laporan pemicu 3
TRANSCRIPT
LAPORAN DISKUSI
PEMICU 3
MODUL MUSKULOSKELETAL
Disusun Oleh:
Kelompok Diskusi 3
Ibnu Rahman I11108065
Citra Kristi Melasari I11110029
Muhammad Hadi Arwani I11111002
Prisa Dwicahmi I11111010
Mitha Ismaulidia I11111015
Wendy Wongso I11111025
Mafisah I11111038
Riska Dwi Kusuma I11111043
Fitrianto Dwi Utomo I11111064
Jenny Ismyati I11111066
Alberikus Kwarta B I11111068
Tan Sri Ernawati I11111071
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
berkat, rahmat, dan hidayah-Nya lah, laporan diskusi modul Muskuloskeletal ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Pembuatan laporan ini berguna untuk memenuhi tugas terstruktur modul
Modul Muskuloskeletal dalam semester Ganjil pada program studi Pendidikan
Kedokteran Universitas Tanjungpura.
Pada proses penulisan laporan ini sampai dengan selesainya, penulis
banyak mendapatkan bantuan berupa dorongan dari semua pihak, maka pada
kesempatan ini tak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Delima Fajar Liana, selaku koordinator penanggung jawab modul.
2. Orang tua penulis yang selalu memberi semangat dan doa.
3. Teman-teman penulis yang telah memberi banyak saran dan dorongan
bagi penulis.
4. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Besar harapan kami agar laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembacanya. Namun demikian, seperti kata pepatah “ tak ada gading yang tak
retak ”, kami menyadari bahwa masih ada beberapa kekurangan dalam makalah
ini. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua. Amin.
Pontianak, 26 Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Cover.................................................................................................................. i
Kata Pengantar................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1. Pemicu............................................................................................. 1
1.2. Klarifikasi dan Definisi................................................................... 1
1.3. Kata Kunci...................................................................................... 1
1.4. Rumusan Masalah........................................................................... 2
1.5. Analisis Masalah............................................................................. 2
1.6. Hipotesis......................................................................................... 3
1.7. Pertanyaan Diskusi.......................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 4
2.1. Anatomi, Fisiologi dan Biokimia Sendi Sinovial........................... 4
2.2. Osteoarthritis................................................................................... 15
2.3. Rhematoid Arthritis........................................................................ 25
2.4. Gout................................................................................................. 37
2.5. Studi Kasus..................................................................................... 48
BAB III KESIMPULAN.................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 54
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pemicu
Ny. Mira berusia 60 tahun, datang ke puskesmas dengan berjalan
terpincang-pincang dan wajah menahan nyeri. “Dokter, lutut kanan saya
nyeri sekali sejak 2 minggu ini”, kata Ny.Mira. Sebenarnya keluhan nyeri
lutut itu sudah mulai dirasakan hilang timbul sejak 2 tahun ini, dan
memberat apabila Ny.Mira naik turun tangga atau berjalan jauh. Selama
ini Ny.Mira membeli obat di warung yang hanya dapat sedikit
mengurangi nyeri. Dari pemeriksaan fisik didapatkan BB 70 kg dan TB
155 cm. Pemeriksaan pada lutut kanan menunjukkan adanya krepitasi,
nyeri tekan, dan tanda efusi sendi. Riwayat trauma dan jatuh disangkal.
1.2. Klarifikasi dan Definisi
a. Krepitasi adalah dura kretak-kretak pada gerak pasif yang biasanya
menunjukkan kerusakan sendi lanjut.
b. Efusi adalah keluarnya cairan menuju suatu bagian/jaringan, sebagai
eksudasi/transudasi.
1.3. Kata Kunci
a. Nyeri lutut kanan.
b. Perempuan 60 tahun.
c. Berjalan pincang-pincang.
d. Nyeri hilang timbul sejak 2 tahun.
e. Lutut kanan krepitasi.
f. Nyeri tekan.
g. Tanda efusi sendi.
h. BB = 70 kg, TB = 155 cm, BMI = 29,14
i. Riwayat trauma dan jatuh (-)
1
j. Pemakaian obat warung.
1.4. Rumusan Masalah
Apa diagnosis pada kasus Ny. Mira?
1.5. Analisis Masalah
Ny. Mira, 60 tahun
Datang ke puskesmas dengan pincang sambil menahan rasa nyeri pada lutut kanannya
Anamnesis
Nyeri sejak 2 minggu ini
Nyeri hilang timbul sejak 2 tahun
Memberat bila naik tangga atau
berjalan jauh
Membeli obat diwarung sedikit
mengurangi rasa nyeri
Trauma dan jatuh disangkal
Pemeriksaan Fisik
BB=70 kg, TB=155 cm,
BMI=29,4 (obese)
Pada lutut kanan:
a. Nyeri tekan
b. Krepitasi
c. Tanda efusi sendi
DD= Osteoartritis -Definisi
Rematoid Artritis -Patofisiologi
Gout Artritis -Gejala Klinis
Laboratorium -Etiologi
Pemeriksaan Penunjang -Epidemiologi
Radiologi -Faktor resiko
Gold Diagnosis -Anamnesis
-Pemeriksaan Fisik
Tatalaksana -Pemeriksaan Penunjang
-Tatalaksana
Prognosis -Diagnosis
2
1.6. Hipotesis
Ny. Mira 60 tahun mengalami osteoarthritis dengan diagnosis banding
Rhematoid Arthritis dan Gout.
1.7. Pertanyaan Diskusi
a. Anatomi, Fisiologi dan Biokimia Sendi Sinovial
b. Osteoartritis
1) Definisi
2) Patofisiologi
3) Gejala Klinis
4) Etiologi
5) Epidemiologi
6) Faktor Resiko
7) Patogenesis
8) Pemeriksaan Penunjang
9) Tatalaksana
10) Diagnosis
c. Rhematoid Arthritis
1) Definisi
2) Patofisiologi
3) Gejala Klinis
4) Etiologi
5) Epidemiologi
6) Faktor Resiko
7) Patogenesis
8) Pemeriksaan Penunjang
9) Tatalaksana
10) Diagnosis
d. Gout
1) Definisi
2) Patofisiologi
3
3) Gejala Klinis
4) Etiologi
5) Epidemiologi
6) Faktor Resiko
7) Patogenesis
8) Pemeriksaan Penunjang
9) Tatalaksana
10) Diagnosis
e. Studi Kasus
1) Pemeriksaan Penunjang Kasus Ny. Mira
2) Terapi Diet
3) Penggunaan Obat warung, sudahkah tepat?
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sendi
2.1.1. Anatomi
Anatomi Sendi Lutut
Sendi terdiri dari 3 kompartemen berbeda yang sedikit terpisah ssl.
Di depan, kompartemen PF, patella berartikulasi dengan sulkus femoral
hingga sekitar 90D, setelah itu faset lateral dan medial berartikulasi
secara terpisah dengan masing-masing kondilus femurnya. Dalam fleksi
yang ekstrem, kontak PF passes dari fasies medial onto odd facet.
Patella memiliki 7 fasies. Kedua fasies medial dan fasies lateral
terbagi secara vertikal menjadi tiga bagian yang sama, sementara fasies
ke tujuh atau odd facet berada di sepanjang paling tepi medial. Fasies
medial lebih kecil dan sedikit cembung, dan fasies lateral yang
merupakan 2/3 bagian adalah konveks secara sagital dan konkav secara
koroner. Patella tidak secara sempurna fit/pas dengan permukaan
femurnya. Sulkus femoral terdiri dari medial dan lateral lip, yang mana
lateral lebih lebar dan lebih tinggi dan keduanya memiliki konveks
sagital. Sulkus femoral terpisah dari kedua kondilus oleh satu ridge yang
tak jelas dan lebih menonjol jelas di lateral. Contact patch antara femur
dan patella bervariasi sesuai posisi saat patella bergeser di permukaan
femur. Daerah kontak tidak pernah melebihi 1/3 total permukaan patella,
di mana kontak terbesar terjadi saat 45 D saat mana menunjukkan patch
berupa ellipse meliputi central medial dan lateral facet. Saat ekstensi
penuh, fasies medial bagian bawah dan fasies lateral terletak pada sulkus
femoral bagian atas. Saat 90D, daerah kontak bergeser ke fasies lateral
dan medial bagian atas dan bila fleksi berlanjut daerah kontak terpisah
menjadi daerah lateral dan medial.
Kedua kondilus femur asimetris berdasarkan bentuk dan
dimensinya, dengan kondilus medial yang lebih besar memiliki kurvatura
5
yang lebih simetris. Kondilus lateral dilihat dari samping memiliki
kurvatura yang menajam ke posterior. Kondilus femur dilihat dari
permukaan artikulasinya dengan tibia menunjukkan bahwa kondilus
lateral sedikit lebih pendek dari medial. Axis panjang dari kondilus lateral
sedikit lebih panjang dari kondilus medial dan terletak dalam bidang yang
lebih sagital, sementara kondilus medial berada rata-rata pada posisi
menyudut sekitar 22D dan terbuka ke posterior. Lebar kondilus lateral
sedikit lebih besar pada pusat intercondyler notch.
Permukaan femoral dan tibial tidaklah conform benar. Plateau tibia
medial yang lebih besar adalah mendekati datar, sedangkan plateau lateral
konkav. Keduanya berinklinasi posterior mendekati 10D terhadap shaft
tibia.
Porsi tengah tibia antara kedua plateau dipenuhi oleh sebuah elevasi
yang disebut spina tibia. Di depannya terdapat satu cekungan yang
disebut fosa interkondiloid anterior, yang mana dari anterior ke posterior
melekat tanduk anterior meniscus medial, ACL, dan tanduk anterior
meniscus lateral. Di belakang daerah ini terdapat dua buah elevasi, yaitu
tuberkulum medial dan lateral. Keduanya dipisahkan oleh sulkus
intertuberkel. Kedua ligamen dan meniscus tidak melekat pada tuberkel,
yang mana tuberkel menonjol ke dalam sela interkondiler sehingga
berperan sebagai side-to-side stabilizer. Bersama-sama, kedua meniscus
& spina tibia meningkatkan impression cupping. Dalam fosa interkondiler
posterior di belakang kedua tuberkel melekat pertama meniscus medial
kemudian meniscus lateral dan di belakang mereka di tepi posterior
antara kedua kondilus tibia, melekat PCL.
Meniskus merupakan lamela kresentik yang berfungsi
memperdalam permukaan fosa artikularis kaput tibia untuk menerima
kedua kondilus femur. Setiap meniscus menutupi sedikitnya 2/3 bagian
perifer masing-masing permukaan artikuler tibia. Batas perifer masing-
masing meniscus tebal, konveks, dan melekat dengan kapsul sendi,
sedangkan sisi dalamya tipis, bebas tidak melekat. Permukaan proximal
6
meniscus adalah konkav dan kontak dengan kondilus femur, sedang
permukaan distal flat dan terletak pada kaput tibia.
