laporan pbl hipersensitivitas kel 4

59

Click here to load reader

Upload: sharfina21

Post on 14-Jul-2016

221 views

Category:

Documents


25 download

DESCRIPTION

Laporan PBL kelompok 4

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

SEMESTER 2

MODUL HIPERSENSITIVITAS

SISTEM IMUNOLOGI

Kelompok 4

Ketua : Fitra Hadi

Sekretaris : Rani Meiliana Susanti

Anggota : Anjar Puspitaningrum

Egy Herliansyah

Febridayanti Nur F

Lidya Mar’athus Shalihah

Mustika Apriyanti

Nursigit

Rini Astin Triana

Trias Murni N

Tutor : dr. Prabowo

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Page 2: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

2012/2013

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................5

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................................................6

1.1 LATAR BELAKANG..................................................................................................................6

1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN.......................................................................................................6

BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................................................7

2.1 Skenario.................................................................................................................................7

2.2 Kata sulit................................................................................................................................7

2.3 Kata / kalimat kunci...............................................................................................................7

2.4 Mind map..............................................................................................................................7

2.5 Pertanyaan.............................................................................................................................8

BAB 3 Jawaban.................................................................................................................................9

3.1 NOMOR 1 ( Mustika Apriyanti ).............................................................................................9

3.2 NOMOR 2 ( Fitra dan Anjar )................................................................................................15

3.3 NOMOR 3 ( Trias murni dan Febridayanti )..........................................................................20

3.4 NOMOR 4 ( Rini Astin Triana )..............................................................................................23

3.5 NOMOR 5 ( Lidya )...............................................................................................................31

3.6 NOMOR 6 ( Egi Herliansa )...................................................................................................33

3.7 NOMOR 7 ( Nursigit )...........................................................................................................34

3.8 NOMOR 8 ( Rani Meiliana S )...............................................................................................35

BAB 4 PENUTUP.............................................................................................................................38

4.1 KESIMPULAN........................................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................39

Page 3: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan ridho-

Nya sehingga kelompok 4 bisa menyelesaikan laporan PBL pertama untuk modul imunologi

dasar pada sistemImunologi

Dalam penyusunan laporan ini, berdasarkan hasil brainstorming kelompok, dan mengacu

pada buku-buku serta website di internet. Masalah yang menyangkut pada skenario dua pada

modul imunologi dasar, kami kemukakan dalam pembahasan laporan yang telah disusun.

Dan tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Dr. Busjra sebagai pembimbing

kelompok 4atas tutorial yang membantu pada saat diskusi kelompok kami, sehingga dapat

terselesaikannya laporan PBL modul dasar imunologi ini.

Akhir kata, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dengan suatu harapan

yang tinggi, semoga laporan yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya.

Wassalam.wr.wb

Jakarta, 28 Mei 2013

Kelompok 4

Page 4: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2009).

Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum  luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan didapat secara pasif.

Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang  dicurigai akan menjadi ganas.  Dengan perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas atau dengan kata lain pada  keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008)

1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN

Memahami dan mengetahui tentang reaksi hipersensitivitas sebagai manifestasi fungsi imun tubuh dan penyakit-penyakitnya

Memahami definisi, klasifikasi, Diagnosis Diferensial, penatalaksanaan, komplikasi, pemeriksaan, faktor-faktor serta hubungan penyakit pada skenario dengan riwayat penyakit keluarga.

Page 5: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1Skenario

Seorang anak perempuan berusia 5 tahun, dibawa ke rumah sakit , dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak semalam. Keluhan juga disertai pilek dan batuk berdahak. Penderita sudah sering mengalami hal yang sama sejak berusia 1 tahun. Riwayat pada keluarga, ayahnya menderita dermatitis.

2.2Kata sulit

Dermatitis : peradangan pada kulit yang terjadi karena faktor eksogen atau endogen

2.3Kata / kalimat kunci

Anak perempuan usia 5 tahun

Keluhan sesak napas dirasakan sejak semalam

Disertai pilek dan batuk berdahak

Sudah sering mengalami sejak usia 1 tahun

Ayahnya menderita dermatitis

2.4Mind map

HIPERSENSITIVITAS

DD Penatalaksanaan Pemeriksaan

Komplikasi

Patomekanisme DEFINISI Klasifikasi

Page 6: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

2.5Pertanyaan

1. Jelaskan definisi dan klasifikasi hipersensitivitas ?

2. Jelaskan patomekanisme hipersensitivitas ?

3. Jelaskan DD pada skenario ?

4. Jelaskan penatalaksanaan penyakit pada skenario ?

5. Jelaskan pemeriksaan pada hipersensitivitas ?

6. Jelaskan komplikasi penyakit pada skenario ?

7. Jelaskan hubungan penyakit pada skenario dengan riwayat penyakit pada keluarga?

8. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi hipersensitivitas ?

Page 7: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

BAB 3 Jawaban

3.1 NOMOR 1 ( Mustika Apriyanti )

Hipersensitivitas atau alergi adalah serangan imun atau akuisisi reaktivitas imun spesifik yang tidak sesuai terhadap bahan lingkungan yang tidak berbahaya. Bahan penyebab alergi dikenal sebagai alergen.

Berdasarkan buku Fisiologi Manusia (Sherwood) Respon hipersensitivitas diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:

a. Hipersensitivitas tipe cepat, respon yang muncul setelah tekena pajanan oleh alergen dalam waktu sekitar 20 menit.

b. Hipersensitivitas tipe lambat, respon yang belum muncul sampai 1 hari atau lebih setelah terkena pajanan.

