makalah bab 2
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada
yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan
otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah
menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-
kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan
kontinensia urine yang baik.
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan
diobati. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa
mengalami gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia.
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan
paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada
usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita
usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita
dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita
dengan 5 anak.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres,
artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan
lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan
keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga
sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis
inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih.
Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan.
Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.
1
Tujuan penyajian referat ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai inkontinensia urine, jenis-jenis dan cara penanganannya. Pemahaman
yang lebih baik akan membantu usaha mengatasi gangguan ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja fungsi kandung kemih dan uretra?
2. Bagaimana konsep inkontinesia urine?
3. Apa aja macam klasifikasi inkontinensia urine?
4. Bagaimana penatalaksanaan inkontinesia urine?
5. Bagaiman asuhan keperawatan inkontinesia urine?
6. Bagaimana SOP untuk klien dengan inkontinensia urine?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menyebutkan apa saja fungsi kandung kemih dan uretra
2. Menjelaskan bagaimana konsep inkontinesia urine
3. Menyebutkan apa aja macam klasifikasi inkontinensia urine
4. Menjelaskan bagaimana penatalaksanaan inkontinesia urine
5. Menjelaskan bagaiman asuhan keperawatan inkontinesia urine
6. Menjelaskan bagaimana SOP untuk klien dengan inkontinensia urine
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fungsi Normal Kandung Kemih Dan Uretra
Pada orang dewasa sehat, kerja kandung kemih dapat dibagi dalam dua
fase; fase pengisian, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine
yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan
kandung kemih befungsi sebagai pompa serta menuangkan urine melalui uretra
dalam waktu relatif singkat.
Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine,
walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti
sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung
kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian
pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi
seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat
mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar,
tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing.
Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung
kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat,
tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang
merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan
demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung
kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi
pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine
memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan
uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada
kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).
3
2.2 Anatomi Dan Fisiologi Sistim Perkemihan
Vesika dan uretra dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dengan
pertumbuhannya yang berasal dari jaringan sekitar sinus urogenitalis. Oleh
karena itu lapisan otot polos keduanya sama, lapisan dalam merupakan lapisan
longitudinal dan lapisan luar membentuk anyaman sirkuler yang mengelilingi
lubang urehra. Anyaman sirkuler ini yang berperan pada keadaan tekanan
istirahat atau tekanan penutupan dalam uretra.
Anyaman otot vesika ini menjadi satu lapisan dengan kelanjutan serabut-
serabutnya ditemukan pula di dinding uretra sebagai otot-otot uretra, dikenal
sebagai muskulus sfingter vesicae internus atau muskulus lisosfingter. Otot-otot
tersebut terletak di bawah lapisan jaringan yang elastis dan tebal dan disebelah
luar dilapisi jaringan ikat. Di dalam lapisan elastis yang tebal ditemukan lapisan
mukosa dengan jaringan submukosa yang spongius. Disamping muskulus
sfingter vesikae internus dan lebih ke distal sepanjang 2 cm, uretra dilingkari
oleh suatu lapisan otot tidak polos dikenal sebagai muskulus sfingter uretra
ekstranus atau muskulus rabdosfingter eksternus. Otot ini dapat meningkatkan
fungsi sfingter vesika dengan menarik uretra ke arah proksimal sehingga urethra
lebih menyempit. Otot-otot polos vesika dan uretra berada dibawah pengaruh
saraf para simpatis dan dengan demikian berfungsi serba otonom. Muskulus
rabdosfingter merupakan sebagian dari otot-otot dasar panggul sehingga
kekuatannya dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan dasar panggul tertentu.
Muskulus bulbokaver norsus dan ishiokavernosus juga dapat aktif ditutup bila
vesika penuh dan ada perasaan ingin berkemih, sehingga tidak terjadi
inkontinensia.
Terdapat 3 komponen anatomis dari mekanisme kontinensia, yaitu
penyangga uretra, sfingter internus dan eksternus. Sfingter internus yang terletak
setinggi leher vesika, bila terganggu menimbulkan inkontinensia stres walaupun
penyangga normal, sedang sfingter eksternus mempunyai kemampuan untuk
kontraksi volunter.
