laporan hasil diskusi pbl week 13

54
1 LAPORAN HASIL DISKUSI PROBLEM-BASED LEARNING PBL Blok Klinik SKENARIO “Lekas Sembuh ya Nak....Minggu ke-7 Tanggal 19 s.d 31 Desember 2014 Grup E DWI RATNAWATI (125070301111008) FIRDA AMALIA (125070301111009) DWIYANTI CAESARRIA (125070301111010) TIARA DIAN N. (125070301111011) FEBY DINA ARDIYANTI (125070301111012) DIESMAHARANI ASTRI M. (125070301111013) YUNITA ENDAH K. (125070301111014) SOFIE AYU MISRINA (125070301111001) DESAK MADE TRISNA U. (125070301111002) YUNITA REZA R. (125070301111003) RANI ILMINAWATI (125070301111004) RACHMI FARICHA (125070301111005) HESTI RETNO BUDIARINI (125070301111006) FARIKHA ALFI F. (125070301111007) JURUSAN GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: feby-dina-ardianti

Post on 15-Nov-2015

262 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

laporan ini disusun untuk memenuhi tugas pbl klinik dengan tema skenario alergi pada anak

TRANSCRIPT

LAPORAN HASIL DISKUSI

LAPORAN HASIL DISKUSI

PROBLEM-BASED LEARNING

PBL Blok Klinik

SKENARIO Lekas Sembuh ya Nak....

Minggu ke-7

Tanggal 19 s.d 31 Desember 2014

Grup E

DWI RATNAWATI(125070301111008)

FIRDA AMALIA(125070301111009)

DWIYANTI CAESARRIA(125070301111010)

TIARA DIAN N.(125070301111011)

FEBY DINA ARDIYANTI(125070301111012)

DIESMAHARANI ASTRI M.(125070301111013)

YUNITA ENDAH K.(125070301111014)

SOFIE AYU MISRINA(125070301111001)

DESAK MADE TRISNA U.(125070301111002)

YUNITA REZA R.(125070301111003)

RANI ILMINAWATI(125070301111004)

RACHMI FARICHA(125070301111005)

HESTI RETNO BUDIARINI(125070301111006)

FARIKHA ALFI F.(125070301111007)

JURUSAN GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014LAPORAN HASIL DISKUSI

PROBLEM-BASED LEARNING

PBL Blok Klinik

SKENARIO Lekas Sembuh ya Nak....

Minggu ke-7

Tanggal 19 s.d 31 Desember 2014

Grup E

DWI RATNAWATI(125070301111008)

FIRDA AMALIA(125070301111009)

DWIYANTI CAESARRIA(125070301111010)

TIARA DIAN N.(125070301111011)

FEBY DINA ARDIYANTI(125070301111012)

DIESMAHARANI ASTRI M.(125070301111013)

YUNITA ENDAH K.(125070301111014)

SOFIE AYU MISRINA(125070301111001)

DESAK MADE TRISNA U.(125070301111002)

YUNITA REZA R.(125070301111003)

RANI ILMINAWATI(125070301111004)

RACHMI FARICHA(125070301111005)

HESTI RETNO BUDIARINI(125070301111006)

FARIKHA ALFI F.(125070301111007)JURUSAN GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI ii

ISI 1A. KOMPETENSI YANG AKAN DICAPAI 1B. SKENARIO 1C. DAFTAR UNCLEAR TERM 1D. DAFTAR CUES 2E. DAFTAR LEARNING OBJECTIVE 2F. HASIL BRAINSTORMING 6

G. HIPOTESIS 11H. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE 12KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 28A. KESIMPULAN 28B. REKOMENDASI 33DAFTAR PUSTAKA 34TIM PENYUSUN 37ISI

A. KOMPETENSI YANG AKAN DICAPAI

CADE 36.Mahasiswa mampu mengembangkan dan mengimplementasikan rencana pemberian nutrisi pada pasien, khususnya makanan transisi (transitional feeding).

B. SKENARIO

Lekas Sembuh ya Nak....

An. C jenis kelamin laki-laki, berusia 7 bulan dirawat di rumah sakit dengan diagnosa bronkopneumonia dan alergi. Berat badan pasien 9 kg dan panjang badan 71 cm. Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif karena pada usia 0-6 bulan pasien mendapatkan susu formula dan ASI secara berselang-seling karena ibu pasien sibuk bekerja. Sebelum masuk RS pasien mengkonsumsi bubur dengan komposisi tepung beras, ayam, telur, dan wortel. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik klinis menunjukkan sesak, diare, muntah, suhu tubuh 380C, nadi 100x/menit dan RR 20x/menit. Pasien harus menjalani perawatan yang intensif bahkan jika pasien menjalani rawat jalan, pasien diwajibkan untuk kontrol setiap satu bulan sekali, oleh karena itu ahli gizi diharapkan mampu memberikan intervensi gizi pada pasien saat berusia 7 bulan hingga pasien berusia 1 tahun.

C. DAFTAR UNCLEAR TERM

1. Bronkopneumonia

Bronkopneumonia adalah peradangan paru yang berawal pada bronkiolus terminalis yang menyebabkan kesulitan dalam bernafas (Dorland, 2009 dan Stevenson, 2010).

2. Alergi

Alergi adalah hipersensitif yang didapatkan melalui pajanan ulang yang menimbulkan manifestasi akibat kemampuan bereaksi yang berlebihan yang ditandai dengan perubahan (misalnya bengkak atau bisul) terhadap kuman-kuman penyakit, dimana keadaan ini sangat peka terhadap penyebab tertentu (Dorland, 2009 dan Agustin, 2004).

3. Susu formula

Susu formula adalah susu hewan mamalia yang dikemas menjadi tepung dengan komposisi zat gizi utama mendekati komposisi ASI (PERSAGI, 2010).

4. ASI eksklusif

ASI eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan kepada bayi sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, tanpa diberikan makanan dan minuman lain (PERSAGI, 2010).

