profesionalisme militer pasca orde...

80
PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDDE BARU Oleh: ISTIKHORI NIM. 102033224767 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M

Upload: others

Post on 12-Nov-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDDE BARU

Oleh:

ISTIKHORI

NIM. 102033224767

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/2008 M

Page 2: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU

Oleh:

ISTIKHORI

NIM. 102033224767

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/2008 M

Page 3: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

ISTIKHORI

NIM. 102033224767

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing

A. Bakir Ihsan, M.Si

NIP. 150326915

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/2008 M

Page 4: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif

Hidayatullah.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah .

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.

Ciputat, 15 Juni 2008

( ISTIKHORI )

Page 5: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

KATA PENGANTAR

Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, inayah

dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini

dengan tema ”Profesionalisme Militer Pasca Orde Baru”, sebagai persyaratan

untuk meraih gelar sarjana. Shalawat dan salam, semoga tetap dicurahkan kepada

junjungan kita, Nabi tercinta, Muhammad SAW.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak sedikit mengalami hambatan dan

rintangan terutama karena keterbatasan kemampuan penulis, waktu dan juga

buku-buku referensi yang tersedia. Oleh karena itu, dengan bangga dan rendah

hati penulis hendak menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang

yang telah turut membantu dan memberikan dukungan baik do’a, moril maupun

materil dengan tulus ikhlas. Terutama penulis persembahkan kepada kedua orang

tua, ayahanda Alm. H. Marzuki dan ibunda Hj. Aminah, berkat do’a dan kasih

sayang, serta perjuangan mereka yang senantiasa dilakukan untuk kesuksesan

masa depan penulis. demikian juga tidak ketinggalan kepada kakak-kakak dan

adik-adikku tercinta yang kesemuanya telah memberikan dukungan bagi penulis.

Selain itu, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

segenap pihak yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan dan

penyelesaian skripsi ini:

1. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA., sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat beserta segenap pembantu Dekan. Bapak Drs. Agus Darmadji, M.

Fils., selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, Ibu Dra. Wiwi Siti

Page 6: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Sajaroh, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan, serta segenap dosen yang telah

memberikan bekal pengetahuan kepada penulis, baik secara teoritis, maupun

praktis selama berada dalam perkuliahan.

2. Bapak A. Bakir Ihsan, M.si, selaku dosen pembimbing, yang telah

memberikan waktu luangnya bagi penulis, serta dengan penuh kesabaran,

ketelitian dan perhatian selama memberikan bimbingan kepada penulis.

Penulis haturkan terima kasih semoga Allah membalas segala kebaikan dan

kesabaran bapak dalam membimbing penulis.

3. Teman-temanku yang selama ini mendukungku mahasiswa Pemikiran Politik

Islam angkatan tahun 2002, Idham, Iepul, Dedek, Edi, Anay, Ubay, Yeni dan

lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, serta teman-teman ASPA,

Acoenk, Bengo, Cadel, Jaep, Belek, Rian, Ogeb, Phoker dan yang lainnya,

dan juga rekan-rekan BLIZMER 96. Thanks yaa..!

4. Terima kasih buat yang’ku Siti Marfu’ah yang telah banyak memberikan

dukungan dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

5. Dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skirpsi ini.

Akhirnya penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat

untuk seluruh kalangan. Walaupun, penulis menyadari masih banyak kekurangan

di sana-sini, karena berbagai keterbatasan penulis.

Jakarta, 15 Juni 2008

ISTIKHORI

Page 7: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..............................................................1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..........................................7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................7

D. Metode Penelitian .......................................................................8

E. Sistematika Penulisan .................................................................9

BAB II: KONSEP PROFESIONALISME

A. Pengertian Profesi, Profesional dan Profesionalisme ....................11

B. Kriteria dan Elemen Profesional Secara Umum............................19

C. Pengertian Profesionalisme Militer...............................................22

BAB III: PERGULATAN SEJARAH PROFESIONALISME MILITER DI

INDONESIA

A. Sejarah Pembentukan Militer dan Keterlibatannya dalam Politik

dan ekonomi di Indonesia ...........................................................27

B. Reformasi Internal dan Paradigma Baru Militer..........................33

1. Militer sebagai Alat Pertahanan Negara .................................37

2. Militer sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, dan

Tentara Nasional yang Profesional.........................................38

C. Perkembangan Paradigma Baru Militer ......................................40

BAB IV: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU

A. Kembali ke Barak ......................................................................44

Page 8: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

B. Tidak Berpolitik Praktis .............................................................47

C. Pemisahan TNI-POLRI ..............................................................51

D. Tidak Berbisnis ..........................................................................54

E. Refungsionalisasi dan Restrukturisasi Teritorial .........................60

BAB V: PENUTUP…………………………………………………………...64

A. Kesimpulan..................................................................................64

B. Saran............................................................................................67

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...68

Page 9: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memasuki era reformasi, militer memiliki kesempatan untuk introspeksi

diri atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Dalam hal ini militer

merumuskan paradigma baru dan melakukan reformasi internal yang disertai

dengan serangkaian konsep redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi perannya dalam

kehidupan kebangsaan dan kenegaraan untuk menatap masa depan. Apa yang

dilakukan, pada hakikatnya, merupakan usaha memperbaiki dan meningkatkan

image serta prestasi militer.

Pada dasarnya, reformasi internal militer bertujuan mewujudkan militer

yang profesional, efisien, efektif dan modern (PEEM) sebagai alat pertahanan

nasional dalam negara Indonesia yang demokratis dan modern. Hakikat reformasi

internal militer juga bertujuan memantapkan jati diri militer dalam kehidupan

negara Indonesia yang demokratis dan modern. 1

Ada tiga rumusan hakikat reformasi internal militer, pertama, fungsi

militer ialah sebagai alat pertahanan dan sebagai bagian dari sistem nasional,

yang otoritasnya diatur oleh undang-undang. Kedua, reformasi internal militer

ialah menumpukan pembinaan pada profesionalisme, disiplin, dan kesadaran

hukum. Ketiga, bahwa implementasi identitas dan jati diri militer sebagai tentara

1Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI), TNI Abad XXI: Redefinisi,

Reposisi, dan Reaktualisasi Peranan TNI: Langkah-Langkah Reformasi Internal Lanjutan TNI,

tahap II (Jakarta: Mabes TNI, 2001 ), h. 3.

Page 10: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional yang profesional harus ditegakkan

kembali.

Dalam rangka mewujudkan reformasi internal militer, maka militer

mengatur kembali tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara yang telah

dikukuhkan dengan ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No.

3 Tahun 2002 serta Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Dengan itu, militer tidak

melakukan banyak fungsi lagi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis.

Wujud dari reformasi internal militer adalah menciptakan profesionalisme

militer. Adapun bentuk nyata dalam menciptakan militer yang profesional pasca

Orde Baru ialah sebagai berikut; pertama, militer harus kembali ke barak, kedua,

tidak berpolitik praktis, ketiga, pemisahan TNI-POLRI, keempat, tidak berbisnis,

dan kelima, melakukan refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial.

Tidak seperti yang kita saksikan pada masa-masa sebelumnya, dimana

militer telah meninggalkan profesionalismenya serta mempunyai tugas dan peran

yang dwifungsi, bahkan ada yang mengatakan multifungsi. Untuk memperjelas

gambaran kita tentang militer berikut akan dijelaskan mengenai sejarah militer

dan keterlibatannya dalam dunia politik dan ekonomi di Indonesia.

Di Indonesia militer terlahir dari proses gerakan pembebasan nasional,

yang asal-usulnya adalah dari perlawanan rakyat dengan tujuan untuk merebut

kemerdekaan dari tangan penjajah.2 Pada awal pembentukannya, tujuan dari

militer selain untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, juga hanya

sebagai alat pertahanan negara saja. Hal ini dapat dilihat dalam amanat Panglima

2Soemitro, Suksesi Militer dan Mahasiswa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 59.

Page 11: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Besar Jenderal Soedirman di Yogyakarta pada 25 Mei 1946, yang antara lain

menyebutkan sebagai berikut:

Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan

kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup tentara teguh memegang kewajiban ini. Lagi pula sebagai tentara, disiplin harus

dipegang teguh. Tunduk kepada pimpinan atasannya dengan ikhlas mengerjakan segala yang diwajibkan. Harus diingat pula, oleh karena

negara Indonesia tidak cukup dipertahankan tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerja sama seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan

di luar tentara; tidak bisa menjadi alat suatu golongan atau siapapun juga.3

Memperoleh kekuasaan merupakan suatu tujuan ketika masuk ke dalam

dunia politik, dan mempertahankan kekuasaan yang sudah dicapainya merupakan

kegiatan yang penting dan memerlukan kesungguhan yang sangat besar dari pada

ketika mendapatkan kekuasaan tersebut.4 Inilah yang terjadi dimana ketika militer

memasuki dunia politik. Militer (TNI) khususnya TNI-AD sejak awal tahun 1945

sampai Orde baru memainkan peranan politik yang penting.5 Tanpa dukungan

TNI-AD pemerintah manapun tidak akan berkuasa lama.6

Keterlibatan militer Indonesia dalam politik dan ekonomi mempunyai akar

dan latar belakang yang panjang. Keadaanlah yang kemudian membuat militer

berubah dan terlibat dalam percaturan politik dan eknomi. Kaum militer campur

tangan dalam dunia politik karena beberapa faktor: yaitu keadaan yang

menuntutnya lantaran dalam keadaan perang kemerdekaan; dipojokkan dan

3Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,

(Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 1-2. 4Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1993), h. 49. 5Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), h. 389,

yang menyatakan bahwa dari awal sejarahnya dalam tahun 1945 sebagai tentara gerilya yang memerangi kembalinya kekuasaan penjajah Belanda sampai konsolidasi kekuasaan politiknya di

bawah Orde Baru, para perwira Angkatan Darat senantiasa melibatkan dirinya ke dalam masalah-

masalah politik dan hampir sepanjang masa itu dengan giat memainkan peranan politik yang

penting. 6Takashi Shiraishi, “Militer Indonesia dalam Politik”, dalam: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial

UNISIA, No.38/XXII/II/1999, h. 12.

Page 12: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

dicemooh oleh elite sipil secara tidak wajar; kegagalan pemimpin dan elite sipil

dalam menjalankan tugasnya dan adanya kekosongan pemerintah di daerah ketika

perang melawan Belanda, mengakibatkan militer mengisinya untuk menjalankan

pemerintahan.7

Dalam menghadapi keadaan ini, peran militer lebih menonjol, karena

kekuatan pemimpin sipil relatif tidak kokoh dan tidak mampu memainkan

perannya. Inilah yang kemudian menyebabkan militer mengambil peran politik.

Pemimpin sipil pada masa itu terlalu sibuk dengan perselisihan dan lebih

mementingkan golongannya saja.8

Peran politik militer berlanjut pada masa pemerintah Indonesia menganut

bentuk pemerintahan Demokrasi Parlementer. Pada masa ini banyak terjadi

kekacauan yang berlangsung di daerah akibat pemberontakan-pemberontakan dan

inilah keadaan yang menyebabkan tentara memainkan peran yang semakin

dominan dalam bidang politik. Apalagi karena kekacuan tersebut pemerintah

memberlakukan keadaan darurat perang pada 1957, yang berarti bahwa segala

wewenang administrasi dan pembangunan ekonomi ditangani oleh tentara.

Ketidakstabilan politik ini kemudian mendorong Presiden Soekarno

mengeluarkan Dektrit untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 (UUD

1945).9

7Bambang Sutedjo, “Peran ABRI dalam Kehidupan Nasional”, dalam Yusuf Solichin,

Atmadji Sumarkidjo dan Suhadi, ABRI Profesional dan Dedikatif, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 14.

8ULF Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI

(Jakarta: LP3ES,1986), h. 211. 9UUD 1945 adalah UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disahkan leh Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang 18 Agustus 1945, sehari sesudah

proklamasi kemerdekaan.

Page 13: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Sejak itu mulailah demokrasi terpimpin di Indonesia. Dalam demokrasi

terpimpin, tentara, khususnya Angkatan Darat, ditarik ke dalam politik kekuasaan.

Banyak perwira militer dibawa masuk untuk memegang jabatan dalam lembaga-

lembaga resmi pemerintah, seperti menjadi menteri, anggota DPR/MPR,

Gubernur, atau jabatan-jabatan lainnya.10

Sedangkan pada Orde Baru, TNI atau militer menjadi lebih aktif lagi

dalam arena politik praktis. Peran politik militer dalam bidang sosial politik

menjadi sungguh luar biasa luasnya. Pemimpin Orde Baru, Soeharto memang

memberikan peluang secara luas kepada militer untuk itu, karena format politik

Orde Baru mendayagunakan peran sosial politik militer untuk menjaga

kepentingannya.11

Dengan demikian fungsi militer sebagai alat negara telah bergeser menjadi

alat pemerintah Soeharto dan keluarganya serta para kroninya (klien). Hal ini

secara sadar diakui oleh pihak militer (ABRI) sendiri yang menyatakan bahwa

“format politik Presiden Soeharto untuk mendayagunakan peran sosial politik

ABRI bagi kepentingannya”.12

Namun setelah Orde Baru tumbang atau pada era reformasi ini, maka

sebagai komponen bangsa dan bagian dari sistem nasional, TNI menyadari

pentingnya reformasi nasional sebagai usaha mewujudkan kehidupan masyarakat

10

Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, h. 179. 11

Lihat: Dewi Fortuna Anwar & Idi Subandy Ibrahim (ed.), Gusdur versus Militer: Studi

tentang Hubungan Sipil-Militer di Era Transisi, (Jakarta: PT. Grasindo, 1998), h. 4; dan lihat juga:

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI), TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan

Reaktualisasi Peranan TNI dalam Kehidupan Bangsa (Jakarta: mabes TNI,1999 ), h. 22. 12Mabes ABRI, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 14.

Page 14: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

dan bangsa Indonesia yang lebih baik. Karena itu, sejak reformasi dicanangkan,

TNI telah merumuskan konsep-konsep reformasi secara konstitusional.

TNI telah melakukan redefinisi, reposisi, dan rektualisasi peran, karena

menyadari keterlibatannya dalam politik sudah kebablasan (over reach), yang

meyebabkan demokrasi tidak bisa berkembang. TNI melakukan reformasi internal

melalui perumusan paradigma barunya. Paradigma baru TNI ini bertujuan untuk

melaksanakan tujuan nasional secara terpadu oleh segenap komponen bangsa,

tanpa ada yang mendominasi satu sama lain, dan tanpa ada yang menempatkan

diri pada posisi sentral.13

Proses reformasi politik yang terus berlangsung telah memaksa TNI

melakukan perubahan paradigma, peran, fungsi dan tugasnya. Tuntutan untuk

melakukan perubahan tersebut adalah konsekuensi dari kehendak rakyat dan

otoritas politik dalam membangun sebuah sistem ketatanegaraan yang lebih

demokratis, yang mensyaratkan adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi

sipil.14

Kalau diamati, perkembangan kehidupan militer di Indonesia sebelum

reformasi internal banyak menyimpang dari prinsip profesionalisme. TNI selalu

ikut campur dalam politik praktis dengan mendominasi pemerintahan dan menjadi

tonggak partai Golkar. Karena itu, dalam melakukan dan mengimplementasikan

reformasi internalnya, TNI harus berpedoman dan mengacu pada prinsip

pengembangan profesionalisme.

13

Mabes ABRI, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 22-23. 14

Tim Imparsial, Menuju TNI Profesional, Tidak Berbisnis dan Tidak Berpolitik:

Perjalanan Advokasi RUU TNI, (Jakarta: Imparsial, Koalisi Keselamatan Masyarakat Sipil, LSPP,

2005), h. 1.

