mengenai prosedur yang akan dilaksanakan. Kateter untuk dialysis peritoneal harus dipasang di kamar operasi, sehingga hal ini harus dijelaskan kepada klien dan keluarganya.Selanjutnya, sebelum prosedur dilakukan, ukur tekanan darah, nadi dan berat badan pasien untuk data dasar dalam mengkaji adanya perubahan selama prosedur berlangsung. Perlu dikaji juga pengetahuan pasien tentang dialysis peritoneal dan tingkat kecemasan yang dialaminya. Biasanya, sedative ringan diberikan sebelum pemasangan kateter peritoneal. Obat sedatif dapat membantu relaksasi dan mempermudah pemasangan kateter peritoneal. Berikan pula penjelasan bahwa penderita dengan dialysis peritoneal tidak boleh bergerak selama tindakan dan karena itu dianjurkan istirahat di tempat tidur. Bila mungkin harus bangun dari tempat tidur dua kali sehari dan setidak-tidaknya harus melakukan latihan pernafasan teratur dan latihan kaki. Bila dialysis dapat dilakukan di kursi, akan lebih baik. Perhatian pada bagianbagian yang tertekan adalah vital karena kehilangan protein masuk ke dalam cairan dialysis, pemasukan protein yang cukup harus dipertahankan dan penderita harus didorong untuk makan diet normal. Penambahan vitamin yang larut dalam air juga perlu. Penderita harus ditimbang setiap hari.

Persiapan Peralatan untuk Dialysis Peritoneal Disamping merakit peralatan untuk dialysis peritoneal, perawat harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan konsentrasi larutan dialisat yang akan digunakan dan obat-obatan yang akan ditambahkan pada dialisat tersebut. Heparin dapat ditambahkan untuk mencegah pembentukan bekuan fibrin yang dapat menyumbat kateter peritoneal. Kalium klorida dapat diresepkan untuk mencegah hipokalemia. Antibiotic dapat diberikan untuk mengobati peritonitis.Sebelum menambahkan obat-obatan ini, larutan dialisat dihangatkan hingga mencapai suhu tubuh untuk mencegah gangguan rasa nyaman nyeri, selain itu tindakan-tindakan ini dapat menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh darah peritoneum sehingga meningkatkan klierens ureum. Larutan yang terlalu dingin menyebabkan nyeri dan vasokonstriksi dan menurunkan klirens sedangkan larutan yang terlalu panas dapat membakar peritoneum. Peralatan yang digunakan untuk menghangatkan larutan dialisat harus dipantau dengan cermat untuk menjamin suhu yang diinginkan. Sesaat sebelum dialysis dimulai, peralatan dan selang untuk dialysis dirakit. Selang tersebut diisi dengan larutan dialisat yang sudah dipersiapkan untuk mengurangi jumlah udara yang masuk kedalam kateter serta kavum peritoneal, yang dapat menyebabkan gangguan rasa nyaman pada abdomen dan mengganggu penetesan serta pengaliran keluar cairan dialisat tersebut. Perlengkapan untuk prosedur dialysis peritonial ambulatory kontinous : Swabs cairan pembersih kulit, misalnya hibitane dalam alcohol atau iodine tiga (kertas) handuk kassa persegi lignocaine 1% atau 2% alat suntik 10 ml nos1 dan 25 jarum pisau no. 11 sarung tangan gunting kantong pengumpulan steril besar trokat atau kateter peritonial Brown dan R611 set Baxter dari CSSDCairan dialysisCairan dialysis dipersiapkan secara steril dan harus tetap demikian. Larutan yang biasa dipakai (dialaflex) mengandung eletrolit plasma normal ditambah glukosa 1,36% tetapi tanpa kalium urea fosfat atau sulfat karena semua ini biasanya terdapat berlebihan pada payah ginjal. Semua kantong harus dihangatkan sampai sesuai suhu tubuh kalau tidak dilakukan penderita dapat menjadi sangat dingin. Bila kalium plasma penderita tidak tinggi, dokter akan menambahkan sampai 5 mEq/K+ pada tiap kantong 1 liter (sampai 2,5 ml dari 20 mEq/10 ml larutan). Heparin 500 unit ditambahkan pada tiap kantong 2 liter untuk mencegah pembentukan fibrin dan kateter. Sebelum menambahkan sesuatu pada kantong, ujung atasnya harus dibersihkan dengan baik methanol atau sejenis. Hal ini perlu sebelum memasukkan dalam set dialysis ke kantong. Penambahan harus ditulis dikantong dan kantong harus dibuat sekali setiap waktu dan memakai masker setiap kali membuat.Bila penderita edema akibat kelebihan cairan, payah jantung dan lain-lain air dapat dikeluarkan dari penderita dengan memakai kantung Dialaflex yang mengandung glukosa 6,36%. Larutan yang sangat kuat ini menyedot air dari penderita ke ruang peritonial dan 5, 10, 15 L air atau lebih dapat dikeluarkan. Suatu pengawasan harus dilakukan pada tekanan darah dan nadi tiap jam bila dipakai 2 larutan 6,36%, karena dapat mengakibatkan hipotensi dayok bila cairan dikeluarkan teralu cepat. Gula darah harus diukur selama memakai larutan 6,36%. Larutan ini tidak boleh dipakai sering lebih dari 1:4 penggantian.