Bentuk meniskus medial mendekati semicircular dengan panjang
sekitar 3.5cm. Potongan melintang berbentuk triangular dengan bagian
posterior yang lebih lebar dari anterior. Ia melekat erat pada fosa
interkondiler posterior tibia (gb.1.2). Perlekatan anteriornya lebih
bervariasi; biasanya melekat secara firmly pada fosa interkondiler
anterior, namun perlekatan ini dapat berupa flimsy masih dalam batas-
batas normal. Terdapat juga satu fibrous band dengan ketebalan
bervariasi yang menghubungkan kedua tanduk anterior lateral dan medial
meniscus (ligamen transversum). Di perifer, medial meniscus melekat
pada kapsul sendi baik tibia maupun femur. Perlekatannya ke tibia
disebut coronary ligament. Pada titik tengah, ia melekat lebih kuat ke
femur dan tiba melalui satu kondensasinya dalam kapsul sendi yang
dikenal dengan ligamen medial profundus dari MCL.
Coronary ligament melekat ke tepi tibia beberapa milimeter di distal
dari permukaan sendi, yang memberi satu synovial recess. Ke
posteromedial, meniscus menerima satu bagian insersi semimembranosus
melalui kapsul sendi.
Bentuk meniscus lateral adalah mendekati sirkuler dan menutup
bagian yang lebih besar permukaan sendi dibanding meniscus medial.
Tanduk anteriornya melekat pada interkondiler fosa, di sisi lateral dan
posterior ACL. Tanduk posterior melekat pada fosa interkondiler di sisi
anterior terhadap ujung posterior meniscus medial. Perlekatan posterior
terdiri dari fibrous band yang menghubungkan lengkungan posterior
meniscus lateral ke kondilus medial femur dalam fosa interkondiler,
embracing PCL. Ini dikenal sebagai ligamen dari Humphry & Wrisberg
(gb.1.3). Ke posterolateral, meniscus lateral di grooved oleh tendon
popliteus, di mana beberapa seratnya bersinsersi ke tepi perifer dan
superior meniscus lateral.
7
Ligamen patela merupakan bagian sentral dari tendo komunis
quadriceps femoris. Ia merupakan ligamentous band yang kuat, flat,
dengan panjang sekitar 6cm melekat ke proximal pada apex patela dan
pada caking kasar di permukaan posterior patela, dan di distal melekat
pada tuberositas tibia; serat-serat superficial berlanjut di depan patella
dengan tendo quadriceps femoris. Bagian medial dan lateral tendon
quadriceps lewat ke bawah pada kedua sisi patela kemudian berinsersi
pada kedua sisi tuberositas tibia. Porsi ini menyatu dengan kapsul sendi
membentuk retinakulum patela medial dan lateral. Permukaan posterior
ligament patela terpisahkan dari membran sinovial oleh satu pad of fat
infrapatela yang besar, dan terpisah dari tibia oleh satu bursa.
LIGAMEN LUTUT
Kapsul artikularis merupakan satu membran fibrus dengan
ketebalan bervariasi mengandung daerah-daerah menebal yang dapat
disebut sebagai satu ligamen. Di depan, kapsul digantikan oleh ligamen
patela. Di posterior, kapsul terdiri dari serat-serat vertikal yang berawal
dari kedua kondilus dan dari sisi-sisi fosa interkondiler femur. Ini
diaugmentasikan oleh serat-serat yang berasal dari tendon
semimembranosus, membentuk ligamen popliteal oblikuus, satu band
yang lebar, flat melekat di proximal pada tepi fosa interkondiler dan
permukaan posterior femur dekat dengan tepi-tepi artikuler kondilus
femur, dan di distal melekat pada tepi posterior kaput tibia. Serat-serat ini
berjalan utamanya ke arah bawah dan medial, dan fasikulanya dipisahkan
oleh apertura untuk lewatnya pembuluh darah dan syaraf. Ligamen
popliteal oblikuus membentuk sebagian dasar fosa poplitea dan arteri
poplitea terletak di atasnya.
Di sisi medial lutut, struktur penunjang terdiri dari 3 lapis (gb.1.4).
Lapis 1 adalah yang paling superficial tepat di bawah kulit. Lapis ini
merupakan fasia profundus, dan bidangnya ditentukan oleh fasia yang
menerima m. sartorius. Sartorius berinsersi pada jaringan serat-serat fasia
8
ini dan tidak memiliki satu tendon insersi tertentu sebagaimana m.
gracilis dan semitendinosus di bawahnya. Menuju lebih ke posterior, lapis
1 merupakan lembaran (sheet) di mana kedua kaput gastroknemius dan
semua struktur fosa poplitea terletak. Lapis ini berfungsi sebagai
penyokong bagi otot dan struktur neurovascular dalam daerah poplitea.
Lapis 1 selalu dapat dipisahkan dari bagian-bagian paralel dan oblik
ligamen medial superficial di bawahnya, dan bila satu incisi vertikal
dibuat di posterior serat paralel dari ligamen, maka bagian anterior lapis 1
dapat di refleksikan ke depan sehingga menampakkan keseluruhan
ligamen medial superficial. Lebih ke depan lagi, lapis 1 menyatu dengan
bagian anterior lapis 2 dan retinakulum patela medial yang berasal dari
vastus medialis. Di belakang terdapat satu lapis jaringan lemak yang
terletak antara lapis 1 dan struktur-struktur lebih dalam. Tendon gracilis
dan semitendinosus terletak di daerah ini. Ke anterior dan distal, lapis 1
menyatu dengan periosteum tibia.
Lapis 2 merupakan bidang (plane) dari ligamen superficial medial
(gb.1.5). Ligamen medial superficial terdiri dari bagian paralel dan oblik.
Serat-serat anterior atau paralel dimulai dari epikondilus medial femur
dan terdiri dari serat-serat besar dan berorientasi vertikal berlanjut ke
distal ke satu insersi pada permukaan medial tibia sekitar 4.6 cm inferior
permukaan artikular tibia tepat di posterior insersi pes anserinus. Serat-
serat oblik posterior berasal dari epikondilus femur dan menyatu dengan
lapis 3 di bawahnya (kapsul), dan melekat tepat di inferior permukaan
artikuler posterior tibia dan meniscus medial. Serat ini diperkuat oleh
kontribusi dari selubung tendon semimembranosus.
Ke anterior, lapis 2 terbelah secara vertikal. Bagian depan belahan
berlanjut ke arah cranial menuju vastus medialis dan menyatu dengan
bidang lapis 1 membentuk serat-serat retinakulum parapatela. Bagian
posterior belahan, berlanjut ke cranial menuju kondilus femur dari mana
serat-serat transvers berjalan ke arah depan dalam bidang lapis 2 menuju
patela membentuk ligamen patelofemoral. Karena ligamen patelofemoral
9
merupakan kelanjutan dari lapis2, maka letaknya lebih dalam dari bidang
lapis 1.
Lapis 3 merupakan kapsul sendi (gb. 1.6) dapat dipisahkan dari
lapis 2 kecuali pada tepi patela; ke depan, kapsul sangatlah tipis. Di balik
ligamen medial superficial, lapis 3 menjadi lebih tebal dan membentuk
satu band serat pendek berorientasi ke vertikal yang dikenal dengan nama
ligamen medial profundus. Ligamen profundus meluas dari femur menuju
bagian tengah dari tepi perifer meniscus dan tibia. Di anterior, ligamen
profundus jelas dapat dipisahkan dari ligamen superficial dengan adanya
bursa yang interposes, namun di posterior, lapisan ini menyatu ketika
bagian meniscal-femoral ligamen profundus cenderung menyatu dengan
ligamen superficial di atasnya dekat dengan perlekatan kranialnya.
Bagian menisco-tibial nya memang terpisah dari ligamen superficial.
Lebih ke posterior, lapis 3 menyatu dengan lapis 2 membentuk conjoin
kapsul posteromedial yang menyelimuti kondilus medial femur.
Jadi, ketiga lapisan paling mudah dapat dipisah-pisahkan dalam
daerah ligamen medial superficial. Ke posterior, lapis dalam dan tengah
menyatu dan lapis luar menjadi fasia profunda. Ke depan, lapis luar dan
tengah menyatu dengan retinakulum diatasnya yang merupakan ekspansi
quadriceps. Lapis dalam meskipun tetap terpisah, menjadi sangat tipis.
Lapis tengah membelah anterior ligamen medial superficial, hingga
bagian cranial tetap sebagai satu lapis terpisah membentuk ligamen
patelofemoral.
Struktur penyokong di sisi lateral dapat juga dijelaskan sebagai
terdiri dari tiga lapis. Yang paling superficial adalah retinakulum lateral,
lapis tengah membentuk LCL, ligamen fabelofibular dan ligamen
arkuatum, dan lapis dalam adalah kapsul lateral.
Retinakulum lateral (gb.1.7). Dimulai pada tepi lateral patela,
perluasan fibrous dari vastus lateralis adalah berorientasi longitudinal
sepanjang tepi lateral patela berjalan ke distal untuk menjadi bagian tendo
10
patela. Yang berinterdigitasi dengan serat-serat ini adalah retinakulum
oblikuus superficial yang berorigo pada iliotibial band. Sebagian terbesar
dari serat-serat ini menyatu dengan bagian anterior tendo patela. Di
posterior terletak fasia lata dan iliotibial band, berlanjut ke distal
sepanjang sisi lateral lutut dan berinsersi pada tuberkel dari Gerdy di
tibia. Beberapa dari serat tersebut melewati tuberkel Gerdy menuju
tuberositas tibia. Ke proximal, fascia lata menempel ke septum
intramuscular lateral, di mana ia melekat pada femur. Di posterior, fascia
lata menyatu dengan fascia biceps. Terdapat satu bagian lebih dalam yang
terpisah dari lapis ini berjalan lebih atau kurang transversal dari fascia
lata ke lateral patela dan jke arah caudal bargeman lebih oblik untuk
menghubungkan patela dengan tibia bagian atas. Di cranial, satu band
serat-serat ditemukan berjalan dari septum intramuscular lateral dan
epikondilus lateral ke lateral patela (ligamen epikondilopatela).
LCL berorigo pada epikondilus lateral femur anterior dari origo
gastroknemius, membentuk struktur cordlike yang berjalan di balik
retinakulum lateral untuk berinseri pada kaput fibula, menyatu dengan
tendo insersi biceps femoris. Ligamen fabelofibular adalah satu
kondensasi dari serat-serat yang berjalan antara ligamen arkuatum dan
ligamen lateral, yang berjalan dari kaput lateral gastrocnomius ke styloid
fibula. Pada kebanyakan lutut dapat ditemukan adanya ligamen
fabelofibular dan arkuatum, namun pada kasus dengan fabela besar,
mungkin tidak terdapat ligamen arkuatum, dan bila fabela tidak ada juga
tidak ditemukan ligamen fabellofibula.
Knee Motion dan Fungsi Ligamen Pendukung
Kontrol dikerjakan oleh: (1) bony architecture, dan (2) ligamentous
attachments.
