pneumonia
DESCRIPTION
PneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaPneumoniaTRANSCRIPT
PROJECT BASED LEARNING (PJBL)
PNEUMONIA
Blok Sistem Respirasi
ANGGRAENI CITRA SETYANINGTYAS
105070200131007
PSIK K3LN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2012
Student Learning Objective
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi Pneumonia
2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi Pneumonia
3. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi Pneumonia
4. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi Pneumonia
5. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis Pneumonia
6. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostik Pneumonia
7. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan Pneumonia
8. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi Pneumonia
9. Mahasiswa mampu menjelaskan Asuhan keperawatan Pneumonia
10. Mahasiswa mampu menyusun SAP Pneumonia
a) Pengertian
b) Etiologi
c) Tanda dan gejala
d) Komplikasi
e) Penatalaksanaan
PNEUMONIA
1. DEFINISI
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi &
terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, dll.
Pneumonia adalah infeksi akut pada paru-paru, ketika paru-paru terisi oleh cairan
sehingga terjadi ganguan pernapasan, akibat kemampuan paru-paru menyerap
oksigen berkurang.
Pneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini
menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan
dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan
dan sel radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi sel radang ke dalam dinding
alveoli dan rongga intestinum (Alsagaff dan Mukty, 2008).
KLASIFIKASI PNEUMONIA
Berdasarkan klinis dan epideologis :
- Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
- Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/nosocomial pneumonia)
- Pneumonia aspirasi
- Pneumonia pada penderita Immunocompromised
Berdasarkan bakteri penyebab :
- Pneumonia bakterial/tipikal.
Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi
menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
- Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia.
- Pneumonia virus
- Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).
Berdasarkan predileksi infeksi :
- Pneumonia lobaris
Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia
yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan
oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses
keganasan.
- Bronkopneumonia
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan
oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang
dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
- Pneumonia interstisial
2. ETIOLOGI
Faktor Infeksi
a) Bakteri
- Pneumococcus, penyebab utama penumonia. Pada orang dewasa disebabkan
oleh penumokokus 1 – 8 (pada anak – anak tipe 14, 1, 6, 9). Insiden
meningkat pada usia lebih kecil dari 14 tahun dan menurun dengan
meningkatnya umur.
- Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari penyakit virus lain seperti
morbili, influenza, cacar air atau komplikasi dari bakteri lain seperti pertusis,
pneumonia oleh pneumokokus.
Bakteri penyebab pneumonia tersering adalah Haemophilus influenzae (20%)
dan Streptococcus pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah
Staphylococcus aureaus dan Klebsiella pneumoniae.
b) Virus
Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus situmegalik. Virus
yang sering menjadi penyebab pneumonia adalah Respiratory syncytial virus
(RSV) dan influenza.
c) Aspirasi
Makanan, kerosen (bensin dan minyak tanah) dan cairan amnion, benda asing.
d) Pneumonia Hipostatik
Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang sakit
dengan kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahat di tempat tidur yang
lama sehingga terjadi kongesti pada paru belakang bawah. Kuman yang tadinya
komensal berkembangbiak menjadi patogen dan menimbulkan radang. Oleh
karena itu pada anak yang menderita penyakit dan memerlukan istirahat panjang
seperti tifoid harus diubah – ubah posisi tidurnya.
e) Jamur
H. Capsulatum, Candida albikans, Blastomycetes dermatitis, koksidiomikosis,
Aspergilosis dan Aktinimikosis.
f) Sindrom Loeffler
Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes.
Faktor Non-Infeksi
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a) Bronkopneumonia hidrokarbon
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat
hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b) Bronkopneumonia lipoid
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan
seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau
pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang
menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi.
Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling
merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Faktor Risiko
1) Status gizi
Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat
dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan
meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia
(Dailure, 2000). Semua anak yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang
selaput lendir pada hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi pneumonia
karena malnutrisi. Perbaikan gizi seperti pemberian ASI ekslusif dan pemberian
mikro-nutrien bisa membantu pencegahan penyakit pada anak. Pemberian ASI
sub-optimal mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas bawah,
sebesar 20%.
2) Kurang asupan vitamin A
Program pemberian vitamin A setiap 6 bulan untuk balita. Vitamin A bermanfaat
untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi
kuman.
3) Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk meningkatnya ISPA,
dan perawatan di rumah sakit penting untuk mencegah BBLR.
4) Umur
Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan
balita. Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada balita yang
sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita
pneumonia maka akan semakin kecil risiko meninggal akibat pneumonia
dibandingkan balita yang berusia muda.
5) Jenis Kelamin
Menurut Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan
Pneumonia pada Balita (2002), anak laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk
terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan.
6) Kurang imunisasi
Penyakit pneumonia lebih mudah menyerang anak yang belum mendapat
imunisasi campak dan DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) oleh karena itu untuk
menekan tingginya angka kematian karena pneumonia, dapat dilakukan dengan
memberikan imunisasi seperti imunisasi DPT dan campak.
7) Polusi udara yang berasal dari pembakaran di dapur dan di dalam rumah
mempunyai peran pada risiko kematian balita di beberapa negara berkembang.
Diperkirakan 1,6 juta kematian berhubungan dengan polusi udara dari dapur.