4
Bila vesika berisi urine maka otot dinding vesika mulai direnggangkan dan
perasaan ini disalurkan melalui saraf sensorik ke bagian sakral sumsum tulang
belakang. Disini rangsangan disalurkan ke bagian motorik yang kemudian dapat
menimbulkan kontraksi ringan pada otot dinding vesika atau muskulus detrusor.
Bila isi vesika hanya sedikit maka kontraksi ringan itu tidak menimbulkan
pengeluaran kemih, akan tetapi bila vesika terus direnggangkan maka muskulus
detrusor berkontraksi lebih kuat dan urine dikeluarkan dengan deras adalah
antara 25-30 cmH2O.
Pada keadaan patologik tekanan intravesika itu dapat naik sampai 150-250
cmH2O untuk mengatasi rintangan di sfingter vesikae dan sfingter urethra.
Muskulus lisosfingtermelingkari bagian atas urethra dan menentukan sudut
antara urethra dan dasar vesika. Otot-otot dasar panggul seperti muskulus
levator ani ikut menentukan posisi leher vesika. Bila dasar panggul mengendor
maka uretra dan leher vesika akan bergeser ke belakang dan vesika dapat
dikosongkan. Bila uretra ditarik ke depan maka mulut vesika ditutup.
Pada wanita dalam posisi berdiri, leher vesika terletak di atas lig.
pubouretra. Ligamen ini merupakan jaringan fibrous diantara tulang pubis dan
jaringan parauretra. Posisi uretra proksimal dan leher vesika adalah mobil dan
dipengaruhi oleh muskulus dan relaksasinya pada waktu miksi menghilangkan
sudut vesikouretra bagian posterior. Secara klinis hubungan uretra proksimal
yang mobil dan dipengaruhi oleh levator ani dengan uretra distal yang terfiksasi
terdapat pada separoh panjang uretra dan disebut “lutut uretra”. Daerah ini
tempat masuk uretra ke dalam membran perinei dan terfiksasi pada struktur
tersebut. Mekanisme yang berperan dalam penyanggaan leher vesika dan uretra
proksimal meliputi 3 struktur yaitu arkus tendineus fasia pelvis, otot levator ani
dan fasia endopelvik yang mengelilingi uretra dan vagina. Tekanan dalam uretra
meningkat bila tekanan abdomen meningkat, misalnya pada waktu batuk.
Fenomena ini disebut transmisi tekanan. Ini berarti uretra proksimal terletak di
atas dasar pelvis. Disini peningkatan tekanan intraabdominal akan menyebabkan
peingkatan secara simultan tekanan uretra, sedang di bawah dasar panggul
peningkatan tekanan tidak berpengaruh pada uretra. Dengan demikian,
5
inkotinensia stres akan terjadi bila leher vesika turun di bawah dasar pelvis. Pada
pelvis bagian depan di dekat uretra, lapisan yang membatasi dinding vagina
anterior membentuk fasia endopelvik. Stabilisasi lapisan ini yang menunjukkan
dimana uretra dipengaruhi oleh tekanan intraabdominal. Uretra abdominal
cenderung bergerak ke dorsal dan kaudal. Gerakan ini dibatasi oleh tahanan pada
dinding vagina anterior dan fasia endopelvik.
Inkontinensia stres tidak hanya tergantung pada penyangga elemen fibrous
saja, akan tetapi diduga otot lurik, yaitu bagian pubovaginal otot levator ani juga
berperanan. Memang otot lurik tidak dapat secara refleks berkontraksi cukup
cepat pada keadaan batuk, akan tetapi karena tekanan batuk diteruskan oleh
kontraksi otot lurik thorakoabdominopelvik, kontraksi diagfragma pernafasan,
interkostal dan otot dinding perut adalah mungkin. Peningkatan tekanan
intraabdominal bisa meningkatkan atau menurunkan aliran urine. Hal ini
tergantung pada berkontraksi tidaknya otot levator ani. Posisi leher vesika akan
berubah dengan kontraksi dan relaksasi levator ani. Terjadi penebalan jaringan
ikat endopelvis yang terletak disekitar leher vesika, disebut ligamen
pubovesikal, yang menunjukkan kombinasi muskulus pubovesikal dengan
jaringan fibrous yang menyertainya. Leher vesika dan uretra proksimal turun
pada saat mulai miksi. Perubahan posisi ini menyebabkan lig. Pubovesikal
menarik leher vesika ke arah lebih anterior, sehingga mempermudah
pembukaan. Penutupan leher vesika dapat terjadi dengan kompresi leher vesika
melawan lig. pubovesikal ketika posisi retropubik normal. Pada sfingter interna
terdapat beberapa struktur yang dapat mempengaruhi penutupannya. Cekungan
bentuk U dari muskulus detrusor (the detrussor loop) mengelilingi bagian
anterior leher vesika dan membantu terjadinya penutupan. Di antara lapisan ini
dan lumen uretra terdapat cincin otot polos dan elastis yang dikenal sebagai
trigonal ring, yang berfungsi membantu mekanisme penutupan leher vesika.