Pemasangan Kateter untuk Dialysis PeritonealIdealnya, kateter peritoneal dipasang dalam kamar operasi untuk mempertahankan teknik aseptic dan memperkecil kemungkinan kontaminasi. sebuah kateter stylet dapat digunakan jika diperkirakan dialisi peritoneal akan dilakukan dalam waktu singkat. Sebelum prosedur ini dilakukan, kulit abdomen dibersihkan dengan larutan aseptic lokal untuk mengurangi jumlah bakteri pada kulit dan untuk mengurangi resiko kontaminasi serta infeksi pada lokasi pemasangan kateter. Dokter melakukan penyuntikan infiltrasi anestesi local ke dalam kulit dan jaringan subkutan pasien sebelum prosedur pemasangan keteter dilakukan.Insisi kecil atau sebuah tusukan dilakukan pada abdomen bagian bawah, 3 hingga 5 cm dibawah umbilicus, di daerah ini relative tidak mengandung banyak pembuluh darah besar sehingga perdarahan yang terjadi tidak begitu besar. sebuah trokar (sebuah alat yang berujung tajam) digunakan untk menusuk peritoneum sementara pasien mengencangkan otot abdomennya dengan cara menganggkat kepalanya. Keteter dimasukkan melalui trokar dan kemudian diatur posisisnya. caiaran yang sudah disiapkan diinfuskan ke dalam cavum peritoneal dengan mendorong omentum (lapisan peritoneal yang membentang dari organ-organ abdomen) menjauhi kateter. sebuah jahitan dapat dibuat untuk mempertahankan kateter pada tempatnya.

Pengkajian a. Identitas klienb. Riwayat Penyakitc. Riwayat penyakit infeksid. Riwayat penykit batu/obstruksie. Riwayat pemakaian obat-obatanf. Riwayat penyakit endokring. Riwayat penyakit vaskulerh. Riwayat penyakit jantungi. Data interdialisis (klien hemodialisis rutin)j. Data interdialisis meliputi : Berat badan kering klien atau Dry Weight, yaitu : berat badan di mana klien merasa enak, tidak ada udema ekstrimitas, tidak merasa melayang dan tidak merasa sesak ataupun berat, nafsu makan baik, tidak anemis. Berat badan interdialisis : Berat badan hemodialisis sekarang Berat badan post hemodialisis yang lalu (Kg). Kapan terakhir hemodialisis.k. Keadaan umum klien Data subjektif : lemah badan, cepat lelah, melayang. Data objektif : nampak sakit, pucat keabu-abuan, kurus, kadang kadangl. Pemeriksaan Fisik Kepala: Retinopati, Konjunktiva anemis, Sclera ikteric dan kadang kadang, disertai mata merah (red eye syndrome), rambut ronok, muka tampak sembab, bau mulut amoniak Leher: Vena jugularis meningkat/tidak, Pembesaran kelenjar/tidak, Dada: Gerakkan napas kanan/kiri seimbang/simetris, Ronckhi basah/kering, Edema paru, Abdomen: Ketegangan, Ascites (perhatikan penambahan lingkar perut pada kunjungan berikutnya), Kram perut, Mual/munta Kulit: Gatal-gatal, Mudah sekali berdarah (easy bruishing), Kulit kering dan bersisik, keringat dingin, lembab, perubahan turgor kulit Ekstremitas: Kelemahan gerak, Kram, Edema (ekstremitas atas/bawah) Ekstremitas atas : sudahkah operasi untuk akses vaskuler System kardiovaskulerData subjektif : sesak napas, sembab, batuk dengan dahak/riak, berdarah/tidak.Data objektif : hipertensi, kardiomegali, nampak sembab dan susah bernapas. System pernapasanData subjektif : merasa susah bernapas, mudah terengah-engah saat beraktifitas.Data objektif : edema paru, dispnea, ortopnea, kusmaul. Sistem pencernaanData subjektif napsu makan turun, mual/muntah, lidah hilang rasa, cegukan, diare (lender darah, encer) beberapa kali sehari.Data objektif : cegukan, melena/tidak. Sistem NeuromuskulerData subjektif : tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya konsentrasi turun, insomnia dan gelisah, nyeri/sakit kepala.Data objektif : neuropati perifer, asteriksis dan mioklonus, nampak menahan nyeri. Sistem genito urinariaData subjektif : libido menurun, noktoria, oliguria/anuria, infertilitas (pada wanita).Data objektif : edema pada system genital. System psikososialIntegritas egoStressor : financial, hubungan dan komunikasiMerasa tidak mampu dan lemahDenial, cemas, takut, marah, mudah tersinggungPerubahan body imageMekanisme koping klien/keluarga kurang efektifPemahaman klien dan keluarga terhadap diagnosis, penyakit dan perawatannya, kadang masih kurang.Interaksi socialDenial, menarik diri dari lingkunganPerubahan fungsi peran dikeluarga dan masyarakat

