pbl blok 12 - tetanus
DESCRIPTION
tetanusTRANSCRIPT
Derajat III (berat) : Trismus berat, spasisitas generaisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagis berat, dan takikardia lebih dari 120.
Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
Perubahan fisiologi kardiovaskular
Terdapat relatif sedikit penelitian tentang efek ttanus pada sistem kardiovaskular. Suatu problem adalah bahwa efek hemodinamik dari komplikasi dan terapi dapat menutupi efek sesungguhnya dari tetanus itu sendiri. Udwadia meneliti 27 pasien dengan Ablett derajat III/IV yang stabil dan tanpa terpai yang mempengaruhi hemodinamik. Sembilan belas di antaranya dengan tetanus tanpa komplikasi, sedangkan delapan ayng lain dengan komplikasi (dengan pneumonia, sepsis, ARDS). Penelitiannya yang berskala luas meliputi gambaran kardiovaskular dari tetanus, perbuahan-perubahan yang terjadi selama spasme yang tidak terkontrol, selama relaksasi yang intensif, selama pemulihan dan pengaruh pemberian cairan pada tetanus dibandingkan dengan sukarelawan sehat. ia juga meneliti pasien-pasien selama periode instabilitas kardiovaskuler akibat ‘badai otonomik’.
Tetanus berat tanpa komplikasi ditandai dengan sirkulasi hiperkinetik. Takikardia bersifat universal diseratai hipertensi, meningkatnya indekx volume sekuncup jantung dan meningkatnya indeks kardiak. Penemuan yang lain adalah resistensi vascular sistemik yang normal rendah dan tekanan pengisian sisi kiri dan kanan jantung yang normal. Penemuan-penemuan ini mirip dengan yagn ditemukanoleh James dan Manson. Kondisi hiperkinetik diperberat selama peningkatan aktivitas spasme dan kurangnya relaksasi. Abnormalitas hemodinamik kurang jelas selama periode relaksasi muskuler penuth tetapi pengukuran-pengukuran itu hanya secara bertahap kembali ke nilai normanlnya selama masa pemulihan. Pemberian cairan sebanyak 2000 ml meningkatkan tekanan pengisian jantung kiri dan indeks jantung, tapi efek ini hanya bersifat sementara. Selama ‘badai otonomik’, dengan instabilitas kardiovaskular yang jelas, pasien mengalami fluktuasi dari kondisi hiperstimulasi dari hipertensi (tekanan arterial mencapai 220/120 mmHg) dan takikardia (denyut jantung 130-190x/menit) sampai kondisi depresi berat dengan hipotensi (mencapai 70/30 mmHg), bradikardia (50-90x/menit) dan penurunan tekanan vena sentralis (berkurang 1 sampai 6 cmH2O). Pengawasan secara intensif menunukkan perubahan ini merupakan akibat perubahan yang cepat dan yata dari indek resistensi vaskular sistemik (Systemic vascular resistance index/SVRI), turun dari 2300 menjadi kurang dari 1000 dine cm-5m-2. Terdapat sedikit perubahan pada indeks jantung dan tekanan pengisian jantung. Apabila dibandingkan dengan derajat yang lebih berat, pasien dengan derajat IV kurang mungkin menaikkan indeks kardiak atau indeks-indeks kerja jantung sebagai respons terhadap pemberian cairan atau selama perubahan resistensi vascular yang dijumpai selama ‘badai otonomik’. Satu pasien dengan hipertensi berat berkepanjangan dijumpai menunjukkan peningkatan resistensi vaskuler massif dengan SVRI lebih tinggi dari
4500 dine cm-5m-2. Pada tetanus tanpa komplikasi, pengukuran-pengukuran tersebut di atas beervariasi luas dengan tanpa konsistensi.
