laporan pemicu 4 kelompok 1
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK
PEMICU 4
MODUL METABOLIK ENDOKRIN
Kelompok Diskusi 1
Irene Eka Renata Sitompul I11110020
Albertus Are Satriadi I11112047
Muthiah Azzahra I11112071
Ridhallah I10112079
Zainul Arifin I1011131008
Ariana I1011131032
Rina Rostiana I1011131039
Deby Wahyu Putriana I1011131052
Inggri Ocvianti Ningsih I1011131056
Jefry Alfarizy I1011131060
Akbar Taufik I1011131068
Dias Arivia Aswada I1011131082
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura
Pontianak
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pemicu 4
Ny X, 48 tahun datang dengan patah tulang setelah jatuh dari tangga di rumahnya
saat akan menjemur pakaian. Pasien memiliki riwayat alergi makanan dan rutin
minum obat CTM dan dexamethasone 3 kali sehari, sejak 5 tahun terakhir. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan TD 150/90 mmHg. Di keluarga Ny.X tidak ada
yang menderita hipertensi maupun asma.
1.1. Klarifikasi dan Definisi
Alergi adalah sebuah kondisi dimana tubuh memiliki respon yang berlebihan
terhadap suatu zat misalnya makanan atau obat.
1.2. Kata Kunci
1. Wanita 48 tahun
2. Patah tulang
3. Riwayat alergi makanan
4. Rutin minum obat CTM dan dexamethasone sejak 5 tahun terakhir
5. TD 150/90 mmHg
6. Riwayat keluarga hipertensi dan asma (-)
1.3. Rumusan Masalah
Ny. X 48 tahun mengalami patah tulang dan memiliki riwayat alergi
makanan serta mengonsumsi CTM dan dexamethasone sejak 5 tahun
terakhir.
1.4. Analisis Masalah
Ny. X, 48 tahun
Anamnesis
Patah Tulang
CTM Dexamethason
Alergi Makanan
Degenerasi Tulang
Kortikosteroid
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Efek Samping
Hiperkortisolisme
Pemeriksaan Penunjang
Tatalaksana
TD: 150/90 mmHg
1.5. Hipotesis
Ny. X 48 tahun mengalami patah tulang karena penggunaan kortikosteroid
jangka panjang.
1.6. Pertanyaan Diskusi
1. Kelenjar Adrenal
a. Anatomi
b. Histologi
c. Hormon yang diproduksi
d. Biosintesis, sekresi dan regulasi hormone kelenjar adrenal
e. Fungsi hormone kelenjar adrenal pada tubuh
f. Kelainan pada kelenjar adrenal
2. Hiperkortisolisme (Sindrom cushing)
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Patofisiologi
e. Manifestasi klinis
f. Diagnosis
g. Komplikasi
h. Tatalaksana
i. Prognosis
3. Kortikosteroid
a. Farmakokinetik
b. Farmakodinamik
c. Klasifikasi
d. Indikasi
e. Kontraindikasi
f. Dosis
g. Efek samping
4. CTM (Chlorpheniramine Maleate)
a. Farmakokinetik
b. Farmakodinamik
c. Indikasi
d. Kontraindikasi
e. Dosis
f. Efek samping
5. Apa saja yang mempengaruhi kepadatan tulang?
6. Hubungan patah tulang dengan obat yang dikonsumsi Ny. X?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kelenjar Adrenal
2.1.1. Anatomi
Kelenjar adrenal merupakan kelenjar kecil yang terletak dalam
fasia renalis di kutub atas ginjal. Kelenjar yang kanan terletak di
belakang lobus kanan hepar dan tepat di sebelah postolateral vena
cava inferior. Adrenal kiri di anterior dibatasi oleh kantung minor dan
lambung.1
Kelenjar adrenal terdiri dari korteks di luar dan medula di
dalam. Korteks berasal dari mesoderm dan bertanggung jawab untuk
memproduksi hormon steroid. Medula berasal dari ektoderm dan
berfungsi sebagai bagian dari sistem saraf otonom. Serabut
preganglionik simpatis didapat dari arteri splanknikus magna yang
menstimulasi medula untuk mensekresi noradrenalin dan adrenalin ke
aliran darah.1
Arteri frenikus, arteri renalis, dan aorta semua memberikan
cabang ke kelenjar adrenal. Drainase vena di sebelah kanan mengalir
ke vena cava inferior dan di sebelah kiri vena renalis sinistra.1
2.1.2. Histologi
a. Korteks Suprarenalis
Sel-sel parenkim korteks, berasal dari mesoderm, dibagi
menjadi tiga zona yang mensekresi hormon-hormon khusus.
Pengendalian sekresi hormonal ini sebagian besar diatur oleh
ACTH dari kelenjar hipofisis. Sel-sel zona glomerulosa
mensekresi aldosteron, suatu mineralokortikoid yang bekerja pada
sel-sel tubulus kontortus distalis ginjal untuk mengatur
keseimbangan air dan elektrolit. Sel-sel zona fasikulata
mensekresi kortisol dan kortikosteron. Glukokortikoid ini
mengatur metabolisme karbohidrat, membantu katabolisme lemak
dan protein, memperlihatkan aktivitas antiinflamasi dan menekan
respons imun. Sel-sel zona retikularis mensekresi sedikit androgen
yang membantu sifat maskulinitas.2
Gambar: Zona Kelenjar Suprarenalis
b. Medula Suprarenalis
Sel-sel parenkim medulla berasal dari bahan Krista
neuralis. Medula terdiri atas dua kelompok dan sel-sel kromafin
yang terutama mensekresi epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin
(noradrenalin). Sekresi kedua katekolamin ini secara langsung
diatur oleh serat-serat preganglionar dari susunan saraf simpatis
yang berpengaruh pada sel-sel neuron simpatis postgangliona
rmenyerupai kromafin. Pelepasan katekolamin terjadi pada stress
fisik dan strespsikologik. Lebih lanjut, sel-sel ganglion simpatis
dalam medulla bekerja pada sel-sel otot polos vena medularis,
sehingga mengendalikan aliran darah dalam korteks.2
2.1.3. Hormon yang Diproduksi
Ada dua jenis hormon adrenokortikal yang utama yaitu
mineralokortikoid, glukokortikoid yang disekresikan oleh korteks
adrenal. Selain hormon ini, korteks adrenal juga mensekresi sedikit
hormon kelamin terutama hormon androgen yang efeknya pada tubuh
hampir mirip dengan hormon kelamin pada pria yaitu testosteron.3
Disebut mineralokortikoid karena hormon ini terutama
mempengaruhi elektrolit cairan ekstraseluler terutama natrium dan
kalium. Disebut glukokortikoid karena hormon ini mempunyai efek
yang penting dalam meningkatkan konsentrasi glukosa darah.
Glukokortikoid ini juga mempunyai efek tambahan pada metabolisme
protein dan lemak. Dari korteks adrenal dapat dikenali lebih dari 30
jenis steroid namun hanya dua jenis yang berguna untuk fungsi
endokrin manusia yaitu aldosteron yang merupakan mineralokortikoid
yang utama dan kortisol yang merupakan glukokortikoid yang utama.3
2.1.4. Biosintesis, Sekresi dan Regulasi Hormone Kelenjar Adrenal
Korteks adrenal terdiri dari tiga lapisan atarzorai zona
glomerulosa, lapisan terluar; zona fasikulata, lapisan tengah dan
terbesar; dan zona retikularis, lapisan paling dalam. Korteks adrenal
mengeluarkan sejumlah hormon adrenokorteks, yang semuanya
adalah steroid yang berasal dari molekul prekursor bersama, yaitu
kolesterol.4
Variasi kecil dalam struktur berbagai hormon adrenokorteks
menyebabkan kemampuan masing-masing hormon berbeda.
