laporan pemicu 3

91
LAPORAN DISKUSI PEMICU 3 MODUL MUSKULOSKELETAL Disusun Oleh: Kelompok Diskusi 3 Ibnu Rahman I11108065 Citra Kristi Melasari I11110029 Muhammad Hadi Arwani I11111002 Prisa Dwicahmi I11111010 Mitha Ismaulidia I11111015 Wendy Wongso I11111025 Mafisah I11111038 Riska Dwi Kusuma I11111043 Fitrianto Dwi Utomo I11111064 Jenny Ismyati I11111066 Alberikus Kwarta B I11111068 Tan Sri Ernawati I11111071 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: prisa-dwicahmi

Post on 09-Aug-2015

182 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: laporan pemicu 3

LAPORAN DISKUSI

PEMICU 3

MODUL MUSKULOSKELETAL

Disusun Oleh:

Kelompok Diskusi 3

Ibnu Rahman I11108065

Citra Kristi Melasari I11110029

Muhammad Hadi Arwani I11111002

Prisa Dwicahmi I11111010

Mitha Ismaulidia I11111015

Wendy Wongso I11111025

Mafisah I11111038

Riska Dwi Kusuma I11111043

Fitrianto Dwi Utomo I11111064

Jenny Ismyati I11111066

Alberikus Kwarta B I11111068

Tan Sri Ernawati I11111071

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2012

Page 2: laporan pemicu 3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan

berkat, rahmat, dan hidayah-Nya lah, laporan diskusi modul Muskuloskeletal ini

dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Pembuatan laporan ini berguna untuk memenuhi tugas terstruktur modul

Modul Muskuloskeletal dalam semester Ganjil pada program studi Pendidikan

Kedokteran Universitas Tanjungpura.

Pada proses penulisan laporan ini sampai dengan selesainya, penulis

banyak mendapatkan bantuan berupa dorongan dari semua pihak, maka pada

kesempatan ini tak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. dr. Delima Fajar Liana, selaku koordinator penanggung jawab modul.

2. Orang tua penulis yang selalu memberi semangat dan doa.

3. Teman-teman penulis yang telah memberi banyak saran dan dorongan

bagi penulis.

4. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Besar harapan kami agar laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para

pembacanya. Namun demikian, seperti kata pepatah “ tak ada gading yang tak

retak ”, kami menyadari bahwa masih ada beberapa kekurangan dalam makalah

ini. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat

bagi kita semua. Amin.

Pontianak, 26 Desember 2012

Penulis

Page 3: laporan pemicu 3

DAFTAR ISI

Cover.................................................................................................................. i

Kata Pengantar................................................................................................... ii

Daftar Isi............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1

1.1. Pemicu............................................................................................. 1

1.2. Klarifikasi dan Definisi................................................................... 1

1.3. Kata Kunci...................................................................................... 1

1.4. Rumusan Masalah........................................................................... 2

1.5. Analisis Masalah............................................................................. 2

1.6. Hipotesis......................................................................................... 3

1.7. Pertanyaan Diskusi.......................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 4

2.1. Anatomi, Fisiologi dan Biokimia Sendi Sinovial........................... 4

2.2. Osteoarthritis................................................................................... 15

2.3. Rhematoid Arthritis........................................................................ 25

2.4. Gout................................................................................................. 37

2.5. Studi Kasus..................................................................................... 48

BAB III KESIMPULAN.................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 54

iii

Page 4: laporan pemicu 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pemicu

Ny. Mira berusia 60 tahun, datang ke puskesmas dengan berjalan

terpincang-pincang dan wajah menahan nyeri. “Dokter, lutut kanan saya

nyeri sekali sejak 2 minggu ini”, kata Ny.Mira. Sebenarnya keluhan nyeri

lutut itu sudah mulai dirasakan hilang timbul sejak 2 tahun ini, dan

memberat apabila Ny.Mira naik turun tangga atau berjalan jauh. Selama

ini Ny.Mira membeli obat di warung yang hanya dapat sedikit

mengurangi nyeri. Dari pemeriksaan fisik didapatkan BB 70 kg dan TB

155 cm. Pemeriksaan pada lutut kanan menunjukkan adanya krepitasi,

nyeri tekan, dan tanda efusi sendi. Riwayat trauma dan jatuh disangkal.

1.2. Klarifikasi dan Definisi

a. Krepitasi adalah dura kretak-kretak pada gerak pasif yang biasanya

menunjukkan kerusakan sendi lanjut.

b. Efusi adalah keluarnya cairan menuju suatu bagian/jaringan, sebagai

eksudasi/transudasi.

1.3. Kata Kunci

a. Nyeri lutut kanan.

b. Perempuan 60 tahun.

c. Berjalan pincang-pincang.

d. Nyeri hilang timbul sejak 2 tahun.

e. Lutut kanan krepitasi.

f. Nyeri tekan.

g. Tanda efusi sendi.

h. BB = 70 kg, TB = 155 cm, BMI = 29,14

i. Riwayat trauma dan jatuh (-)

1

Page 5: laporan pemicu 3

j. Pemakaian obat warung.

1.4. Rumusan Masalah

Apa diagnosis pada kasus Ny. Mira?

1.5. Analisis Masalah

Ny. Mira, 60 tahun

Datang ke puskesmas dengan pincang sambil menahan rasa nyeri pada lutut kanannya

Anamnesis

Nyeri sejak 2 minggu ini

Nyeri hilang timbul sejak 2 tahun

Memberat bila naik tangga atau

berjalan jauh

Membeli obat diwarung sedikit

mengurangi rasa nyeri

Trauma dan jatuh disangkal

Pemeriksaan Fisik

BB=70 kg, TB=155 cm,

BMI=29,4 (obese)

Pada lutut kanan:

a. Nyeri tekan

b. Krepitasi

c. Tanda efusi sendi

DD= Osteoartritis -Definisi

Rematoid Artritis -Patofisiologi

Gout Artritis -Gejala Klinis

Laboratorium -Etiologi

Pemeriksaan Penunjang -Epidemiologi

Radiologi -Faktor resiko

Gold Diagnosis -Anamnesis

-Pemeriksaan Fisik

Tatalaksana -Pemeriksaan Penunjang

-Tatalaksana

Prognosis -Diagnosis

2

Page 6: laporan pemicu 3

1.6. Hipotesis

Ny. Mira 60 tahun mengalami osteoarthritis dengan diagnosis banding

Rhematoid Arthritis dan Gout.

1.7. Pertanyaan Diskusi

a. Anatomi, Fisiologi dan Biokimia Sendi Sinovial

b. Osteoartritis

1) Definisi

2) Patofisiologi

3) Gejala Klinis

4) Etiologi

5) Epidemiologi

6) Faktor Resiko

7) Patogenesis

8) Pemeriksaan Penunjang

9) Tatalaksana

10) Diagnosis

c. Rhematoid Arthritis

1) Definisi

2) Patofisiologi

3) Gejala Klinis

4) Etiologi

5) Epidemiologi

6) Faktor Resiko

7) Patogenesis

8) Pemeriksaan Penunjang

9) Tatalaksana

10) Diagnosis

d. Gout

1) Definisi

2) Patofisiologi

3

Page 7: laporan pemicu 3

3) Gejala Klinis

4) Etiologi

5) Epidemiologi

6) Faktor Resiko

7) Patogenesis

8) Pemeriksaan Penunjang

9) Tatalaksana

10) Diagnosis

e. Studi Kasus

1) Pemeriksaan Penunjang Kasus Ny. Mira

2) Terapi Diet

3) Penggunaan Obat warung, sudahkah tepat?

4

Page 8: laporan pemicu 3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sendi

2.1.1. Anatomi

Anatomi Sendi Lutut

Sendi terdiri dari 3 kompartemen berbeda yang sedikit terpisah ssl.

Di depan, kompartemen PF, patella berartikulasi dengan sulkus femoral

hingga sekitar 90D, setelah itu faset lateral dan medial berartikulasi

secara terpisah dengan masing-masing kondilus femurnya. Dalam fleksi

yang ekstrem, kontak PF passes dari fasies medial onto odd facet.

Patella memiliki 7 fasies. Kedua fasies medial dan fasies lateral

terbagi secara vertikal menjadi tiga bagian yang sama, sementara fasies

ke tujuh atau odd facet berada di sepanjang paling tepi medial. Fasies

medial lebih kecil dan sedikit cembung, dan fasies lateral yang

merupakan 2/3 bagian adalah konveks secara sagital dan konkav secara

koroner. Patella tidak secara sempurna fit/pas dengan permukaan

femurnya. Sulkus femoral terdiri dari medial dan lateral lip, yang mana

lateral lebih lebar dan lebih tinggi dan keduanya memiliki konveks

sagital. Sulkus femoral terpisah dari kedua kondilus oleh satu ridge yang

tak jelas dan lebih menonjol jelas di lateral. Contact patch antara femur

dan patella bervariasi sesuai posisi saat patella bergeser di permukaan

femur. Daerah kontak tidak pernah melebihi 1/3 total permukaan patella,

di mana kontak terbesar terjadi saat 45 D saat mana menunjukkan patch

berupa ellipse meliputi central medial dan lateral facet. Saat ekstensi

penuh, fasies medial bagian bawah dan fasies lateral terletak pada sulkus

femoral bagian atas. Saat 90D, daerah kontak bergeser ke fasies lateral

dan medial bagian atas dan bila fleksi berlanjut daerah kontak terpisah

menjadi daerah lateral dan medial.

Kedua kondilus femur asimetris berdasarkan bentuk dan

dimensinya, dengan kondilus medial yang lebih besar memiliki kurvatura

5

Page 9: laporan pemicu 3

yang lebih simetris. Kondilus lateral dilihat dari samping memiliki

kurvatura yang menajam ke posterior. Kondilus femur dilihat dari

permukaan artikulasinya dengan tibia menunjukkan bahwa kondilus

lateral sedikit lebih pendek dari medial. Axis panjang dari kondilus lateral

sedikit lebih panjang dari kondilus medial dan terletak dalam bidang yang

lebih sagital, sementara kondilus medial berada rata-rata pada posisi

menyudut sekitar 22D dan terbuka ke posterior. Lebar kondilus lateral

sedikit lebih besar pada pusat intercondyler notch.

Permukaan femoral dan tibial tidaklah conform benar. Plateau tibia

medial yang lebih besar adalah mendekati datar, sedangkan plateau lateral

konkav. Keduanya berinklinasi posterior mendekati 10D terhadap shaft

tibia.

Porsi tengah tibia antara kedua plateau dipenuhi oleh sebuah elevasi

yang disebut spina tibia. Di depannya terdapat satu cekungan yang

disebut fosa interkondiloid anterior, yang mana dari anterior ke posterior

melekat tanduk anterior meniscus medial, ACL, dan tanduk anterior

meniscus lateral. Di belakang daerah ini terdapat dua buah elevasi, yaitu

tuberkulum medial dan lateral. Keduanya dipisahkan oleh sulkus

intertuberkel. Kedua ligamen dan meniscus tidak melekat pada tuberkel,

yang mana tuberkel menonjol ke dalam sela interkondiler sehingga

berperan sebagai side-to-side stabilizer. Bersama-sama, kedua meniscus

& spina tibia meningkatkan impression cupping. Dalam fosa interkondiler

posterior di belakang kedua tuberkel melekat pertama meniscus medial

kemudian meniscus lateral dan di belakang mereka di tepi posterior

antara kedua kondilus tibia, melekat PCL.

