makalah bab 2

41
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik. Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan 1

Upload: megha-piscgirlz

Post on 25-Jul-2015

414 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Bab 2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.

Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada

yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan

otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah

menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-

kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan

kontinensia urine yang baik.

Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan

diobati. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa

mengalami gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia.

Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan

paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada

usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita

usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita

dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita

dengan 5 anak.

Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres,

artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan

lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan

keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga

sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis

inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih.

Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai

penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan.

Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.

1

Page 2: Makalah Bab 2

Tujuan penyajian referat ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut

mengenai inkontinensia urine, jenis-jenis dan cara penanganannya. Pemahaman

yang lebih baik akan membantu usaha mengatasi gangguan ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja fungsi kandung kemih dan uretra?

2. Bagaimana konsep inkontinesia urine?

3. Apa aja macam klasifikasi inkontinensia urine?

4. Bagaimana penatalaksanaan inkontinesia urine?

5. Bagaiman asuhan keperawatan inkontinesia urine?

6. Bagaimana SOP untuk klien dengan inkontinensia urine?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Menyebutkan apa saja fungsi kandung kemih dan uretra

2. Menjelaskan bagaimana konsep inkontinesia urine

3. Menyebutkan apa aja macam klasifikasi inkontinensia urine

4. Menjelaskan bagaimana penatalaksanaan inkontinesia urine

5. Menjelaskan bagaiman asuhan keperawatan inkontinesia urine

6. Menjelaskan bagaimana SOP untuk klien dengan inkontinensia urine

2

Page 3: Makalah Bab 2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungsi Normal Kandung Kemih Dan Uretra

Pada orang dewasa sehat, kerja kandung kemih dapat dibagi dalam dua

fase; fase pengisian, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine

yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan

kandung kemih befungsi sebagai pompa serta menuangkan urine melalui uretra

dalam waktu relatif singkat.

Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine,

walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti

sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung

kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian

pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi

seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat

mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar,

tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing.

Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung

kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat,

tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang

merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan

demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung

kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi

pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine

memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan

uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada

kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).

3

Page 4: Makalah Bab 2

2.2 Anatomi Dan Fisiologi Sistim Perkemihan

Vesika dan uretra dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dengan

pertumbuhannya yang berasal dari jaringan sekitar sinus urogenitalis. Oleh

karena itu lapisan otot polos keduanya sama, lapisan dalam merupakan lapisan

longitudinal dan lapisan luar membentuk anyaman sirkuler yang mengelilingi

lubang urehra. Anyaman sirkuler ini yang berperan pada keadaan tekanan

istirahat atau tekanan penutupan dalam uretra.

Anyaman otot vesika ini menjadi satu lapisan dengan kelanjutan serabut-

serabutnya ditemukan pula di dinding uretra sebagai otot-otot uretra, dikenal

sebagai muskulus sfingter vesicae internus atau muskulus lisosfingter. Otot-otot

tersebut terletak di bawah lapisan jaringan yang elastis dan tebal dan disebelah

luar dilapisi jaringan ikat. Di dalam lapisan elastis yang tebal ditemukan lapisan

mukosa dengan jaringan submukosa yang spongius. Disamping muskulus

sfingter vesikae internus dan lebih ke distal sepanjang 2 cm, uretra dilingkari

oleh suatu lapisan otot tidak polos dikenal sebagai muskulus sfingter uretra

ekstranus atau muskulus rabdosfingter eksternus. Otot ini dapat meningkatkan

fungsi sfingter vesika dengan menarik uretra ke arah proksimal sehingga urethra

lebih menyempit. Otot-otot polos vesika dan uretra berada dibawah pengaruh

saraf para simpatis dan dengan demikian berfungsi serba otonom. Muskulus

rabdosfingter merupakan sebagian dari otot-otot dasar panggul sehingga

kekuatannya dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan dasar panggul tertentu.

Muskulus bulbokaver norsus dan ishiokavernosus juga dapat aktif ditutup bila

vesika penuh dan ada perasaan ingin berkemih, sehingga tidak terjadi

inkontinensia.