Hasil penelitian Dherani, dkk (2008) menyimpulkan bahwa dengan menurunkan
polusi pembakaran dari dapur akan menurunkan morbiditas dan mortalitas
pneumonia. Hasil penelitian juga menunjukkan anak yang tinggal di rumah yang
dapurnya menggunakan listrik atau gas cenderung lebih jarang sakit ISPA
dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam rumah yang memasak dengan
menggunakan minyak tanah atau kayu. Selain asap bakaran dapur, polusi asap
rokok juga berperan sebagai faktor risiko. Anak dari ibu yang merokok
mempunyai kecenderungan lebih sering sakit ISPA daripada anak yang ibunya
tidak merokok (16% : 11%).
8) Tingkat pendidikan ibu
Makin rendah pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA pada balita, karena
tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu
kepada anak yang menderita ISPA. Jika pengetahuan ibu untuk mengatasi
pneumonia tidak tepat ketika bayi atau balita menderita pneumonia, akan
mempunyai risiko meninggal karena pneumonia sebesar 4,9 kali jika
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan yang tepat.
9) Status sosio-ekonomi
Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit menyediakan
fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan dan gizi anak yang memadai.
Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh berkurang dan
mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.
Menurut Wilson L.M. (2006) bayi dan anak kecil rentan terhadap penyakit
pneumonia karena respon imunitas bayi dan anak kecil masih belum berkembang
dengan baik. Adapun faktor risiko yang lain secara umum adalah :
- Infeksi pernapasan oleh virus.
- Penyakit asma dan kistik fibrosis.
- Sakit yang parah dan menyebabkan kelemahan
- Kanker (teutama kanker paru)
- Tirah baring yang lama.
- Riwayat merokok.
- Alkoholisme.
- Pengobatan dengan imunosupresif.
- Malnutrisi.
3. EPIDEMIOLOGI
Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak-anak di seluruh dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan seorang anak meninggal akibat
pneumonia setiap 20 detik dan 98 persen kematian itu terjadi di negara-negara
berkembang. WHO memperkirakan, secara keseluruhan hampir 1,5 juta anak
balita meninggal setiap tahun akibat penyakit mematikan ini. Jumlah itu lebih
besar dari jumlah kematian akibat AIDS, ditambah malaria dan TBC sekaligus.
Di dunia, dari 9 juta kematian Balita lebih dari 2 juta Balita meninggal setiap
tahun akibat pneumonia atau sama dengan 4 Balita meninggal setiap menitnya.
Dari lima kematian Balita, satu diantaranya disebabkan pneumonia.
Infeksi organ pernapasan (pneumonia) ini merupakan penyebab kematian utama
pada anak-anak terutama di negara miskin dan berkembang, terutama di Afrika.
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka
nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%,
angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%.
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
kardiovaskuler dan TBC. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka
kematian. Kasus pneumonia ditemukan paling banyak menyerang anak balita.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di
bawah umur 2 tahun. Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia.
Pneumokokus dengan serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang
dewasa lebih dari 80 % sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9.
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang
dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh
pneumococcus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan
Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.
Menurut data Riskesdas 2007, prevalens pneumonia (berdasarkan pengakuan
pernah didiagnosis pneumonia oleh tenaga kesehatan dalam sebulan terakhir
sebelum survei) pada bayi di Indonesia adalah 0,76% dengan rentang
antarprovinsi sebesar 0-13,2%. Prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo
(13,2%) dan Bali (12,9%), sedangkan provinsi lainnya di bawah 10%. Sedangkan
prevalensi pada anak balita (1-4 tahun) adalah 1,00% dengan rentang antar
provinsi sebesar 0,1% - 14,8%. Seperti pada bayi, prevalensi tertinggi adalah
provinsi Gorontalo (19,9%) dan Bali (13,2%) sedangkan provinsi lainnya di
bawah 10%.
Proporsi pneumonia menurut kelompok umur Pada tahun 2007 dan 2008
perbandingan kasus pneumonia pada balita dibandingkan dengan usia ≥5 tahun
adalah 7:3. Artinya bila ada 7 kasus penumonia pada balita maka akan terdapat 3
kasus pneumonia pada usia ≥5 tahun. Pada tahun 2009 terjadi perubahan menjadi
6:4, namun pneumonia pada balita masih tetap merupakan proporsi terbesar.
Selain itu, proporsi penemuan pneumonia pada bayi adalah sebesar >20% dari
semua kasus pneumonia.
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia, prevalensi Pneumonia Balita di
Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007.
4. PATOFISIOLOGI
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit
di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
5. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Said (2008) gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung
pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
- Gejala infeksi umum , yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan GIT seperti mual, muntah atau diare : kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori , yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah, dan ronki, akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan kelainan (Said, 2008).
Menurut Misnadiarly (2008), tanda-tanda penyakit pneumonia pada balita antara
lain:
- Batuk nonproduktif
- Ingus (nasal discharge)
- Suara napas lemah
- Penggunaan otot bantu napas
- Demam
- Cyanosis (kebiru-biruan)
- Thorax photo menujukkan
infiltrasi melebar
- Kekakuan dan nyeri otot
- Sesak napas
- Menggigil
- Berkeringat
- Lelah
- Terkadang kulit menjadi lembab
- Mual dan muntah
- Sakit kepala
Manifestasi Berdasarkan Umur
- Kelompok umur < 2 bulan
a) Pneumonia berat
Bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu (jika
sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar
atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38º C
atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernapasan
cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis
sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen
tegang.
b) Bukan pneumonia
Jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit dan
tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.
- Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun
a) Pneumonia sangat berat
Batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak
dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit
dibangunkan.
b) Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada, tetapi tidak
disertai sianosis sentral dan dapat minum.
c) Pneumonia
Batuk atau kesulitan bernapas dan pernapasan cepat tanpa penarikan
dinding dada.
d) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)
Batuk atau kesulitan bernapas tanpa pernapasan cepat atau penarikan
dinding dada.
e) Pneumonia persisten
Balita dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah diobati
selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang kuat dan antibiotik yang
sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernapasan
yang tinggi, dan demam ringan (WHO, 2003).
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.
7. PENATALAKSANAAN
Pencegahan
a) Perawatan selama masa kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu gizi ibu
selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi
kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan terhadap
hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan.
b) Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada
bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak
terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat
memberikan perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh
karena itu, balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding
balita yang tidak mendapatkannya.
c) Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi yang
memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9 bulan, imunisasi DPT
(Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4
bulan.
d) Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk
mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai
dengan napas cepat/sesak napas.
e) Mengurangi polusi di dalam dan di luar rumah
Dengan cara mengganti bahan bakar kayu, menghindarkan balita dari asap rokok
dan tidak membawa balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi yang cukup.
f) Menjauhkan balita dari penderita batuk
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran
pernapasan, karena itu jauhkan balita dari orang yang terserang penyakit batuk.
Udara napas seperti batuk dan bersin-bersin dapat menularkan pneumonia pada
orang lain. Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan
menyebar dengan mudah.
g) Peningkatan gizi termasuk pemberian makanan bergizi seimbang, pemberian ASI
eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan
polusi udara di dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko. Penelitian
terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat mengurangi kejadian
pneumonia.
Penatalaksanaan Medis
1) Klien diposisikan dalam keadaan fowler dengan sudut 450.
2) Kematian seringkali berhubungan dengan hipotensi, hipoksia, aritmia kordis, &
penekanan susunan saraf pusat, sehingga penting untuk dilakukan pengaturan
keseimbangan cairan elektrolit & asam-basa dengan baik, pemberian O2 yang
adekuat untuk menurunkan perbedaan O2 di alveoli-arteri, & mencegah hipoksia
seluler. Pemberian O2 sebaiknya dalam konsentrasi yang tidak beracun (PO240)
untuk mempertahankan PO2 arteri sekitar 60-70 mmHg & juga penting
mengawasi pemeriksaan analisa gas darah.
3) Pemberian cairan intravena untuk IV line & pemenuhan hidrasi tubuh untuk
mencegah penurunan volume cairan tubuh secara umum.
4) Bronkodilator, seperti Aminofilin dapat diberikan untuk memperbaiki drainase
sekret 7 distribusi ventilasi.
5) Terkadang timbul dilatasi lambung mendadak, terutama jika pneumonia
mengenai lobus bawah yang dapat menyebabkan hipotensi. Jika hal ini terjadi,
segera atasi hipoksemia arteri dengan memperbaiki volume intravaskuler &
melakukan dekompresi lambung. Jika tidak dapat diatasi, dapat dipasang kateter
Swan-Ganz & infus Dopamin (2-5 u/kg/menit). Bila perlu berikan analgesik
untuk mengatasi nyeri pleura.
6) Antibiotik pilihan : Penisilin*, diberikan secara intramuskular 2 x 600.000 unit
sehari, & diberikan minimal 1 minggu sampai klien tidak mengalami sesak nafas
selama 3 hari & tidak ada komplikasi lain. Klien dengan abses paru & empiema
memerlukan antibiotik lebih lama. Untuk klien yang alergi terhadap Penisilin
dapat diberikan Eritromisin. Tetrasiklin jarang digunakan karena banyak yang
resisten terhadap obat ini. Dalam 12-36 jam setelah pemberian, suhu, denyut
nadi, frekuensi pernapasan menurun serta nyeri pleura menghilang. Pada +/-
20% klien, demam berlanjut sampai lebih dari 48 jam setelah obat dikonsumsi.
*Penisilin: Untuk penisillin G, dosis pemberian (iv) untuk orang dewasa 1-4
mu/4-6 jam, dosis untuk anak-anak 25.000-400.000 unit/kg/hari dalam 4-6 dosis,
waktu paruh normal penicillin G sekitar 30 menit, pada gagal ginjal waktu paruh
dapat mencapai 10 jam. Untuk penisilin V, dosis pemberian po untuk orang
dewasa 0,25-0,5g qid, dosis untuk anak-anak 25-50 mg/kg/hari dalam 4 dosis.
Efek samping dari penisilin ialah: semua preparat yang mengandung penisilin,
termasuk makanan atau kosmetik, dapat menginduksi sensitisasi. Reaksi-reaksi
alergi meliputi; reaksi-reaksi serum sickness (sekarang jarang terjadi - urtikaria,
emam, pembengkakan persendian, edema angioneurosis, pruritus berat, dan
kesukaran bernafas yang timbul 7-12 hari setelah pemaparan), serta beragam
ruam kulit. Selain itu, dapat juga timbul lesi oral, demam, nefritis interstisial
(reaksi autoimun terhadap suatu komplek penicillin-protein), eosinofilia, anemia
hemolitik, dan gangguan-gangguan vaskulitis.
8. KOMPLIKASI
a. Efusi Pleura
Akumulasi cairan dalam rongga pleura yang terjadi jika terdapat peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler darah & juga penurunan tekanan osmotik cairan darah.