Perbedaan pada waktu ini disebabkan oleh perbedaan mediator yang berperan. Reaksi alergi tipe cepat melibatkan sel B dan dipicu oleh interaksi antibodi dengan antigen, sedangkan reaksi alergi tipe lambat akan melibatkan sel T dan ini merupakan imunitas selular yang bersifat lebih lambat responnya terhadap antigen.

HIPERSENSITIVITAS TIPE CEPAT

Antibodi yang berperan dan proses yang timbul setelah pajanan ke suatu alergen berbeda dari respon biasa terhadap bakteri yang diperantarai oleh antibodi. Alergen akan berikatan dengan memicu pembentukan antibodi IgE dan bukan antibodi IgG yang berikatan dengan antigen bakteri.

Bahan-bahan kimia yang dibebaskan menyebabkan reaksi yang menandai hipersensitivitas tipe cepat. Bahan kimia tersebut berupa:

1. Histamin, menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler serta peningkatan produksi mukus.

2. SRS-A (Slow-reactive subtance of anaphylaxis), memicu kontraksi hebat dan berkepanjangan otot polos terutama pada saluran napas halus. Merupakan suatu leukotrien, mediator bekerja lokal yang serupa dengan prostaglandin.

3. Eosinophil chemotactic factor, menarik eosinofil ke daerah peradangan secara khusus. Mengeluarkan enzim-enzim yang menginaktifkan SRS-A dan juga menghambat histamin, berfungsi untuk membatasi respon alergik.

Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada tempat, alergen, dan mediator yang terlibat. Jika reaksi terbatas disaluran napas atas setelah menghirup alergen (misalnya serbuk sari) bahan kimia yang dibebaskan memicu gejala hay-fever—seperti hidung

7

Page 8: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

tersumbat akibat edema lokal yang dipicu oleh histamin serta bersin dan pilek akibat bertambahnya sekresi mukus. Jika reaksi terkonsentrasi di bronkiolus, maka terjadi asma sebagai respon terhadap SRS-A menyebabkan kontraksi otot polos di dinding bronkiolus sehingga pasien sulit bernapas akibat konstriksi saluran napas. Jika terjadi pada kulit, terjadinya pelepasan histamin yang diinduksi oleh alergi menyebabkan pembengkakan lokal berupa urtika (biduran). Pada saluran cerna, reaksi alergi memberikan respon terhadap alergen berupa diare.

HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT

Sebagian alergen (contohnya toksin poison ivy—sejenis tanaman, dan bahan kimia tertentu yang sering mengenai kulit seperti kosmetik dan bahan pembersih rumah tangga) memicu hipersensitivitas tipe lambat yang respon imunnya diperantarai oleh sel T.

Umumnya respon ditandai oleh erupsi kulit tipe lambat yang mencapai puncak intensitasnya 1 – 3 hari setelah kontak dengan alergen yang sel T telah tersensitisasi sebelumnya. Toksik Poison Ivy tidak merusak kulit ketika berkontak, tetapi mengaktifkan sel T yang spesifik terhadap toksin tersebut, termasuk pembentukan komponen pengingat.

Pada pajanan berikutnya dengan toksin yang sama, sel T telah aktif berdifusi ke kulit dalam waktu 1-2 hari, berikatan dengan toksin yang ada. Interaksi yang terjadi menyebabkan kerusakan jaringan dan keluhan subyektif yang khas untuk penyakit ini.

Hipersensitivitas dibagi menjadi 4, yaitu:

8

Page 9: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

A. TIPE I HIPERSENSITIVITAS

Tipe I hipersensitivitas juga dikenal sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaksis. Reaksi mungkin melibatkan kulit (urtikaria dan eksim), mata (konjungtivitis), nasofaring (rhinorrhea, rhinitis), jaringan bronkopulmonalis (asma) dan saluran pencernaan (gastroenteritis). Reaksi dapat menyebabkan berbagai gejala dari ketidaknyamanan ringan sampai mati. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 15 - 30 menit dari waktu terpapar dengan antigen, meskipun kadang-kadang mungkin memiliki onset tertunda (10 - 12 jam).

Hipersensitif dimediasi oleh IgE. Komponen seluler utama dalam hipersensitivitas ini adalah sel mast atau basofil. Reaksi diperkuat dan / atau dimodifikasi oleh trombosit, neutrofil dan eosinofil. Biopsi dari situs reaksi menunjukkan terutama sel mast dan eosinofil.

9

Page 10: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

B. HIPERSENSITIVITAS TIPE II

Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigen yang terdapat di permukaan sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba atau molekul-molekul kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis (sito=sel, toksik=merusak, lisis=menghancurkan).

10

Page 11: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

C. HIPERSENSITIVITAS TIPE III

Type III hipersensitivitas juga dikenal sebagai hipersensitivitas kompleks imun. Reaksi mungkin umum (misalnya, serum sickness) atau mungkin melibatkan organ individu termasuk kulit (misalnya, lupus eritematosus sistemik, reaksi Arthus), ginjal (misalnya, lupus nefritis), paru-paru (misalnya, aspergillosis ), pembuluh darah (misalnya, polyarteritis ), sendi (misalnya, rheumatoid arthritis) atau organ lainnya. Reaksi ini mungkin mekanisme patogenik penyakit yang disebabkan oleh banyak mikroorganisme.