Terdapat 3 komponen anatomis dari mekanisme kontinensia, yaitu

penyangga uretra, sfingter internus dan eksternus. Sfingter internus yang terletak

setinggi leher vesika, bila terganggu menimbulkan inkontinensia stres walaupun

penyangga normal, sedang sfingter eksternus mempunyai kemampuan untuk

kontraksi volunter.

4

Page 5: Makalah Bab 2

Bila vesika berisi urine maka otot dinding vesika mulai direnggangkan dan

perasaan ini disalurkan melalui saraf sensorik ke bagian sakral sumsum tulang

belakang. Disini rangsangan disalurkan ke bagian motorik yang kemudian dapat

menimbulkan kontraksi ringan pada otot dinding vesika atau muskulus detrusor.

Bila isi vesika hanya sedikit maka kontraksi ringan itu tidak menimbulkan

pengeluaran kemih, akan tetapi bila vesika terus direnggangkan maka muskulus

detrusor berkontraksi lebih kuat dan urine dikeluarkan dengan deras adalah

antara 25-30 cmH2O.

Pada keadaan patologik tekanan intravesika itu dapat naik sampai 150-250

cmH2O untuk mengatasi rintangan di sfingter vesikae dan sfingter urethra.

Muskulus lisosfingtermelingkari bagian atas urethra dan menentukan sudut

antara urethra dan dasar vesika. Otot-otot dasar panggul seperti muskulus

levator ani ikut menentukan posisi leher vesika. Bila dasar panggul mengendor

maka uretra dan leher vesika akan bergeser ke belakang dan vesika dapat

dikosongkan. Bila uretra ditarik ke depan maka mulut vesika ditutup.

Pada wanita dalam posisi berdiri, leher vesika terletak di atas lig.

pubouretra. Ligamen ini merupakan jaringan fibrous diantara tulang pubis dan

jaringan parauretra. Posisi uretra proksimal dan leher vesika adalah mobil dan

dipengaruhi oleh muskulus dan relaksasinya pada waktu miksi menghilangkan

sudut vesikouretra bagian posterior. Secara klinis hubungan uretra proksimal

yang mobil dan dipengaruhi oleh levator ani dengan uretra distal yang terfiksasi

terdapat pada separoh panjang uretra dan disebut “lutut uretra”. Daerah ini

tempat masuk uretra ke dalam membran perinei dan terfiksasi pada struktur

tersebut. Mekanisme yang berperan dalam penyanggaan leher vesika dan uretra

proksimal meliputi 3 struktur yaitu arkus tendineus fasia pelvis, otot levator ani

dan fasia endopelvik yang mengelilingi uretra dan vagina. Tekanan dalam uretra

meningkat bila tekanan abdomen meningkat, misalnya pada waktu batuk.

Fenomena ini disebut transmisi tekanan. Ini berarti uretra proksimal terletak di

atas dasar pelvis. Disini peningkatan tekanan intraabdominal akan menyebabkan

peingkatan secara simultan tekanan uretra, sedang di bawah dasar panggul

peningkatan tekanan tidak berpengaruh pada uretra. Dengan demikian,

5

Page 6: Makalah Bab 2

inkotinensia stres akan terjadi bila leher vesika turun di bawah dasar pelvis. Pada

pelvis bagian depan di dekat uretra, lapisan yang membatasi dinding vagina

anterior membentuk fasia endopelvik. Stabilisasi lapisan ini yang menunjukkan

dimana uretra dipengaruhi oleh tekanan intraabdominal. Uretra abdominal

cenderung bergerak ke dorsal dan kaudal. Gerakan ini dibatasi oleh tahanan pada

dinding vagina anterior dan fasia endopelvik.