Pada saat sendi ekstensi maximal, ligamen krusiatum dan kolateral
keduanya tegang dan sisi depan kedua meniscus terjepit ketat di antara
kondilus tibia dan femur. Saat fleksi dimulai, proses unlock terjadi, di
11
mana tibia berrotasi-medial terhadap femur akibat kontraksi m. popliteus.
Permukaan artikuler kondilus medial femur lebih besar dari pada lateral;
saat arah gerakan sebaliknya, pertama, kompartemen lateral mencapai
satu posisi dari ekstensi penuh sesaat sebelum kompartemen medial
ekstensi penuh. Ekstensi terminal tercapai dan lutut di lock oleh gerakan
rotasi eksternal tibia hingga kompartemen medial mencapai batas akhir
ekstensinya.
Ketika lutut difleksikan, saat 30D pertama, femur mengalami
rollback terhadap tibia yang lebih banyak terjadi di sisi lateral dari pada
medial. Setelah 30D kondilus femur memutar pada satu titik di kondilus
tibia. Meniscus juga mengikuti gerakan ke belakang sebagaimana femur
(lateral lebih banyak dari pada medial).
Tibia berrotasi terhadap femur lebih banyak ke arah lateral dari pada
medial, dan sebagai pusat rotasi adalah melalui kondilus medial femur.
Beberapa bagian dari ligament medial superficial tegang selama fleksi,
sedangkan ligament kolateral lateral tegang hanya saat ekstensi dan
relaksasi segera setelah fleksi, sehingga memungkinkan ekskursi kondilus
tibia lateral menjadi lebih besar.
Ligamen kolateral medial superficial merupakan penyetabil
terpenting sisi medial. Serat paralelnya bergerak ke arah posterior saat
lutut difleksikan. Perlekatannya pada kondilus femur sedemikian rupa
sehingga saat ekstensi serat posterior tegang dan serat anterior relaks dan
bergeser ke bagian dalam di balik bagian posterior ligamen. Saat fleksi,
serat anterior bergerak ke arah proximal dan menegang dan siap
mengalami peningkatan ketegangan saat lutut fleksi. Aksi ini
dimungkinkan akibat bentuk oval dari origo femoral yang mengalami
perubahan orientasi saat fleksi di mana bagian perlekatan serat paling
anterior dielevasikan. Saat sisi anterior menjadi tegang, serat posterior
slack (ketika fleksi) dan tetap relaks sepanjang fleksi. Serat oblik
posterior relaks saat ekstensi dan letaknya sedikit di balik serat paralel.
Saat fleksi serat ini bergerak ke luar, ini karena perlekatannya pada
12
kapsul sendi dan bagian perifer meniscus medial, mereka me check
sliding meniscus ke belakang yang terjadi saat fleksi.
Pada keadaan serat paralel MCL intak, maka hanya menimbulkan
terbukanya sendi sekitar 1mm waktu stress valgus. Lutut sedikit lebih
tight saat ekstensi penuh; medial opening terbesar dicapai saat fleksi 45D.
Serat panjang ligament medial superfisial juga mengontrol rotasi
(pemotongan kapsul, medial ligamen profundus, dan serat oblik ligamen
superfisial hanya menimbulkan sedikit atau tidak sama sekali
penambahan rotasi). Pemotongan serat panjang, tidak hanya
meningkatkan besarnya medial opening saat stress valgus, juga
meningkatkan rotasi eksternal yang bermakna.
Saat ekstensi, serat iliotibial band merupakan bagian terpenting
dalam stabilitas lateral, karena serat ini melekat ke proximal pada femur
(serat ini lebih merupakan true ligament karena kontraksi TFL dan
gluteus maximus tidak sampai ditransmisikan ke tibia). Ketika lutut
difleksikan, iliotibial tract bergerak ke posterior dan sedikit relaks; pada
posisi ini, tendon biceps femoris menjadi penyetabil penting.
Ligamen lateral juga tegang saat ekstensi, namun relaks sepanjang
fleksi. Demikian juga ligament arkuatum. Sehingga saat fleksi lebih
banyak rotasi dimungkinkan di sisi lateral dibanding medial. Rotasi ini
dimungkinkan oleh perlekatan meniscus lateral dan keadaan relaksasi
ligamen penunjang saat fleksi. Demikian pula terjadinya rolling femur
pada tibia yang lebih besar di sisi lateral, pada mana tidak demikian
halnya terjadi di sisi medial. Perlekatan tendo popliteus pada meniscus
lateral akan menarik meniscus ke posterior dan mencegahnya entrapped
saat lutut difleksikan.
ACL terdiri dari dua bagian yaitu anteromedial band dan bagian
posterolateral yang lebih kuat dan tebal. Saat ekstensi, ligamen terlihat
sebagai flat band dengan bagian posterolateral yang tegang. Hampir
segera setelah fleksi dimulai, anteromedial band yang lebih kecil menjadi
13
tight dan bagian besar ligamen relaks. Dalam fleksi, anteromedial band
lah sebagai primary restraint melawan anterior displacement tibia.
PCL terdiri dari dua bagian tak terpisahkan. Bagian anterior
membentuk bagian terbesar dan bagian posterior yang lebih kecil barjalan
oblik ke posterior tibia. Saat ekstensi bagian yang lebih besar relaks dan
hanya bagian posterior yang tight. Dalam fleksi, bagian terbesar ligamen
tight dan bagian kecil loose.
ACL merupakan satu check ligament melawan hiperekstensi dan
rotasi eksternal. Sedangkan PCL merupakan satu check ligament
melawan instabilitas posterior saat lutut fleksi, namun tidak untuk
hiperekstensi (pada keadaan ACL intak).
Tight nya ACL saat ekstensi memfiksasi kondilus lateral femur di
anterior; sehingga gerakan berlanjut menjadi hiperekstensi hanya
dimungkinkan terjadi bila secara simultan juga terjadi gerakan rotasi
internal femur, yaitu suatu gerakan supinasi sendi. Ini disebut sebagai
compulsory final rotation yang disebabkan oleh menegangnya anterior
band.
Rotasi sendi mengambil tempat pada satu aksis yang melalui pusat
kondilus femur medial, dimulai dari tighter anchorage (pemegang kuat)
kondilus ini yaitu oleh ligamen medial superficial. Bila ligamen ini
ruptur, maka aksis bergeser ke lateral.
Oleh karena pergeseran aksis rotasi yang ke medial, rotasi eksterna
tibia akan merelaksasi ACL melalui gerakan kondilus femur lateral ke
depan, dan saat yang sama meregangkan PCL. Gerakan rotasi interna
menimbulkan kebalikannya, yaitu menegangkan ACL dan
merelaksasikan PCL.
Satu fibrous band menghubungkan PCL dengan tepi posterior
meniscus lateral (ligamen tibiomeniskal dari Kaplan). Band ini berfungsi
menahan gerakan sliding ke depan meniscus lateral saat rotasi interna.
14
Rotasi tibia terhadap femur terjadi di sepanjang ROM. ACL
merupakan check ligament melawan rotasi eksterna saat fleksi namun
tidak secara bermakna membatasi rotasi interna. Dalam ekstensi, ACL
merupakan check ligament melawan rotasi eksterna dan sedikit melawan
rotasi interna. Sehingga fungsi yang jelas dari ligamen krusiatum dalam
gerakan rotasi tidak diketahui.
2.1.2. Biokimia
Keunikan dari tulang rawan sendi terletak pada komposisi dan
struktur matriks ekstraselular yang terutama mengandung agregat
proteoglikan dalam konsentrasi tinggi dalam sebuah ikatan kolagen dan
sejumlah besar air. Pelumasan oleh cairan sendi memungkinkan
berkurangnya gesekan antara permukaan tulang rawan sendi artikuler
pada pergerakan.
Kondrosit
Tulang rawan sendi hanya mempunyai satu sel spesialis yang
berperan dalam sintesis dan pemeliharaan matriks ekstraseluler yang
dikenal sebagai kondrosit. Lebih dari 70 % komponen tulang rawan sendi
artikuler adalah air, sedangkan 90% dari bagian tulang rawan kering
mengandung 2 komponen utama yaitu kolagen tipe II dan proteoglikan
berukuran besar yaitu agregan. Pada manusia dewasa normal, kondrosit
menempati kurang dari 2% volume total dari tulang rawan sendi.
Kolagen
Matriks ekstraseluler terutama mengandung kolagen (sebagian
Kolagen tipe II dan sejumlah kecil kolagen tipe lain seperti kolagen tipe
IX dan XI) dan proteoglikan ( terutama agrekan, yang berukuran besar
dan beragregrasi dengan asam hialuronat).
Kolagen tipe II, IX dan Xi dari tulang rawan sendi membentuk
anyaman fibriler yang merupakan struktur penyangga dari matriks dalam
15
bentuk serabut inhomogen dan anistropik yang dikelilingi oleh larutan
yang kaya akan proteoglikan yaitu agrekan.
Sintesis kolagen tipe II berjalan seiring dengan sintesis glikoprotein
lainnya yang disekresi oleh kondrosit. Beberapa saat setelah sekresi,
segera setelah molekul mencapai ruang ekstraseluler maka domain non-
helikal pada kedua ujung heliks amino-terminal tipe II dan karboksi-
terminal tipe II prokolagen-propeptide = (PIINP dan PIICP) akan
terpotong dari domain helical. Jadi PIINP dan PIICP dapat digunakan
sebagai marker dari sintesis kolagen.
Kolagen tipe II di degradasikan oleh enzim proteolitik yang
disekresi oleh kondrosit dan sinoviosit, antara lain matriks
metalloproteinase (MMP) seperti kolagenase (MMP1, MMP8, MMP13),
membrane tipe MMP ( MT-MMPs), gelatinase dan stromelisin ( terutama
stromelisin-1=SLN-1 yang disebut pula sebagai MMP-3. Selain matriks
metalloproteinase (MMP) terdapat pula kelompok proteinase yang lain
yang dipercaya berperan pula dalam degradasi matriks ekstraseluler yaitu
ADAMTS( a disintegrin metalloprotease with trhombospondin motifs).
Proteoglikan
Proteoglikan merupakan suatu makromolekul komlpeks yang
memiliki protein inti, tempat melekat rantai glikosaminoglikan.
Glikosaminoglikan dari tulang rawan sendi artikuler terutama kondroitin
sulfat dan keratin sulfat. Agrekan merupakan proteoglikan yang
mempunyai komposisi berupa protein inti ( core protein) dan rantai
glikosaminoglikan (GAG) yang melekat secara kovalen pada protein inti.
2.2. Osteoarthritis
2.2.1. Definisi
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang
berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan
pergelangn kaki paling sering terkena OA. Prevalensi OA lutut radiologis
di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada pria, dan 12,7%
16
pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan
aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena (Soeroso
dalam Sudoyo, 2006)
Osteoarthritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak.
Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang,
dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya
pembentukan tulang baru pada permukaan persendian (Price, 2006).
2.2.2. Etiologi
Tidak ada bakteri atau virus yang menyebabkan osteoarthritis.
Adapun penyebab dari osteoarthritis adalah (Anonim, 2007):
a. adanya peradangan kronis pada persendian
ditandai dengan pembengkakan pada jari-jari tangan, siku, dan lutut.