Reaksi dapat berlangsung 3 - 10 jam setelah terpapar antigen (seperti dalam reaksi Arthus ). Hal ini dimediasi oleh kompleks imun larut. Mereka adalah sebagian besar dari kelas IgG, IgM meskipun juga mungkin terlibat. Antigen mungkin eksogen (bakteri, virus atau infeksi parasit kronis), atau endogen (non-organ autoimunitas spesifik: misalnya, lupus eritematosus sistemik, SLE). Antigen dapat larut dan tidak terikat dengan organ yang terlibat. Komponen utama adalah kompleks imun larut dan komplemen (C3a, 4a dan 5a). Kerusakan ini disebabkan oleh trombosit dan neutrofil (Gambar 4). Lesi mengandung terutama neutrofil dan deposit kompleks imun dan komplemen. Makrofag infiltrasi di tahap selanjutnya mungkin terlibat dalam proses penyembuhan.

Afinitas antibodi dan ukuran kompleks imun yang penting dalam produksi penyakit dan menentukan jaringan yang terlibat. Diagnosis melibatkan pemeriksaan biopsi jaringan untuk deposito imunoglobulin dan komplemen dengan mikroskop imunofluoresensi. The immunofluorescent pewarnaan tipe III hipersensitivitas adalah granular (sebagai lawan linear di tipe II seperti terlihat pada sindrom Goodpasture). Kehadiran kompleks imun dalam serum dan penurunan dalam tingkat komplemen

11

Page 12: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

juga diagnostik. Polyethylene glycol-dimediasi kekeruhan ( nephelometry ) pengikatan C1q dan uji sel Raji yang digunakan untuk mendeteksi kompleks imun. Perawatan termasuk agen anti-inflamasi.

D. HIPERSENSITIVITAS TIPE IV

Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi ini tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini timbul lebih dari12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini disebut reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain.

12

Page 13: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

3.2NOMOR 2 ( Fitra dan Anjar )

Reaksi hipersensitivitas menurut mekanisme

           

1. Reaksi hipersensitivitas tipe I

Disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi. Timbul segera

setelah tubuh terpajan dengan alergen. Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas

tipe I mulanya antigen masuk ke tubuh dan merangsang sel B untuk membentuk IgE

dengan bantuan sel Th. IgE diikat oleh sel mast atau basofil melalui reseptor Fcɛ.

Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan

diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast atau basofil. Akibat ikatan

tersebut, sel mast atau basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator.

Reaksi tipe I mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan secara jelas:

1) respons awal, ditandai dengan vasodilatasi , kebocoran vaskular, dan spasme otot

polos, yang baisanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan

oeh suatu alergen dan menghilang setelah 60 menit.

2) reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama

beberapa hari. Reaksi fase lambat ini terjadi dengan infiltrasi eosinofil serta sel

peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai

dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Senyawa vasoaktif yang dilepaskan oleh sel mast atau basofil, yaitu:

Histamin

Faktor kemotaktik eosinofilik

Senyawa lain yang juga dilepaskan yaitu substansi reaksi lambat anafilaksis yang

disintesis oleh sel. Substansi tersebut terdiri atas:

Prostaglandin

Leukotrin

Tromboksan

Faktor pengaktif trombosit

Pada kasus asma, menyebabkan sekresi berlebihan dan kelenjar mukus bronkus

dan spasme bronkus.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

13

sa

Mediator primer (respons awal)

Mediator sekunder (reaksi fase lambat)

Page 14: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai

diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast atau basofil.

Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen

yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul  yang

menimbulkan reaksi.

Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai efek mediator-

mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

Contoh yang sering dari hipersensitivitas tipe I ialah demam, pilek, eksema pada masa

kanak-kanak, dan asma ekstrinsik. Diagnosis hipersensitivitas tipe I biasanya dibuat

dengan memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan antigen dalam

lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu anamnesis yang teliti.

2. Reaksi hipersensitivitas tipe II

Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG

atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut

dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R. Sel NK dapat berperan sebagai

sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Karakteristik

hipersensitivitas tipe II ialah pengrusakan sel dengan mengikat antibodi yang spesifik

pada permukaan sel.  Kerusakan sel yang terjadi utamanya bukan merupakan hassil

pengikatan antibodi, ini tergantung pada bantuan limfosit lainnya atau makrofag atau

pada sistem komplemen. Manifestasi yang sering dari reaksi hipersensitivitas reaksi

ini melibatkan sel-sel darah, sel jaringan lainnya dapat juga diikutsertakan. Misalnya

saja pada anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia.

3. Reaksi hipersensitifitas tipe III

Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks antigen-antibodi

ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh darah atau jaringan dan

mengaktifkan komplemen. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG.

Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah komponen sistem imun. Komplemen

yang diaktifkan melepas anafilaktosis yang memacu sel mast dan basofil melepas

histamin. Mediator lainnya dan MCF mengerahkan polimorf yang melepas enzim

proteolitik dan protein polikationik. Komplemen juga menimbulkan agregasi

trombosit yang membentuk mikrotombi dan melepas amin vasoaktif, selain itu

komplemen mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan produk lainnya. Bahan

14

Page 15: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi,

peningkatan permeabilitas vaskular, dan inflamasi. Neutrofil ditarik dan

mengeliminasi kompleks. Bila neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk

memakan kompleks dan akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini

menimbulkan banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat

tersebut melepas berbagai mediator, antara lain enzim-enzim yang dapat merusak

jaringan sekitarnya. Manifestasi klinisnya antara lain lupus eritamatosis sistemik,

penyakit serum, artritis reumatoid, infeksi malaria, virus, dan lepra.

4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV

Terjadi setelah 12 jam. Hipersensitivitas tipe ini dibagi dalam Delayed Type

Hypersensitivity yang terjadi melalui sel CD4 dan T Cell Mediated Cytolysis yang

terjadi melalui sel CD8.