Meniskus merupakan lamela kresentik yang berfungsi

memperdalam permukaan fosa artikularis kaput tibia untuk menerima

kedua kondilus femur. Setiap meniscus menutupi sedikitnya 2/3 bagian

perifer masing-masing permukaan artikuler tibia. Batas perifer masing-

masing meniscus tebal, konveks, dan melekat dengan kapsul sendi,

sedangkan sisi dalamya tipis, bebas tidak melekat. Permukaan proximal

6

Page 10: laporan pemicu 3

meniscus adalah konkav dan kontak dengan kondilus femur, sedang

permukaan distal flat dan terletak pada kaput tibia.

Bentuk meniskus medial mendekati semicircular dengan panjang

sekitar 3.5cm. Potongan melintang berbentuk triangular dengan bagian

posterior yang lebih lebar dari anterior. Ia melekat erat pada fosa

interkondiler posterior tibia (gb.1.2). Perlekatan anteriornya lebih

bervariasi; biasanya melekat secara firmly pada fosa interkondiler

anterior, namun perlekatan ini dapat berupa flimsy masih dalam batas-

batas normal. Terdapat juga satu fibrous band dengan ketebalan

bervariasi yang menghubungkan kedua tanduk anterior lateral dan medial

meniscus (ligamen transversum). Di perifer, medial meniscus melekat

pada kapsul sendi baik tibia maupun femur. Perlekatannya ke tibia

disebut coronary ligament. Pada titik tengah, ia melekat lebih kuat ke

femur dan tiba melalui satu kondensasinya dalam kapsul sendi yang

dikenal dengan ligamen medial profundus dari MCL.

Coronary ligament melekat ke tepi tibia beberapa milimeter di distal

dari permukaan sendi, yang memberi satu synovial recess. Ke

posteromedial, meniscus menerima satu bagian insersi semimembranosus

melalui kapsul sendi.

Bentuk meniscus lateral adalah mendekati sirkuler dan menutup

bagian yang lebih besar permukaan sendi dibanding meniscus medial.

Tanduk anteriornya melekat pada interkondiler fosa, di sisi lateral dan

posterior ACL. Tanduk posterior melekat pada fosa interkondiler di sisi

anterior terhadap ujung posterior meniscus medial. Perlekatan posterior

terdiri dari fibrous band yang menghubungkan lengkungan posterior

meniscus lateral ke kondilus medial femur dalam fosa interkondiler,

embracing PCL. Ini dikenal sebagai ligamen dari Humphry & Wrisberg

(gb.1.3). Ke posterolateral, meniscus lateral di grooved oleh tendon

popliteus, di mana beberapa seratnya bersinsersi ke tepi perifer dan

superior meniscus lateral.

7

Page 11: laporan pemicu 3

Ligamen patela merupakan bagian sentral dari tendo komunis

quadriceps femoris. Ia merupakan ligamentous band yang kuat, flat,

dengan panjang sekitar 6cm melekat ke proximal pada apex patela dan

pada caking kasar di permukaan posterior patela, dan di distal melekat

pada tuberositas tibia; serat-serat superficial berlanjut di depan patella

dengan tendo quadriceps femoris. Bagian medial dan lateral tendon

quadriceps lewat ke bawah pada kedua sisi patela kemudian berinsersi

pada kedua sisi tuberositas tibia. Porsi ini menyatu dengan kapsul sendi

membentuk retinakulum patela medial dan lateral. Permukaan posterior

ligament patela terpisahkan dari membran sinovial oleh satu pad of fat

infrapatela yang besar, dan terpisah dari tibia oleh satu bursa.

LIGAMEN LUTUT

Kapsul artikularis merupakan satu membran fibrus dengan

ketebalan bervariasi mengandung daerah-daerah menebal yang dapat

disebut sebagai satu ligamen. Di depan, kapsul digantikan oleh ligamen

patela. Di posterior, kapsul terdiri dari serat-serat vertikal yang berawal

dari kedua kondilus dan dari sisi-sisi fosa interkondiler femur. Ini

diaugmentasikan oleh serat-serat yang berasal dari tendon

semimembranosus, membentuk ligamen popliteal oblikuus, satu band

yang lebar, flat melekat di proximal pada tepi fosa interkondiler dan

permukaan posterior femur dekat dengan tepi-tepi artikuler kondilus

femur, dan di distal melekat pada tepi posterior kaput tibia. Serat-serat ini

berjalan utamanya ke arah bawah dan medial, dan fasikulanya dipisahkan

oleh apertura untuk lewatnya pembuluh darah dan syaraf. Ligamen

popliteal oblikuus membentuk sebagian dasar fosa poplitea dan arteri

poplitea terletak di atasnya.

Di sisi medial lutut, struktur penunjang terdiri dari 3 lapis (gb.1.4).

Lapis 1 adalah yang paling superficial tepat di bawah kulit. Lapis ini

merupakan fasia profundus, dan bidangnya ditentukan oleh fasia yang

menerima m. sartorius. Sartorius berinsersi pada jaringan serat-serat fasia

8

Page 12: laporan pemicu 3

ini dan tidak memiliki satu tendon insersi tertentu sebagaimana m.

gracilis dan semitendinosus di bawahnya. Menuju lebih ke posterior, lapis

1 merupakan lembaran (sheet) di mana kedua kaput gastroknemius dan

semua struktur fosa poplitea terletak. Lapis ini berfungsi sebagai

penyokong bagi otot dan struktur neurovascular dalam daerah poplitea.

Lapis 1 selalu dapat dipisahkan dari bagian-bagian paralel dan oblik

ligamen medial superficial di bawahnya, dan bila satu incisi vertikal

dibuat di posterior serat paralel dari ligamen, maka bagian anterior lapis 1

dapat di refleksikan ke depan sehingga menampakkan keseluruhan

ligamen medial superficial. Lebih ke depan lagi, lapis 1 menyatu dengan

bagian anterior lapis 2 dan retinakulum patela medial yang berasal dari

vastus medialis. Di belakang terdapat satu lapis jaringan lemak yang

terletak antara lapis 1 dan struktur-struktur lebih dalam. Tendon gracilis

dan semitendinosus terletak di daerah ini. Ke anterior dan distal, lapis 1

menyatu dengan periosteum tibia.

Lapis 2 merupakan bidang (plane) dari ligamen superficial medial

(gb.1.5). Ligamen medial superficial terdiri dari bagian paralel dan oblik.

Serat-serat anterior atau paralel dimulai dari epikondilus medial femur

dan terdiri dari serat-serat besar dan berorientasi vertikal berlanjut ke

distal ke satu insersi pada permukaan medial tibia sekitar 4.6 cm inferior

permukaan artikular tibia tepat di posterior insersi pes anserinus. Serat-

serat oblik posterior berasal dari epikondilus femur dan menyatu dengan

lapis 3 di bawahnya (kapsul), dan melekat tepat di inferior permukaan

artikuler posterior tibia dan meniscus medial. Serat ini diperkuat oleh

kontribusi dari selubung tendon semimembranosus.

Ke anterior, lapis 2 terbelah secara vertikal. Bagian depan belahan

berlanjut ke arah cranial menuju vastus medialis dan menyatu dengan

bidang lapis 1 membentuk serat-serat retinakulum parapatela. Bagian

posterior belahan, berlanjut ke cranial menuju kondilus femur dari mana

serat-serat transvers berjalan ke arah depan dalam bidang lapis 2 menuju

patela membentuk ligamen patelofemoral. Karena ligamen patelofemoral

9

Page 13: laporan pemicu 3

merupakan kelanjutan dari lapis2, maka letaknya lebih dalam dari bidang

lapis 1.

Lapis 3 merupakan kapsul sendi (gb. 1.6) dapat dipisahkan dari

lapis 2 kecuali pada tepi patela; ke depan, kapsul sangatlah tipis. Di balik

ligamen medial superficial, lapis 3 menjadi lebih tebal dan membentuk

satu band serat pendek berorientasi ke vertikal yang dikenal dengan nama

ligamen medial profundus. Ligamen profundus meluas dari femur menuju

bagian tengah dari tepi perifer meniscus dan tibia. Di anterior, ligamen

profundus jelas dapat dipisahkan dari ligamen superficial dengan adanya

bursa yang interposes, namun di posterior, lapisan ini menyatu ketika

bagian meniscal-femoral ligamen profundus cenderung menyatu dengan

ligamen superficial di atasnya dekat dengan perlekatan kranialnya.

Bagian menisco-tibial nya memang terpisah dari ligamen superficial.

Lebih ke posterior, lapis 3 menyatu dengan lapis 2 membentuk conjoin

kapsul posteromedial yang menyelimuti kondilus medial femur.

Jadi, ketiga lapisan paling mudah dapat dipisah-pisahkan dalam

daerah ligamen medial superficial. Ke posterior, lapis dalam dan tengah

menyatu dan lapis luar menjadi fasia profunda. Ke depan, lapis luar dan

tengah menyatu dengan retinakulum diatasnya yang merupakan ekspansi

quadriceps. Lapis dalam meskipun tetap terpisah, menjadi sangat tipis.

Lapis tengah membelah anterior ligamen medial superficial, hingga

bagian cranial tetap sebagai satu lapis terpisah membentuk ligamen

patelofemoral.

Struktur penyokong di sisi lateral dapat juga dijelaskan sebagai

terdiri dari tiga lapis. Yang paling superficial adalah retinakulum lateral,

lapis tengah membentuk LCL, ligamen fabelofibular dan ligamen

arkuatum, dan lapis dalam adalah kapsul lateral.

Retinakulum lateral (gb.1.7). Dimulai pada tepi lateral patela,

perluasan fibrous dari vastus lateralis adalah berorientasi longitudinal

sepanjang tepi lateral patela berjalan ke distal untuk menjadi bagian tendo

10

Page 14: laporan pemicu 3

patela. Yang berinterdigitasi dengan serat-serat ini adalah retinakulum

oblikuus superficial yang berorigo pada iliotibial band. Sebagian terbesar

dari serat-serat ini menyatu dengan bagian anterior tendo patela. Di

posterior terletak fasia lata dan iliotibial band, berlanjut ke distal

sepanjang sisi lateral lutut dan berinsersi pada tuberkel dari Gerdy di

tibia. Beberapa dari serat tersebut melewati tuberkel Gerdy menuju

tuberositas tibia. Ke proximal, fascia lata menempel ke septum

intramuscular lateral, di mana ia melekat pada femur. Di posterior, fascia

lata menyatu dengan fascia biceps. Terdapat satu bagian lebih dalam yang

terpisah dari lapis ini berjalan lebih atau kurang transversal dari fascia

lata ke lateral patela dan jke arah caudal bargeman lebih oblik untuk

menghubungkan patela dengan tibia bagian atas. Di cranial, satu band

serat-serat ditemukan berjalan dari septum intramuscular lateral dan

epikondilus lateral ke lateral patela (ligamen epikondilopatela).

LCL berorigo pada epikondilus lateral femur anterior dari origo

gastroknemius, membentuk struktur cordlike yang berjalan di balik

retinakulum lateral untuk berinseri pada kaput fibula, menyatu dengan

tendo insersi biceps femoris. Ligamen fabelofibular adalah satu

kondensasi dari serat-serat yang berjalan antara ligamen arkuatum dan

ligamen lateral, yang berjalan dari kaput lateral gastrocnomius ke styloid

fibula. Pada kebanyakan lutut dapat ditemukan adanya ligamen

fabelofibular dan arkuatum, namun pada kasus dengan fabela besar,

mungkin tidak terdapat ligamen arkuatum, dan bila fabela tidak ada juga

tidak ditemukan ligamen fabellofibula.