Inkontinensia stres tidak hanya tergantung pada penyangga elemen fibrous

saja, akan tetapi diduga otot lurik, yaitu bagian pubovaginal otot levator ani juga

berperanan. Memang otot lurik tidak dapat secara refleks berkontraksi cukup

cepat pada keadaan batuk, akan tetapi karena tekanan batuk diteruskan oleh

kontraksi otot lurik thorakoabdominopelvik, kontraksi diagfragma pernafasan,

interkostal dan otot dinding perut adalah mungkin. Peningkatan tekanan

intraabdominal bisa meningkatkan atau menurunkan aliran urine. Hal ini

tergantung pada berkontraksi tidaknya otot levator ani. Posisi leher vesika akan

berubah dengan kontraksi dan relaksasi levator ani. Terjadi penebalan jaringan

ikat endopelvis yang terletak disekitar leher vesika, disebut ligamen

pubovesikal, yang menunjukkan kombinasi muskulus pubovesikal dengan

jaringan fibrous yang menyertainya. Leher vesika dan uretra proksimal turun

pada saat mulai miksi. Perubahan posisi ini menyebabkan lig. Pubovesikal

menarik leher vesika ke arah lebih anterior, sehingga mempermudah

pembukaan. Penutupan leher vesika dapat terjadi dengan kompresi leher vesika

melawan lig. pubovesikal ketika posisi retropubik normal. Pada sfingter interna

terdapat beberapa struktur yang dapat mempengaruhi penutupannya. Cekungan

bentuk U dari muskulus detrusor (the detrussor loop) mengelilingi bagian

anterior leher vesika dan membantu terjadinya penutupan. Di antara lapisan ini

dan lumen uretra terdapat cincin otot polos dan elastis yang dikenal sebagai

trigonal ring, yang berfungsi membantu mekanisme penutupan leher vesika.

Aktifitas sfingter eksterna berasal dari 3 elemen yang berbeda. Otot polos, otot

lurik dan elemen vaskuler menyokong tekanan penutupan uretra pada keadaan

istirahat. Lapisan luar urethra distal dibentuk oleh otot lurik sfingter

urethrovaginal atau ke dalam daerah di atas membran perineal sebagai

kompresor uretra. Otot ini memelihara tonus kontinensia. Otot polos uretra

6

Page 7: Makalah Bab 2

terdiri dari lapisan longitudinal dan sirkuler dan terletak di dalam otot lurik

sfingter urogenital, terdapat pada 4/5 bagian uretra proksimal. Konfigurasi otot

ini berperan dalam konstriksi lumen. Di dalam uretra juga terdapat pleksus

vaskuler, yang mempunyai beberapa AV anastomose. Hal ini membantu

penutupan urethra.

7

Page 8: Makalah Bab 2

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Konsep Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang

idak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Inkontinensia urine adalah

pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup

banyak.inkontinesia adalah ketidakmampuan menahan kencing. Inkontinensia

urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang

cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial.

Inkontinensia adalah berkemih (defekasi) diluar kesadaran, pada waktu dan

tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau social.

Jika inkontinensia urin terjadi akibat kelainan inflamasi (sistisis), mungkin

sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini timbul karena kelainan

neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.

Usia, jenis kelamin, serta jumlah persalinan pervaginam yang pernah dialami

sebelumnya merupakan faktor resiko yang sudah dipastikan secara parsial

menyebabkan peningkatan insidennya pada wanita. Faktor resiko lain yang

diperkirakan merupakan penyebab gangguan ini adalah infeksi saluran kemih,

menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan berbagai

obat. Gejala ruam, dekubitus, infeksi kulit serta saluran kemih dan pembatasan

aktivitas merupakan konsekuensi dari inkontinensia urine.

3.2 Klasifikasi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine di klasifikasikan menjadi 3 (Charlene J.Reeves at all):

1. Inkontinensia Urgensi

Adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol sebentar setelah ada

peringatan ingin melakukan urinasi. Disebabkan oleh aktivitas otot

destrusor yang berlebihan atau kontraksi kandung kemih yang tidak

terkontrol.

8

Page 9: Makalah Bab 2

2. Inkontinensia Tekanan

Adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol selama aktivitas yang

meningkatkan tekanan dalam lubang intra abdominal. Batuk, bersin,

tertawa dan mengangkat beban berat adalah aktivitas yang dapat

menyebabkan inkontinensia urine.

3. Inkontinensia Aliran Yang Berlebihan ( Over Flow Inkontinensia )

Terjadi jika retensi menyebabkan kandung kemih terlalu penuh dan

sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal ini pada umumnya

disebabkan oleh neurogenik bladder atau obstruksi bagian luar kandung

kemih.