Sirkulasi hiperkinetik terutama disebabkan peningkatan aktivitas simpatetik basal dan peningkatan aktivitas otot dengan efek yang lebih lemah dari meningkatnya temperatur. SVRI yang normal rendah disebabkan venodilatasi ektensif dalam otot yang aktis secara metabolik. Rasio ekstraksi oksigen tidak berubah pada tentanus dan peningkatan kebutuhan oksigen dipenuhi dengan meningkatknya aliran darah. kontrol spasme yang buruk meperberat efek-efek ini. Pemberian cairan menyebabkan hanya peningkatan sementara tekanan pengisian jantung, indeks kardiak dan LVSWI, karena sirkulasi secara luas mengalami venodilatasi dan oleh karena itu merupakan sistem kapasitansi yang tinggi apabila dibandingkan dengan kontrol normal. Pada tetanus tanpa komplikasi, sistem kardiovaskular, oleh karena itu menyerupai pasien pasien normal yang melakukan aktivitas fisik intensif, pasien derajat IV tampak kurang menunjukkan peningkatan kempamuan jantung dan oleh karena itu lebih rentan terhadap hpotensi berat dan shok selama ‘badai vasodilatori akut’. Mekanismenya tidak jelas, tapi mungkin berkaitan dengan berkurangnya stimulasi kaekolamin secara mendadak tatau efek langsung toksin tetanus terhadap miokardium. Perubahan fungsi miokardium mungkin disebabkan peningkatan kadar katekolamin yyang menetap, tetapi fungsi yang abnormal mungkin terjadi bahkan pada kondisi tanpa sepsis atau kadar katekolamin yang tinggi.
Perubahan fisiologi respirasi
Rigiditas dan spasme muskuler dari dinding dada, diafragma dan abdomen menyebabkan adanya defek restriktif. Adanya spasme faringeal dan laryngeal merupakan pertanda adanya gagal nafs dan obstruksi jalan nafa yang mengancam jiwa. Ketidakmapmpuan pasien untuk batuk, akibat rigiditas, spaseme dan sedasi mengakibatkan stelektasis dan resiko tinggi terjadinya pneumonia. Ketidakmampuan untuk menelan yang berlebih, sekresi bronchial yang profus, spasme faringeal, peningkatan tekanan intraabdominal dan stasis gaster, semuanya meningkatkan resiko aspires iyang mumum terjadi pada pasien tetanus. Gangguan ventilasi/perfusi umum terjadi. Akibat hipoksia merupaakn keadaan yang umum dijumpai pada tetanus sedang dan berat bahkan pada keadaan dimana gambaran foto thorax bersih. Tekanan oksigen, udara pernafasan antara 5,3 – 6,7 kPa umm dijumpai. Pada pasien yang diberikan pernafasan buata, peningkatan gradient A-a bersifat menetap. Penghantaran oksigen dan penggunaannya dapat terganggubahkan tanpa perubahan bpatologis paru tambahan, sindroma distress pernafasan akut mungkin terjadi sebagai komplikasi spesifik tetanus. Perubahan ventilasi ringan dapat disebabkan oleh penyebab yang bervariasi, hiperventilasi dapat terjadi karena ketakutan, gangguan otonomik, atau perubahan fungsi batang otak. Hiporkarbia (pCI3 4,0-4,6 kPa0 umum terjadi pada tetanus ringan sampai sedang. ‘Badan hiperventilasi’ dapat berakibat hipokarbia berat (PCO2 < 3,3 kPa). Pada tetanus berat, hipoventilasi akibat spasme berkepanjagnan dan apneu terjadi. Sedasi, kelelahan dan perubahan fungsi batang otak munkin juga berakibat gagal nafas. Kemampuan respirasi dapat berkurang yang berakibat terjadinya periode apnea yang mengancam jiwa.
Perubahan fisiologi ginjal
Pada tetanus ringan, fungsi ginjal tidak terganggu, pada tentaus berat, sering terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan gangguan fungsitubulus ginjal. peynebab tambahan gagal ginjal apda tetanus mencakup dehidrasi, sepsis, rabdomyolisis, dam erubahan dalam aliran darah ke ginjal yang terjadi secara sekunder akibat peningkatan mendadak akadar katekolamin. Gagal ginjal dapat ofigourik atau poliurik. Gangguan ginjal yang penting secara klinis berkaitan denganistabilitias otonoimk dan gambaran histologisnya normal atau menunjukkan nekrosis tubuler akut.
Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya seperti laringo spasme, atau sebaai kosekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator.
Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin apabila teradapt riwayat serial vaskinasiyang telah diberikan secar lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Secret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicrugiai tetanus. Namun demikian, C. tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus. Lekosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adayna interval tenang yang secar normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram. Enzim otot mungkin meningkat. Kadar antitoksi serum ≥ 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadadar antitoksin yang protektif.
Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabbkan trismus, miseperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya terhadap fenotiasin dan metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolic dan neurologis pada neonatal. Kondisi-kondisi lain ydikacaukan dengan tetanus lemiputi meningitis/ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen). Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada, dpunggung, dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tida terlibatnya tangna dan kaki secara kuat menyokong diagnose tetanus.
Terapi
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan : organisme yang teradapt dalam tubuh hendaknya dhancurkan untuk mencegah pelepasan toksi lebih lanjut; toksi yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya di netralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.
Penatalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi dan
pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-menerus, sdnagkan stimulasi
siminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan anfas bersifat vital. Luka hendaknya dieksplorasi,
dibersihkan secar hati-hati dan dilakukan debridement secara menyeluruh.
Netralisasi dari Toksin yang Bebas
Antitoksin menurunkan prtalitas dengan mentetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi
dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada jaringan saraf
tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusi (TIG) merupakan pilihan utama dan
hendaknya diberikan seegera dengan dosis 3000-6000 unit intramuscular, biasanya dengan dosis
terbagi karena volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan dosis yang lebih
tinggi. Imunolobulin intravena merupakan alternative lain ydaripada TIG tapi konsentrasi
antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi. Paling baik meberikan antitoksin
sebleum memanipulasi luka. Manfaat memberikan antitoksin pada sisi proksimal luka atau
dengan menginfiltrasi luka belumlah jelas. dosis tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh
antitoksin yang panjang. Antibodi tidak dapat menembus sawar dara-otak. Pemberian antibodi
intratekal masih perupakan eksperimen. Antioksin tetanus kuda tidak tersedia di Amerika
Serikat, tapi masih dipergunakan di tempat lain. Lebih murah dibanding antitoksi manusia, tapi
wkatu paruhyna lebih pendek dan pemberiannya sering menimbulkan hipersensitifitas dan serum
sickness syndrome.
Menyingkirkan Sumber Infeksi
Jika ada, luka yang tampak jelas hendkanya didebridemen secara bedah. Walaupun
manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotic diberikan pada tentaus untuk mengeradikasi sel-sel
vegetative, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena setiap
hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan secar luas dipergunakan selama bertahun-tahun,
tetapi merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Metronidazol munkgin
merupakan antibiotic pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam) digunakan
oleh beberapa ahli berdsasarkan aktivitas antimicrobial metronidazol yang bagus Metronidazole
aman dan pad peneilitian yang mebandingkan dengan penisilin menunjukkan angka harapan
hidup yang lebih tinggi dibandingkan denga penisilin karena metronidazol tidak menunjukkan
aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh penisilin. Eritromisin,
tetrasiklin, kloramfenikol, dan klindamisin dapat diterima sebagai alternative, apabila pasien
alergi terhadap penisilin.
Pengendalian rigiditas dan spasme
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk
mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi karena
menyebabkan laringospasme atau kontraksi secara terus-menerus otot-otot pernafasan. Regimen
yang ideal adalah regimen yang dapat menekan aktivitas spasmodic tanpa menyebabkan sedasi
berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya
adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepine. Benzodiaszepin meperkuat agonisme
GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABA. Diazepam dapat iberikan
melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja
panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan berakibat koma
berkepanjangan. Telah dilaporkan penggunakan dosis setinggi 100 mg per jam. Pilihan yang lain
adalah lorazepam dengan durasi aksi yang lebih lama dan midazoloam dengan waktu paruh yang
lebih singkat. Midazolam telah dipakai dengan akumulasi yang lebih ringan. Sebagai sedasi
tamgbahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama feobarbiton yang lebih jauh memperkuat
aktivitas GABAergik dan fenothiazin, biasanya klorpromazin. Barbiturat dan klorpromaszin ini
merupakan obat lini kedua. Prozol telah dipergunakan sebagai sedasi dengan pemulihan yang
cepat setelah infuse distop.