Page 15: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Dengan penjelasan singkat di atas, maka dalam hal ini penulis ingin

membahas lebih jauh lagi tentang perkembangan militer di Indonesia dan

berusaha untuk memperjelas bahwa sebenarnya fungsi militer adalah sebagai alat

pertahanan dan keamanan negara, juga militer sebagai tentara rakyat, tentara

pejuang, dan tentara nasional yang profesional dan tidak ikut campur dalam dunia

perpolitikan, bukan seperti yang selama masa Orde Baru kita saksikan

bahwasannya militer dijadikan alat kekuasaan. Dalam hal ini penulis juga akan

menggambarkan tentang profesionalisme militer pasca Orde Baru. Berkaitan

dengan masalah di atas maka penulis membuat skripsi ini dengan tema,

PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dalam bahasan

skripsi ini perlu membatasi agar lebih terfokus dan terarah. Batasan dalam skripsi

ini hanya berkisar tentang bentuk nyata yang harus dilakukan militer untuk

menciptakan profesionalisme militer pasca Orde Baru.

Mengacu pada batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan

permasalahannya yang berkisar pada tolak ukur apa saja yang harus dilakukan

militer sehingga tercipta profesionalisme militer pasca Orde Baru?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini meliputi dua tujuan, yakni :

1. Tujuan Umum

Page 16: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh

mengenai perkembangan, sejarah, dan keterlibatan militer dalam

dunia politik di Indonesia, juga tentang perkembangan

profesionalisme militer pasca Orde Baru. Dan juga untuk

memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa sesungguhnya

militer pada zaman reformasi sekarang ini berbeda dengan militer

pada masa sebelumnya.

2. Tujuan Penulisan

Skripsi ini merupakan tugas akhir agar penulis memperoleh

gelar S1 pada Program Pemikiran Politik Islam, Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Dalam rangka menyusun skripsi yang berjudul PROFESIONALISME

MILITER PASCA ORDE BARU ini, penulis menggunakan metode penelitian

dengan teknik deskriptif-analisis, yaitu sebuah metode yang berusaha

menggambarkan sejarah, perkembangan, dan keterlibatan militer dalam politik,

serta mengenai prinsip-prinsip tentang profesionalisme militer di Indonesia pada

era reformasi sekarang ini sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih

mendetail.

Adapun mengenai teknik pengumpulan data, penulis memilih metode studi

pustaka (Library Reseach) yang data-datanya diperoleh dari buku referensi

Page 17: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

primer, adalah buku Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI), TNI

Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peranan TNI: Langkah-

Langkah Reformasi Internal Lanjutan TNI, tahap II (Jakarta: Mabes TNI, 2001).

Sedangkan data-data sekunder, diantaranya buku Abdoel Fatah, Demiliterisasi

Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, (Yogyakarta: LKIS, 2005), dan

buku Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer

di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2005). Kedua buku tersebut ditulis oleh dua orang

dengan latar belakang dan profesi yang berbeda. Abdoel Fatah berasal dari militer,

sedangkan Yuddy Chrisnandi berasal dari sipil. Juga berasal dari buku lainnya

yang menyangkut masalah yang dibahas skripsi ini, termasuk surat kabar,

majalah, artikel-artikel, data dokumenter, media elektronik dan lainnya yang

berkenaan dengan judul skripsi ini.

Sedangkan mengenai sistematika penulisannya berpedoman pada Buku

Pedoman Akademik 2005-2006 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini menjadi lebih sistematis, maka skripsi ini akan

dibagi menjadi lima bab. Yakni masing-masing terdiri dari sub-sub bab, yang

terdiri sebagai berikut :

Tulisan ini dimulai dari bab pertama, yang diawali dengan latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode

penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

Page 18: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Selanjutnya dalam bab kedua berisi mengenai landasan teori, yang

menjelaskan tentang konsep profesionalisme. Lebih jelasnya dalam bab ini

dijelaskan tentang pengertian profesi, profesional, dan profesionalisme, juga

tentang kriteria untuk kualifikasi sebagai profesional dan elemen profesional

secara umum, pada bab ini juga menjelaskan tentang pengertian profesionalisme

militer.

Berikutnya pada bab ketiga menggambarkan secara umum tentang sejarah

dan keterlibatan militer dalam dunia politik di Indonesia, tentang paradigma baru

dan reformasi internal militer. Bab ini juga menerangkan mengenai perkembangan

paradigma baru militer di Indonesia.

Selanjutnya ialah bab empat yang merupakan bab utama. Dalam bab ini

lebih pada analisa penulis yang menjelaskan tentang bagaimana wujud nyata

militer Indonesia yang berusaha untuk menjadi militer yang profesional pasca

Orde Baru. Adapun wujud nyata yang telah dilakukan militer atau TNI adalah

sebagai berikut; pertama, militer harus kembali ke barak, kedua, tidak berpolitik

praktis, ketiga, pemisahan TNI-POLRI, keempat, tidak berbisnis, dan kelima,

melakukan refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial.

Yang terakhir adalah bab lima, yang merupakan bab penutup yang berupa

kesimpulan dan saran-saran serta kritik penulis.

Page 19: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

BAB II

KAJIAN TEORITIS MENGENAI KONSEP PROFESIONALISME

A. Pengertian Profesi, Profesional dan Profesionalisme

1. Profesi

Profesi berasal dari bahasa latin "Proffesio" yang mempunyai dua

pengertian, yaitu janji atau ikrar dan pekerjaan. Artinya bila dibuat dalam

pengertian yang lebih luas menjadi kegiatan "apa saja" dan "siapa saja" untuk

memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan,

dalam arti sempit, profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian

tertentu, juga dituntut adanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.15

Dalam pengertian yang lain, profesi memiliki makna yaitu bidang

pekerjaan yang ditekuni yang didasarkan pada keahlian atau kemampuan atau

kompetensi yang dimiliki.16

Profesi juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang

dilandasi oleh pengetahuan atau pendidikan tertentu.17

Istilah profesi didapat dari orang-orang yang mengajarkan “to profess”

atau menyatakan, yang pada awalnya ini merupakan perintah dari agama, tetapi

pada abat ke 17, definisi dari perkataan ini dialihkan ke dalam masalah duniawi

yang berarti “proses pencapaian hak kualifikasi”.

Cafario berpendapat mengenai profesi, menurutnya bahwa definisi

profesi memiliki beberapa unsur pengertian, yaitu: pekerjaan dilakukan dalam

15

Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www1.bpkpenabur.or.id, 16

M. Dahlan Y. Al-Basry, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, (Surabaya: Target

Press, 2003), h. 168. 17

Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia; Kamus Terbaru, (ttp: Gita Media

Press, tt ), h. 175.

Page 20: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

waktu yang panjang, pekerjaan itu penting bagi kelompok atau kesatuan,

pekerjaan itu berguna untuk mencapai kemajuan. Dengan kata lain, profesi

merupakan sebuah keahlian dan kemahiran melalui proses belajar untuk

meningkatkan pengetahuan yang spesifik.18

Istilah profesi dan pekerjaan untuk sebagian masyarakat yang belum

memahami istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, namun jika dikaji

lebih mendalam kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda.

Untuk mengetahui lebih jauh, marilah kita lihat dari sudut bahasa, yaitu istilah

pekerjaan (accupation) adalah setiap aktivitas kerja, baik yang menghasilkan

imbalan ataupun yang bersifat sukarela atau tanpa imbalan. Istilah profesi

(Profess) berarti pengakuan atau merupakan pekerjaan dalam pengertian khusus

dan memenuhi persyaratan tertentu.

Menurut Carrsander dalam kuliahnya di Oxford University berpendapat

bahwa, cikal bakal perkembangan profesi atau keahlian, dimulai pada masa

Revolusi Industri, yang kemudian berkembang atau tercipta berbagai jenis

pekerjaan baru yang disebut sebagai profesi.19

Ilmuwan lainnya Louis D. Brandeis mengemukakan perbedaan antara

pekerjaan dan profesi. Dalam pendapatnya, disebutkan bahwa profesi adalah

pekerjaan yang memerlukan persyaratan khusus, antara lain meliputi:

a. Memiliki intelektual dalam ilmu pengetahuan atau sains serta mampu

menguasai keterampilan yang cukup.

18

Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http.//www.ipai.info/profesionalisme.htm 19

Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www.perpusjatim.go.id

Page 21: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

b. Untuk melakukan kegiatan, profesi harus mengikuti pendidikan dalam

bidang ilmu tersebut.

c. Pekerjaan profesi ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada orang

lain atau pemakai jasa.

d. Berhasilnya pekerjaan tersebut tidak diukur berdasarkan imbalan uang,

tetapi diukur berdasarkan hasilnya.

Menurut Abraham Flexner, suatu profesi harus memenuhi 6 syarat, yaitu:

a. Profesi merupakan pekerjaan intelektual, maksudnya menggunakan

intelegensia yang bebas dan diterapkan atau dipraktekan pada persoalan

atau masalah dengan tujuan untuk memahami dan menguasainya.

b. Profesi merupakan pekerjaan yang berdasarkan pengetahuan.

c. Profesi merupakan pekerjaan praktikal artinya bukan seluruh teori

akademik, tetapi dapat diterapkan atau dipraktekan.

d. Profesi terorganisir secara sistematis.

e. Memiliki standar dan tolak ukur dalam pelaksanaannya.

f. Berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya, bukan kepada diri

profesional.

Dengan demikian profesi merupakan jenis pekerjaan tetap dan penuh.

Artinya profesi merupakan pekerjaan yang layanannya diperlukan oleh

masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi atau memenuhi

kebutuhan mereka secara terus menerus.20

20Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www.perpusjatim.go.id

Page 22: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

2. Profesional

Menurut Kamus Bahasa, definisi profesional adalah yang berkaitan dengan

atau bergiat dalam bidang profesion, yang memerlukan kepandaian khusus untuk

melaksanakannya, mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.21

Dalam pengertian lain, professional mengandung arti memerlukan tekhnik atau

keterampilan khusus untuk melaksanakannya, bersifat bayaran atau mengharuskan

adanya bayaran untuk melakukannya, lawan dari amatir.22

Kata profesional sering muncul dalam lingkungan kerja maupun

organisasi. Tentunya tidak mudah mendefinisikan arti profesional ini. Kata

profesional sering kita dengar dan bahkan kita sendiri juga sering

mengucapkannya. Istilah profesional biasanya dipakai untuk menunjukkan status

si pelaku yang karena keahliannya memang harus dibayar untuk menampilkan

kemampuannya, berbeda dengan amatir, amatir lebih karena hobi. Ada definisi

praktis misalnya, profesional berarti bayaran, seperti petinju profesional, petenis

profesional, dan sebagainya. Biasanya ini berhubungan dengan olah raga, dalam

dunia olahraga mengenal olahragawan profesional dan amatir.23 Dari definisi ini

dapat dipahami bahwa sesuatu tugas yang dilaksanakan oleh seseorang dengan

baik dan mengikuti aturan-aturannya, maka pelaksana itu dikenali sebagai orang

yang profesional.24

21Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 175. 22

Al-Basry, Kamus Induk Istilah, h. 168. 23

Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://rovicky.wordpress.com/2006/05/06/mental-

profesional-untuk-buruh-maupun- juragan/ 24

Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://laptopdarulfiqh.blogspot.com/2007/05/siapakah-

profesional-pas-sebenar.html

Page 23: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Pellegrino memberikan perspektif meyakinkan mengenai sesuatu yang

profesional. Dia menyatakan bahwa dasar filosofi dari suatu profesi yang

sesungguhnya itu terletak pada “adanya sesuatu yang khusus” yang dibutuhkan

dalam hubungan antar-manusia, antara pemberi jasa dan mereka yang

membutuhkan jasa bantuannya. Pellegrino menyimpulkan ucapannya seperti

berikut “Menjadi seorang profesional adalah membuat janji untuk pengharapan,

memegang janji itu, dan melaksanakan janjinya untuk kepentingan terbaik dari

pasien-pasien”. 25

Pada masyarakat umum, terdapat pengertian bahwa profesional selalu

dikaitkan dengan keahlian dan dengan tinggi rendahnya bayaran seseorang dalam

melaksanakan tugasnya. Mutu hasil kerja yang kurang baik sering juga disebut

kerja tidak profesional atau amatiran. Bagi seorang profesional mutu kerja harus

tinggi karena dia dibayar untuk melakukan tugasnya, dengan kata lain dia harus

bertanggung jawab atas apa yang dia kerjakan. Apabila mutunya tidak

memuaskan tentu dia tidak akan laku. Dengan demikian, istilah profesional

minimal harus mempertimbangkan dua hal yaitu dari sisi kemampuan pelaku dan

mutu hasil karyanya.

3. Profesionalisme

Dalam Kamus Bahasa, profesionalisme berarti keadaan atau ciri-ciri yang

menunjukkan suatu profesi.26

Dalam pengertian lain, profesionalisme adalah suatu

paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam

masyarakat, berbekalkan keahlian tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan,

25

Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www.jls.gov.my 26Al-Basry, Kamus Induk Istilah Ilmiah, h. 78.

Page 24: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut, dengan semangat pengabdian

selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung

kesulitan di tengah gelapnya kehidupan.27

Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu

yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus,

disamping itu pula, ada unsur semangat pengabdian atau panggilan profesi di

dalam melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk

membedakannya dengan kerja biasa yang semata bertujuan untuk mencari nafkah

atau kekayaan materiil-duniawi.

Lebih lanjut Wignjosoebroto menjabarkan profesionalisme dalam tiga

watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian "jasa

profesi" ialah bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan

kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya

tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil. Kerja

seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas

tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan pelatihan yang panjang,

eksklusif, serta berat, bahwa kerja seorang profesional diukur dengan kualitas

teknis dan kualitas moral, harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme

kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam

sebuah organisasi profesi.28

27

Sritomo Wignjosoebroto, Makalah Pengantar untuk Perbincangan Tentang

" Perspektif Pembangunan Daya Saing Global Tenaga Kerja Profesional ", Institut Teknologi

Sepuluh November – Surabaya, 1999. 28Wignjosoebroto, Makalah Pengantar

Page 25: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Profesionalisme bukanlah suatu hal yang mudah dipahami, karena istilah

ini sudah digunakan secara luas di semua kalangan sehingga konsep yang jelas

sulit untuk diformulasikan. Namun demikian, ada indikator-indikator yang

menunjukkan tentang sikap profesionalisme, yang salah satunya adalah tidak

adanya rangkap jabatan.

Rangkap jabatan akan lebih menarik lagi kalau dihubungkan dengan

keinginan terciptanya profesionalisme aparatur pemerintahan. Berdasarkan konsep

Max Weber, profesionalisme mempunyai arti bahwa seseorang memegang suatu

jabatan atau kegiatan sesuai dengan keahliannya, baik dilihat dari kesesuaian

pendidikan maupun pengalaman yang berhubungan dengan jabatannya. Oleh

karena itu, sudah lama istilah profesionalisme digunakan dalam jabatan-jabatan

atau kegiatan-kegiatan birokrasi pemerintahan.