Knee Motion dan Fungsi Ligamen Pendukung

Kontrol dikerjakan oleh: (1) bony architecture, dan (2) ligamentous

attachments.

Pada saat sendi ekstensi maximal, ligamen krusiatum dan kolateral

keduanya tegang dan sisi depan kedua meniscus terjepit ketat di antara

kondilus tibia dan femur. Saat fleksi dimulai, proses unlock terjadi, di

11

Page 15: laporan pemicu 3

mana tibia berrotasi-medial terhadap femur akibat kontraksi m. popliteus.

Permukaan artikuler kondilus medial femur lebih besar dari pada lateral;

saat arah gerakan sebaliknya, pertama, kompartemen lateral mencapai

satu posisi dari ekstensi penuh sesaat sebelum kompartemen medial

ekstensi penuh. Ekstensi terminal tercapai dan lutut di lock oleh gerakan

rotasi eksternal tibia hingga kompartemen medial mencapai batas akhir

ekstensinya.

Ketika lutut difleksikan, saat 30D pertama, femur mengalami

rollback terhadap tibia yang lebih banyak terjadi di sisi lateral dari pada

medial. Setelah 30D kondilus femur memutar pada satu titik di kondilus

tibia. Meniscus juga mengikuti gerakan ke belakang sebagaimana femur

(lateral lebih banyak dari pada medial).

Tibia berrotasi terhadap femur lebih banyak ke arah lateral dari pada

medial, dan sebagai pusat rotasi adalah melalui kondilus medial femur.

Beberapa bagian dari ligament medial superficial tegang selama fleksi,

sedangkan ligament kolateral lateral tegang hanya saat ekstensi dan

relaksasi segera setelah fleksi, sehingga memungkinkan ekskursi kondilus

tibia lateral menjadi lebih besar.

Ligamen kolateral medial superficial merupakan penyetabil

terpenting sisi medial. Serat paralelnya bergerak ke arah posterior saat

lutut difleksikan. Perlekatannya pada kondilus femur sedemikian rupa

sehingga saat ekstensi serat posterior tegang dan serat anterior relaks dan

bergeser ke bagian dalam di balik bagian posterior ligamen. Saat fleksi,

serat anterior bergerak ke arah proximal dan menegang dan siap

mengalami peningkatan ketegangan saat lutut fleksi. Aksi ini

dimungkinkan akibat bentuk oval dari origo femoral yang mengalami

perubahan orientasi saat fleksi di mana bagian perlekatan serat paling

anterior dielevasikan. Saat sisi anterior menjadi tegang, serat posterior

slack (ketika fleksi) dan tetap relaks sepanjang fleksi. Serat oblik

posterior relaks saat ekstensi dan letaknya sedikit di balik serat paralel.

Saat fleksi serat ini bergerak ke luar, ini karena perlekatannya pada

12

Page 16: laporan pemicu 3

kapsul sendi dan bagian perifer meniscus medial, mereka me check

sliding meniscus ke belakang yang terjadi saat fleksi.

Pada keadaan serat paralel MCL intak, maka hanya menimbulkan

terbukanya sendi sekitar 1mm waktu stress valgus. Lutut sedikit lebih

tight saat ekstensi penuh; medial opening terbesar dicapai saat fleksi 45D.

Serat panjang ligament medial superfisial juga mengontrol rotasi

(pemotongan kapsul, medial ligamen profundus, dan serat oblik ligamen

superfisial hanya menimbulkan sedikit atau tidak sama sekali

penambahan rotasi). Pemotongan serat panjang, tidak hanya

meningkatkan besarnya medial opening saat stress valgus, juga

meningkatkan rotasi eksternal yang bermakna.

Saat ekstensi, serat iliotibial band merupakan bagian terpenting

dalam stabilitas lateral, karena serat ini melekat ke proximal pada femur

(serat ini lebih merupakan true ligament karena kontraksi TFL dan

gluteus maximus tidak sampai ditransmisikan ke tibia). Ketika lutut

difleksikan, iliotibial tract bergerak ke posterior dan sedikit relaks; pada

posisi ini, tendon biceps femoris menjadi penyetabil penting.

Ligamen lateral juga tegang saat ekstensi, namun relaks sepanjang

fleksi. Demikian juga ligament arkuatum. Sehingga saat fleksi lebih

banyak rotasi dimungkinkan di sisi lateral dibanding medial. Rotasi ini

dimungkinkan oleh perlekatan meniscus lateral dan keadaan relaksasi

ligamen penunjang saat fleksi. Demikian pula terjadinya rolling femur

pada tibia yang lebih besar di sisi lateral, pada mana tidak demikian

halnya terjadi di sisi medial. Perlekatan tendo popliteus pada meniscus

lateral akan menarik meniscus ke posterior dan mencegahnya entrapped

saat lutut difleksikan.

ACL terdiri dari dua bagian yaitu anteromedial band dan bagian

posterolateral yang lebih kuat dan tebal. Saat ekstensi, ligamen terlihat

sebagai flat band dengan bagian posterolateral yang tegang. Hampir

segera setelah fleksi dimulai, anteromedial band yang lebih kecil menjadi

13

Page 17: laporan pemicu 3

tight dan bagian besar ligamen relaks. Dalam fleksi, anteromedial band

lah sebagai primary restraint melawan anterior displacement tibia.

PCL terdiri dari dua bagian tak terpisahkan. Bagian anterior

membentuk bagian terbesar dan bagian posterior yang lebih kecil barjalan

oblik ke posterior tibia. Saat ekstensi bagian yang lebih besar relaks dan

hanya bagian posterior yang tight. Dalam fleksi, bagian terbesar ligamen

tight dan bagian kecil loose.

ACL merupakan satu check ligament melawan hiperekstensi dan

rotasi eksternal. Sedangkan PCL merupakan satu check ligament

melawan instabilitas posterior saat lutut fleksi, namun tidak untuk

hiperekstensi (pada keadaan ACL intak).

Tight nya ACL saat ekstensi memfiksasi kondilus lateral femur di

anterior; sehingga gerakan berlanjut menjadi hiperekstensi hanya

dimungkinkan terjadi bila secara simultan juga terjadi gerakan rotasi

internal femur, yaitu suatu gerakan supinasi sendi. Ini disebut sebagai

compulsory final rotation yang disebabkan oleh menegangnya anterior

band.

Rotasi sendi mengambil tempat pada satu aksis yang melalui pusat

kondilus femur medial, dimulai dari tighter anchorage (pemegang kuat)

kondilus ini yaitu oleh ligamen medial superficial. Bila ligamen ini

ruptur, maka aksis bergeser ke lateral.

Oleh karena pergeseran aksis rotasi yang ke medial, rotasi eksterna

tibia akan merelaksasi ACL melalui gerakan kondilus femur lateral ke

depan, dan saat yang sama meregangkan PCL. Gerakan rotasi interna

menimbulkan kebalikannya, yaitu menegangkan ACL dan

merelaksasikan PCL.

Satu fibrous band menghubungkan PCL dengan tepi posterior

meniscus lateral (ligamen tibiomeniskal dari Kaplan). Band ini berfungsi

menahan gerakan sliding ke depan meniscus lateral saat rotasi interna.

14

Page 18: laporan pemicu 3

Rotasi tibia terhadap femur terjadi di sepanjang ROM. ACL

merupakan check ligament melawan rotasi eksterna saat fleksi namun

tidak secara bermakna membatasi rotasi interna. Dalam ekstensi, ACL

merupakan check ligament melawan rotasi eksterna dan sedikit melawan

rotasi interna. Sehingga fungsi yang jelas dari ligamen krusiatum dalam

gerakan rotasi tidak diketahui.

2.1.2. Biokimia

Keunikan dari tulang rawan sendi terletak pada komposisi dan

struktur matriks ekstraselular yang terutama mengandung agregat

proteoglikan dalam konsentrasi tinggi dalam sebuah ikatan kolagen dan

sejumlah besar air. Pelumasan oleh cairan sendi memungkinkan

berkurangnya gesekan antara permukaan tulang rawan sendi artikuler

pada pergerakan.

Kondrosit

Tulang rawan sendi hanya mempunyai satu sel spesialis yang

berperan dalam sintesis dan pemeliharaan matriks ekstraseluler yang

dikenal sebagai kondrosit. Lebih dari 70 % komponen tulang rawan sendi

artikuler adalah air, sedangkan 90% dari bagian tulang rawan kering

mengandung 2 komponen utama yaitu kolagen tipe II dan proteoglikan

berukuran besar yaitu agregan. Pada manusia dewasa normal, kondrosit

menempati kurang dari 2% volume total dari tulang rawan sendi.

Kolagen

Matriks ekstraseluler terutama mengandung kolagen (sebagian

Kolagen tipe II dan sejumlah kecil kolagen tipe lain seperti kolagen tipe

IX dan XI) dan proteoglikan ( terutama agrekan, yang berukuran besar

dan beragregrasi dengan asam hialuronat).

Kolagen tipe II, IX dan Xi dari tulang rawan sendi membentuk

anyaman fibriler yang merupakan struktur penyangga dari matriks dalam

15

Page 19: laporan pemicu 3

bentuk serabut inhomogen dan anistropik yang dikelilingi oleh larutan

yang kaya akan proteoglikan yaitu agrekan.

Sintesis kolagen tipe II berjalan seiring dengan sintesis glikoprotein

lainnya yang disekresi oleh kondrosit. Beberapa saat setelah sekresi,

segera setelah molekul mencapai ruang ekstraseluler maka domain non-

helikal pada kedua ujung heliks amino-terminal tipe II dan karboksi-

terminal tipe II prokolagen-propeptide = (PIINP dan PIICP) akan

terpotong dari domain helical. Jadi PIINP dan PIICP dapat digunakan

sebagai marker dari sintesis kolagen.

Kolagen tipe II di degradasikan oleh enzim proteolitik yang

disekresi oleh kondrosit dan sinoviosit, antara lain matriks

metalloproteinase (MMP) seperti kolagenase (MMP1, MMP8, MMP13),

membrane tipe MMP ( MT-MMPs), gelatinase dan stromelisin ( terutama

stromelisin-1=SLN-1 yang disebut pula sebagai MMP-3. Selain matriks

metalloproteinase (MMP) terdapat pula kelompok proteinase yang lain

yang dipercaya berperan pula dalam degradasi matriks ekstraseluler yaitu

ADAMTS( a disintegrin metalloprotease with trhombospondin motifs).

Proteoglikan

Proteoglikan merupakan suatu makromolekul komlpeks yang

memiliki protein inti, tempat melekat rantai glikosaminoglikan.

Glikosaminoglikan dari tulang rawan sendi artikuler terutama kondroitin

sulfat dan keratin sulfat. Agrekan merupakan proteoglikan yang

mempunyai komposisi berupa protein inti ( core protein) dan rantai

glikosaminoglikan (GAG) yang melekat secara kovalen pada protein inti.

2.2. Osteoarthritis

2.2.1. Definisi

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang

berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan

pergelangn kaki paling sering terkena OA. Prevalensi OA lutut radiologis

di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada pria, dan 12,7%

16

Page 20: laporan pemicu 3

pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan

aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena (Soeroso

dalam Sudoyo, 2006)

Osteoarthritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak.

Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang,

dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya

pembentukan tulang baru pada permukaan persendian (Price, 2006).

2.2.2. Etiologi

Tidak ada bakteri atau virus yang menyebabkan osteoarthritis.