Biasanya daereah yang mengalami pembengkakan, berwarna
kemerah-merahan
b. pernah mengalami trauma dan radang pada sendi
c. karena faktor usia
kebanyakan orang yang terkena osteoarthritis adalah orang dengan
usia diatas 50 tahun.
d. keturunan
ada beberapa orang yang mengalami osteoarthritis karena faktor
keturunan berat badan yang berlebihan
e. berat badan yang berlebihan, dapat memberatkan sendi dalam
menopang tubuh.
f. stres pada sendi
biasanya stres pada sendi ini terjadi pada olahragawan.
g. neurophaty perifer
2.2.3. Epidemiologi
Osteoarthritis (OA) bervariasi pada masing-masing negara, tetapi
data pada berbagai negara menunjukkan bahwa arthritis primer adalah
17
yang paling banyak ditemui, terutama pada kelompok usia dewasa dan
usia lanjut. Prevalensinya meningkat sesuai pertambahan usia. Data
radiografi menunjukkan bahwa OA terjadi pada sebagian besar usia lebih
dari 65 tahun, dan pada hampir setiap orang pada usia 75 tahun. OA
ditandai dengan nyeri dan kaku pada sendi, serta adanya hendaya
keterbatasan gerakan (Muchid, 2006)
Berdasarkan data prevalensi dari National Centers for Health
Statistics, diperkirakan 15.8 juta (12%) orang dewasa antara 25-74 tahun
mempunyai keluhan sesuai OA. Prevalensi dan tingkat keparahan OA
berbeda-beda antara rentang usia dewasa dan usia lanjut. Sebagai
gambaran, 20% pasien dibawah 45 tahun mengalami OA tangan dan
hanya 8,5% terjadi pada usia 75-79 tahun (Muchid, 2006).
2.2.4. Faktor Resiko
Umur, dari semua faktor resiko timbulnya OA, faktor ketuaan
adalah faktor yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin
meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tak pernah ada pada
anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur
diatas 60 tahun. (Soeroso dalam Sudoyo, 2006)
Jenis Kelamin, wanita lebih sering terkena OA. Di bawah 45
tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di
atas 50 tahun (setelah menoupause) frekuensi OA lebih banyak pada
wanita daripada pria. (Soeroso dalam Sudoyo, 2006)
Suku Bangsa dan Genetik, misalnya OA paha lebih jarang di
antara orang-orang kulit hitam dan asia daripada kaukasia. Pada ibu yang
menderita OA anak-anak peremuannya 3 kali lebih sering menderita OA.
(Soeroso dalam Sudoyo, 2006)
Kegemukan dan Penyakit metabolik, berat badan yang berlebih
nyata berkaitan untuk timbunya OA. Peran faktor metabolik dan
hormonal pada kaitan OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya
18
ikatan antara OA dengan penyakit jantung koroner diabetes mellitus dan
hipertnsi. (Soeroso dalam Sudoyo, 2006)
Pekerjaan, Cedera sendi dan Olah Raga, aktivitas seperti pada
seperti yang dilakukan oleh operator mesin, pembor, pemintal kapas,
penambang batu bara dan lain-lain dibuktikan menimbulkan OA pada
sendi yang sering digunakan untuk bekerja. Demikian juga cedera sendi
dan olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan
risiko OA yang lebih tinggi. (Harrison, 2005)
Kelainan Pertumbuhan dan Faktor Lain, kelainan pertumbuhan
misalnya penyakit perthes dan dislokasi congenital paha telah dikaitkan
dengan timbulnya OA paha pada usia muda. Tingginya kepdatan tulang
dikatakan dapat meningkatakan resiko timbulnya OA. Hal ini mungkin
timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi
benturan beban yang diterima oleh tulang rawan seni. (Soeroso dalam
Sudoyo, 2006)
2.2.5. Gejala Klinis
Gambaran klinis osteoarthritis umumnya berupa nyeri sendi,
terutama apabila sendi bergerak atau banyak menanggung beban. Nyeri
tumpul ini berkurang bila pasien beristirahat, dan bertambah bila sendi
digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Kekakuan pada pagi hari, jika
terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila
dibandingkan dengan kekakuan sendi dipagi hari yang disebabkan oleh
rheumatoid arthritis yang terjadi lebih lama. Gambaran lainnya adalah
keterbatasan dalam gerakan (terutama tidak dapat berekstensi penuh),
nyeri tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar sendi, dan krepitasi (Price,
2006).
Menurut Robbins, gejala osteoarthritis muncul sangat perlahan
dan biasanya mengenai hanya satu atau beberapa sendi. Sendi yang sering
terkena adalah panggul, lutut, vertebra lumbal bawah dan servikalis, sendi
antar falang distal jari tangan, sendi karpometakarpal pertama, dan sendi
19
tarsometatarsal pertama. Komplikasi yang umum adalah kaku sendi dan
nyeri tumpul yang dalam, terutama pada pagi hari. Pemakaian
sendiberulang-ulang cenderung menambah nyeri. Nodus Heberden,
osteofit kecil di sendi interfalang distal, paling ditemukan pada
perempuan dengan osteoarthritis primer. Seiring dengan waktu, dapat
terjadi deformitas sendi yang signifikan.
Beberapa mekanisme terjadinya nyeri pada osteoartritis (kasper,
et. al. 2004).
Sumber Mekanisme
Sinovium Peradangan
Tulang subkondral Hipertensi medularis, mikrofraktur
Osteofit Peregangan ujung saraf periosteum
Ligamentum Peregangan
Kapsul Peradangan, distensi
Otot Kejang
2.2.6. Patogenesis
Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di
dalam tubuh manusia. Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang
yang memungkinkan terjadinya gesekan. Untuk melindungi tulang dari
gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun karena berbagai faktor
risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan berkurangnya
cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk meredam getar
antar tulang. Tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang
berfungsi untuk menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan
tersebut elastis dan air (70% bagian) yang menjadi bantalan, pelumas dan
pemberi nutrisi.
Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk proteoglikan dan
kolagen pada rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal
mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan
antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler, termasuk produksi
20
kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan dan sintesis proteoglikan
yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada diameter
dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang
rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya
yang unik.
Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA,
terutama setelah terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan
tidak nyaman. Sinoviosit yang mengalami peradangan akan menghasilkan
Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan berbagai sitokin yang akan
dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriks rawan sendi serta
mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan ikut
berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan enzim
proteolitik.
Agrekanase merupakan enzim yang akan memecah proteoglikan
di dalam matriks rawan sendi yang disebut agrekan. Ada dua tipe
agrekanase yaitu agrekanase 1 (ADAMTs-4) dan agrekanase 2
(ADAMTs-11). MMPs diproduksi oleh kondrosit, kemudian diaktifkan
melalui kaskade yang melibatkan proteinase serin (aktivator plasminogen,
plamsinogen, plasmin), radikal bebas dan beberapa MMPs tipe membran.
Kaskade enzimatik ini dikontrol oleh berbagai inhibitor, termasuk TIMPs
dan inhibitor aktifator plasminogen. Enzim lain yang turut berperan
merusak kolagen tipe II dan proteoglikan adalah katepsin, yang bekerja
pada pH rendah, termasuk proteinase aspartat (katepsin D) dan proteinase
sistein (katepsin B, H, K, L dan S) yang disimpam di dalam lisosom
kondrosit. Hialuronidase tidak terdapat di dalam rawan sendi, tetapi
glikosidase lain turut berperan merusak proteoglikan.
Berbagai sitokin turut berperan merangsang kondrosit dalam
menghasilkan enzim perusak rawan sendi. Sitokin-sitokin pro-inflamasi
akan melekat pada reseptor di permukaan kondrosit dan sinoviosit dan
menyebabkan transkripsi gene MMP sehingga produksi enzim tersebut
meningkat. Sitokin yang terpenting adalah IL-1, selain sebagai sitokin
21
pengatur (IL-6, IL-8, LIFI) dan sitokin inhibitor (IL-4, IL-10, IL-13 dan
IFN-γ). Sitokin inhibitor ini bersama IL-Ira dapat menghambat sekresi
berbagai MMPs dan meningkatkan sekresi TIMPs. Selain itu, IL-4 dan
IL-13 juga dapat melawan efek metabolik IL-1. IL-1 juga berperan
menurunkan sintesis kolagen tipe II dan IX dan meningkatkan sintesis
kolagen tipe I dan III, sehingga menghasilkan matriks rawan sendi yang
berkualitas buruk.
2.2.7. Kriteria Diagnosis
Secara radiologik didapatkan penyempitan celah sendi,
pembentukan osteofit, sklerosis subkondral dan pada keadaan yang berat
akan tampak kista subkondral. Bila dicurigai terdapat robekan meniskus
atau ligamen, dapat dilakukan pemeriksaan MRI yang akan menunjukkan
gambaran tersebut lebih jelas. Walaupun demikian, MRI bukan alat
diagnostik yang rutin, karena mahal dan seringkali tidak merubah
rancangan terapi. Gambaran laboratorium umumnya normal. Bila
dilakukan analisis cairan sendi juga didapatkan gambaran cairan sendi
yang normal. Bila didapatkan peninggian jumlah leukosit, perlu
dipikirkan kemungkinan artropati kristal atau artritis inflamasi atau
artritis septik.
Gambaran Radiologik Osteoartritis Lutut
22
Kriteria diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi American
College of Rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut ini :
Tabel Kriteria Klasifikasi Osteoartritis Lutut
Klinik dan
Laboratorik
Klinik dan
Radiografik
Klinik
Nyeri lutut +
minimal 5
dari 9 kriteria
berikut :
- Umur > 50
tahun
- Kaku pagi <
30 menit
- Krepitus
- Nyeri tekan
- Pembesaran
tulang
- Tidak panas
pada perabaan
- LED < 40
mm / jam
- RF < 1 : 40
- Analisis
cairan sendi
normal
Nyeri lutut +
minimal 1
dari 3 kriteria
berikut :
- Umur > 50
tahun
- Kaku pagi <
30 menit
- Krepitus+
OSTEOFIT
Nyeri lutut +
minimal 3 dari 6
kriteria berikut :
- Umur > 50
tahun
- Kaku pagi < 30
menit
- Krepitus
- Nyeri tekan
- Pembesaran
tulang
- Tidak panas
pada perabaan
2.2.8. Pemeriksaan Penunjang
Temuan Laboratorium
23
Osteoartitis adalah gangguan artitis lokal, sehingga tidak ada
pemeriksaan darah khusus untuk menegakkan diagnosis. Uji laboratorium
adakalany dipakai untuk menyingkirkan bentuk artitis lainnya. Faktor
rematoid bisa digunakan dalam serum, karena faktor ini meningkat secara
normal pada peningkatan usia.