Sebenarnya konsep profesionalisme tidak hanya berlaku dalam kegiatan

atau jabatan pemerintahan. Setiap orang yang mempunyai jabatan sesuai dengan

keahliannya dapat dikatakan profesional dengan penilaian bahwa ia akan berhasil

dalam melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain, sifat profesionalisme bukan

hanya dilihat dari kesesuaian antara pendidikan atau keahlian dengan jabatan,

tetapi juga dihubungkan dengan hasil yang diperolehnya. Yang dimaksud adalah

semangat kerja dan ketaatan akan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

Termasuk juga di dalamnya konsentrasi terhadap pekerjaan sebagai refleksi dari

rasa tanggung jawab atas jabatan yang dipercayakannya. 29

29

Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www.pikiran-

rakyat.com/cetak/2005/1105/23/0801.htm

Page 26: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Profesionalisme adalah kombinasi dari pengetahuan dan kemahiran yang

berkemampuan tinggi dalam bidang yang spesifik. Sedangkan profesi merupakan

tugas atau pekerjaan yang spesifik itu. Perlmutter menyatakan:30

Profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan latihan dan pendidikan

yang sempurna dalam suatu bidang yang terspesialisasi. Tujuan pendidikan yang

lama dan intensif dimaksudkan agar tetap terpelihara tingkat-tingkat prestasi dan

pelaksanaan yang tinggi sesuai dengan standar-standar, baik yang ditentukan oleh

aturan main organisasi atau pendapat para kolega. Tingkat profesionalisme suatu

pekerjaan tertentu diukur lewat pelaksanaan, metode, karakter, status, dan standar

orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Karena status khusus ini, kaum

profesional yang sejati memperoleh wewenang yang menentukan dalam

hubungannya dengan para klien (rakyat dan pemerintah).

Pernyataan Perlmutter ini mengandung beberapa makna. Pertama, suatu

profesi merupakan pekerjaan khusus. Kedua, profesional memerlukan pendidikan,

latihan yang lama dan intensif untuk memelihara, meningkatkan dan

mengukuhkan tingkat profesionalisme. Ketiga, pekerjaan itu dinilai dengan

pelaksanaannya, metode, dan standar yang ditentukan oleh orang atau kawan

seprofesi. Keempat, keabsahan wewenang seorang profesional berdasarkan

keahliannya dalam badan-badan profesional yang berkaitan. Kelima, profesional

mempunyai tanggung jawab sosial.

30

A. Perlmutter, Militer dan Politik, Terj. Sahat Simamora, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo

Persada, 2000), h. 1.

Page 27: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

B. Kriteria dan Elemen Profesional Secara Umum

1. Kriteria Sebagai Sesuatu yang Profesional

Paling tidak ada empat prinsip etika profesi yang harus menjadi pegangan

dalam menjalani suatu profesi. Keempat prinsip tersebut adalah:

a) Prinsip tanggung jawab

Tanggung jawab adalah salah satu prinsip pokok bagi kaum

profesional. Ada dua rasa tanggung jawab yang melekat pada orang

profesional. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan

dan hasilnya. Artinya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan

melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja

sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil maksimum,

dan dengan kualitas terbaik. Kedua, bertanggung jawab atas dampak

profesinya terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya

kepentingan orang-orang yang dilayani.

b) Prinsip keadilan

Prinsip ini terutama menuntut orang profesional agar dalam

menjalankan profesinya tidak merugikan hak dan kepentingan pihak

tertentu, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayani dalam rangka

profesinya. Prinsip ini juga menuntut agar dalam menjalankan profesinya

orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap

siapapun, termasuk orang yang tidak membayar jasa keprofesionalannya.

Page 28: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

c) Prinsip otonomi

Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan

profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya

dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan konsekuensi

dari hakikat profesi itu sendiri. Prinsip ini terutama ditujukan kepada pihak

pemerintah, agar menghargai otonomi suatu profesi dan karena itu tidak

boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi penting,

agar kaum profesional bisa secara bebas mengembangkan profesinya,

dengan berbagai inovasi dan kreativitasnya yang berguna bagi

perkembangan profesi dan kepentingan masyarakat luas. Hanya saja

prinsip otonomi punya batas-batasnya.

Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan

komitmen profesional atau keahlian dan moral atas kemajuan profesi

tersebut serta dampaknya pada kepentingan masyarakat. Kedua, otonomi

juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat

pertama menghargai otonomi kaum profesional, pemerintah tetap menjaga,

dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi

tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum.

d) Prinsip integritas moral

Sebenarnya prinsip ini merupakan tuntunan kaum profesional atas

dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya tidak akan

merusak nama baik, serta citra dan martabat profesinya. Konsekuensinya,

pertama, orang profesional tidak akan mudah kalah dan menyerah pada

Page 29: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

godaan atau bujukan apapun untuk lari atau melakukan tindakan yang

melanggar nilai yang dijunjung tinggi profesinya. Kedua, malah

sebaliknya, malu kalau bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai moral,

khususnya nilai yang melekat dan diperjuangkan profesinya.31

Abin Syamsuddin memberikan 7 kriteria profesional, yaitu: 32

1. Profesional itu dinyatakan dalam bentuk “pekerjaan full-time” yang

merupakan sumber penghasilan baginya.

2. Profesional memiliki “specialized body of knowledge” dan “keterampilan”

yang didapatkan melalui pendidikan dan pelatihan formal dalam waktu

yang lama.

3. Profesional membuat keputusan atas nama klien atas dasar ketetapan yang

jelas, berdasarkan pengetahuan teori yang luas dan keahlian di dalam

penerapan klinis.

4. Profesional memiliki satu orientasi pelayanan. Pelayanan ini dinyatakan

secara tidak langsung dalam bentuk keterampilan diagnostik, kemampuan

menerapkan pengetahuan pada kebutuhan khusus dari klien dan tidak

mementingkan diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri.

5. Memberikan pelayanan berdasarkan pada kebutuhan obyektif dari klien

dan tidak ada pamrih tertentu yang diharapkan oleh profesi dari klien.

6. Profesional memiliki otonomi dalam bertindak dan memutuskan.

7. Memiliki kriteria untuk registrasi, standar pendidikan, lisensi, ujian masuk,

dan yurisdiksi atau batas kekuasaan.

31

Diakses tanggal 12 Juli 2007 dari

http://www.bharian.com.my/Joran/JoranBH/Sally/20050616151437/joranews_htm 32

Abin Syamsuddin, Pengembangan Profesi Kependidikan, (Bandung: Pascasarjana UPI,

2000), h. 12.

Page 30: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

2. Elemen Profesional Secara Umum

Secara teoritis, profesionalisme itu sulit diukur dan hanya bisa diakui

secara ekstrim, sukses dan gagal. Elemen profesional secara umum adalah:

a) Altruisme adalah berani berkorban, mementingkan orang lain. Bentuk

dari sikap profesionalnya adalah suka membantu, problem solver,

membuat keputusan secara tepat, obyektif.

b) Komitmen terhadap kesempurnaan. Bentuk dari sikap profesionalnya

adalah efektif – efisien, memberikan atau mengerjakan yang terbaik.

c) Toleransi, bentuk dari sikap profesionalnya adalah adaptable, suka

bekerja sama, komunikatif, bijaksana, minta tolong jika memerlukan.

d) Integritas dan karakter, bentuk dari sikap profesionalnya adalah jujur,

teguh, percaya diri, berjiwa pemimpin, memberi teladan.

e) Respek kepada semua orang, bentuk dari sikap profesionalnya adalah

menerima kritik, menepati janji, memegang rahasia, menghormati

orang lain, tahu diri.

f) Sense of duty, Bentuk dari sikap profesionalnya adalah disiplin, tepat

waktu, dan taat aturan.33

C. Pengertian Profesionalisme Militer

Sejarah kelahiran militer yang profesional sudah dimulai sejak abad 18

yang muncul dan berkembang di Eropa. Revolusi Perancis tahun 1789 menandai

menggejalanya profesi militer. Profesionalisme adalah kombinasi dari

pengetahuan dan kemahiran yang berkemampuan tinggi dalam bidang yang

spesifik. Konsep profesionalisme militer mengandung arti bahwa militer harus

33Diakses tanggal 12 Juli 2007 dari http://www.ipai.info/profesionalisme.htm

Page 31: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

memiliki keahlian dan keterampilan khusus dalam bidangnya dan memiliki

tanggung jawab terhadap tugas yang dilakukannya.34

Militer yang profesional menurut Erick A. Nordlinger terkait juga dengan

kemampuan seorang prajurit menjalankan tugasnya mempertahankan ketertiban

nasional dalam menghadapi ancaman, menggunakan senjata dalam pertempuran,

serta tidak melibatkan diri dari urusan nonmiliter.35 Mengacu kepada

Hungtington, profesionalisme militer mengandung tiga makna, yaitu:36

Pertama,

Expertise atau keahlian yang di dalamnya mengandung makna bahwa orang yang

profesional adalah orang ahli yang memiliki pengetahuan dan keterampilan

khusus dalam bidang tertentu.

Kedua, Social responsibility (tanggung jawab sosial) yang di dalamnya

mengandung makna bahwa orang yang profesional adalah orang yang memiliki

tanggung jawab sosial atas profesinya yang memiliki klien yakni anggota

masyarakat sendiri dimana segala bentuk kerja dan imbalannya tidak semata-mata

atas kinerja yang dilakukan. Dalam konteks profesionalisme militer, tanggung

jawab sosialnya terlihat dari peran, fungsi dan kerjanya yang melindungi negara

dan masyarakat dari ancaman bersenjata.

Ketiga, Corporatennes (kesatuan), yang dimensinya menunjukkan pada

kesadaran dan loyalitas bahwa militer adalah anggota sebuah kelompok atau

lembaga khusus dan terhormat yang mempunyai kompetensi profesional

34

Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru “Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi dan

Pengaruhnya terhadap Pembentukan Rezim Otoriter”, (Bandung: PT.Remaja Pos Perkasa, 1998),

h. 5. 35

Erick A. Nordlinger, Militer Dalam Politik, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1990), h. 69. 36

Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,

(Yogyakarta: LKIS.2005), h. 245.

Page 32: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

berdasarkan standar formal yang ditetapkan. Dimensi ini mengandung makna

bahwa militer memiliki prinsip, struktur, lembaga dan kode etik tersendiri.

Tentang profesionalisme militer, Huntington menggunakan analogi yang

sederhana. Jika tanggung jawab pokok dari seorang dokter adalah kepada

pasiennya, dan seorang pengacara kepada kliennya, maka tanggung jawab pokok

seorang perwira militer adalah kepada negara. Seperti dokter dan pengacara,

perwira hanya mengurusi satu segmen dari berbagai kegiatan kliennya. Ia hanya

menjelaskan kepada kliennya mengenai kebutuhan dalam bidang ini,

menyarankan hal-hal yang dapat memenuhi segala kebutuhan klien tersebut, dan

setelah kliennya tersebut mengambil keputusan, membantu klien tersebut

menerapkan itu semua.37

Huntington menambahkan bahwa profesionalisme tidak hanya dimaknai

sebagai kemampuan, skill, dan expertise seseorang atau lembaga terhadap

pekerjaan yang menjadi bidangnya saja, tetapi juga memiliki ciri-ciri khusus lain.

Salah satu hal yang bisa disebut sebagai ciri khusus di sini adalah responsibility.

Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai

sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi tanggung

jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan

negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam

konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi

juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi

dan pertimbangan.

37Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 246.

Page 33: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Karena itu, masih dalam pandangan Huntington, militer profesional

mempunyai tiga karakter atau ciri. Pertama, keahlian sebagai karakter utama yang

karena keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan

dan keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk

mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam

kondisi perang maupun damai.

Kedua, militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang

khusus. Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari

insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada negara. Ini

berbeda dengan paradigma yang lazim sebelumnya bahwa militer seakan-akan

”milik pribadi” komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan

sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak

mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan hal-hal

yang bertentangan dengan kepentingan rasional.

Ketiga, militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan

rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan

apa yang disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar

bagi hubungan militer dan negara.

Huntington melihat bahwa intervensi politik militer terjadi sehubungan

dengan adanya instabilitas politik dan kemunduran yang berasal dari politisasi

kekuatan-kekuatan sosial serta tidak adanya partai-partai politik yang melembaga.

Ia juga melihat bahwa prajurit profesional klasik lahir apabila suatu koalisi sipil

memperoleh supremasi terhadap militer. Militer dengan pengetahuan dan keahlian

Page 34: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Sebab itu, di negara-negara

yang telah maju, militer berada di bawah supremasi sipil.38

Berikut penting untuk kita perhatikan tentang perbincangan Perlmuttter

dan Huntington tentang arti dan ciri profesionalisme sebagai bahan untuk

merumuskan ciri-ciri profesionalisme militer:39

1. Ahli dan mahir dalam melaksanakan tugas pertahanan negara atau

perang melawan ancaman dari musuh negara.

2. Bersikap netral dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis.

3. Memiliki disiplin, menaati hukum, memiliki esprit de corps (jiwa

korsa) yang tinggi dan sehat.

4. Memiliki moral dan etika keprajuritan yang tinggi.

5. Menghargai dan membela rakyat secara proporsional.

6. Menghargai pihak berkuasa atau supremasi sipil.

38

Diakses tanggal 12 Juli 2007 dari

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/23/opi02.html 39Perlmutter, Militer dan Politik, h. 34.

Page 35: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

BAB III

PERGULATAN SEJARAH PROFESIONALISME MILITER

DI INDONESIA

A. Sejarah Pembentukan Militer dan Keterlibatannya dalam Politik dan

Ekonomi di Indonesia

Militer di Indonesia lahir dari proses perjuangan kemerdekaan bangsa atau

dari revolusi nasional, yang pada asal mulanya adalah dari perlawanan rakyat

dengan diawali dari pembebasan nasional dan kemudian beralih menjadi gerakan

perlawanan bersenjata. Tujuannya adalah untuk merebut kemerdekaan dari tangan

penjajah.40 Jadi, tentara atau militer Indonesia adalah tentara yang menciptakan

diri sendiri. Artinya, tidak diciptakan oleh pemerintah, dan juga tidak diciptakan

oleh suatu partai politik. Dengan kata lain berdirinya militer di Indonesia adalah

bukan dari atas, akan tetapi berasal dari bawah, dari rakyat dan oleh rakyat

sendiri, terutama para pemudanya.41

Rakyat pejuang bersenjata tercipta melalui para pemuda yang mempunyai

semangat dan keberanian yang tinggi serta siap berkorban untuk membela bangsa

dan negara, dengan berusaha melawan kekuatan asing. Para pemuda itu datang

dari berbagai organisasi, seperti Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA),

Seinendan (organisasi pemuda), Keibodan (pasukan keamanan), Shusintai

(barisan pelopor), Heiho (pembantu prajurit), Gokukotai (pasukan pelajar),

40

Soemitro, Suksesi Militer dan Mahasiswa, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997), h. 59. 41

Salim Said, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2001), h. 2.

Page 36: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Hizbullah, dan pemuda-pemuda mantan KNIL42

. Mereka semua merasa

mempunyai tugas bersama dalam mempelopori perjuangan kemerdekaan dan

untuk merebut kekuasaaan dari Jepang.43

Perkembagan organisasi militer Indonesia yang merupakan gabungan dari

berbagai organisasi pemuda dan para pejuang yang kemudian menyatukan diri

sebagai Badan Keamanan Rakyat (BKR)44 bukan sebagai tentara reguler. BKR

berkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tanggal 5 Oktober 1945

dan baru memiliki panglima besar yang dipilih sendiri yaitu Jenderal Sudirman

pada tanggal 18 Desember 1945.

Pada 1 Januari 1946 dengan penetapan pemerintah, maka Tentara

Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, dan juga

mengubah Kementrian Keamanan Rakyat menjadi Kementrian Pertahanan.