Sedangkan menurut Suzanne C Smeltzer (2001) tipe inkontinesia urine dibagi

atas:

1. Inkontinensia akibat stress

Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat

dari peningkatan mendadak pada tekanan intra abdomen. Tipe

inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat

disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesica urinaria, kelainan

ekstrinsik pelvis, vistula, disfungsi destrussor dan jumlah keadaan lainnya.

Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi akibat kelainan kongenital

(ekstrofi vesika urinaria ureter ektopik).

2. Urge inkontinence

Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi

tetapi tidak mampu menahan cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada

banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan

faktor yang menyertai; keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi

neurologis yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih

atau pada pasien dengan gejala lokal iritasi akibat infeksi saluran kemih

atau tumor kandung kemih

3. Overflow inkontinence

Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi

hampir terus menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat

9

Page 10: Makalah Bab 2

mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang

berlebihan. Meskipun eliminasi urine terjadi dengan sering, kandung

kemih tidak pernah kosong,. Overflow incontinence dapat disebabkan oleh

kelainan neurologi (yaitu, lesi medula spinalis) atau oleh faktor-faktor

yang menyumbat saluran keluar urine (penggunaan obat-obatan, tumor,

striktur, hiperplasia prostat).

4. Inkontinensia fungsional

Merupakan inkontinensia dengan fungsin saluran kemih bagian bawah

yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang

membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya,

demensia alzhemier) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit

atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.

5. Bentuk-bemtuk inkontinesia urin campuran

Yang mencakup ciri-ciri inkontinesia seperti yang baru disebutkan, dapat

pula terjadi. Selain itu, inkontinesia urin dapat terjadi akibat interaksi

banyak faktor.

Dengan pengenalan permasalahan yang tepat, pemeriksaandan rujukan ntuk

evaluasi diagnostik serta terapi, maka prognosis inkontinesia dapat ditentukan.

Semua pasien inkontinesia harus diperhatikan untuk mendapatkan pemeriksaan

evaluasi dan terapi.

3.3 Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi

dan fungsi organ kemih, antara lain:

1. Akibat kehamilan:

a. Melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan, pasca melahirkan,

kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan

operasi vagina.kehamilan berkali-kali

b. Kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan

seseorang tidak dapat menahan air seni.10

Page 11: Makalah Bab 2

c. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung

kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah

menimbulkan rasa ingin berkemih.

2. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di

saluran kemih bagian bawah, antara lain:

a. Efek obat-obatan

b. Produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan

ke toilet.

c. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi

infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika.

d. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan

tertapi estrogen topical.

e. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani

prostatektomi.

f. Dan bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya

dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau

jika perlu penggunaan laksatif.

3. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena

berbagai sebab, misalnya:

a. gangguan metabolik seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau.

b. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi

dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

c. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi

urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Untuk

11

Page 12: Makalah Bab 2

mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau

menggunakan substitusi toilet.

d. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus

disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang

tepat.

e. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit

yang dideritanya. Nah, obat-obatan ini bisa sebagai penyebab

mengompol pada orang-orang tua. Golongan obat yang berkontribusi

pada IU (diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, dll), golongan

psikotropika (antidepresi, antipsikotik, dan sedative), kafein dan alcohol.

Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat

jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian

obat.

3.4 Tanda dan Gejala

1. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai

kamar mandi karena telah berkemih.

2. Desakan, frekuensi, dan nokturia

3. Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika

tertawa, bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.

4. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau lambat

dan merasa menunda atau mengejan

5. Inkontinensia fungsional,Dicirikan dengan volume dan aliran urine yang

adekuat

6. Higiene buruk atau tanda-tanda infeksi

7. Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis

3.5 Manifestasi Klinis

1. Urgensi

2. Retensi

3. Kebocoran urine

12

Page 13: Makalah Bab 2

4. Frekuensi

3.6 Patofisiologi

Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit

infeksi saluran kemih, faktor kehamilan, faktor psikologis dan faktor usia yang

mengakibatkan kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan

abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada

spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur

dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine.

Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,

kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.