Temuan Laboratorium
Ciri khas yang sering terlihat pada gambaran radiogram penderita
osteoartitis adalah penyempitan ruang sendi. Keadaan ini terjadi karena
tulang rawan sendi menyusut. Pada sendi lutut penyempitan ruang sendi
dapat terjadi pada salah satu kompartemen saja. Selain ditemukannya
penyempitan sendi juga bisa terjadi peningkatan densitas tulang di sekitar
sendi. Osteofit (spur) bisa terlihat pada aspek marginal dari sendi.
Kadangkala terihat perubahan kistik dalam berbagai ukuran.
Beratnya perubahan pada sendi yang terlihat secara radiografis
dapat tidak berhubungan dengan gejala-gejala yang ada. Bukti radiologis
penderita osteoartitis dapat ditemukan pada hampir 85% penderita yang
berusia 75 tahun, sedangkan penderita yang mengeluh nyeri dan kaku
sendi presentasenya jauh lebih rendah.
Radiogram khusus dapat membantu untuk mengevaluasi
osteoartitis. Radiogram sendi lutut yang sedang memikul beban tubuh
dapat memberi gambaran yang lebih baik tentang efek peyakit bila
dibandingkan dengan gambaran sendi yang tidak sedang memikul beban
tubuh. Osteoartitis bukan suatu penyakit yang simetris, sehingga pebuatan
gambar radiogram sendi kontralateral akan dapat membantu.
2.2.9. Tatalaksana
Penatalaksanaan dari osteoarthritis haruslah bersifat multifokal
dan individual. Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mencegah dan
menahan kerusakan yang lebih lanjut pada sendi tersebut, dan untuk
mengatasi nyeri dan kaku sendi guna mempertahankan mobilitas.
Melindungi sendi dari trauma tambahan penting untuk memperlambat
24
perjalanan penyakit ini. Evaluasi pola bekerja dan aktivitas sehari-hari
membantu untuk menghilangkan segala kegiatan yang meningkatkan
tegangan berat badan pada sendi yang sakit. Tongkat atau alat bantu
berjalan dapat mengurangi berat badan yang harus ditanggung oleh sendi
lutut dan panggul secara cukup berarti. Mengurangi berat badan bila
pasien memiliki badan yang gemuk dapat sangat menurunkan beban yang
harus dipikul oleh sendi lutut dan sendi panggul. Pemakaian obat-obatan
dirancang untuk mengontrol nyeri pada sendi dan untuk mengendalikan
timbulnya sinovitis. Obat-obatan analgetik dan anti-inflamasi yang dapat
dibeli bebas seperti aspirin dan ibuprofen. Pemilihan obat-obat anti-
inflamasi non-steroid harus memikirkan juga efek samping yang sangat
nudah timbul pada orang tua (Price, 2006).
Terapi dalam penata laksanaan penyakit OA ini ada dua yaitu
terapi farmakologis dan non-farmakologi.
1. Terapi farmakologis yang dapat diberikan untuk pasien osteoarthritis
antara lain pemberian analgesik oral non opiat yang banyak dan biasa
dijual dipasaran, analgesik topikal, obat anti-inflamasi non-steroid
(OAINS) yang mempunyai efek analgetik dan anti inflamasi, karena
kebanyakan pasien osteoarthritis adalah usia lanjut maka pemberian
obat jenis ini harus sangat berhati-hati, dengan pilihan obat yang efek
sampingnya minimal dan cara pakai yang sederhana, serta pengawasan
terhadap kemungkinan timbulnya efek samping. Chondroprotective
agent, obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan
(repair) tulang rawan sendi juga dapat diberikan. Sebagian peneliti
menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti
Osteoarhtritis Drugs (SAADOs) atau Disease Modifying Anti
Osteoarthritis Drugs (DMAODs), sampai saat ini yang termasuk
dalam kelompok obat ini adalah:
Asam hialuronat, manfaat obat ini adalah dapat memperbaiki
viskositas cairan synovial, dan diberikan dengan jalan intra
artikuler. Pada hewan percobaan, asam hialuronat dapat
25
mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis
dan khemotaksis sel-sel inflamasi.
Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang
berperan dalam proses degradasi tulang rawan, antara lain:
hialuronidase, protease, elastase dan cathepsin B1 in vitro dan juga
merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur
tulang rawan sendi manusia.
Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas
enzim lisozim. Pada pengamatan terhadap vitamin C mempunyai
manfaat dalam terapi osteoarthritis.
2. Terapi non-farmakologis berkisar pada edukasi mengenai penyakit OA
dan bagaimana menjaga agar keadaan tidak semakin buruk dan terapi
sendi. Program penurunan berat badan menuju ke berat ideal sangat
membantu karena dengan mengurangi beban tubuh terhadap
persendian maka proses erosif akibat tekanan jadi terminimalisir
(Soeroso dalam Sudoyo, 2006) .
2.3. Rhematoid Arthritis
2.3.1. Definisi
Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun dengan
karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan
manifestasi sistemik seperti anemia, fatique, dan osteoporosis. Pasien
mengalami nyeri kronis serta peningkatan disabilitas, yang bila tidak
diobati, dapat menurunkan angka harapan hidup. Prevalensi rheumatoid
arthritis relatif konstan pada banyak populasi, sekitar 0,5 - 1%. Prevalensi
tinggi rheumatoid arthritis dilaporkan pada suku Indian Pima sebesar
5,3% dan Indian Chippewa sebesar 6,8%. Sebaliknya prevalensi rendah
dilaporkan pada populasi dari Cina dan Jepang. Di Jawa Tengah,
Indonesia, prevalensinya sebanyak 0,2% di desa dan 0,3% di kota.
2.3.2. Klasifikasi
26
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4
tipe, yaitu:
1) Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
2) Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
3) Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
4) Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 3 bulan.
2.3.3. Kriteria
Kriteria American College of Rheumatology (ACR)/European
League Against Rheumatism (EULAR) 2010 untuk Rheumatoid arthritis
mulai diperkenalkan dengan menitikberatkan pada gambaran klinis tahap
awal penyakit. Rheumatoid arthritis ditegakkan berdasarkan adanya
sinovitis pada paling sedikit 1 sendi, tidak adanya diagnosis alternatif lain
yang dapat menjelaskan penyebab sinovitis, serta skor total individu dari
4 kriteria (keterlibatan sendi, pemeriksaan serologis, peningkatan acute-
phase reactant, dan durasi gejala) ≥ 6.
27
Tabel Kriteria Rheumatoid Arthritis Berdasarkan American College of
Rheumatology (ACR)/European League Against Rheumatism (EULAR)
2010
Keterlibatan sendi ditandai dengan adanya sendi nyeri atau
bengkak pada saat pemeriksaan, yang dapat dikonfirmasi dengan bukti
gambaran sinovitis. Yang termasuk sendi besar adalah sendi bahu, siku,
panggul, lutut dan tumit, sedangkan yang termasuk sendi kecil adalah
sendi metacarpophalangeal, interphalangeal distal, sendi
metatarsophalangeal kedua sampai kelima, sendi interphalangeal ibu
jari, dan pergelangan tangan. Antibodi anti-CCP lebih spesifik
dibandingkan rheumatoid factor (RF) untuk penegakan diagnosis
rheumatoid arthritis secara dini dan lebih baik dalam memprediksi
progresifitas penyakit secara radiologis serta prognosis penyakit.
28
2.3.4. Etiologi
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara
pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-
antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati,
Manurung & Raenah, 2008).
2.3.5. Epidemiologi
Artritis reumatoid merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki
dibawah umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70
tahun. Pada wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan
abad ke-20 dan konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa
puncak 65-75 tahun.
Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi
(kisaran 0,3 - 2,1%), wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan
dengan laki-laki. Prevalensi penyakit ini meningkat dengan umur, dan
jenis kelamin, perbedaannya dikurangi pada kelompok usia tua.
Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh dunia dari
berbagai suku bangsa. Onset dari penyakit ini sering pada
dekade keempat dan ke-lima dari kehidupan.
Faktor resiko genetik tidak sepenuhnya dihitung
pada insiden terjadinya artritis reumatoid, hanya
menyatakan bahwa faktor lingkungan juga berperan
penting pada penyebab dari penyakit ini. Hal ini
ditekankan pada penelitian epidemiologi di Afrika yang
mengindikasikan cuaca dan urbanisasi merupakan
pengaruh utama pada insiden dan tingkat keberatan dari
artritis reumatoid pada kelompok dengan latar belakang
genetik yang serupa.
2.3.6. Gejala Klinis
29
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada
penderita artitis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul
sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki
gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartitis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs
distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan pada pagi hari selama lebih dari 1 jam; dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini
berbeda dengan kekauan sendi pada osteoartitis, yang biasanya hanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.
4. Artitis erosifmerupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi
tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonnieredanleher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada
kaki terdapat protrusi ( tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder
dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang
dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam
melakukan gerakan ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa penderita artitis reumatoid. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku)
atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian
nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya.
Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu
penyakit yang akitf dan lebih berat.
30
7. Manifestasi ekstra-artikular: artitis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru
(pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak. Kotak pada halaman
ini memberikan garis besar manifestasi dari gangguan ini.
2.3.7. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan
sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis
menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan
memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial
dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya
permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif
dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot
(Smeltzer & Bare, 2002).
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai
dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada
orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang
lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat
ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis
yang difus (Long, 1996).
Peranan Interleukin-6 (IL-6) Pada Rheumatoid Arthritis
IL-6 merupakan suatu sitokin pleiotropik yang terlibat dalam
inisiasi serta pemeliharaan respons inflamasi dan imunologis dalam
penyakit autoimun. IL-6 adalah suatu glikopeptida 26-kDa di mana
gennya ditemukan pada kromosom 7. IL-6 dihasilkan oleh berbagai tipe
sel seperti sel T, sel B, monosit, fibroblast, osteoblas, keratinosit, sel
endotel, sel mesangium dan beberapa sel tumor. IL-6 merupakan salah
satu anggota keluarga sitokin IL-6, yang termasuk di dalamnya LIF,
ciliary neurotrophic factor, IL-11 dan cardiotrophin-1. Semua sitokin ini
31
membutuhkan gp130 di permukaan sel untuk aktifasi selular. IL-6
dihasilkan berlebihan pada serum dan fibroblas sinovium pasien
Rheumatoid arthritis dan berkorelasi dengan aktifitas penyakit dan
kerusakan sendi. Pada sendi, IL-6 berperan dalam proses resorpsi tulang
yang diperantarai osteoklas serta perkembangan pannus melalui
peningkatan VEGF. IL-6 dapat merangsang protein fase akut melalui
produksi hepsidin (anemia), bekerja terhadap aksis HPA (fatique) serta
mempunyai dampak terhadap metabolisme tulang (osteoporosis). IL-6
juga berperan dalam pembentukan limfosit pro inflamasi T helper-17
(Th17) dalam suatu studi hewan.
Rheumatoid arthritis berhubungan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular. Faktor risiko klasik seperti
hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin dan obesitas cukup tinggi
prevalensinya pada pasien Rheumatoid arthritis. Inflamasi sistemik
menyebabkan proses aterogenesis melalui disfungsi endotel dan
dislipidemia. IL-6 dapat mempengaruhi metabolisme lipid dengan
menstimulasi sintesis asam lemak di hepar dan lipolisis jaringan adiposa.