Delayed Type Hipersensitivity (DTH)

Pada DTH, sel CD4 Th1 mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai sel

efektor. CD4 Th1 melepas sitokin yang mengaktifkan makrofag dan menginduksi

inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang

diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediat, oksida nitrat, dan

sitokin proinflamasi. DTH dapat juga terjadi sebagai respon terhadap bahan yang

tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis

kontak. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan

hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya

seperti peroksid radikal dan superoksid. DTH dapat merupakan reaksi fisiologik

terhadap patogen yang sulit disingkirkan misalnya M. Tuberkulosis.

T Cell Mediated Cytolysis

Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8 yang

langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas

selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik.

Manifestasi klinisnya antara lain dermatitis kontak, diabetes insulin dependen,

artritis reumatoid, sklerosis multipel, infeksi, dll

Reaksi Reaktan imun Efek yang diharapkan Efek yang tidak diharapkan

Tipe I Antibodi IgE Permeabilitas vaskuler Hay fever, asma

15

Page 16: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

meningkat, antibodi, sel, dan komplemen masuk ke jaringan.

ekstrinsik, anafilaksis

Tipe II Antibodi IgE/IgM

Membunuh  bakteri Anemia hemolitik

Tipe III Antibodi IgG Mobilisasi polimorf ke tempat infeksi

Glomerulonefritis, vaskulitis

Tipe IV Limfosit T Menghancurkan virus, membunuh sel terinfeksi

Penolakan cangkokan, tuberkulosis, lepra

(Underwood, 1999)

Jadi secara ringkas reaksi hipersensitivitas dibagi lebih lanjut kedalam empat tipe, tiga

tipe merupakan variasi pada cidera yang diperantai oleh antibodi, sedangkan tipe

keempat diperantarai oleh sel:

Penyakit tipe I diakibatkan oleh antibodi IgE yang diabsorbsi pada sel mast atau

basofil, ketika molekul IgE ini berikatan pada antigen sepsifiknya (alergen),

Molekul akan dipicu untuk melepaskan amina vasoaktif dan mediator lain yang

kemudian memengaruhi permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos di

berbagai organ.

Gangguan tipe II disebabkan oleh antibodi humoral yang berikatan pada jaringan

tertentu atau antigen permukaan sel dan menyebabkan proses patologis dengan

memudahkan sel mengalami fagositosis atau lisis yang diperantai oleh komplemen.

Gangguan tipe III paling baik dianggap sebagai “penyakit komplek imun”, antibodi

mengikat antigen untuk membentuk kompleks antigen-antibodi yang besar yang

mengendap di berbagai pembuluh darah dan mengaktivasi komplemen. Kompleks

imun serta fragmen aktivasi komplemen juga menarik perhatian neutrofil. Pada

akhirnya, komplemen yang diaktivasi serta pelepasan enzim neutrofilik dan

molekul toksik lain (misalnya, metabolit oksigen) inilah yang menyebabkan

kerusakan jaringan pada penyakit kompleks imun.

Gangguan tipe IV (disebut pula “hipersensitivitas tipe lambat”) merupakan respon

imun selular yang limfosit T spesifik antigennya merupakan penyebab utama jejas

sel dan jaringan.

Mekanisme berbagai gangguan yang diperantai secara imunologis

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe

16

Page 17: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang

antibodi IgEpelepasan

amina vasoaktif dan

mediator lain dari

basofil dan sel

mastrekrutmen sel

radang lain.

Anafilaksis, beberapa

bentuk asma bronkial

II Antibodi

terhadap Antigen

Jaringan Tertentu

IgG atau IgM berikatan

dengan antigen pada

permukaan

selfagositosis sel

target atau lisis sel target

oleh komplemen ayau

sitotoksisitas yang

diperantarai oleh sel

yang bergantung

antibodi

Anemia hemolitik

autoimun,

eritroblastosis fetalis,

Penyakit Goodpasture,

Pemfigus vulgaris

III Penyakit

Kompleks Imun

Kompleks antigen-

antibodimengaktifkan

komplemenmenarik

perhatian

neutrofilpelepasan

enzim lisosom, radikal

bebas oksigen, dll

Reaksi Arthus, serum

sickness, lupus

eritematosus sistemik,

bentuk tertentu

glomerulonrfritis akut

IV

Hipersensitivitas

Selular (Lambat)

Limfosit T

tersensitisas

ipelepasan sitokin dan

sitotoksitas yang

diperantai sel T

Tuberkulosis,dermatitis

kontak, penolakan

transplan

17

Page 18: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

3.3 NOMOR 3 ( Trias murni dan Febridayanti )

DIAGNOSIS DIFERENSIAL

1. Rhinitis AlergiDefinisi : Inflamasi mukosa hidung yang ditandai oleh salah satu gejala bersin, gatal,rinorea, hidung tersumbat. Inflamasi yg diinduksi respon imun yg dimediasi Ig E thd alergen tertentu.Klasifikasi :Menurut ARIA (Alergic Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008-Intermiten

Gejala < 4 hari/minggu atau < 4 mgg berturut-turut- Persisten

Gejala > 4 hari/minggu atau > 4 mgg berturut-turut - Ringan Tidur normal Tidak terdapat gangguan aktifitas harian Tidak terdapat penurunan produktivitas kerja/sekolah Gejala tidak mengganggu

-Sedang - berat Terdapat gangguan tidur Terdapat gangguan aktifitas harian Penurunan produktifitas kerja/sekolah Gejala mengganggu