Apabila sedasi saja tidak adekuat, paralisis tersputik dengan agen pemblokade
neuromuskuler dan ventilasi mekanik tekanan positif intermitten mungkin dibutuhkan utnuk
jangka panjang. Namun demikian dapat terjadi paralisis berkepanjangan setelah obat dihentikan
dan kebuuhan pasien akan paralisis berkesinambungan dan terjadinya komplikasi hendaknya
dinilai terus-menerus tiap hari. secara tradisional, agen kerja panjang, pankuronium telah
dipergunakan. Namun demikian, pankuronium menghambat pengambilan kembali katekolamin
dan dapat memperberat inatabilitas otonomik pada tetanus berat. Terdapat laporan terbatas
tentang bertambah parahnya hipertensi dan takirardia yang berkaitan dengan penggunaannya.
tetapi Dance melaporkan tidak terdapat perbedaan dalam hal komplikasi pada mereka yang
diterapi dengan pankuronium apabila dibandingkan dengan obat penghambat neuromuscular
yang lain. Vekuronium bebas dari efek samping kardiovaskular dan pelepasan histamine tetapi
secara relative bersifat kerja singkat. Telah dilaporkan penggunaan infuse atrakurium pada
tetanus selama 71 hari. Pada pasien ini, dengan fungsi ginjal dan liver yang nomal, tidak terdapat
akumulasi ladanosin, metabolit epileptogenik dari atrakurium. Obat-obatan kerja panjang dipilih
karena pengunaanya mungkin dengan cara bolus intermiten daripada pemberian infuse.
Penggunaan jangka panjang obat pemblokade neuromusular aminosteroid jangka panjang
(vekuronium, pankuronium, rekuronium) terutama melalui infuse berkaitan dengan neuropati
dan miopati, namun belum pernah ditemukan pada penderita tetanus. Di antara obat-obat baru,
pipekuronium dan rokuronium merupakan obat kerja panjang yang ‘bersih’ tapi mahal.
Penggunaan dantrolen untuk mengontrol spasme dalam yang refrakter telah dilaporkan dalam
suatu kasus. Obat-obat penghambat neuromuscular tidak perlu digunakan setelah pemberian
dantrolen, spasme paroksimal berhenti dan kondisi pasien membaik.
Penatalaksanaan Respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan pada
hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk
menghindari spirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan menelan atau disfagia. Kebutuhan
akan prosedur ini harus diantisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara dini.
Pengendalian disfungsi otonomik
Banyak pendekatan yang berbeda dalam terapi disfungsi otonomik yang telah dilaporkan.
Sebagian besar dipresentasikan sebagai laporan kasus pada sejumlah kecil kasus. Penelitian
terkontrol dan komparatif masih jarang.Sampai sejauh ini terapi optimal untuk overaktivitas
simpatis belum ditetapkan. metode non farmakologis untuk mencegah instabilitas otonomik
didasarkan pada pemberian cairan 8 L/hari.
Sedasi merupakan terapi pertama. Benzodiazepine, Antikonvulsan dan terutama morvin
sering digunakan. Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi
tanpa gangguan jantung. Dosisnya bervariasi atara 20-180 mg per hari. Mekanisme aksi yang
dipertimbangkan adalah penggantuian opioid endogen, pengurangan aktifitas reflex simpatis dan
pelepasan histamine. Fenothiazin, terutama klorpromazin merupakan sedative yang berguna,
antikolinergik dan antagonis a adrenergic dapat berperan dalam stabilitas kardiovaskular.
Pada wawlnya, obat-obatan pemblokade adrenergic β, seperti propanolol dipergunakan
untuk mengontrol hipertensi dan takikardia, namun hipotensi, edema paru berat dan kematian
mendadak terjadi. Labetolol, yang berefek kombinasi α dan β adrenergic digunakan, tapi
hasilnya tidak jauh berbeda (mungkin karena ktivitas bllokade α-nya kalah jauh dibandingkan
dengan β) dan mortalitasnya tetap tinggi. Sekarang, obat kerja singkat seperti esmolol berfungsi
sangat baik untuk hipertensi berat, meskipun kadar katekolamin arterial tetap tinggi.
Kematian mendadak akibat henti jantung merupakan karakteristik dari tetanus berat.