3.7 Pemeriksaan Diagnostik

1. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah, dan

glukosa dalam urine

2. Uryflowmetri digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan

menunjukan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju

aliran ketika pasien berkemih.

3. Cysometri digunakan untuk menngkaji fungsi nuromuskular kandung

kemih dengan mengukur efisiensi reflek otot detrusor, tekanan dan

kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan

panas.

4. Urografi ekskretorik disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk

mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih

5. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi

ketidaknormalan kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertropi

lobus prostat, struktur uretra, dan tahap gangguan uretra prostatik stenosis

(pada pria).

6. Uterografi retrograde digunakan hampir secara eksklusif pada pria,

membantu diagnosis stuktur dan obstruksi orifisium uretra.

7. Eletromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter

urinarius eksternal.

13

Page 14: Makalah Bab 2

8. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran

prostat atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertrofi prostat jinak atau

infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang

mungkin menyebabkan inkontinensia.

9. Pemeriksaan vagina dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau

vaginitis atrofi, yang menandakan kekurangan ekstrogen.

10. Residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan

kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih

setelah pasien berkemih.

3.8 Penatalaksanaan Medis

Penanganan inkontinesia urin bergantung pada faktor penyebab yang

mendasarinya. Namun demikian, sebelum terapi yang tepat dpat dimulai,

munculnya masalah ini harus diidentifikasi dahulu dan kemungknan

keberhasilan terapi diakui. Jika perawat dan petugas kesehatan lainnya

memerima inkontinesia sebagai bagian yang tidak terelakkan dari proses

penuaan dan perjalanan penyakitnya atau menganggap inkontinesia tidak dapat

dipulihkan dan tidak dapat diterapi pada usia berapapun, maka keadaan tersebut

tidak akan dapat deiterapi dengan hasil yang baik. Upaya yang besifat

interdisipliner dan kolaboratif ring sangat pentimg dalam mengkaji dan

mengatasi inkontinesia urin secara efektif.

Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe inkontinesia uin dan

faktor penyebabnya. Inkontinesia urin dapat bersifat sepintas atau refsibel;

setelah penyebab yang mendasari berhasil diatasi, pola urinasi pasien akan

kembali normal.

Penyebab yang bersifat refersibel dan sering terjadi secara singkat dapat

diingat melalui singkatan DIAPPERS. Penyebab ini mencakup keadaan berikut:

Delirium, Infeksi saluran kemih, Atrofik vaginitis atau uretritis, Pharmakologik

agens (preparat antikolinergic, sedatif, alkohol, analgesik, diuretik relaksan otot,

preparat adrenergic), Psicologic factor (depresi,regresi), Excessive urine

production (asupan cairan yang berlebihan, kelainan endokrin yang

menyebabkan diuresis), restricted activity(aktivitas yang terbatas), dan stool

14

Page 15: Makalah Bab 2

impaction(impaksi fekal)(AHCPR,1992). Setelah semua ini berhasil diatsi, pola

urinasi pasien biasanya kembali normal.

BAB 4

ASUHAN KEPERAWATAN DAN SOP

4.1 Pengkajian

1. Identitas klien

inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada

lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak

menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang

Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan

saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu

yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),

masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah

cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan

diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah

terjadi ketidakmampuan.

b. Riwayat kesehatan klien

Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa

sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah

terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi

saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.

c. Riwayat kesehatan keluarga

15

Page 16: Makalah Bab 2

Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit

serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau

keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena

respon dari terjadinya inkontinensia

b. Pemeriksaan Sistem

B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena

suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada

perkusi.

B2 (blood)

Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

B3 (brain)

Kesadaran biasanya sadar penuh

B4 (bladder)

Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat

karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung

kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,

pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing

dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah

klien terpasang kateter sebelumnya.

Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti

rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu

kencing.

B5 (bowel)

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan

abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan

palpasi pada ginjal.

B6 (bone)

16

Page 17: Makalah Bab 2

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas

yang lain, adakah nyeri pada persendian.

c. Data penunjang

Urinalisis, hematuria, poliuria, bakteriuria.

d. Pemeriksaan Radiografi

IVP (intravenous pyelographi); memprediksi lokasi ginjal dan ureter.

