laporan diskusi pemicu 2
TRANSCRIPT
LAPORAN DISKUSI
PEMICU 2
MODUL P2K2
Disusun Oleh:
Kelompok Diskusi 3
Gapar I11111001
Nur’Azmi Ayuningtyas I11111009
Prisa Dwicahmi I11111010
Scholastyka Febrylla I11111012
Ismi Wulandari AS I11111013
Michael Raja Pradana Sitorus I11111016
Yuniar Harris Prayitno I11111039
Riska Dwi Kusuma I11111043
Muhammad Rheza I11111056
Fitrianto Dwi Utomo I11111064
Sri Purwanti I11111065
Jenny Ismyati I11111066
M. Jahari Supianto I11111075
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
berkat, rahmat, dan hidayah-Nya lah, laporan diskusi modul P2K2 ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Pembuatan laporan ini berguna untuk memenuhi tugas terstruktur modul
Modul P2K2 dalam semester Genap pada program studi Pendidikan Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
Pada proses penulisan laporan ini sampai dengan selesainya, penulis
banyak mendapatkan bantuan berupa dorongan dari semua pihak, maka pada
kesempatan ini tak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Nawangsari, selaku koordinator penanggung jawab modul.
2. dr. Rini Andriani, Sp. A, selaku narasumber dalam modul ini.
3. dr. Delima Fajar Liana selaku fasilitator.
4. Orang tua penulis yang selalu memberi semangat dan doa.
5. Teman-teman penulis yang telah memberi banyak saran dan dorongan
bagi penulis.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Besar harapan kami agar laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembacanya. Namun demikian, seperti kata pepatah “ tak ada gading yang tak
retak ”, kami menyadari bahwa masih ada beberapa kekurangan dalam makalah
ini. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua. Amin.
Pontianak, 18 Juli 2012
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Cover.................................................................................................................. i
Kata Pengantar................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1. Pemicu............................................................................................. 1
1.2. Kata Kunci...................................................................................... 1
1.3. Rumusan Masalah........................................................................... 1
1.4. Analisis Masalah............................................................................. 1
1.5. Hipotesis......................................................................................... 2
1.6. Pertanyaan Diskusi.......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
2.1. Tanda Vital Normal pada Anak...................................................... 3
2.2. Kadar Cairan Tubuh Normal.......................................................... 3
2.3. Komposisi Cairan Pengganti........................................................... 4
2.4. Dehidrasi......................................................................................... 11
2.5. Penanganan Diare........................................................................... 11
2.6. Syok................................................................................................ 12
2.7. Transfer O2 dalam Darah................................................................. 24
2.8. GCS pada anak................................................................................ 24
BAB III KESIMPULAN.................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pemicu
Pak Mamat tinggal di pemukiman padat di pinggiran kali Ciliwung.
Selama musim penghujan ini, rumah Pak Mamat terendam banjir akibat
tersumbatnya aliran kali oleh sampah. Dalam 4 hari menderita muntah-
muntah dan diare. Pagi ini si anak dijumpai dalam keadaan tak sadar,
bibirnya kering dan pucat, serta kulitnya dingin. Anak tersebut tampak
masih bernafas lemah dan cepat. Pak Mamat meminta pertolongan anda
untuk membawa anaknya ke rumah sakit.
1.2. Kata Kunci
a. Anak usia 4 tahun tidak sadar.
b. Denyut nadi radialis lemah (150 kali/menit).
c. Kulit dingin, basah, bibir kering dan pucat.
d. Muntah-muntah dan diare selama 4 hari.
e. Bernafas lemah dan cepat.
1.3. Rumusan Masalah
Pertolongan pertama pada balita dengan keluhan dehidrasi berat yang
berujung pada penurunan kesadaran akibat dari muntah dan diare.
1
1.4. Analisis Masalah
1.5. Hipotesis
Anak usia 4 tahun mengalami syok hipovolemik karena dehidrasi berat
akibat diare akut.
1.6. Pertanyaan Diskusi
a. Berapa ukuran tanda vital normal pada anak?
b. Berapa kadar cairan tubuh yang normal di dalam tubuh?
c. Apa pertolongan pertama pada balita dengan dehidrasi berat?
d. Bagaimana penanganan diare berdasarkan tingkatannya?
e. Apa yang dimaksud dengan syok?
f. Apa saja jenis dan mekanisme syok?
g. Apa saja tanda dan gejala syok?
h. Bagaimana transfer O2 di dalam tubuh?
i. Bagaimana efek oksigenasi jaringan pada orang yang mengalami syok?
j. Bagaimana GCS pada anak?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tanda Vital Normal pada Anak
KELOMPOK USIA
RESPIRATORY RATE
HEART RATE
TEKANAN DARAH SISTOLIK
BERAT BADAN (KG)
Newborn 30-50 120-60 50-70 2-3Infant (1-12 bulan)
20-30 80-140 70-100 4-10
Toddler (1-3 tahun)
20-30 80-130 80-110 10-14
Pre-schooler (3-5 tahun)
20-30 80-120 80-110 14-18
Schoolage (6-12 tahun)
20-30 70-110 80-120 20-42
Adolescent ( 13+ tahun)
12-20 55-105 110-120 >50
*)
1. Heart rate, tekanan darah sistolik, dan respiratory rate cenderung
meningkat selama demam atau stress.