Aktifitas sfingter eksterna berasal dari 3 elemen yang berbeda. Otot polos, otot
lurik dan elemen vaskuler menyokong tekanan penutupan uretra pada keadaan
istirahat. Lapisan luar urethra distal dibentuk oleh otot lurik sfingter
urethrovaginal atau ke dalam daerah di atas membran perineal sebagai
kompresor uretra. Otot ini memelihara tonus kontinensia. Otot polos uretra
6
terdiri dari lapisan longitudinal dan sirkuler dan terletak di dalam otot lurik
sfingter urogenital, terdapat pada 4/5 bagian uretra proksimal. Konfigurasi otot
ini berperan dalam konstriksi lumen. Di dalam uretra juga terdapat pleksus
vaskuler, yang mempunyai beberapa AV anastomose. Hal ini membantu
penutupan urethra.
7
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Konsep Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
idak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Inkontinensia urine adalah
pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup
banyak.inkontinesia adalah ketidakmampuan menahan kencing. Inkontinensia
urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial.
Inkontinensia adalah berkemih (defekasi) diluar kesadaran, pada waktu dan
tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau social.
Jika inkontinensia urin terjadi akibat kelainan inflamasi (sistisis), mungkin
sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini timbul karena kelainan
neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.
Usia, jenis kelamin, serta jumlah persalinan pervaginam yang pernah dialami
sebelumnya merupakan faktor resiko yang sudah dipastikan secara parsial
menyebabkan peningkatan insidennya pada wanita. Faktor resiko lain yang
diperkirakan merupakan penyebab gangguan ini adalah infeksi saluran kemih,
menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan berbagai
obat. Gejala ruam, dekubitus, infeksi kulit serta saluran kemih dan pembatasan
aktivitas merupakan konsekuensi dari inkontinensia urine.
3.2 Klasifikasi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine di klasifikasikan menjadi 3 (Charlene J.Reeves at all):
1. Inkontinensia Urgensi
Adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol sebentar setelah ada
peringatan ingin melakukan urinasi. Disebabkan oleh aktivitas otot
destrusor yang berlebihan atau kontraksi kandung kemih yang tidak
terkontrol.
8
2. Inkontinensia Tekanan
Adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol selama aktivitas yang
meningkatkan tekanan dalam lubang intra abdominal. Batuk, bersin,
tertawa dan mengangkat beban berat adalah aktivitas yang dapat
menyebabkan inkontinensia urine.
3. Inkontinensia Aliran Yang Berlebihan ( Over Flow Inkontinensia )
Terjadi jika retensi menyebabkan kandung kemih terlalu penuh dan
sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal ini pada umumnya
disebabkan oleh neurogenik bladder atau obstruksi bagian luar kandung
kemih.
Sedangkan menurut Suzanne C Smeltzer (2001) tipe inkontinesia urine dibagi
atas:
1. Inkontinensia akibat stress
Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat
dari peningkatan mendadak pada tekanan intra abdomen. Tipe
inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat
disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesica urinaria, kelainan
ekstrinsik pelvis, vistula, disfungsi destrussor dan jumlah keadaan lainnya.
Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi akibat kelainan kongenital
(ekstrofi vesika urinaria ureter ektopik).
2. Urge inkontinence
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi
tetapi tidak mampu menahan cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada
banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan
faktor yang menyertai; keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi
neurologis yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih
atau pada pasien dengan gejala lokal iritasi akibat infeksi saluran kemih
atau tumor kandung kemih
3. Overflow inkontinence
Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi
hampir terus menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat
9
mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang
berlebihan. Meskipun eliminasi urine terjadi dengan sering, kandung
kemih tidak pernah kosong,. Overflow incontinence dapat disebabkan oleh
kelainan neurologi (yaitu, lesi medula spinalis) atau oleh faktor-faktor
yang menyumbat saluran keluar urine (penggunaan obat-obatan, tumor,
striktur, hiperplasia prostat).