D. DAFTAR CUES

Ahli gizi diharapkan mampu memberikan intervensi gizi pada pasien dengan bronkopneumonia dan alergi saat berusia 7 bulan hingga berusia 1 tahun dengan tanda dan gejala klinis yang dialami

E. DAFTAR LEARNING OBJECTIVES

1. Bagaimana patofisiologi dari bronkopneumonia dan alergi makanan serta tanda dan gejalanya?

2. Apa penyebab dari terjadinya bronkopneumonia dan alergi? Mengapa alergen orang berbeda-beda?

3. Apa saja faktor risiko dari bronkopneumonia dan alergi?

4. Apakah ada hubungan antara alergi makanan dan bronkopneumonia?

5. Apa perbedaan dari alergi dan food intolerance dan bagaimana cara membedakannya, serta tanda dan gejalanya?

6. Apa saja makanan yang berpotensi sebagai alergi?

7. Bagaimana cara melakukan test alergi?

8. Apa saja macam-macam alergi? Bahan apa saja yang dapat menimbulkan alergen dari masing-masing alergi?

9. Bagaimana reaksi respon biologis saluran pencernaan terhadap alergen mulai dari makanan masuk, diproses di GIT, sampai munculnya alergi?

10. Apa macam-macam diet pada alergi dan diet apa yang cocok diberikan pada pasien?

11. Bagaimana cara mengatasi orang yang alergi makanan supaya boleh mengonsumsi bahan makanan alergen dan seberapa banyak makanan alergen yang boleh dikonsumsi?

12. Apakah alergi bisa sembuh? Apa alasannya?

13. Apa makanan transisi yang tepat yang diberikan pada usia 7 bulan hingga 1 tahun? (dispesifikkan tiap bulan)

14. Apa hubungan dari konsumsi susu formula dan ASI yang berselang seling selama usia 0-6 bulan terhadap penyakit yang diderita pasien?

15. Bagaimana assessment terkait dengan antropometri?

16. Bagaimana intervensi/preskripsi diet yang tepat dan tidak menyebabkan alerginya muncul?

17. Bagaimana perbandingan pemberian ASI dengan MP-ASI pada makanan transisi?

18. Bagaimana tekstur dan cara pembuatan dari makanan transisi yang dibedakan berdasarkan umur? Seberapa banyak makanan transisi yang diberikan (kalori)? Apa saja bahan makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam membuat makanan transisi? Berapa frekuensi pemberian makanan transisi?

19. Apa fungsi dari pemberian makanan transisi?

20. Bagaimana konten dari pemberian edukasi gizi untuk orang tua An. C saat rawat jalan dan rawat inap dan cara berkoordinasi dengan orang tua pasien dalam penerapan interensi gizi agar kondisi pasien pulih?

21. Indikator apa saja yang perlu dimonitoring dan evaluasi dari pasien? Kapan dilakukan monitoring dan evaluasi? Apa target keberhasilan dari intervensi gizi yang diberikan?

F. HASIL BRAINSTORMING

1. Bagaimana patofisiologi dari bronkopneumonia dan alergi makanan serta tanda dan gejalanya?

Patofisiologi bronkopneumonia: Pneumonia berasal dari inflamasi yang disebabkan oleh bakteri. Dari inflamasi yang disebabkan oleh bakteri, alveolus terisi oleh nanah sehingga udara yang di dalam sulit keluar dan paru-paru menjadi solid atau padat. Bronkopneumonia dimulai dari bronkiolus hingga alveoli dalam paru-paru. Tanda gejala dari bronkopneumonia biasanya batuk dan nyeri dada (Martin, 1982).Patofisiologi alergi makanan: Pada saat pertama kali terkena, alergen akan merangsang limfosit untuk merangsang antibodi di IgE terhadap antibodi tersebut. Antibodi ini akan melekat pada sel mast jaringan tubuh manusia. Jika nanti orang tersebut makan makanan yang sama, maka antibodi akan merangsang sel mast untuk melepaskan histamin. Zat kimia yang bernama antihistamin ini yang menyebabkan gejala alergi makanan (Kamus Gizi, 2010). Biasanya muncul bintik-bintik merah (biasanya muncul di tangan dan organ lain), sesak, demam, diare, asma, gatal-gatal, bengkak (jika ditekan sakit). Berikut adalah klasifikasi dari tanda gejala alergi makanan.

1. Tanda gejala dari gastrointestinal tract adalah diare mual dan muntah.

2. Tanda gejala dari kulit adalah gatal-gatal, bengkak, ruam pada kulit atau merah.

3. Tanda gejala dari respirasi atau saluran pernafasan adalah asma dan sesak.

2. Apa penyebab dari terjadinya bronkopneumonia dan alergi? Kenapa alergen orang berbeda-beda?

Bronkopneumonia: Bronkopneumonia disebabkan karena bakteri.Alergi: Makanan yang umumnya mengandung protein merangsang sel limfosit untuk mengeluarkan antibodi IgE, kemudian menempel pada sel mast dan mengeluarkan histamin. Alergi disebabkan oleh antigen dalam makanan yang dikonsumsi dan biasanya bermanifestasi pada hipersensitivitas. Selain itu, alergi juga dapat disebabkan dari keadaan fisik yang sensitif terhadap panas, dingin, dan cuaca yang lain.

Alasan mengapa alergen orang berbeda-beda adalah sebagai berikut.

1. Alegen seseorang berbeda-beda karena adanya respon imun yang berbeda-beda pada setiap orang, yang diperantarai oleh limfosit T dan antibodi. Selain itu, kadar histamin berbeda-beda tiap yang dikeluarkan oleh seseorang dengan orang yang lain.

2. Sering tidaknya mengonsumsi bahan makanan tersebut. Pada waktu kecil tidak dibiasakan makan makanan yang bermacam-macam dan ketika dewasa makan makanan yang tidak pernah dimakan, sehingga menimbulkan alergi.

3. Apa saja faktor risiko dari bronkopneumonia dan alergi?

Bronkopneumonia: seberapa sering orang tersebut terpapar oleh bakteri di lingkungan tersebut, misalnya debu yang membawa bakteri.

Alergi: genetik

4. Apakah ada hubungan antara alergi makanan dengan bronkopneumonia?

Tidak ada hubungan antara alergi makanan dengan bronkopneumonia, karena respon pada saat alergi dan bronkopneumonia berbeda. Reaksi alergi yang dihubungkan dengan asma lebih berpengaruh pada penyempitan dari bronkus.

5. Apa perbedaan dari alergi dan food intolerance dan bagaimana cara membedakannya, serta tanda dan gejalanya?

Cara membedakan alergi dengan food intolerance:

Untuk membedakan alergi dengan food intolerance adalah dengan cara melakukan dietary assessment terlebih dahulu untuk mengetahui makanan apa yang menyebabkan alergi. Selain itu melakukan test alergi untuk mengetahui makanan apa yang membuat seseorang alergi.

Perbedaan dari alergi dan food intolerance:

Reaksi spesifik dari alergi dan food intolerance berbeda. Reaksi dari alergi adalah hipersensitif imun, sedangkan lactose intolerance adalah dari genetik.

Tanda gejala alergi dan food intolerance:

Alergi dengan food intolerance dapat dibedakan dari tanda gejalanya. Tanda gejala dari food intolerance adalah muntah, sedangkan alergi makanan muncul bintik-bintik pada kulit.

6. Apa saja makanan yang berpotensi sebagai alergi?

Makanan yang berpotensi sebagai alergi adalah makanan yang mengandung protein tinggi (seafood, susu, telur) dan produk olahannya, kacang-kacangan, keju, ayam, gandum.

7. Bagaimana cara melakukan test alergi?

Skin prick test: biasanya dilakukan tes di tangan dan menggunakan reagen sesuai dengan alergennya, kemudian disuntikkan di tangan. Ketika muncul bulatan, ditandai dengan bolpoin dan kemudian dokter menginterpretasikannya dari ukuran bulatannya.

Patch test: di plester dikasih alergen dan ditempel. Kemudian dilihat sekitar 15 menit terdapat alergi atau tidak.

8. Apa saja macam-macam alergi? Bahan apa saja yang dapat menimbulkan alergen dari masing-masing alergi?

Alergi berasal dari bakteri, bronkial, alergi dingin, alergi terhadap obat, dan alergi terhadap makanan (Dorland, 2009). Berikut adalah macam-macam alergi.

1. Alergi dari makanan: Jika ada alergen, maka IgE akan merangsang sel mast untuk mengeluarkan histamin.

2. Alergi terjadi saat transplantasi organ, transfusi darah, dan obat.

3. Alergi karena kompleksitas imun karena obat.

4. Alergi karena infeksi jamur, bakteri, atau virus.

9. Bagaimana reaksi respon biologis saluran pencernaan terhadap alergen mulai dari makanan masuk, diproses di GIT sampai munculnya alergi?

Makanan dicerna menjadi sari-sari makanan. Makanan tersebut ditangkap oleh reseptor sel T limfosit. Sel T limfosit akan merangsang pengeluaran dari IgE. Makanan di usus halus, disalurkan ke sel darah putih dan mengeluarkan IgE kemudian menempel di sel mast yang akan mengeluarkan histamin yang dapat menimbulkan reaksi alergi.

10. Apa macam-macam diet pada alergi dan diet apa yang cocok diberikan pada pasien?

Diet yang diberikan pada pasien alergi adalah diet rendah protein.

11. Bagaimana cara mengatasi orang yang alergi makanan supaya boleh mengonsumsi bahan makanan alergen dan seberapa banyak makanan alergen yang boleh dikonsumsi?

1. Dianjurkan untuk minum obat dulu sebelum makan makanan yang mengandung alergen, namun jumlah makanan yang dimakan tidak banyak.

2. Dalam sehari, makanan yang menimbulkan alergi tidak boleh dimakan terlalu banyak. Jika ketika makan makanan tersebut menimbulkan reaksi alergi, maka harus minum obat antihistamin. Jika ingin makan lagi, porsinya harus dikurangi dari yang sebelumnya.

3. Diberikan makanan yang mengandung alergen sedikit demi sedikit dan dipapar secara terus menerus sampai tidak menimbulkan alergi.

12. Apakah alergi bisa sembuh? Apa alasannya?

Alergi makanan dapat disembuhkan dengan makan makanan yang mengandung alergen sedikit demi sedikit. Namun jika alergi obat, tidak dapat disembuhkan.

13. Apa makanan transisi yang tepat yang diberikan pada usia 7 bulan hingga 1 tahun? (dispesifikkan tiap bulan)

1. 7 bulan diberikan bubur saring.

2. 8 bulan diberikan bubur bayi.

3. 9-10 bulan diberikan biskuit dan bubur.

4. 11-12 bulan diberikan nasi tim yang dihaluskan dan lauknya dicincang.

5. Diberikan puree buah, puree kentang, madu

14. Apa hubungan dari konsumsi susu formula dan ASI yang berselang seling selama usia 0-6 bulan terhadap penyakit yang diderita pasien?

ASI dapat memberikan daya tahan tubuh terhadap bayi. Jika pemberiannya berselang-seling dengan susu formula, dapat mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh anak. Daya tahan tubuh yang rendah dapat menyebabkan masuknya bakteri yang tidak dapat diatasi dengan sistem antibodinya yang dapat menyebabkan alergi.

Saluran gastrointestinal tract terbiasa berubah-ubah karena protein yang terdapat pada ASI dan susu formula berbeda, sehingga dapat berhubungan dengan reaksi alergi.

Daya tahan tubuh rendah karena ASI yang diberikan kurang, sehingga pada saat dewasa daya tahan tubuh rendah yang dapat menyebabkan alergi.

15. Bagaimana assessment terkait dengan antropometri?

PB/U, BB/U, dan BB/PB normal

16. Bagaimana intervensi/preskripsi diet yang tepat dan tidak menyebabkan alerginya muncul?

Agar tidak menyebabkan alergi muncul adalah dengan cara menghindari telur dan mengganti sumber protein hewani dengan yang lain, seperti daging sapi. Preskripsi dietnya adalah sebagai berikut.

Tujuan: Mengindari alergi dan menurunkan tanda gejala, seperti sesak, suhu, nadi dan RR yang tinggiPrinsip: Rendah karbohidrat

Syarat:

1. Energi cukup dan ditambahkan 13% setiap peningkatan 1oC.

2. Karbohidrat diberikan 50%.

3. Protein diberikan 20%.

4. Lemak diberikan 30%.

17. Bagaimana perbandingan pemberian ASI dengan MP-ASI pada makanan transisi?

1. 7-8 bulan ASI 60% MP-ASI 40%

2. 9-10 bulan ASI 50% MP-ASI 50%

3. 1 tahun MP-ASI lebih banyak 80-100%

18. Bagaimana tekstur dan cara pembuatan dari makanan transisi yang dibedakan berdasarkan umur? Seberapa banyak makanan transisi yang diberikan (kalori)? Apa saja bahan makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam membuat makanan transisi? Berapa frekuensi pemberian makanan transisi?

Teksturnya halus dan diberikan makanan saring agar tidak membuat gastrointestinal tract kaget dengan tekstur yang terlalu berbeda dengan ASI.

Cara pembuatan disaring atau seperti pembuatan bubur biasa dengan menggunakan air hangat.

Bahan yang diperbolehkan diperhitungan sesuai dengan makanan yang membuat pasien alergi, seperti telur. Makanan yang diperbolehkan adalah makanan yang lunak dan tidak tinggi serat. Sedangkan, makanan yang tidak diperbolehkan adalah telur dan olahannya (moyonaise, roti), tidak digoreng, dan tidak diberikan makanan yang manis.

Frekuensi pemberian makanan transisi adalah ASI diberikan 3x dan MP-ASI diberikan 3x, namun makanan diberikan dalam porsi kecil sesuai dengan pembagian kalorinya.

19. Apa fungsi dari pemberian makanan transisi?

1. Memberikan kesempatan gastrointestinal tracct untuk beradaptasi.

2. Untuk melihat ada atau tidaknya alergi atau intoleransi makanan pada bayi.

3. Memperkenalkan pada anak mengenai macam-macam rasa dan tekstur makanan yang berbeda-beda.

20. Bagaimana konten dari pemberian edukasi gizi untuk orang tua An. C saat rawat jalan dan rawat inap dan cara berkoordinasi dengan orang tua pasien dalam penerapan interensi gizi agar kondisi pasien pulih?

Konten materi yang diberikan saat edukasi gizi pada orang tua an. C adalah sebagai berikut.

1. Frekuensi dan porsi pemberian ASI dan MP-ASI.

2. Tekstur dan cara pemasakan makanan.

3. Materi mengenai ASI eksklusif seharusnya tidak boleh diberikan berselang-seling dengan susu formula.

4. Bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan.

5. Orang tua diajari cara mengatasi alergi pada anak.

21. Indikator apa saja yang perlu dimonitoring dan evaluasi dari pasien? Kapan dilakukan monitoring dan evaluasi? Apa target keberhasilan dari intervensi gizi yang diberikan?

Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi serta waktu melakukan monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut.

1. Fisik klinis: Suhu tubuh, nadi, RR, sesak, diare, muntah dipantau 2 jam sekali dalam sehari.

2. Antropometri: BB dan PB dipantau setelah 1 bulan kemudian setelah intervensi dijalankan.

3. Dietary: kecukupan asupan energi dan zat gizi lainnya dari ASI dan MP-ASI

Target: keberhasilan dari intervensi gizi yang diberikan adalah semua tanda fisik klinis sampai mencapai normal.

G. HIPOTESIS

H.

I. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVES

1. Patofisiologi bronkopneumonia dan alergi makanan serta tanda dan gejalanya

Bronkopneumonia: Bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh. Saat imunitas tubuh melemah, terjadi respon inflamasi di paru-paru, sehingga menyebabkan lobar pneumonia (kematian pembuluh ditandai dengan edema alveoli) yang dapat mengakibatkan bronkopneumonal (Bennet, 2014). Radang yang dimulai pada bronkiolus terminalis dengan penggabungan yang tidak sempurna dari sekitar bronkiolus di jaringan paru. Bronkiolus disumbat oleh mukosa yang membengkak dan sekresinya sebagai hasil dari udara yang tidak bisa masuk alveoli. Udara yang tertahan pada alveoli diserap sehingga menyebabkan alveoli kempis. Area pengempisan tersebut diapit oleh area emfisema kompensatorik (Roy, 2014), sehingga menyebabkan sesak nafas. Sebenarnya bakteri pneumonia ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru. Toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel sistem pernapasan bawah. Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru (tiga di paru kanan dan dua di paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah (Isnaini, 2009).

Tanda gejala bronkopneumonia: Bercak-bercak pada paru, demam, menggigil, suhu tubuh meningkat secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi, sesak napas, nyeri dada saat menarik nafaas, batuk, demam, suara napas bronkial dan ronki, anak sangat gelisah, pernapasan cepat dan dangkal disertai sianosis di sekitar hidung dan mulut, nafsu makan berkurang (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003; Mansyoer, 2000 dalam Sigalingging, 2010). Batuk ditemui setelah beberapa hari, pertama kali muncul batuk kering, semakin lama menjadi batuk produktif. Anak dengan pneumonia lebih suka berbaring pada posisi yang sakit dengan lutut ditekuk karena nyeri pada dada (Mansjoer, 2000 dalam Sigalingging, 2010).

Patofisiologi alergi makanan: Antibodi yang berperan pada proses alergi adalah Imunoglobin E (IgE). Pada paparan pertama diproduksi IgE spesifik alergen yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast (dalam jaringan) dan basofil (dalam sirkulasi). Pada paparan kedua alergen berikatan dengan antigenic determinant site (Fab) dari IgE yang akan berdempetan dengan mast cell dan basofil. Ikatan satu atau lebih IgE di mast cell memicu pengaktifan mast cell yang berakibat menghasilkan bahan-bahan kimia seperti histamin, serotonin, proteoglikan, serin protease leukotriene C4 dan heparin yang nantina akan berikatan dengan reseptor masing-masing di sel yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi alergi (Suri, 2006).

Tanda gejala alergi makanan: Tanda dan gejala alergi terbagi menjadi dua, yaitu reaksi alergi cepat dan reaksi alergi lambat.

1. Reaksi alergi cepat: gatal-gatal pada mulut dan tenggorokan, pembengkakan pada saluran pernafasan yang membuat sesak nafas, syok anafilaktik ditandai dengan penurunan kesadaran dan penurunan tekanan darah yang apabila dibiarkan akan berisiko kematian (Isnaini, 2009).

2. Reaksi alergi lambat: diare, muntah, gatal, kemerahan pada organ kulit, pilek, mata menjadi merah dan gatal, buang angin, mual, bercak darah pada feses, konstipasi/sembelit (Graha, 2010). Selain itu, terdapat tanda gejala pada sistem saraf pusat/otak, yaitu mudah kaget dengan rangsangan suara/cahaya, kejang, gemetar, susah tidur, gigi gemeratak. Sedangkan, tanda gejala pada sistem pembuluh darah dan jantung, yaitu palpitasi, muka kemerahan, nyeri dada, pingsan, dan tekanan darah rendah (Judarwanto, 2005).

2. Penyebab dari bronkopneumonia dan alergi makanan

Penyebab bronkopneumonia: Penyebab bronkopneumonia dibagi menjadi dua, yaitu penyebab infeksi dan non-infeksi.

1. Penyebab infeksi

a. Pada masa neonatus: adanya bakteri Streptococcus b., Respiratory Syncytial Virus (RSV).

b. Pada masa bayi: virus parainfluenza, RSV, Streptococcus pneumoniae.

c. Pada masa anak-anak: virus (virus parainfluenza, virus influenza, RSV), organisme tipikal (mycoplasma, typical pneumonia), bakteri (pneumococcus, Mycobacterium tuberculosis).

2. Penyebab non infeksi (karena adanya disfungsi menelan atau refluks esofagus)

a. Bronkopneumonia hidrokarbon: aspirasi pada saat menelan muntah.

b. Bronkopneumonia lipoid: pemasukan obat yang mengandung minyak pada intranasal.

c. Daya tahan tubuh yang lemah sehingga menjadi faktor predisposisi terjadinya penyakit (Bradley, 2011).

Penyebab paling umum pneumonia pada anak-anak yang disebabkan oleh bakteri adalah Streptococcus pneumonia, sedangkan Haemophilus influenza tipe b (Hib) adalah penyebab paling umum pneumonia virus (WHO, 2014). Selain itu, bronkopneumonia juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim paru juga dapat disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi, dan alergi, biasanya disebut pneumonitis (Djojodibroto, 2009).

Penyebab alergi makanan: Terjadinya alergi disebabkan oleh adanya partikel-partikel yang menimbulkan alergi masuk ke dalam tubuh dan kemudian menimbulkan reaksi alergi. Partikel-partikel tersebut disebut alergen. Alergen yang menimbulkan alergi bisa berasal dari berbagai sumber, yaitu dari alam seperti serbuk-serbuk sari berbagai tanaman, bulu-bulu hewan, spora jamur, racun dari serangga, atau bahan makanan seperti susu, telur, ikan, kacang-kacangan. Dapat pula faktor alergen berasal dari bahan kimia, seperti pewangi pakaian, sabun, bedak, obat-obatan, maupun logam seperti gelang, kalung, dan lain-lain. Di samping itu, faktor lingkungan, seperti polusi udara, rokok juga dapat menyebabkan alergi (Graha, 2010). Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul > 18.000 Dalton, tahan panas, dan tahan enzim proteolitik (Judarwanto, 2005). Penyebab alergi makanan dilihati dari gastrointestinal adalah belum sempurnanya saluran cerna pada anak, adanya kecenderungan kemiripan antara protein makanan dengan protein virus, dimana kekebalan tubuh seseorang tidak bisa membedakan jenis protein (genetik), serta imaturitas usus secara fungsional, dimana mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah (Lasota, 2005).

Setiap individu memiliki alergi yang berbeda disebabkan karena setiap individu memiliki fenotif yang berbeda dan setiap periode usia memiliki karakter alergi yang berbeda pula, itu sebabnya setiap anak berbeda dominasi yang sensitif. Anak yang satu lebih dominan sensitif pada kulit, sedangkan anak yang lain lebih dominan sensitif pada saluran pernafasan. Fenotif ini suatu karakteristik struktur, biokimiawi, fisiologis dan perilaku yang diamati oleh suatu organisme yang diatur oleh genotif dan lingkungan serta interaksi keduanya (Judarwanto, 2004). Selain itu, ketika seseorang mengalami alergi, menunjukkan bahwa tubuhnya membentuk IgE spesifik terhadap makanan tersebut, dan sebaliknya, ketika tidak membentuk IgE spesifik terhadap suatu makanan maka tidak terjadi reaksi alergi. Protein dan glikoprotein yang memicu pembentukan IgE spesifik tersebut. Ada bermacam-macam pada tiap makanan, sebagai contoh Peanut 1 di kacang, Allergen 1 di udang, Allergen M di ikan, dan ovomucoid pada telur. Protein pemicu yang berbeda ini akan direspon oleh IgE bergantung pada besar kecilnya sensitisasi yang diberikan sehingga tiap orang dapat berbeda alergennya dan ada orang yang alergi maupun tidak alergi (Judarwanto, 2005; NIAID, 2011).

3. Faktor risiko bronkopneumonia dan alergi

Faktor risiko bronkopneumonia: Umur ( 2 tahun atau 65 tahun), jenis kelamin, status gizi, status imunisasi, faktor agen, pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, pola asuh anak dalam keluarga berdasarkan jumlah anak, polusi udara dalam ruangan atau rumah, kepadatan hunian, tidak mendapatkan ASI yang cukup, memiliki penyakit paru, HIV/AIDS, penyakit kronik seperti diabetes dan penyakit jantung, sistem imun lemah, perokok, peminum berat, batuk, dan malnutrisi (Putri, 2010; Sigalingging, 2010; Martel, 2012).

Faktor risiko alergi: Faktor genetik (riwayat alergi orang tua), imaturitas usus (anak lebih beresiko daripada dewasa), paparan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik, genetik, usia (kadar IgE tertinggi pada usia anak dan mulai menurun secara bertahap pada umur 15 tahun), jenis kelamin (lebih berisiko pada perempuan karena gangguan keseimbangan hormon), pola makan, jenis makanan, faktor lingkungan, faktor fisik (seperti kelelahan, aktivitas berlebih), faktor emosi (seperti kecemasan, sedih, stres, ketakutan), dan faktor hormonal (Judarwanto, 2005; Nency, 2005; dan Sigalingging, 2010). Selain itu, asap rokok juga dapat meningkatkan risiko alergi anak. Saat anak kontak dengan asap rokok, terjadilah peningkatan imunoglobulin E pada tubuhnya, dan ini akan membuat kemungkinan alergi pada anak akan semakin berkembang. Karena Imunoglobulin inilah salah satu faktor yang penting untuk meningkatkan terjadinya risiko alergi (Graha, 2010).4. Hubungan antara alergi makanan dan bronkopneumonia

Ada hubungan antara alergi makanan terhadap bronkopneumonia. Pneumonia merupakan peradangan parenkim paru yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit. Selain itu juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim paru juga dapat disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi, dan alergi, biasanya disebut pneumonitis (Djojodibroto, 2009). Pada individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen (antigen) menghasilkan aktiviasi sel Th2 dan prouksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan dengan hipersenssitivitas segera (tipe I). Antibodi IgE terikat dengan afinitas tinggi melalui bagian Fe di sel mast. Proses pelapisan sel mast oleh IgE ini disebut sensitisasi, karena pelapisan ini menyebabkan sel mast sensitif terhadap aktivasi bila terjadi paparan ulang antigen. Selama fase sensitisasi awal, tidak terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan. Apabila sel mast yang tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali dengan antigen, sel akan teraktivasi untuk mengeluarkan mediator. Aktivasi sel mast terjadi sebagai hasil ikatan alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast. Setelah adanya ikatan silang, maka akan memicu signal biokimia yang menyebabkan degranulasi cepat, sintesis dan sekresi mediator lipid dan sintesis serta sekresi sitokin. Mediator penting pada sel mast adalah amin vasoaktif dan protease yang berasal dari granul, produk metabolisme asam arakidonat dan sitokin (TNF-a, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6 dan kemokin termasuk IL-8). Mediator amin utama, yaitu histamin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kecil, meningkatkan permeabilitas vaskular dan menstimulasi kontraksi otot polos transient (bronkokonstriksi). Produk sel mast, terutama histamin, berperan penting dalam respon alergi fase cepat. Protease akan menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Metabolit asam arakidonat termasuk prostaglandin (jalur siklooksigenase), menyebabkan kontraksi otot polos yang memanjang. Sitokin akan menginduksi inflamasi lokal (reaksi fase lambat). Sitokin TNF-a dan IL-4 akan menyebabkan inflamasi melalui peran neutrofil dan eosinofil (Helmy, 2007). Inflamasi akibat sintesis sitokin yang menyebabkan infeksi ini melibatkan bronkiolus dan kantung udara alveolar. Ketika infeksi dari berbagai faktor terjadi di seluruh paru-paru, kondisi ini dapat menyebabkan bronkopneumonia (Silverman, 2002). Pemberian telur pada usia di bawah 6 bulan pada pasien yang alergi akan berisiko mendapatkan alergi respiratorik lebih besar daripada bila diberikan setelah usia 12 bulan. Alergi respiratorik ini dapat memperparah penyakit bronkopneumonia yang diderita oleh pasien (Siregar, 2001).

5. Perbedaan alergi dan food intolerance, cara membedakan, dan tanda gejalanya

Alergi MakananFood Intolerance

Merupakan reaksi imunologis yang menyimpang karena masuknya bahan penyebab alergi dalam tubuh. Sebagian besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe I (Judarwanto, 2005).Merupakan reaksi non imunologis dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamin pada keracunan ikan), zat farmakologis yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase (Judarwanto, 2005).

Tanda gejala

1. Manifestasi GIT: Sakit di perut, mual, muntah, diare, perdarahan.

2. Manifestasi kutaneus: Urticaria, angioderma, eczema, erythema, flushing.

3. Manifestas i respiratori: Rinitis, asma, batuk, edema laring, sindrom Herners.

4. Manifestasi sistemik: anafilaksis, hipotensi (Raymond, 2008).Tanda gejala

1. Gangguan gastrointestinal tract: flatulance, diare, sakit perut, anemia hemolitik (Raymond, 2008). Nyeri perut, diare, sering buang gas, dan lama pengosongan lambung (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009).

2. Gangguan metabolisme: muntah, letargis (Raymond, 2008).

6. Makanan yang berpoteni sebagai alergi

1. Gandum atau produk gandum (Gandum memiliki senyawa albumin, pseudoglobulin dan euglobulin yang merupakan penyebab alergen utama (Judarwanto, 2005). Selain itu dapat meningkatkan sel mast dan permeabilitas usus (Wang. 2009)), keju, yoghurt.

2. Buah-buahan yang memiliki rasa masam atau berry.

3. Ikan terutama ikan yang bertulang.

4. Kerang-kerangan (seperti lobster, tiram, dan lain-lain).

5. Jagung (berisiko alergi dan tersedak).

6. Kacang dan produk olahannya (Syaiful, 2012).

7. Susu sapi (mengandung laktoglobulin).

8. Kuning dan putih telur (mengandung ovomukoid).

9. Kacang dan soya (mengandung albumin, visitin, dan legumin).

10. Udang (mengandung tropomiosin pada ototnya) (Sjawitri, 2006) Tiara.

Pada bayi, makanan yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah telur, susu, kacang, walnuts, kedelai, dan gandum. Sedangkan pada orang dewasa, yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah udang, lobster, kepiting, kacang, walnuts, dan ikan seperti ikan salmon (National Institute of Allergy and Infectious Disease, 2012).

7. Macam-macam dan cara melakukan tes alergi

1. Skin prick test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul flare/kemerahan dan wheal/bintul pada kulit tersebut (Kartikawati, 2007). Tes ini sangat populer, cepat, simpel, tidak menyakitkan, relatif aman, jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dan tanda-tanda reaksi sistemik, dapat dilakukan banyak tes pada satu sisi, mempunyai korelasi baik dengan IgE spesifik (Kartikawati, 2007). Dilakukan di bagian volar lengan dan tanrai area yang akan ditetesi dengan ekstrak antigen. Pertama-tama, diteteskan satu tetes larutan alergen (histamin/kontrol positif) dan larutan kontrol (buffer/kontrol negatif) menggunakan jarum ukuran 26,5 G atau 27 atau blood lancet. Kemudian cukitkan dengan sudut kemuringan 450menembus lapisan epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15 20 menit dengan menilai bentolyang timbul (Kartikawati, 2007). Metode yang dilakukan dalam menginterpretasikan hasil tes cukit kulit dikenal dengan metode Pepys. Membandingkan bintul yang terjadi pada masing-masing ekstrak alergen yang diberikan dengan menggunakan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline) (Kartikawati, 2007). Penilaiannya adalah sebagai berikut. Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)

Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)

+ 1 (ringan) : bila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif dan atau terdapat daerah eritema.

+ 2 (sedang) : bila bintul lebih kecil dari kontrol positif, tetapi 2 mm lebih besar dari kontrol negatif.

+ 3 (kuat) : bila bintul sama besar dengan kontrol positif.

+ 4 (sangat kuat) : bila bintul lebih besar dari kontrol positif (Kartikawati, 2007).

Ada beberapa obat-obatan yang mempengaruhi tes kulit antara lain antihistamin, kortikosteroid sehingga obat ini harus dihentikan sebelum tes dimulai. Pada saat ini berhubung metabolisme antihistamin banyak yang lambat dan berbeda-beda satu dengan yang lain, beberapa pendapat menyarankan puasa bebas obat antihistamin 3 hari sebelum tes kulit dilakukan, sedangkan untuk azetamizol 1 bulan, ada juga kortikosteroid dihentikan selama 6 minggu (Kartikawati, 2007).

2. Patch test

Untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kmia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit (Kartikawati, 2007).

Syarat test ini :

Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekkan.

2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti bengkak. Darah punggung harus bebas daru obat oles, krim atau salep (Kartikawati, 2007).

Test ini hanya dapat mendeteksi reksi alergi fase lambat yang diperantarai IgE dan reaksi tipe IV. Namun apabila tes dilakukan dalam 30 menit dapat mendeteksi reaksi alergi fase cepat. Kelemahan dari tes ini adalah sulit menjaga keping alergen yang digunakan untuk tetap kontak pada permukaan kulit, khususnya pada pasien anak (Christanto, 2011a).

3. RAST

Cara melakukan RAST test adalah dengan mengambil sampel darah untuk dibawa ke lab. Tes ini digunakan untuk mengetahui jumlah IgE dalam darah. Tubuh akan membuat antibodi IgE ketika terpapar terus menerus oleh alergen. Hasil tes menunjukkan bahwa pasien membuat antibodi untuk alergen tertentu dan menjadikan pasien alergi dengan alergen tersebut (RelayHealth, 2009). Hasil dari tes ini selanjutnya digabungkan dengan riwayat pasien terhadap makanan alergi untuk membuat diagnosa yang akurat mengenai alergi makanan (National Institute of Allergy and Infectious Disease, 2012).

4. Oral Food Challenge Test (OFCT)

Direkomendasikan untuk dilakukan dalam penegakan diagnosis dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Tenaga kesehatan yang sudah terlatih memberikan sejumlah makanan yang diduga sebagai alergen pada pasien. Kemudian dosis ditingkatkan dari porsi kecil ke porsi yang lebih banyak sesuai tingkatannya. Kemudian pasien menelan setiap dosis yang diberikan. Setelah itu, pasien diamati terkait reaksi yang terjadi (NIAID, 2011)

Ada 3 tipe OFCT yaitu:

a. Double blind placebo controlled food challenge, sangat direkomendasikan. Dalam tes ini, pasien dan tenaga kesehatan sama sama tidak tahu makanan apa yang diterima pasien.

b. Single blind food challenge, nakes tahu apa yang diberikan tetapi pasien tidak tahu.

c. Open food challenge test, nakes dan pasien tahu makanan yang diberikan (NIAID, 2011).

8. Macam-macam alergi

1. Hipersensitivitas segera (tipe I): dimediasi oleh antibodi imunoglobulin E (IgE) yang ditujukan pada antigen sspesifik (alergen). Bahan yang menimbulkan alergi adalah obat, makanan, gigitan serangga, dan agens pembersih rumah. Kerentanan terhadap alergi ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lain yang memungkinkan pemajanan pada alergen (Mitchell, 2008 dan Tambayong, 1999).

2. Hipersensitivitas yang dimediasi antibodi (tipe II): Pada respons hipersensitivitas tipe II, suatu antibodi sirkulasi biasanya IgG atau IgM, bereaksi dengan antigen pada permukaan sel. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R. Ikatan antigen antibodi dapat pula mengaktifkan komplemen yang, melalui reseptor C3b, memudahkan fagositosis atau menimbulkan lisis. Efeknya pada hospes bergantung pada jumlah dan tipe sel-sel yang dirusak. Contoh reaksi tipe II ini ialah pada keadaan trombositopenia yang berhubungan dengan alergi susu sapi (Mitchell, 2008; Tambayong, 1999; Christanto, 2011b).

3. Hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun (tipe III): dimediasi oleh kompleks antigen antibodi yang disebut kompleks imun, yang terbentuk dalam sirkulasi darah atau di tempat pengendapan antigen. Antigen dapat berasal dari eksogen (misalnya agen infeksius) atau dari endogen, dan penyakit yang dimediasi kompleks imun dapat bersifat sistemik atau lokal (Mitchell, 2008).

4. Hipersensitivitas yang dimediasi sel (tipe IV): dimulai oleh limfosit T yang mengalami sensitisasi secara spesifik (Mitchell, 2008). Suatu reakssi kulit alergis umum, yaitu dermatitis kontak akan tampak menjadi respon dari hipersensitivitas tipe IV. Hal ini terjadi pada kontak dengan kimia rumah tangga umum, kosmetik, dan toksin tanaman (Tambayong, 1999).