VCUG (Voiding Cystoufetherogram); mengkaji ukuran, bentuk, dan

fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat)

PVR (Post Voiding Residual).

e. Kultur Urine: Steril, pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml),

organisme.

4.2 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan eliminasi urin b/d tidak adanya sensasi untuk berkemih dan

kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih

2. Resiko infeksi b/d  pemasangan kateter dalam waktu yang lama

3. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang b/d irigasi konstan oleh urine

4. Ansietas b/d perubahan status kesehatan 

5. Gangguan harga diri b/d keadaan yang memalukan akibat mengompol di

depan orang lain atau takut bau urine

4.3 Intervensi Keperawatan

1. Gangguan eliminasi urin b/d tidak adanya sensasi untuk berkemih dan

kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih

KH: Klien mampu mengontrol eliminasi urin.

Intervensi:

a. Identifikasi pola berkemih

R/: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi

kandung kemih

b. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan pada malam hari

R/: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya

enuresis

17

Page 18: Makalah Bab 2

c. Ajarkan tekhnik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan

kutaneus dengan penepukan supra pubik)

R/: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih

d. Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih yang

telah di rencanakan.

R/: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung

volume urin sehingga di perlukan untuk lebih sering berkemih

e. Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal sedikitnya

2000cc/hari bila tidak ada kontra indikasi.

R/: Hidrasi optimal di perlukan untuk mencegah isk dan batu ginjal

2. Resiko infeksi berhubungan dengan  pemasangan kateter dalam waktu yang

lama.

KH: Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam

batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.

Intervensi:

a. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien

inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.

R/: Untuk mencegah kontaminasi uretra

b. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari

(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)

dan setelah buang air besar.

R/: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung

kemih dan naik ke saluran perkemihan.

c. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak

langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh

atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan

kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan

teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine

dari kateter indwelling.

R/: Untuk mencegah kontaminasi silang.

18

Page 19: Makalah Bab 2

d. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan

masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi

sesuai dengan kebutuhan

R/: Untuk mencegah stasis urine.

e. Lakukan tindakan kolaborasi untuk memelihara asam urine, misal :

tingkatkan masukan sari buah berri atau berikan obat-obat, untuk

meningkatkan asam urine

R/: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari

buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine.

Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam

pengobatan infeksi saluran kemih.

3. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan

oleh urine.

KH: Jumlah bakteri < 100.000 / ml, kulit periostomal tetap utuh,suhu 37° C,

urine jernih dengan sedimen minimal

Intervensi:

a. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam

R/: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang

diharapkan.

b. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.

Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.

Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter

stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar

menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah

seperempat sampai setengah penuh.

R/: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,

memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit

periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan

peningkatan resiko infeksi.

4. Ansietas b/d perubahan status kesehatan

19

Page 20: Makalah Bab 2

KH: Klien dapat mengatasi rasa cemasnya

Intervensi:

a. Kaji tingkat rasa takut pada pasien dan orang terdekat.

R/: Membantu menentukan jenis intervensi yang di perlukan

b. Akui kenormalan perasaan pada situasi ini

R/: Mengetahui perasaan normal dapat menghilangkan rasa takut

c. Dorong dan berikan kesempatan untuk pasien mengajukan pertanyaan

dan masalah

R/: Memberi perasaan terbuka dan bekerja sama dan memberikan

informasi yang akan membantu dalam mengatasi masalah.

d. Dorong orang terdekat berpartisipasi dalam asuhan sesuai indikasi, akui

masalah pasien.

R/: Keterlibatan meningkatkan perasaan berbagi

e. Tunjukan indikator positif pengobatan.

R/: Meningkatkan perasaan berhasil atau maju

f. beri informasi tentang masalah kesehatannya

R/: Dapat mengurangi ansietas yang berlebihan

5. Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat

mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

KH: Harga diri klien meningkat, klien tidak merasa malu, klien mampu

bersosialisasi dengan orang lain

Intervensi:

a. Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi pengobatan, dan ansietas

sehubungan dengan situasi.