2. Respiratory rate pada kelompok infants harus dihitung pada hitungan
penuh 60 detik.
2.2. Kadar Cairan Tubuh Normal
Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan. Pada bayi prematur
jumlahnya sebesar 80% dari berat badan, bayi normal sebesar 70-75% dari
berat badan, sebelum pubertas sebesarr 65-70% dari berat badan, orang
dewasa sebesar 50-60% dari berat badan. Kandungan air di dalam sel lemak
lebih rendah daripada kandungan air di dalam sel otot, sehingga cairan tubuh
total pada orang yang gemuk (obes) lenih rendah dari mereka yang tidak
gemuk (Sudoyo Aru W, dkk.2009).
Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen utama yaitu cairan
ekstrasel dan cairan intrasel. Volume cairan intrasel sebesar 60% dari cairan
3
tubuh total atau sebesar 36% dari berat badan pada orang dewasa. Volume
cairan ekstrasel sebesar 40% dari cairan tubuh total atau sebesar 24% dari
berat badan pada orang dewasa. Cairan ekstrasel dibagi dalam dua
subkompartemen yaitu cairan interstisium dan intravascular(plasma). Cairan
interstisium sebesar 30% dari cairan tubuh dan 18% dari berat badabn pada
orang dewasa dan cairan intravascular (plasma) sebesar 10% dari cairan
tubuh total atau 6% dari berat badan pada orang dewasa.Cairan ekstrasel dan
cairan intasel dibatasi oleh membrane sel(lipid-soluble), merupakan
membrane semipermeabel yang bebas dilewati oleh air akan tetapi tidak bisa
dilewatioleh solute yang ad dikedua kompartemen tersebut kecuali urea.
Cairan interstisium dan cairan intravascular dibatasi oleh membrane
permeable yang bebasdilewati oleh air dan solute kecuali albumin. Albumin
hanya terdapat di intravascular (Sudoyo Aru W, dkk.2009).
Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut berupa kation
dan anion(eletrolit) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan
fungsi sel. Ada dua kation yang penting, yaitu natrium dan kalium. Keduanya
mempengaruhi tekanan osmotic cairan ekstrasel dan intrasel dan langsung
berhubungan dengan fungsi sel. Kation dalam cairan ekstrasel adalah natrium
(kation utama), kalium kalsium dan magnesium. Untuk menjaga netralitas
(elektronetral) di dalam cairan ekstrasel terdapat anion-anion seperti klorida,
bikarbonat dan albumin. Kation utama cairan intrasel adalah kalium dan
anion utama adalah fosfat (Sudoyo Aru W, dkk.2009).
2.3. Diare
2.2.1. Definisi Diare
Diare adalah Frekuensi dan kosistensi feses yang abnormal
(Dorland,2010).
2.2.2. Etiologi Diare
a. Infeksi
Diare merupakan gejala infeksi yang disebabkan oleh
berbagai organisme bakteri, virus dan parasit, yang sebagian
4
besar ditularkan melalui air yang terkontaminasi feses. Infeksi
sering terjadi pada keadaan kekurangan air bersih untuk
minum, memasak dan mencuci. Rotavirus dan Escherichia coli
adalah dua penyebab paling umum dari diare di negara
berkembang.
b. Gizi Buruk
Anak-anak yang meninggal karena diare pada umumnya
mengalami kekurangan gizi, yang membuat mereka lebih
rentan terhadap diare. Pada setiap tahapan diare nantinya akan
menyebabkan kekurangan gizi yang lebih buruk. Diare
merupakan penyebab utama kekurangan gizi pada anak di
bawah lima tahun.
c. Sumber
Air yang terkontaminasi feses manusia, misalnya dari
limbah, tangki septik dan jamban, menjadi perhatian khusus.
Kotoran hewan juga mengandung mikroorganisme yang dapat
menyebabkan diare.
d. Penyebab lain
Penyakit diare juga dapat menyebar dari individu ke
individu lainnya, terutama pada sanitasi yang buruk. Makanan
merupakan penyebab utama diare bila diolah atau disimpan
dalam kondisi tidak higienis. Air dapat mengkontaminasi
makanan selama irigasi. Ikan dan makanan laut dari air yang
tercemar juga dapat menyebabkan penyakit.
2.2.3. Klasifikasi Diare
2.2.4. Tatalaksana Diare
a. Diare tanpa dehidrasi:
1) Berikan cairan yang adekuat dan lanjutkan pemberian diet
sesuai usia (jangan batasi nutrisi).
2) Tingkatkan asupan cairan untuk mengompensasi
kehilangan cairan: dapat menggunakan cairan rehidrasi
5
oral. Cairan tambahan 10 ml/kg untuk tiap episode muntah
atau diare atau berikan 60-120 ml jika <10 kg , 120-240 ml
jika >10 kg.
b. Diare dengan dehidrasi ringan hingga sedang seta toleransi
cairan:
1) Cairan rehidrasi oral 50-100 ml/kg selama 2-4 jam untuk
mengganti perkiraan defisit cairan, serta cairan rehidrasi
oral tambahan untuk mengganti kehilangan cairan yang
sedang terjadi.