2. Penyakit Asma Bronkial. Penyakit asma bronkial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Itu adalah pengertian penyakit asma bronkial menurut (Smeltzer, 2002 : 611) ada juga yang mengartikan sebagai : penyakit jalan nafas yang tidak dapat pulih yang terjadi karena spasme bronkus disebabkan oleh berbagai penyebab misalnya alergen, infeksi, latihan. Spasme bronkus meliputi konstriksi otot polos, edema mukosa dan mukus berlebihan dengan perlengketan di jalan nafas pada tahap lanjut. (Hudak, 1997 :565)Penyakit asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang berkaitan erat dengan saluran nafas serta pernafasan. Oleh sebab itu bila penyakit paru asma ini kambuh akan menimbulkan gejala yang khas sekali yaitu bunyi nafas mengi, bengek, batuk dan juga sesak nafas. Bunyi mengi pada asma terdengar ketika seorang penderita menghembuskan nafasnya. Serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap juga akan semakin memburuk jika tidak segera dilakukan tindakan pengobatan dan juga perawatan.

18

Page 19: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

Selanjutnya menginjak kepada penyebab asma bronkial ini. Penyebab dari asma bronchiale ini terdiri dari dua faktor yaitu faktor intrinsik dan juga faktor ekstrinsik. Dua hal tersebut yang bisa menyebabkan penyakit asma bronkial yaitu :1. Faktor Intrinsik ( asma non imunologi / asma non alergi ) :Infeksi : Parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal.Fisik : Cuaca yang dingin, perubahan temperatur secara dratis.Iritan : Kimia.Polusi udara : Karbondioksida, asap rokok, parfum.Emosional : rasa takut, cemas dan tegang.Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus. (Suriadi, 2001 : 7)

2. Faktor Ekstrinsik ( asma imunologik / asma alergi) :a. Inhalasi (menghirup )alergen ( seperti halnya debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu

binatang ).b. Reaksi antigen-antibodi.

Penyakit asma bronkial ini merupakan salah satu penyakit kronik (menahun) serta juga penyakit paru dan juga dengan pasien terbanyak di dunia. Diperkirakan berkisar 300 juta orang di dunia menderitapenyakit asma jenis ini. Angka ini akan jauh lebih besar jika kriteria diagnosanya diperlonggar atau ditambahi. Di Indonesia negara kita tercinta ini, diperkirakan sampai 10 persen penduduk ( kurang lebih sekitar 12 juta orang ) mengidap dalam berbagai jenis penyakit asma.

Selanjutnya kita melangkah ke tanda gejala penyakit asma bronkiale ini. Tanda serta gejalanya terbagi dalam dua kategori yaitu kategori stadium dini dan stadium kronik (lanjut).1. Stadium Dini.Bila pada stadium dini ini faktor hipersekresi yang lebih menonjol maka tanda dan gejala yang didapatkan adalah : 

Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek. Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang

timbul. Suara wheezing belum ada. Belum ada kelainan bentuk thorak pada rontgen thorak pasien. Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E. Hasil BGA belum patologis.

Sedangkan bila pada stadium dini ini faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan maka tanda serta gejala yang didapatkan adalah :

Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum. Wheezing. Ronchi basah bila terdapat hipersekresi. Penurunan tekanan parsial O2.

19

Page 20: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

3. Stadium Kronik ( Lanjut )Tanda dan gejala penyakit asma bronkial pada stadium tingkat lanjut ini adalah :

Batuk, ronchi Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan. Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan. Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest). Thorak seperti barel chest. Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus. Sianosis. Hasil Blood Gas Analisis Pa O2 kurang dari 80%. Rontgen paru terdapat adanya peningkatan gambaran bronchovaskuler

kanan dan kiri. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik.

Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan dalam membantu menegakkan diagnosa penyakit asmaini yaitu diantaranya :

Spirometri (Tidal volume, kapasitas vital) Pemeriksaan sputum dan pemeriksaan eosinofil total (biasanya meningkat

dalam darah dan sputum). Pemeriksaan alergi (Radioallergosorbent Test : RAST) : uji kulit, kadar Ig

E total dan Ig E specifik dalam sputum Rontgen thorak. Analisa Gas Darah

20

Page 21: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

3.4 NOMOR 4 ( Rini Astin Triana )

Penatalaksanaan Asma

Tujuan terapi asma adalah

1.     Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma.

2.     Mencegah kekambuhan.

3.     Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya.

4.     Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan exercise.

5.     Menghindari efek samping obat asma.

6.     Mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel.

Tujuan penatalaksanaan eksaserbasi akut

Makin sering eksaserbasi akut, akan meningkatkan kemungkinan terjadi remodeling saluran nafas dan meningkatkan keyakinan perburukan penyakit. Penatalaksanaan pada eksaserbasi akut bertujuan :

1.     Menghilangkan obstruksi secepat mungkin

2.     Menghilangkan hipoksemi

3.     Mengembalikan faal paru ke normal secepat mungkin

4.     Mencegah kekambuhan

Serangan asma berat dapat menimbulkan kematian, terutama bila terlambat ditanggulangi atau penanggulangan yang tidak adekuat.Resikoini juga meningkat bila ada komplikasi. Faktor yang meningkatkan resiko kematian pada asma adalah :

-         Riwayat gagal nafas dan pemasangan intubasi

-         Pemakaian steroid sistemik

-         Kunjungan ke gawat darurat/perawatan karena asma

-         Penatalaksanaan asma yang tidak adekuat

-         Depresi berat dan atau masalah psikososial

Tabel 2. Pengobatan asma jangka panjang berdasarkan berat penyakit

21

Page 22: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

Derajat Asma Obat Pengontrol (harian) Obat Pelega

Asma Intermiten

-         Tidak perlu -         Bronkodilator singkat, yaitu inhalasi agonis beta2 bila perlu