IL-6 juga dapat meningkatkan sintesis kolesterol sekalian menurunkan
sekresi kolesterol. IL-6 dan CRP berhubungan dengan peningkatan risiko
kardiovaskular pada pria dan wanita, tanpa berhubungan dengan efeknya
terhadap lipid. IL-6 juga berhubungan dengan peningkatan mortalitas
pada pasien dengan sindrom koroner akut
32
Gambar Jalur Sitokin yang Terlibat dalam Artritis yang Mengalami Inflamasi
Gambar 2. Jalur Inflamasi yang Diaktifasi oleh IL-6
33
Gambar 3. Efek Sistemik IL-6
2.3.8. Diagnosis
Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada
penegakan diagnosis rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid,
inflamasi sendi yang ditemukan pada saat palpasi dan hasil-hasil
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan
peninggian laju endap darah dan factor rheumatoid yang positif sekitar
70%; pada awal penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel darah merah dan
komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C- reaktifprotein (CRP) dan
antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil yang positif.
Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh, berwarna
mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi,
seperti leukosit dan komplemen (Smeltzer & Bare, 2002).
Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan
diagnosis dan memantau perjalanan penyakitnya. Foto rongen akan
memperlihatkan erosi tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi
yang terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
2.3.9. Anamnesis
34
1) Sendi mana yang terkena? Umumnya, pergelangan tangan, jari
tangan, siku, bahu, lutut, dan sendi atlanto-aksial yang terkena.
2) Adakah nyeri? Jika ya, kapan dan di mana?
3) Adakah kaku, bengkak, atau deformitas? Umumnya ada kaku di pagi
hari selama lebih dari 1 jam.
4) Apa akibat fungsionalnya? Apa yang tak lagi bisa dilakukan pasien
(misalnya jarak berjalan, maampu berpakaian, pindah tempat)?
5) Adakah tanda sistemik: malaise, penurunan berat badan, atau gejala
anemia?
6) Adakah system lain yang terkena? Adakah iritasi, gejala anemia,
bengkak pada pergelangan kaki (sindrom nefrotik), sesak napas
(fibrosis paru)?
7) Riwayat penyakit terdahulu:
a. Bagaimana pola penyakit? Sendi mana yang terkena? Bagaimana
aktivitas peradangan? Adakah orang lain yang terkena
b. Pengobatan apa yang didapat pasien? Pernakah pasien menjalani
bedah penggantian sendi, mendapat obat-obatan fisioterapi, atau
bantuan lain?
c. Adkah riwayat gangguan autoimun lain?
8) Obat-obatan:
a. Obata pa yang saat ini dimakan pasien?
b. Apakah pasien memiliki alergi, intoleransi, atau efek samping
obat?
9) Riwayat keluarga dan sosial:
a. Adakah riwayat penyakit autoimun dalam keluarga?
b. Bagaimana pengaruh penyakit pada pekerjaan, keluarga,
pasangan, dan anak?
c. Pernahkah dilakukan adaptasi untuk memperbaiki mobilitas, dan
sebagainya?
2.3.10. Pemeriksaan Fisik
35
1) Apakah pasien sakit ringan atau berat? Apakah pasien anemis atau
sesak?
2) Lakukan inspeksi pada semua sendi. Adakah bengkak, nyeri tekan
pada plpasi, eritema, penebalan synovial, efusi sendi, kisaran gerak
berkurng, nkilosis, subluksasi, deformitas?
3) Adakah nodul rheumatoid?
4) Adakah bukti vaskulitis
5) Cari komplikasi sistemik rheumatoid arthritis (misalnya anemia dan
limfadenopati)
6) Lihat ada gangguan fungsional dan Tanyakan ada gangguan organ-
organ tertentu tidak.
2.3.11. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai
untuk membantu menegakkan diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85%
pasien artritis rheumatoid memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang
dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah imunoglobulin
M (IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG).
Keberadaan dari faktor reumatoid bukan merupakan hal yang spesifik
pada penderita artritis reumatoid. Faktor reumatoid ditemukan sekitar 5%
pada serum orang normal, insiden ini meningkat dengan pertambahan
usia, sebanyak 10-20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif
memiliki faktro reumatoid dalam titer yang rendah.
Laju endap darah (LED) eritrosit adalah suatu indeks peradangan
yang tidak spesifik. Pasien dengan artritis reumatoid nilainya dapat tinggi
(100 mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa LED dapat
dipakai untuk memantau aktivitas penyakit.
Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita
dengan artritis rematoid yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum
36
tulang. Anemia ini tidak berespon pada pengobatan anemia yang biasa
dan dapat membuat seseorang merasa kelelahan.
Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada
sendi, walaupun tidak ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik
untuk arthritis reumatoid. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan
kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan
konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal.
Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai 2000/μL dengan lebih
dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan pada
artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak mendiagnosis arthritis
rheumatoid.
2.3.12. Tatalaksana
Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai penyakitnya
dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan
baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan
yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik akan sukar untuk dapat
memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka
waktu yang lama (Mansjoer, dkk. 2001).
Penanganan medik pemberian salsilat atau NSAID (Non Steriodal
Anti-Inflammatory Drug) dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan dalam
dosis terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek anti
inflamasi maupun analgesik. Namun pasien perlu diberitahukan untuk
menggunakan obat menurut resep dokter agar kadar obat yang konsisten
dalam darah bisa dipertahankan sehingga keefektifan obat anti-inflamasi
tersebut dapat mencapai tingkat yang optimal (Smeltzer & Bare, 2002).
Kecenderungan yang terdapat dalam penatalaksanaan rheumatoid
arthritis menuju pendekatan farmakologi yang lebih agresif pada stadium
penyakit yang lebih dini. Kesempatan bagi pengendalian gejala dan
perbaikan penatalaksanaan penyakit terdapat dalam dua tahun pertama
awitan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
37
Menjaga supaya rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas
sehari-hari, sebaiknya digunakan air hangat bila mandi pada pagi hari.
Dengan air hangat pergerakan sendi menjadi lebih mudah bergerak.
Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya penyakit ini,
seperti: tidak melakukan olahraga secara berlebihan, menjaga berat badan
tetap stabil, menjaga asupan makanan selalu seimbang sesuai dengan
kebutuhan tubuh, terutama banyak memakan ikan laut. Mengkonsumsi
suplemen bisa menjadi pilihan, terutama yang mengandung Omega 3.
Didalam omega 3 terdapat zat yang sangat efektif untuk memelihara
persendian agar tetap lentur.
2.4. Gout
2.4.1. Definisi
Gout adalah sekelompok penyakit yang terjadi akibat deposit
kristal monosodium urat di jaringan. Deposit ini berasal dari cairan ekstra
selular yang sudah mengalami supersarusasi dari hasil akhir metabolisme
purin yaitu asam urat.
2.4.2. Etiologi
Gout merupakan penyakit metabolic familial yang sering
dikaitkan dengan jumlah asam urat dalam badan yang tida normal disebut
sebagai hiperurikemia dan disertai gejala inflamasi yang berulang-ulang
yang selalunya monoartikular dan pada tahap selanjutnya, terjadi arthritis
akut. Penyebab utama terjadinya gout adalah karena adanya deposit atau
penimbunan Kristal asam urat dalam sendi. Penimbunan asam urat sering
terjadi pada penyakit dengan metabolism asam urat abnormal.
2.4.3. Epidemiologi
Prevalensi gout bervariasi antara 1-15,3%. Pada suatu studi
didapatkan insidensi gout 4,9% pada kadar asam urat darah >9 mg/dL,
0,5% pada kadar 7-8,9%, dan 0,1% pada kadar <7 mg/dL. Insidensi
38
kumulatif gout mencapai angka 22% setelah 5 tahun, pada kadar asam
urat >9 mg/dL (Poor, 2003)
2.4.4. Gejala Klinis
Perjalanan penyakit gout sangat khas dan
mempunyai 3 tahapan yaitu :
Tahap Artritis Gout Akut
Pada tahap ini penderita akan mengalami serangan
artritis yang khas dan serangan tersebut akan
menghilang tanpa pengobatan dalam waktu 5 – 7 hari.
Karena cepat menghilang, maka sering penderita
menduga kakinya keseleo atau kena infeksi sehingga
tidak menduga terkena penyakit gout dan tidak
melakukan pemeriksaan lanjutan.
Bahkan, dokter yang mengobati kadang-kadang tidak
menduga penderita terserang penyakit gout.
Karena serangan pertama kali ini singkat waktunya dan
sembuh sendiri, sering penderita berobat ke tukang
urut dan waktu sembuh menyangka hal itu disebabkan
hasil urutan/pijatan.Padahal, tanpa diobati atau diurut
pun serangan pertama kali ini akan hilang sendiri.
Setelah serangan pertama, penderita akan masuk pada
gout interkritikal.
Pada keadaan ini penderita dalam keadaan sehat
selama jangka waktu tertentu. Jangka waktu antara
seseorang dan orang lainnya berbeda. Ada yang hanya
satu tahun, ada pula yang sampai 10 tahun, tetapi rata-
rata berkisar 1 – 2 tahun.
Panjangnya jangka waktu tahap ini menyebabkan
seseorang lupa bahwa ia pernah menderita serangan
39
artritis gout atau menyangka serangan pertama kali
dahulu tak ada hubungannya dengan penyakit gout.
Tahap artritis gout akut intermiten
Setelah melewati masa gout interkritikal selama
bertahun-tahun tanpa gejala, penderita akan memasuki
tahap ini, ditandai dengan serangan artritis yang khas.
Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan
(kambuh) yang jarak antara serangan yang satu dan
serangan berikutnya makin lama makin rapat dan
lama, serangan makin lama makin panjang, serta
jumlah sendi yang terserang makin banyak.
Tahap artritis gout kronik bertofus.
Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit
selama 10 tahun atau lebih.
Pada tahap ini akan terjadi benjolan-benjolan di sekitar
sendi yang sering meradang yang disebut sebagai
tofus.
Tofus ini berupa benjolan keras yang berisi serbuk
seperti kapur yang merupakan deposit dari kristal
monosodium urat. Tofus ini akan mengakibatkan
kerusakan pada sendi dan tulang di sekitarnya.
Tofus pada kaki bila ukurannya besar dan banyak akan
mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakan
sepatu lagi.
2.4.5. Patofisiologi
Peningkatan kadar asam urat serum dapat disebabkan oleh
pembentukan berlebihan atau penurunan eksresi asam urat, ataupun
40
keduanya. Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin. Secara
normal, metabolisme purin menjadi asam urat dapat diterangkan sebagai
Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur
penghematan (salvage pathway).