2) Berikan cairan rehidrasi oral dalam jumlah sedikit dan
frekuensinya sering (misalnya, 5 ml aliquot tiap 1-2 menit
dapat memberikan 150-300 ml/jam).
3) Seiring membaiknya dehidrasi dan ketidak seimbangan
elektrolit, dapat diberikan volume yang lebih besar dalam
interval yang lebih panjang.
4) Dapat diberikan makanan padat karena pemberian makan
sedini mungkin meningkatkan hasil akhir.
5) Bayi: lanjutikan menyusui, tambahkan dengan cairan
rehidrasi oral.
6) Jika muntah, pikirkan untuk memasang NGT: pemberian
cairan secara kontinu secara perlahan.
7) Observasi sampai tanda dehidrasi menghilang: nilai
kembali kesadaran secara teratur.
c. Diare dengan dehidrasi berat
1) Terapi intravena pada dehidrasi berat (syok/prasyok).
2) NS 20 ml/kg bolus IV; bila perlu, ulangi bolus.
3) Kemudian berikan cairan rehidrasi oral 100 ml/kg sama 4
jam atau D5W o,45 NSIV pada 2 kali rumatan.
4) Rehidrasi awal dapat dilanjutkan degan menyusui dan
pemberian makan sesuai usia.
5) Ganti kehilangan cairan.
6
2.4. Dehidrasi
2.4.1. Definisi Dehidrasi
Dehidrasi adalah suatu keadaan yang terjadi akibat kahilangan
cairan tubuh secara berlebihan (Dorland, 2010).
2.4.2. Klasifikasi Dehidrasi
Secara umum, klasifikasi dehidrasi adalah sebagai berikut:
a. Dehidrasi ringan (defisit < 5% dari Berat Badan)
Keadaan umum sadar baik, rasa haus +, sirkulasi darah nadi
normal, pernapasan biasa, mata agak cekung,, turgor biasa,
kencing biasa dan suara serak (Sudoyo Aru W, dkk.2009).
b. Dehidrasi sedang (defisit 5-10% dari Berat Badan)
Keadaan umum gelisah, rasa haus ++, sirkulasi nadi cepat
(120-140), pernapasan agak cepat, mata cekung, turgor agak
berkurang dan kencing sedikit (Sudoyo Aru W, dkk.2009).
c. Dehidrasi Berat (deficit > 10% dari Berat Badan)
Keadaan umum apatis/koma, rasa haus +++, nadi > 140,
pernapasan cepat dan dalam, mata cekung sekali, turgor kurang
sekali, kencing tidak ada dan kesadaran menurun (Sudoyo Aru
W, dkk.2009).
Klasifikasi dehidrasi pada anak yang mengalami diare:
Klasifikasi Tanda-tanda atau gejala Pengobatan
Dehidrasi berat Terdapat dua atau lebih dari
tanda di bawah ini:
1. Letargi/tidak sadar
2. Mata cekung
3. Tidak bisa minum
atau malas minum
4. Cubitan kulit perut
kembali sangat
Beri cairan untuk diare
dengan dehidrasi berat.
7
lambat(>2 detik)
Dehidrasi ringan atau
sedang
Terdapat dua atau lebih
tanda di bawah ini:
1. Rewel, gelisah
2. Mata cekung
3. Minum dengan
lahap, haus
4. Cubitan kulit
kembali lambat.
1. Beri anak cairan
dan makanan untuk
dehidrasi ringan
2. Setelah rehidrasi,
nasihati ibu untuk
penanganan di
rumah dan kapan
kembali segera.
3. Kunjungan ulang
dalam waktu 5 hari
jika tidak
membaik.
Tanpa dehidrasi Tidak terdapat cukup tanda
untuk diklasifikasikan
sebagai dehidrasi ringan
atau berat
1. Beri cairan dan
makanan untuk
menangani diare di
rumah
2. Nasihati ibu kapan
kembali segera
3. Kunjungan ulang
dalam waktu 5 hari
jika tidak
membaik.
2.5. Pertolongan pertama pada balita dengan dehidrasi berat
Anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena secara cepat
yang diikuti dengan terapi rehidasi oral. Mulai berikan cairan intravena
segera. Pada saat infus disiapkan, beri larutan oralit jika anak bisa minum.
Larutan intravena terbaik adalah larutan Ringer Laktat (disebut pula larutan
Hartman untuk penyuntikan). Tersedia juga larutan Ringer Asetat. Jika
larutan Ringer Laktat tidak tersedia, larutan garam normal (NaCl 0.9%) dapat
8
digunakan. Larutan glukosa 5% (dextrosa) tunggal tidak efektif dan jangan
digunakan (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Beri 100 ml/kg larutan yang dipilih dan dibagi sesuai tabel berikut ini:
Pertama, berikan 30
ml/kg dalam:
Selanjutnya, berikan
70 ml/kg dalam:
Umur < 12 bulan 1 jam* 5 jam
Umur ≤ 12 bulan 30 menit* 21/2 jam
*ulangi kembali jika denyut nadi radial masih lemah atau tidak teraba
2.6. Syok
2.6.1. Definisi Syok
Syok adalah gangguan fisik atau mental yang mendadak.