Adapun penyebab dari osteoarthritis adalah (Anonim, 2007):

a. adanya peradangan kronis pada persendian

ditandai dengan pembengkakan pada jari-jari tangan, siku, dan lutut.

Biasanya daereah yang mengalami pembengkakan, berwarna

kemerah-merahan

b. pernah mengalami trauma dan radang pada sendi

c. karena faktor usia

kebanyakan orang yang terkena osteoarthritis adalah orang dengan

usia diatas 50 tahun.

d. keturunan

ada beberapa orang yang mengalami osteoarthritis karena faktor

keturunan berat badan yang berlebihan

e. berat badan yang berlebihan, dapat memberatkan sendi dalam

menopang tubuh.

f. stres pada sendi

biasanya stres pada sendi ini terjadi pada olahragawan.

g. neurophaty perifer

2.2.3. Epidemiologi

Osteoarthritis (OA) bervariasi pada masing-masing negara, tetapi

data pada berbagai negara menunjukkan bahwa arthritis primer adalah

17

Page 21: laporan pemicu 3

yang paling banyak ditemui, terutama pada kelompok usia dewasa dan

usia lanjut. Prevalensinya meningkat sesuai pertambahan usia. Data

radiografi menunjukkan bahwa OA terjadi pada sebagian besar usia lebih

dari 65 tahun, dan pada hampir setiap orang pada usia 75 tahun. OA

ditandai dengan nyeri dan kaku pada sendi, serta adanya hendaya

keterbatasan gerakan (Muchid, 2006)

Berdasarkan data prevalensi dari National Centers for Health

Statistics, diperkirakan 15.8 juta (12%) orang dewasa antara 25-74 tahun

mempunyai keluhan sesuai OA. Prevalensi dan tingkat keparahan OA

berbeda-beda antara rentang usia dewasa dan usia lanjut. Sebagai

gambaran, 20% pasien dibawah 45 tahun mengalami OA tangan dan

hanya 8,5% terjadi pada usia 75-79 tahun (Muchid, 2006).

2.2.4. Faktor Resiko

Umur, dari semua faktor resiko timbulnya OA, faktor ketuaan

adalah faktor yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin

meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tak pernah ada pada

anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur

diatas 60 tahun. (Soeroso dalam Sudoyo, 2006)

Jenis Kelamin, wanita lebih sering terkena OA. Di bawah 45

tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di

atas 50 tahun (setelah menoupause) frekuensi OA lebih banyak pada

wanita daripada pria. (Soeroso dalam Sudoyo, 2006)

Suku Bangsa dan Genetik, misalnya OA paha lebih jarang di

antara orang-orang kulit hitam dan asia daripada kaukasia. Pada ibu yang

menderita OA anak-anak peremuannya 3 kali lebih sering menderita OA.

(Soeroso dalam Sudoyo, 2006)

Kegemukan dan Penyakit metabolik, berat badan yang berlebih

nyata berkaitan untuk timbunya OA. Peran faktor metabolik dan

hormonal pada kaitan OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya

18

Page 22: laporan pemicu 3

ikatan antara OA dengan penyakit jantung koroner diabetes mellitus dan

hipertnsi. (Soeroso dalam Sudoyo, 2006)

Pekerjaan, Cedera sendi dan Olah Raga, aktivitas seperti pada

seperti yang dilakukan oleh operator mesin, pembor, pemintal kapas,

penambang batu bara dan lain-lain dibuktikan menimbulkan OA pada

sendi yang sering digunakan untuk bekerja. Demikian juga cedera sendi

dan olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan

risiko OA yang lebih tinggi. (Harrison, 2005)

Kelainan Pertumbuhan dan Faktor Lain, kelainan pertumbuhan

misalnya penyakit perthes dan dislokasi congenital paha telah dikaitkan

dengan timbulnya OA paha pada usia muda. Tingginya kepdatan tulang

dikatakan dapat meningkatakan resiko timbulnya OA. Hal ini mungkin

timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi

benturan beban yang diterima oleh tulang rawan seni. (Soeroso dalam

Sudoyo, 2006)

2.2.5. Gejala Klinis

Gambaran klinis osteoarthritis umumnya berupa nyeri sendi,

terutama apabila sendi bergerak atau banyak menanggung beban. Nyeri

tumpul ini berkurang bila pasien beristirahat, dan bertambah bila sendi

digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Kekakuan pada pagi hari, jika

terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila

dibandingkan dengan kekakuan sendi dipagi hari yang disebabkan oleh

rheumatoid arthritis yang terjadi lebih lama. Gambaran lainnya adalah

keterbatasan dalam gerakan (terutama tidak dapat berekstensi penuh),

nyeri tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar sendi, dan krepitasi (Price,

2006).

Menurut Robbins, gejala osteoarthritis muncul sangat perlahan

dan biasanya mengenai hanya satu atau beberapa sendi. Sendi yang sering

terkena adalah panggul, lutut, vertebra lumbal bawah dan servikalis, sendi

antar falang distal jari tangan, sendi karpometakarpal pertama, dan sendi

19

Page 23: laporan pemicu 3

tarsometatarsal pertama. Komplikasi yang umum adalah kaku sendi dan

nyeri tumpul yang dalam, terutama pada pagi hari. Pemakaian

sendiberulang-ulang cenderung menambah nyeri. Nodus Heberden,

osteofit kecil di sendi interfalang distal, paling ditemukan pada

perempuan dengan osteoarthritis primer. Seiring dengan waktu, dapat

terjadi deformitas sendi yang signifikan.

Beberapa mekanisme terjadinya nyeri pada osteoartritis (kasper,

et. al. 2004).

Sumber Mekanisme

Sinovium Peradangan

Tulang subkondral Hipertensi medularis, mikrofraktur

Osteofit Peregangan ujung saraf periosteum

Ligamentum Peregangan

Kapsul Peradangan, distensi

Otot Kejang

2.2.6. Patogenesis

Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di

dalam tubuh manusia. Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang

yang memungkinkan terjadinya gesekan. Untuk melindungi tulang dari

gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun karena berbagai faktor

risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan berkurangnya

cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk meredam getar

antar tulang. Tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang

berfungsi untuk menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan

tersebut elastis dan air (70% bagian) yang menjadi bantalan, pelumas dan

pemberi nutrisi.

Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk proteoglikan dan

kolagen pada rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal

mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan

antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler, termasuk produksi

20

Page 24: laporan pemicu 3

kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan dan sintesis proteoglikan

yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada diameter

dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang

rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya

yang unik.

Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA,

terutama setelah terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan

tidak nyaman. Sinoviosit yang mengalami peradangan akan menghasilkan

Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan berbagai sitokin yang akan

dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriks rawan sendi serta

mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan ikut

berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan enzim

proteolitik.

Agrekanase merupakan enzim yang akan memecah proteoglikan

di dalam matriks rawan sendi yang disebut agrekan. Ada dua tipe

agrekanase yaitu agrekanase 1 (ADAMTs-4) dan agrekanase 2

(ADAMTs-11). MMPs diproduksi oleh kondrosit, kemudian diaktifkan

melalui kaskade yang melibatkan proteinase serin (aktivator plasminogen,

plamsinogen, plasmin), radikal bebas dan beberapa MMPs tipe membran.

Kaskade enzimatik ini dikontrol oleh berbagai inhibitor, termasuk TIMPs

dan inhibitor aktifator plasminogen. Enzim lain yang turut berperan

merusak kolagen tipe II dan proteoglikan adalah katepsin, yang bekerja

pada pH rendah, termasuk proteinase aspartat (katepsin D) dan proteinase

sistein (katepsin B, H, K, L dan S) yang disimpam di dalam lisosom

kondrosit. Hialuronidase tidak terdapat di dalam rawan sendi, tetapi

glikosidase lain turut berperan merusak proteoglikan.

Berbagai sitokin turut berperan merangsang kondrosit dalam

menghasilkan enzim perusak rawan sendi. Sitokin-sitokin pro-inflamasi

akan melekat pada reseptor di permukaan kondrosit dan sinoviosit dan

menyebabkan transkripsi gene MMP sehingga produksi enzim tersebut

meningkat. Sitokin yang terpenting adalah IL-1, selain sebagai sitokin

21

Page 25: laporan pemicu 3

pengatur (IL-6, IL-8, LIFI) dan sitokin inhibitor (IL-4, IL-10, IL-13 dan

IFN-γ). Sitokin inhibitor ini bersama IL-Ira dapat menghambat sekresi

berbagai MMPs dan meningkatkan sekresi TIMPs. Selain itu, IL-4 dan

IL-13 juga dapat melawan efek metabolik IL-1. IL-1 juga berperan

menurunkan sintesis kolagen tipe II dan IX dan meningkatkan sintesis

kolagen tipe I dan III, sehingga menghasilkan matriks rawan sendi yang

berkualitas buruk.

2.2.7. Kriteria Diagnosis

Secara radiologik didapatkan penyempitan celah sendi,

pembentukan osteofit, sklerosis subkondral dan pada keadaan yang berat

akan tampak kista subkondral. Bila dicurigai terdapat robekan meniskus

atau ligamen, dapat dilakukan pemeriksaan MRI yang akan menunjukkan

gambaran tersebut lebih jelas. Walaupun demikian, MRI bukan alat

diagnostik yang rutin, karena mahal dan seringkali tidak merubah

rancangan terapi. Gambaran laboratorium umumnya normal. Bila

dilakukan analisis cairan sendi juga didapatkan gambaran cairan sendi

yang normal. Bila didapatkan peninggian jumlah leukosit, perlu

dipikirkan kemungkinan artropati kristal atau artritis inflamasi atau

artritis septik.

Gambaran Radiologik Osteoartritis Lutut

22

Page 26: laporan pemicu 3

Kriteria diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi American

College of Rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut ini :

Tabel Kriteria Klasifikasi Osteoartritis Lutut

Klinik dan

Laboratorik

Klinik dan

Radiografik

Klinik

Nyeri lutut +

minimal 5

dari 9 kriteria

berikut :

- Umur > 50

tahun

- Kaku pagi <

30 menit

- Krepitus

- Nyeri tekan

- Pembesaran

tulang

- Tidak panas

pada perabaan

- LED < 40

mm / jam

- RF < 1 : 40

- Analisis

cairan sendi

normal

Nyeri lutut +

minimal 1

dari 3 kriteria

berikut :

- Umur > 50

tahun

- Kaku pagi <

30 menit

- Krepitus+

OSTEOFIT

Nyeri lutut +

minimal 3 dari 6

kriteria berikut :

- Umur > 50

tahun

- Kaku pagi < 30

menit

- Krepitus

- Nyeri tekan

- Pembesaran

tulang

- Tidak panas

pada perabaan

2.2.8. Pemeriksaan Penunjang

Temuan Laboratorium

23

Page 27: laporan pemicu 3

Osteoartitis adalah gangguan artitis lokal, sehingga tidak ada

pemeriksaan darah khusus untuk menegakkan diagnosis. Uji laboratorium

adakalany dipakai untuk menyingkirkan bentuk artitis lainnya. Faktor

rematoid bisa digunakan dalam serum, karena faktor ini meningkat secara

normal pada peningkatan usia.

Temuan Laboratorium

Ciri khas yang sering terlihat pada gambaran radiogram penderita

osteoartitis adalah penyempitan ruang sendi. Keadaan ini terjadi karena

tulang rawan sendi menyusut. Pada sendi lutut penyempitan ruang sendi

dapat terjadi pada salah satu kompartemen saja. Selain ditemukannya

penyempitan sendi juga bisa terjadi peningkatan densitas tulang di sekitar

sendi. Osteofit (spur) bisa terlihat pada aspek marginal dari sendi.