Hal ini terjadi akibat peradangan & infiltrasi pada pleura atau jaringan yang
berdekatan dengan pleura seperti paru. Disebut efusi parapneumonik karena
bakterinya sendiri tidak perlu masuk ke dalam rongga pleura untuk menyebabkan
terjadinya efusi.
b. Empiema
Efusi pleura yang bersifat purulen yang bisa menjadi akut & kronik. Empiema
sering disebabkan oleh perluasan infeksi pada parenkim paru.
c. Pneumothoraks
Terdapat udara dalam rongga pleura. Udara yang terbendung ini akan
menyebabkan tekanan di dalam rongga pleura meningkat yang membuat paru
menjadi kempis (kolaps/atelektasis), yang akan menyebabkan penderita
mengalami sesak nafas.
d. Otitis media akut
e. Perikarditis
Adanya precordial chest pain, panas badan menetap, dan hipotensi harus diingat
kemungkinan pericarditis. Pericardial friction rub (+)
f. Meningitis
g. Abses paruSering terjadi pada pneumokokus tipe 3 dan prolonged antibiotik terapi
(2-4 minggu).
h. Endokarditis
Bakteremia dapat merusak katup, chordae tendinea dan otot papilaris, dapat
terjadi bersama-sama dengan pneumonia pneumokokus.
9. ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS
Anak S usia 2 tahun, datang ke UGD RS dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang bersama
ibunya. Menurut cerita dari ibunya anak S, sejak 5 hari yang lalu, anaknya batuk
pilek. Sudah 2 hari ini, sering rewel, tidak mau makan. Sejak kemarin sore, badannya
panas disertai menggigil, tadi malam, sebelum dibawa ke UGD RSSA, suhu anaknya
mencapai 40o C, muntah 3x, dan diare sebanyak 4x, perut tampak distended sehingga
ibunya memutuskan untuk pagi ini dibawa ke RSSA. Setelah dilakukan pemeriksaan
fisik, didapatkan data anak S : pasien dalam kondisi dasar, GCS 456, tampak lemah,
gelisah, dispnea, napas cepat dan dangkal, RR 35x/menit, pernapasan cuping hidung,
retraksi pada daerah supraklavikular, ruang intercostalis & sternocleidomastoideus,
sianosis sekitar mulut dan hidung dan batuk produktif dengan secret tidak bisa
dikeluarkan. Auskultasi ditemukan suara napas bronchial, ronkhi basah halus,
bronkofoni, nadi 110x/menit, regular, suhu 39,50C. Rontgen toraks : gambaran
multiple infiltrate pada paru sebelah kanan. Laborat leukosit :46000/mm3, LED:
53mm/jam. Terapi : IV lines NaCl 0,9% : 10tts/menit, penicillin 100mg IV x 3/hari,
O2 nasal 2 lpm.
A. PENGKAJIAN
Data Dasar
Nama : An. S
Jenis Kelamin : perempuan
Umur : 2 tahun
Diagnosa Medis : Pneumonia
Sumber Informasi : Ibu pasien
Tindakan yang keluarga lakukan : dibawa ke UGD RSSA
Keluhan utama :
Suhu anaknya mencapai 40oC, muntah 3x, dan diare sebanyak 4x, perut tampak
distended.
Anamnesa
Riwayat penyakit sekarang :
Sejak 5 hari yang lalu, anaknya batuk pilek. Sudah 2 hari ini, sering rewel,
tidak mau makan. Sejak kemarin sore, badannya panas disertai menggigil, tadi
malam, sebelum dibawa ke UGD RSSA, suhu anaknya mencapai 40o C,
muntah 3x, dan diare sebanyak 4x, perut tampak distended.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
- Pasien dalam kondisi dasar, GCS 456
TTV
- RR 35x/menit - suhu 39,5℃
- nadi 110x/menit, regular.
B1 (Breathing)
Inspeksi :
- Dispnea, frekuensi napas cepat dan dangkal, pernapasan cuping hidung,
retraksi pada daerah supraklavikular, ruang intercostalis &
sternocleidomastoideus, batuk produktif dengan secret tidak bisa
dikeluarkan.
Perkusi : Bronkofoni
Auskultasi : Suara napas bronchial, ronkhi basah halus
B2 (Blood)
Inspeksi : tampak lemah
Auskultasi : nadi 110x/menit
Laborat leukosit : 46000/mm3, LED : 53mm/jam
B3 (Brain)
Pasien dalam kondisi dasar, GCS 456, tampak lemah, gelisah, sianosis sekitar
mulut dan hidung.
B5 (Bowel)
rewel, tidak mau makan, muntah 3x, & diare sebanyak 4x, perut tampak
distended.
Pemeriksaan Lab
Laborat leukosit :46000/mm3, LED: 53mm/jam.
Pemeriksaan Radiologi
Rontgen toraks: gambaran multiple infiltrate pada paru sebelah kanan.
Pengelompokkan Data
DATA SUBYEKTIF
Anak S usia 2 tahun
Menurut cerita ibunya, sejak 5 hari yang lalu, anaknya batuk pilek.
Sudah 2 hari ini sering rewel, tidak mau makan.
Sejak kemarin sore, badannya panas disertai menggigil.
Sebelum dibawa ke UGD RSSA, suhu anaknya mencapai 40oC, muntah 3x,
& diare sebanyak 4x, perut tampak distended.
DATA OBYEKTIF
1. Pemeriksaan fisik, data anak S :
pasien dalam kondisi sadar, GCS 456, tampak lemah, gelisah, dispnea, napas
cepat dan dangkal, RR 35x/menit, pernapasan cuping hidung, retraksi pada
daerah supraklavikular, ruang intercostalis dan sternocleidomastoideus,
sianosis sekitar mulut dan hidung dan batuk produktif dengan secret tidak
bisa dikeluarkan.