Keadaan gangguan metabolic dan hemodinamik yang sangat berat
dan ditandai dengan kegagalan system srkulasi untuk
mempertahankan perfusi organ vital yang adekuat. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh bolume darahyang tidak adekuat(syok
hipovolemik) fungsi jantung tidak adekuat (syok kardiogenik) atau
tonus vasomotor tidak adekuat (syok neurogenik dan syok septic).
Disebut juga circulatory collapse. (Dorland, 2010)
Syok adalah hipoperfusi sistemik yang disebabkan oleh
penurunan, baik curah jantung maupun volume darah yang beredar
secar efektif. Kemudian akan muncul hipotensi, diikuti dengan
gangguan perfusi jaringan serta hipoksia sel (Kumar, Robbins,
Cotran, 2011).
Syok bukanlah suatu diagnosa. Syok merupakan suatu sindrom
klinis kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan
berbagai manifestasi hemodinamik, tetapi, petunjuk yang umum
adalah tidak memadainya perfusi jaringan. Keadaan hipoperfusi ini
memperburuk hantaran oksigen dan nutrisi, serta pembuangan sisa-
sisa metabolit pada tingkat jaringan. Hipoksia jaringan akan
menggeser metabolisme dari jalur oksidatif ke jalur anaerob, yang
9
mengakibatkan pembuangan asam laktat. Kekacauan metabolisme
yang progresif menyebabkan syok menjadi berlarut-larut, yang
pada puncaknya akan menyebabkan kemunduran sel dan kerusakan
multisistem. Syok bersifat progresif dan terus memburuk (Guyton,
Hall; 2007).
2.6.2. Klasifikasi Syok
Syok dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori umum:
kardiogenik, hipovolemik, septic dan anafilaktik. Mekanisme yang
mendasari syok kardiogenik dan hipovolemik hampir jelas pada
dasarnya keduanya melibatkan curah jantung yang rendah (Kumar,
dkk; 2011).
a. Syok Kardiogenik disebabkan oleh kegagalan pompa miokard.
Syok ini dapat disebabkan oleh kerusakan miokard instrinsik
(infark), aritmia ventrikel, kompresi ekstrinsik (tamponade)
jantung atau obstruksi pada aliran keluar darah ( emboli paru )
b. Syok Hipovolemik disebabkann oleh kehilangan volume darah
atau plasma. Hal tersebut dapat disebbkan oleh pendarahan,
kehilangan caran akibat luka bakar atau trauma.
c. Syok Septic disebabkan oleh infeksi mikroba sistemik. Syok ini
paling sering terjadi dalam kasus infeksi gram negative, tetapi
terdapat pula terjadi pada gram positiff dan jamur.
d. Syok Anafilaktik diawali oleh suatu respon ipersensitivitas
umum yang diperantarai immunoglobulin E yang disertai
vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. Dalam contoh ini, vasodilatasi meluas menyebabakan
kapasitas pembuluh darah meningkat mendadak yang tidak
dapat diisi secara memadai oleh volume darah yang biasanya
beredar. Oleh karena itu, terjadi hipoperfusi jaringan dan
anoksia sel.
10
2.6.3. Tanda dan Gejala Syok
Tanda Syok:
a. Nadi Cepat dan Lemah.
Akibat adanya kekurangan pasokan darah dari jantung, maka
respon pertama yang diberikan oleh sistem sirkulasi adalah
meningkatkan kecepatan pemompaan oleh jantung. Tujuannya
untuk mempertahankan perfusi jaringan sehingga otomatis
frekuensi nadi akan bertambah cepat dan dalam keadaan syok
nadi bisa berdenyut lebih dari 100 kali/menit. Penurunan
jumlah darah yang sangat banyak ini juga akan mengakibatkan
penurunan tekanan darah sehingga nadi korban menjadi lemah
dan halus.
b. Nadi Cepat dan Dangkal.
Ketika syok terjadi maka organ tubuh akan segera merespon
dengan mengirimkan sinyal ke otak bahwa oksigen yang
diperoleh oleh organ tubuh tersebut berkurang. Dan otak
dengan segera merespon dan memerintahkan paru-paru untuk
bekerja semakin cepat dalam memproduksi oksigen. Nah,
semakin parahnya syok maka nafas korban akan semakin cepat,
sulit, dangkal dan terkadang tidak teratur. Seperti halnya
jantung (tanda no.1), ketika terjadi syok, maka kerja paru-paru
akan semakin meningkat.
c. Kulit Pucat, Dingin dan Lembab.
Tubuh kita memiliki sistem pertahanan sendiri, dalam
keadaan darurat peredaran darah akan diarahkan menuju alat
tubuh yang paling penting seperti jantung, otak dan lainnya.