Kadangkala terihat perubahan kistik dalam berbagai ukuran.

Beratnya perubahan pada sendi yang terlihat secara radiografis

dapat tidak berhubungan dengan gejala-gejala yang ada. Bukti radiologis

penderita osteoartitis dapat ditemukan pada hampir 85% penderita yang

berusia 75 tahun, sedangkan penderita yang mengeluh nyeri dan kaku

sendi presentasenya jauh lebih rendah.

Radiogram khusus dapat membantu untuk mengevaluasi

osteoartitis. Radiogram sendi lutut yang sedang memikul beban tubuh

dapat memberi gambaran yang lebih baik tentang efek peyakit bila

dibandingkan dengan gambaran sendi yang tidak sedang memikul beban

tubuh. Osteoartitis bukan suatu penyakit yang simetris, sehingga pebuatan

gambar radiogram sendi kontralateral akan dapat membantu.

2.2.9. Tatalaksana

Penatalaksanaan dari osteoarthritis haruslah bersifat multifokal

dan individual. Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mencegah dan

menahan kerusakan yang lebih lanjut pada sendi tersebut, dan untuk

mengatasi nyeri dan kaku sendi guna mempertahankan mobilitas.

Melindungi sendi dari trauma tambahan penting untuk memperlambat

24

Page 28: laporan pemicu 3

perjalanan penyakit ini. Evaluasi pola bekerja dan aktivitas sehari-hari

membantu untuk menghilangkan segala kegiatan yang meningkatkan

tegangan berat badan pada sendi yang sakit. Tongkat atau alat bantu

berjalan dapat mengurangi berat badan yang harus ditanggung oleh sendi

lutut dan panggul secara cukup berarti. Mengurangi berat badan bila

pasien memiliki badan yang gemuk dapat sangat menurunkan beban yang

harus dipikul oleh sendi lutut dan sendi panggul. Pemakaian obat-obatan

dirancang untuk mengontrol nyeri pada sendi dan untuk mengendalikan

timbulnya sinovitis. Obat-obatan analgetik dan anti-inflamasi yang dapat

dibeli bebas seperti aspirin dan ibuprofen. Pemilihan obat-obat anti-

inflamasi non-steroid harus memikirkan juga efek samping yang sangat

nudah timbul pada orang tua (Price, 2006).

Terapi dalam penata laksanaan penyakit OA ini ada dua yaitu

terapi farmakologis dan non-farmakologi.

1. Terapi farmakologis yang dapat diberikan untuk pasien osteoarthritis

antara lain pemberian analgesik oral non opiat yang banyak dan biasa

dijual dipasaran, analgesik topikal, obat anti-inflamasi non-steroid

(OAINS) yang mempunyai efek analgetik dan anti inflamasi, karena

kebanyakan pasien osteoarthritis adalah usia lanjut maka pemberian

obat jenis ini harus sangat berhati-hati, dengan pilihan obat yang efek

sampingnya minimal dan cara pakai yang sederhana, serta pengawasan

terhadap kemungkinan timbulnya efek samping. Chondroprotective

agent, obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan

(repair) tulang rawan sendi juga dapat diberikan. Sebagian peneliti

menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti

Osteoarhtritis Drugs (SAADOs) atau Disease Modifying Anti

Osteoarthritis Drugs (DMAODs), sampai saat ini yang termasuk

dalam kelompok obat ini adalah:

Asam hialuronat, manfaat obat ini adalah dapat memperbaiki

viskositas cairan synovial, dan diberikan dengan jalan intra

artikuler. Pada hewan percobaan, asam hialuronat dapat

25

Page 29: laporan pemicu 3

mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis

dan khemotaksis sel-sel inflamasi.

Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang

berperan dalam proses degradasi tulang rawan, antara lain:

hialuronidase, protease, elastase dan cathepsin B1 in vitro dan juga

merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur

tulang rawan sendi manusia.

Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas

enzim lisozim. Pada pengamatan terhadap vitamin C mempunyai

manfaat dalam terapi osteoarthritis.

2. Terapi non-farmakologis berkisar pada edukasi mengenai penyakit OA

dan bagaimana menjaga agar keadaan tidak semakin buruk dan terapi

sendi. Program penurunan berat badan menuju ke berat ideal sangat

membantu karena dengan mengurangi beban tubuh terhadap

persendian maka proses erosif akibat tekanan jadi terminimalisir

(Soeroso dalam Sudoyo, 2006) .

2.3. Rhematoid Arthritis

2.3.1. Definisi

Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun dengan

karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan

manifestasi sistemik seperti anemia, fatique, dan osteoporosis. Pasien

mengalami nyeri kronis serta peningkatan disabilitas, yang bila tidak

diobati, dapat menurunkan angka harapan hidup. Prevalensi rheumatoid

arthritis relatif konstan pada banyak populasi, sekitar 0,5 - 1%. Prevalensi

tinggi rheumatoid arthritis dilaporkan pada suku Indian Pima sebesar

5,3% dan Indian Chippewa sebesar 6,8%. Sebaliknya prevalensi rendah

dilaporkan pada populasi dari Cina dan Jepang. Di Jawa Tengah,

Indonesia, prevalensinya sebanyak 0,2% di desa dan 0,3% di kota.

2.3.2. Klasifikasi

26

Page 30: laporan pemicu 3

Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4

tipe, yaitu:

1) Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria

tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling

sedikit dalam waktu 6 minggu.

2) Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria

tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling

sedikit dalam waktu 6 minggu.

3) Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria

tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling

sedikit dalam waktu 6 minggu.

4) Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria

tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling

sedikit dalam waktu 3 bulan.

2.3.3. Kriteria

Kriteria American College of Rheumatology (ACR)/European

League Against Rheumatism (EULAR) 2010 untuk Rheumatoid arthritis

mulai diperkenalkan dengan menitikberatkan pada gambaran klinis tahap

awal penyakit. Rheumatoid arthritis ditegakkan berdasarkan adanya

sinovitis pada paling sedikit 1 sendi, tidak adanya diagnosis alternatif lain

yang dapat menjelaskan penyebab sinovitis, serta skor total individu dari

4 kriteria (keterlibatan sendi, pemeriksaan serologis, peningkatan acute-

phase reactant, dan durasi gejala) ≥ 6.

27

Page 31: laporan pemicu 3

Tabel Kriteria Rheumatoid Arthritis Berdasarkan American College of

Rheumatology (ACR)/European League Against Rheumatism (EULAR)

2010

Keterlibatan sendi ditandai dengan adanya sendi nyeri atau

bengkak pada saat pemeriksaan, yang dapat dikonfirmasi dengan bukti

gambaran sinovitis. Yang termasuk sendi besar adalah sendi bahu, siku,

panggul, lutut dan tumit, sedangkan yang termasuk sendi kecil adalah

sendi metacarpophalangeal, interphalangeal distal, sendi

metatarsophalangeal kedua sampai kelima, sendi interphalangeal ibu

jari, dan pergelangan tangan. Antibodi anti-CCP lebih spesifik

dibandingkan rheumatoid factor (RF) untuk penegakan diagnosis

rheumatoid arthritis secara dini dan lebih baik dalam memprediksi

progresifitas penyakit secara radiologis serta prognosis penyakit.

28

Page 32: laporan pemicu 3

2.3.4. Etiologi

Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara

pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-

antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati,

Manurung & Raenah, 2008).

2.3.5. Epidemiologi

Artritis reumatoid merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki

dibawah umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70

tahun. Pada wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan

abad ke-20 dan konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa

puncak 65-75 tahun.

Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi

(kisaran 0,3 - 2,1%), wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan

dengan laki-laki. Prevalensi penyakit ini meningkat dengan umur, dan

jenis kelamin, perbedaannya dikurangi pada kelompok usia tua.

Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh dunia dari

berbagai suku bangsa. Onset dari penyakit ini sering pada

dekade keempat dan ke-lima dari kehidupan.

Faktor resiko genetik tidak sepenuhnya dihitung

pada insiden terjadinya artritis reumatoid, hanya

menyatakan bahwa faktor lingkungan juga berperan

penting pada penyebab dari penyakit ini. Hal ini

ditekankan pada penelitian epidemiologi di Afrika yang

mengindikasikan cuaca dan urbanisasi merupakan

pengaruh utama pada insiden dan tingkat keberatan dari

artritis reumatoid pada kelompok dengan latar belakang

genetik yang serupa.

2.3.6. Gejala Klinis

29

Page 33: laporan pemicu 3

Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada

penderita artitis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul

sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki

gambaran klinis yang sangat bervariasi.

1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan

menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

2. Poliartitis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di

tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs

distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.

3. Kekakuan pada pagi hari selama lebih dari 1 jam; dapat bersifat

generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini

berbeda dengan kekauan sendi pada osteoartitis, yang biasanya hanya

berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.

4. Artitis erosifmerupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran

radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi

tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.

5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan

perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi

metakarpofalangeal, deformitas boutonnieredanleher angsa adalah

beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada

kaki terdapat protrusi ( tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder

dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang

dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam

melakukan gerakan ekstensi.

6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subutan yang ditemukan pada

sekitar sepertiga orang dewasa penderita artitis reumatoid. Lokasi yang

paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku)

atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian

nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya.

Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu

penyakit yang akitf dan lebih berat.

30

Page 34: laporan pemicu 3

7. Manifestasi ekstra-artikular: artitis reumatoid juga dapat menyerang

organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru

(pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak. Kotak pada halaman

ini memberikan garis besar manifestasi dari gangguan ini.

2.3.7. Patofisiologi

Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan

sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis

menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan

memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial

dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang

rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya

permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut

terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif

dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot

(Smeltzer & Bare, 2002).

Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai

dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada

orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang

lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat

ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis

yang difus (Long, 1996).

Peranan Interleukin-6 (IL-6) Pada Rheumatoid Arthritis

IL-6 merupakan suatu sitokin pleiotropik yang terlibat dalam

inisiasi serta pemeliharaan respons inflamasi dan imunologis dalam

penyakit autoimun. IL-6 adalah suatu glikopeptida 26-kDa di mana

gennya ditemukan pada kromosom 7. IL-6 dihasilkan oleh berbagai tipe

sel seperti sel T, sel B, monosit, fibroblast, osteoblas, keratinosit, sel

endotel, sel mesangium dan beberapa sel tumor. IL-6 merupakan salah

satu anggota keluarga sitokin IL-6, yang termasuk di dalamnya LIF,

ciliary neurotrophic factor, IL-11 dan cardiotrophin-1. Semua sitokin ini

31

Page 35: laporan pemicu 3

membutuhkan gp130 di permukaan sel untuk aktifasi selular. IL-6

dihasilkan berlebihan pada serum dan fibroblas sinovium pasien

Rheumatoid arthritis dan berkorelasi dengan aktifitas penyakit dan

kerusakan sendi. Pada sendi, IL-6 berperan dalam proses resorpsi tulang

yang diperantarai osteoklas serta perkembangan pannus melalui

peningkatan VEGF. IL-6 dapat merangsang protein fase akut melalui

produksi hepsidin (anemia), bekerja terhadap aksis HPA (fatique) serta

mempunyai dampak terhadap metabolisme tulang (osteoporosis). IL-6

juga berperan dalam pembentukan limfosit pro inflamasi T helper-17

(Th17) dalam suatu studi hewan.