Tentara Keselamatan Rakyat kemudian berubah menjadi Tentara Republik

Indonesia (TRI) pada 26 Januari 1946, yang merupakan organisasi militer bersifat

nasional (kebangsaan).45

Karena adanya perbedaan strategi antara pemuda pejuang bersenjata yang

menginginkan tindakan berani dan cepat (perang) dengan para pemimpin

42

KNIL adalah tentara yang dibentuk oleh penjajah Belanda untuk kepentingannya. Bekas

KNIL terbagi dua, mereka yang aktif sebagai perwira pada zaman penjajahan Belanda, dan bekas

perwira KNIL dari pendidikan Calon Perwira Cadangan (CORO) dan Akademik Militer Kerajaan

Belanda (KMA) di Bandung yang relatif muda, seperti A.H Nasution, T.B. Simatupang. Golongan

muda inilah yang memiliki dan memahami semangat revolusi. (Lihat, Abdoel Fatah,

Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, [Yogyakarta: LKIS.2005] ), h. 45. 43T.B. Simatupang, Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1981), h. 79. 44

BKR yang didirikan tanggal 22 Agustus 1945 terdiri dari unsur PETA, KNIL, Heiho, dan organisasi-organisasi lain yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan

melaksanakan tugas pertahanan. Nama BKR diambil karena agar tidak terjadi perlawanan oleh

tentara penjajah di Indonesia. (Lihat, Amrin Imran (dkk), Sedjarah Angkatan-Darat, [Jakarta:

Dephankam Pusat Sedjarah ABRI, 1971] ), h. 2 dan Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 46. 45

Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi: Studi Analisis tentang Respon Militer

terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 26.

Page 37: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

pemerintah yang selalu berhati-hati, penuh perhitungan, dan mengedepankan jalan

diplomasi secara damai, maka pembentukan tentara kebangsaan tidak segera

dilakukan. Dalam mengatasi permasalahan ini pemerintah mengeluarkan dektrit

untuk membentuk panitia yang diketuai presiden yang menghasilkan keputusan

yang dituangkan dalam penetapan presiden tertanggal 7 Juni 1947 yang antara lain

menetapkan bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947 telah disyahkan secara resmi

berdirinya TNI serta anggota Angkatan perang yang ada dan segenap anggota

laskar yang bersenjata dimasukkan serentak ke dalam TNI.46

Dengan demikian

TNI yang disahkan secara resmi berdiri tanggal 3 Juni 1947 merupakan gabungan

dari TRI, kesatuan biro perjuangan dan pasukan-pasukan bersenjata lainnya.47

Militer di Indonesia sejak awal memang terpisah-pisah ke dalam tiga garis.

Garis pertama, adalah angkatan yang kemudian membentuk korps sendiri. Garis

ini terdiri atas kelompok bekas opsir pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang

masuk ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kelompok-kelompok bekas

opsir KNIL, dan kelompok perwira yang terdiri dari pemuda-pemuda yang

tergabung dengan tentara reguler secara langsung atau karena dipindahkan dari

organisasi kelaskaran.

Garis pemisah kedua dalam korps perwira Indonesia adalah agama, hanya

beberapa perwira yang beragama Katolik dan agama lain selain Islam yang

berhasil mencapai pangkat Jenderal. Garis ketiga adalah perwira Indonesia terbagi

46

G. Moedjianto, Indonesia Abad ke-20: dari Kebangkitan Nasional sampai Linggar Jati,

(Jakarta: Kanisius, 1992), h. 122-123. 47

Soebiyono, et.al., Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan

Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1997), h. 15.

Page 38: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

menurut garis etnik. Etnik Jawa sangat mendominasi hampir 80 persen dari

keseluruhan perwira di Indonesia.48

Garis-garis inilah yang nantinya banyak mewarnai dinamika dan

perkembangan internal militer dalam kurun demokrasi parlementer sampai

demokrasi terpimpin terutama mengenai visi dan ideologi mereka menyangkut

posisi dan peran militer dalam kehidupan politik. Dari ketiga garis di atas, garis

pertama atau garis angkatanlah yang sangat berpengaruh mengenai peran politik

militer. Tentara didikan Belanda atau KNIL lebih berpandangan bahwa angkatan

bersenjata adalah alat negara yang bersifat non politik, sedangkan mayoritas

dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang berpandangan bahwa tidak ada

perbedaan antara wilayah politik dan militer.49

Pada mulanya keterlibatan militer dalam politik bersifat covert political

support terhadap politik Tan Malaka.50 Hal itu diperlihatkan dari rasa simpati

Panglima Besar Jendral Sudirman serta kalangan pimpinan tentara terutama dari

bekas PETA terhadap gerakan politik Tan Malaka melalui Persatuan Perjuangan

(PP) yang didirikan pada tanggal 16 Januari 1946. Jenderal Sudirman juga turut

hadir dalam rapat-rapat yang diselengarakan Persatuan Perjuangan (PP) pimpinan

Tan Malaka.

Motif dukungan politik Panglima Besar Sudirman bukan karena sejalan

dengan ideologi Tan Malaka yang Komunis-Nasionalis, tetapi pada komitmen

nasional dan kecocokan pada strategi perjuangan PP serta karena sikap perlakuan

48

A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 31-32. 49

Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, h. 38. 50

David Easton menyebutkan adanya dua macam support, yaitu bersifat overt dan covert,

yang overt seperti orientation atau states of maind. Lihat, Yahya A. Muhaimin, Perkembangan

Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1982), h. 42.

Page 39: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

yang tidak wajar dari Sjahrir terhadap tentara yang berasal dari PETA.51

Bagi Tan

Malaka strategi yang tepat dalam melawan Belanda adalah menekan solidaritas

nasional dan penolakan berunding dengan Belanda sampai mereka meninggalkan

bumi Indonesia.52 Bukan dengan strategi diplomasi seperti yang ditekankan

Sjahrir.

Salim Said menilai bagaimanapun awal keterlibatan militer dalam politik

lebih bersifat “spontan dan komplementer” terhadap peran dominan politisi sipil.

Peran itu kemudian berkembang menjadi “peranan kepemimpinan yang

menentukan” ketika tentara memilih memimpin dari pada mengikuti pemerintah

yang menyerah kepada musuh saat krisis Perang Kemerdekaan 19 Desember 1948

(aksi militer Belanda ke II). 53

Ini terlihat dari hasil persetujuan Roem Royen tanggal 7 Mei 1949, yang

meminta agar tentara mengakhiri perang Gerilya, sehingga menciptakan

kekecewaan dari kalangan militer. Jadi sebab utama keterlibatan militer dalam

politik adalah karena terjadi perbedaan pandangan politik dan strategi perjuangan

antara kaum politisi sipil dengan militer. 54

Keterlibatan militer dalam politik baru mendapat pengakuan resmi ketika

Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 6 Mei 1967.55

Dalam

Dewan Nasional posisi politik militer tidak begitu menonjol. Soekarno dan

51

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 56. 52Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 41. 53

Salim Said, “Kepemimpinan Politik TNI/ABRI dalam Perspektif Sejarah”, dalam Djoko

Subroto, dkk, Visi ABRI Menatap Masa Depan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm.163.

54Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 63.

55Menurut Hasnan Habib, “Keadaan Darurat dan Darurat Perang” atau SOB (Staat van

Oorlog en Beleg) pada tanggal 14 Maret 1957, peranan politik ABRI, terutama sekali Angkatan

Darat, sangat meningkat, lihat Hasnan Habib, “Perkembangan Pemikiran Strategi di Indonesia”,

Analisis CSIS, 1996-6, hlm. 444 .

Page 40: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

anggota-anggota sipil masih menguasi lembaga politik yang baru didirikan itu.

Dengan diintensifikannya kampanye untuk membebaskan Irian Barat, tentara

mempunyai peluang untuk memainkan peranan yang lebih besar. Pada 10

Februari 1958 Mayor Jenderal Nasution membentuk Fron Nasional Pembebasan

Irian Barat. Tidak seperti Dewan Nasional, Fron ini didominasi oleh tentara.56

Begitu juga dalam hal ekonomi, keterlibatan militer dalam ekonomi telah

terjadi pada masa perang kemerdekaan, yang terlihat dengan adanya gerilya

ekonomi dengan cara memblokade kota Kerawang. Ini dilakukan untuk

menghancurkan perekonomian penjajah dan membiayai peperangan. Pasca

kemerdekaan keterlibatan itu semakin berkembang dengan melakukan kebijakan

politik Banteng untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan yang dikuasai

oleh PKI. Pada masa Orde Baru keterlibatan militer dalam ekonomi (bisnis)

mencapai puncaknya, karena adanya dukungan dari pihak penguasa. Keterlibatan

militer dalam politik dan ekonomi inilah yang telah merusak nilai profesionalisme

militer pada masa selanjutnya.

Sebenarnya profesionalisme militer telah terbentuk antara tahun 1955

sampai 1965, ini terlihat dari berubahnya militer dari satu kekuatan yang lemah,

terpecah belah dan kehilangan semangat, mampu menjadi lembaga yang kuat.

Juga ketika Nasution diangkat menjadi KSAD pada 1955, yang telah membawa

satu tekad untuk menjadikan militer indonesia sebagai suatu kekuatan yang

modern dan efektif, baik dalam arti militer maupun politis.57

56

Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, h. 32. 57

Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-tradisi

Jawa dan Barat, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 75.

Page 41: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Akan tetapi, pada masa Orde Baru dari tahun 1966-1998, militer

sepenuhnya menjadi alat kekuasaan politik Soeharto yang memimpin secara

otokratis. Militer menjadi tonggak politik Orde Baru dan lebih setia pada personal

Soeharto serta meninggalkan jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang,

dan tentara nasional yang profesional. Militer menjadi milik dan alat Golkar dan

tidak menjadi milik seluruh rakyat lagi, serta tidak bersifat nasional. Sangat

luasnya peran sosial politik militer pada masa itu mengakibatkan demokrasi tidak

berkembang dan tentara tidak bersikap profesional lagi.58

B. Reformasi Internal dan Paradigma Baru Militer

Saat awal-awal reformasi mulai bergulir, tepatnya pada bulan Maret 1997,

kalangan TNI telah berupaya melakukan beberapa perubahan mendasar, terutama

mengenai sikap dan visi TNI ke depan. Bertempat di Seskoad, Bandung,

pembahasan tersebut telah menghasilkan dokumen yang diterbitkan oleh Markas

Besar (Mabes) TNI-AD dengan judul “Aktualisasi Dwi Fungsi ABRI Menghadapi

Perkembangan Zaman” (Bandung: Seskoad, Maret 1997).59

Naskah penting itu berisi beberapa visi TNI sebagai langkah menghadapi

perubahan politik ke depan. Secara umum visi tersebut dibagi dua, yakni visi yang

bersifat dasar dan visi yang bersifat kontekstual. Visi dasar merupakan visi yang

sangat esensial bagi upaya menjaga tegaknya Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI), mengamankan dan menyelamatkan Pancasila dan UUD 45,

serta membantu pembangunan nasional untuk mewujudkan cita-cita nasional.

58

Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 198. 59Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 202.

Page 42: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Sementara visi kontekstual berkembang sejalan dengan perkembangan

permasalahan yang dihadapi bangsa sehingga akan melahirkan persepsi untuk

memecahkan masalah secara proporsional dan bersifat kontekstual pada setiap

aspek kehidupan nasional.

Visi yang bersifat dasar meliputi tiga masalah pokok yang berkaitan

langsung dengan kehidupan bangsa Indonesia. Ketiga visi tersebut adalah:

Pertama, visi TNI terhadap negara. TNI menganggap NKRI adalah bentuk final

dari negara yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Oleh karena itu,

eksistensi dan keutuhan kesatuan Indonesia menjadi kata kunci visi dasar TNI.

Kedua, visi TNI terhadap bangsa. Menurut TNI bangsa Indonesia adalah majemuk

dalam suku, agama, budaya, dan istiadat. TNI sebagai integrator bangsa memiliki

tugas berat untuk mempertahankan kesatuan Republik ini dengan menghormati

perbedaan-perbedaan tersebut. Ketiga, visi TNI tentang perjuangan bangsa dalam

pencapaian cita-cita nasional. Dalam melaksanakan tugas tersebut TNI

memerlukan spesifikasi tugas, fungsi, dan peran yang dilandasi oleh nilai

Pancasila dan UUD 1945. fungsi sosial politik TNI merupakan wujud

keikutsertaan TNI dalam perjuangan bangsa guna mencapai cita-cita nasional.60

Sedangkan visi kontekstual terdiri dari beberapa hal, sebagai berikut.

Pertama, visi TNI terhadap aspek hankam. Fungsi TNI adalah sebagai alat negara

yang bertugas untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Kedua, visi TNI

terhadap aspek ideologi. Bagi TNI ideologi Pancasila merupakan prinsip final dari

ideologi negara Indonesia. Ketiga, visi TNI tentang aspek politik. TNI harus

60

Berbagai visi ABRI ini dikutip dari Mabes TNI AD, Seskoad 1997, “Makalah

Aktualisasi Dwi Fungsi ABRI Menghadapi Perkembangan Zaman” (Bandung, 1997), hlm. 57-65.

Page 43: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

memperdayakan kehidupan politik bangsa Indonesia yang ditandai dengan nilai-

nilai kebersamaan dan gotong royong serta tradisi dalam menyelesaikan

permasalahan. TNI harus mampu mendorong partisipasi politik rakyat yang

bersifat terbuka dan mau menampung serta menyalurkan aspirasi rakyat. Keempat,

visi TNI tentang ekonomi. TNI harus bisa menciptakan ketertiban dan keamanan

yang bisa mendukung stabilitas ekonomi. Kelima, visi TNI tentang aspek sosial

budaya.TNI sebagai suatu intitusi yang integralistik, yang mampu menjaga aspek

sosial budaya yang berbeda-beda di masyarakat.61

Memasuki era reformasi, militer memiliki kesempatan untuk introspeksi

diri atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Dalam hal ini militer

merumuskan paradigma baru dan melakukan reformasi internal yang disertai

dengan serangkaian konsep redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi perannya dalam

kehidupan kebangsaan dan kenegaraan untuk menatap masa depan. Apa yang

dilakukan, pada hakikatnya merupakan usaha memperbaiki dan meningkatkan

image serta prestasi militer.

Oleh karena itu, pada tanggal 22-24 September 1998. Sekolah Staf dan

Komando (Sesko) TNI Bandung mengadakan seminar bertajuk peran ABRI Abad

XXI. Dalam seminar tersebut terungkap bahwa doktrin Dwifungsi ABRI telah

mengalami distorsi penafsiran yang cukup serius selama pemerintahan Orde Baru.

Selama masa itu dwifungsi ABRI telah direkayasa sedemikian rupa sehingga TNI

telah menjadi alat kekuasaan yang berpusat pada satu orang.62

61

Mabes TNI AD, Seskoad 1997, “Makalah Aktualisasi, h. 60. 62Lihat Transkrip Seminar “Peran TNI Abad XXI.” Bandung: Seskoad, 1.

Page 44: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Kemudian bertepatan dengan hari ABRI, tanggal 5 Oktober 1998,

Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto menerbitkan hasil diskusi tersebut

dengan meluncurkan sebuah buku yang menjelaskan secara rinci tentang peran

dan posisi di masa datang. Catatan-catatan penting sebagai pegangan untuk

melakukan reformasi internal ABRI itu sendiri diberi judul yang cukup

menjanjikan: TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI

dalam Kehidupan Bangsa. Buku tersebut berisikan empat keputusan penting

untuk menyikapi peran sosial politiknya ke depan.

Pertama, militer akan mengubah posisi dan metodenya untuk tidak selalu

harus di depan dan mendominasi. Posisi yang mereka nikmati saat Orde Baru

diserahkan kepada institusi fungsional yang lebih kompeten. Kedua, mengubah

konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Artinya posisi militer yang dulu

menguasai posisi strategis, saat ini harus dibatasi. Mempengaruhi bukan berarti

mengintervensi, tetapi lebih pada kontribusi TNI terhadap pembangunan. Ketiga,

mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. Hal ini

penting dilakukan untuk menghindari keterlibatan TNI yang berlebihan dalam

berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas utamanya. Keempat,

kesediaan untuk secara bersama-sama melakukan pengambilan keputusan penting

kenegaraan dan pemerintahan dengan komponen bangsa lainnya.63

Pertimbangan utama yang menjadi latar belakang reformasi internal TNI

ialah menyesuaikan TNI dengan perubahan dunia yang begitu cepat berubah,

menyesuaikan tantangan TNI di abad ke-21 yang begitu besar, kompleks, dan

63

Mabes TNI, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam

Kehidupan Bangsa, (Jakarta: Mabes TNI, 1999), hlm. 22-25.