Hal ini akan menimbulkan dampak pada suhu dan warna kulit
yaitu akan menjadi dingin dan pucat juga bisa membuat kulit
lembab.
d. Wajah.
11
Seperti halnya kulit, wajah juga akan menjadi pucat sebagai
tanda kekurangan darah dan oksigen. Terjadi sianosis pada
bibir, lidah dan cuping telinga.
e. Mata.
Ketika syok, akan terjadi pelebaran pada manik mata dan
pandangannya hampa.
f. Perubahan Keadaan Mental.
Kurangnya pasokan oksigen ke otak sangat berpengaruh
besar dengan fungsi dan kerja otak. Bila pasokan oksigen ini
berkurang walau hanya sedikit, maka akan terjadi perubahan
mental seperti gelisah, ingin berkelahi dan adakalanya ini
merupakan gejala yang pertama kali terlihat.
Gejala Syok:
Jika tanda-tanda syok di atas terjadi pada seseorang, maka
selanjutnya gejala yang timbul pada diri korban adalah:
a. Mual, bisa juga disertai dengan muntah,
b. Haus,
c. Lemah,
d. Pusing (Vertigo),
e. Tidak Nyaman dan takut, terkadang pada beberapa korban
pengamatan inilah yang mungkin pertama kali ditemukan.
2.6.4. Mekanisme Syok
Syok merupakan suatu gngguan progresif yang jika tidak
diperbaiki akan menyebabkan kematian kecuali jika kerusakan
massif dan segera meniimbulkan kematian ( misalnya pendarahan
massif akibat robekan aneurisma aorta ), syok cenderung
berkembang memalui 3 tahapan umum. Taapan ini paling jelas
dikenali dalam syok hipovolemik, tetapi lazim pula untuk bentuk
syok lainnya (Kumar, dkk; 2011).
12
a. Tahapan awal nonprogresif yaitu selama tahapan ini
mekanisme kompensasi reflex akan diaktifkan dan perfusi
organ vital dipertahankan. Pada tahap ini beragam
neurohumoral membantu mempertahankan curah jantung dan
tekanan darah. Mekanisme ini meliputi reflek baroresptor,
pelepasan katekolamin aktivasi poros reni angiotensin,
pelepasan hormon anti diuretic dan perangsangan simpatis
umum (Kumar, dkk; 2011).
b. Tahap progresif
Tahap progresif ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan
awal manifestasi dan memburuknya ketidakseimbangan
sirkulasi dan metabolik (Kumar, dkk; 2011).
c. Tahap ireversibel
Kegagalan mekanisme tubuh menyebabkan syok terus
berlanjut sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi
organ-organ lain (disfungsi multi organ), cadangan fosfat
energi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hati,
sedang sintesa ATP baru hanya 2%/jam, sehingga tubuh akan
kehabisan energi. Pada keadaan ini kematian akan terjadi
meskipun sistem sirkulasi dapat diperbaiki. Diagnosis renjatan
ireversibel adalah retrospektif, artinya diagnosis dibuat sesudah
penderita meninggal akibat kerusakan yang ekstensif dari
organ-organ tubuh yang menyebabkan kerusakan multi organ
dan kematian. Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak
terukur, nadi tidak teraba, koma dalam, anuria, dan tanda-tanda
kegagalan organ-organ lain (A. Latief Azis; 2005).
2.6.5. Syok Hipovolemik
Hipovolemia adalah berkurangnya volume darah. Perdarahan
adalah penyebab paling sering hipovolemik. Perdarahan akan
menurunkan tekanan pengisian sirkulasi, dan, sebagai akibatnya,
13
menurunkan aliran balik vena. Sebagai hasilnya, curah jantung
menurun di bawah normal dan dapat timbul syok (Guyton, Hall;
2007).
Syok hipovolemik terjadi sebagai akibat berkurangnya volume
darah intravaskular. Jenis syok ini merupakan yang paling banyak
dijumpai dan merupakan penyebab kematian utama anak. Di
negara berkembang penyebab utama hipovolemia adalah diare akut
dan demam berdarah dengue, sedang di negara maju penyebab
utama hipovolemia adalah perdarahan akibat trauma (A. Latief
Azis; 2005).
Kehilangan cairan yang cepat dan banyak menurunkan preload
ventrikel sehingga terjadi penurunan isi sekuncup dan curah
jantung sehingga terjadi penurunan hantaran oksigen ke jaringan
tubuh. Pada renjatan karena perdarahan, selain terjadi penurunan
cardiac output juga terjadi pengurangan hemoglobin, sehingga
transport oksigen ke jaringan semakin berkurang (A. Latief Azis;
2005).
Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang beredar,
tonus pembuluh darah, dan sistem pompa jantung. Gangguan dari
salah satu fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya renjatan.
Bila terjadi hipovolemi maka mekanisme kompensasi yang terjadi
adalah melalui (A. Latief Azis; 2005):
a. Baroreseptor
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tegangan
dalam pembuluh darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah,
maka rangsangan terhadap baroreseptor akan menurun,
sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke pusat juga
berkurang, sehingga akan terjadi:
1) Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibitory center.
2) Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor.
14
Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi
vasokonstriksi dan takikardia. Baroreseptor ini terdapat di sinus
karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan
dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan
baroreseptor perifer yang paling berperan dalam pengaturan
tekanan darah.
b. Kemoreseptor
Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila
tekanan darah menurun sampai 60 mmHg. Bila tekanan darah
menurun di bawah 60 mmHg maka yang bekerja adalah
kemoreseptor, yang terangsang apabila terjadi hipoksia dan
asidosis jaringan. Akibat rangsangan kemoreseptor ini adalah
vasokonstriksi yang luas dan rangsangan pernafasan.
c. Cerebral Ischemic Receptor
Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40 mmHg maka
akan terjadi sympathetic discharge massif. Respon dari respon
di otak ini lebih kuat dari respon reseptor primer.
d. Respon Humoral
Bila terjadi hipovolemia/hipotensi maka tubuh akan
mengeluarkan hormon-hormon stres seperti epinefrin,glukagon,
dan kortisol yang merupakan hormon yang mempunyai efek
kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran hormon ini
adalah tejadi takikardia, vasokonstriksi, dan hiperglikemia.
Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan darah
perifer dan preload, isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi
ADH oleh hipofisis posterior juga meningkat sehingga
pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.
e. Retensi air dan garam oleh ginjal
Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi
pengeluaran renin oleh aparatus yukstaglomerulus yang
merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Angiotensin I
15
ini oleh angiotensin convertizing enzyme diubah menjadi
angiotensin II yang mempunyai sifat:
1) Vasokonstriktor kuat
2) Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga
meningkatkan reabsorbsi natrium di tubulus ginjal
3) Meningkatkan sekresi vasopresin
f. Autotransfusi
Autotransfusi adalah suatu mekanisme di dalam tubuh untuk
mempertahankan agar volume dan tekanan darah tetap stabil.
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara jumlah
cairan intravaskular yang keluar ke ekstravaskular atau
sebaliknya. Hal ini tergantung pada keseimbangan antara
tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik intravaskular dan
ekstravaskular serta pada keadaan dinding pembuluh darah.
Pada keadaan hipovolemi maka tekanan hidrostatik
intravaskular akan menurun maka akan terjadi aliran cairan dari
ekstravaskular ke intravaskular sehingga tekanan darah dapat
dipertahankan. Bila proses hilangnya cairan tubuh cepat maka
proses ini tidak akan mempu menaikkan tekanan darah.
Akibat dari semua ini maka akan terjadi:
1) Vasokonstriksi yang luas
Vasokonstriksi yang paling kuat terjadi pada pembuluh
darah skeletal, sphlanchnic dan kulit, sedang pada
pembuluh darah otak dan koronaria tidak terjadi
vasokonstriksi, bahkan aliran darah pada kelenjar adrenal
meningkat sampai 300% sebagai usaha kompensasi tubuh
untuk meningkatkan respon katekolamin pada renjatan.
Vasokonstriksi ini menyebabkan suhu tubuh perifer
menjadi dingin dan kulit menjadi pucat.
2) Sebagai akibat vasokonstriksi maka tekanan diastolik akan
meningkat pada fase awal, sehingga tekanan nadi
16
menyempit, tapi bila proses berlanjut keadaan ini tidak
dapat dipertahankan dan tekanan darah akan semakin
menurun sampai tidak terukur.
3) Takikardia
4) Iskemia jaringan akan menyebabkan metabolisme
anaerobik dan terjadi asidosis metabolik.
5) Hipovolemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat
sehingga kesempatan pertukaran O2 dan CO2 ke dalam
pembuluh darah lebih lama dan akibatnya terjadi perbedaan
yang lebih besar antara tekanan O2 dan CO2 arteri dan vena.
2.6.6. Efek Oksigenasi Jaringan pada Pasien Syok
Apabila pemberian bantuan pernapasan oksigen pada pasien
syok tidak adekuat, baik dari segi tekanan maupun kuantitas
oksigen, pasien syok akan sangat berpotensial untuk mengalami
keracunan oksigen.
a. Keracunan Oksigen Akut
Ketika menghirup oksigen yang bertekanan sangat tingg,
dapat timbul PO2 jaringan yang sangat tinggi pula. Hal ini dapat
merusak berbagai jaringan tubuh. Misalnya, ketika menghirup
oksigen pada tekanan 4 atmosfer (PO2 = 3040 mmHg), sebagian
besar orang akan mengalami kejang otak yang diikuti koma
setelah 30 hingga 60 menit. Kejang-kejang sering timbul tanpa
didahului tanda-tanda peringatan, sehingga dapat
mengakibatkan kematian.
Gejala-gejala lain keracunan oksigen akut adalah rasa mual,
kedutan pada otot-otot, pusing, gangguan penglihatan, mudah
tersinggung, dan disorientasi.
b. Keracunan Oksigen Kronik.