Penyebabnya masih belum jelas, tapi penjelasan yang dapat dipercaya mencakup mendadak
hilangnya pacuan simpatis, kerusakan jantung yang diinduksi oleh katekolamin, dan
meningkatnya tonus parasimpatik. Blokade bbeta yang menetap dapat memicu penyebab-
penyebab henti jantung ini karena aktivitas inotropik negative atau aktivitas vasokonstriksi tanpa
hambatan yang menyebabkan gagal jantung akut. Obat-obatan pemblokade adrenergic α seperti
nethanidin, guanetidin, dan fentolamin telah sukses dipergunakan bersama propanolol bersama
obat-obatan lain seperti trimetafan, fenoksibenzamin, dan reserpin. Kerugian penggunaan
kelompok obat ini adalah hipotensi yang terinduksi sulit teratasi, takifilaksis terjadi, dan lepas
obat bisa menyebabkan hipertensi.
Telah dilaporkan keberhasilan penatalaksanaan gangguan otonomik dengan
menggunakan atropine IV dosis mencapai 100 mg per jam yang digunakan pada 4 pasien. Tapi
dikuatirkan dengan dosis yang tinggi itu, tida hanya berakibat blockade muskarinik, tapi juga
nikotinik, sedasi sentral dan blockade neuromuscular. Blockade system saraf parasimpatis
dilaporkan menurunkan sekresi dan keringat.
Pemberian magnesium sulfat parenteral dan anesthesia spinal atau epidural telah
diterapkan, namun pemberian dan monitornya sulit. Bupivakain epidural dan spinal telah
dipergunakan untuk mengurangi instabilitas kardiovaskuler. Namun demikian infus katekolamin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan arterial yang adekuat.
Magnesium sulfat telah dipergunakan untuk baik pada pasien yang terpasang ventilator
maupun tidak untuk mengontrol spasme. Magnesium sulfat merupakan pemblokade
neuromuskuler pre-sinaptik, yang memblokade pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla
adrenal, mengurangi responsivitas reseptor terhadap katekolamin yang terlepas, dan merupakan
antikonvulsan sekaligus vasodilator.
Magnesium merupakan antagonis kalsium di miokardium dan pada hubungan
neuromuskuler dan menghambat perlepasan hormone paratiroid sehingga mengakibatkan
penurunan kadar kalsium serum. Pada keadaan overdosis, dapat menyebabkan paralisis dan
kelemahan dengn sedasi sentral, walaupun sedasi sentral masih konroversial. Hipotensi dan
bradiaritmia (denyut jantung dibawah normal). Oleh karena itu, sangat penting untuk dapat
menjaga kadar magnesium dalam rentang terapi.
Beberapa macam obat potensial untuk dipergunakan pada masa yang akan datang.
Natrium Valproat yang berfungsi menghambat katabolisme GABA. Pada penelitian klinis dari
hewan, Natrium Valproat menghambat efek klinis dari toksin tetanus. ACE inhibitor mungkin
membantu menghambat sintesis angiotensin II, yang meningkatkan sintesis norepinefrin dan
perlepasannya dai ujung syaraf.
Penatalaksanaan intensif suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Factor yang ikut menjadi penyebabnya
mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia
(demam) dan aktivitas muscular dan masa kritis yang berkepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi
harus diberikan seawal mungkin. Nutrisi enteral berkaitan engan insidensi komplikasi yang
rendah dan lebih murah daripada nutrisi parenteral. Gastrostomi perkutaneus dapat menghindari
komplikasi berkaitan dengan pemberian makanan elalui tube nasogastrik, dan mudah sekali
dilakukan di ICU di bawah sedasi.
Komplikasi infeksi akibat masa kritis berkepanjangan mencakup pneumonia berkaitan
dengan ventilator umum terjadi pada tetanus. Melindungi jalan nafas pada tahap awal penyakit
dan mencegah aspirasi dan sepsis merupakan langkah logis untuk mengurangi resiko ini.
Pencegahan komplikasi respirasi mencakup perawatan mulut secara cermat, fisioterapi dada, dan
penghisapan tracheal secara teratur karena salvias dan ekskresi bronchial sangat meningkat.