R/: Mengidentifikasi luasnya masalah dan perlunya intervensi

b. Diskusikan arti perubahan pada pasien

R/: Beberapa pasien Memandang situasi sebagai tantangan, beberapa

sulitmenerima perubahan hidup/penampilan peran dan kehilangan

kemampuan kontrol tubuh sendiri.

c. Tentukan peran pasien dalam dalam keluarga dan persepsi pasien akan

harapan diri dan orang lain.

20

Page 21: Makalah Bab 2

R/: Penyakit lama/permanen dan ketidakmampuan untuk memenuhi

peran dalam keluarga.

d. Anjurkan orang terdekat memperlakukan pasien secara normal dan

bukan sebagai orang sakit

R/: Menyampaikan harapan bahwa pasien mampu untuk mampu

mempertahankan perasaan harga diri dan tujuan hidup.

4.4 SOP (Standar Operasional Prosedur)

MEMASANG KATETER MENETAP

Definisi

Memasukkan selang karet melalui uretra dan ke dalam kandung kemih yang

dipasang menetap dalam jangka waktu tertentu.

Tujuan

1. Mendapatkan spesimen urin steril untuk pemeriksaan

2. Aliran air kemih lancar

3. Urine tidak tertimbun

4. Tidak terjadi iritasi

5. Tidak terjadi penyempitan pada uretra

Persiapan

1. Bak instrumen steril berisi : kateter sesuai ukuran, pinset anatomis 1

buah, sarung tangan 1 pasang

2. Kapas DTT dalam tempatnya

3. Vaselin dalam tempatnya

4. Bengkok 3 buah

5. Perlak bokong dan alasnya

6. Plester

7. Gunting plester

8. Aquadest

9. Spuit 5-10 ml

10. Urin bag

11. Botol steril untuk tempat urine bila diperlukan

21

Page 22: Makalah Bab 2

12. Selimut mandi

13. Sampiran

Prosedur

Pada wanita

1. Memberitahu dan menjelaskan pada klien

2. Mendekatkan alat-alat

3. Memasang sampiran

4. Mencuci tangan

5. Menanggalkan pakaian bagian bawah

6. Memasang selimut mandi, perlak dan pengalas bokong

7. Menyiapkan posisi klien dorsal recumbent

8. Meletakkan 2 bengkok diantara tungkai pasien mencuci tangan dan

memakai sarung tangan.

9. Lakukan vulva hygine.

10. Mengambil kateter kemudian ujungnya diberi vaselin 3-7 cm.

11. Memasukkan kateter perlahan-lahan ke dalam uretra.

12. Menampung urin ke dalam bengkok atau botol steril bila diperlukan untuk

pemeriksaan.

13. Bila urin sudah keluar semua, masukkan aquades 10-15 cc (sesuai ukuran

kateter) dihubungkan dengan pipa penyambung pada urine bag

14. Fiksasi kateter dengan menggunakan plester pada paha klien

15. Mengikat urin bag pada sisi tempat tidur

16. Melepas sarung tangan dan masukkan ke dalam bengkok bersama dengan

kateter dan pinset

17. Memasang pakaian bawah, mengambil perlak dan pengalas

22

Page 23: Makalah Bab 2

18. Menarik selimut dan mengambil selimut mandi

19. Membereskan alat

20. Mencuci tangan.

Pada pria

1. Memberitahu dan menjelaskan pada klien

2. Mendekatkan alat-alat

3. Memasang sampiran

4. Mencuci tangan

5. Menanggalkan pakaian bagian bawah

6. Memasang selimut mandi, perlak dan pengalas bokong

7. Menyiapkan posisi klien dorsal recumbent

8. Meletakkan 2 bengkok diantara tungkai pasien

9. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan

10. Memegang penis dengan tangan kiri

11. Menarik preputium sedikit ke pangkalnya, kemudian

membersihkannya dengan kapas DTT

12. Mengambil kateter, ujungnya diberi vaselin 20cm

13. Memasukkan kateter perlahan-lahan ke dalam uretra 20 cm sambil

penis diarahkan ke atas. Jika kateter tertahan jangan dipaksakan.