Berdasarkan efek kerja primernya, steroid adrenal dapat dibagi
menjadi tiga kategori4:
1. Mineralokortikoid, terutama aldosteron, mempengaruhi
keseimbangan mineral (elektrolit), khususnya keseimbangan Na
dan K-.
2. Glukokortikoid, terutama kortisol, berperan besar dalam
metabolisme glukosa serta metabolisme protein dan lemak.
3. Hormon seks, identik atau serupa dengan yang dihasilkan oleh
gonad (testis pada pria, ovarium pada wanita).
Hormon seks adrenokorteks yang paling banyak dan penting
secara fisiologis adalah dehidroepiandrosteron, suatu hormon seks
"pria'. Tiga kategori steroid adrenal diproduksi di bagian-bagian
korteks adrenal yang berbeda akibat perbedaan distribusi enzim-
enzim yang diperlukan untuk mengatalisis jalur-jalur biosintetik yang
menyebabkan terbentuknya steroid-steroid ini. Dari dua hormon
adrenokorteks utama, aldosteron dihasilkan secara eksklusif di zona
glomerulosa sedangkan sintesis kortisol terbatas di dua lapisan
terdalam korteks, dengan zona fasikulata adalah sumber utama
glukokortikoid ini. Tidak ada jaringan steroidogenik lain yang
memiliki kemampuan menghasilkan mineralokortikoid atau
glukokortikoid. Sebaliknya, hormon seks adrenal, yang juga
diproduksi oleh dua zona korteks paling dalam, diproduksi jauh lebih
banyak di gonad.4
Karena lipofilik maka hormon adrenokorteks semua diangkut
dalam darah dalam keadaan terikat ke protein plasma. Kortisol terikat
terutama ke protein plasma yang spesifi k untuknya yang dinamai
corticbsteroid- binding globulin (transkortin), sementara aldosteron
dan dehidroepiandrosteron umumnya terikat ke albumin, yang secara
nonspesifik mengikat berbagai hormon lipofilik lain.4
Kerja dan regulasi mineralokortikoid adrenokorteks utama,
aldosteron, dijelaskan secara lebih mendalam di bagian lain. Tempat
kerja utama aldosteron adalah di tubulus distal dan koligentes ginjal,
tempat hormon ini mendorong retensi Na dan meningkatkan eliminasi
K sewaktu proses pembentukan urin. Retensi Na. oleh aldosteron
akan secara sekunder menginduksi retensi amotik H2O,
meningkatkan volume CES, yang penting dalam regulasi jangka
panjang tekanan darah.4
Mineralokortikoid bersifat esensial antuh hidup. Tanpa
aldosteron, orang akan segera meninggal akibat syok sirkulasi karena
penurunan mencolok volume plasma akibat pengeluaran berlebihan
Na penahan H2O. Pada sebagian besar defisiensi hormon lain,
kematian tidak langsung terjadi, meskipun defisiensi kronik hormon
akhirnya dapat menyebabkan kematian dini. Sekresi aldosteron
ditingkatkan oleh: (1) pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron
oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan penurunan Na. dan tekanan
darah serta (2) stimulasi langsung korteks adrenal oleh peningkatan
konsentrasi K- plasma. Selain efeknya pada sekresi aldosteron,
angiotensin mendorong pertumbuhan zona glomerulosa, dengan cara
serupa dengan efek TSH pada tiroid.Hormon adrenokortikotropik
(ACTH) dari hipofisis anterior terutama mendorong sekresi kortisol,
bukan aldosteron. Karena itu, tidak seperti regulasi kortisol, reguiasi
sekresi aldosteron umumnya tidak bergantung pada kontrol hipofisis
anterior.4
Kortisol, glukokortikoid utama, berperan penting dalam
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein; memiliki efek permisif
signifikan bagi aktivitas hormon lain; dan membantu tubuh menahan
stres.4
2.1.5. Fungsi Hormon Kelenjar Adrenal pada Tubuh
a. Medula Adrenal
Medula adrenal menghasilkan suatu hormon yang disebut
sebagai katekolamin. Katekolamin memiliki beberapa derivat
seperti norepinefrin, epinephrine, dan dopamine yang disekresikan
oleh medulla adrenal. Norepinefrin dan epinephrine memiliki efek
metabolik yang mencakup glikogenolisis di hati dan otot rangka,
mobilisasi asam lemak bebas, peningkatan laktat plasma, dan
stimulasi kecepatan metabolisme.4
b. Korteks Adrenal
Korteks adrenal menghasilkan 3 jenis hormon yaitu4:
1. Mineralokortikoid, terutama aldosteron, mempengaruhi
keseimbangan mineral (elektrolit), khususnya keseimbangan
Na. dan K-. Tempat kerja utama aldosteron adalah di tubulus
distal dan koligentes ginjal, tempat hormon ini mendorong
retensi Natrium dan meningkatkan eliminasi Kalium sewaktu
proses pembentukan urin. Retensi Natrium oleh aldosteron
akan secara sekunder menginduksi retensi amotik H2O,
meningkatkan volume CES, yang penting dalam regulasi
jangka panjang tekanan darah.
2. Glukokortikoid, terutama kortisol berperan besar dalam
metabolisme glukosa serta metabolisme protein dan lemak
yang diuraikan sebagai berikut:
a. Merangsang glukoneogenesis di hati, perubahan sumber-
sumber nonkarbohidrat (yaitu asam amino) menjadi
karbohidrat di dalam hati
b. Menghambat penyerapan dan pemakaian glukosa oleh
banyak jaringan, kecuali otak, sehingga glukosa tersedia
bagi otak yang membutuhkan bahan ini secara mutlak
sebagai bahan bakar metabolik.
c. Merangsang penguraian protein di banyak jaringan,
khususnya otot.
d. Mempermudah lipolisis, penguraian simpanan lemak
(lipid) di jaringan adiposa sehingga asam-asam lemak
dibebaskan ke dalam darah
e. Efek permisif pada kortisol dimana kadar kortisol harus
ada dalam jumlah memadai agar katekolamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi.
f. Kortisol berperan kunci dalam adaptasi terhadap stres.
Segala jenis stres merupakan rangsangan utama bagi
peningkatan sekresi kortisol
g. Kadar kortisol farmakologis yang diberikan untuk
menghasilkan konsentrasi glukokortikoid yang lebih tinggi
daripada normal menimbulkan tidak hanya efek metabolik
yang menguat tetapi beberapa efek baru yang tidak terlihat
pada kadar fisiologik normal juga muncul. Efek
farmakologis glukokortikoid yang paling penting adalah
efeh antiinflamasi dan imunosupresif.
h. Efek kortisol "mempensiunkan" sel darah putih yang
bertanggung jawab untuk produksi antibodi serta sel-sel
yang secara langsung menghancurkan sel asing.
Efek samping kortisol:
1. Karena glukokortikoid menekan respons peradangan
dan imun normal yang menjadi tulang punggung
sistem pertahanan tubuh maka orang yang diterapi obat
ini mengalami keterbatasan kemampuan untuk
menahan infeksi.
2. Efek-efek jangka panjang mencakup timbuinya tukak
lambung, tekanan darah tinggi, aterosklerosis,
ketidakteraturan haid, dan penipisan tulang.
3. Ketiga, glukokortioid eksogen dosis tinggi bekerja
secara umpan balik negatif untuk menekan sumbu
hipotalamus-hipofisis yang menjalankan sekresi
normal glukokortikoid dan mempertahankan integritas
korteks adrenal. Penekanan berkepanjangan sumbu ini
dapat menyebabkan atrofi ireversibel sel-sel penghasil
kortisol kelenjar adrenal sehingga tubuh dapat secara
permanen tidak mampu menghasilkan kortisolnya
sendiri.