1. Jalur de novo melibatkan sintesis purin dan kemudian asam urat
melalui prekursor nonpurin. Substrat awalnya adalah ribosa-5-fosfat,
yang diubah melalui serangkaian zat antara menjadi nukleotida purin
(asam inosinat, asam guanilat, asam adenilat). Jalur ini dikendalikan
oleh serangkaian mekanisme yang kompleks, dan terdapat beberapa
enzim yang mempercepat reaksi yaitu: 5-fosforibosilpirofosfat (PRPP)
sintetase dan amidofosforibosiltransferase (amido-PRT). Terdapat
suatu mekanisme inhibisi umpan balik oleh nukleotida purin yang
terbentuk, yang fungsinya untuk mencegah pembentukan yang
berlebihan.
2. Jalur penghematan adalah jalur pembentukan nukleotida purin melalui
basa purin bebasnya, pemecahan asam nukleat, atau asupan makanan.
Jalur ini tidak melalui zat-zat perantara seperti pada jalur de novo.
Basa purin bebas (adenin, guanin, hipoxantin) berkondensasi dengan
PRPP untuk membentuk prekursor nukleotida purin dari asam urat.
41
Reaksi ini dikatalisis oleh dua enzim: hipoxantin guanin
fosforibosiltransferase (HGPRT) dan adenin fosforibosiltransferase
(APRT).
Asam urat yang terbentuk dari hasil metabolisme purin akan
difiltrasi secara bebas oleh glomerulus dan diresorpsi di tubulus
proksimal ginjal. Sebagian kecil asam urat yang diresorpsi kemudian
diekskresikan di nefron distal dan dikeluarkan melalui urin.
Pada penyakit gout-arthritis, terdapat gangguan kesetimbangan
metabolisme (pembentukan dan ekskresi) dari asam urat tersebut,
meliputi:
1. Penurunan ekskresi asam urat secara idiopatik
2. Penurunan eksreksi asam urat sekunder, misalnya karena gagal ginjal
3. Peningkatan produksi asam urat, misalnya disebabkan oleh tumor
(yang meningkatkan cellular turnover) atau peningkatan sintesis purin
(karena defek enzim-enzim atau mekanisme umpan balik inhibisi yang
berperan)
4. Peningkatan asupan makanan yang mengandung purin
Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan
kadar asam urat dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang
kelarutannya sangat rendah sehingga cenderung membentuk kristal.
Penimbunan asam urat paling banyak terdapat di sendi dalam bentuk
kristal mononatrium urat. Mekanismenya hingga saat ini masih belum
diketahui.
42
Adanya kristal mononatrium urat ini akan menyebabkan inflamasi
melalui beberapa cara:
1. Kristal bersifat mengaktifkan sistem komplemen terutama C3a dan
C5a. Komplemen ini bersifat kemotaktik dan akan merekrut neutrofil
ke jaringan (sendi dan membran sinovium). Fagositosis terhadap
kristal memicu pengeluaran radikal bebas toksik dan leukotrien,
terutama leukotrien B. Kematian neutrofil menyebabkan keluarnya
enzim lisosom yang destruktif.
2. Makrofag yang juga terekrut pada pengendapan kristal urat dalam
sendi akan melakukan aktivitas fagositosis, dan juga mengeluarkan
berbagai mediator proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF.
Mediator-mediator ini akan memperkuat respons peradangan, di
samping itu mengaktifkan sel sinovium dan sel tulang rawan untuk
menghasilkan protease. Protease ini akan menyebabkan cedera
jaringan.
43
Penimbunan kristal urat dan serangan yang berulang akan
menyebabkan terbentuknya endapan seperti kapur putih yang disebut
tofi/tofus (tophus) di tulang rawan dan kapsul sendi. Di tempat tersebut
endapan akan memicu reaksi peradangan granulomatosa, yang ditandai
dengan massa urat amorf (kristal) dikelilingi oleh makrofag, limfosit,
fibroblas, dan sel raksasa benda asing. Peradangan kronis yang persisten
dapat menyebabkan fibrosis sinovium, erosi tulang rawan, dan dapat
diikuti oleh fusi sendi (ankilosis). Tofus dapat terbentuk di tempat lain
(misalnya tendon, bursa, jaringan lunak). Pengendapan kristal asam urat
dalam tubulus ginjal dapat mengakibatkan penyumbatan dan nefropati
gout.
2.4.6. Kriteria Diagnostik
Gout harus dipertimbangkan pada setiap pasien laki-laki yang
mengalami artritis monoartikular, terutama pada ibu jari kaki, yang
44
awitannya terjadi secara akut. Peningkatan kadar asam urat serum sangat
membantu dalam membuat diagnosis tetapi tidak spesifik, karena ada
sejumlah obat-obatan yang juga dapat meninkatkan kadar asam urat
serum. Demikian pula, cukup bayak orang yang mengalami hiperurisemia
asimtomatik.
Sutu pemerikasaan lain untuk mendiagnosis gout adalah dengan
melihat respon dari gejala-gejala pada sendi terhadap pemberian kolkisin.
Kolkisin adalah obat yang menghambat akivitas fagositik leukosit
sehingga memberikan perubahan yang dramatis dan cepat meredakan
gejala-gejala. Perubahan radiologik selain dari pembengkakan jaringan
lunak juga biasa ditemukan pada tahap awal gout. Adanya kristal-kristal
asam urat dalam cairan sinovial sendi yang terserang juga dapat dianggap
bersifat diagnostic
2.4.7. Pemeriksaan Penunjang
Serum asam urat
Umumnya meningkat, diatas 7,5 mg/dl. Pemeriksaan ini
mengindikasikan hiperuricemia, akibat peningkatan produksi asam
urat atau gangguan ekskresi.
Kadar asam urat normal pada pria dan perempuan berbeda. Kadar
asam urat normal pada pria berkisar 3,5 – 7 mg/dl dan pada
perempuan 2,6 – 6 mg/dl. Kadar asam urat diatas normal disebut
hiperurisemia.
Angka leukosit
Menunjukkan peningkatan yang signifikan mencapai 20.000/mm3 selama
serangan akut. Selama periode asimtomatik angka leukosit masih dalam
batas
normal yaitu 5000 - 10.000/mm3.
Eusinofil Sedimen rate (ESR)
45
Meningkat selama serangan akut. Peningkatan kecepatan sedimen rate
mengindikasikan proses inflamasi akut, sebagai akibat deposit asam urat
di persendian.
Urin spesimen 24 jam
Urin dikumpulkan dan diperiksa untuk menentukan produksi dan
ekskresi dan asam urat. Jumlah normal seorang mengekskresikan 250
- 750 mg/24 jam asam urat di dalam urin.
Ketika produksi asam urat meningkat maka level asam urat urin
meningkat.
Kadar kurang dari 800 mg/24 jam mengindikasikan gangguan
ekskresi pada pasien dengan peningkatan serum asam urat
Instruksikan pasien untuk menampung semua urin dengan peses atau
tisu toilet selama waktu pengumpulan.
Biasanya diet purin normal direkomendasikan selama pengumpulan
urin meskipun diet bebas purin pada waktu itu diindikasikan.
Analisis cairan aspirasi dari sendi yang mengalami inflamasi akut atau
material aspirasi dari sebuah tofi menggunakan jarum kristal urat
yang tajam.
Pemeriksaan radiografi
Dilakukan pada sendi yang terserang, hasil pemeriksaan akan
menunjukkan tidak terdapat perubahan pada awal penyakit, tetapi setelah
penyakit berkembang progresif maka akan terlihat jelas/area terpukul
pada tulang yang berada di bawah sinavial sendi.
2.4.8. Tatalaksana
Tujuan terapi pada penatalaksanaan gout
a. Meredakan nyeri dan inflamasi serangan akut
b. Menghentikan serangan akut secepat mungkin
46
c. Mencegah memburuknya serangan dan mencegah efek jangka
panjang:
• Kerusakan sendi
• Kerusakan organ terkait misalnya ginjal
d. Menurunkan kadar urat serum pada pasien simptomatis
e. Menurunkan resiko batu asam urat
f. Menurunkan pembentukan tophi
Penanganan Menggunakan Obat
Terapi gout akut
• Konfirmasi diagnosis
• Awali terapi dengan NSAID dosis penuh (full dose) segera pada saat
serangan, kecuali jika kontraindikasi.
• Berikan colchicine jika NSAID tidak dapat diberikan. Gunakan dalam
24‐48 jam serangan akut.
• Gunakan colchicine dengan hati‐hati karena toksisk, dan monitor
respon.
• Jika serangan melibatkan 1‐2 sendi, berikan steroid intra‐artikular.
• Jika penyakit parah atau NSAID/colchicine tidak ditoleransi baik
berikan steroid sistemik.
• Hiperurisemia pada saat serangan akut jangan diterapi.
Terapi gout kronik
• Mulai terapi menurunkan kadar urat pada psien yang mengalami
serangan lebih dari 2 kali dalam setahun (obat penurun kadar urat
tidak diberikan selama serangan akut, obat pilihan penurun kadar urat
untuk mayoritas pasien adalah allopurinol).
• Gunakan urikosurik pada pasien yang tidak tahan atau alergi
allopurinol dan pada pasien dengan fungsi ginjal normal tetapi
ekskresinya rendah.
47
• Pertimbangkan pemberian kombinasi dengan colchicine sampai
tercapai kadar urat serum rendah dan tidak ada serangan akut yang
kambuh dalam 6‐12 bulan.
• Monitor kadar urat serum setiap 3‐6 bulan dan pada pasien yang
simptomatis terapi disesuaikan dengan kadar
Terapi Non-Obat
Terapi non‐obat merupakan strategi esensial dalam penanganan
gout. Gout adalah gangguan metabolik, yang dipengaruhi oleh diet,
asupan alkohol, hiperlipidemia dan berat badan. Intervensi seperti
istirahat yang cukup, penggunaan kompres dingin, modifikasi diet,
mengurangi asupan alkohol dan menurunkan berat badan pada pasien
yang kelebihan berat badan terbukti efektif.
Anjuran untuk pasien
Pasien gout harus mendapat informasi bahwa puasa, obesitas
(kegenukan) dan konsumsi alkohol dapat mengakibatkan hiperurisemia.
Jika hal tersebut dapat diperbaiki atau dihindari maka terapi obat tidak
diperlukan, demikian juga hiperurisemia tanpa gejala juga tidak perlu
diobati. Namun demikian fungsi ginjal harus diperiksa untuk meyakinkan
tidak ada gangguan.
Pasien yang beresiko mengalami serangan kambuh gout harus
membawa persediaan NSAID dan harus diedukasi untuk segera
menggunakannya pada saat muncul gejala pertama. Juga harus
diinformasikan untuk menghindari aspirin dan sebaiknya digunakan
parasetamol jika diperlukan analgesik penghilang rasa nyeri.
Pasien yang mendapat allopurinol juga diinformasikan untuk tetap
melanjutkan penggunaan allopurinol sehari sekali jika belum terlihat
respon terhadap gejala yang dirasakan. Juga harus mendapat informasi
mengenai efek samping yang mungkin dialami serta segera melaporkan
jika terjadi efek samping pada kulit.
48
Pasien yang mndapat terapi urikosurik dianjurkan untuk minum
paling sedikit 2L/hari untuk mengurangi resiko pembentukan batu asam
urat pada ginjal.