Rheumatoid arthritis berhubungan dengan peningkatan morbiditas

dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular. Faktor risiko klasik seperti

hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin dan obesitas cukup tinggi

prevalensinya pada pasien Rheumatoid arthritis. Inflamasi sistemik

menyebabkan proses aterogenesis melalui disfungsi endotel dan

dislipidemia. IL-6 dapat mempengaruhi metabolisme lipid dengan

menstimulasi sintesis asam lemak di hepar dan lipolisis jaringan adiposa.

IL-6 juga dapat meningkatkan sintesis kolesterol sekalian menurunkan

sekresi kolesterol. IL-6 dan CRP berhubungan dengan peningkatan risiko

kardiovaskular pada pria dan wanita, tanpa berhubungan dengan efeknya

terhadap lipid. IL-6 juga berhubungan dengan peningkatan mortalitas

pada pasien dengan sindrom koroner akut

32

Page 36: laporan pemicu 3

Gambar Jalur Sitokin yang Terlibat dalam Artritis yang Mengalami Inflamasi

Gambar 2. Jalur Inflamasi yang Diaktifasi oleh IL-6

33

Page 37: laporan pemicu 3

Gambar 3. Efek Sistemik IL-6

2.3.8. Diagnosis

Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada

penegakan diagnosis rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid,

inflamasi sendi yang ditemukan pada saat palpasi dan hasil-hasil

pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan

peninggian laju endap darah dan factor rheumatoid yang positif sekitar

70%; pada awal penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel darah merah dan

komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C- reaktifprotein (CRP) dan

antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil yang positif.

Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh, berwarna

mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi,

seperti leukosit dan komplemen (Smeltzer & Bare, 2002).

Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan

diagnosis dan memantau perjalanan penyakitnya. Foto rongen akan

memperlihatkan erosi tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi

yang terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.9. Anamnesis

34

Page 38: laporan pemicu 3

1) Sendi mana yang terkena? Umumnya, pergelangan tangan, jari

tangan, siku, bahu, lutut, dan sendi atlanto-aksial yang terkena.

2) Adakah nyeri? Jika ya, kapan dan di mana?

3) Adakah kaku, bengkak, atau deformitas? Umumnya ada kaku di pagi

hari selama lebih dari 1 jam.

4) Apa akibat fungsionalnya? Apa yang tak lagi bisa dilakukan pasien

(misalnya jarak berjalan, maampu berpakaian, pindah tempat)?

5) Adakah tanda sistemik: malaise, penurunan berat badan, atau gejala

anemia?

6) Adakah system lain yang terkena? Adakah iritasi, gejala anemia,

bengkak pada pergelangan kaki (sindrom nefrotik), sesak napas

(fibrosis paru)?

7) Riwayat penyakit terdahulu:

a. Bagaimana pola penyakit? Sendi mana yang terkena? Bagaimana

aktivitas peradangan? Adakah orang lain yang terkena

b. Pengobatan apa yang didapat pasien? Pernakah pasien menjalani

bedah penggantian sendi, mendapat obat-obatan fisioterapi, atau

bantuan lain?

c. Adkah riwayat gangguan autoimun lain?

8) Obat-obatan:

a. Obata pa yang saat ini dimakan pasien?

b. Apakah pasien memiliki alergi, intoleransi, atau efek samping

obat?

9) Riwayat keluarga dan sosial:

a. Adakah riwayat penyakit autoimun dalam keluarga?

b. Bagaimana pengaruh penyakit pada pekerjaan, keluarga,

pasangan, dan anak?

c. Pernahkah dilakukan adaptasi untuk memperbaiki mobilitas, dan

sebagainya?

2.3.10. Pemeriksaan Fisik

35

Page 39: laporan pemicu 3

1) Apakah pasien sakit ringan atau berat? Apakah pasien anemis atau

sesak?

2) Lakukan inspeksi pada semua sendi. Adakah bengkak, nyeri tekan

pada plpasi, eritema, penebalan synovial, efusi sendi, kisaran gerak

berkurng, nkilosis, subluksasi, deformitas?

3) Adakah nodul rheumatoid?

4) Adakah bukti vaskulitis

5) Cari komplikasi sistemik rheumatoid arthritis (misalnya anemia dan

limfadenopati)

6) Lihat ada gangguan fungsional dan Tanyakan ada gangguan organ-

organ tertentu tidak.

2.3.11. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk

mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai

untuk membantu menegakkan diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85%

pasien artritis rheumatoid memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang

dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah imunoglobulin

M (IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG).

Keberadaan dari faktor reumatoid bukan merupakan hal yang spesifik

pada penderita artritis reumatoid. Faktor reumatoid ditemukan sekitar 5%

pada serum orang normal, insiden ini meningkat dengan pertambahan

usia, sebanyak 10-20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif

memiliki faktro reumatoid dalam titer yang rendah.

Laju endap darah (LED) eritrosit adalah suatu indeks peradangan

yang tidak spesifik. Pasien dengan artritis reumatoid nilainya dapat tinggi

(100 mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa LED dapat

dipakai untuk memantau aktivitas penyakit.

Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita

dengan artritis rematoid yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum

36

Page 40: laporan pemicu 3

tulang. Anemia ini tidak berespon pada pengobatan anemia yang biasa

dan dapat membuat seseorang merasa kelelahan.

Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada

sendi, walaupun tidak ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik

untuk arthritis reumatoid. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan

kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan

konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal.

Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai 2000/μL dengan lebih

dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan pada

artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak mendiagnosis arthritis

rheumatoid.

2.3.12. Tatalaksana

Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai penyakitnya

dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan

baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan

yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik akan sukar untuk dapat

memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka

waktu yang lama (Mansjoer, dkk. 2001).

Penanganan medik pemberian salsilat atau NSAID (Non Steriodal

Anti-Inflammatory Drug) dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan dalam

dosis terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek anti

inflamasi maupun analgesik. Namun pasien perlu diberitahukan untuk

menggunakan obat menurut resep dokter agar kadar obat yang konsisten

dalam darah bisa dipertahankan sehingga keefektifan obat anti-inflamasi

tersebut dapat mencapai tingkat yang optimal (Smeltzer & Bare, 2002).

Kecenderungan yang terdapat dalam penatalaksanaan rheumatoid

arthritis menuju pendekatan farmakologi yang lebih agresif pada stadium

penyakit yang lebih dini. Kesempatan bagi pengendalian gejala dan

perbaikan penatalaksanaan penyakit terdapat dalam dua tahun pertama

awitan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).

37

Page 41: laporan pemicu 3

Menjaga supaya rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas

sehari-hari, sebaiknya digunakan air hangat bila mandi pada pagi hari.

Dengan air hangat pergerakan sendi menjadi lebih mudah bergerak.

Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya penyakit ini,

seperti: tidak melakukan olahraga secara berlebihan, menjaga berat badan

tetap stabil, menjaga asupan makanan selalu seimbang sesuai dengan

kebutuhan tubuh, terutama banyak memakan ikan laut. Mengkonsumsi

suplemen bisa menjadi pilihan, terutama yang mengandung Omega 3.

Didalam omega 3 terdapat zat yang sangat efektif untuk memelihara

persendian agar tetap lentur.

2.4. Gout

2.4.1. Definisi

Gout adalah sekelompok penyakit yang terjadi akibat deposit

kristal monosodium urat di jaringan. Deposit ini berasal dari cairan ekstra

selular yang sudah mengalami supersarusasi dari hasil akhir metabolisme

purin yaitu asam urat.

2.4.2. Etiologi

Gout merupakan penyakit metabolic familial yang sering

dikaitkan dengan jumlah asam urat dalam badan yang tida normal disebut

sebagai hiperurikemia dan disertai gejala inflamasi yang berulang-ulang

yang selalunya monoartikular dan pada tahap selanjutnya, terjadi arthritis

akut. Penyebab utama terjadinya gout adalah karena adanya deposit atau

penimbunan Kristal asam urat dalam sendi. Penimbunan asam urat sering

terjadi pada penyakit dengan metabolism asam urat abnormal.

2.4.3. Epidemiologi

Prevalensi gout bervariasi antara 1-15,3%. Pada suatu studi

didapatkan insidensi gout 4,9% pada kadar asam urat darah >9 mg/dL,

0,5% pada kadar 7-8,9%, dan 0,1% pada kadar <7 mg/dL. Insidensi

38

Page 42: laporan pemicu 3

kumulatif gout mencapai angka 22% setelah 5 tahun, pada kadar asam

urat >9 mg/dL (Poor, 2003)

2.4.4. Gejala Klinis

Perjalanan penyakit gout sangat khas dan

mempunyai 3 tahapan yaitu :

Tahap Artritis Gout Akut

Pada tahap ini penderita akan mengalami serangan

artritis yang khas dan serangan tersebut akan

menghilang tanpa pengobatan dalam waktu 5 – 7 hari.

Karena cepat menghilang, maka sering penderita

menduga kakinya keseleo atau kena infeksi sehingga

tidak menduga terkena penyakit gout dan tidak

melakukan pemeriksaan lanjutan.

Bahkan, dokter yang mengobati kadang-kadang tidak

menduga penderita terserang penyakit gout.

Karena serangan pertama kali ini singkat waktunya dan

sembuh sendiri, sering penderita berobat ke tukang

urut dan waktu sembuh menyangka hal itu disebabkan

hasil urutan/pijatan.Padahal, tanpa diobati atau diurut

pun serangan pertama kali ini akan hilang sendiri.

Setelah serangan pertama, penderita akan masuk pada

gout interkritikal.

Pada keadaan ini penderita dalam keadaan sehat

selama jangka waktu tertentu. Jangka waktu antara

seseorang dan orang lainnya berbeda. Ada yang hanya

satu tahun, ada pula yang sampai 10 tahun, tetapi rata-

rata berkisar 1 – 2 tahun.

Panjangnya jangka waktu tahap ini menyebabkan

seseorang lupa bahwa ia pernah menderita serangan

39

Page 43: laporan pemicu 3

artritis gout atau menyangka serangan pertama kali

dahulu tak ada hubungannya dengan penyakit gout.

Tahap artritis gout akut intermiten

Setelah melewati masa gout interkritikal selama

bertahun-tahun tanpa gejala, penderita akan memasuki

tahap ini, ditandai dengan serangan artritis yang khas.

Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan

(kambuh) yang jarak antara serangan yang satu dan

serangan berikutnya makin lama makin rapat dan

lama, serangan makin lama makin panjang, serta

jumlah sendi yang terserang makin banyak.

Tahap artritis gout kronik bertofus.

Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit

selama 10 tahun atau lebih.

Pada tahap ini akan terjadi benjolan-benjolan di sekitar

sendi yang sering meradang yang disebut sebagai

tofus.

Tofus ini berupa benjolan keras yang berisi serbuk

seperti kapur yang merupakan deposit dari kristal

monosodium urat. Tofus ini akan mengakibatkan

kerusakan pada sendi dan tulang di sekitarnya.

Tofus pada kaki bila ukurannya besar dan banyak akan

mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakan

sepatu lagi.

2.4.5. Patofisiologi

Peningkatan kadar asam urat serum dapat disebabkan oleh

pembentukan berlebihan atau penurunan eksresi asam urat, ataupun

40

Page 44: laporan pemicu 3

keduanya. Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin. Secara

normal, metabolisme purin menjadi asam urat dapat diterangkan sebagai

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur

penghematan (salvage pathway).