Sedasi yang adekuat penting sebelum melakukan intervensi pada pasien dengan resiko spasme
tidak terkontrol dan gangguan otonomik an keseimbangan antara fisioterapi dan sedasi mungkin
sulit dicapai. Pemberian cairan juga harus adekuat. Pemberian heparin atau antikoagulan lainnya
juga penting untuk mencegah emboli paru..
Penatalaksanaan lain, meliputi hidrasim untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak
nampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan; kecukupan kebutuhan gizi
yang meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral; fisioterapi untuk mencegah
kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru.
Fungsi ginjal, kandung kemih dan gastrointestinal harus selalu dimonitor. Pendarahan
gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi. Pentingnya
bantuan psikologis juga tidak dapat diabaikan.
Vaksinasi. Pasien yang sembuh dari tetanus hendkanya secara aktif diimunisasi karena
imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus.
Farmakologi obat-obatan yang biasa dipakai pad tetanus
Diazepam. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi
semua tingkatan system saraf pust, termasuk bentukan limbic dan reticular, mungkin dengan
meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmitter inhibitori utama.
·Dosis dewasa
Spasme ringan: 5-10 mg oral tiap 4-6 jam bila perlu
Spasme sedang: 5-10 mg IV apabila perlu
Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg per jam
·Dosis pediatric: spasme ringan 0,1-0,8 mg/kg BB?hari dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari.
Sedangkan spasme sedang sampai berat 0,1-0,3 mg/kg/hari IV tiap 4-8 jam
·Kontraindikasi: hipersensitivitas, glaucoma sudut sempit
·Interaksi: toksisitas benzodiazepine pada system saraf pusat meningkat apabila dipergunakan
bersamaan dengan alcohol, fenothiazine, barbiturat; cisapride dapat meningkatkan kadar
diazepam secara bermakna
·Kehamilan: tidak aman pada kehamilan (criteria D)
·Perhatian: hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan system saraf pusat yang lain,
pasien dengan kadar albumin rendah atau gagal hati karena toksisitas diazepam dapat meningkat.
Fenobarbital. Dosis obat harus demikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi
pernapasan. Jika pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk
mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.
·Dosis dewasa: 1 mg/kg IM tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari
·Dosis pediatric: 5 mg/kg IV/IM dosis terbagi 3-4 kali/hari
·Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat, dan pasien
nefritis
·Interaksi: dapat menurunkan efek klornfenikol, digitosin, kortikosteroid, karbamazepin, teofilin,
verapamil, metronidazol, dan antikoagulan (pasien yang mendapatkan antikoagulan harus ada
penyesuaian dosis). Pemberian bersama alcohol dapat menyebabkan efek aditif ke SSP dan
kematian. Kloramfenikol dan asam valproat dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas
fenobarbital. Rifamycin dapat menurunkan efek fenobarbital; induksi enzim mikrosomal dapat
menurunkan efek kontrasepsi oral pada wanita.
·Kehamilan: Kriteria D
·Perhatian: monitor fungsi ginjal, hati, dan system hematopoitik dalam penggunaan jangka
panjang. Hati-hati pada DM, miastenia gravis, miksedema, anemi a berat
Baklofen. Merupakan relaksan otot kerja sntral tlah dipergunakan secara experimental
untukk melepaskan pasien dari ventilator dn untuk mnghentikan infuse diazepam. Balkofn
intratekal 600 kali lebih poten daripada baklofen oral. Injrksi intratekal brulang bermanfaat untuk
mengurangi durasi ventilasi buatan dan mencegah intubasi . mungkin brperan dlam menginduksi
hiperpolrisasi dari ujung aferen dan menghambat reflex monosimpatik dan polisinaptik pada
tingkat spinal. Keseluruhan dosis baklofen dapat diberikan sbagai bolus injeksi. Dosis dapat
diulang setelah 12 jam atau lbah jika spam paroksimal kembali terjadi.