2. Auskultasi ditemukan suara napas bronchial, ronkhi basah halus, bronkofoni,
nadi 110x/menit, regular, suhu 39,50 C.
3. Rontgen toraks: gambaran multiple infiltrate pada paru sebelah kanan.
4. Laborat leukosit :46000/mm3, LED: 53mm/jam.
5. Terapi : IV lines NaCl 0,9% : 10tts/menit, penicillin 100mg IV x 3/hari, O2
nasal 2 lpm.
B. ANALISA DATA
DATA ETIOLOGI MASALAH
DS :
Anak S usia 2 tahun
Sejak 5 hari yg lalu,
batuk pilek
DO:
Klien tampak gelisah,
dispnea, napas cepat
Etiologi & faktor resiko
Saluran pernapasan atas
Kuman berlebih di bronkus
Proses peradangan
Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas
& dangkal, RR
35x/menit
sianosis sekitar mulut
dan hidung dan batuk
produktif dengan
secret tidak bisa
dikeluarkan.
Auskultasi ditemukan
suara napas
bronchial, ronkhi
basah halus,
bronkofoni, nadi
110x/menit, regular.
Akumulasi sekret di bronkus
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
DS :
Anak S usia 2 tahun
DO :
gelisah, dispnea,
napas cepat &
dangkal, RR
35x/menit,
pernapasan cuping
hidung.
Sianosis sekitar mulut
& hidung.
Ronkhi basah halus,
bronkofoni, nadi
110x/menit, regular.
Etiologi & faktor resiko
Saluran pernapasan atas
Infeksi saluran pernapasan bawah
Dilatasi pembuluh darah
Eksudat plasma masuk alveoli
Gangguan difusi dlm plasma
Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas
DS :
Anak S usia 2 tahun
Sudah 2 hari ini
sering rewel, tidak
mau makan.
Etiologi & faktor resiko
Saluran pernapasan atas
Kuman berlebih di bronkus
Ketidakseimbangan
nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh
suhu mencapai 40oC,
diare sebanyak 4x,
perut tampak
distended.
DO :
Tampak lemah,
gelisah
Proses peradangan
Akumulasi sekret di bronkus
Batuk & pilek
Mukus bronkus meningkat
Anoreksia
Lemas, gelisah, intake kurang
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dr keb.
tubuh
C. PRIORITAS DIAGNOSA
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d. sekresi yang tertahan, mukus dalm
jumlah berlebih/kental, spasme jalan nafas.
2. Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan membran kapiler-alveolar.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. peningkatan
metabolisme tubuh & penurunan nafsu makan.
D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d. sekresi yang tertahan, mukus dalm
jumlah berlebih/kental, spasme jalan nafas.
Tujuan :
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi, kebersihan jalan nafas
kembali efektif.
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal).
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat
jalan nafas.
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji fungsi pernapasan (bunyi
napas, kecepatan, irama, &
penggunaan oto bantu napas).
2. Kaji kemampuan klien
mengeluarkan sekresi, catat
karakter & volume sputum.
3. Berikan posisi semi/fowler tinggi
& bantu klien latihan napas dalam
& batuk efektif.
4. Pertahankan intake cairan
sedikitnya 2500 ml/hari kecuali
tidak diindikasikan.
5. Bersihkan sekret dari mulut &
trakhea, bila perlu lakukan
pengisapan (suction).
6. Kolaborasi pemberian obat sesuai
indikasi
Antibiotik & Mukolitik
1. Penurunan bunyi nafas
menunjukkan ateletaksis, ronkhi
menunjukkan akumulasi sekret
& ketidakefektifan pengeluaran
sekresi yg dapat menimbulkan
penggunaan otot bantu nafas &
peningkatan kerja pernapasan.
2. Sekret yg sangat kental sulit
dikeluarkan.
3. Memaksimalkan ekspansi paru
& menurunkan upaya bernapas.
4. Membantu mengencerkan
sekret & mengefektifkan
pembersihan jalan nafas.
5. Mencegah obstruksi & aspirasi.
6. Antibiotik : menghilangkan
bakteri penyebab pneumonia.
Mukolitik : menurunkan
kekentalan & lengketnya sekret
paru
2. Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan membran kapiler-alveolar.
Tujuan :
Setelah diberikan intervensi, dlm waktu 3 x 24 jam klien mampu menunjukan
pertukaran gas (oksigenasi) membaik).
Kriteria hasil :
Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.
Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress
pernafasan.
Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90 x/menit, warna kulit
normal & tidak ada dispnea.
INTERVENSI RASIONAL
1. Buka jalan nafas, gunakan teknik
chin lift atau jaw thrust bila perlu
2. Posisikan pasien
3. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas
buatan
4. Lakukan fisioterapi dada jika
perlu.
5. Keluarkan sekret dengan batuk
atau suction
6. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
7. Berika bronkodilator bila perlu
8. Atur intake cairan untuk
mengoptimalkan keseimbangan.
9. Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal.
1. Melancarkan pernapasan klien
2. untuk memaksimalkan
ventilasi.
3. Membantu mudahnya jalan
nafas.
4. Utk membantu menaikkan
sekresi sehingga dpt
dikeluarkan atau dihisap dgn
mudah. Biasanya dilakukan
saat klien bangun.
5. Membantu mengencerkan
sekret & mengefektifkan
pembersihan jalan nafas.
6. –
7. Meningkatkan diameter lumen
percabangan tracheobronkial,
sehingga menurunkan tahan
thd aliran udara.