1. Jalur de novo melibatkan sintesis purin dan kemudian asam urat

melalui prekursor nonpurin. Substrat awalnya adalah ribosa-5-fosfat,

yang diubah melalui serangkaian zat antara menjadi nukleotida purin

(asam inosinat, asam guanilat, asam adenilat). Jalur ini dikendalikan

oleh serangkaian mekanisme yang kompleks, dan terdapat beberapa

enzim yang mempercepat reaksi yaitu: 5-fosforibosilpirofosfat (PRPP)

sintetase dan amidofosforibosiltransferase (amido-PRT). Terdapat

suatu mekanisme inhibisi umpan balik oleh nukleotida purin yang

terbentuk, yang fungsinya untuk mencegah pembentukan yang

berlebihan.

2. Jalur penghematan adalah jalur pembentukan nukleotida purin melalui

basa purin bebasnya, pemecahan asam nukleat, atau asupan makanan.

Jalur ini tidak melalui zat-zat perantara seperti pada jalur de novo.

Basa purin bebas (adenin, guanin, hipoxantin) berkondensasi dengan

PRPP untuk membentuk prekursor nukleotida purin dari asam urat.

41

Page 45: laporan pemicu 3

Reaksi ini dikatalisis oleh dua enzim: hipoxantin guanin

fosforibosiltransferase (HGPRT) dan adenin fosforibosiltransferase

(APRT).

Asam urat yang terbentuk dari hasil metabolisme purin akan

difiltrasi secara bebas oleh glomerulus dan diresorpsi di tubulus

proksimal ginjal. Sebagian kecil asam urat yang diresorpsi kemudian

diekskresikan di nefron distal dan dikeluarkan melalui urin.

Pada penyakit gout-arthritis, terdapat gangguan kesetimbangan

metabolisme (pembentukan dan ekskresi) dari asam urat tersebut,

meliputi:

1. Penurunan ekskresi  asam urat secara idiopatik

2. Penurunan eksreksi asam urat sekunder, misalnya karena gagal ginjal

3. Peningkatan produksi asam urat, misalnya disebabkan oleh tumor

(yang meningkatkan cellular turnover) atau peningkatan sintesis purin

(karena defek enzim-enzim atau mekanisme umpan balik inhibisi yang

berperan)

4. Peningkatan asupan makanan yang mengandung purin

Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan

kadar asam urat dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang

kelarutannya sangat rendah sehingga cenderung membentuk kristal.

Penimbunan asam urat paling banyak terdapat di sendi dalam bentuk

kristal mononatrium urat. Mekanismenya hingga saat ini masih belum

diketahui.

42

Page 46: laporan pemicu 3

Adanya kristal mononatrium urat ini akan menyebabkan inflamasi

melalui beberapa cara:

1. Kristal bersifat mengaktifkan sistem komplemen terutama C3a dan

C5a. Komplemen ini bersifat kemotaktik dan akan merekrut neutrofil

ke jaringan (sendi dan membran sinovium). Fagositosis terhadap

kristal memicu pengeluaran radikal bebas toksik dan leukotrien,

terutama leukotrien B. Kematian neutrofil menyebabkan keluarnya

enzim lisosom yang destruktif.

2. Makrofag yang juga terekrut pada pengendapan kristal urat dalam

sendi akan melakukan aktivitas fagositosis, dan juga mengeluarkan

berbagai mediator proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF.

Mediator-mediator ini akan memperkuat respons peradangan, di

samping itu mengaktifkan sel sinovium dan sel tulang rawan untuk

menghasilkan protease. Protease ini akan menyebabkan cedera

jaringan.

43

Page 47: laporan pemicu 3

Penimbunan kristal urat dan serangan yang berulang akan

menyebabkan terbentuknya endapan seperti kapur putih yang disebut

tofi/tofus (tophus) di tulang rawan dan kapsul sendi. Di tempat tersebut

endapan akan memicu reaksi peradangan granulomatosa, yang ditandai

dengan massa urat amorf (kristal) dikelilingi oleh makrofag, limfosit,

fibroblas, dan sel raksasa benda asing. Peradangan kronis yang persisten

dapat menyebabkan fibrosis sinovium, erosi tulang rawan, dan dapat

diikuti oleh fusi sendi (ankilosis). Tofus dapat terbentuk di tempat lain

(misalnya tendon, bursa, jaringan lunak). Pengendapan kristal asam urat

dalam tubulus ginjal dapat mengakibatkan penyumbatan dan nefropati

gout.

2.4.6. Kriteria Diagnostik

Gout harus dipertimbangkan pada setiap pasien laki-laki yang

mengalami artritis monoartikular, terutama pada ibu jari kaki, yang

44

Page 48: laporan pemicu 3

awitannya terjadi secara akut. Peningkatan kadar asam urat serum sangat

membantu dalam membuat diagnosis tetapi tidak spesifik, karena ada

sejumlah obat-obatan yang juga dapat meninkatkan kadar asam urat

serum. Demikian pula, cukup bayak orang yang mengalami hiperurisemia

asimtomatik.

Sutu pemerikasaan lain untuk mendiagnosis gout adalah dengan

melihat respon dari gejala-gejala pada sendi terhadap pemberian kolkisin.

Kolkisin adalah obat yang menghambat akivitas fagositik leukosit

sehingga memberikan perubahan yang dramatis dan cepat meredakan

gejala-gejala. Perubahan radiologik selain dari pembengkakan jaringan

lunak juga biasa ditemukan pada tahap awal gout. Adanya kristal-kristal

asam urat dalam cairan sinovial sendi yang terserang juga dapat dianggap

bersifat diagnostic

2.4.7. Pemeriksaan Penunjang

Serum asam urat

Umumnya meningkat, diatas 7,5 mg/dl. Pemeriksaan ini

mengindikasikan hiperuricemia, akibat peningkatan produksi asam

urat atau gangguan ekskresi.

Kadar asam urat normal pada pria dan perempuan berbeda. Kadar

asam urat normal pada pria berkisar 3,5 – 7 mg/dl dan pada

perempuan 2,6 – 6 mg/dl. Kadar asam urat diatas normal disebut

hiperurisemia.

Angka leukosit

Menunjukkan peningkatan yang signifikan mencapai 20.000/mm3 selama

serangan akut. Selama periode asimtomatik angka leukosit masih dalam

batas

normal yaitu 5000 - 10.000/mm3.

Eusinofil Sedimen rate (ESR)

45

Page 49: laporan pemicu 3

Meningkat selama serangan akut. Peningkatan kecepatan sedimen rate

mengindikasikan proses inflamasi akut, sebagai akibat deposit asam urat

di persendian.

Urin spesimen 24 jam

Urin dikumpulkan dan diperiksa untuk menentukan produksi dan

ekskresi dan asam urat. Jumlah normal seorang mengekskresikan 250

- 750 mg/24 jam asam urat di dalam urin.

Ketika produksi asam urat meningkat maka level asam urat urin

meningkat.

Kadar kurang dari 800 mg/24 jam mengindikasikan gangguan

ekskresi pada pasien dengan peningkatan serum asam urat

Instruksikan pasien untuk menampung semua urin dengan peses atau

tisu toilet selama waktu pengumpulan.

Biasanya diet purin normal direkomendasikan selama pengumpulan

urin meskipun diet bebas purin pada waktu itu diindikasikan.

Analisis cairan aspirasi dari sendi yang mengalami inflamasi akut atau

material aspirasi dari sebuah tofi menggunakan jarum kristal urat

yang tajam.

Pemeriksaan radiografi

Dilakukan pada sendi yang terserang, hasil pemeriksaan akan

menunjukkan tidak terdapat perubahan pada awal penyakit, tetapi setelah

penyakit berkembang progresif maka akan terlihat jelas/area terpukul

pada tulang yang berada di bawah sinavial sendi.

2.4.8. Tatalaksana

Tujuan terapi pada penatalaksanaan gout

a. Meredakan nyeri dan inflamasi serangan akut

b. Menghentikan serangan akut secepat mungkin

46

Page 50: laporan pemicu 3

c. Mencegah memburuknya serangan dan mencegah efek jangka

panjang:

• Kerusakan sendi

• Kerusakan organ terkait misalnya ginjal

d. Menurunkan kadar urat serum pada pasien simptomatis

e. Menurunkan resiko batu asam urat

f. Menurunkan pembentukan tophi

Penanganan Menggunakan Obat

Terapi gout akut

• Konfirmasi diagnosis

• Awali terapi dengan NSAID dosis penuh (full dose) segera pada saat

serangan, kecuali jika kontraindikasi.

• Berikan colchicine jika NSAID tidak dapat diberikan. Gunakan dalam

24‐48 jam serangan akut.

• Gunakan colchicine dengan hati‐hati karena toksisk, dan monitor

respon.

• Jika serangan melibatkan 1‐2 sendi, berikan steroid intra‐artikular.

• Jika penyakit parah atau NSAID/colchicine tidak ditoleransi baik

berikan steroid sistemik.

• Hiperurisemia pada saat serangan akut jangan diterapi.

Terapi gout kronik

• Mulai terapi menurunkan kadar urat pada psien yang mengalami

serangan lebih dari 2 kali dalam setahun (obat penurun kadar urat

tidak diberikan selama serangan akut, obat pilihan penurun kadar urat

untuk mayoritas pasien adalah allopurinol).

• Gunakan urikosurik pada pasien yang tidak tahan atau alergi

allopurinol dan pada pasien dengan fungsi ginjal normal tetapi

ekskresinya rendah.

47

Page 51: laporan pemicu 3

• Pertimbangkan pemberian kombinasi dengan colchicine sampai

tercapai kadar urat serum rendah dan tidak ada serangan akut yang

kambuh dalam 6‐12 bulan.

• Monitor kadar urat serum setiap 3‐6 bulan dan pada pasien yang

simptomatis terapi disesuaikan dengan kadar

Terapi Non-Obat

Terapi non‐obat merupakan strategi esensial dalam penanganan

gout. Gout adalah gangguan metabolik, yang dipengaruhi oleh diet,

asupan alkohol, hiperlipidemia dan berat badan. Intervensi seperti

istirahat yang cukup, penggunaan kompres dingin, modifikasi diet,

mengurangi asupan alkohol dan menurunkan berat badan pada pasien

yang kelebihan berat badan terbukti efektif.

Anjuran untuk pasien

Pasien gout harus mendapat informasi bahwa puasa, obesitas

(kegenukan) dan konsumsi alkohol dapat mengakibatkan hiperurisemia.

Jika hal tersebut dapat diperbaiki atau dihindari maka terapi obat tidak

diperlukan, demikian juga hiperurisemia tanpa gejala juga tidak perlu

diobati. Namun demikian fungsi ginjal harus diperiksa untuk meyakinkan

tidak ada gangguan.

Pasien yang beresiko mengalami serangan kambuh gout harus

membawa persediaan NSAID dan harus diedukasi untuk segera

menggunakannya pada saat muncul gejala pertama. Juga harus

diinformasikan untuk menghindari aspirin dan sebaiknya digunakan

parasetamol jika diperlukan analgesik penghilang rasa nyeri.

Pasien yang mendapat allopurinol juga diinformasikan untuk tetap

melanjutkan penggunaan allopurinol sehari sekali jika belum terlihat

respon terhadap gejala yang dirasakan. Juga harus mendapat informasi

mengenai efek samping yang mungkin dialami serta segera melaporkan

jika terjadi efek samping pada kulit.

48

Page 52: laporan pemicu 3

Pasien yang mndapat terapi urikosurik dianjurkan untuk minum

paling sedikit 2L/hari untuk mengurangi resiko pembentukan batu asam

urat pada ginjal.