-         Intensitas pengobatan tergantung beratnya serangan

-         Inhalasi agonis beta2 atau Na-kromolin dipakai sebelum aktivitas atau pajanan allergen

Asma Persisten Ringan

-         Inhalasi kortikosteroid 200-500g/Na- kromolin/ nedrokromil atau teofilin lepas lambat

-         Dosis kortikosteroid dapat dinaikkan menjadi 800 mg atau ditambahkan bronkodilator kerja panjang (oral atau hirup)

-         Inhalasi agonis beta2 aksi singkat bila perlu dan tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Asma Persisten Sedang

-         Inhalasi kortikosteroid 800-2000 mcg

-         Inhalasi agonis beta2 hirup aksi singkat bila perlu dan tidak

22

Page 23: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

-         Bronkodilator aksi lama terutama untuk untuk mengontrol asma malam, berupa agonis beta 2 aksi lama inhalasi, oral atau teofilin lepas lambat

melebihi 3-4 kali sehari

Asma Persisten Berat

-         Inhalasi kortikosteroid 800-2000 mcg atau lebih

-         Bronkodilator aksi lama, berupa agonis beta2 inhalasi atau oralatau teofilinlepas lambat

-         Kortikosteroid oral jangka panjang

Agonis beta 2 hirup (kerja pendek) bila ada gejala

Obat-obat anti asma :

1.     Bronkodilator

a.      Agonis2

Obat ini mempunyai efek bronkodilatasi. Terbutalin, salbutamol, dan fenetranol memiliki lama kerja 4-6 jam, sedangkan agonis2 long-acting bekerja lebih dari 12 jam, seperti salmeterol, formoterol, bambuterol dan lain-lain. Bentuk aerosol dan inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang jauh lebih kecil yaitu sepersepuluh dosis oral dan pemberiannya lokal.

b.     Metilxantin

Teofilin termasuk golongan ini.Efek bronkodilatornya berkaitan dengan konsentrasinya di dalam serum. Efek samping obat ini ditekan dengan pemantauan kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjag.

c.      Antikolinergik

Golongan ini merupakan tonus vagus intinnsik dari saluran napas.

2.     Anti inflamasi

23

Page 24: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan napas dan mempunyai efek supresi dan profilaksis.

a.      Kortikosteroid

b.     Natrium kromolin (sodium cromoglycate) merupakan antiinflamasi nonsteroid.

Tabel 3 Terapi serangan asma akut

BERATNYA SERANGAN TERAPI LOKASI

RINGAN

-         Aktivitas hampir normal.

-         Bicara dalam kalimat penuh.

-         Denyut nadi <100/menit

-         (APE>60%)

Terbaik:

-        Agonis Beta2 isap (MDI) 2 isap boleh diulangi 1 jam kemudiqan atau tiap 20 menit dalam 1jam

Alternatif:

-         Agonis beta2 oral dan atau 3x1/2 –1 tablet (2mg) oral

-         Teofilin 75-150 mg

-         Lama terapi menurut kebutuhan

-         Di rumah

SEDANG

-         Hanya mampu berjalan jarak dekat

Terbaik:

-         Agonis Beta-2 secara nebulisasi 2,5 –5mg, dapat

-         Puskesmas

-         Klinik rawat jalan

24

Page 25: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

-         Bicara dalam kalimat terputus-putus

-         Denyut nadi 100-120/menit

-         (APE 40-60%)

diulangi sampai dengan 3 kali dalam 1jam pertama dan dapat dilanjutkan setiap 1-4 jam kemudian

-         Unit Gawat Darurat

-         Praktek dokter umum

-         Dirawat RS bila tidak respons dalam 2-4 jam

BERAT

-         Sesak pada istirahat

-         Bicara dalam kata-kata terputus

-         Denyut nadi >120 L/menit

-         (APE < 40% atau 100L/menit)

Terbaik:

-         Agonis beta-2 secara nebulisasi dapat diulangi s.d 3kalidalam 1jam pertama selanjutnya dapat diulangi setiap 1-4 jam kemudian

-         Teofilin iv dan infus

-         Steroid iv dapat diulang/ 8-12jam

-         Agonis beta 2 sk/iv /6jam

-         Oksigen 4

-         Unit Gawat Darurat

-         Rawat bila tidak ada responns dalam 2 jam maksimal 3 jamm

-         Pertimbangkan rawat ICU bila cenderung memburuk Progresif

25

Page 26: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

liter/menit

-         Pertimbangkan nebulisasi ipratropiumbromide 20 tetes

MENGANCAM JIWA

-         Kesadaran menurun

-         Kelelahan

-         Sianosis

-         Henti napas

Terbaik:

-         Lanjutkan terapi sebelumnya

-         Pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik

-         Pertimbangkan anastesi umum untuk terapi pernapasan intensif. Bila perlu dilakukan kurasan bronco alveolar (BAL)

-         ICU

Terapi awal yaitu

1.     Oksigen 4-6 liter /menit

2.     Agonis2 (salbutamol 5mg atau feneterol 2,5 mg atau terbutalin 10mg) inhalasi nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Dapat diberikan secara subkutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dextrose 5% dan diberikan perlahan.

3.     Aminofilin bolus iv 5-6 mg/kg BB, jjikasudah menggunakan obat ini dalam 12jam sebelumnya cukup diberikan setengah dossis

26

Page 27: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

4.     Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respon segera atau pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.

Respon terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut :

1.     Respon menetap selama 60 menit setelah pengobatan.

2.     Pemeriksaan fisik normal.

3.     Arus puncak ekspirasi (APE) >70%.

Jika respon tidak ada atau tidak baik terhadap terapi awal maka sebaiknya pasien dirawat di rumah sakit.