Page 45: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

multidimensional, ini memungkinkan TNI senantiasa harus mau dan mampu

mendengar dan merespons aspirasi rakyat; mengakui secara jujur bahwa di masa

lalu, ada kekurangan dan penyimpangan sebagai akibat logis dari format Orde

Baru.64

Hakikat reformasi internal TNI tersebut menunjukkan bahwa secara

konsepsual TNI telah bertekad meninggalkan paradigma lamanya dan

membangun paradigma baru, khususnya kesadaran akan perlunya profesionalisme

dan pembangunan demokrasi, karena TNI merupakan alat pertahanan negara.

Mengenai paradigma baru yang dilakukan militer, secara garis besar ada

dua peran yang sangat urgen dalam membentuk image militer yang dapat

mengembalikan peran militer yang bersih dari peran aktifnya dalam panggung

politik di Indonesia. Dua peran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Militer sebagai Alat Pertahanan Negara

Pada masa Orde Baru, militer memiliki tugas dan fungsi di bidang

pertahanan dan di bidang sosial politik, bahkan ada yang mengatakan militer

memiliki multi fungsi. Karena itu, dalam rangka reformasi, militer mengatur

kembali tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara dan telah dikukuhkan

dengan ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No. 3 Tahun

2002 serta Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Dengan itu, militer tidak

melakukan banyak fungsi lagi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis.65

Fungsi pertahanan pada hakikatnya merupakan fungsi untuk menghadapi

ancaman luar yang mengancam kedaulatan dan integritas negara serta melindungi

64

Mabes TNI 1999, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 16-17. 65Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 206.

Page 46: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

bangsa dan negara dengan kekuatan bersenjata. Namun, TNI bisa juga dilibatkan

dalam masalah internal negara, jika wilayah nasional atau sebagian wilayah

nasional berada dalam keadaan darurat militer. Selain itu, semasa keadaan damai,

TNI bisa juga melibatkan diri dalam masalah dalam negeri atas permintaan

institusi pemilik fungsi yang sah, sesuai dengan undang-undang yang

membenarkannya bertindak demikian. Dalam UU TNI pada pasal 7, 17, dan 19,

yang menyatakan bahwa dalam melakukan tugas pokoknya TNI berdasarkan

kebijakan dan keputusan politik negara, sedangkan kewenangan dan tanggung

jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada presiden yang harus mendapat

persetujuan DPR. Alasannya, TNI adalah sarana utama respons fungsi pertahanan,

sedangkan sarana utama respons fungsi keamanan dalam negeri ialah POLRI.66

2. Militer sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, dan Tentara

Nasional yang Profesional

Jati diri TNI yang pertama ialah sebagai tentara rakyat, karena TNI lahir

dari haribaan rakyat pejuang. Oleh sebab itu, TNI tidak bisa dipisahkan dari

rakyat, dan harus senantiasa berjuang membela kepentingan rakyat dan bangsa.

Dari segi sejarahnya pun, kelahiran TNI adalah dengan menggunakan nama

rakyat, yaitu Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kemudian berubah menjadi TNI.

Pada masa reformasi, dengan paradigma barunya, TNI ingin kembali

kepada jalan yang benar, ke jati dirinya sebagai pembela dan pelindung rakyat.

Jati diri TNI yang kedua ialah sebagai tentara pejuang, yaitu tentara yang berjiwa

patriot, kesatria, dan perwira. TNI lahir pada masa perang kemerdekaan oleh para

66Mabes ABRI 2001, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 3-9.

Page 47: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

pejuang, makna tentara pejuang ialah tentara tidak mengenal menyerah, yang

senantiasa memiliki sikap hidup dan perilaku yang sedia berkorban, siap

menderita, serta mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Jati diri TNI yang

ketiga adalah sebagai tentara nasional, menunjukan bahwa TNI merupakan milik

nasional yang berjuang untuk kepentingan seluruh bangsa dan seluruh tanah air

Indonesia.

Dalam hal ini, Tim peneliti dari pusat penelitian pengembangan politik

dan kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) dengan tepat

sekali menggambarkan salah satu identitas TNI ini sebagai berikut:

Yang paling ideal adalah apabila sipil dan militer dapat

menjalankan perannya masing-masing secara proposional. Ini sesuai

bidang tugas, panggilan hati nurani, dan kapasitas sipil dan militer. Sipil

melakukan tugas dan perannya sesuai dengan hak, tanggung jawab dan

fungsinya sebagai sipil, demikian pula militer dengan fungsi dan perannya

sebagai militer. Kedua bidang keahlian itu tidak dapat mengambil alih satu dengan lainnya dan tidak pula bisa saling menguasai. Hanya dengan cara

ini akan tumbuh suatu rasa saling percaya dan kerja sama satu sama lain.67

Pada masa Orde Baru, ABRI telah menyimpang dari amanat tersebut

karena digunakan untuk alat kekuasaan. Peneliti CSIS Kristiadi, menyatakan:

“ABRI tidak lagi memainkan peran sebagai penjaga kedaulatan bangsa dan negara

yang berada di atas segala kepentingan individu dan kelompok. Ia menjadi

terkontrol dan digunakan semata demi kepentingan politik presiden Soeharto.”68

Jati diri militer bisa dilihat, antara lain dalam amanat Panglima Besar

Soedirman yang tertulis dalam Order Harian Panglima Besar tanggal 4 Oktober

1949 sebagai berikut: “Angkatan Perang Republik Indonesia lahir di medan

perjuangan kemerdekaan nasional, di tengah-tengah dan dari revolusi rakyat

67

Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 212. 68J.Kristiadi, Masa Depan Politik ABRI, (Bandung: Unisia, 1999), h. 31.

Page 48: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

dalam pergolakan membela kemerdekaan itu. Karena itu, Angkatan Perang

Republik Indonesia adalah tentara nasional, tentara rakyat, dan tentara revolusi.”69

C. Perkembangan Paradigma Baru Militer

Dalam rangka memberikan pedoman tentang apa yang perlu dilakukan

TNI dalam mengimplementasikan paradigma barunya, TNI telah membuat

kerangka model redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi perannya guna

menyongsong masyarakat baru Indonesia yang demokratis dan modern.70

Redefinisi mulanya merupakan sebagian dari perubahan dwifungsi ABRI

menjadi peran ABRI. Tujuan redenifisi ini adalah menghindarkan salah tafsir

yang mengartikan dwifungsi sebagai kekaryaan. Dengan redefinisinya, TNI

menjadi lebih fungsional dengan melakukan penyederhanaan perannya,

menyesuaikan struktur organisasinya, dan mengarah kepada tentara profesional.

Reposisi ialah pengaturan kembali posisi TNI dalam kehidupan nasional

berdasarkan kebebasan, keterbukaan, ketertiban, dan kepastian hukum.

Reaktualisasi ialah mengatur kembali implementasi peran TNI supaya sesuai

dengan aspirasi masyarakat dan perkembangan zaman.71

Demokratisasi,

penghargaan kepada hukum dan hak asasi manusia, kejelasan fungsi dalam

pemerintahan adalah tuntutan perkembangan zaman dan negara modern yang juga

merupakan tuntutan masyarakat.

69

Pusat Pembinaan Mental ABRI (Pusbintal ABRI), Wawasan Kejuangan Panglima

Besar Sudirman, (Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, 1991), h. 263. 70

Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 214. 71Mabes ABRI 1999, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 19.

Page 49: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Perbedaan paradigma baru peran sosial politik militer dengan paradigma

lama adalah: paradigma lama memberi kesempatan kepada militer untuk

menduduki jabatan sipil, sementara paradigma baru lebih menumpukan pada

sumbangan pemikiran; paradigma lama militer selalu mengambil keputusan dalam

masalah kenegaraan karena merasa paling bertanggung jawab sepenuhnya atas

segala aspek kehidupan bangsa, sementara paradigma baru lebih menumpukan

kebersamaan dengan komponen bangsa yang lain.

Substansi paradigma baru peran sosial politik militer tersebut menunjukan

militer sudah banyak berubah jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Militer

mengakui bahwa ia hanya sebagian dari sistem nasional dan perannya

dilaksanakan atas dasar kesepakatan bangsa. Walaupun militer masih memiliki

peran sosial politik, paradigma baru itu berpengaruh besar terhadap berkurangnya

kegiatan kekaryaan militer. Dengan berkurangnya jabatan sipil yang diduduki

anggota tentara, maka persepsi negatif tentang militer yang sebelumnya dominan

tentu akan semakin berkurang.

Akhirnya, dalam paradigma baru TNI tentang fungsi sosial politik itu

tamat riwayatnya pada 20 April 2000, ketika hasil rapat pimpinan TNI

menyatakan bahwa TNI tidak lagi memiliki fungsi sosial politik, karena lebih

memusatkan perhatiannya pada peran dan tugas utama pertahanan, dan itu berarti

TNI telah meninggalkan doktrin dwifungsi.

Untuk mewujudkan peran ABRI tersebut, harus ada perubahan mendasar.

Perubahan tersebut sebagai dasar bagi ABRI untuk merespon tututan reformasi

yang semakin kencang disuarakan oleh elemen masyarakat. Empat belas (14)

Page 50: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

rencana perubahan tersebut adalah: (1) Sikap dan pandangan politik ABRI tentang

paradigma baru dan peran ABRI abad ke-21, (2) Sikap dan pandangan ABRI

tentang peran sospol ABRI, (3) Pemisahan POLRI dari tubuh ABRI, (4) Dewan

Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, (6) Likuidasi Staf Karyawan ABRI,

Kamtibmas dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar), (7) Penghapusan

Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem dan Sospoldim, (8) Penghapusan

Kekaryaan ABRI melalui pensiun alih status, (9) Pengurangan Fraksi ABRI di

DPR/DPRD I/II, (10) ABRI tidak pernah lagi terlibat dalam politik, (11)

Pemutusan hubungan dengan Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan

semua partai politik, (12) Komitmen dan konsistensi netralisasi ABRI dalam

pemilu, (13) Perubahan paradigma hubungan ABRI dan kelurga besar ABRI, (14)

Revisi piranti lunak berbagai doktrin ABRI yang disesuaikan dengan era

reformasi dan peran ABRI abad ke-21.72

Dari 14 rencana perubahan mendasar agenda reformasi ABRI di atas,

terdapat beberapa kebijakan yang mulai diberlakukan atau sedang dikembangkan

pada tanggal 1 April 1999. Kebijakan tersebut antara lain adalah: (1) Perubahan

Staf Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, (2) Pemisahan Kepolisian RI dengan

TNI, (3) Likuiditas Staf Karyawan (Syawan), Kamtibmas dan Badan Pembinaan

Karyawan (Babinkar), (4) Penghapusan Kekaryaan ABRI melalui keputusan

pensiun atau alih status, (5) Pengurangan jumlah anggota Fraksi TNI di DPR,

DPRD I dan II, (6) Pemutusan hubungan secara organisatoris dengan Partai

Golkar dan bersikap netral terhadap partai politik lainnya, (7) komitmen dan

72

Lihat Wiranto, “Komitmen ABRI Menyelamatkan Bangsa dan Negara” Kompas, 10

Maret 1999. Lihat pula Wiranto, “Paradigma Baru ABRI: Tantangan dan Tekad ABRI sebagai

Bhayangkari Negara” (Widya Dharma, Edisi Khusus 1999), h. 107-115.

Page 51: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

netralitas ABRI dalam penyelenggaraan Pemilu, (8) Perubahan paradigma ABRI

dengan keluarga besar ABRI.73

Tabel berikut ini akan meringkas sekaligus mengevaluasi dari ketetapan-

ketetapan yang dibuat TNI di atas.74

Tabel 1.

Limabelas Langkah Implementasi Paradigma Baru TNI No Langkah Implementasi Pelaksanaan

1 Sikap dan pandangan politik TNI tentang paradigma

baru peran TNI abad XXI

Sudah dilakukan

2 Paradigma baru peran sospol TNI Sudah dilakukan

3 Pemisahan Polri dari TNI Sudah dilakukan

(1 April 1999)

4 Penghapusan Wansospolpus dan Wansospolda Sudah dilakukan

5 Perubahan Staf Sospol menjadi Staf Teritorial Sudah dilakukan

6 Likuidasi Syawan ABRI, Kamtibmas ABRI dan

Babinkar ABRI

Sudah dilakukan

7 Penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem,

Dan Sospoldim

Sudah dilakukan

8 Penghapusan Kekaryaan ABRI melalui keputusan

pensiun atau alih status

Sudah dilakukan

9 Penghapusan Fraksi TNI di DPR, DPRD I dan II Sudah dilakukan

10 Pemutusan hubungan dengan Golkar dan mengambil

jarak yang sama dengan partai-partai lain

Sudah dilakukan

11 Netralisasi TNI dalam pemilu Sudah dilakukan

12 Perubahan paradigma hubungan TNI dan keluarga besar

TNI

Sedang dikembangkan

13 Revisi piranti lunak berbagai doktrin TNI disesuaikan

dengan era reformasi dan peran TNI abad XXI

Sedang dikembangkan

14 Perubahan nama ABRI menjadi TNI Sudah dilakukan

73

Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, h. 127. 74Diolah dari buku Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, h. 128.

Page 52: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

BAB IV

PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU

Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, militer terus berbenah diri untuk

menciptakan image yang baik di mata rakyat Indonesia, salah satunya adalah

dengan mewujudkan reformasi internal militer. Tujuan dari reformasi internal

militer tersebut adalah agar terciptanya profesionalisme militer. Adapun bentuk

nyata yang harus dilakukan militer agar menjadi militer yang profesional pasca

Orde Baru adalah sebagai berikut; militer harus kembali ke barak, tidak berpolitik

praktis, pemisahan TNI POLRI, tidak berbisnis, serta refungsionalisasi dan

restrukturisasi teritorial.

Ini mengacu pada pendapat Huntington mengenai ciri profesionalisme

militer, yaitu; Ahli dan mahir dalam melaksanakan tugas pertahanan negara atau

perang melawan ancaman dari musuh negara, bersikap netral dan tidak melibatkan

diri dalam politik praktis, menghargai pihak berkuasa atau supremasi sipil,

memiliki moral dan etika keprajuritan yang tinggi, menghargai dan membela

rakyat secara proporsional, dan memiliki disiplin, menaati hukum, serta memiliki

esprit de corps (jiwa korsa) yang tinggi dan sehat.75

A. Kembali Ke Barak

Militer di Indonesia lahir dari proses perjuangan kemerdekaan bangsa atau

dari revolusi nasional, yang pada asal mulanya adalah dari perlawanan rakyat

75

Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,

(Yogyakarta: LKIS.2005), h. 245.

Page 53: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

dengan diawali dari pembebasan nasional dan kemudian beralih menjadi gerakan

perlawanan bersenjata. Tujuannya adalah untuk merebut kemerdekaan dari tangan

penjajah.76 Jadi, fungsi militer pada awal pembentukannya adalah untuk merebut

kemerdekaan dari tangan penjajah dan menjaga kemerdekaan itu.

Namun, pada masa Soekarno tahun 1950-1966, militer mengalami

pertikaian di dalam tubuhnya sendiri, yang diakibatkan oleh persaingan antar

kelompok dan campur tangan politisi, sehingga membuat militer tidak padu.