3. Hormon seks identik dengan yang diproduksi oleh gonad.
Hormon seks adrenokorteks yang paling banyak dan penting
secara fisiologis adalah dehidroepiandrosteron, suatu hormon
seks pria.
2.1.6. Kelainan pada Kelenjar Adrenal
Penyakit yang timbul bila kelenjar adrenal mengalami
gangguan diantaranya:
1. Chusing’s syndrome
Hipersekresi korteks adrenal akan menyebabkan timbulnya
efek hormonal kompleks yang beruntun disebut sebagai Chusing’s
syndrome. Sebagian besar kelainan sindrom Chusing dianggap
karena jumlah kortisol yang abnormal, namun sekresi androgen
cukup bermakna. Hiperkortisolisme dapat terjadi karena berbagai
sebab meliputi (1) adenoma hipofisis anterior yang menyekresikan
sejumlah besar ACTH yang kemudian menyebabkan hyperplasia
adrenal dan sekresi kortisol berlebihan; (2) kelainan fungsi
hipotalamus yang menyebabkan tingginya kadar hormone CRH
yang merangsang pelepasan hormone ACTH berlebihan; (3)
sekresi ektopik ACTH oleh tumor di beberapa bagian tubuh lain
seperti karsinoma abdomen; (4) adenoma krteks adrenal.3
Cushing's syndrome sebagai sindrom kelebihan hormon
kortisol juga sering terjadi. Gejala Khusus adalah adanya
mobilisasi lemak dalam jumlah besar dari bagian bawah tubuh,
disertai dengan banyaknya penimbunan lemak tambahan di daerah
toraks dan region abdomen atas sehingga tubuh tampak seperti
tubuh kerbau.Sekresi kortisol berlebihan juga menyebabkan wajah
pasien membengak dan terdapat jerawat serta
hirsutisme.Gambaran wajah seperti itu disebut moon face.3
Pengobatan Chusing syndrome terdiri atas pngangkatan
tumor jika penyebabnya adalah tumor.Hipertorfi kelenjar hipofisis
atau bahkan tumor kecil saja pada hipofisis dapat diangkat dengan
tindakan operasi atau dirusak dengan radiasi.Sekresi ACTH dapat
diturunkan juga dengan pemberian steroidogenesis, seperti
metirapon, ketokonazol, dan aminoglutemid, atau antagonis
serotonin dan inhibitor-transaminase GABA.3
2. Penyakit Addison
Gejala dari penyakit addison tidak spesifik. Gejala yang
muncul biasanya berhubungan dengan kelelahan, kelemahan,
anoreksia, nausea, nyeri abdomen, gastroenteritis, diare dan
labilitas mood. Pada orang dewasa dengan penyakit addison dapat
dijumpai penurunan berat badan 1 – 15 kg. Kelemahan badan ini
disebabkan karena gangguan keseimbangan air dan elektrolit serta
gangguan metabolisme karbohidrat dan protein sehingga didapat
kelemahan sampai paralisis oto bergaris. Di samping itu, akibat
metabolisme protein, terutama pada sel-sel otot menyebabkan
otot-otot bergaris atropi, bicaranya lemah. Gejala kelemahan otot
ini berkurang setelah pemberian cairan, garam serta kortikosteroid.
Nicholson dan Spaeth melaporkan pada beberapa penderita
Addison dapat terjadi paralisis flasid yang bersifat periodik akibat
hiperkalemia dimana mekanismenya belum diketahui, walaupun
hal ini jarang didapatkan. Nausea, Vomitus, dan nyeri abdomen
difus dijumpai sekitar 90% dari pasien dan biasanya merupakan
inpending dari krisis addison. Diare kurang umum daripada
nausea, vomitus dan nyeri abdomen dan terjadi pada sekitar 20%
pasien. Jika dijumpai diare, biasanya akan disertai dengan
komplikasi dehidrasi dan harus segera dihidrasikan. Gajala flu
berulang telah dilaporkan dalam beberapa kasus. Gangguan mood
termasuk depresi, iritabilitas, dan konsentrasi menurun.5,6
Diagnosis mungkin tertunda karena depresi komorbid atau
penyakit kejiwaan lainnya. Temuan fisik termasuk
hiperpigmentasi pada kulit dan membran mukosa, berkurangnya
rambut pubis dan aksila pada wanita, vitiligo, dehidrasi, dan
hipotensi. Membran mukosa oral hiperpigmentasi merupakan
patognomonik untuk penyakit ini . Pigmentasi pada penyakit
Addison disebabkan karena timbunan melanin pada kulit dan
mukosa. Pigmentasi juga dapat terjadi pada penderita yang
menggunakan kortikosteroid jangka panjang, karena timbul
insufisiensiadrenal dengan akibat meningkatnya hormon
adrenokortikotropik. Hormon adrenokortikotropik ini
mempunyaiMSH-like effect. Pada penyakit Addison terdapat
peningkatan kadar beta MSH dan hormon adrenokortikotropik.
Hiperpigmentasi pada kulit (lihat gambar di bawah) dianggap
sebagai ciri khas penyakit Addison dan dijumpai dalam 95%
pasien dengan insufisiensi adrenal kronis primer. Namun,
hiperpigmentasi bukanlah tanda universal ketidakcukupan adrenal.
Tampilan kulit normal tidak menyingkirkan diagnosis penyakit
addison. Kulit mungkin tampak normal, atau vitiligo mungkin
hadir. Peningkatan pigmentasi menonjol di daerah kulit seperti
lipatan kulit. Hiperpigmentasi ini juga menonjol pada puting,
aksila, perineum. Wanita mungkin kehilangan androgen yang
menstimulus pertumbuhan rambut, seperti rambut pubis dan
aksila, karena androgen diproduksi di korteks adrenal. Pria tidak
memiliki kehilangan rambut karena androgen pada laki-laki
diproduksi terutama di testis.5,6
2.2. Hiperkortisolisme (Sindrom cushing)
2.2.1. Definisi
Sindrom cushing adalah manifestasi klinis dari kelebihan
abnormal hormon glukokortikoid dalam waktu lama dengan segala
konsekuensinya.7
2.2.2. Epidemiologi
Sindrom Cushing relatif langka dan paling sering terjadi
pada usia 20 hingga 50 tahun. Orang yang menderita obesitas dan
DM-tipe 2, disertai dengan hipertensi dan gula darah yang tidak
terkontrol, akan meningkatkan risiko terserang penyakit ini.8
Sebagian besar kasus sindrom Cushing disebabkan iatrogenik
pemberian glukokortikoid eksogen, sedangkan kejadian tahunan
sindrom Cushing endogen telah diperkirakan sebesar 13 kasus per
juta individu. Dari kasus-kasus ini, sekitar 70% disebabkan
hiperplasi adrenal bilateral oleh hipersekresi ACTH hipofisis atau
produksi ACTH oleh tumor non endokrin (pituitary ACTH-
producing tumor), 15% karena ACTH ektopik, dan 15% karena
tumor adrenal primer.9 Insiden hiperplasi hipofisis adrenal tiga kali
lebih besar pada wanita dari pada laki-laki, kebanyakan muncul
pada usia dekade ketiga atau keempat.10 Insiden puncak dari sindrom
Cushing, baik yang disebabkan oleh adenoma adrenal maupun
hipofisis terjadi sekitar usia 25-40 tahun. Pada ACTH ektopik,
insiden lebih sering pada laki-laki dibanding wanita.9
2.2.3. Etiologi
Penyebab sindrom Cushing dikategorikan menjadi ACTH
dependent dan ACTH independent11 :
a. ACTH dependent
1. Penyakit Cushing
Penyakit Cushing menyebabkan 70% dari sindrom
Cushing. Pada penyakit ini kelenjar adrenal menunjukkan
hiperplasia adrenokortikal bilateral serta pelebaran zona
fasikulata dan zona retikularis.
2. Sindrom ACTH ectopic
Sindrom ini meliputi 10% kasus ACTH dependent.
Produksi ACTH dari tumor yang bukan berasal dari
hipsofisis, yang menyebabkan hiperkortisolism berat tapi
tidak selalu menunjukkan gejala klasik kelebihan
glukokortikoid. Gambaran klinik dari sindrom ini sering
didapati pada penderita tumor paru yaitu tipe bronchial
carcinoid dan small cell carcinoma
b. ACTH independent
1. Adenoma adrenal dan karsinoma adrenal pensekresi kortisol
Adenoma meliputi 10 – 15% sindrom cushing dan
carcinoma meliputi < 5%. Gambaran hiperkotisolism disertai
nyeri pinggang dan abdomen. Tumor mungin dapat teraba.
Tumor dapat mensekresi steroid lain seperti androge dan
mineralolortikoid. Sehingga pada wanita sering dijumpai
hirsuitisme, clitoromegali, atropi payudara, suara menjasi
dalam dan jerawat berlebihan.
2. Sindrom McCune Albright
Manifestasi yang paling sering adalah pubertas prekoks
dan kelebihan hormon pertumbuhan serta sindrom Cushing.
Penyebab sindrom ini adalah mutasi G protein yang
menyebabkan aktivasi G protein yang memiliki efek seperti
ACTH sehingga menyebabkan ACTH menurun dan terjai
adenoma adrenal.
3. Sindrom Cushing iatrogenik
Timbulnya sindrom Cushing tergantung dosis, lama
pemberian dan potensi kortikosteroid. Beberapa gejala klinis
yang nampak seperti peningkatan tekanan intraokular,
katarak, benign intracranial hypertension, osteoporosis.
Hipertensi, hirsuitisme, amenorrhea, dan oligomenorrhea
juga bisa timbul.
2.2.4. Patofisiologi
Abnormalitas sekresi ACTH. Walaupun terdapat hipersekresi
ACTH, respons terhadap stress tidak ada, stimulasi-stimulasi seperti
hipoglikemia atau tindakan pembedahan gagal untuk meningkatkan
sekresi ACTH dan kortisol lebih lanjut. Hal ini mungkin disebabkan
oleh adanya supresi fungsi hipotalamus dan sekresi CRH oleh
hiperkortisolisme, yang menyebabkan hilangnya kontrol hipotalamus
pada sekresi ACTH.12
Efek kortisol yang berlebihan. Kortisol yang berlebihan tidak
hanya menghambat fungsi hipotalamus dan hipofisis yang normal,
mempengaruhi pelepasan ACTH, tirotropin, GH dan gonadotropin,
tetapi juga mempengaruhi semua sistim akibat efek sistemik
glukokortikoid yang berlebihan.12
Androgen yang berlebihan. Sekresi androgen oleh adrenal juga
meningkat pada penyakit Cushing dan derajat berlebihnya androgen
paralel dengan ACTH serta kortisol. Jadi kadar DHEA sulfat dan
androstenedion dalam plasma meningkat dalam tingkat sedang pada
penyakit Cushing; konversi perifer hormon hormon ini menjadi
testosterone dan dihidrotestosteron menyebabkan kelebihan
androgen. Pada wanita hal ini menyebabkan hirsutisme,
aknedanamenorea. Pada pria pasien penyakit Cushing, supresi LH
oleh kortisol akan menyebabkan penurunan sekresi testosterone oleh
testis, menyebabkan menurunnya libido dan impotensi. Peningkatan
sekresi androgen adrenal tidak cukup untuk mengkompensasi
terjadinya penurunan produksi testosteron gonadal.12
2.2.5. Manifestasi klinis
Sindrom Cushing memiliki manifestasi klinis diantaranya11 :
a. Obesitas
Peningkatan berat badan dan obesitas adalah gejala yang
sangat sering dijumpai pada sindrom Cushing. Obesitas terjadi di
abdominal kecuali anak-anak terjadi menyeluruh. Dapat pula
menunjukkan adanya deposisi lemak di daerah torakoservikal
atau dikenal sebagai buffalo hump, pada daerah supraklavikular,
dan pada pipi dan regio temporal sehingga memberi gambaran
wajah bulat seperti bulan (moon face).
b. Organ reproduktif
Disfungsi gonad sering dijumpai pada wanita dan pria.
Pada wanita terjadi gangguan menstruasi dan libido pada wanita
maupun pria. Hirsuitisme dan jerawat sering terjadi pada wanita.
Bentuk hirsuitisme yang sering adalah vellus hypertrihosis pada
wajah.
c. Gangguan psikiatri
Gangguan ini terjadi pada > 50% penderita. Depresi dengan
agitasi, letargi, paranoid dan psikosis dapat dijumpai pada
penderita. Terjadi juga gangguan memori dan fungsi kognitif
serta mudah tersinggung dan insomnia.
d. Tulang
Pada anak, gangguan yang terjadi pada pertumbuhan linear
dan kenaikan berat badan. Pada penderita lama sering terjadi
kolaps vertebra akibat osteoporosis. Fraktur patologis bisa tejadi
sponton dan akibat trauma minor seperti fraktur kosta,
osteonekrosis pada caput femoris dan humer.
e. Kulit
Sindrom ini menyebabkan kulit menipis dan kerutan pada
punggung tangan yang disebut Liddle. Trauma minor
menyebabkan memar. Kulit plethoric terjadi pada wajah disertai
penipisan jaringan lemak subkutan. Jerawat dan lesi papular
sering terjadi di wajah, dada dan punggung. Striae yang berwarna
merah keunguan sering ditemukan di perut.
f. Otot
Miopati pada otot proksimal tungkai bawah dan otot bahu
serta memar otot adalah gejala yang sering dijumpai.
g. Kardiovaskular
Hipertensi adalah gejala yang umum dijumpai pada
sindrom ini (75%). Hipertensi, DM dan dislipidemia
meningkatkan mortalitas kardiovaskular. Tromboemboli juga
terjadi pada sindrom ini.
h. Infeksi
Infeksi terjadi karena respon inflamasi yang menurun,
seperti reaktibvasi pada kasus TBC. Infeksi kulit yang sering
terjadi seperti tinea versicolor. Luka menjadi sukar sembuh dan
perforasi usus yang tidak disadari sering terjadi pada sindrom ini.
i. Metabolik endokrin
Gangguan toleransi glukosa dan DM terjadi pada sepertiga
kasus sindrom ini. Hiperkortisolisme menyebabkan
hypogonadotropic hypogonadism akibat penekanan pada sekresi
TSH dan gonadotropin serta menurunkan hormon pertumbuhan.
Peningkatan kolesterol dan trigliserida juga terjadi pada sindrom
ini.
j. Mata
Gangguan yang terjadi seperti peningkatan tekanan
intraokular dan eksoftalmus akibat deposisi lemak retroorbital
yang meningkat. Sering juga ditenui katarak pada sindrom ini.