Terapi asma kronik adalah sebagai berikut

1.     Asma ringan: agonis2 inhalasi bila perlu atau agonis 2 oral sebelum exercise atau terpapar allergen.

2.     Asma sedang: antiinflamasi setiap hari dan agonis2 inhalasi bila perlu.

3.     Asma berat: steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis 2 long acting, steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis2 inhalasi sesuai kebutuhan.

Penatalaksanaan yang baik dapat membuat asma menjadi terkontrol yaitu gejala penyakit berkurang dan faal paru menjadi optimal, kriteria asma yang terkontrol adalah :

1. Gejala klinik menghilang atau minimal termasuk gejala asma malam

2. Eksaserbasi jarang

3. Kebutuhan2-agonis minimal

4. Aktivitas tidak terganggu

5. Variasi APE < 15%

6. Efek samping obat tidak ada / minimal

7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat.

27

Page 28: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

Penatalaksanaan Rhinitis Alergika

   Tujuan terapi

     Meminimalisasi/mencegah gejala dengan efek samping seminimal mungkin dan biaya

pengobatan rasional serta pasien dapat mempertahankan pola hidup normal.

          Penatalaksanaan

1. Terapi Non-farmakologi

    Terapi non-farmakologi  yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2.  Terapi Farmakologi  (Terapi Simptomatis)

a.   Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik,

kortikosteroid dan antikolinergik topikal.

      Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor histamin H1 berikatan

dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja

histamin.Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama

pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan

dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan

antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)

dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.

Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga

lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya

melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan

farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1

jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang

efektif dalam mengatasi kongesti hidung.

Farmakokinetik AH generasi kedua (Cetirizin dan Loratadin).

28

Page 29: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

         Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral

dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara

topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis

medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan

vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.

a.       Dekongestan oral 

      Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat

simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada

pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain

hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan

membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan

oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan

antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.

b.      Dekongestan intranasal 

      Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)

juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat

ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi

kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama

seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan

untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan

dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem

saraf pusat.

         Preparat Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena

sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai

oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa

kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6,

tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor

(GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8,  regulated on activation

normal T cell expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein-

1α (MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1.

29

Page 30: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

a.       Kortikosteroid intranasal 

      Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,

mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat

ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif

terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat

setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan

karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan

tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis

steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali

sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan

hidung tersumbat yang menonjol.

b.      Kortikosteroid oral/IM  

      Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon,

prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi

dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika

memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian

kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik

mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis

alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat

intranasal dan inhalasi.

         Sodium Kromolin

Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan

mediator termasuk histamin dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang

dirangsang antigen melewati membran sel mast.

        Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi

rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

         Anti-leukotrien  seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan memblok reseptor

CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam

30

Page 31: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai

obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

c.       Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka

inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai

AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

d.      Imunoterapi - Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikamentosa

gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompromi.

Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG

spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan

hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya

berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak

membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan (Mulyarjo, 2006).

         Bila ada konjungtivitis, tambahkan :o   Penghambat H1 oralo   Atau penghambat H1 Intra-okulero   Atau kromolin intra-okulero   (atau larutan garam fisiologis)

         Pertimbangkan Imunoterapi spesifikBila ada perbaikan turunkan ke tahap sebelumnya, kalau memburuk naikkan ke tahap

berikutnya.

31

Page 32: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

3.5NOMOR 5 ( Lidya )

“Pemeriksaan pada Hipersensitivitas”

Tes alergi (hipersensitivitas tipe I) pada kulit.

Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :

1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.Syarat tes ini :o Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.o Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.

Prosedur skin test :- Pertama, bagian lengan bawah volar dibersihkan dengan alcohol, dicari bagian yang tidak banyak dilalui pembuluh darah perifer yang besar.- Kemudian diberi allergen yang akan diujikan- Gores pada tempat allergen dengan lancet secara gentle, jangan sampai ada perdarahan, 10-15 menit kemudian akan terjadi triple respon yaitu bercak merah pada goresan yang sesaat, flare pada daerah sekitar goresan dan oedema pada goresan.Keunggulan skin test ini antara lain :- Murah- Tidak terlalu sakit

32

Page 33: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

- Umumnya tidak berisiko

2. Patch Tes (Tes Tempel).Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.Syarat tes ini :o Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.o 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.

3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.

4. Skin Test (Tes kulit).Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.5. Tes Provokasi.Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode RAST.

Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30 menit.Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.

Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.

33

Page 34: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

3.6 NOMOR 6 ( Egi Herliansah )

1. Asma bronchiale

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :

Akut :

- Dehidrasi - Gagal nafas- Infeksi saluran nafas

Kronis :

- Kor-pulmonale- PPOK- Pneumotorak- Atelektasis

2. Rinitis alergica

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :

- Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung.

- Otitis media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering residif dan terutama ditemukan pada pasien anak-anak.

- Sinusitis paranasal.- Otitis media dan sinusitis paranasal bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi

melainkan adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase.

34

Page 35: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

3.7NOMOR 7 ( Nursigit )

o Hubungan Penyakit pada Anak dengan Penyakit Alergi pada Orang Tua

Reaksi yang terjadi bila seseorang yang pernah terpapar pada antigen tertentu, maka pada pemaparan berikutnya dari antigen yang sama akan menyebabkan respons imunologik sekunder, reaksi imunologik berlangsung berlebihan secara tidak wajar , sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.

Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi apabila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologik seseorang baik seluler maupun humoral meningkat.