Kondisi pemerintahan yang tidak stabil menyebabkan terjadinya pemberontakan-

pemberontakan, sekaligus mendorong militer untuk ikut serta dalam politik

praktis. Hal itu berlanjut hingga militer menjadi kekuatan politik yang menonjol

pada masa demokrasi terpimpin, walaupun belum mendominasi.

Sedangkan di masa Orde Baru dari tahun 1966-1998, militer sepenuhnya

menjadi alat kekuasaan politik Soeharto. Militer menjadi tonggak politik Orde

Baru dan lebih setia pada personalitas Soeharto serta meninggalkan jati dirinya

sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional yang profesional.

Militer menjadi milik dan alat Golkar dan tidak menjadi milik seluruh rakyat lagi.

Pada rezim ini, TNI memiliki tugas dan fungsi di bidang pertahanan dan

keamanan dan di bidang sosial politik. Bahkan, ada yang mengatakan TNI

memiliki multifungsi. Ini tidak sesuai dengan asas negara modern dan demokrasi

yang mengutamakan pembagian tugas, fungsi, profesi, dan pertanggung jawaban

yang jelas. Oleh karena itu, militer yang selama ini berkecimpung di berbagai

76Soemitro, Suksesi Militer dan Mahasiswa, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997), h. 59.

Page 54: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

bidang, fungsi dan profesi yang tidak sesuai dengan keahlian dan tugasnya, maka

dalam menciptakan profesionalismenya, militer harus ditarik kembali ke barak.

Memasuki era reformasi, militer harus kembali ke barak untuk introspeksi

diri atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Menyadari

kesalahannya, dan menyikapi permasalahan yang kompleks dengan berusaha

untuk membentuk militer yang profesional. Mengembalikan tugas dan fungsi awal

militer yaitu sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

Sebenarnya tugas TNI sebagai alat pertahanan negara sudah menjadi

prinsip ketika TNI mula-mula berdiri. Hal itu tercermin dalam amanat Panglima

Besar Tentara Keamanan Rakyat Letnan Jenderal Soedirman pada Konfrensi TKR

di Yogyakarta, 12 November 1945. Ia menyatakan: Tentara hanya mempunyai

kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga

keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi

pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh.77

Fungsi pertahanan pada hakikatnya merupakan fungsi untuk menghadapi

ancaman baik dari luar maupun dari dalam, yang mengancam kedaulatan dan

integritas negara serta melindungi bangsa dan negara dengan kekuatan bersenjata.

Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsinya itu militer harus kembali ke barak,

dengan tujuan menumpukan pembinaan pada profesionalisme, disiplin, dan

kesadaran hukum. Artinya peningkatan profesionalisme sebagai tentara yang

berfungsi sebagai alat pertahanan negara harus dilakukan dengan sungguh-

sungguh, disiplin, dan menaati hukum.

77Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara h. 206-207.

Page 55: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Jadi tujuan militer agar kembali ke barak adalah pertama, supaya militer

kembali kepada fungsi awalnya sebagai alat pertahanan negara sehingga tidak ada

fungsi lain yang dimiliki militer selain fungsi utamanya sebagai alat pertahanan

negara. Kedua, untuk menciptakan keahlian prajurit sehingga mahir dalam

menggunakan senjata. Ketiga, supaya militer dapat menumpukan tugasnya pada

penciptaan profesionalisme, dimana selama Orde Baru militer selalu berada di

luar barak yang mengakibatkan lemahnya profesionalisme militer.

Dalam rangka mewujudkan reformasi internal militer, maka militer

mengatur kembali tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara yang telah

dikukuhkan dengan ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No.

3 Tahun 2002 serta Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Dengan itu, militer tidak

melakukan banyak fungsi lagi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis.

Dengan kata lain, ini menjadi pedoman dan kewajiban bagi militer untuk kembali

ke barak, agar militer dapat menginstrospeksi diri serta memperbaiki tugas dan

fungsinya.

B. Tidak Berpolitik Praktis

Desakan agar militer segera melepaskan diri dari persoalan politik yang

semarak pada akhir tahun 1997 dapat dilihat sebagai tahap awal dari surutnya

peran politik militer atau depolitisasi. Tuduhan masyarakat bahwa surutnya

gerakan demokrasi, terpuruknya kehidupan politik, suburnya Korupsi Kolusi

Nepotisme (KKN) dan diskriminasi penegakan hukum muncul karena keterlibatan

militer yang terlalu jauh masuk dalam kehidupan sosial politik di bawah rezim

Page 56: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

kekuasaan Presiden Soeharto. Militer dianggap turut bertanggung jawab atas

terjadinya krisis multidimensi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997.

Tuntutan reformasi yang memasukan agenda pencabutan Dwifungsi ABRI dapat

dilihat sebagai pembuka jalan keluarnya militer dari politik.78

Sebagian besar perwira menganggap bahwa keterlibatan ABRI dalam

kehidupan sosial politik sebagai sesuatu yang wajar mengingat peranan prajurit

ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan masih diperlukan

masyarakat. Militer dengan spirit kebangsaan yang yang kuat, memandang

kalangan sipil mudah terpecah-belah karena perbedaan latar belakang, suku

bangsa, agama, ras dan ideologi politiknya, yang merupakan potensi ancaman

bagi persatuan bangsa. Kehadiran para prajurit di tengah masyarakat sebagai

perekat paham kebangsaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Tampilnya Orde Baru79 di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang

menumpukan kekuatan pada militer dengan mendasarkan pada dwifungsi

ABRI/TNI.80 Dwifungsi ABRI dijadikan alasan ikut sertanya ABRI ke dalam

78Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di

Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005) h. 136. 79

Orde Baru adalah tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang diletakkan

kembali kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di satu pihak,

Orde Baru ini melakukan koreksi menyeluruh atas penyelewengan di segala bidang yang terjadi

pada masa sebelumnya. Di lain pihak, berusaha menyusun kembali kekuatan bangsa dan

menentukan cara-cara yang tepat untuk menumbuhkan stabilitas nasional jangka panjang, dalam

rangka mempercepat proses pembangunan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD). Sebutan

“Orde Baru” juga bermakna bahwa pemerintahan sebelumnya, yang disebut dengan “Orde Lama”. 80

Dalam tulisan ini, sering ditulis istilah ABRI, TNI, tentara, dan militer yang

dimaksudkan sama. Sebelum Angkatan Perang Republik Indonesia (POLRI) digabungkan tanggal 21 Juni 1962, nama tentara indonesia adalah TNI. Setelah digabung namanya berubah Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun ABRI baru populer digunakan pada awal Orde

Baru ketika dilakukan integrasi ABRI secara sungguh-sungguh dan menggunakan doktrin

gabungan, yaitu Catur Dharma Eka Karma. Setelah reformasi internal ABRI yang dimulai pada

1998, maka mulai 1 April 1999, POLRI dipisahkan lagi dari ABRI dengan keputusan

Menhankam/Pangab No. Kep/05/P/III/1999 tanggal 31 Maret 1999,dan sebutan ABRI kembali

Page 57: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

semua aspek kehidupan bernegara. Untuk menguatkan sentralisasi kekuasaannya,

Soeharto menggunakan tentara untuk mendominasi jabatan-jabatan politik

strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam politik.

Keterlibatan militer dalam politik pada awal Orde Baru tampak pada

banyaknya ABRI yang dikaryakan. Hal itu terlihat dari 27 anggota kabinet yang

diangkat Soeharto pada Juli 1966, terdapat 12 menteri yang merupakan ABRI,

yakni 6 menteri berasal dari Angkatan Darat. Dan yang menduduki posisi strategis

pada saat itu di tingkat pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan

sipil terdapat 11 anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral. Pada

awalnya ABRI hanya beberapa saja yang menduduki jabatan sipil, namun pada

tahun 1968 jumlah itu meningkat menjadi 68%. Pada awal tahun 1970 meningkat

menjadi 92%. Jabatan Bupati yang dipegang perwira ABRI pada tahun 1968

sebanyak 59%. Pada awal 1970 jumlahnya menjadi 84% di Jawa Timur.81

Jumlah anggota ABRI yang duduk di dalam kabinet tahun 1973 sebanyak

13 orang. Anggota kabinet yang seharusnya wakil partai saat itu banyak diisi oleh

kaum teknokrat. Sementara itu anggota ABRI yang dikaryakan ditingkat pusat

pada tahun 1973 mencapai 400 oarang. Sedangkan untuk jabatan Gubernur ABRI

menempatkan anggotanya sebanyak 22 orang dari 26 propinsi.82

Keterlibatan

militer dalam politik ditingkatkan melalui partai politik Golkar dan perwakilan

politik di MPR, DPR, DPRD I, dan DPRD II. Militer juga meningkatkan

keterlibatan dalam politik melalui badan keamanan atau Kopkamtib/Bakornas. Ini

dengan nama TNI mulai 12 April 1999. Hal itu kemudian dikukuhkan dengan ketetapan MPR No.

VI/MPR/2000. 81

Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta:

LP3ES, 1989), h. 152. 82Indria Samego, Bila ABRI Berbisnis, (Bandung: Mizan, 1998), h. 106.

Page 58: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

karena pada setiap pemilu Golkar selalu menang, yang didukung oleh PNS dan

anggota ABRI.83

Upaya untuk memantapkan keterlibatan militer dalam politik juga

dilakukan melalui jalur yuridis. Maka munculah landasan konstitusional dalam

bentuk ketetapan MPR maupun perundang-undangan. Dwifungsi ABRI

dimasukkan dalam GBHN, ABRI menjadi modal dasar pembangunan bersama

bentuk perundang-undangan lainnya, seperti UU No. 20/1982 tentang pokok-

pokok Hankam negara yang kemudian disempurnakan dalam UU No. 1/1989 dan

UU No. 2/1988 tentang pokok-pokok keprajuritan. Asas legalitas ini merupakan

pelengkap atau penyempurna legalitas sejarah dan perjuangan bangsa.84

Sementara itu, untuk menciptakan militer yang profesional, militer harus

bersikap netral, tidak memihak partai apapun juga militer dilarang terlibat dalam

politik praktis. Edy Prasetyono, peneliti senior CSIS menyebutkan: “UU No. 34

Tahun 2004 tentang TNI tegas menyatakan, TNI dilarang terlibat politik praktis.

Karena langkah ini akan merusak TNI hingga tidak mampu melaksanakan fungsi

pertahanan negara secara profesional”.85

Masyarakat militer secara langsung tunduk di bawah kekuasaan negara

atau pemerintah, bukan kepada segelintir orang. Ini karena negaralah yang

memenuhi kebutuhan primer anggota, seperti makanan, rumah, pakaian, uang,

83

A. M. Fatwa, DEMI SEBUAH REZIM: Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili,

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 164. 84

Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, h. 47. 85

Edy Prasetyono, “TNI Boleh Kampanye? Sirkus Politik Paling Aneh,” Kompas, 28

Februari 2008, h. 6.

Page 59: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

pengajaran, pelatihan, dan perlindungan kesehatan. Selain itu, negara juga

menyediakan fasilitas dan sarana materil perang dan sipil.86

C. Pemisahan TNI-POLRI

Secara umum, Militer di era reformasi menyatakan dirinya tidak lagi

terlibat dalam politik praktis dan menegaskan tidak akan mencampuri urusan

politik. Militer juga dituntut untuk kembali kepada fungsi tugas utamanya sebagai

alat pertahanan dan keamanan negara. Lebih jauh lagi, militer juga dituntut untuk

tidak mencampuri kebijakan politik pemerintahan sipil dan tidak terlibat pada

persoalan-persoalan yang tidak ada kaitannya dengan tugas pertahanan dan

keamanan. Ditambah lagi dengan munculnya tuntutan dari kalangan kepolisian

untuk memisahkan diri dari ABRI yang semakin membatasi peran militer yang

dianggap tidak perlu mencakup tugas keamanan.

Seiring dengan munculnya tuntutan pemisahan TNI-POLRI, muncul juga

ke permukaan tuntutan akan profesionalisme POLRI dalam melaksanakan

tugasnya. Pemisahan kepolisian dari tubuh TNI mutlak diperlukan agar praktik-

praktik kepolisian yang disalahgunakan oleh penguasa tidak terulang lagi.

Kepolisian harus menjadi badan yang menjalankan fungsinya secara mandiri

dalam arti bebas dari kepentingan apa pun dan dari kelompok manapun kecuali

kepentingan penegakan hukum itu sendiri.87

86

Imad Abdurrahim Az-Zaghul, Psikologi Militer, Edisi Indonesia, (Jakarta: Khalifa,

2004), h. 32-33. 87

Shanty M Sibarani, dkk, Antara Kekuasaan dan Profesionalisme, Menuju Kemandirian

Polri, (Jakarta: Dharmapena, 2001), h. 24.

Page 60: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Di era refrormasi, berbagai tindakan kepolisian dapat dilakukan lebih

mandiri oleh aparat kepolisian tanpa harus khawatir dengan intervensi

kepentingan militer. Pada masa sebelumnya, polisi berada di bawah lembaga

militer sebagai bagian dari ABRI, tugas-tugas kepolisian tidak dapat dilaksanakan

secara independen. Peran polisi pada era reformasi tentunya menggeser peran

satuan-satuan aparat teritorial militer yang selama itu mendapatkan fasilitas dari

peran sosialnya.

Pemisahan antara TNI dan POLRI ditegaskan dengan Ketetapan

MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI dari POLRI. Pasal 1 dari Tap berbunyi,

“Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara

kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing”. Pasal 2

dari Tap tersebut menyiratkan usaha untuk memperkuat, dengan cara

mempertegas peran TNI dan POLRI. Ayat (1) berbunyi, “TNI adalah alat negara

yang berperan dalam pertahanan negara”. Ayat (2) berbunyi, “Kepolisian Negara

Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara

keamanan”. 88

Tentang peran TNI dan POLRI bisa kita lihat dalam sidang tahunan kedua

tahun 2000, dimana MPR berhasil mengubah judul BAB Pertahanan Negara

dalam UUD 1945, menjadi BAB Pertahanan dan Keamanan Negara. Disamping

itu, mengubah isi Pasal 30.89

Bunyi pasal tersebut adalah:

88

Landasan dikeluarkannya Kepres ini adalah dalam rangka memajukan profesionalisme

kepolisian dan meningkatkan peranannya selaku alat negara penegak hukum. Dengan Kepres ini

juga nama “ABRI” diganti dengan “TNI”. Lihat A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer, dan

Politik, (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 209. 89

Pasal 30 ini sebelum diamandemen bunyinya adalah ayat 1. Tiap-tiap warga negara

berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Ayat 2. Syarat-syarat tentang

Page 61: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan

dan keamanan negara.

2. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem

pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat

sebagai kekuatan pendukung.

3. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan

Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi

dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

4. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga

keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,

melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

5. Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian Negara

Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia, syarat-syarat keikutsertaan warga

negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang

terkait dengan pertahanan dan kemanan diatur dengan Undang-Undang.

Secara tegas Pasal 30 UUD 1945 hasil amandemen ini menggariskan

bahwa TNI dan POLRI adalah dua instansi terpisah dengan kompetensi masing-

masing yang berbeda. Dalam Pasal 30 ini juga dapat diketahui pengertian dan

fungsi dari TNI dan POLRI. Fungsi TNI ada dalam ayat 3, yaitu: Tentara Nasional

Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara

pembelaan negara diatur dengan undang-undang. Lihat Tim Kontras, Politik Militer dalam

Transisi Demokrasi Indonesia Catatan Kontras Paska Perubahan Rezim 1998, (Jakarta: Kontras,

2005), h. 32.