2.5. Studi Kasus
Pemeriksaan Penunjang
I. Pemeriksaan Diagnostik
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada
sendi yang terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran
diagnostik ( Soeroso, 2006 ). Gambaran Radiografi sendi yang
menyokong diagnosis OA adalah :
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada
bagian yang menanggung beban seperti lutut ).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA dapat
diberikan suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan radiografis
dikenal sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi OA
dimulai dari tingkat ringan hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada
awal penyakit, gambaran radiografis sendi masih terlihat normal ( Felson,
2006 ).
II. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak
berguna. Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas – batas normal.
49
Pemeriksaan imunologi masih dalam batas – batas normal. Pada OA yang
disertai peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel
peradangan ( < 8000 / m ) dan peningkatan nilai protein ( Soeroso,
2006 ).
Terapi Diet
1. Diet Pembatasan Energi
Diet pembatasan energi yang seimbang merupakan metode
penurunan berat badan yang paling sering diresepkan. Diet tersebut harus
cukup secara nutrisi kecuali untuk energi, yang dikurangi hingga poin di
mana penyimpanan lemak harus dapat dimobilisasi untuk mencapai
kebutuhan energi harian. Defisit kalori dari 500 hingga 1000 kkal setiap
harinya biasanya dapat mencapai tujuan tersebut. Tingkat energi
bervariasi pada setiap individu menurut ukuran dan aktivitasnya,
umumnya berkisar dari 1200 hingga 1800 kkal setiap harinya. Tanpa
memerhatikan tingkat restriksi kalori, pola makan sehat harus diajarkan,
dan rekomendasi untuk peningkatan aktivitas fisik harus diikutsertakan.
Diet rendah kalori harus diindividualisasikan untuk karbohidrat
(50% hingga 55% dari total kilokalori), menggunakan sumber-sumber
seperti sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan biji-bijian.
Diet juga harus meliputi protein, sekitar 15% hingga 23% kilokalori,
untuk mencegah konversi protein menjadi energi. Konten lemak harus
tidak melebihi 30% dari total kalori. Tambahan dari serat juga
direkomendasikan untuk menurunkan densitas kalori, untuk memberi rasa
kenyang dengan memperlambat waktu pengosongan lambung, dan untuk
sedikit menurunkan efisiensi absorpsi usus.
Penghitungan lemak sebagai persentase kalori terbukti efektif
dalam mendukung asupan rendah energi. Aturan dasar adalah untuk
membagi kadar kalori ideal menjadi 4 setiap asupan 25% lemak (misal,
asupan 1800 kkal harus mencakup 450 kkal dari lemak, atau sekitar 50 g
50
lemak). Hal tersebut memberikan hasil yaitu asupan rendah energi tanpa
kelaparan. Total kalori juga harus diperhatikan.
Jumlah asupan alkohol dan makanan dengan kadar gula tinggi
haruslah dikurangi sebagai sumber energi yang tidak sibutuhkan. Alkohol
bersifat seoerti lemak dalam tubuh, karena ia memisahkan lemak
sehingga tidak teroksidasi. Pada peminum alkohol berat, justru akan
menyebabkan nafsu makan berturun pesat hingga bisa terjadi malnutrisi,
namun pada peminum sedang, akan menaikkan berat badan karena
alkohol dianggap sebagai justru menambah jumlah kalori yang masuk.
Pemanis buatan atau pengganti lemak tidak terbukti memiliki makna
besar dalam menurunkan berat badan.
Suplemen vitamin dan mineral yang disesuaikan usia sangat
dianjurkan untuk dikonsumsi dalam program penurunan berat badan.
Pada wanita dibutuhkan kurang dari 1200 kcal dan 1800 kcal pada pria.
2. Diet Formula atau Makanan Pengganti
Makanan pengganti ini merupakan makanan atau minuman siap
saji yang digunakan sebagai pengganti makanan lainnya yang berkalori
tinggi. Umumnya, terkandung di dalamnya 5 g serat, 10-14 g protein, dan
sejumlah karbohidrat, 10 g lemak dan 25% – 30% RDfu vitamin dan
mineral.
Dengan mengganti makanan utaman atau ringan 2 kali sehati
dapat membantu mengurangi berat badan atau menjaga berat badan
secara signifikan.
3. Pembatasan Energi Secara Berlebih dan Puasa
Yang dimaksud dengan pembatasan energi masukan secara
berlebih apabila jumlahnya kurang dari 800 kcal per hari atau puasa
dibawah 200kcal per hari. Puasa memang bisa menjadi salah satu pilihan
terapi namun terkadang dapat menyebabkan gangguan neurologis,
hormonal, dan efek samping lainnya. Lebih dari 50% jumlah berat badan
51
yang akan berkurang adalah cairan tubuh yang dapat menyebabkan
hipotensi. Dapat pula terjadi akumulasi asam urat atau memunculkan batu
empedu. Selain itu puasa ekstrim ini dapat berujung pada anoreksia.
4. Diet Kalori Sangat Rendah
Yang dimaksut diet kalori sangat rendah adalah apabila masukan kalori
hariannya berkisar antara 200-800 kcal. Umumnya diet ini rendah kalori
namun tinggi protein (0.8-1.5 g/kg IBW per hari). Diet ini termasuk
konsumsi vitamin, mineral, elektrolit, asam lemak. Lama yang dianjurkan
untuk diit ini adalah 12-16 minggu. Karena efek samping yang mungkin
ditimbulkan maka diet ini dianjurkan untuk pasien dengan BMI diatas 30.
Efek sampingnya antara lain, tidak tahan dingin, pusing, gugup, euforia,
konstipasi atau diare, kulit kering, rambut menipis dan kemerahan,
anemia, menstruasi yang reguler.
Penggunaan Obat Warung
Masyarakat Indonesia lazim mendengar dan mengenal istilah ‘obat
warung’, yaitu yang ditujukan pada obat-obatan yang dapat diperoleh
secara bebas di di pasaran, termasuk di warung-warung. Meskipun
berstatus obat yang dapat diperoleh dengan bebas tanpa resep dokter dan
digunakan ‘hanya’ untuk keluhan yang sifatnya ‘sepele’, ‘obat warung’
tetaplah suatu sediaan obat dengan karakteristik yang khas.
Sediaan obat (apapun bentuknya, termasuk obat tradisional), selain
mengandung efek terapi juga tidak akan pernah lepas dari yang
dinamakan efek samping. Efek samping obat adalah efek yang umum
ditemui pada penggunaan obat dalam rentang dosis terapinya.
Keberadaan, frekuensi,dan durasi munculnya efek samping bisa jadi
berbeda pada tiap individu, tergantung pada dosis obat, frekuensi
penggunaan, cara pakai, kondisi fisik pengguna, hingga genetis dari
52
pasien. Efek samping yang muncul perlu dicermati gejala dan tandanya
agar kita sebagai pengguna bisa mencegah dan mengatasinya dengan
benar.
Perlu diketahui bahwa tidak semua analgesik memiliki kekuatan pereda nyeri yang paralel dengan dosis yang digunakan, artinya meskipun dikonsumsi 3,4,5 hingga 10 tablet sekaligus pun, kekuatan pereda nyerinya tidak akan berbeda dengan 1 atau 2 tablet. Ini sering disebut sebagai CEILING EFFECT. Bahkan yang didapatkan adalah efek sampingnya akan jauh lebih besar dibanding manfaatnya.
Pola kebiasaan ini paling tidak, salah satunya, akibat peran iklan obat analgesik yang demikian gencar di media massa, namun sayangnya tidak diimbangi dengan penjelasan serta pendidikan mengenai resiko yang dapat terjadi akibat penggunaan yang tidak terkontrol. Sebagian besar cuma mencantumkan “Bila sakit berlanjut, hubungi dokter”. Entah siapa yang seharusnya bertanggung jawab mengenai hal ini. Cukup banyaknya pasien-pasien yang dirawat di perawatan intensif akibat efek samping penggunaan analgesik yang tidak terkontrol tersebut.
Sebaiknya obat penghilang sakit (NSAID) digunakan hanya jika perlu
saja, karena obat-obat ini sifatnya adalah simtomatik atau menghilangkan
gejala. Jika penyebab sakitnya sendiri belum hilang maka nyeri masih
mungkin akan muncul kembali.
53
BAB III
KESIMPULAN
Ny. Mira mengalami Osteoartritis dan diperlukan pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis.
54
DAFTAR PUSTAKA
Ahem MJ, Reid C, Clardon TP. Does colchicines work? Results of the first
controlled study in gout. Australian and New Zealand Journal of Medicine
1987; 17:301‐304.
Anonim.Osteoarthritis.http://new.merapi.net/index.php?view=news/
116&id=116&PHPSESSID=4ca6439313b991ed97f43906b994. 17
november 2007
British Medical Association, Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.
British National Formulary 49. London, March 2005.
Duff G. Updated advice on the safety of selective Cox‐2 inhibitors. Letter to
health care professionals. Committee on Safety of Medicines; London:
February 2005.
Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive
Radiographic Pathology 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier;
2003.p.1134-5
Graham W, Robert JB. Intravenous colchicines in the management of gouty
arthritis. Annals of the Rheumatic Diseases 1983;12:16‐19.
Johnstone A. Gout – the disease and non‐drug treatment. Hospital Pharmacist
2005; 12:391‐394.
Joseph‐Ridge N. Phase II, dose response, safety and efficacy of a new oral
xanthine oxidase inhibitor (Febuxostat) in subjects with gout (abstract).
Arthritis Rheum 2002;46 (S9):289.
Kumar V., Cotran RS., Robbins SL. 2003. Robbins Basic Pathology (7th ed.).
Prasetyo A., U Brahm., Priiono T. 2007 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta
L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci, Stephen Hauser, Dan Longo, J.
Larry Jameson. 2004. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th
Edition. Mc Graw Hill Book Co Inc, New York.
Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors.
55
Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th ed. New York:
McGraw-Hill; 2005.p.1968-76
Morris I, Varughese G, Mattingly P. Colchicine in Acute Gout. BMJ
2003;327:1275‐1276.
Muchid, Abdul et. al. Pharmaceutical Care Untuk Pasien penyakit Artritis
Rematik. Departemen Kesehatan, Jakarta.
Peterson GM, Boyle RR, Francis HW. Dosage prescribing and plasma oxypurinol
levels in patients receiving allopurinol therapy. European Journal of Clinical
Pharmacology 1990; 39:419‐421.
Poor G, Mituszova M. History, Classification and epidemiology of crystal-related
artropathies. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME,
Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rd ed. Edinburg: Elsevier;
2003.p.1893-1901
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit (Pathophysiology. Clinical Concecpt of Disease Processes).
EGC, Jakarta.
Schlesinger N, Management of acute and chronic gouty arthritis – present state of
the art. Drugs 2004;64:2399‐2416.
Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ
Books; 2004.p.50-5
Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and
Stiskal S. Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-
the-Art Imaging, Image Interpretation, and Clinical
Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-398
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Balai Penerbit FK UI, Jakarta.
56