TYPE Reaksi Sensitivitaso hipersensitivitas tipe Io hipersensitivitas tipe IIo hipersensitivitas tipe IIIo hipersensitivitas tipe IV

o Reaksi hipersensitivitas I, II dan III terjadi karena interaksi antara antigen dengan antibodi sehingga termasuk reaksi humoral.

35

Page 36: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

Dari segi waktu timbulnya reaksi, termasuk reaksi tipe segera (immediate), walaupun reaksi yang timbul bervariasi antara beberapa detik atau menit pada tipe i hingga beberapa jam pada tipe ii dan iii.

o Reaksi hipersensitivitas IV terjadi karena interaksi antara antigen dengan reseptor yang terdapat pada permukaan limfosit sehingga termasuk reaksi selular.

Dari segi waktu timbulnya reaksi, termasuk reaksi tipe lambat (delayed), karena reaksi berlangsung lebih lambat yaitu umumnya lebih dari 12 jam.

o Dalam realitanya, mekanisme reaksi hipersensitivitas tidak selalu berdiri sendiri, sering melibatkan lebih dari satu mekanisme reaksi imunologik.

o Di Indonesia : Tahun 2000 : 23,67% dari 611 kasus baru ( 7 RS, 5 kota di Indonesia)

o Di Unit Rawat Jalan Dermatologi Pediatrik RSCM Jakarta : temasuk dalam 10 penyakit kulit anak terbanyak

36

Page 37: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

Faktor Pemicu Pada Dermatitis Atopi

Gejala dan Tanda

o Hal inilah yang terjadi pada skenario 2, yaitu:

1. Dari segi waktu timbulnya reaksi, termasuk reaksi tipe segera (immediate), karena reaksi berlangsung lebih lambat yaitu umumnya kurang dari 12 jam. Jadi Hipersensitivitas tipe I.

2. Reaksi hipersensitivitas cukup dipengaruhi faktor Congenital (keturunan)

3. Reaksi hipersensitivitas tidak selalu berdiri sendiri, sering melibatkan lebih dari satu mekanisme reaksi imunologik yakni Reaksi autoimun terhadap Rhinitis Alergica yang bisa dipengaruhi faktor kongenital Alergi Dermatitis dari orangtuanya.

37

Page 38: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

3.8 NOMOR 8 ( Rani Meiliana S )

Faktor penyebab hipersensitivitas :

Faktor yang berperan dalam alergi di bagi menjadi 2 yaitu :

a.       Faktor Internal

1)      Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam

lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis

(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan.

Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.

2)      Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin

sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma

kehidupan setempat.

3)      Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan

alergen bertambah.

b.      Fakor Eksternal

1)      Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,

stress) atau beban latihan (lari, olah raga).

2)      Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya

Ikan 15,4 %

Telur12,7 %

Susu 12,2 %

Kacang 5,3 %

Gandum           4,7 %

Apel 4,7 %

Kentang 2,6 %

Coklat 2,1 %

Babi 1,5 %

Sapi  3,1     %

3)      Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat

menimbulkan reaksi alergi.

4) sengatan serangga

5) latihan jasmani

Faktor lainya :

Defisiensi sel T

Penurunan jummlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum IgE pada penyakit eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi yang disusui dengan asi dan dengan susu bubuk.

Mediator feedback

38

Page 39: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

Menurut penelitian, inhibisis reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan aktifasi penahan sel T oleh histamin akan meningkatkan jumlah IgE.

Faktor lingkungan

Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa sehingga meningkatkan pemasukan antigen dan respon IgE.

IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal

obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah

merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian

berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah

merah

IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan

kerusakan ginjal

Ukuran kompleks imun

Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Defek genetik yang memudahkan produksi antibodi dengan afinitas rendah yang dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu bersangkutan mudah menderita penyakit kompleks imun

Kelas imunoglobulin

Pembersihan kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas imunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan-lahan dari sirkulasi, tetapi tidak halnya dengan IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan tidak dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan misalnya ginjal, paru dan otak.

permeabilitas pembuluh darah

peningkatan permeabilitas vaskuler dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya oleh peningktan penglepasan vasoactive amine. Semua hal yang berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang dapat memberikan kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vaskuler.

Proses hemodinamik

39

Page 40: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengendap dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding pencabangan arteri dan di tempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pad pleksus choroid dimana terdapat turbulensi.

40

Page 41: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

BAB 4 PENUTUP

4.1KESIMPULAN

Jadi penyakit pada skenario menunjukkan gejala hipersensitivitas I. Karena pada skenario anak tersebut menunjukkan gejala asma dan ayahnya menderita dermatitis. Dimana gejala tersebut merupakan penyakit alergi pada hipersensitivitas tipe I yang merupakan reaksi cepat dan pada suatu keadaan bisa menyebabkan anafilaksis alergi, dimana alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun berupa IgE dan penyakit alergi seperti, asma, dan dermatitis atopi.

41

Page 42: Laporan Pbl Hipersensitivitas Kel 4

DAFTAR PUSTAKA

Boedina, Siti. Imunologi : diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 3, 1996. Fakultas kedokteran UI.

            Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group. World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma.J allergy clinical immunol : S147-S276.

            Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.

            Hassan, rusepno dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. Jakarta: Info MedikaUnderwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.

Buku Ajar Patologi Robbins,Ed. 7,Vol. 1,Buku Kedokteran EGC

http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/hyper00.htm http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/

matkul/Mikrobiologi/h-p.pdf,

http://marizal-co-ass.blogspot.com/2010/04/reaksi-hipersensitivitas-pada-imunologi.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas

           

42