Seseorang dapat terpajan pada tekanan oksigen 1 atmosfer
dengan hampir tidak mengalami keracunan oksigen akut pada
17
sistem saraf. Namun, hanya setelah terpajan tekanan oksigen 1
atmosfer selama 12 jam, baru kemudian terjadi pembengkakan
di saluran paru, edema paru, dan atelektasis akibat kerusakan
pada lapisan bronki dan alveoli. Alasan mengapa efek ini
terjadi dalam paru dan bukan di jaringan lain adalah bahwa
ruang udara paru secara langsung terpajan oleh tekanan oksigen
yang tinggi, sementara penghantaran oksigen ke jaringan lain
tetap dalam PO2 yang hampir normal karena adanya sistem
dapar oksigen-hemoglobin.
2.7. Mekanisme Transfer O2 dalam Darah
Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, oksigen
diangkut ke kapiler jaringan perifer hampir seluruhnya dalam bentuk
gabungan dengan hemoglobin. Adanya hemoglobin di dalam sel darah merah
memungkinkan darah untuk mengangkut 30 sampai 100 kali jumlah oksigen
yang dapat diangkut dalam bentuk oksigen terlarut di dalam cairan darah
(plasma) (Guyton, Hall; 2007).
Dalam sel jaringan tubuh, oksigen bereaksi dengan berbagai bahan
makanan untuk membentuk sejumlah besar karbon dioksida. Karbon dioksida
ini masuk ke dalam kapiler jaringan dan diangkut kembali ke paru. Karbon
dioksida, seperti oksigen, juga bergabung dengan bahan-bahan kimia dalam
darah yang meningkatkan pengangkutan karbon dioksida 15 hingga 20 kali
lipat (Guyton, Hall; 2007).
Telah ditekankan bahwa gas dapat bergerak dari satu tempat ke tempat
lain dengan cara difusi, dan pergerakan ini selalu disebabkan oleh perbedaan
tekanan parsial dari tempat pertama ke tempat berikutnya. Dengan demikian,
oksigen berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler paru karena tekanan
parsial oksigen (PO2) dalam alveoli lebih besar daripada PO2 dalam darah
kapiler paru. Dalam jaringan tubuh lainnya, PO2, yang lebih tinggi dalam
darah kapiler daripada dalam jaringan menyebabkan oksigen berdifusi ke
dalam sel-sel di sekitarnya (Guyton, Hall; 2007).
18
Sebaliknya, bila oksigen dimetabolisme dalam sel untuk membentuk
karbon dioksida, tekanan karbon dioksida (PcO2) intrasel meningkat ke nilai
yang tinggi, sehingga menyebabkan karbon dioksida berdifusi ke dalam
kapiler jaringan. Setelah darah mengalir ke paru, karbon dioksida berdifusi
keluar dari darah masuk ke dalam alveoli karena PcO2 dalam darah kapiler
paru lebih besar daripada dalam alveoli. Sehingga, pengangkutan oksigen dan
karbon dioksida, oleh darah bergantung pada difusi keduanya dan aliran
darah (Guyton, Hall; 2007).
2.7.1. Difusi Oksigen dari Alveoli ke Darah Kapiler Paru
Bagian atas dari Gambar 40-1 melukiskan alveolus paru yang
berbatasan dengan kapiler paru, yang memperlihatkan difusi
molekul-molekul olisegen atara udara alveolus dan darah paru. PO2
dari gas oksigen dalam alveolus rata-rata 104 mmHg, sedangkan
PO2 darah vena yang masuk kapiler paru pada ujung arterinya, rata-
rata hanya 40 mmHg karena sejumlah besar oksigen dikeluarkan
dari darah ini setelah melalui jaringan perifer. Oleh karena itu,
perbedaan tekanan awal yang menyebabkan okisgen berdifusi ke
dalam kapiler paru adalah 104 – 40, atau 64 mmHg. Pada bagian
bawah gambar, terdapat kurva yang memperlihatkan peningkatan
PO2 yang cepat dalam darah sewaktu darah melewati kapiler; PO2
19
darah meningkat hampir sebanding dengan peningkatan yang
terjadi pada udara alveolus sewaktu darah telah melewati sepertiga
pajang kapiler, yang menjadi hampir 104 mmHg.
2.7.2. Transpor Oksigen dalam Darah Arteri
Kira-kira 98 persen darah dari paru yang memasuki atrium kiri,
mengalir melalui kapiler alveoulus dan menjadi teroksigenasi
sampai PO2 kira-kira 104 mmHg. Sekitar dua persennya lagi
melewati aorta melalui sirkulasi bronkial, yang terutama menyuplai
jaringan dalam pada paru dan tidak terpapar dengan udara paru.
Aliran darah ini disebut “aliran pintas”, yang berarti darah yang
memintas daerah pertukaran gas. Pada waktu meninggalkan paru,
PO2 darah pintas hampir sama dengan darah vena sistemik normal,
kira-kira 40 mmHg. Ketika darah ini bercampur dalam darah vena
paru dengan darah yang teroksigenasi dari kapiler alveolus;
campuran darah ini disebut campuran darah vena, dan menyebakan
PO2 darah yang masuk ke jantung kiri dan dipompa ke dalam aorta,
menjadi turun sampai sekitar 95 mmHg.