4. Inkontinensia fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsin saluran kemih bagian bawah
yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang
membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya,
demensia alzhemier) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit
atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.
5. Bentuk-bemtuk inkontinesia urin campuran
Yang mencakup ciri-ciri inkontinesia seperti yang baru disebutkan, dapat
pula terjadi. Selain itu, inkontinesia urin dapat terjadi akibat interaksi
banyak faktor.
Dengan pengenalan permasalahan yang tepat, pemeriksaandan rujukan ntuk
evaluasi diagnostik serta terapi, maka prognosis inkontinesia dapat ditentukan.
Semua pasien inkontinesia harus diperhatikan untuk mendapatkan pemeriksaan
evaluasi dan terapi.
3.3 Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ kemih, antara lain:
1. Akibat kehamilan:
a. Melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan
operasi vagina.kehamilan berkali-kali
b. Kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni.10
c. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih.
2. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, antara lain:
a. Efek obat-obatan
b. Produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan
ke toilet.
c. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika.
d. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan
tertapi estrogen topical.
e. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi.
f. Dan bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya
dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau
jika perlu penggunaan laksatif.
3. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena
berbagai sebab, misalnya:
a. gangguan metabolik seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau.
b. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi
dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
c. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi
urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Untuk
11
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau
menggunakan substitusi toilet.
d. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang
tepat.
e. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit
yang dideritanya. Nah, obat-obatan ini bisa sebagai penyebab
mengompol pada orang-orang tua. Golongan obat yang berkontribusi
pada IU (diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, dll), golongan
psikotropika (antidepresi, antipsikotik, dan sedative), kafein dan alcohol.
Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat
jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian
obat.
3.4 Tanda dan Gejala
1. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai
kamar mandi karena telah berkemih.
2. Desakan, frekuensi, dan nokturia
3. Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika
tertawa, bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.
4. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau lambat
dan merasa menunda atau mengejan
5. Inkontinensia fungsional,Dicirikan dengan volume dan aliran urine yang
adekuat
6. Higiene buruk atau tanda-tanda infeksi
7. Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis
3.5 Manifestasi Klinis
1. Urgensi
2. Retensi
3. Kebocoran urine
12
4. Frekuensi
3.6 Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit
infeksi saluran kemih, faktor kehamilan, faktor psikologis dan faktor usia yang
mengakibatkan kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan
abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada
spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur
dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine.
Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,
kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
3.7 Pemeriksaan Diagnostik
1. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah, dan
glukosa dalam urine
2. Uryflowmetri digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju
aliran ketika pasien berkemih.
3. Cysometri digunakan untuk menngkaji fungsi nuromuskular kandung
kemih dengan mengukur efisiensi reflek otot detrusor, tekanan dan
kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan
panas.
4. Urografi ekskretorik disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih
5. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi
ketidaknormalan kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertropi
lobus prostat, struktur uretra, dan tahap gangguan uretra prostatik stenosis
(pada pria).
6. Uterografi retrograde digunakan hampir secara eksklusif pada pria,
membantu diagnosis stuktur dan obstruksi orifisium uretra.
7. Eletromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter
urinarius eksternal.
13
8. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran
prostat atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertrofi prostat jinak atau
infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang
mungkin menyebabkan inkontinensia.
9. Pemeriksaan vagina dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau
vaginitis atrofi, yang menandakan kekurangan ekstrogen.
10. Residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih
setelah pasien berkemih.
3.8 Penatalaksanaan Medis
Penanganan inkontinesia urin bergantung pada faktor penyebab yang
mendasarinya. Namun demikian, sebelum terapi yang tepat dpat dimulai,
munculnya masalah ini harus diidentifikasi dahulu dan kemungknan
keberhasilan terapi diakui. Jika perawat dan petugas kesehatan lainnya
memerima inkontinesia sebagai bagian yang tidak terelakkan dari proses
penuaan dan perjalanan penyakitnya atau menganggap inkontinesia tidak dapat
dipulihkan dan tidak dapat diterapi pada usia berapapun, maka keadaan tersebut
tidak akan dapat deiterapi dengan hasil yang baik. Upaya yang besifat
interdisipliner dan kolaboratif ring sangat pentimg dalam mengkaji dan
mengatasi inkontinesia urin secara efektif.
Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe inkontinesia uin dan
faktor penyebabnya. Inkontinesia urin dapat bersifat sepintas atau refsibel;
setelah penyebab yang mendasari berhasil diatasi, pola urinasi pasien akan
kembali normal.
Penyebab yang bersifat refersibel dan sering terjadi secara singkat dapat
diingat melalui singkatan DIAPPERS. Penyebab ini mencakup keadaan berikut:
Delirium, Infeksi saluran kemih, Atrofik vaginitis atau uretritis, Pharmakologik
agens (preparat antikolinergic, sedatif, alkohol, analgesik, diuretik relaksan otot,
preparat adrenergic), Psicologic factor (depresi,regresi), Excessive urine
production (asupan cairan yang berlebihan, kelainan endokrin yang
menyebabkan diuresis), restricted activity(aktivitas yang terbatas), dan stool
14
impaction(impaksi fekal)(AHCPR,1992). Setelah semua ini berhasil diatsi, pola
urinasi pasien biasanya kembali normal.
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN DAN SOP
4.1 Pengkajian
1. Identitas klien
inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada
lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak
menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan
saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu
yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),
masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah
cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan
diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
b. Riwayat kesehatan klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi
saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat kesehatan keluarga
15
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia
b. Pemeriksaan Sistem
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung
kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing
dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah
klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti
rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.
B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
B6 (bone)
16
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
c. Data penunjang
Urinalisis, hematuria, poliuria, bakteriuria.
d. Pemeriksaan Radiografi
IVP (intravenous pyelographi); memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
VCUG (Voiding Cystoufetherogram); mengkaji ukuran, bentuk, dan
fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat)
PVR (Post Voiding Residual).
e. Kultur Urine: Steril, pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml),
organisme.
4.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin b/d tidak adanya sensasi untuk berkemih dan
kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih
2. Resiko infeksi b/d pemasangan kateter dalam waktu yang lama
3. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang b/d irigasi konstan oleh urine
4. Ansietas b/d perubahan status kesehatan
5. Gangguan harga diri b/d keadaan yang memalukan akibat mengompol di
depan orang lain atau takut bau urine
4.3 Intervensi Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin b/d tidak adanya sensasi untuk berkemih dan
kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih
KH: Klien mampu mengontrol eliminasi urin.
Intervensi:
a. Identifikasi pola berkemih
R/: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi
kandung kemih
b. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan pada malam hari
R/: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya
enuresis
17
c. Ajarkan tekhnik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan
kutaneus dengan penepukan supra pubik)
R/: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih
d. Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih yang
telah di rencanakan.
R/: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung
volume urin sehingga di perlukan untuk lebih sering berkemih
e. Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal sedikitnya
2000cc/hari bila tidak ada kontra indikasi.
R/: Hidrasi optimal di perlukan untuk mencegah isk dan batu ginjal
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang
lama.
KH: Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam
batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi:
a. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R/: Untuk mencegah kontaminasi uretra
b. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
R/: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
c. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan
kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan
teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine
dari kateter indwelling.
R/: Untuk mencegah kontaminasi silang.
18
d. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan
masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi
sesuai dengan kebutuhan
R/: Untuk mencegah stasis urine.
e. Lakukan tindakan kolaborasi untuk memelihara asam urine, misal :
tingkatkan masukan sari buah berri atau berikan obat-obat, untuk
meningkatkan asam urine
R/: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine.
Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.
3. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.
KH: Jumlah bakteri < 100.000 / ml, kulit periostomal tetap utuh,suhu 37° C,
urine jernih dengan sedimen minimal
Intervensi:
a. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam
R/: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
b. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.
Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter
stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
R/: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan
peningkatan resiko infeksi.
4. Ansietas b/d perubahan status kesehatan
19
KH: Klien dapat mengatasi rasa cemasnya
Intervensi:
a. Kaji tingkat rasa takut pada pasien dan orang terdekat.
R/: Membantu menentukan jenis intervensi yang di perlukan
b. Akui kenormalan perasaan pada situasi ini
R/: Mengetahui perasaan normal dapat menghilangkan rasa takut
c. Dorong dan berikan kesempatan untuk pasien mengajukan pertanyaan
dan masalah
R/: Memberi perasaan terbuka dan bekerja sama dan memberikan
informasi yang akan membantu dalam mengatasi masalah.
d. Dorong orang terdekat berpartisipasi dalam asuhan sesuai indikasi, akui
masalah pasien.