23

Page 24: Makalah Bab 2

Usahakan penis lebih dikeataskan sedikit dan pasien dianjurkan

menarik nafas panjang, dan memasukkan kateter perlahan-lahan

sampai urin keluar, kemudian menampung urin ke dalam

bengkok/botol steril bila diperlukan untuk pemeriksaan.

14. Bila urin sudah keluar semua, masukkan aquades 10-15 cc (sesuai

ukuran kateter) dihubungkan dengan pipa penyambung pada urine bag

15. Mengikat urin bag pada sisi tempat tidur.

16. Fiksasi kateter dengan menggunakan plester pada paha klien

17. Melepas sarung tangan dan masukkan ke dalam bengkok bersama

dengan kateter dan pinset

18. Memasang pakaian bawah, mengambil perlak dan pengalas

19. Menarik selimut dan mengambil selimut mandi

20. Membereskan alat

21. Mencuci tangan

MELEPAS KATETER

Definisi

Melepas drainage urine pada pasien yang dipasang kateter

Tujuan

Melepas pasien BAK normal tanpa menggunakan kateter

Persiapan Alat

1. Sarung tangan

2. Pinset

3. Spuit

4. Betadin

24

Page 25: Makalah Bab 2

5. Bengkok 2 buah

6. Plester

7. Bensin

8. Lidi waten Bengkok 2 buah

9. Plester

10. Bensin

11. Lidi waten

Prosedur

1. Memberitahu pasien

2. Mendekatkan alat

3. Memasang sampiran

4. Mencuci tangan

5. Membuka plester dengan bensin

6. Memakai sarung tangan

7. Mengeluarkan isi balon kateter dengan spuit

8. Menarik kateter dan anjurkan pasien untuk tarik nafas panjang, kemudian

letakkan kateter pada bengkok

9. Olesi area preputium (meatus uretra) dengan betadin

10. Membereskan alat

11. Melepaskan sarung tangan

12. Mencuci tangan

13. Mendokumentasikan

POSISI SIM

Pada posisi ini pasien berbaring miring baik ke kanan atau ke kiri.

25

Page 26: Makalah Bab 2

Tujuan:

1. Memberikan kenyamanan

2. Melakukan huknah

3. Memberikan obat per anus

4. Memberikan pemeriksaan daerah anus

Alat dan bahan:

Bantal

Prosedur pelaksanaan:

1.      Cuci tangan

2.      Lakukan persiapan seperti di uraikan di atas

3.      Tempatkan kepala datar di tempat tidur

4.      Tempatkan pasien dalam posisi telentang

5.      Posisikan pasien dalam posisi miring yang sebagian pada abdomen

6.      Tempatkan bantal kecil di bawah kepala

7.      Tempatkan bantal di bawah lengan atas yang di fleksikan, yang menyokong

lengan setinggi bahu. Sokong lengan lain di atas tempat tidur.

8.      Tempatkan bantal di bawah tungkai atas yang di fleksikan, yang menyokong

tungkai setinggi panggul.

9.      Tempatkan bantal pasien paralel dengan permukaan plantar kaki.

10.  Turunkan tempat tidur.

11.  Observasi posisi sejajaran tubuh, tingkat kenyamanan, dan titik potensi

tekanan.

12.  Cuci tangan

13.  Catat prosedur, termasuk posisi yang di tetapkan, kondisi kulit, gerakan

sendi, kemampuan pasien membantu bergerak, dan kenyamanan pasien.

BAB 5

PENUTUP

26

Page 27: Makalah Bab 2

5.1 Simpulan

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur

diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan

diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu inkontinensia

stres, desakan, luapan dan fistula urine. Penatalaksanaan konservatif dilakukan

pada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar

inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor

penyebab

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

27

Page 28: Makalah Bab 2

Charlene J. Reeves, at all. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba

Medica

Christensen, Kocknow. 1999. Adult Health Nursing, Third edition. St. Louis,

USA: C.V.Mosby Company

Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien. Jakarta: EGC

Long, Barbara C. 1996. Essensial of Medical-Surgical Nursing. St. Louis, USA:

C.V.Mosby Company

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Jakarta:

EGC

Waston, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC

28