Page 62: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara

keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan fungsi POLRI dapat dilihat dalam

pasal 4, yaitu: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang

menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,

melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Lebih jelas lagi mengenai fungsi POLRI, tertulis pada UU No. 20/82 dan

UU kepolisian No. 28/1997, inti tugas POLRI adalah alat negara penegak hukum

dan pembimbing, pelindung, serta pengayom masyarakat. Untuk melaksanakan

tugas itu, POLRI membagi dalam 3 komponen penggerak operasional, yakni:90

1. Subyeknya adalah susunan kekuatan POLRI yang terdiri dari satuan fungsi

Reserse-lalulintas-Samapta-Bimmas-Intel, dan lain-lain.

2. Metodenya tersusun dalam sistem operasional POLRI.

3. Obyeknya adalah gangguan Kamtibmas yang antara lain berupa kriminalitas,

pelanggaran, kecelakaan lalulintas, penyimpangan sosial, dan lain-lain.

D. Tidak Berbisnis

Secara umum, para peneliti LIPI mengklasifikasikan bisnis militer ke

dalam dua bagian utama yaitu informal dan formal, masih ada satu lagi bisnis

yang tidak banyak dibicarakan dan diakui oleh militer, yaitu criminal economy.91

Bisnis informal adalah bisnis militer yang tidak melibatkan militer sebagai

institusi, melainkan individu-individu pensiunan militer atau anggota yang sudah

90

Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1997), h. 233. 91

Kategori criminal economy dapat dilihat pada makalah McCuliough, Lesley, “Tri

Fungsi: The Role of The Indonesian Military in Business”, 2000, Fatchurahman Agam,

“Governance Yayasan Militer”, 2001, dan Danang Widoyoko, dkk, Bisnis Militer Mencari

Legitimasi, (Jakarta: ICW dan National Democratic Institute, 2003) h. 9.

Page 63: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

tidak aktif lagi. Namun demikian, bisnis informal ini sudah dirintis sejak pejabat

militer dikaryakan di perusahaan swasta atau BUMN.

Bisnis formal adalah kategori untuk bisnis yang melibatkan TNI secara

kelembagaan dalam bisnis, seperti bentuk yayasan dan koperasi. Susunan

pengurus yayasan dan koperasi mengikuti sturktur komando. Bisnis dalam bentuk

yayasan tidak hanya dijalankan di tingkat kesatuan atau di tingkat Markas Besar.

Akan tetapi, seperti Kodam juga memiliki yayasan. Di tingkat Markas Besar,

koperasi menggunakan nama Induk, di tingkat Kodam, koperasi menggunakan

nama pusat, dan di tingkat Korem atau Kodim, digunakan nama primer. Bentuk

ketiga, criminal economy berupa perlindungan yang diberikan oleh anggota

militer terhadap praktek bisnis gelap yang melanggar hukum. Misalnya,

perdagangan narkotika, penyedia jasa tenaga demonstran, beking perjudian,

sumbangan keamanan, serta illegal logging, dapat juga disebut dengan bisnis

kelabu.92

Dalam masa perang kemerdekaan keterlibatan militer dalam ekonomi

bertujuan untuk merongrong sistem perekonomian penjajah serta untuk

membiayai perang dan revolusi. Misalnya, Laskar Rakyat Jakarta Raya

mengendalikan ekonomi dengan blokade kota Kerawang supaya beras daerah ini

tidak bisa diekspor ke Jakarta yang dikuasai Belanda. Bentuk keterlibatan yang

lain adalah penyelundupan dan perdagangan candu yang merupakan komoditas

paling menguntungkan pada masa itu. Hasilnya kemudian ditukarkan dengan

senjata.

92

Istilah bisnis kelabu diperkenalkan oleh Goergo Junus Aditjondro untuk

menggambarkan posisi bisnis legalnya. Lihat Danang Widoyoko, Bisnis Militer Mencari

Legitimasi, h. 9-10.

Page 64: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Politik Banteng sebagai nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada

mulanya dikendalikan PKI. Untuk mencegah pengambilalihan secara meluas oleh

PKI, maka Jendral Nasution pada tanggal 13 Desember 1957 melarang setiap

pengambilalihan lebih lanjut dan dengan dekrit menempatkan semua perusahaan

asing terutama milik Belanda yang sudah diambil alih di bawah pengawasan

militer. Tujuannya agar jangan sampai perusahaan itu dikuasai oleh PKI.93

Keterlibatan militer dalam ekonomi telah dirintis pada masa sebelum Orba

terutama dalam melakukan hubungan dengan para pengusaha Cina dan

penanaman modal asing. Pada awal tahun 1965 ada tiga kelompok bisnis tentara

yang sangat menonjol, yaitu Yayasan Dharma Putra (YPD) milik kelompok bisnis

Kostrad, Propelat yang dimiliki kelompok Siliwangi dan sejumlah perusahaan

yang berada di bawah naungan divisi Diponegoro. Ketika Soeharto menjadi

komando Diponegoro, dia mengembangkan hubungan erat dengan pengusaha-

pengusaha Cina seperti Liem Sioe dan Bob Hasan.94

Kelompok bisnis Diponegoro pada tahun 1967, melakukan penggabungan

dari sepuluh perusahaan agribisnis dengan nama PT. Rumpun kemudian

memperluas bidang usaha di sektor perkapalan dan stevodoring. Pada dasarwasa

1970 ekonomi didominasi oleh semangat “pronasionalisme” dengan pilihan

kebijaksanaan politik dan menekankan praktek. Dengan kebijakan tersebut

keterlibatan militer dalam ekonomi semakin intens. Kepemimpinan dalam BUMN

di berbagai departemen didominasi militer.95

93

Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, h. 36. 94

Moch. Nurhasim, Praktek-Praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia, Burma,

Filipina, dan Korea Selatan, (Jakarta: The Ridep Institute, 2003) h. 23. 95Indria Samego, Bila ABRI Berbisnis, h. 75.

Page 65: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Kepemimpinan militer dalam BUMN seperti yang terjadi pada Pertamina,

Letjen Purn. Ibnu Sutowo sebagai Direktur pada 1957-1967 dalam prakteknya

bekerja sebagai perusahaan swasta dan bertanggung jawab kepada pimpinan

militer. Sebagian besar keuntungan industri minyak sebenarnya tidak diserahkan

kepada pemerintah khususnya sampai awal tahun 1970 melainkan digunakan oleh

Angkatan Bersenjata dan pimpinannya.

Perusahaan lain yang dikuasai militer adalah Bulog, pada waktu Bulog

dipimpin Brigjen TNI Achmad Tirtosudiro. Selain dalam BUMN, keterlibatan

militer juga dalam bentuk yayasan dan koperasi. Yayasan militer Angkatan Darat

yang menonjol adalah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP), yang didirikan tahun

1972, dan Yayasan Dharma Putra. Yayasan Dharma Putra milik Kostrad ini yang

menikmati pengaruh kekuasan Soeharto dengan memperoleh 28% keuntungan PT

Bogasari Flour Mills yang dibagi dengan Yayasan Harapan Kita milik Ibu Tien

Suharto.96 Bisnis militer Angkatan Darat dalam bentuk koperasi yakni Inkopad

(Induk Koperasi Angkatan Darat), Inkopad sedikitnya memiliki 9 perusahaan

yang dimiliki sepenuhnya dan 7 perusahaan berstatus joint-venture.97

Laksamana Maeda (Purn) I Gede Artjana dari badan pemeriksa keuangan

menyebutkan “Sejumlah yayasan yang membiayai aktifitas militer yang telah

diaudit BPK, di Departemen Pertahanan ada Yayasan Kejuangan Panglima Besar

Sudirman (YKPBS) dengan empat unit usaha dan Yayasan Satya Bhakti Pertiwi

96Moch. Nurhasim, Praktek-Praktek Bisnis Militer, h. 29. 97

Kesembilan perusahaan tersebut adalah Kartika Plaza Hotel, Duta Kartika Kencana

Tours & Travel, Kartika Aneka Niaga, Duta Kartika Cargo Service, Mina-Mina Kartika Samudra.

Sedangkan perusahaan yang berstatus joint-venture adalah Hotel Kartika Plaza Bali, Rimba

Kartika Jaya, Mitra Kartika Sejati, Kartika Inti Perkasa, Kartika Summa, Mahkota Transindo

Indah dan Duta Kartika Forwarder. Lihat Indria Samego, Bila ABRI Berbisnis, h. 82.

Page 66: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

(YSBP) dengan lima unit usaha. Di bawah markas besar TNI ada Yayasan Markas

Besar ABRI (YAMABRI) yang mengelola lima unit usaha. Juga terdapat yayasan

yang berada di bawah setiap markas angkatan. TNI AD mempunyai YKEP

dengan dua puluh tujuh unit usaha dan delapan belas perusahaan patungan,

Yayasan Dharma Putra Kostrad (YDPK) dan Yayasan Kesejahteran Korps Baret

Merah (YAKOBAME) Kopasus masing-masing dengan satu unit usaha. TNI AL

memiliki Yayasan Bhumiyamca (YASBUM) yang menjalankan tiga puluh dua

unit usaha, dan TNI AU menjalakan Yayasan Adih Upaya (YASAU) dengan

sepuluh unit usaha”98

Pada awalnya tidak ada aturan yang jelas tentang yayasan, atau peraturan

yang bisa dipergunakan sebagai dasar hukum bagi yayasan. Namun, setelah

didesak oleh IMF, Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU No. 16/2001

tentang yayasan, yang merupakan peraturan pertama di Indonesia tentang

yayasan. Karena UU inilah, yayasan dipergunakan oleh banyak organisasi sebagai

badan hukum. Termasuk untuk kepentingan bisnis, seperti yayasan milik Soeharto

dan yayasan militer.99

Penelitian Samego dan kawan-kawan menunjukkan dampak negatif bisnis

militer lebih banyak dari pada dampak positifnya. Dampak positifnya adalah

pertama, menunjang kegiatan operasi militer. Kedua, demi kesejahteraan prajurit

dan keluarganya, dan ketiga, demi kesejahteraan masyarakat sipil yang terlibat

dalam bisnis TNI. Sedangkan dampak negatifnya adalah pertama, kelas

komparador penopang kapitalisme semu, kedua, korupsi dan State Corporation,

98

Diadaptasi dari Kompas 12 September 2003 99

Chatamarrasjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000) h. 27.

Page 67: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

ketiga, nepotisme dan neopatrimonialisme, dan keempat, melunturnya

profesionalisme militer.100

Pada era reformasi ini, pemerintah telah berusaha untuk menghapus bisnis

militer, yaitu dengan membentuk Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI,

sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2008. ini terkait dengan

amanat pengambilalihan bisnis TNI sesuai Pasal 76 UU No.34 Tahun 2004

tentang TNI. Menurut Ketuanya, Erry Riyana Hardjapamekas Tim ini bertujuan

untuk menghilangkan stigmatisasi masa lalu soal keberadaan koperasi dan

yayasan di lingkungan TNI.101

Menurut Jaleswari Pramodhawardani, langkah yang harus dilakukan

pemerintah tentang bisnis TNI adalah dengan mengambil alih semua koperasi,

yayasan, dan unit-unit bisnis di bawahnya. Namun tidak cuma mengambil alih

begitu saja, melainkan dengan memberi kompensasi atau dengan cara membentuk

koperasi-koperasi baru yang fungsinya benar-benar untuk kesejahteraan prajurit

TNI, tidak seperti koperasi pada masa-masa sebelumnya.102

Pengambilalihan bisnis militer yang tertuang dalam UU TNI pasal 76

diharapkan dapat menciptakan militer yang profesional. Dalam hal ini negara

harus menjamin seluruh kebutuhan pertahanan negara yang dibutuhkan oleh

militer. Seperti yang dikatakan Andi Widjajanto:103

“Saat reformasi digulirkan,

100

Moch. Nurhasim, Praktek-Praktek Bisnis Militer, h. 50. 101

“Penertiban Bisnis TNI Perlu Langkah Drastis,” Kompas, 10 Mei 2008, h. 2. 102

Jaleswari Pramodhawardani adalah peneliti pada Pusat Pengembangan Masyarakat dan

Ilmu Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan The Indonesian Institute;

Penulis buku Menggusur Bisnis Militer bersama Rex Rieffel. Jaleswari Pramodhawardani, “Bisnis

TNI dan Distorsi Ekonomi,” Investor Daily, 22 Juni 2007, h. 4. 103

Andi Widjajanto adalah Staf Pengajar FISIP UI, diadaptasi dari Media Indonesia, 18

Februari 2008

Page 68: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

karakter tentara niaga berusaha untuk dicabut tuntas. Rumusan formula

teknokratiknya sederhana, yaitu seluruh kebutuhan pertahanan negara sepenuhnya

berasal dari negara, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.

E. Refungsionalisasi dan Restrukturisasi Teritorial

Pada awalnya fungsi pembinaan teritorial adalah untuk menyiapkan ruang

alat, dan kondisi juang di daerah untuk mendukung usaha pertahanan nasional

yang dilaksanakan langsung oleh militer teritorial di daerah itu. Ini bermula dari

kondisi negara dalam keadaan darurat perang pada masa perang kemerdekaan.

Selain itu bahwa fungsi teritorial yang dilakukan TNI adalah untuk tetap

memelihara kedekatan dengan rakyat. Karena kondisi darurat itulah, militer terus

saja melakukan tugas yang bukan fungsinya.104

Fungsi teritorial darat ini sebenarnya berasal dari cara pikir tahun 50-an,

dimana pada 1958, Nasution membentuk Komite Doktrin Militer yang dipimpin

oleh Letkol Aj Mokoginata dan wakilnya Letkol Soewarto. Dalam kajiannya,

komite tersebut berkesimpulan bahwa tentara tidak mungkin memenangkan suatu

peperangan modern tanpa dukungan dari rakyat. Ini yang menjadi dasar

dipakainya doktrin Perang Teritorial pada tahun 1960 yang kemudian tidak saja

menjadi doktrin TNI AD tetapi menjadi doktrin peperangan semesta.105

Pada Maret 1962, sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di

Bandung merumuskan Doktrin Perang Wilayah, yang membuat tentara bisa

104

Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,

(Yogyakarta: Gajah Mada University, 1982), h. 234. 105

Atmadji Soemarkidjo dalam Rifqie Muna, Komando Teritorial TNI: Latar Belakang

Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan Nasional, (Jakarta: The Ridep

Institute, 2002), h. 85.

Page 69: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

menjangkau langsung ke masyarakat. Terdiri dari, staf umum angkatan darat

ditambah dengan staf teritorial dan bagian staf kekaryaan. Dengan konsep perang

wilayah ini, tentara lebih mudah menjalankan peran di luar bidang pertahanan,

terutama di bidang politik. Kemudian dibentuk Komando Resort Militer (Korem)

yang sama tingkatnya dengan karesidenan; Komando Distrik Militer (Kodim)

yang sejajar dengan kabupaten (district); Komando Rayon Militer (Koramil)

seperingkat dengan kecamatan (subdistrik); dan Bintara Pembina Desa (Babinsa)

di desa. Dengan organisasi itu, Angkatan Darat menghidupkan kembali

pembinaan teritorial yang pada masa perang kemerdekaan digunakan untuk

mendukung operasi militer. Pada masa itu, fungsi pertama TNI adalah fungsi

tempur dan fungsi kedua adalah fungsi teritorial guna menyiapkan pertahanan dan

perlawanan rakyat. Pada masa selanjutnya, fungsi teritorial lebih banyak

digunakan untuk sarana kegiatan politik tentara.106

ABRI merasa paling bertanggung jawab atas semua persoalan bangsa dan

negara, hanya karena mau mengejar sasaran yang dibebankan oleh pimpinan Orde

Baru. Tindakan ABRI dengan pendekatan keamanan yang berlebihan ini

menimbulkan suasana yang menakutkan. Pemerintah membatasi kebebasan asasi,

seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menyatakan pendapat,

dan sebagainya. Selain itu, pemerintah juga membentuk badan-badan ekstra

konstitusional, seperti Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

(Kopkamtib), yang diberi kewenangan darurat yang sangat luar biasa untuk

mengatur langkah-langkah demi menciptakan stabilitas, atau badan Penelitian

106

A.H. Nasution, Dwifungsi ABRI: Pada Mulanya dan Kini, ( Bandung: Prisma, 1980),

h. 41.