2.5. Studi Kasus

Pemeriksaan Penunjang

I. Pemeriksaan Diagnostik

Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada

sendi yang terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran

diagnostik ( Soeroso, 2006 ). Gambaran Radiografi sendi yang

menyokong diagnosis OA adalah :

a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada

bagian yang menanggung beban seperti lutut ).

b. Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).

c. Kista pada tulang

d. Osteofit pada pinggir sendi

e. Perubahan struktur anatomi sendi.

Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA dapat

diberikan suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan radiografis

dikenal sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi OA

dimulai dari tingkat ringan hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada

awal penyakit, gambaran radiografis sendi masih terlihat normal ( Felson,

2006 ).

II. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak

berguna. Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas – batas normal.

49

Page 53: laporan pemicu 3

Pemeriksaan imunologi masih dalam batas – batas normal. Pada OA yang

disertai peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel

peradangan ( < 8000 / m ) dan peningkatan nilai protein ( Soeroso,

2006 ).

Terapi Diet

1. Diet Pembatasan Energi

Diet pembatasan energi yang seimbang merupakan metode

penurunan berat badan yang paling sering diresepkan. Diet tersebut harus

cukup secara nutrisi kecuali untuk energi, yang dikurangi hingga poin di

mana penyimpanan lemak harus dapat dimobilisasi untuk mencapai

kebutuhan energi harian. Defisit kalori dari 500 hingga 1000 kkal setiap

harinya biasanya dapat mencapai tujuan tersebut. Tingkat energi

bervariasi pada setiap individu menurut ukuran dan aktivitasnya,

umumnya berkisar dari 1200 hingga 1800 kkal setiap harinya. Tanpa

memerhatikan tingkat restriksi kalori, pola makan sehat harus diajarkan,

dan rekomendasi untuk peningkatan aktivitas fisik harus diikutsertakan.

Diet rendah kalori harus diindividualisasikan untuk karbohidrat

(50% hingga 55% dari total kilokalori), menggunakan sumber-sumber

seperti sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan biji-bijian.

Diet juga harus meliputi protein, sekitar 15% hingga 23% kilokalori,

untuk mencegah konversi protein menjadi energi. Konten lemak harus

tidak melebihi 30% dari total kalori. Tambahan dari serat juga

direkomendasikan untuk menurunkan densitas kalori, untuk memberi rasa

kenyang dengan memperlambat waktu pengosongan lambung, dan untuk

sedikit menurunkan efisiensi absorpsi usus.

Penghitungan lemak sebagai persentase kalori terbukti efektif

dalam mendukung asupan rendah energi. Aturan dasar adalah untuk

membagi kadar kalori ideal menjadi 4 setiap asupan 25% lemak (misal,

asupan 1800 kkal harus mencakup 450 kkal dari lemak, atau sekitar 50 g

50

Page 54: laporan pemicu 3

lemak). Hal tersebut memberikan hasil yaitu asupan rendah energi tanpa

kelaparan. Total kalori juga harus diperhatikan.

Jumlah asupan alkohol dan makanan dengan kadar gula tinggi

haruslah dikurangi sebagai sumber energi yang tidak sibutuhkan. Alkohol

bersifat seoerti lemak dalam tubuh, karena ia memisahkan lemak

sehingga tidak teroksidasi. Pada peminum alkohol berat, justru akan

menyebabkan nafsu makan berturun pesat hingga bisa terjadi malnutrisi,

namun pada peminum sedang, akan menaikkan berat badan karena

alkohol dianggap sebagai justru menambah jumlah kalori yang masuk.

Pemanis buatan atau pengganti lemak tidak terbukti memiliki makna

besar dalam menurunkan berat badan.

Suplemen vitamin dan mineral yang disesuaikan usia sangat

dianjurkan untuk dikonsumsi dalam program penurunan berat badan.

Pada wanita dibutuhkan kurang dari 1200 kcal dan 1800 kcal pada pria.

2. Diet Formula atau Makanan Pengganti

Makanan pengganti ini merupakan makanan atau minuman siap

saji yang digunakan sebagai pengganti makanan lainnya yang berkalori

tinggi. Umumnya, terkandung di dalamnya 5 g serat, 10-14 g protein, dan

sejumlah karbohidrat, 10 g lemak dan 25% – 30% RDfu vitamin dan

mineral.

Dengan mengganti makanan utaman atau ringan 2 kali sehati

dapat membantu mengurangi berat badan atau menjaga berat badan

secara signifikan.

3. Pembatasan Energi Secara Berlebih dan Puasa

Yang dimaksud dengan pembatasan energi masukan secara

berlebih apabila jumlahnya kurang dari 800 kcal per hari atau puasa 

dibawah 200kcal per hari. Puasa memang bisa menjadi salah satu pilihan

terapi namun terkadang dapat menyebabkan gangguan neurologis,

hormonal, dan efek samping lainnya. Lebih dari 50% jumlah berat badan

51

Page 55: laporan pemicu 3

yang akan berkurang adalah cairan tubuh yang dapat menyebabkan

hipotensi. Dapat pula terjadi akumulasi asam urat atau memunculkan batu

empedu. Selain itu puasa ekstrim ini dapat berujung pada anoreksia.

4. Diet Kalori Sangat Rendah

Yang dimaksut diet kalori sangat rendah adalah apabila masukan kalori

hariannya berkisar antara 200-800 kcal. Umumnya diet ini rendah kalori

namun tinggi protein (0.8-1.5 g/kg IBW per hari). Diet ini termasuk

konsumsi vitamin, mineral, elektrolit, asam lemak. Lama yang dianjurkan

untuk diit ini adalah 12-16 minggu. Karena efek samping yang mungkin

ditimbulkan maka diet ini dianjurkan untuk pasien dengan BMI diatas 30.

Efek sampingnya antara lain, tidak tahan dingin, pusing, gugup, euforia,

konstipasi atau diare, kulit kering, rambut menipis dan kemerahan,

anemia, menstruasi yang reguler.

Penggunaan Obat Warung

Masyarakat Indonesia lazim mendengar dan mengenal istilah ‘obat

warung’, yaitu yang ditujukan pada obat-obatan yang dapat diperoleh

secara bebas di di pasaran, termasuk di warung-warung. Meskipun

berstatus obat yang dapat diperoleh dengan bebas tanpa resep dokter dan

digunakan ‘hanya’ untuk keluhan yang sifatnya ‘sepele’, ‘obat warung’

tetaplah suatu sediaan obat dengan karakteristik yang khas.

Sediaan obat (apapun bentuknya, termasuk obat tradisional), selain

mengandung efek terapi juga tidak akan pernah lepas dari yang

dinamakan efek samping. Efek samping obat adalah efek yang umum

ditemui pada penggunaan obat dalam rentang dosis terapinya.

Keberadaan, frekuensi,dan durasi munculnya efek samping bisa jadi

berbeda pada tiap individu, tergantung pada dosis obat, frekuensi

penggunaan, cara pakai, kondisi fisik pengguna, hingga genetis dari

52

Page 56: laporan pemicu 3

pasien. Efek samping yang muncul perlu dicermati gejala dan tandanya

agar kita sebagai pengguna bisa mencegah dan mengatasinya dengan

benar.

Perlu diketahui bahwa tidak semua analgesik memiliki kekuatan pereda nyeri yang paralel dengan dosis yang digunakan, artinya meskipun dikonsumsi 3,4,5 hingga 10 tablet sekaligus pun, kekuatan pereda nyerinya tidak akan berbeda dengan 1 atau 2 tablet. Ini sering disebut sebagai CEILING EFFECT. Bahkan yang didapatkan adalah efek sampingnya akan jauh lebih besar dibanding manfaatnya.

Pola kebiasaan ini paling tidak, salah satunya, akibat peran iklan obat analgesik yang demikian gencar di media massa, namun sayangnya tidak diimbangi dengan penjelasan serta pendidikan mengenai resiko yang dapat terjadi akibat penggunaan yang tidak terkontrol. Sebagian besar cuma mencantumkan “Bila sakit berlanjut, hubungi dokter”. Entah siapa yang seharusnya bertanggung jawab mengenai hal ini. Cukup banyaknya pasien-pasien yang dirawat di perawatan intensif akibat efek samping penggunaan analgesik yang tidak terkontrol tersebut.

Sebaiknya obat penghilang sakit (NSAID) digunakan hanya jika perlu

saja, karena obat-obat ini sifatnya adalah simtomatik atau menghilangkan

gejala. Jika penyebab sakitnya sendiri belum hilang maka nyeri masih

mungkin akan muncul kembali.

53

Page 57: laporan pemicu 3

BAB III

KESIMPULAN

Ny. Mira mengalami Osteoartritis dan diperlukan pemeriksaan penunjang

untuk menegakkan diagnosis.

54

Page 58: laporan pemicu 3

DAFTAR PUSTAKA

Ahem MJ, Reid C, Clardon TP. Does colchicines work? Results of the first

controlled study in gout. Australian and New Zealand Journal of Medicine

1987; 17:301‐304.

Anonim.Osteoarthritis.http://new.merapi.net/index.php?view=news/

116&id=116&PHPSESSID=4ca6439313b991ed97f43906b994. 17

november 2007

British Medical Association, Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.

British National Formulary 49. London, March 2005.

Duff G. Updated advice on the safety of selective Cox‐2 inhibitors. Letter to

health care professionals. Committee on Safety of Medicines; London:

February 2005.

Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive

Radiographic Pathology 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier;

2003.p.1134-5

Graham W, Robert JB. Intravenous colchicines in the management of gouty

arthritis. Annals of the Rheumatic Diseases 1983;12:16‐19.

Johnstone A. Gout – the disease and non‐drug treatment. Hospital Pharmacist

2005; 12:391‐394.

Joseph‐Ridge N. Phase II, dose response, safety and efficacy of a new oral

xanthine oxidase inhibitor (Febuxostat) in subjects with gout (abstract).

Arthritis Rheum 2002;46 (S9):289.

Kumar V., Cotran RS., Robbins SL. 2003. Robbins Basic Pathology (7th ed.).

Prasetyo A., U Brahm., Priiono T. 2007 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta

L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci, Stephen Hauser, Dan Longo, J.

Larry Jameson. 2004. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th

Edition. Mc Graw Hill Book Co Inc, New York.

Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS,

Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors.

55

Page 59: laporan pemicu 3

Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th ed. New York:

McGraw-Hill; 2005.p.1968-76

Morris I, Varughese G, Mattingly P. Colchicine in Acute Gout. BMJ

2003;327:1275‐1276.

Muchid, Abdul et. al. Pharmaceutical Care Untuk Pasien penyakit Artritis

Rematik. Departemen Kesehatan, Jakarta.

Peterson GM, Boyle RR, Francis HW. Dosage prescribing and plasma oxypurinol

levels in patients receiving allopurinol therapy. European Journal of Clinical

Pharmacology 1990; 39:419‐421.

Poor G, Mituszova M. History, Classification and epidemiology of crystal-related

artropathies. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME,

Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rd ed. Edinburg: Elsevier;

2003.p.1893-1901

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit (Pathophysiology. Clinical Concecpt of Disease Processes).

EGC, Jakarta.

Schlesinger N, Management of acute and chronic gouty arthritis – present state of

the art. Drugs 2004;64:2399‐2416.

Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ

Books; 2004.p.50-5

Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and

Stiskal S. Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-

the-Art Imaging, Image Interpretation, and Clinical

Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-398

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Ilmu

Penyakit Dalam Edisi 4. Balai Penerbit FK UI, Jakarta.

56