R/: Keterlibatan meningkatkan perasaan berbagi
e. Tunjukan indikator positif pengobatan.
R/: Meningkatkan perasaan berhasil atau maju
f. beri informasi tentang masalah kesehatannya
R/: Dapat mengurangi ansietas yang berlebihan
5. Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
KH: Harga diri klien meningkat, klien tidak merasa malu, klien mampu
bersosialisasi dengan orang lain
Intervensi:
a. Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi pengobatan, dan ansietas
sehubungan dengan situasi.
R/: Mengidentifikasi luasnya masalah dan perlunya intervensi
b. Diskusikan arti perubahan pada pasien
R/: Beberapa pasien Memandang situasi sebagai tantangan, beberapa
sulitmenerima perubahan hidup/penampilan peran dan kehilangan
kemampuan kontrol tubuh sendiri.
c. Tentukan peran pasien dalam dalam keluarga dan persepsi pasien akan
harapan diri dan orang lain.
20
R/: Penyakit lama/permanen dan ketidakmampuan untuk memenuhi
peran dalam keluarga.
d. Anjurkan orang terdekat memperlakukan pasien secara normal dan
bukan sebagai orang sakit
R/: Menyampaikan harapan bahwa pasien mampu untuk mampu
mempertahankan perasaan harga diri dan tujuan hidup.
4.4 SOP (Standar Operasional Prosedur)
MEMASANG KATETER MENETAP
Definisi
Memasukkan selang karet melalui uretra dan ke dalam kandung kemih yang
dipasang menetap dalam jangka waktu tertentu.
Tujuan
1. Mendapatkan spesimen urin steril untuk pemeriksaan
2. Aliran air kemih lancar
3. Urine tidak tertimbun
4. Tidak terjadi iritasi
5. Tidak terjadi penyempitan pada uretra
Persiapan
1. Bak instrumen steril berisi : kateter sesuai ukuran, pinset anatomis 1
buah, sarung tangan 1 pasang
2. Kapas DTT dalam tempatnya
3. Vaselin dalam tempatnya
4. Bengkok 3 buah
5. Perlak bokong dan alasnya
6. Plester
7. Gunting plester
8. Aquadest
9. Spuit 5-10 ml
10. Urin bag
11. Botol steril untuk tempat urine bila diperlukan
21
12. Selimut mandi
13. Sampiran
Prosedur
Pada wanita
1. Memberitahu dan menjelaskan pada klien
2. Mendekatkan alat-alat
3. Memasang sampiran
4. Mencuci tangan
5. Menanggalkan pakaian bagian bawah
6. Memasang selimut mandi, perlak dan pengalas bokong
7. Menyiapkan posisi klien dorsal recumbent
8. Meletakkan 2 bengkok diantara tungkai pasien mencuci tangan dan
memakai sarung tangan.
9. Lakukan vulva hygine.
10. Mengambil kateter kemudian ujungnya diberi vaselin 3-7 cm.
11. Memasukkan kateter perlahan-lahan ke dalam uretra.
12. Menampung urin ke dalam bengkok atau botol steril bila diperlukan untuk
pemeriksaan.
13. Bila urin sudah keluar semua, masukkan aquades 10-15 cc (sesuai ukuran
kateter) dihubungkan dengan pipa penyambung pada urine bag
14. Fiksasi kateter dengan menggunakan plester pada paha klien
15. Mengikat urin bag pada sisi tempat tidur
16. Melepas sarung tangan dan masukkan ke dalam bengkok bersama dengan
kateter dan pinset
17. Memasang pakaian bawah, mengambil perlak dan pengalas
22
18. Menarik selimut dan mengambil selimut mandi
19. Membereskan alat
20. Mencuci tangan.
Pada pria
1. Memberitahu dan menjelaskan pada klien
2. Mendekatkan alat-alat
3. Memasang sampiran
4. Mencuci tangan
5. Menanggalkan pakaian bagian bawah
6. Memasang selimut mandi, perlak dan pengalas bokong
7. Menyiapkan posisi klien dorsal recumbent
8. Meletakkan 2 bengkok diantara tungkai pasien
9. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan
10. Memegang penis dengan tangan kiri
11. Menarik preputium sedikit ke pangkalnya, kemudian
membersihkannya dengan kapas DTT
12. Mengambil kateter, ujungnya diberi vaselin 20cm
13. Memasukkan kateter perlahan-lahan ke dalam uretra 20 cm sambil
penis diarahkan ke atas. Jika kateter tertahan jangan dipaksakan.