Page 70: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Khusus (Litsus) di pusat maupun di daerah. Ini juga menjadi alat politik rezim

soeharto untuk mendukung dan memenangkan Golkar dengan berbagai cara. Dan

karena itu, penggunaan organisasi teritorial untuk kepentingan politik membuat

rakyat tidak senang kepada tentara.

Oleh sebab itu, TNI mengambil sikap baru dengan mengembalikan fungsi

teritorial kepada pemerintah yang melibatkan berbagai institutsi fungsional yang

terkait, dengan melakukan refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial. Maksud

dari reformasi organisasi teritorial adalah untuk menyerahkan kembali fungsi

teritorial kepada pemilik fungsi yang sebenarnya, yaitu pemerintah.

Reformasi organisasi teritorial itu bisa dilakukan karena mempunyai

legitimasi undang-undang. Beberapa landasan konstitusional yang dapat

digunakan berkaitan dengan reformasi fungsi teritorial ini adalah ketetapan MPR

dan undang-undang seperti berikut:107

1. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Pasal 7

ayat 1, menyatakan bahwa wewenang daerah mencakup wewenang dalam

seluruh bidang pemerintahan, kecuali wewenang dalam bidang hubungan

luar negeri, pertahanan keamanan, kehakiman, moneter, fiskal, dan agama.

Pasal 10 ayat 1 juga menyatakan, daerah memiliki wewenang mengelola

sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya.

2. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No. 3 Tahun

2002. ketetapan dan undang-undang ini menegaskan adanya perbedaan

antara peran dan tugas TNI dengan POLRI, dan perbedaan antara fungsi

107Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 236.

Page 71: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

pertahanan dengan fungsi keamanan. Ini menunjukan bahwa TNI berperan

utama dalam bidang pertahanan.

3. Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara. Pasal 12

menyatakan bahwa sistem pertahanan negara sebagai salah satu fungsi

pemerintahan negara ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional

dan mendukung kebijakan nasional di bidang pertahanan.

Landasan tersebut mengandung arti bahwa fungsi pembinaan teritorial

yang pada masa lalu dilakukan oleh militer, harus dikembalikan kepada

pemerintah melalui pemerintah daerah. Atas dasar pemikiran itulah,

refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial dilakukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang ada. Dengan begitu, bagi TNI refungsionalisasi dan

restrukturisasi fungsi teritorial ini akan mendukung pembinaan profesionalisme

TNI, karena tentara tidak akan terlibat lagi dalam arena politik yang menyita

waktu, pikiran, dan fisik yang banyak, dan selanjutnya akan hanya menumpukan

kepada fungsi utamanya, yaitu pertahanan negara saja.

Page 72: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang panjang ini, penulis bisa menarik kesimpulan bahwa

keterlibatan militer di Indonesia dalam politik dan ekonomi mempunyai akar dan

latar belakang yang panjang. Keadaanlah yang kemudian menyebabkan militer

terlibat dalam percaturan politik. Ini sangat berlawanan dengan fungsi dan tugas

awal pembentukan militer di Indonesia. Fungsi dan tugas awal militer di

Indonesia adalah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan

penjajah.

Puncak dari keterlibatan militer dalam politik dan ekonomi terlihat jelas

pada masa rezim Orde Baru, dengan adanya konsep dwifungsi ABRI. Konsep

inilah yang kemudian dijadikan dasar legitimasi politik militer secara meluas oleh

pemerintahan Orde Baru. Peran politik militer pada masa ini sugguh luar biasa

luasnya, ini juga karena Soeharto pemimpin rezim Orde Baru ini memberikan

peluang secara luas kepada militer untuk itu.

Namun, setelah tumbangnya rezim ini, banyak tekanan dari seluruh

elemen masyarakat agar militer meninggalkan peran politik dan ekonomi supaya

tercipta militer yang profesional. Militer juga menyadari akan hal itu, dan

berusaha untuk mengembalikan image di mata masyarakat indonesia. Salah satu

usaha yang dilakukan militer adalah dengan melakukan reformasi internal TNI.

Page 73: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Tujuan dari reformasi internal militer tersebut adalah agar terciptanya

profesionalisme militer.

Adapun bentuk nyata yang harus dilakukan militer agar menjadi militer

yang profesional pasca Orde Baru adalah sebagai berikut; pertama, kembali ke

barak, ini dilakukan karena melihat bahwa tugas dan fungsi militer adalah sebagai

alat pertahanan dan keamanan negara. Militer harus ditarik kembali ke barak

untuk menginstropeksi diri dan berlatih sehingga mereka dapat mahir dalam

menggunakan senjata untuk mempertahankan kedaulatan negeri ini, bukan

digunakan untuk mempertahankan kekuasaan segelintir orang saja.

Kedua, tidak berpolitik praktis, untuk menciptakan militer yang

profesional, militer harus bersikap netral, tidak memihak partai apapun, juga

militer dilarang terlibat dalam politik praktis. Ini telah ditetapkan pemerintah

melalui UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang dengan tegas menyatakan, TNI

dilarang terlibat politik praktis. Karena, langkah ini akan merusak TNI hingga

tidak mampu melaksanakan fungsi pertahanan negara secara profesional.

Ketiga, pemisahan TNI POLRI, dengan dipisahkannya kedua instansi ini,

maka diharapkan baik TNI maupun POLRI dapat melaksanakan fungsi dan

tugasnya secara profesional. Karena itu, akan jelas terlihat perbedaan tugas

masing-masing, dimana tugas dan fungsi TNI adalah sebagai alat pertahanan

negara yang melindungi dan memlihara keutuhan dan kedaulatan negara.

Sedangkan, fungsi POLRI adalah sebagai penjaga keamanan dan ketertiban

masyarakat juga melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta

menegakan hukum.

Page 74: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Keempat, tidak berbisnis, salah satu ciri profesionalisme adalah tidak

adanya rangkap jabatan. Bila militer berbisnis dan juga berlatih, maka mereka

tidak akan bisa fokus pada latihan mereka. Ini sangat berbahaya, karena jika

terjadi serangan dari negara lain atau terjadi pemberontakan, militer tentu tidak

akan dapat menumpasnya. Militer tidak mempunyai keahlian dalam menggunakan

senjata, mereka hanya mementingkan bisnisnya saja. Oleh karena itu, pemerintah

harus bisa mengambil alih bisnis militer, dan menjamin kesejahteraan bagi para

prajurit sehingga mereka bisa fokus dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Kelima, refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial. Pada awalnya

fungsi pembinaan teritorial adalah untuk menyiapkan ruang alat, dan kondisi

juang di daerah untuk mendukung usaha pertahanan nasioanal yang dilaksanakan

langsung oleh militer teritorial di daerah. Namun pada perkembangannya, ABRI

melakukan pendekatan keamanan yang berlebihan, membatasi kebebasan asasi,

seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebasan menyatakan

pendapat, jika militer menjadi alat politik rezim Soeharto untuk mendukung dan

memenangkan Golkar dengan berbagai cara. Maksud dari refungsionalisasi dan

restrukturisasi terotorial adalah untuk menyerahkan kembali fungsi teritorial

kepada pemilik fungsi yang sebenarnya, yaitu pemerintah.

Kelima indikator ini akan mendukung pembinaan profesionalisme TNI

pasca Orde Baru di Indonesia, karena militer tidak akan terlibat lagi dalam arena

politik dan bisnis yang menyita waktu, pikiran, dan fisik yang banyak, dan

selanjutnya akan hanya menumpukan kepada fungsi utamanya, yaitu pertahanan

negara saja.

Page 75: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Dari kelima indikasi di atas, dapat kita lihat bahwa militer masih berusaha

untuk menciptakan profesionalismenya, atau belum menjadi militer yang

profesional. Ini terlihat dari belum tuntasnya pengambilalihan bisnis militer dan

masih adanya perwira militer yang masih aktif berusaha menjadi calon gubernur.

Jadi militer di Indonesia masih harus banyak berubah untuk menciptakan

profesionalismenya.

B. Saran

Kelima indikator profesionalisme militer di atas memerlukan dukungan

dari semua pihak, sehingga mampu menjadi bagian dari proses konsolidasi

demokrasi. Untuk itu, diperlukan beberapa langkah konstruktif bagi penguatan

profesionalisme militer.

1. Komitmen sipil untuk menempatkan TNI sebagai kekuatan pertahanan

ansich, sehingga militer tidak tertarik lagi ke dunia politik.

2. Penuntasan masalah bisnis militer dengan diringi peningkatan

kesejahteraan dan modernisasi peralatan pertahanan, sehingga militer

konsisten dengan profesionalismenya.

3. Perlakuan yang sama terhadap militer di depan hukum sehingga muncul

supremasi sipil yang kuat.

Page 76: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, Imam Az-Zaghul. Psikologi Militer. Edisi Indonesia, Jakarta: Khalifa, 2004.

Al-Basry, M. Dahlan Y. Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual. Surabaya:

Target Press, 2003.

Anwar, Dewi Fortuna & Idi Subandy Ibrahim (ed.). Gusdur versus Militer: Studi

tentang Hubungan Sipil-Militer di Era Transisi. Jakarta: PT. Grasindo,

1998.

Britton, Peter. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-

tradisi Jawa dan Barat. Jakarta: LP3ES, 1996.

Chatamarrasjid. Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Cholisin. Militer dan Gerakan Prodemokrasi: Studi Analisis tentang Respon

Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya, 2002.

Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di

Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005.

Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1986

Fatah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004.

Yogyakarta: LKIS, 2005.

Fatwa, A. M. DEMI SEBUAH REZIM: Demokrasi dan Keyakinan Beragama

Diadili. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Habib, Hasnan. Perkembangan Pemikiran Strategi di Indonesia. Jakarta: Analisis

CSIS, 1996.

Haramain, A. Malik. Gus Dur, Militer, dan Politik. Yogyakarta: LKIS, 2004.

Imran, Amrin (dkk). Sedjarah Angkatan-Darat. Jakarta: Dephankam Pusat

Sedjarah ABRI, 1971.

Iswandi. Bisnis Militer Orde Baru “Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi

dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Rezim Otoriter”. Bandung: PT.Remaja Pos Perkasa, 1998.

Page 77: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Kristiadi, J. Masa Depan Politik ABRI. Bandung: Unisia, 1999.

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI). TNI Abad XXI:

Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peranan TNI: Langkah-Langkah

Reformasi Internal Lanjutan TNI, tahap II. Jakarta: Mabes TNI, 2001.

___________. TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peranan

TNI dalam Kehidupan Bangsa. Jakarta: mabes TNI,1999.

Mas’oed, Mochtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES, 1989.

Moedjianto, G. Indonesia Abad ke-20: dari Kebangkitan Nasional sampai

Linggar Jati. Jakarta: Kanisius, 1992.

Muhaimin, A. Yahya. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-

1966. Yogyakarta: Gajah Mada University, 1982.

Nasution, A.H. Dwifungsi ABRI: Pada Mulanya dan Kini. Bandung: Prisma,

1980.

Nordlinger, Erick A. Militer Dalam Politik. Jakarta: Rhineka Cipta, 1990.

Nurhasim, Moch. Praktek-Praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia, Burma,

Filipina, dan Korea Selatan. Jakarta: The Ridep Institute, 2003.

Pusat Pembinaan Mental ABRI (Pusbintal ABRI). Wawasan Kejuangan Panglima

Besar Sudirman. Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, 1991.

Said, Salim. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2001.

__________. Kepemimpinan Politik TNI/ABRI dalam Perspektif Sejarah. dalam

Djoko Subroto, dkk. Visi ABRI Menatap Masa Depan. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1998.

Samego, Indria. Bila ABRI Berbisnis. Bandung: Mizan, 1998.

Sanit, Arbi. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1993.

Shiraishi, Takashi. Militer Indonesia dalam Politik. dalam: Jurnal Ilmu-Ilmu

Sosial UNISIA, No.38/XXII/II/1999.

Sibarani, Shanty M dkk. Antara Kekuasaan dan Profesionalisme, Menuju

Kemandirian Polri. Jakarta: Dharmapena, 2001.

Page 78: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Simamora, Sahat (Terj). Militer dan Politik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2000.

Simatupang, T.B. Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1981.

Soebiyono. Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan

Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1997.

Soemarkidjo, Atmadji. dalam Rifqie Muna. Komando Teritorial TNI: Latar

Belakang Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan

Nasional. Jakarta: The Ridep Institute, 2002.

Soemitro. Suksesi Militer dan Mahasiswa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.

Sundhaussen, ULF. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi

ABRI. Jakarta: LP3ES,1986.

Sutedjo, Bambang. Peran ABRI dalam Kehidupan Nasional. dalam Yusuf

Solichin, Atmadji Sumarkidjo dan Suhadi. ABRI Profesional dan

Dedikatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.

Syamsuddin, Abin. Pengembangan Profesi Kependidikan. Bandung: Pascasarjana UPI, 2000.

Tim Imparsial. Menuju TNI Profesional, Tidak Berbisnis dan Tidak Berpolitik:

Perjalanan Advokasi RUU TNI. Jakarta: Imparsial, Koalisi Keselamatan Masyarakat Sipil, LSPP, 2005.

Tim Kontras. Politik Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan

Kontras Paska Perubahan Rezim 1998. Jakarta: Kontras, 2005.

Tim Prima Pena. Kamus Besar Bahasa Indonesia; Kamus Terbaru. Jakarta: Gita

Media Press 2002.

Widoyoko, Danang dkk. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Jakarta: ICW dan

National Democratic Institute, 2003.

Wiranto. Paradigma Baru ABRI: Tantangan dan Tekad ABRI sebagai

Bhayangkari Negara. Widya Dharma, Edisi Khusus 1999.

Page 79: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Makalah:

Mabes TNI AD, Seskoad 1997, Makalah. Aktualisasi Dwi Fungsi ABRI

Menghadapi Perkembangan Zaman. Bandung, 1997.

Wignjosoebroto, Sritomo. Makalah Pengantar untuk Perbincangan Tentang Perspektif Pembangunan Daya Saing Global Tenaga Kerja Profesional.

Institut Teknologi Sepuluh November – Surabaya, 1999.

Surat Kabar:

Pramodhawardani, Jaleswari. “Bisnis TNI dan Distorsi Ekonomi.” Investor Daily,

22 Juni 2008.

Prasetyono, Edy. “TNI Boleh Kampanye? Sirkus Politik Paling Aneh.” Kompas,

28 Februari 2008.

“Penertiban Bisnis TNI Perlu Langkah Drastis.” Kompas, 10 Mei 2008.

“Efektifitas dan Profesionalisme Militer.” Media Indonesia, 18 Februari 2008.

Internet:

http://www.ipai.info/profesionalisme.htm http://www.bharian.com.my/Joran/JoranBH/Sally/20050616151437/joranews_ht

ml, http://www1.bpkpenabur.or.id

http://www.perpusjatim.go.id, http://rovicky.wordpress.com/2006/05/06/mental-profesional-untuk-buruh-

maupun- juragan/ http://laptopdarulfiqh.blogspot.com/2007/05/siapakah-profesional-pas-

sebenar.html,

http://www.jls.gov.my

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/23/0801.htm,

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/23/opi02.html,

Page 80: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARUrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18051/...PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin