reaksi hipersensitivitas

37
i PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS Oleh : I Gusti Ayu Putri Purwanthi (1002005126) Pembimbing : dr. Pande Ketut Kurniari, Sp.PD DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI DEPARTEMEN/KSM PENYAKIT DALAM FK UNUD/RSUP SANGLAH 2019

Upload: others

Post on 14-Jan-2022

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

i

PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Oleh :

I Gusti Ayu Putri Purwanthi (1002005126)

Pembimbing :

dr. Pande Ketut Kurniari, Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI DEPARTEMEN/KSM PENYAKIT DALAM

FK UNUD/RSUP SANGLAH

2019

Page 2: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya

sehingga laporan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) ini dapat diselesaikan

tepat pada waktunya. Laporan PBL ini disusun untuk memenuhi salah satu

persyaratan dalam rangka menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian

Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Laporan PBL

ini berjudul: ”Reaksi Hipersensitivitas”.

Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,

petunjuk, bantuan serta dukungan dari berbagai pihak baik dari institusi maupun

dari luar institusi Fakultas Kedokteran. Melalui kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suega Sp.PD-KHOM selaku Kepala Departemen

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah

2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan

Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah.

3. dr. Pande Ketut Kurniari, Sp.PD selaku dosen pembimbing atas segala

bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam penyusunan laporan ini.

4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan ini yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah

kesehatan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Oktober 2019

Penulis

Page 3: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................................ iii

Daftar Gambar ....................................................................................................... iv

I Pendahuluan .................................................................................................... 1

II Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 2

2.1 Definisi Reaksi Hipersensitivitas ........................................................... 2

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Reaksi Hipersensitivitas ............................. 2

2.3 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas ....................................................... 3

2.4 Manifestasi Klinis .................................................................................. 8

2.5 Penatalaksanaan ..................................................................................... 9

2.6 Pencegahan ............................................................................................. 11

III Laporan Kasus ................................................................................................. 12

3.1 Identitas .................................................................................................. 12

3.2 Anamnesis .............................................................................................. 12

3.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 15

3.4 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 17

3.5 Diagnosis ................................................................................................ 21

3.6 Penatalaksanaan ..................................................................................... 21

3.7 Prognosis ................................................................................................ 22

IV Hasil Kunjungan Lapangan ............................................................................ 23

4.1 Alur Kunjungan Lapangan ..................................................................... 23

4.2 Identifikasi Masalah ............................................................................... 23

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien ...................................................................... 25

4.4 Saran dan Pemecahan Masalah .............................................................. 29

V Simpulan ........................................................................................................... 31

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

1

BAB I

PENDAHULUAN

Penggunaan berbagai macam obat untuk suatu penyakit sudah umum

terjadi saat ini. Namun efek interaksi dan efek sampingnya juga meningkat, salah

satunya yang paling sering adalah hipersensitivitas terhadap salah satu atau lebih

dari 1 obat. Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas

terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Respon imun,

baik nonspesifik maupun spesifik biasanya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi

protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula

menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh seperti reaksi

hipersensitivitas tersebut.

Beberapa obat–obatan yang biasa menimbulkan reaksi hipersensitivitas

adalah antibiotik seperti golongan penisilin, streptomisin, klorampenikol,

sulfonamide, kanamisin, obat–obatan kemoterapeutik dan vaksin. Beberapa faktor

seperti riwayat alergi, riwayat keluarga, riwayat atopi, sifat allergen, alur

pemberian obat juga mempengaruhi terjadinya hipersensitivitas. Menurut Gell dan

Coombs reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 tipe, dimana masing-masing

tipenya memiliki patofisiologi dan karakteristik masing-masing.

Penanganan reaksi hipersensitivitas sebagian besar adalah simtomatik

yaitu yang terpenting adalah menghentikan obat pemicunya. Selain itu dapat juga

dengan desensitisasi dan pencegahan dengan menghindari obat atau zat lain

penyebab timbulnya hipersensitivitas.

Page 5: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Reaksi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas

terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Respon imun,

baik nonspesifik maupun spesifik biasanya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi

protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula

menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh seperti reaksi

hipersensitivitas tersebut. Komponen–komponen sistem imun yang berperan pada

fungsi proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas.1

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Reaksi Hipersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas dapat bersifat idiopatik atau diakibatkan oleh

berbagai zat dan keadaan. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum,

hormon, enzim, bisa binatang, makanan, dan sebagainya) atau polisakarida, juga

ada yang berupa hapten yang nanti bertindak sebagai antigen apabila berikatan

dengan protein (antibiotik, anastesi lokal, analgetik, zat kontras, dan lain-lain).

Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral, suntikan/sengatan,

inhalasi, atau topikal.1,2

Adapun beberapa obat – obatan yang biasa menimbulkan reaksi

hipersensitivitas adalah antibiotik seperti golongan penisilin, streptomisin,

klorampenikol, sulfonamide, kanamisin, obat – obatan kemoterapeutik dan vaksin.

Makanan seperti ikan, udang, kacang – kacangan, telur dan lain – lain. Bisa/cairan

binatang, getah tumbuhan dan kosmetik juga dapat menimbulkan reaksi

hipersensitivitas.1,2

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi

hipersensitivitas adalah:

a. Riwayat keluarga. Suatu studi epidemiologi menyatakan bahwa faktor

genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua memiliki

penyakit alergi, maka 25 – 40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang

tua memiliki alergi maka risiko pada anak adalah 50 – 70%.

Page 6: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

3

b. Riwayat atopi. Atopi merupakan kecenderungan genetik untuk memproduksi

IgE antibodi terpapar alergen. Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko

terjadinya reaksi hipersensitivitas. Sebagian besar penderita anafilaksis

idiopatik memiliki riwayat atopi.

c. Sifat alergen. Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan reaksi

hipersensitivitas (obat golongan Penisilin, pelemas otot, media kontras

radiografis, aspirin, lateks, kacang-kacangan, kerang).

d. Alur pemberian obat. Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung

menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan pemberian peroral,

namun reaksi hipersensitivitas dapat terjadi melalui berbagai jalur pemberian.

e. Kesinambungan (constancy) paparan allergen. Pemakaian obat yang sering

terputus dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas.

f. Pemberian imunoterapi berupa injeksi ekstrak alergen pada penderita yang

penyakit alerginya sedang tidak terkendali (misalnya injeksi ekstrak alergen

pada penderita asma yang belum terkendali akan meningkatkan risiko

terjadinya anafilaksis).3

2.3 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas

Terdapat beberapa klasifikasi reaksi hipersensitivitas yaitu menurut waktu

timbulnya dan menurut Gell dan Coombs.

2.3.1 Klasifikasi Menurut Waktu Timbulnya Reaksi Hipersensitifitas

a. Reaksi cepat

Terjadi dalam hitungan detik, serta hilang dalam waktu 2 jam. Antigen

yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan

mediator vasoaktif. Manifestasinya dapat berupa anafilaksis sistemik

atau anafilaksis lokal seperti pilek, bersin, asma, urtikaria, dan

eksema.

b. Reaksi intermediet

Terjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini

melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan

melalui aktivasi komplemen. Reaksi intermediet diawali oleh IgG

yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel NK.

Page 7: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

4

Manifestasinya berupa reaksi transfusi darah, eritroblastosis

fetalis dan anemia hemolitik autoimun dan reaksi arthus lokal dan

reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis,

glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.

c. Reaksi lambat

Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen.

Terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada delayed type of hypersensitivity

yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan

makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinisnya

yaitu dermatitis kontak, reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi

penolakan tandur.1

2.3.2 Klasifikasi Menurut Gell dan Coombs

a. Hipersensitivitas Tipe I

Disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi.

Reaksi ini timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen.

Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I mulanya antigen

masuk ke tubuh dan merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan

bantuan sel Th. IgE diikat oleh sel mast atau basofil melalui reseptor

Fcɛ. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka

antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan

sel mast atau basofil. Akibat ikatan tersebut, sel mast atau basofil

mengalami degranulasi dan melepas mediator. Senyawa vasoaktif

yang dilepaskan oleh sel mast atau basofil, yaitu histamin dan faktor

kemotaktik eosinofilik.

Senyawa lain yang juga dilepaskan yaitu substansi reaksi lambat

anafilaksis yang disintesis oleh sel. Substansi tersebut terdiri atas

prostaglandin, leukotrin, tromboksan dan aktor pengaktif trombosit.

Efek kombinasi dari senyawa-senyawa ini menimbulkan pelebaran

pembuluh darah, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edem

(pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya serum ke dalam

jaringan), dan masuknya eosinofil yang khas pada respons atopik

Page 8: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

5

lokal. Pada kasus asma, menyebabkan sekresi berlebihan dan kelenjar

mukus bronkus dan spasme bronkus.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan

IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel

mast atau basofil.

2. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang

dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang

berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai

efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas

farmakologik.

Manifestasi hipersensitivitas tipe I dapat bervariasi dari lokal,

ringan sampai berat dan keadaan yang mengancam nyawa seperti

anafilaksis dan asma berat. Diagnosis hipersensitivitas tipe I biasanya

dibuat dengan memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan

antigen dalam lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu

anamnesis.

b. Hipersensitivitas Tipe II

Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk

antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian

sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki

reseptor Fcγ-R. Sel NK dapat berperan sebagai sel efektor dan

menimbulkan kerusakan melalui Antibody Dependent Cell (mediated)

Cytotoxicity. Karakteristik hipersensitivitas tipe II ialah pengerusakan

sel dengan mengikat antibodi yang spesifik pada permukaan sel.

Kerusakan sel yang terjadi utamanya bukan merupakan hassil

pengikatan antibodi, ini tergantung pada bantuan limfosit lainnya atau

makrofag atau pada sistem komplemen.

Manifestasi yang sering dari reaksi hipersensitivitas reaksi ini

melibatkan sel-sel darah, sel jaringan lainnya dapat juga

Page 9: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

6

diikutsertakan. Misalnya saja pada anemia hemolitik autoimun dan

trombositopenia.

c. Hipersensitivitas Tipe III

Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks antigen-

antibodi ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh darah atau

jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang berperan

biasanya jenis IgM atau IgG. Kompleks imun akan mengaktifkan

sejumlah komponen sistem imun. Komplemen yang diaktifkan

melepas anafilaktosis yang memacu sel mast dan basofil melepas

histamin. Mediator lainnya dan Macropaghe Chemotactic Factor

mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein

polikationik. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang

membentuk mikrotombi dan melepas amin vasoaktif, selain itu

komplemen mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan produk

lainnya.

Bahan vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit

menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan

inflamasi. Neutrofil ditarik dan mengeliminasi kompleks. Bila

neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks

dan akan melepas granulnya. Kejadian ini menimbulkan banyak

kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut

melepas berbagai mediator, antara lain enzim-enzim yang dapat

merusak jaringan sekitarnya. Manifestasi klinisnya antara lain lupus

eritamatosis sistemik, penyakit serum, artritis reumatoid, infeksi

malaria, virus, dan lepra.

d. Hipersensitivitas Tipe IV

Hypersensitivitas yang terjadi melalui sel CD4 dan T Cell

Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8.

1. Delayed Type Hipersensitivity (DTH)

Pada tipe ini, sel CD4 Th1 mengaktifkan makrofag yang

berperan sebagai sel efektor. CD4 Th1 melepas sitokin yang

Page 10: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

7

mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH,

kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang

diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediat,

oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. DTH dapat juga terjadi

sebagai respon terhadap bahan yang tidak berbahaya dalam

lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis kontak.

Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan

hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk

makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. DTH

dapat merupakan reaksi fisiologik terhadap patogen yang sulit

disingkirkan misalnya M. Tuberkulosis.

2. T Cell Mediated Cytolysis

Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi

melalui sel CD8 yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit

yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas

kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik.

Manifestasi klinisnya antara lain dermatitis kontak, diabetes insulin

dependen, artritis reumatoid, sklerosis multipel.1,3,4

Page 11: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

8

Gambar 1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III dan IV

menurut Gell dan Coombs

2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas bervariasi dalam hal awal mula

timbulnya gejala maupun perjalanan klinisnya.5

1. Kulit: rasa kesemutan, panas di kulit diikuti dengan kemerahan pada kulit,

pruritus, urtikaria dengan atau tanpa angioedema.

2. Saluran napas: keluarnya cairan dalam rongga hidung, hidung buntu,

bersin-bersin, rasa gatal pada hidung. Keterlibatan saluran napas bagian

bawah umumnya berupa bronkospasm, dan edema saluran napas yang

menimbulkan sesak napas, mengi, dan perasaan dada terhimpit.

3. Kardiovaskular: aritmia berupa gangguan irama atrium maupun ventrikel.

Dapat dijumpai iskemia miokard, palpitasi, dizziness, atau nyeri dada.

Hipotensi merupakan gejala yang paling mengkhawatirkan

4. Gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasm

otot polos, berupa nyeri perut, mual muntah atau diare.

5. Susunan saraf pusat: disorientasi, pingsan, kejang, dan penurunan

kesadaran.

Page 12: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

9

Beberapa gejala yang sering timbul pada masing – masing tipe

hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs adalah:1

1. Hipersensitivitas tipe I: anafilaksis, urtikaria, angioedem, mengi,

hipotensim nausea, muntah, sakit abdomen dan diare.

2. Hipersensitivitas tipe II: agranulositosis, anemia hemolitik dan

trombositopenia.

3. Hipersensitivitas tipe III: panas, urtikaria, atralgia, limfadenopato dan

serum sickness.

4. Hipersensitivitas tipe IV: eksema, eritema, lepuh, pruritus, fotoalergi, fixed

drug eruption, lesi makulopapular.

2.5 Penatalaksanaan

Menghentikan semua obat dan menghindari faktor pencetus yang

diperoleh oleh penderita merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan.

Manifestasi klinis umumnya berangsur hilang dalam beberapa hari. Bila suatu

obat merupakan obat esensial yang tidak dapat dicarikan alternatifnya, maka harus

dipertimbangkan secara cermat risiko untuk terus memberikan obat tersebut

dibandingkan risiko untuk tidak mengobati penyakit dasarnya. Cara lain yang

dapat ditempuh adalah pemberian obat melalui desentisasi.6

2.5.1 Pengobatan Simptomatik

Pengobatan simptomatik dimaksudkan untuk menghilangkan

manifestasi klinis alergi obat yang hingga mereda. Untuk reaksi

anafilaksis:

1. Segera berikan suntikan epinephrine 1:1000, 0,3 ml intramuscular di

daerah deltoid atau paha lateral (vastus lateralis).

2. Hentikan infus media kontras radiografis, antibiotika, produk yang

berasal dari darah dan lepaskan sengatan binatang.

3. Ukur tekanan darah dan nadi, pertimbangkan apakah diperlukan

tindakan resusitasi kardiopulmoner.

4. Bergantung pada derajat keparahan reaksi, respon terhadap

pengobatan, dan kondisi masing-masing penderita berikan:

a. Dipenhidramin 50 mg IV (scr pelan)

Page 13: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

10

b. Ranitidin 50 mg atau Cimetidin 300 mg IV

c. Oksigen melalui masker/kanula hidung

d. Infus cairan garam fisiologis

e. Metilprednisolon 125 mg IV

5. Ulangi pemberian epinephrine tiap 15-20 menit bila diperlukan

6. Siapkan untuk intubasi dan antipasi terjadinya hipotensi

7. Bila tekanan darah sistolik <90 mmHg, baringkan penderita dalam

posisi trendelenburg dengan tungkai dielevasi, lakukan:

a. Pasang 2 jalur infus dengan cairan larutan garam fisiologis tetesan

cepat (guyur).

b. Dopamin 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml Dextrose 5% tetesan

cepat hingga tekanan darah sistolik >90 mmHg lalu dititrasi secara

perlahan, bila tidak efektif pertimbangkan

c. Norepinephrin (Levophed) 2 mg 1 ampul dalam 250 ml Dextrose

5% hingga tekanan darah sistolik mencapai 90 mmHg, selanjutnya

titrasi secara perlahan.

8. Bila terjadi bronkospasm atau sesak napas, berikan:

a. Epinephrin seperti petunjuk di atas

b. Bila tidak efektif, pertimbangkan: salbutamol/Terbutalin secara

nebulisasi atau inhalasi

c. Oksigen hingga konsentrasi 100% menggunakan masker

9. Bila dijumpai stridor

a. Epinephrin seperti petunjuk di atas

b. Oksigen menggunakan masker

c. Intubasi atau trakeostomi untuk mengatasi obstruksi saluran napas.

Untuk penderita dengan serum sickness cukup diberikan antihistamin.

Reaksi yang lebih berat membutuhkan kortikosteroid dengan dosis awal

40-60 mg per hari dan diturunkan bertahap dalam 7-10 hari. Kadang-

kadang diperlukan plasmapharesis untuk menghilangkan kemungkinan

yang tersisa.5,6

Page 14: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

11

2.5.2 Desentisasi

Desentisasi merupakan upaya untuk mengubah kondisi penderita

yang sebelumnya sangat peka terhadap suatu obat menjadi toleran

terhadap obat tersebut. Pada umumnya desentisasi dimulai dengan

pemberian obat dengan dosis rendah (1/10.000 hingga 1/1000 dosis

terapi). Dosis obat selanjutnya dilipatgandakan setiap 15 menit sambil

dilakukan pemantauan secara ketat terhadap kondisi penderita.5

2.6 Pencegahan

Sebelum memberikan obat kepada pasien, dokter harus mencatat secara

teliti adanya riwayat atopi, riwayat alergi sebelumnya, jenis obat yang

menimbulkan reaksi alergi, manifestasi alergi yang terjadi, jenis obat yang sedang

digunakan saat ini. Pada pasien denga riwayat alergi, pemberian obat harus

dberikan secara hati-hati, jika memungkinkan lebih baik diberikan obat secara

oral.7

Hindari uji paparan alergen yang mengandung makanan dan obat-obatan

atau pemberian vaksin imunoterapi. Tes diagnostic atau pengobatan semacam itu

sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli bidang alergi-imunologi. Pada penderita

yang sensitif terhadap media kontras radiografis diperlukan langkah-langkah

profilaksis dan pemilihan media kontras radiografis dengan osmolalitas rendah.5

Page 15: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

12

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : RA

Umur : 38 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Suku : Jawa

Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan : Tamat SMA

Status Pernikahan : Sudah Menikah

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Alamat : Jalan Sunset Road No. 10X Seminyak

Tanggal MRS : 29 Januari 2015

Tanggal Kunjungan : 4 Februari 2014

3.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri Kepala

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang sadar diantar temannya. Pasien mengeluh nyeri kepala sejak 4

bulan SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba, tertusuk-tusuk di seluruh kepala,

memberat dengan aktivitas dan membaik dengan obat penghilang rasa sakit

(paracetamol). Sejak 4 hari SMRS sakit kepala yang dirasakan semakin

memberat, bahkan tidak membaik dengan istirahat dan minum obat (paracetamol

dan neuralgin). Selain itu pasien juga mengeluh pandangangannya menjadi kabur.

Pandangan kabur dikeluhkan sejak 4 hari SMRS. Pandangan kabur tersebut

dirasakan tiba-tiba sehingga pasien pergi ke RS Silloam untuk memeriksakannya.

Setelah diperiksa di RS Silloam, pandangan kabur yang dirasakan pasien

membaik. Pasien diberikan obat namun lupa nama obatnya. Riwayat mual,

muntah, kejang, trauma dan demam disangkal oleh pasien. Namun pasien

Page 16: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

13

mengatakan mengalami penurunan berat badan sekitar 20 kg selama 2 bulan,

padahal nafsu makannya normal.

Kemudian Bagian Neurologi menemukan adanya paresisi nervus VII sinistra

supranuklear dan paresis nervus XII sinistra supranuklear sehingga didiagnosis

dengan suspect infeksi HIV dengan suspect toxoplasmosis cerebri diagnosis

banding tuberkuloma, diagnosis banding PCNSL (Primary Central Nervous

System Lymphoma). Pasien dirawat oleh bidang Neurologi di ruangan Nusa Indah.

Pada tanggal 29 Januari 2015 pasien dikonsulkan ke Interna.

Saat konsul pasien masih mengeluh sedikit nyeri kepala namun sudah lebih

baik dari sebelumnya. Pasien mengeluh batuk sejak 4 bulan yang lalu, namun

memberat setelah dirawat di RS. Batuk dirasakan hilang timbul, tidak membaik

dengan obat batuk. Kadang-kadang keluar dahak yang berwarna putih. Pasien

juga mengeluh gelisah dan tidak bisa tidur. Pasien mengatkan tidak bisa tidur

karena sempat melihat seorang laki-laki menyuntikan obat kepadanya yang

membuat infusnya lepas kemudian darahnya berceceran. Pada tanggal 30 Januari

pasien dikonsilkan ke bagian PITC dengan hasil VCT reaktif. Pasien juga

dikonsulkan ke Bagian Psikiatri terkait keluhan tidak bisa tidur dan gelisahnya.

Bagian Psikiatri mendiagnosis pasien dengan halusinasi organik. Pasien akhirnya

dirawat bersama oleh Bagian Neurologi, Psikiatri dan Interna.

Pada tanggal 7 Februari 2015 pasien mengeluh gatal pada badan dan muncul

bercak-bercak kemerahan. Bercak-bercak merah muncul tiba-tiba setelah minum

obat OAT yang berwarna merah. Bercak merah awalnya muncul dari leher,

kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Rasa gatal dan bercak merah dirasakan

terus-menerus dan tidak hilang. Rasa gatal yang diarasakan pasien dikatakan

sangat mengganggu sehingga membuat pasien tidak bisa tidur. Setelah obat OAT

dihentikan rasa gatal mulai berkurang namun bercak-bercak merah masih

dikeluhkan.

Pasien dikatakan tidak memiliki keluhan baik pada BAK ataupun pada BAB

terhadap frekuensi hariannya. Pasien BAK dengan volume yang cukup, 4-5 kali

sehari dengan warna kencing kuning. Warna kencing seperti the disangkal oleh

pasien. Pasien BAB 1 kali sehari dengan volume cukup, konsistensi padat, warna

kuning kecoklatan. Pasien tidak mengeluhkan adanya mata yang berwarna kuning

Page 17: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

14

dan badan berwarna kuning. Pasien juga menyangkal adanya keluhan ada plak

berwarna putih di lidah atau sekitar rongga mulut pasien.pasien tidak mengeluh

adanya rambut rontok, gusi berdarah dan mimisan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya dikatakan tidak pernah mengalami keluhan yang sama

seperti yang dirasakan sekarang. Riwayat penyakit lain seperti hipertensi, diabetes

melitus atau penyakit jantung disangkal oleh pasien.

Riwayat Pengobatan

Pasien tidak sempat berobat ke RS sebelumnya terkait keluhan batuk dan

nyeri kepalanya. Pasien hanya membeli obat batuk dan penghilang rasa sakit di

warung dekat kostnya. Pasien juga tidak pernah dirawat di RS untuk keluhan atau

penyakit lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami

keluhan yang sama seperti pasien. Di keluarga juga tidak ada riwayat penyakit

lain seperti kencing manis, hipertensi, penyakit hati, ginjal, dan sakit jantung.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien sudah menikah dengan 4 orang istrinya. Keempat istrinya masih

menjadi istrinya sampai saat ini, namun mereka tinggal di tempat terpisah. Pasien

memiliki 2 orang anak kandung dan 1 orang anak tiri. Pasien bekerja sebagai supir

pariwisata. Pasien bekerja dari pukul 09.00 sampai pukul 17.00. pasien memiliki

riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol sejak lama. Pasien merokok kurang

lebih 2 bungkus perhari, dan kadang-kadang minum alkohol jika diajak temannya.

Pasien menyangkal pernah mengkonsumsi obat-obatan terlarang seperti narkoba.

Ketika ditanyakan mengenai pernah berhubungan seksual selain dengan istrinya,

awalnya pasien menyangkal, namun akhirnya pasien mengatakan pernah sekali

namun lupa dengan siapa, karena pada saat itu pasien sedang minum alkohol.

Page 18: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

15

Pasien dikatakan tidak memiliki riwayat transfusi sebelumnya. Istri dan anak

pasien dikatakan tidak memiliki keluhan yang sama.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan Umum : sakit sedang

Kesadaran : sadar baik

GCS : E4V5M6

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 84 x/mnt

Respirasi : 22 x/mnt

Suhu aksila : 36,1 °C

Berat badan : 68 kg

Tinggi badan : 183 cm

BMI : 20,3 kg/m2

Status General

Mata : Anemis -/-, Ikterus -/ , Reflek pupil +/+, Edema palpebra -/-

THT

Telinga : Bentuk normal, Sekret tidak ada

Hidung : Bentuk normal, Sekret tidak ada

Tenggorokan : Tonsil T1/T1, Hiperemis (-), Faring hiperemis (-),

Fetor hepatikum (-), plak putih pada lidah (-)

Leher

JVP : PR + 0 cmH2O

Kelenjar getah bening : Tidak ditemukan pembesaran

Kelenjar parotis & tiroid : Tidak ditemukan pembesaran

Thorax:

Simetris, retraksi (-), spider naevi (-)

Jantung

Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat

Page 19: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

16

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi : Batas Kanan : Parasternal line dekstra

Batas Kiri : Midclavicular line sinistra ICS V

Batas Atas : Intercostal space II

Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)

Paru-paru

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis,

Palpasi : Vokal fremitus N/N

Perkusi : Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Auskultasi : Ves Ves Ronkhi - - Wheezing - -

Ves Ves - - - -

Ves Ves - - - -

Abdomen

Inspeksi : Distensi (+), Meteorismus (-), Vena kolateral (-),

Caput medusae (-)

Auskultasi : Bising usus (+) Normal

Palpasi : Hepar/lien tidak teraba, Ginjal tidak teraba,

Nyeri tekan (-)

Perkusi : Shifting dullness (-), undulasi (-)

Ekstremitas : Akral hangat + + Edema - -

+ + - -

Warna kekuningan (-), Palmar eritema (-), Flapping tremor (-)

Status Lokalis:

Makula dan papula eritema, berbatas tidak tegas, ukuran bervariasi, tersebar

di seluruh tubuh, tidak menghilang saat ditekan.

Page 20: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

17

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (29 Januari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

WBC 10,9 x103/µL 4,10 – 11,00 Normal

%NE 82,7 % 47-80 Tinggi

%LY 16,1 % 13-40 Normal

%MO 0,921 % 2-11 Rendah

%EO 0,072 % 0-5 Normal

%BA 0,166 % 0-2 Normal

RBC 4,34 x106/µL 4,5-5,9 Rendah

HGB 10,8 g/dL 13,5-17,5 Rendah

HCT 34,7 % 41,0-53,0 Rendah

MCV 79,9 fL 80,00-100 Rendah

MCH 24,9 Pg 26,00 – 34,00 Rendah

MCHC 31,1 g/dL 31.00 – 36.00 Normal

RDW 14,6 % 11,60 – 14,80 Normal

PLT 503 x103/µL 150.00 – 440.00 Tinggi

MPV 4,47 fL 6,8-10 Rendah

Immunologi (29 Januari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

Toxo IgG >300 IU/mL Non reaktif < 2

equivocal 4-8

reaktif > = 8

Reaktif

Toxo IgM 0,07 Units Non reaktif<

0,55 equivocal

0,55-0,65

Reaktif > = 0,65

Non-reaktif

Immunologi (30 Januari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

Page 21: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

18

Toxo IgG >300 IU/mL Non reaktif < 2

equivocal 4-8

reaktif > = 8

Reaktif

BTA Sewaktu-Pagi-Sewaktu (30-31 Januari 2015)

Negatif-negatif-negatif

Kimia Klinik (2 Februari 2015)

No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks

1 BSN 155 mg/dL 80-100 Tinggi

2 Glukosa 2 jam

PP

109,57 mg/dL 70-140 Normal

3 HbA 1C 7,48 % < 6,5 Tinggi

Immunologi (3 Februari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

CD-4 338 - 410-1590 Rendah

Immunologi (4 Februari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

HBsAg 0,424 COI Reaktif > = 1,00

Non reaktif <

1,00

Non-reaktif

Anti HCV 0,087 COI Non reaktif <

1,00

Reaktif > = 1,00

Non-reaktif

Kimia Klinik (4 Februari 2015)

No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks

1 HbA 1C 5,72 % < 6,5 Normal

Kimia Klinik (7 Februari 2015)

Page 22: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

19

No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks

1 ALP 229 U/L 53-128 Tinggi

2 SGPT 272,2 U/L 11-50 Tinggi

3 SGOT 50,4 U/L 11-33 Tinggi

4 Total Protein 6,89 g/dL 6.4-8.3 Normal

5 Albumin 3,51 g/dL 3.4-4.8 Normal

6 Globulin 3,38 ug/dL 3.2-3.7 Tinggi

7 Gamma GT 674 U/L 11-49 Tinggi

8 Bilirubin Total 1,67 mg/dL 0-1.3 Tinggi

9 Bilirubin Direk 1,28 mg/dL 0.00-0.30 Tinggi

10 Bilirubin Indirek 0,39 mg/dL 0.00-0.8 Normal

Kimia Klinik (9 Februari 2015)

No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks

1 SGPT 39,4 U/L 11-50 Normal

2 SGOT 18,7 U/L 11-33 Normal

3 BS Acak /

Glukosa Acak

270 mg/dL 70-140 Tinggi

4 BUN 10 mg/dL 8-23 Normal

5 Creatinin 0,86 mg/dL 0,7-1,2 Normal

6 Natrium (Na) 137 mmol/L 136-145 Normal

7 Kalium (K) 4,49 mmol/L 3,5-5,1 Normal

Immunologi (9 Februari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

IgE 642,43 KUI/L <150 Tinggi

Thoraks AP (29 Januari 2015)

Cor : besar dan bentuk kesan normal

Pulmo : tampak fibroinfiltrat di suprahiler

Kanan kiri, tampak fibrosis

Page 23: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

20

Paracardial kiri

Sinus pleura kanan dan kiri tajam

Diafragma kanan dan kiri normal

Tulang tak tampak ada kelainan

Kesan :

- Suspect TB Paru

- Bekas keradangan di paracardial paru kiri

EKG (29 januari 2015)

Irama : sinus

Heart rate : 68 kali/menit

Axis : normal

P-R Interval :164 ms

Gelombang P : tidak memanjang

ST-changes : -

QRS complex : Normal

Page 24: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

21

3.5 DIAGNOSIS

Infeksi B24 stadium IV (WHO)

- Wasting syndrome

- Toxoplasmosis cerebri

- TB paru BTA (-), rontgen (+)

Reaksi hipersensitivitas e.c. suspect durg (OAT, pirymethamine,

clindamycin, paracetamol)

Halusinasi organik (membaik)

3.6 PENATALAKSANAAN

Terapi

- Masuk Rumah Sakit

- Diet ekstra putih telur

- IVFD NaCl 20 tpm

- Paracetamol 3 x 750 mg (k/p)

- Dyphenhidramine 3 x 10 mg IV ganti dengan cetirizine 1 x 10 mg p.o

- Clindamycin 4 x 600 mg I.O. (apabila ada reaksi alergi stop)

- Pirimethamine 1 x 75 mg I.O. (apabila ada reaksi alergi stop)

- OAT kategori I fase intensif stop

- Haloperidol 0,75 mg setiap 12 jam I.O.

- Diazepam 2 mg setiap 12 jam I.O (malam)

Diagnosis

- LFT lengkap

- IgE total

Monitoring

- Tanda-tanda vital

- Keluhan

- Keseimbangan cairan

- Berat badan

- Tanda syok anafilaktik

Page 25: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

22

3.7 PROGNOSIS

Ad vitam : Dubius ad malam

Ad functionam : Dubius ad malam

Ad sanationam : Dubius ad malam

Page 26: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

23

BAB IV

HASIL KUNJUNGAN LAPANGAN

4.1 Alur Kunjungan Lapangan

Kunjungan dilakukan pada tanggal 20 Februari 2015 ketika pasien baru saja

kembali dari luar kota yang bertempat di rumah kos pasien yang beralamat di

Jalan Raya Kerobokan No. 106. Kami mendapat sambutan yang baik dari pasien

yang baru saja keluar dari rawat inap di RSUP Sanglah pada tanggal 13 Februari

2015. Adapun tujuan diadakannya kunjungan lapangan ini adalah untuk mengenal

lebih dekat kehidupan pasien serta mengidentifikasi masalah yang ada pada

pasien. Selain itu kunjungan lapangan ini juga memberikan edukasi tentang

penyakit yang dialami pasien serta memberikan dorongan semangat kepada pasien

dalam mengatasi penyakitnya. Pasien dalam kasus ini memiliki penyakit Infeksi

B24 Stadium IV WHO yang baru diketahui saat dirawat di RSUP Sanglah dengan

Wasting Syndrome, Toxoplasmosis Cerebri, TB Paru dan Reaksi Hipersensitivitas

akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

4.2 Identifikasi Masalah

Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal

menghadapi penyakitnya:

1. Penyakit pasien merupakan penyakit kronis dengan onset yang mungkin sudah

terjadi sebelum pasien menunjukan gejala yang muncul pada saat pasien

dibawa ke rumah sakit. Pasien mengatakan tidak tahu dirinya menderita

penyakit HIV/AIDS dimana pada awalnya ia datang ke Triage Neurologi

RSUP Sanglah (29/01/2015) dengan keluhan utama nyeri kepala yang

dirasakan 4 bulan SMRS. Pasien mengatakan tidak pernah mengkonsumsi

obat atau menjalani terapi yang terkait dengan HIV/AIDS dan biasa berobat

ke klinik jika ia merasa sakit.

2. Pasien mengaku kurang begitu mengerti dengan penyakit yang diderita pasien.

Pasien tidak mengetahui penyebab penyakit pasien serta bagaimana perjalanan

penyakit serta komplikasi yang dapat ditimbulkan. Pasien memiliki riwayat

Page 27: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

24

multipartner dengan istri sahnya, satu istri kawin adat dan dua orang

selingkuhannya.

3. Pasien sudah bercerai dengan istri sah nya pada tahun 2010 dimana mereka

memiliki 1 orang anak yang berusia 8 tahun. Istri dan anak pasien tinggal di

Jawa dan tidak pernah kontak dengan pasien. Istri dan anak pasien tidak tahu

tentang penyakit pasien dan dirawatnya pasien di Rumah Sakit. Pasien juga

mengatakan ayah dan ibunya sudah meninggal namun ia memiliki enam orang

saudara dimana anak kelima tinggal di Bali dan masih berhubungan dengan

pasien. Adik pasien tersebut tahu akan penyakit pasien dan sesekali

mengunjungi pasien di Rumah Sakit dan mengurus kebutuhan pasien.

4. Pasien mengurus dirinya sendiri di Rumah Sakit dimana ia tidak memiliki

saudara maupun kerabat untuk menemaninya. Pasien mengatakan sejak hari

pertama masuk rumah sakit belum ada yang pernah mengunjunginya kecuali

adik pasien yang ikut membantu administrasi Rumah Sakit pasien.

5. Kondisi fisik pasien yang cenderung semakin lemah membatasi gerak dan

aktivitas pasien. Pasien bekerja sebagai supir dimana ia tidak dapat melakukan

pekerjaannya semenjak masuk rumah sakit sehingga ia tidak mendapat

penghasilan semenjak di rawat di Rumah Sakit. Pasien mengatakan ia

membayar biaya Rumah Sakit dengan jaminan kesehatan BPJS.

6. Pasien mengatakan semenjak sakit nafsu makannya jauh berkurang dimana

sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengeluh mengalami penurunan berat

badan.

7. Pasien mengalami infeksi oportunistik HIV/AIDS berupa Tuberkulosis Paru

yang mengakibatkan pasien harus mengkonsumsi OAT akibat penyakitnya ini.

Pasien mengatakan ia mengeluh kemerahan di seluruh badan disertai rasa

gatal setelah meminum obat OAT (6/02/2015) sehingga ia dicurigai

mengalami hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Pasien mengatakan ia

sering mengalami gatal – gatal sehari – harinya karena sebab yang tidak jelas.

Pasien juga mengatakan ia alergi terhadap jenis – jenis coklat tertentu dimana

seluruh tubuhnya akan gatal dan kemerahan jika mengkonsumsi coklat

tersebut.

Page 28: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

25

8. Pasien sempat berkata ia khawatir tentang apa yang akan dipikirkan oleh

teman – teman serta keluarganya mengenai penyakit yang ia alami sehingga

pada awalnya ia menolak untuk dikunjungi di rumah. Pasien mengatakan yang

ia ketahui tentang penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat menular

dan tidak bisa disembuhkan.

9. Pasien mengatakan dirinya aktif merokok sejak berusia 17 tahun dimana ia

biasa menghabiskan minimal 2 bungkus rokok perharinya. Pasien mengaku ia

memiliki keinginan untuk berhenti merokok karena penyakitnya ini namun hal

tersebut masih sulit untuk dilakukan.

10. Lingkungan dalam rumah pasien kurang bersih dimana kamar tidur pasien

banyak debu karena jarang dibersihkan. Ventilasi dan pencahayaan di kamar

pasien juga tergolong kurang.

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien

a. Kebutuhan fisik-biomedis

1. Kecukupan Gizi

Pasien biasa membeli atau memasak makanan instan di kosnya

untuk konsumsi sehari – hari. Porsi nasi yang dimakan oleh pasien

adalah satu piring tiga kali sehari dengan lauk-pauk seperti tempe, tahu,

ikan laut, daging ayam, telor, dan sayuran. Namun semenjak sakit,

pasien hanya makan dua kali sehari karena nafsu makannya menurun.

Pasien jarang makan buah, pasien terkadang mengkonsumsi apel.

Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :

Berat badan ideal = (TB cm-100) – 10% BB = (173-100) – (10%

68 kg) = 73 – 6,8 = 66,2 kg

IMT = BB (kg)/TB2

= 68/2,9 = 23,45 (normal)

Jumlah kebutuhan kalori per hari =

o Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori (laki-laki) =

66,2 x 30 = 1986 kalori

o Kebutuhan aktivitas (sedang) = + 20% = +397,2 kalori

o Kebutuhan stres metabolik (infeksi) = +10% = +198,6 kalori

Page 29: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

26

Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1986 + 397,2 +

198,6 = 2581,8 kalori dibulatkan menjadi 2500 kalori.

Distribusi makanan :

1. Karbohidrat 60% = 60% x 2500 kalori = 1500 kalori dari karbohidrat

setara dengan 375 gram karbohidrat (1500 kalori : 4 kalori/gram

karbohidrat).

2. Protein 20% = 20% x 2500 kalori = 500 kalori dari protein setara

dengan 125 gram protein (500 kalori : 4 kalori/gram protein).

3. Lemak 20% = 20% x 2500 kalori = 500 kalori dari lemak setara

dengan 55 gram lemak (500 kalori : 9 kalori/gram lemak).

Perhitungan Nutrisi Pada Pasien

Jenis Jumlah Satuan Penukar Jumlah

Kalori Total

Karbohidrat

- Nasi

- Roti

- Mie

- Lainnya

Protein Hewani

- Ayam

- Telur

- Ikan

Protein Nabati

- Tahu

- Tempe

- Sayur

Buah (apel)

1 piring

-

1 bungkus

-

1 potong

1 butir

1 potong

3 potong

3 potong

1/2 piring

1 potong

11/2 gelas

-

1 gelas

-

1 potong kecil

1 butir

1 potong sedang

3 biji besar

3 potong sedang

3 kali

½ buah besar

350

-

50

-

150

95

95

240

240

300

40

Page 30: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

27

Nutrisi harian pasien (± 1600 kalori) masih belum mencukupi

kebutuhan nutrisi yang seharusnya, jadi, pasien memerlukan lebih

banyak variasi dalam makanan.

2. Kegiatan fisik

Kegiatan fisik pasien di luar pekerjaan adalah diam di rumah dan

menonton TV. Pasien biasa bekerja sebagai supir setiap hari dari pukul

09.00 pagi hingga pukul 17.00 di sore hari. Pasien mengatakan ia tidak

pernah berolahraga karena sibuk bekerja.

3. Akses ke tempat pelayanan kesehatan

Akses dari rumah pasien menuju beberapa klinik dan rumah sakit

swasta relatif dekat. Pasien mengatakan ia biasa berobat ke klinik jika

sakit dengan mengendarai sepeda motor. Pasien juga mengatakan ia

tidak memiliki kerabat untuk mengantarnya berobat.

4. Lingkungan

Pasien tinggal di sebuah rumah kos di Jalan Raya Kerobokan No.

106 di belakang Bank BPD Bali dimana rumah pasien memasuki gang

yang cukup sempit. Pasien tinggal sendiri dimana penghuni kamar

lainnya merupakan teman pasien. Kamar kos pasien berukuran ± 4 x 5

m. Kos pasien terdiri atas 1 kamar tidur, 1 kamar mandi dan dapur kecil

di dalamnya. Kamar tidur pasien tampak kurang rapi dimana cukup

banyak debu serta barang – barang pasien yang berantakan. Ventilasi

dan sirkulasi udara di dalam rumah dan kamar kurang memadai dan

sumber masuknya cahaya matahari pagi dan sore ke dalam rumah

tampak masih kurang.

Keadaan dapur pasien terlihat tidak tertata rapi dan tidak bersih,

ventilasi udara pun kurang dimana jika dilakukan aktivitas memasak

asap akan cenderung terkumpul di dapur dan membuat pengap.

Keadaan kamar mandi pasien juga terlihat kotor dan berbau. Masih

terdapat beberapa cucian dan sampah botol plastik di dalam kamar

Page 31: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

28

mandi. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk mandi, mencuci

baju, air minum, dan keperluan memasak. Tempat pembuangan sampah

menggunakan tempat sampah yang dikumpulkan di depan kos.

Lingkungan halaman kos tampak cukup terawat.

b. Kebutuhan bio-psikosoial

1. Lingkungan biologis

Dalam lingkungan biologis atau keluarga pasien tidak ada yang

pernah mengeluh keluhan dan penyakit yang sama dengan pasien.

Tidak terdapat riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma,

kejang dan penyakit sistemik lainnya di dalam keluarga pasien. Pasien

sering mengalami gatal – gatal sedari dulu karena hal yang tidak jelas

dan pasien mengatakan ia alergi terhadap coklat.

2. Faktor psikososial

Pasien sangat membutuhkan peranan dan dukungan dari keluarga

dalam menghadapi penyakitnya ini. Pasien sudah bercerai dengan

istrinya dimana mereka tinggal terpisah dan mantan istri serta anak –

anaknya pasien tidak mengetahui penyakit yang sedang diderita pasien.

Pasien memiliki dua orang anak dimana satu anak berasal dari istri sah

dan satu lagi dari istri yang ia nikahi secara adat. Ayah dan ibu pasien

juga sudah meninggal. Kakak pasien dan teman – teman pasien

dikatakan mengetahui pasien dirawat di RSUP Sanglah namun tidak

pernah datang menjenguk. Pasien juga saat ini tinggal sendiri dimana

tidak ada yang membantunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah

sehari – harinya dan mendukungnya dalam menjalani terapi terhadap

penyakitnya.

Page 32: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

29

4.4 Saran dan Pemecahan Masalah

Beberapa masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami mengusulkan

penyelesaian masalah yang yakni:

1. Edukasi pasien tentang penyakitnya. Pasien dijelaskan kembali lebih lengkap

mengenai penyakitnya dan bagaimana faktor risiko, perkiraan perjalanan

penyakitnya, pencegahan penularan penyakitnya kepada orang lain dan

pengobatannya lebih lanjut. Pasien juga disarankan untuk rutin kontrol dan

meminum obat yang sudah diresepkan oleh dokter.

2. Memberikan KIE kepada pasien untuk menghindari faktor risiko dari

penyakitnya dan mencatat obat yang membuatnya mengalami hipersensitivitas

serta menginformasikannya kepada dokter yang akan menangani penyakitnya

nanti.

3. Memberikan edukasi mengenai menjaga lingkungan rumah, terutama

mengenai debu, polutan dan lingkungan pasien yang kurang bersih. Pasien

agar rutin menjaga kebersihan rumahnya dan mengatur sirkulasi udara serta

cahaya yang cukup di dalam rumah.

4. Pasien juga diberikan edukasi mengenai pemilihan makanan, sebaiknya

memasak makanannya sendiri dan menghindari makanan dengan bahan

pengawet.

5. Lingkungan rumah pasien perlu ditata dan diperhatikan kebersihannya karena

dapat turut serta berperan dalam kesehatan pasien baik terhadap kondisi

primer maupun kondisi penyerta pasien lainnya.

Adapun beberapa saran yang disampaikan kepada pasien dan keluarganya:

1. Pengetahuan terhadap penyakit pasien hendaknya ditingkatkan agar dalam

penanganan dan penularannya dapat dimengerti oleh pasien dan keluarga.

2. Pasien sebaiknya menghindari faktor risiko dari penyakitnya dan tetap rutin

kontrol ke RSUP atau praktik dokter spesialis.

3. Menyarankan pasien untuk menghubungi keluarganya yang lain dan

memberanikan diri untuk menceritakan penyakitnya sehingga keluarga dapat

membantu pasien dalam menghadapi penyakitnya.

Page 33: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

30

4. Lingkungan rumah pasien agar dijaga kebersihannya karena lingkungan yang

kotor dapat menjadi sumber penyakit lainnya bagi pasien dan memperburuk

keadaan penyakit hati pasien.

5. Pasien sebaiknya menjaga pola makan dan menghindari kebiasaan merokok

dan minum alkohol yang tidak baik untuk kesehatan pasien.

Page 34: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

31

BAB V

SIMPULAN

Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas

terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi

hipersensitivitas dapat bersifat idiopatik atau diakibatkan oleh berbagai zat dan

keadaan dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Terapi terpenting adalah

menghindari faktor pencetus dari reaksi hipersensitivitas itu sendiri serta

penatalaksanaan yang bersifat simptomatis. Pasien, NWS, laki – laki, 50 tahun,

didiagnosis dengan penyakit Infeksi B24 Stadium IV WHO yang baru diketahui

saat dirawat di RSUP Sanglah denqgan Wasting Syndrome, Toxoplasmosis

Cerebri, TB Paru dan Reaksi Hipersensitivitas akibat Obat Anti Tuberkulosis

(OAT). Penanganan reaksi hipersensitivitas memerlukan kerjasama tim medis,

pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi

terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang mungkin

terjadi akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan serta diharapkan

dapat membantu pasien untuk tahu mengenai pencegahan yang dapat dilakukan

terhadap munculnya penyakit ini.

Page 35: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

32

LAMPIRAN

Page 36: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

33

LAMPIRAN

DENAH RUMAH PASIEN

DAPUR TOILET

KAMAR TIDUR

TERAS

U

Page 37: REAKSI HIPERSENSITIVITAS

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja Karnen Garna. Reaksi Hipersensitivitas. 2014. Imunologi dasar

edisi ke 11. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. p 20-24.

2. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. 2008.

Alergi Imunologi. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p 568-72.

3. Sudoyo W. Aru, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K.,

Siti Setiati. 2009. Alergi Imunologi Klinik. Buku ajar ilmu penyakit dalam.

Jakarta: Internal Publishing. p 387-391.

4. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta: EGC.

2009.

5. Soegiarto G, Konthen P G, Effendi C, Baskoro A. Anafilaksis. In: Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam FK Unair. Surabaya. 2007.

6. Alrasbi M, Sheikh A. Comparison of international guidelines for the

emergency medical management of anaphylaxis. Allergy. Aug

2007;62(8):838-41

7. Webb LM, Lieberman P. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy

Asthma Immunol. Jul 2006;97(1):39-43.