Diagnose keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan CAPD adalah:1. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient osmotik, retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen, distensi usus, peritonitis dan jaringan parut peritonium) atau masukan peroral berlebihan.2. Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomen3. Resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter selama pemasangan. 4. Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen, diafragma.

Rencana Asuhan KeperawatanDx. 1 Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient osmotik, retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen, distensi usus, peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral berlebihan.Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kelebihan volume caiaran.Kriteria Hasil: 1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan2. Tidak mengalami peningkatan BB secara cepat, edema dan kongesti paru.3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar.4. Tidak terjadi nyeri perut

IntervensiRasional

1. 1. Catat volume cairan yang masuk, keluar dan kumulasi keseimbangan caiaran.

2. Menimbang berat badan pasien sebelum dan sesudah menjalani dialisat

3. Kaji patensi kateter, kesulitan drainase, perhatikan adanya lembaran atau plak fibrin.4. Tinggikan kepala tempat tidur, lakukan tekanan perlahan pada abdomen.5. Perhatikan adanya distensi abdomen sehubungan dengan penurunan bising usus, perubahan konsistensi feses, keluhan konstipasi.6. Observati TTV, perhatikan adanya hipertensi berat, nadi kuat, distensi JVD. edema perifer.7. Evaluasi adanya takipnea, dispnea, peningkatan upaya pernapasan.Kolaborasi:8. Perubahan program dialisat sesuai indikasi

9. Awasi natrium serum

10. Tambahkan heparin pada dialisat awal, bantu irigasi kateter dengan garam faal heparinasi11. Pertahankan pembatasan cairan sesuai dengan indikasi1. Jumlah aliran harus sama atau lebih dari yang dimasukkan. Keseimbangan positif menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih lanjut.

2. Indikator akurat status keseimbangan cairan. keseimbangan positif dengan peningkatan BB menunjukakn retensi cairan.3. Melambatnya kecepatan aliran/adanya fibrin menunjukkan hambatan keteter parsial yang perlu dievaluasi.4. dapat meningkatkan aliran bila kateter salah posisi/obstruktif oleh omentum.5. Distensi abdomen/konstipasi dapat mempengaruhi keseimbangan cairan.6. Peningkatan nadi menunjukkan hipovolume. Peningkatan kelebihan cairan berpotensi Gjk./edema paru.7. Distensi abdomen/kompresi diafragma dapat mengganggu napas.

8. perubahan mungkin diperlukan dalam konsentrasi glukosa atau natrium untuk memudahkan efisiensi dialysis.9. Hipernatremia dapat terjadi, meskipun kadar serum dapat menunjukkan efek pengenceran dari kelebihan cairan.10. mencegah dalam pembentukan fibrin yang dapat menghambat kateter peritoneal. 11. Pembatasan caiaran dapat dilanjutkan untuk menurunkan kelebihan volume cairan.

Dx. 2 Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomenTujuan :Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, keluhan nyeri klien dapat diatasi.Kriteria Hasil:1. Klien menyatakan penurunan keluhan nyeri.2. Ekspresi wajah rileks3. Klien dapat beristirahat dengan baik.IntervensiRasional

1. Kaji keluhan nyeri klien, ukur dengan skala nyeri.2. Jelaskan ketidaknyamanan awal biasanya hilang setelah pertukaran pertama3. Awasi nyeri yang mulai selama aliran dan berlanjut selama fase equilibrasi. lambatkan keceatan infuse sesuai dengan indikasi.4. Perhatikan ketidaknyamanan yang paling dirasakan mendekati akhir aliran masuk. masukkan tidak lebih dari 2000ml dalam sekali watu.5. Perhatikan keluhan nyeri pada area bahu. cegah udara masuk ke rongga peritoneum selama infuse.

6. Tinggikan kepala tempat tidur pada interval tertentu. Balikkan pasien dari satu sisi ke sisi lain. Berikan perawatan punggung dan masasae ringan .7. Hangatkan dialisat sebelum diinfuskan.