23
Usahakan penis lebih dikeataskan sedikit dan pasien dianjurkan
menarik nafas panjang, dan memasukkan kateter perlahan-lahan
sampai urin keluar, kemudian menampung urin ke dalam
bengkok/botol steril bila diperlukan untuk pemeriksaan.
14. Bila urin sudah keluar semua, masukkan aquades 10-15 cc (sesuai
ukuran kateter) dihubungkan dengan pipa penyambung pada urine bag
15. Mengikat urin bag pada sisi tempat tidur.
16. Fiksasi kateter dengan menggunakan plester pada paha klien
17. Melepas sarung tangan dan masukkan ke dalam bengkok bersama
dengan kateter dan pinset
18. Memasang pakaian bawah, mengambil perlak dan pengalas
19. Menarik selimut dan mengambil selimut mandi
20. Membereskan alat
21. Mencuci tangan
MELEPAS KATETER
Definisi
Melepas drainage urine pada pasien yang dipasang kateter
Tujuan
Melepas pasien BAK normal tanpa menggunakan kateter
Persiapan Alat
1. Sarung tangan
2. Pinset
3. Spuit
4. Betadin
24
5. Bengkok 2 buah
6. Plester
7. Bensin
8. Lidi waten Bengkok 2 buah
9. Plester
10. Bensin
11. Lidi waten
Prosedur
1. Memberitahu pasien
2. Mendekatkan alat
3. Memasang sampiran
4. Mencuci tangan
5. Membuka plester dengan bensin
6. Memakai sarung tangan
7. Mengeluarkan isi balon kateter dengan spuit
8. Menarik kateter dan anjurkan pasien untuk tarik nafas panjang, kemudian
letakkan kateter pada bengkok
9. Olesi area preputium (meatus uretra) dengan betadin
10. Membereskan alat
11. Melepaskan sarung tangan
12. Mencuci tangan
13. Mendokumentasikan
POSISI SIM
Pada posisi ini pasien berbaring miring baik ke kanan atau ke kiri.
25
Tujuan:
1. Memberikan kenyamanan
2. Melakukan huknah
3. Memberikan obat per anus
4. Memberikan pemeriksaan daerah anus
Alat dan bahan:
Bantal
Prosedur pelaksanaan:
1. Cuci tangan
2. Lakukan persiapan seperti di uraikan di atas
3. Tempatkan kepala datar di tempat tidur
4. Tempatkan pasien dalam posisi telentang
5. Posisikan pasien dalam posisi miring yang sebagian pada abdomen
6. Tempatkan bantal kecil di bawah kepala
7. Tempatkan bantal di bawah lengan atas yang di fleksikan, yang menyokong
lengan setinggi bahu. Sokong lengan lain di atas tempat tidur.
8. Tempatkan bantal di bawah tungkai atas yang di fleksikan, yang menyokong
tungkai setinggi panggul.
9. Tempatkan bantal pasien paralel dengan permukaan plantar kaki.
10. Turunkan tempat tidur.
11. Observasi posisi sejajaran tubuh, tingkat kenyamanan, dan titik potensi
tekanan.
12. Cuci tangan
13. Catat prosedur, termasuk posisi yang di tetapkan, kondisi kulit, gerakan
sendi, kemampuan pasien membantu bergerak, dan kenyamanan pasien.
BAB 5
PENUTUP
26
5.1 Simpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur
diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan
diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu inkontinensia
stres, desakan, luapan dan fistula urine. Penatalaksanaan konservatif dilakukan
pada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar
inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor
penyebab
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
27
Charlene J. Reeves, at all. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba
Medica
Christensen, Kocknow. 1999. Adult Health Nursing, Third edition. St. Louis,
USA: C.V.Mosby Company
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien. Jakarta: EGC
Long, Barbara C. 1996. Essensial of Medical-Surgical Nursing. St. Louis, USA:
C.V.Mosby Company
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Jakarta:
EGC
Waston, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC
28