2.2.6. Diagnosis
Langkah-langkah diagnostik yang dianjurkan adalah:
mengenali sindrom cushing, konfirmasi tes biokimiawi untuk
membuktikan kelebihan kortisol, mencari penyebab dan mencari
strategi terpai yang sesuai. Tentunya anamnesis yang detail (terutama
membedakan sindrom cushing endogen dan eksogen), pemeriksaan
fisik yang teliti, dan pemeriksaan penunjang yang tepat akan
membawa ke arah etiologi yang jelas. Tampilan yang klasik dari
aspek metabolik, kardiovaskular, kulit, muskuloskeletal, dan
manifestasi psikiatrik, biasanya mudah bagi dokter untuk
mengenalinya, tetapi tidak jarang kasusnya ringan, dan hanya
beberapa tanda saja yang muncul karena kenaikan hormon kortisol
yang ringan dan siklik. Tugas para klinisi saat mencurigai sindrom
cushing tentu berusaha mengenali secermat mungkin gejala dan
tanda yang berhubungan dengan hiperkortisolisme.11
Setelah kita mencurigai secara klinis maka langkah selanjutnya
adalah membuktikan bahwa terdapat kelebihan sekresi hormon
kortisol dan mekanisme umpan balik aksis hipotallamus-pituitari-
adrenal. untuk pemeriksaan laboratorium awal banyak guidelines
menganjurkan salah satu dari beberapa tes berikut: dua kali
pemeriksaan 24 jam kortisol bebas urin, late-night salivary kortisol,
1-mg overnight dexamethason suppression test (DST), atau longer
low-dose DST. Pada suatu survey di kalangan endocrinologist, ketiga
pemeriksaan di atas adalah jenis pemeriksaan awal yang paling
sering dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan sindrom cushing.
Seringkali sulit atau belum tersedia pemeriksaan-pemeriksaan yang
disebutkan di atas di negara berkembang, sehingga secara pragmatis
seringkali hanya memeriksa kortisol pagi. Untuk kortisol plasma
sewaktu pagi hasilnya cukup dapat diterima jika hasilnya ekstrim
tinggi.11
Jika sudah cukup bukti adanya sindrom cushing dari klinis dan
laboratorium, maka langkah selanjutnya adalah mencari penyebab
kelainan hormon kortisol tersebut. Pemeriksaan ACTH adalah
langkah selanjutnya, dimana jika didapatkan hasil ACTH <10 pg/mL
maka sindrom cushing tersebut adalah ACTH-independent (adrenal
cushing) dan jika ACTH normal atau menetap tinggi lebih dari 15
pg/mL maka termasuk kelompok yang ACTH-dependent.11
2.2.7. Komplikasi
Sindrom cushing mengakibatkan beragam komplikasi sistemik
diantaranya obesitas sentral, hipertensi, gangguan toleransi glukosa
dan diabetes, dyslipidemia, thrombosis, kelainan psikiatrik, penyakit
ginjal, osteoporosis, bersama-sama dengan meningkatnya resiko
kardiovaskular.7
2.2.8. Tatalaksana
Disesuaikan dengan penyebab dasar dan organ yang terkena.
Pilihan terapi adalah operasi, radioterapi, atau medikametosa. Untuk
penyakit cushing pilihan utama adalah operasi transfenoid lalu
dilanjutkan dengan radioterapi dan medikametosa bila diperlukan.
Untuk adrenal cushing pilihan terapi adalah operasi sesuai dengan
lesi yang ditemukan dan selalu didahului dengan pemberian anti
streoidogeesis (ketokonazol, mifepristone, mitotan, metirapon).
Untuk adrenalektomi bilateral diperlukan subsitusi hormonal
glukokortikoid dan mineralokortikoid terus-menerus pasca operasi.11
2.2.9. Prognosis
Penderita sindrom ini akan meninggal 5 tahun terutama akibat
komplikasi vaskular bila tidak mendapat terapi efektif. Secara
paradoksal setelah koreksi hiperkortisolisme, sering menimbulkan
keluhan lebih berat pada deskuamasi kulit, artropathi, letargi selama
beberapa bulan sebelum gejala membaik. Juga sering terjadi
penurunan produksi GH. Setelah pengobatan sindrom ini akan
menghilang dalam 2 – 12 bulan. DM dan hipertensi akan membaik.
Osteopenia akan membaik dalam 2 tahun. fraktur vertebra dan
osteonekrosis dapat menyebabkan deformitas permanen. Obesitas
sentral dan miopati bersifat reversibel. Gangguan reproduksi
membaik setelah 6 bulan.11
2.3. Kortikosteroid
2.3.1. Farmakokinetik
a) Absorpsi
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral
diabsorpsi cukup baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat
dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivat sintetiknya
diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol
dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja
karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan
protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah
menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjuntiva
dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah
kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain
supresikorteks adrenal.13
b) Distribusi
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis
protein plasma yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan
albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendah,
sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya
relative tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal,
sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar
kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat albumin dan
bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit
mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya
untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid; kortisol
mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonjugasi
dengan asam glukoronat dan aldosteron afinitasnya rendah.13
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan
kadar globulin pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan
kortisol bebas sampai beberapa kali. Telah diketahui bahwa hal ini
tidak terlalu bermakna terhadap fungsi tubuh.13
c) Metabolisme
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati.
Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah.
Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan rangkap pada
atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi ikatan
rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstra hepatic
serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton
menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil
reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksinya
secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam
glukoronat membentuk ester yang mudah larut dan kemudian
diekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil
di ginjal.13
Oksidasi gugus 11-hidroksil yang reversible terjadi secara
cepat di hepar dan secara lambat di ekstra hepatik. Untuk aktivitas
biologiknya, kortikosteroid dengan gugus keton pada atom C11
harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil; sedangkan reduksi
gugus keton pada atom C20 hanya memberikan senyawa dengan
aktivitas biologik yang lemah. Kortikosteroid dengan gugus
hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi menjadi 17-ketosteroid
yang tidak mempunyai aktivitas kortikosteroid tetapi bersifat
androgenik. Adanya sekresi 17-keto-steroid dalam urin dapat
dipakai sebagai ukuran aktivitas hormon kortikosteroid dalam
tubuh.13
d) Ekskresi
Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar
dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan
empedu hamper tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70%
kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar. Masa
paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap
dalam atom C 1-2 atau substitusi atom fluor menghambat proses
metabolism dan karenanya dapat memperpanjang masa paruh
eliminasi.13
2.3.2. Farmakodinamik
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem
kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan organ lain. Korteks
adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk
dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan
lingkungan.14
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya
dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi
disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan
hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini
disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya
terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui
pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah
respon jaringan terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus
tidak akan berespon terhadap katekolamin bila tidak ada
kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan
mengembalikan respon tersebut.14
Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik
atau farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu.
Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan
optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk dapat
mempertahankan hidupnya. Meskipun kortikosteroid mempunyai
berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah
maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium
dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat
antiinflamasinya.14
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua
golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek
utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan
efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air
dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol.
Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah
terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya
terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan
ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan
mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang
berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol.14
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah
sebagai berikut14 :
a. Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid
meningkatkan kadar glukosa darah sehingga merangsang
pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa ke dalam
sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitive
dan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang
lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil
akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan
pelepasan asam lemak, dan gliserol ke dalam darah. Efek ini
paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak
dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein
otot melepas asam amino, perangsangan lipolisis, dan hambatan
ambilan glukosa di jaringan perifer.
Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di
hepar. Di perifer steroid mempunyai efek katabolic. Efek
katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan
limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi osteoporosis
tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi
negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan
sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan
glikogen.
b. Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar
jangka panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan
distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara
berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang (buffalo
hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face),
sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.
c. Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat
meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli
distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme
terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan ekstrasel,
hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan
sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel
berkurang dan hidrasi sel.
d. System kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi
sistem kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung.
Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air and
elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi pengurangan
volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan
ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps
kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem
kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard.
Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal
sebagai berikut: permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons
vasomotor pembuluh darah kecil menurun, fungsi jantung dan
curah jantung menurun, sehingga pasien harus dimonitor untuk
gejala dan tanda-tanda edema paru.
Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah
hipertensi dan hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh
efek langsung aldosteron pada ginjal, sedangkan hipertensi diduga
akibat retensi Na yang berlebihan dan berlangsung lama yang
dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol, akibatnya
diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan
bertambah.
e. Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat
berfungsi dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah
cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul gangguan
fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada insufisiensi
adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini
tidak terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot.