8. Memaksimalkan ekspansi
paru & menurunkan upaya
bernapas.
9. Penurunan bunyi nafas
menunjukkan ateletaksis,
ronkhi menunjukkan
akumulasi sekret &
ketidakefektifan pengeluaran
sekresi yg dapat menimbulkan
penggunaan otot bantu nafas
& peningkatan kerja
pernapasan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. peningkatan
metabolisme tubuh & penurunan nafsu makan.
Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi, intake nutrisi klien adekuat, klien tidak lagi lemas
& diare, nafsu makan betambah.
Kriteria Hasil :
Klien mendemonstrasikan intake makanan adekuat untuk memenuhi kebutuhan
dan metabolisme tubuh, tidak lagi diare dan lemas.
INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau persentase jumlah
makanan yang dikonsumsi, hasil
pemeriksaan protein, albumin &
osmolalitas.
2. Berikan perawatan mulut tiap 4
jam jika sputum berbau busuk.
Pertahankan kesegaran ruangan.
3. Rujuk kepada dietitian untuk
membantu memilih makanan yg
dapat memenuhi kebutuhan gizi
selama demam.
4. Dukung klien untuk
mengkonsumsi makanan TKTP.
5. Berikan makanan dengan porsi
sedikit tapi sering bila terjadi
muntah.
1. Menidentifikasi kemajuan atau
penyimpangan dari sasaran yg
diharapkan.
2. Bau yang tidak enak dapat
mempengaruhi napsu makan.
3. Membantu klien memenuhi
nutrisi selama sakit.
4. Penting untuk aktivitas anabolik
& sintesis antibodi.
5. Memerlukan lebih sedikit enrgi
untuk mencerna, sehingga
meminimalisir penekanan pusat
muntah.
DAFTAR PUSTAKA
NANDA Internasional. Diagnosa Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2009 – 2011
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika
Marylin E.,doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan/pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Mardjanis Said. 2007. Pneumonia Penyebab Utama Mortalitas Anak Balita di
Indonesia. http://www.idai.or.id.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi : Pneumonia Balita
volume 3, September 2010.
Dahlan. 2001. Pneumonia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pneumonia, Penyebab Utama Kematian
Balita. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/410-pneumonia-
penyebab-kematian-utama-balita.html Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat
Jenderal Departemen Kesehatan.
http://www.voanews.com/indonesian/news/WHO-Rekomendasikan-Anak-anak-Pen-
134203528.html diakses tanggal 02-03-2012 pukul 12.03
http://www.idai.or.id/kegiatanidai/artikel.asp?q=201011151539 diakses tanggal 02-03-
2012
http://www.rsmarinir.com/isi.php?id=77 diakses tanggal 02-03-2012.
SATUAN ACARA PENYULUHAN
PNEUMONIA
Pokok Bahasan : Penyakit Pneumonia
Sasaran : Ibu-ibu dan keluarganya
Tempat : Balai Desa Sumbersari Malang
Hari / tanggal : Maret 2012
Alokasi waktu : 55 menit
Metode : Ceramah, Tanya jawab, diskusi
Pertemuan ke : 1 (Pertama)
Pengajar : Anggraeni Citra S.
A. Tujuan lnstruksional
i. Umum
setelah mengikuti kegiatan penyuluhan, peserta mengerti dan memahami
tentang penyakit Pneumonia, bahayanya terhadap balita dan upaya
pencegahannya.
ii. Khusus
- Ibu-ibu dan keluarganya memahami tentang pengertian Pneumonia.
- Ibu-ibu dan keluarganya penyebab Pneumonia.
- Ibu-ibu dan keluarganya memahami hal – hal apa saja yang menimbulkan
anaknya beresiko terkena Pneumonia.
- Ibu-ibu dan keluarganya memahami dan mengetahui bagaimana gejala
Pneumonia.
- Ibu-ibu dan keluarganya mengerti serta memahami upaya pencegahan
Pneumonia.
- Ibu-ibu dan keluarganya mengerti serta memahami upaya penanganan
Pneumonia.
B. Sub Pokok Bahasan
1) Pengertian Pneumonia
2) Etiologi Pneumonia
3) Tanda dan gejala Pneumonia
4) Komplikasi Pneumonia
5) Penatalaksanaan Pneumonia
C. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
Tahap kegiatan
Waktu Kegiatan perawat Kegiatan perserta MetodeMedia &
alat
Pembukaan b. 1. Salam pembukaan
2. Memperkenalkan
diri
3. Menjelaskan
maksud dan tujuan
4. Membagikan
leaflet
1. Menjawab
salam
2. Mendengarkan
keterangan penyaji
Ceramah Micropho
ne
Penyajian 30
menit
1. Menyampaikan
materi
Memperhatikan
dan
mendengarkan
penjelasan penyaji
Ceramah
Diskusi
Leaflet,
Flipehart,
ppt
Penutup 15
menit
1. Tanya jawab
2. Menutup
pertemuan
3. Menyampaikan
kesimpulan
Mendengarkan
dan bertanya serta
menjawab
pertanyaan
Ceramah,
diskusi,
Tanya
Jawab
Leaflet
,Flipehart,
Ppt
D. Evaluasi
Evaluasi proses :
- Peserta mengikuti kegiatan pengajaran dengan baik
- Peserta terlibat aktif dalam pembelajaran
- Peserta aktif bertanya
Evaluasi hasil :
- Peserta memahami tentang pengertian Pneumonia.