2.7.3. Difusi Oksigen dari Kapiler Perifer ke dalam Cairan
Interstisial
Bila darah arteri sampai ke jaringan perifer, PO2 dalam kapiler
masih 95 mmHg. Namun, seperti terlihat pada Gambar 40-3, PO2
dalam cairan intersitisial yang mengelilingi sel jaringan rata-rata
hanya 40 mmHg. Dengan demikian, terdapat perbedaan tekanan
awal yang sangat besar yang menyebabkan oksigen berdifusi
secara cepat dari darah kapiler ke dalam jaringan – begitu cepatnya
20
sehingga PO2 kapiler turun hampir sama dengan tekanan dalam
interstisium, yaitu 40 mmHg. Oleh karena itu, PO2 darah yang
meninggalkan kapiler jaringan dan memasuki vena sistemik juga
kira-kira 40 mmHg.
2.7.4. Difusi Oksigen dari Kapiker Perifer ke Sel Jaringan
Oksigen selalu dipakai oleh sel. Oleh karena itu, PO2 intrasel
dalam jaringan perifer tetap lebih rendah daripada PO2 dalam
kapiler perifer. Juga, pada beberapa keadaan, ada jarak fisik yang
sangat besar antara kapiler dan sel. Oleh karena itu, PO2 intrasel
normal berkisar dari 5 mmHg sampai 40 mmHg., dengan rata-rata
(dengan pengukuran langsung pada hewan tingkat rendah) 23
mmHg. Karena pada keadaan normal hanya dibutuhkan tekanan
oksigen sebesar 1 sampai 3 mmHg untuk mendukung sepenuhnya
proses kimiawi dalam sel yang menggunakan oksigen, maka kita
dapat melihat bahwa PO2 intra sel yang rendah, yaitu 23 mmHg,
lebih dari cukup dan merupakan suatu faktor pengaman yang besar.
2.7.5. Transpor Oksigen dalam Bentuk Terlarut
Pada keadaan PO2 arteri normal, yaitu 95 mmHg, sekitar 0,29
mililiter oksigen dilarutkan dalam setiap 100 mililiter cairan darah,
dan bila PO2 darah turun menjadi 40 mmHg dalam kapiler jaringan,
hanya 0,12 mililiter oksigen yang tetap terlarut. Dengan kata lain,
0,17 mililiter oksigen secara normal diangkut dalam keadaan
terlarut ke jaringan leh setiap 100 mililiter darah. Jumlah ini
sebanding dengan kira-kira 5 mililiter oksigen yang diangkut oleh
hemoglobin sel darah merah. Oleh karena itu, oksigen yang
diangkut ke jaringan dalam bentuk terlarut normalnya berjumlah
sedikit, hanya kira-kira 3 persen dari jumlah total, bila
dibandingkan dengan 97 persen yang diangkut oleh hemoglobin.
Selama kerja berat, bila pelepasan oksigen oleh hemoglobin ke
jaringan meningkat tiga kali lipat, maka jumlah relatif yang
diangkut dalam bentuk terlarut turun menjadi 1,5 persen. Bila
21
seseorang menghirup oksigen pada PO2 alveolus sangat tinggi,
jumlah yang diangkut dalam bentuk terlarut dapat menjadi
berlebihan, sehingga terkadang terjadi kelebihan yang serius dalam
jaringan, dan mengakibatkan “keracunan oksigen”. Ini seringkali
menyebabkan konvulsi otak dan bahkan kematian (Guyton, Hall;
2007).
2.8. GCS pada anak
Skala Koma Glasgow Modifikasi untuk Bayi (Lalani dan Schneeweiss, 2011)
Aktivitas Respon Terbaik Nilai
Membuka mata Spontan
Terhadap pembicaraan orang
Terhadap nyeri
Tidak membuka mata
4
3
2
1
Verbal Berceloteh
Rewel, menangis
Menangis jika nyeri
Melenguh jika nyeri
Tidak bersuara
5
4
3
2
1
Motorik Pergerakan spontan normal
Menarik diri jika disentuh
Menarik diri jika nyeri
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada
6
5
4
3
2
1
BAB III
22
KESIMPULAN
Pertolongan pertama kepada balita dengan syok berat akibat dehidrasi
berat adalah dengan resuitasi cairan, mengoreksi gangguan elektrolit, dan
penanganan etiologinya.
DAFTAR PUSTAKA
23
Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan
Anak di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Guyton, Arthur C ; John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Kumar, Vinay, Ramzi S. cotran dan Stanley L. Robbins.2007. Buku Ajar Patologi
Robbins ed 7, Vol 1. Jakarta : EGC
Sudoyo Aru W, dkk.2009.Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V. Jakarta
Pusat : InternaPublishing.
Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium Alternatif
Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM,
Jakarta, 14 Agustus 1999.
http://www.rainbowrehab.com/RainbowVisions/article_downloads/articles/Art-TECH-
GComaScale.pdf
http://www.rnceus.com/psvt/psvtvs.html
24