Pemberian transfuse atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas
kerja otot. Kelemahan otot pada pasien aldosterisme primer,
terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian
glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting
otot rangka yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek
katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai
hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas fosforilase, dan
adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan
fungsi mitokondria.
f. Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat
secara langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak
langsung disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat,
sistem sirkulasi, dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid
pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood,
tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak, terutama untuk
penggunaan waktu lama atau pasien penyakit Addison.
Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat
menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian
besar mengalami perbaikan mood yang mungkin disebabkan
hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain
memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan, dan
peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan
depresi. Pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa sering
memperlihatkan reaksi psikotik.
g. Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan
kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti
dari seringnya timbul polisitemia pada sindrom cushing.
Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami anemia
normokromik, normositik yang ringan.
Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit
PMN, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam
darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan
berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel limfosit,
eosinofil, monosit, dan basofil dapat menurun dalam darah setelah
pemberian glukokortikoid.
h. Efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Kortisol dan analog
sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala
inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen.
Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini
yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke
tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat
menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu
proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan
pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar
terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan
juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan
chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan
glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya,
ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam
jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut
diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan
molekul adhesi sel, khusunya yang berada pada sel endotel dan
dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal
glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil
meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil
dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut
menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam.
Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran
masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan
migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan
jumlah sel pada tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menhambat fungsi makrofag jaringan
dan sel penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk
bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap
makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi
kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh
mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,
interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen.
Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid
mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis
prostaglandin, leukotrien dan platelet-aktivating factor.
Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila
digunakan langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan
menekan degranulasi sel mast. Glukokortikoid juga menurunkan
permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah histamine yang
dirilis oleh basofil dan sel mast.
Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai
antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya
yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap ada. Konsep terbaru
memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi
yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid
sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme
protektif.
i. Jaringan limfoid dan sistem imunologi. Glukokortikoid tidak
menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini
dapat mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik akut dan
beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya
mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya.
Kortikosteroid juga menghambat inflamasi dengan menghambat
migrasi leukosit ke daerah inflamasi.
j. Pertumbuhan. Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama
dapat menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya
terhadap kerja hormon pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang,
glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses
pertumbuhan memanjang.
Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid
disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor: hambatan
somatomedin oleh hormon pertumbuhan, hambatan sekresi
hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel di kartilago
epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.
2.3.3. Klasifikasi
Berikut berupa klasifikasi dari obat kortikosteroid15 :
Tabel 1. Klasifikasi obat kortikosteroid
2.3.4. Indikasi
Ada 6 prinsip yang perlu diperhatikan dalam penggunaan
kortikosteroid, yaitu16 :
1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien dosis efektif harus
ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu
ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak
berbahaya
3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya
kontraindikasi spesifik tidak membahayakan kecuali dengan dosis
sangat besar.
4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga
dosis melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek
letal potensial akan bertambah
5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid
bukan merupakan terapi kausal maupun kuratif tetapi hanya
bersifat paliatif karena efek anti inflamasinya
6. Penghentian pengobatan secara tiba-tiba pada terapi jangka
panjang dengan dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi
adrenal hebatdan dapat mengancam jiwa pasien
Adapun indikasi penggunaan kortikosteroid adalah sebagai berikut16 :
a. Terapi subtitisi
1. Insufisiensi adrenal akut
Biasanya diakibatkan oleh kelainan adrenal atau
penghentian kortkosteroid dosis besar secara tiba-tiba.
Insufisiensi primer : 20-30 mg hidrokortison tiap hari +
preparat mineralkortokoid
2. Insufisiensi adrenal kronik
Diakibatkan operasi atau lesi korteks adrenal. Diberi
Hidrokortison 20-30 mg/hari dlm dosis terbagi (+
mineralkortikoid)
3. Hiperplasia adrenal kongenital
Terjadi defisiensi aktivitas salah satu enzim untuk
biosintesis kortikosteroid menyebabkan produksi
kortisol/aldosteron menurun dan tidak terjadi feedback
negative
4. Insufisiensi adrenalo sekunder akibat insufisiensi
adrenohipofisis
Dengan gejala utama hipoglikemia. Tatalaksana diberi
Kortisol (pagi 20 mg, sore 10 mg)
b. Terapi non endokrin
1. Penyempurnaan fungsi paru pada fetus
Sekresi kortisol fetus dapat mempengaruhi
penyempurnaan fungsi paru. Diberikan betametason/
deksametason dosis besar pada ibu hamil yang akan melahirkan
bayi prematur dapat diberikan selama 2 hari pd minggu ke 27-
34 kehamilan
2. Reumatoid artritis
Kortikosteroid diberikan pada beberapa pasien
rematoid artritis yang sifatnya progresif dengan
pembengkakan dan nyeri sendi hebat hingga tidak dapat
beraktivitas walaupun sudah istirahat, terapi fisik dan diberi
NSAID. Pada tahap awal diberikan Awal prednison 7,5
mg/hari, dosis terbagi. Jika perlu ditambah triamsinolon
asetonid 5-20 mg intraartikular (hanya boleh tiap 3 bulan)
3. Penyakit alergi
Jika hanya berlangsung pada waktu tertentu dan
glukokortikoid hanya sebagai tambahan. Pada keadaan
mengancam nyawa à diberi IV (misalnya deksametason
natrium fosfat 8-12 mg)
2.3.5. Kontraindikasi
Pada umumnya tidak ada kontraindikasi absolut pada
pemberian kortikosteroid. Hanya saja apabila ingin menggunakan
kortikosteroid dalam waktu beberapa hari atau minggu perlu
diperhatikan riwayat Diabetes Mellitus, hipertensi, gangguan pada
jantung dan lain sebagainya. Pemberian obat ini juga perlu
memperhatikan besaran efek samping atau manfaat yang kita
harapkan.
2.3.6. Dosis
Di bawah ini terdapat potensi dan dosis ekivalen berbagai jenis
glukokortikoid, yaitu17 :
2.3.7. Efek samping
Berikut efek samping kortikosteroid15 :
a. Penekanan respon infeksi atau jejas
Infeksi oportunistik dapa berpotensi serius kecuali
ditangani cepat dengan agen antimikroba. Penyembuhan luka juga
tengganggu dan ulserasi peptik dapat terjadi. Candidiasis pada
oral sering terjadi saat penggunaan glukokortikoid inhalasi karena
penurunan mekanisme anti infeksi lokal
b. Sindrom Cushing
Gambar 2. Penampakan tubuh sindrom Cushing
c. Osteoporosis menimbulkan suatu risiko fraktur yang berbahaya
dlam pemakaian glukokortikoid jangka panjang. Obat jenis ini
mempengaruhi densitas tulang dengan regulasi kalsium dan
metabolisme fosfat serta pergantian kolagen. Obat ini mengurangi
fungsi osteoblas untuk deposisi matriks tulang dan meningkatkan
aktivitas osteoklas yang merusak matriks tulang. Efek terhadap
suplai darah dapat mengakibatkan nkrosis avaskular caput
femoris.
d. Hiperglikemia diakibatkan obat ini dapat mengakibatkan DM
e. Muscle Wasting dan pelemahan otot
f. Hambatan pertumbuhan pada anak-anak pada terapi > 6 bulan
g. Pengaruh SSP seperti euforia, depresi dan psikosis
h. Pengaruh lain seperti glaukoma, peningkatan tekanan intrakranial
dan kejadian katarak
i. Penghentian mendadak obat ini setelah terapi jangka panjang
dapat mengakibatkan insufisiensi adrenal akut dengan supresi
kapasitas sintesis.
2.4. CTM (Chlorpheniramine Maleate)
2.4.1. Farmakokinetik
Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan
baik dan mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam.
Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar
antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-
function oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relative rendah
setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi
efek lintas pertama oleh hati.16
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin
memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin
hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh
dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari sementara metabolit
aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal
inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 ratarata
masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi.
Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada
anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati,
danm pasien yang menerima ketokonazol, eritromisin, atau
penghambat microsomal oxygenase lainnya.16
2.4.2. Farmakodinamik
Farmakodinamik dari obat CTM (Chlorpheniramine Maleate), yaitu16 :
a. Antagonis terhadap histamine. AH1 menghambat efek histamine
pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos,
AH1 juga berguna untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai pelepasan histamine endogen
berlebihan.
b. Otot polos. Menghambat kerja histamine pada otot polos usus dan
bronkus.
c. Permeabilitas kapiler, dapat menghambat peningkatan
permeabilitas kapiler dan edema akibat histamine.
d. Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa
reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1.
e. Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamine terhadap sekresi
cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat
mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi hewan ini
mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung
akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat
sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
2.4.3. Indikasi
CTM berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit
alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.16
2.4.4. Kontraindikasi
Kontraindikasi dari obat CTM adalah pasien dengan riwayat
hipersensitif terhadap obat antihistamin, serangan asama akut, dan bayi
prematur.16
2.4.5. Dosis
Berikut terdapat dosis berbagai jenis obat CTM, yaitu16 :
2.4.6. Efek samping
Pada dosis terapi, semua antihistamin menimbulkan efek
samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang
bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam
toleransi terhadap obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini
sangat mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan. Efek samping
yang paling sering adalah sedasi, yang justru menguntungkan pasien
yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini
mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi
sehingga meningkatka kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Pengurangan dosis atau penggunaan antihistamin jenis lain mungkin
dapat mengurangi efek sedasi ini.16
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral
antihistamin ialah vertigo, tinitus, lelah, penat. Inkoordinasi,
penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, dan tremor.
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau
diare. Efek samping ini akan berkurang bila antihistamin diberikan
sewaktu makan.16
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh antihistamin ialah
mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan
lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik
tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.16
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Kepadatan Tulang
a. Keturunan dan Ras
Penelitian yang dilakukan pada ibu dan anak mengkonfirmasikan
bahwa keturunan memiliki peran penting dalam kepadatan tulang.
Keturunan lebih banyak mempengaruhi maksimum massa tulang yang
mungkin dicapai selama masa pertumbuhan dan laju kehilangan massa
tulang setelah mengalami menopause.18
Orang Afrika memiliki massa tulang yang lebih padat
dibandingkan dengan orang Eropa. Etnis lain yang memiliki kepadatan
tulang yang lebih rendah selain orang yang berasal dari Eropa Utara
adalah ras asia yang berasal dari China dan Jepang, Meksiko Amerika,
Hispanik yang berasal dari Amerika Tengah dan Selatan.18
b. Umur
Akibat proses penuaan terjadi penurunan kemampuan fungsional
sel-sel tulang. Hal ini mengakibatkan pembentukan tulang berkurang
secara relative dibandingkan dengan resorpsi atau perusakan tulang.
Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya rongga bekas resorpsi yang
tidak sepenuhnya diisi oleh osteoblas setelah siklus remodelling
lengkap.18
Berkurangnya kemampuan osteoblas membentuk sel tulang baru
dapat disebabkan oleh kerusakan selular atau berkurangnya faktor-faktor
pertumbuhan lokal yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan sel
tulang baru. Berkurangnya penyerapan kalsium pada usia lanjut dapat
disebabkan oleh banyak factor diantaranya perubahan pada sel epitel usus
disertai dengan berkurangnya sintesis dan respon terhadap vitamin D.18
c. Riwayat Reproduksi
Wanita memiliki risiko untuk terkena osteoporosis lebih tinggi
daripada pria. Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause
memegang peranan penting terhadap pathogenesis kehilangan massa
tulang pada wanita pasca menopause. Beberapa studi menunjukkan
hubungan laju patah tulang yang meningkat setelah sekresi estrogen
berhenti pada wanita menopause. Selama masa menopause pengaruh
hilangnya estrogen tidak sama pada tiap-tiap bagian tulang trabecular.18
Selain menopause, terdapat beberapa factor reproduksi lain yang
membuat wanita lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan
dengan laki-laki, factor ini masih perlu untuk diinvestigasi untuk
membutuhkan reliabilitasnya. Faktor tersebut adalah umur saat pertama
kali mengalami menstruasi, umur saat pertama kali mengalami
kehamilan, jumlah kehamilan, dan lamanya pemberian ASI.18
Beberapa penelitian melaporkan adanya kolerasi positif antara usia
saat menopause dan kepadatan mineral tulang dan kolerasi negative
antara umur saat pertama kali mengalami menstruasi dengan kepadatan
mineral tulang. Umur saat pertama kali menstruasi diduga memiliki efek
menstimulasi perkembangan tulang dengan cara meningkatkan aktivitas
osteoblas seiring dengan mulai aktifnya hormon estrogen.18
d. Aktivitas Fisik dan Berat Badan
Terdapat bukti yang sangat meyakinkan dari hasil penelitian secara
prospektif dan retrospektif yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik
berkaitan dengan risiko fraktur tulang panggul, dan mereka yang
memiliki gaya hidup sedentary berisiko terkena fraktur tulang panggul
sebesar 20-40% lebih besar dibandingkan dengan mereka yang aktif.
Sementara itu kajian sistematis dari Randomized Trials menunjukkan
bahwa olahraga secara teratur memiliki efek yang positif padat ulang
punggung dan tulang leher femoral.18
Individu dengan berat badan lebih tinggi cenderung untuk
mempunyai kepadatan tulang lebih tinggi dibandingkan individu yang
berat badannya lebih rendah. Hal ini diduga disebabkan karena berat
badan memiliki efek terhadap massa tulang lebih besar, terutama pada
tulang femur. Kelebihan berat badan membuat stress terhadap tulang
menjadi lebih besar dan meningkatkan tekanan untuk pembentukan
tulang baru untuk mengatasi hal tersebut. Alasan lain adalah karena
cadangan lemak pada individu yang gemuk lebih banyak dibandingkan
dengan individu yang kurus.18
e. Kebiasaan Merokok
Penelitian membuktikan bahwa mereka yang perokok cenderung
mengalami fraktur tulang ringan dibandingkan dengan yang bukan
perokok. Risiko terkena fraktur tulang panggul pada perokok meningkat
seiring dengan jumlah batang rokok yang mereka hisap, hal ini terjadi
pada pria dan wanita, hasil pengukuran kepadatan mineral tulang juga
menunjukkan bahwa perokok memiliki kepadatan mineral tulang yang
lebih rendah dibandingkan dengan yang bukan perokok. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan laju
pengeroposan tulang, salah satunya dengan cara menurunkan absorpsi
kalsium pada usus. Menurunnya absorpsi kalsium berkaitan dengan
hiperparatiroidisme sekunder dan meningkatnya resorpsi tulang.18
f. Kelebihan Protein
Konsumsi protein sangat penting untuk pertumbuhan tulang, tapi
bila kebanyakan maka hal tersebut malah bisa berakibat buruk. Kelebihan
protein yang berasal dari hewani lebih membahayakan tulang ketimbang
protein nabati.19
Tubuh menghasilkan zat kimia tertentu yang disebut sulfat yang
dapat menyebabkan kalsium keluar dari tulang dan sulfat akan diproduksi
semakin banyak ketika Anda banyak makan daging merah.19,20
g. Konsumsi Kafein Berlebih
Swedish Department of Toxicology’s National Food
Administration melakukan penelitian yang dilakukan pada 31.527 wanita
Swedia usia antara 40 dan 76 tahun yang minum tidak kurang dari 330
miligram kafein atau empat cangkir kopi harian. Penelitian menunjukkan
bahwa mereka lebih rentan terhadap patah tulang.19
Risiko semakin besar ketika Anda sering minum minuman cola.