- Peserta mengerti penyebab Pneumonia.
- Peserta memahami hal – hal apa saja yang menimbulkan resiko terkena
Pneumonia pada balita.
- Peserta memahami dan mengetahui bagaimana gejala Pneumonia.
- Peserta mengerti serta memahami upaya penanganan Pneumonia
- Peserta mengerti serta memahami bagaimana mencegah Pneumonia
- Peserta mampu maenjawab pertanyaan penyaji
E. Materi (terlampir)
PNEUMONIA
1) PENGERTIAN
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan
dan sel radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi sel radang ke dalam dinding
alveoli dan rongga intestinum (Alsagaff dan Mukty, 2008).
2) ETIOLOGI
Faktor Infeksi
a) Bakteri
Bakteri penyebab pneumonia tersering adalah Haemophilus influenzae (20%) dan
Streptococcus pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah Staphylococcus
aureaus dan Klebsiella pneumoniae.
b) Virus
Virus yang sering menjadi penyebab pneumonia adalah Respiratory syncytial
virus (RSV) dan influenza.
c) Aspirasi
Makanan, kerosen (bensin dan minyak tanah) dan cairan amnion, benda asing.
d) Pneumonia Hipostatik
Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang sakit
dengan kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahat di tempat tidur yang
lama sehingga terjadi kongesti pada paru belakang bawah. Kuman yang tadinya
komensal berkembangbiak menjadi patogen dan menimbulkan radang. Oleh
karena itu pada anak yang menderita penyakit dan memerlukan istirahat panjang
seperti tifoid harus diubah – ubah posisi tidurnya.
e) Jamur
f) Sindrom Loeffler
Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes (cacing).
Faktor Non-Infeksi
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a) Bronkopneumonia hidrokarbon
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat
hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b) Bronkopneumonia lipoid
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan
seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau
pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang
menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi.
Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling
merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Faktor Risiko
a. Status gizi
Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat
dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan
meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia
(Dailure, 2000). Semua anak yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang
selaput lendir pada hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi pneumonia
karena malnutrisi. Perbaikan gizi seperti pemberian ASI ekslusif dan pemberian
mikro-nutrien bisa membantu pencegahan penyakit pada anak. Pemberian ASI
sub-optimal mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas bawah,
sebesar 20%.
b. Kurang asupan vitamin A
Program pemberian vitamin A setiap 6 bulan untuk balita. Vitamin A bermanfaat
untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi
kuman.
c. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk meningkatnya ISPA,
dan perawatan di rumah sakit penting untuk mencegah BBLR.
d. Umur
Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan
balita. Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada balita yang
sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita
pneumonia maka akan semakin kecil risiko meninggal akibat pneumonia
dibandingkan balita yang berusia muda.
e. Jenis Kelamin
Menurut Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan
Pneumonia pada Balita (2002), anak laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk
terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan.
f. Kurang imunisasi
Penyakit pneumonia lebih mudah menyerang anak yang belum mendapat
imunisasi campak dan DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) oleh karena itu untuk
menekan tingginya angka kematian karena pneumonia, dapat dilakukan dengan
memberikan imunisasi seperti imunisasi DPT dan campak.
g. Polusi udara yang berasal dari pembakaran di dapur dan di dalam rumah
mempunyai peran pada risiko kematian balita di beberapa negara berkembang.
Diperkirakan 1,6 juta kematian berhubungan dengan polusi udara dari dapur.
Hasil penelitian Dherani, dkk (2008) menyimpulkan bahwa dengan menurunkan
polusi pembakaran dari dapur akan menurunkan morbiditas dan mortalitas
pneumonia. Hasil penelitian juga menunjukkan anak yang tinggal di rumah yang
dapurnya menggunakan listrik atau gas cenderung lebih jarang sakit ISPA
dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam rumah yang memasak dengan
menggunakan minyak tanah atau kayu. Selain asap bakaran dapur, polusi asap
rokok juga berperan sebagai faktor risiko. Anak dari ibu yang merokok
mempunyai kecenderungan lebih sering sakit ISPA daripada anak yang ibunya
tidak merokok (16% : 11%).
h. Tingkat pendidikan ibu
Makin rendah pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA pada balita, karena
tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu
kepada anak yang menderita ISPA. Jika pengetahuan ibu untuk mengatasi
pneumonia tidak tepat ketika bayi atau balita menderita pneumonia, akan
mempunyai risiko meninggal karena pneumonia sebesar 4,9 kali jika
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan yang tepat.
i. Status sosio-ekonomi
Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit menyediakan
fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan dan gizi anak yang memadai.
Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh berkurang dan
mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.
3) TANDA DAN GEJALA
Menurut Said (2008) gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung
pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
- Gejala infeksi umum , yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan GIT seperti mual, muntah atau diare : kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori , yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah, dan ronki, akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan kelainan (Said, 2008).