·Dosis dewasa: 100 mcg IT; pada usia >55 tahun: 800 mcg IT
·Dosis pediatrik: 500 mcg IT
·Kontraindikasi: hipersensitifitas
·Interaksi: analgesic opiate, benzodiazepine, alcohol, TCAs, guanabens, MAOI, klindasimin, dan
obat anti hipertensi dapat meningkatkan efek Baklofen
·Kehamilan: keamanannya belum diketahui (criteria c)
·Perhatian: hati-hati pada penderita disrefleksia otonomik
Dantrolen. Dantrolen menstimulasi relaksasi otot dengan memodulasi konstraksi otot.
Belum disetujui oleh FDA tapi sudah digunakan dalam sebagian kecil kasus.
·Dosis dewasa: 1 mg/kg IV selama 3 jam, diulang 4-6 jam apabila perlu
·Dosis pediatric: 0,5 mg/kg/hari IV dua kali sehari pada permulaan, dapat ditingkatkan sampai 4
kali sehari, dengan tidak melebihi 100 mg 4 hari sekali
·Kontraindikasi: hipersnsitivitas, penyakit hati seperti hepatitis atau sirosis
·Interaksi: toksisitas meningkat apabila diberikan bersama klofibrat dan warfarin. Pemberian
bersama dengan estrogen dapat meningkatkan hpatoksisitas pada wanita diatas 35 tahun
·Kehamilan: criteria C
·Perhatian: dapat menyebabkan hepatoksisitas; hati-hati pada gangguan fungsui paru dan
insufiensi kardiak berat, dapat menyebabkan fotosnsitivitas pada matahari.
Penisilin G. berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dindinng otot slama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang rentan.
Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penicillin IV dapat menyebabkan anemia
hemolitik, dan neuro toksisitas. Henti jantung telah dilaporkan pada pasien yang mndapatkan
dosis massif penisilin G.
·Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari IV terbagi dalam 4 dosis
·Dosis pediatric: 100.000 – 250.000 unit/kg/hari IV terbagi dalam dosis 4 kali sehari
·Kontraindikasi: hipersensitivitas
·Kehamilan: criteria B (cukup aman)
·Perhatian: hari-hati pada gangguan fungsi ginjal
Metronidazol. Berguna untuk melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorpsi
kke dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan
menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi selama
10-14 hari. Bbrapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika sebagai antibiotika
pada terapi tetanus karena penicillin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat
efek toksin.
·Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 g IV tiap 12 jam, tidak lebih dari 4g/hari
·Dosis pediatric: 15-30/kg BB/ hari IV terbagi tip 8-12 jam tidak lebih dari 2 g/hari
·Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan
·Kehamilan: criteria B
·Perhatian: penyesuaian dosis pada penyakit hati, pemantauan kejang dan neuropati perifer
Doksisilin. Menghambat sintesis potein dan pertumbuhan bakteri pada pengikatan sub
unit 30s atu 50s ribosomal dri bakteri yang rentan. Direkomndasikan terapi 10-14 hari.
·Dosis dewasa: 100 mg per oral/IV tiap 12 jam
·Dosis pediatric: tidak direkomendasikan pada anak umur dibawah 8 tahun. Pada anak dngan
berat dibawah 5 kg 4,4 mg/kg/oral/IV dosis terbagi. Pada anak yang beratnya diatas 45 kg sama
dengan dosis dewasa.
·Kontraindikasi: hipersensitivitas, disfungsi hati berat
·Interaksi: bioavailabilitas menurun dengan antasida yang mengandung alumunium, kalsium,
besi, atau subsalisilat bismuth, tetrasiklin dapat meningkatkan efek hipoprotombogenik dari
antikoagulan.
·Kehamilan: criteria D
·Perhatian: fotosensitivitas dapat terjadi pada paparan jangka lama terhadap sinar matahari, dosis
hendaknya dikurangi pada gangguan ginjal, perlu dipertimbangkan untuk mmriksa kadar obat
dalam serum untuk pemakaian jangka panjang. Penggunaan pada masa pembentukan gigi dapat
mengubah warna gigi secara permanen.
Vekuronium. Merupakan agen pemblokade neuromuscular prototipik yng menyebabkan
trjadinya paralisis muskuler. Bayi bersifat lebih bersifat sensitive pada aktivitas blockade
neuromuscular, sehingga pada dosis yang sama, pmulihan terjadi lebih lambat pada 50% kasus.
Tidak direkomendasikan pada neonatus.