Tidak hanya kandungan kafeinnya, tetapi juga kandungan fosfor yang
bisa mencuri kepadatan tulang.19
h. Kelebihan Vitamin A
Susu adalah makanan penting yang memasok tubuh dengan
vitamin A yang diperlukan dan kalsium penting untuk pertumbuhan
tulang. Tapi bila asupan vitamin A berlebihan, hal tersebut justru dapat
menyebabkan penurunan kepadatan tulang. Vitamin A mengandung
retinol yang akan menghambat penyerapan vitamin D oleh tulang.
Makanan tinggi vitamin A ditemukan dalam produk hewan seperti hati,
kuning telur dan produk susu. Untuk mendapatkan asupan vitamin A,
vitamin A dalam bentuk beta karoten, seperti sayuran berdaun hijau,
wortel dan ubi jalar lebih cocok untuk tubuh dan membantu dalam
kepadatan tulang.19,20
i. Konsumsi Alkohol
Orang yang kebanyakan mengonsumi alcohol lebih rentan terhadap
berkurangnya kepadatan tulang. Alkohol menghambat penyerapan
vitamin D dan kalsium, yang paling penting untuk pertumbuhan tulang
yang kuat.19,20,21
Satu-satunya cara untuk menghindari masalah ini adalah untuk
mengurangi asupan alcohol atau lebih baik tidak minum minuman
beralkohol sama sekali.19,20,21
2.6. Hubungan Patah Tulang Dengan Obat Yang Dikonsumsi Ny. X
Glukokortikoid mempengaruhi sel-sel tulang secara langsung melalui
berbagai mekanisme yaitu stimulasi osteoklastogenesis, menurunkan fungsi
dan umur osteoblast, meningkatkan apoptosis osteoblast dan mengganggu
pembentukan proteoblast. Glukokortikoid juga meningkatkan apoptosis
osteosit. Osteosit merupakan sel tulang yang paling banyak jumlahnya dan
terhubung satu dengan yang lainnya membentuk suatu jaringan komunikasi
yang memberikan informasi kepada unit remodeling tulang mengenai lokasi
tulang yang memerlukan proses remodeling. Apoptosis pada osteosit
menyebabkan terputusnya proses signaling tersebut.11
Efek glukokortikoid pada tingkat molekul ar adalah menghambat efek
stimulasi dari insulin-like growth factor 1 pada pembentukan tulang,
menghambat Wnt/betacatenin signaling menyebabkan penurunan
pembentukan tulang, meningkatkan kadar osteoprotegerin menyebabkan
peningkatan osteoklastogenesis serta peningkatan resorpsi tulang.11
Terapi glukokortikoid dapat menyebabkan peningkatan resorpsi tulang
yang terjadi akibat peningkatan kecepatan remodeling tulang, disertai
penurunan pembentukan tulang. Proses tersebut meliputi peningkatan
produksi macrophage stimulating factor dan receptor activator of nuclear
factor k ßligand (RANKL) oleh sel-sel osteoblast, dan down regulation
osteoprotegerin (OPG) sehingga terjadi peningkatan osteoklastogenesis dan
bertambah panjangnya umur osteoklast. Selain itu juga terbukti bahwa
pemakaian glukokortikoid jangka panjang berkaitan dengan menurunnya
osteoblastogenesis dan meningkatkanya apoptosis osteoblast.11
Absorpsi kalsium menurun akibat pengaruh steroid, disertai dengan
penurunan reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal. Selain itu juga terjadi
gangguan pada sekresi hypothalamic gonadotropin releasing hormone yang
menyebabkan penurunan kadar testosterone dan estradiol serum. Terapi
glukokortikoid diduga juga mempengaruhi respon selular dalam
microenvironment tulang melalui modulasi sitokin yang bekerja local untuk
mengatur remodeling, factor tersebut meliputi interleukin-1, tumour necrosis
factor dan insulin-like growth factor.11
Mekanisme glukokortikoid meningkatkan risiko patah tulang belum
diketahui dengan jelas. Efek glukokortikoid terhadap risiko patah tulang
sebagian tidak tergantung densitas massa tulang (BMD), yang menunjukkan
bahwa perubahan komposisi mineral tulang dan matriks berperan pada
peningkatan fragilitas tulang. Selain itu, peningkatan risiko jatuh pada pasien
dengan glukokortikoid akibat dari kelemahan otot atau kondisi penyakitnya
mungkin juga berperan pada peningkatan risiko fraktur tersebut.11
Gambar 3 Skema patogenesis osteoporosis diinduksi glukokortikoid
Gambar 4 Skema patogenesis osteoporosis diinduksi glukokortikoid
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nn. X, 48 tahun menderita osteoporosis induce glukokortikoid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Faiz, O dan Moffat, D. Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2005.
2. Gartner, LP. Atlas Berwarna Histologi. Edisi 5. Tanggerang: Binarupa
Aksara; 2012.
3. Guyton, AC dan Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC; 2008.
4. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta: EGC;
2012.
5. George, PC. Adenocotical and adenocortical antagonist. In: Katzung’s
editor. Basic and clinical pharmacology, 10th ed. Philadelphia: McGraw-
Hill; 2007.
6. Jacoeb, TZ. Organ Endokrin Ektragonad pada Reproduksi Wanita. Jakarta:
Kursus Imunoendokrinologi Reproduksi Dasar; 2002: 8-12 2.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2009.
8. NIDDK. Cushing Syndrome. U.S Department of Health and Human
Services. 2010.
9. Adler, GK. Cushing Syndrome. USA: Harvard Medical School; 2009.
10. Piliang S, Bahri C. Hiperkortisolisme. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV FKUI; 2006. halm .1979-1983.
11. Setiati S, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Jakarta: Internal Publising; 2014.
12. Anwar, S. Kelainan-Kelainan Adrenokortikal. Bandung: Bagian Obsetri
dan Ginekologi Universitas Padjajaran; 2005. p;17-29.
13. Suherman SK, Ascobat P. Farmakologi dan Terapi: Adrenokortikotropin,
Adrenokortikosteroid, Analog-Sintetik dan Antagonisnya. Edisi 5. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2012. h. 499-516.
14. Katzung, BG. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika;
2002.
15. Rang H P, Dale M M, Ritter J M. Rang and dale’s pharmacology. Edisi 7.
Churchill livingstone Elsevier; 2012.
16. Gunawan, SG. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI; 2012.
17. Schimmer BP, Parker KL. Adrenocortical hormone; Adrenocortical
steroids and their synthetic analogs; inhibitors of the synthesis and actions
of Adrenocortical hormones. In Hardman JG. Limbird LE. Malinoff EB
eds. Goodman& Gilman’s The Pharmacological Basis ofTheurapeutics
9th ed. McGraw-Hill, New York: 1996; 1459 –85
18. Sizer, FS dan Whitney, E. Nutrition: Concepts and Controversies. AS:
Thomson Wadsworth; 2007.
19. Hallström H, Wolk A, Glynn A, Michaëlsson K. Coffee, tea and caffeine
consumption in relation to osteoporotic fracture risk in a cohort of
Swedish women. Swedish Department of Toxicology’s National Food
Administration. 2006.
20. Moesijanti, S dan Kartono, D. Angka Kecukupan Gizi Mineral : Kalsium,
Fosfor, Magnesium, Tembaga, Kromium, Besi, Iodium, Seng, Selenium,
Mangan, Flurida, Natrium dan Kalium. Jakarta: WNPG; 2012.
21. Setyohadi, B. Struktur dan metabolisme tulang. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Internal Publishing; 2009.