8. Awasi nyeri abdomen hebat dan peningkatan sushu tubuh.9. Dorong penggunaan teknik relaksasi.Kolaborasi:10. Pemberian analgesic.11. Tambahkan natrium hidroksida pada dialisat sesuai indikasi.1. Membantu identifikasi sumber nyeri dan intervensi yang tepat.2. Penjelasan dapat meningkatkan ansietas dan kenyamanan.3. Nyeri dapat terjadi pada waktu ini bila dialim menyebabkan iritasi kimia terhadap membrane peritoneum.4. Mungkin akibat distensi abdomen dari dialisat. jumlah infuse mungkin harus dikurangi pada walnya.5. Masuknya udara yang kurang hati-hati ke dalam abdomen mengiritasi diafragma dan mengakibatkan nyeri pada bahu. Pertukaran lebih kecil mungkin diperlukan sampai kondisi klien membaik. 6. Perubahan posisi dapat menghilangkan ketidaknyamanan.

7. Dapat meningkatakan kecepatan pembuangan ureum melelui dialysis pembuluh darah. dialisat yang terlalu dingan dapat menyebabkan vasokonstriksi, ketidaknyamanan, dan dapat mencetuskan henti jantung.8. Dapat mengindikasikan adanya peritonitis.9. Mengurangi ketidaknyamanan.

10. Menghilangkan nyeri dan ketidaknyamanan.11. Kadang digunakan untuk mengubah pH bila klien tidak toleran terhadap keasaman dialisat.

Dx. 3 Resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter selama pemasangan.Tujuan :Setelah dilakuakn perawatan selama 4-8 jam, klien tidak mengalami infeksi akibat proses dialysis.Kriteria Hasil:Klien tidak menunjukkan tanda-tanda Infeksi: nyeri, hipertermi, kemerahan terdapat pusIntervensiRasional

1. Gunakan teknik aseptic saat pemasangan kateter. ganti balutan kapanpun balutan dibuka dang anti selang sesuai dengan protocol.2. Ganti balutan dengan hati-hati dan tidak mengubah posisi kateter. Perhatikan karater, warna. bau drainase dari sekitar tempat pemasangan.3. Observasi warna dan kejernihan haluaran.4. Berikan pelindung betadine pada distal, klem bagian kateter bila terapi intermiten digunakan.5. Selidiki keluhan mual muntah, nyeri abdomen, nyeri tekan lepas, demam, dan leukositosis.6. KIE pada pasien cara pencegahan infeksi

Kolaborasi:7. Awsi jumlah SDP dari haluaran8. Ambil specimen darah atau keluaran caiarn untuk dikultur sensitivitasnya.9. Awasi klirens ginjal (BUN, kretinine)10. Berikan antibiotic secara sistemik atau dalam dialisat sesuai indikasi.1. Mencegah introduksi organism dan komtaminasi yang dapat menyebaban infeksi.2. Perubahan atau pergerakan kateter menyebabkan perdarahan

3. Keluaran keruh diduga infeksi peritoneal.4. Menurunkan resiko masuknya bakteri melalui kateter.5. Menunjukkan peritonitis yang membutuhanintervensi segera.6. SDP pada awal dapat menunjukkan respon normal terhadap subtsansi asing, namun berlanjutnya peningkatan menunjukkan adanya infeksi.

7. Mengidentifikasi organism dan intervensi yang tepat.8. Antibiotik dan dosis pilihan akan dipengaruhi oleh fungsi ginjal.

9. Mengetahui fungsi ginjal

10. Mengurangi infeksi dan mencegah sepsis.

Dx. 4 Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen, diafragma.Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi gangguan pola napas.Kriteria Hasil:1. Pola napas efektif yang ditunjukkan oleh: bunyi napas jelas dan tidak ada suara napas tambahan.2. GDA dalam batas normal3. tidak ada distress napas (takipnea, diaphoresis, gelisah)IntervensiRasional

1. Kaji frekuensi napas dan kedalaman napas

2. Auskultasi bunyi napas

3. Tinggikan kepala tempat tidur dan tingkatkan latihan napas dalam dan batuk.Kolaborasi4. Kaji GDA, oksimetri

5. Berikan O2 sesuai indikasi6. Berikan analgesic sesuai indikasi1. Gangguan pola napas selam dialysis diduga akibat tekanan diafragma, distensi abdomen atau terjadinya komplikasi.2. Suara napas yang tidak normal dapat disebabkan peningkatan caiaran dalam paru, tertahannya sekresi atau infeksi.3. Memudahkan ekspansi dada.

4. Perubahan pada PaO2/PaCO2 dan kongesti pada hasil foto dapat menunjukkan masalah pada paru.5. Memaksimalkan oksigen untuk penyerapan vascular, pencegahan hiposia.6. Menghilangkan nyeri, pernapasan nyaman, upaya batuk maksimal.

REFERENSICorwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1993)Long, B.C. Essential of medical surgical nursing : A nursing process approach. Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989)Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 2006 Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1999)Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarths textbook of medicalsurgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung.Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001