Menurut Misnadiarly (2008), tanda-tanda penyakit pneumonia pada balita antara
lain:
- Batuk nonproduktif
- Ingus (nasal discharge)
- Suara napas lemah
- Penggunaan otot bantu napas
- Demam
- Cyanosis (kebiru-biruan)
- Thorax photo menujukkan
infiltrasi melebar
- Kekakuan dan nyeri otot
- Sesak napas
- Menggigil
- Berkeringat
- Lelah
- Terkadang kulit menjadi lembab
- Mual dan muntah
- Sakit kepala
4) KOMPLIKASI
a. Efusi Pleura
Akumulasi cairan dalam rongga pleura yang terjadi jika terdapat peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler darah & juga penurunan tekanan osmotik cairan
darah. Hal ini terjadi akibat peradangan & infiltrasi pada pleura atau jaringan
yang berdekatan dengan pleura seperti paru. Disebut efusi parapneumonik
karena bakterinya sendiri tidak perlu masuk ke dalam rongga pleura untuk
menyebabkan terjadinya efusi.
b. Empiema
Efusi pleura yang bersifat purulen yang bisa menjadi akut & kronik. Empiema
sering disebabkan oleh perluasan infeksi pada parenkim paru.
c. Pneumothoraks
Terdapat udara dalam rongga pleura. Udara yang terbendung ini akan
menyebabkan tekanan di dalam rongga pleura meningkat yang membuat paru
menjadi kempis (kolaps/atelektasis), yang akan menyebabkan penderita
mengalami sesak nafas.
d. Otitis media akut
e. Perikarditis
Adanya precordial chest pain, panas badan menetap, dan hipotensi harus diingat
kemungkinan pericarditis. Pericardial friction rub (+)
f. Meningitis
g. Abses paru
Sering terjadi pada pneumokokus tipe 3 dan prolonged antibiotik terapi (2-4
minggu).
h. Endokarditis
Bakteremia dapat merusak katup, chordae tendinea dan otot papilaris, dapat
terjadi bersama-sama dengan pneumonia pneumokokus.
5) PENATALAKSANAAN
Pencegahan
a) Perawatan selama masa kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu gizi ibu
selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi
kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan terhadap
hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan.
b) Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada
bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak
terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat
memberikan perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh
karena itu, balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding
balita yang tidak mendapatkannya.
c) Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi yang
memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9 bulan, imunisasi DPT
(Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4
bulan.
d) Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk
mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai
dengan napas cepat/sesak napas.
e) Mengurangi polusi di dalam dan di luar rumah
Dengan cara mengganti bahan bakar kayu, menghindarkan balita dari asap rokok
dan tidak membawa balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi yang cukup.
f) Menjauhkan balita dari penderita batuk
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran
pernapasan, karena itu jauhkan balita dari orang yang terserang penyakit batuk.
Udara napas seperti batuk dan bersin-bersin dapat menularkan pneumonia pada
orang lain. Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan
menyebar dengan mudah.
g) Peningkatan gizi termasuk pemberian makanan bergizi seimbang, pemberian ASI
eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan
polusi udara di dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko. Penelitian
terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat mengurangi kejadian
pneumonia.
Penatalaksanaan Medis
1) Klien diposisikan dalam keadaan fowler dengan sudut 450.
2) Kematian seringkali berhubungan dengan hipotensi, hipoksia, aritmia kordis, &
penekanan susunan saraf pusat, sehingga penting untuk dilakukan pengaturan
keseimbangan cairan elektrolit & asam-basa dengan baik, pemberian O2 yang
adekuat untuk menurunkan perbedaan O2 di alveoli-arteri, & mencegah hipoksia
seluler. Pemberian O2 sebaiknya dalam konsentrasi yang tidak beracun (PO240)
untuk mempertahankan PO2 arteri sekitar 60-70 mmHg & juga penting
mengawasi pemeriksaan analisa gas darah.
3) Pemberian cairan intravena untuk IV line & pemenuhan hidrasi tubuh untuk
mencegah penurunan volume cairan tubuh secara umum.
4) Bronkodilator, seperti Aminofilin dapat diberikan untuk memperbaiki
drainase sekret 7 distribusi ventilasi.
5) Terkadang timbul dilatasi lambung mendadak, terutama jika pneumonia
mengenai lobus bawah yang dapat menyebabkan hipotensi. Jika hal ini
terjadi, segera atasi hipoksemia arteri dengan memperbaiki volume
intravaskuler & melakukan dekompresi lambung. Jika tidak dapat diatasi,
dapat dipasang kateter Swan-Ganz & infus Dopamin (2-5 u/kg/menit). Bila
perlu berikan analgesik untuk mengatasi nyeri pleura.
6) Antibiotik pilihan : Penisilin, diberikan secara intramuskular 2 x 600.000 unit
sehari, & diberikan minimal 1 minggu sampai klien tidak mengalami sesak
nafas selama 3 hari & tidak ada komplikasi lain. Klien dengan abses paru &
empiema memerlukan antibiotik lebih lama. Untuk klien yang alergi terhadap
Penisilin dapat diberikan Eritromisin. Tetrasiklin jarang digunakan karena
banyak yang resisten terhadap obat ini. Dalam 12-36 jam setelah pemberian,
suhu, denyut nadi, frekuensi pernapasan menurun serta nyeri pleura
menghilang. Pada +/- 20% klien, demam berlanjut sampai lebih dari 48 jam
setelah obat dikonsumsi.
F. Daftar Pustaka
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika
Mardjanis Said. 2007. Pneumonia Penyebab Utama Mortalitas Anak Balita di
Indonesia. http://www.idai.or.id.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi : Pneumonia
Balita volume 3, September 2010.
Dahlan. 2001. Pneumonia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pneumonia, Penyebab Utama
Kematian Balita.
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/410-pneumonia-
penyebab-kematian-utama-balita.html Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat
Jenderal Departemen Kesehatan.
http://www.idai.or.id/kegiatanidai/artikel.asp?q=201011151539 diakses tanggal 02-
03-2012
http://www.rsmarinir.com/isi.php?id=77 diakses tanggal 02-03-2012