·Dosis dewasa: 1 mg/kg IV, dapat dikurngi menjadi 0,05 mg/kg apabila sudah diterapi dengan
suksinilkolin.
·Dosis pediatric: 1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kg tiap 1 jam pada
anak umur diatas 10 tahun sama saja dengan orang dewasa.
·Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindrom yang berkaitan.
·Interaksi: feknya menjadi lebih lama jika digunakan bersamaan dengan anestesi inhalasi. Gagal
hati, gagal ginjal dan pengunaan stroid dapat menyebabkan blockade berkepanjangan meskipun
obatnya telah distop
·Kehamilan: kriteria C
·Perhatian: pada penderita miastenia gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil dapat
memberikan efek yang kuat.
Pencegahan
Imunisasi aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan tindakan pencegahan paling efektif dalam
praktek. Walaupun demikian, tetanus dapat terjadi pda individu yang telah diimunisasi,
diperkirakan mencapai 4 dari 100 juta individu imunokompeten. Mekanisme terjadi gagalnya
imunisasi belum jelas. Beberapa teori mencakup beban toksin yang melebihi kemampuan
pertahanan imunitas pasien, variabilitas antigenic antara toksin dan toksoid serta supresi selektif
dari respon imun. Semua individu dwasa yang imun secara parsial atau tidak sama skali
hendaknya mendapat vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa teriri atas tiga dosis: dosis
pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 8-12 bulan
stelah dosis pertama. Dosis ulangan dapat diberikan setiap 10 tahun sekali, namun pmbrian
vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan.
Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya : 1)
Imunisasi pasif dengan TIG dan 2) Imuniasis aktif dengan vaskin, terutama Td untuk individu
usia di atas 7 tahun. dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat sedang
adalah 250 unit intramuskuler yang menghasilkan kadar antibodi serum protektid paling sedikit 4
sampai minggu; dosis yang tepat untuk TAT, suatu produk yang berasal dari kuda adalah 3000
sampai 6000 unit. Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang terpisah dengan spuit
injeksi yang berbeda.
Tetanus neonatorum
Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum mencakup vaksinasi
maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatkan proporsi kelahiran yang
dilakukan oleh rumah sakit dan pelatihan penolong kelahiran non-medis.
Prognosis
Penerapan metode untuk monitoring dan oksigentasi suportif telah secara nyata
memperbaiki prognosis tetanus. Trujilo dkk melaporkan penurunan mortalitas 44% ke 15%
setelah adanya penatalaksanaannyadi Negara yang sedang berkembang tanpa fasilitas untuk
perawatan intensif jangka panjang dan bantuan ventilasi, kematian yang disbabkan tetanus berat
mencapai lebih dari 50%. Dengan obstruksi jalan napas, gagal napas, dan gagal ginjal yang
merupakan penyebab utama. Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah kematian
akibat gagal nafas akut, tetapi sebagai akibatnya, pada kasus yang berat, gangguan otonomik
menjadi lebih Nampak. Trujilo dkk melaporkan bahwa 40% kematian setelah adanya perawatan
intensif adalah akibat henti jantung mendadak dan 15% akibat komplikasi respirasi. Sebelum
adanya ICU, 80% kematian terjadi karena gagal napas akut. Mortalitas brvariasi berdasarkan usia
pasien. Prognosis buruk pada usia tua, pada neonatus dan pasien dengan masa inkubasi pendek.
Di USA mortalitas pasien dewasa dibawah 30 tahun hampir nol, tetapi pada pasien diatas 60
tahun mencapai 52%. di Afrika mortalitas pada tetanus nonatorum tanpa ventilasi buatan
mencapai 79% pada 1991. Dengan ketersediaan ventilasi buatan mortalitasnya dapat serendah
11%. Mortalitas dan prognosis juga tergantung pada status vaksinasi sebelumnya.
Tetanus yang berat umumnya mmbutuhkan perawatan ICU sampai 3-5 minggu, pasien
mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang. Tonus yang meningkat dan spasme
minor dapat terjadi hingga berbulan-bulan, namun pemulihan diharapkan sempurna, kembali ke
fungsi normalnya. Sering juga ditemui mntapnya problem fisik dan psikologis.