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, alergen masuk bersama dengan udara pernafaasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

2. Alergen ingestan, alergen masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.

3. Alergen injektan, alergen masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, alergen masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003 dalam Rafika, 2007).

9. Reaksi biologis saluran cerna terhadap alergen

Makanan sumber alergen masuk ke mulut dibawa ke lambung lewat kerongkongan di lambung makanan yang bersifat alergen tidak dapat dicerna meskipun enzim pepsin bekerja maksimum, sehingga makanan tersebut dapat mencapai permukaan mukosa pada usus halus sebagai alergen yang masih utuh. Jika suatu bahan alergen termakan akan terjadi dua macam reaksi alergi. Aktivasi sel mast mukosa yang terletak pada saluran pencernaan yang menyebabkan cairan tubuh keluar dengan cara menembus sel-sel epitel dan terjadi kontraksi otot polos, sehingga menyebabkan diare dan muntah. Dalam hal ini belum bisa dijelaskan mengapa sel mast jaringan ikat yang terletak pada dermis dan jaringan subkutan dapat teraktivasi setelah alergen tercerna, misalnya oleh alergen yang teraktivasi dalam sirkulasi darah dan menimbulkan urtikaria. Urtikaria merupakan reaksi yang umum terjadi jika penisilin diberikan secara oral kepada pasien yang telah memiliki antibodi IgE spesifik untuk penisilin. Ingeti makanan yang bersifat alergen dapat memicu terjadinya asma atau secara umum dapat menimbulkan reaksi anafilaksis yang diikuti kegagalan sistem kardiovaskuler. Ada juga alergi yang dimediasi oleh selain IgE yaitu penyakit celiac (Rifai, 2011).

10. Macam-macam diet alergi

1. Diet eliminasi: menghilangkan makanan yang menimbulkan alergi untuk menyembuhkan alergi. Ada 2 macam diet eliminasi antara lain sebagai berikut.

Diet eliminasi sederhana (Simple elimination diet): menghilangkan hanya satu atau dua makanan yang menyebabkan alergi.

Diet eliminasi Rowe (Rowe elimination diet): diet yang lebih lengkap, dimulai dengan makan makanan beberapa hipoalergenik, seperti beras, sereal, apel, pir, wortel, ubi jalar, daging domba, susu pengganti). Jika tidak ada reaksi alergi, kelompok makanan tersebut diperkenalkan setiap 10 hari (Holmes, 2014).

2. Tree-Nut Free Diet: Membatasi bahan makanan kacang-kacangan seperti biji-bijian, kacang almond, kacang beech, kacang brazil, kacang mete, chestnut, hazelnut, kacang hickory, kacang macadamia, kacang mashuga, kacang pinus, pistachio, kacang shea, kenari, dan minyak kacang (Duggan, 2008).

3. Corn-Free Diet: untuk seseorang yang alergi terhadap jagung dan turunannya. Dietnya adalah membatasi makanan yang mengandung jagung, tepung jagung, pati jagung, gula jagung, sirup jagung, maltodekstrin, marshmallow, popcorn, dan tepung gula (Duggan, 2008).

4. Egg-Free Diet: digunakan untuk seseorang yang diduga atau pernah mengalami reaksi alergi dari makanan yang mengandung telur. Dietnya adalah dengan membatasi albumin telur (ovoalbumin), telur, putih telur, kuning telur, lesitin telur, dan sebagainya (Duggan, 2008).

5. Milk-Protein Free Diet: digunakan untuk seseorang yang diduga atau pernah mengalami reaksi alergi terhadap protein susu sapi. Dietnya adalah dengan menghindari susu sapi (Duggan, 2008).

Diet yang cocok untuk diterapkan pada pasien An. C adalah Egg-Free Diet karena pasien hanya alergi terhadap telur.11. Cara mengatasi orang yang alergi makanan dan berapa banyak makanan alergen yang boleh dikonsumsi

a. Periksa terlebih dahulu alergi pada suatu bahan makanan apakah benar pada semua bentuknya ataukah pada keadaan matang atau mentah saja. Misal pada alergi telur yang mentah saja, maka masih bisa mengonsumsi telur yang dimasak (goreng, dadar, dan sebagainya).

b. Amati pada kadar atau jumlah alergen, berapa gejala alergi muncul. Misal alergi telur gejalanya muncul pada saat mengonsumsi telur setengah bagian, maka masih memungkinkan untuk mengonsumsi telur kurang dari setengah.c. Selalu siapkan obat antihistamin, adrenalin injector atau obat alergi lain (WebMD Medical Reference, 2010; NIAID, 2012; TAC, 2011).12. Alergi bisa sembuh atau tidak

Alergi pada anak-anak biasanya akan hilang atau berkurang sejalan dengan bertambahnya umur anak kecuali anak yang memiliki alergi terhadap kacang biasanya akan seumur hidup. Sedangkan orang yang mengalami alergi setelah dewasa, biasanya akan memiliki alerginya seumur hidup (National Institute of Allergy and Infectious Disease, 2012). Saat ini, menghindari makanan yang menyebabkan alergi dengan ketat dan pengobatan secara oral dianggap sebagai satu-satunya terapi yang tersedia untuk kasus alergi makanan. Namun, ada terapi lain yang mempu menyembuhkan alergi, yaitu injeksi/suntikan antibodi anti-IgE untuk menyembuhkan atau menghapukan respon alergi. Selain itu, ada vaksinasi protein, yaitu vaksinasi urutan DNA yang berkode untuk makanan alergen dan penggunaan modulator imun yang dapat mengarahkan sistem kekebalan tubuh untuk jauh dari respon alergi dan toleransi protein (Berdanier, 2002). Cara lain adalah dengan melakukan terapi desensitisasi, yaitu terapi yang membuat tubuh semkain kurang sensitif terhadap alergen dengan cara mengeksposnya terhadap alergen dengan dosis yang makin lama makin besar sampai penderita kebal terhadap alergen tersebut. Tetapi terapi ini membutuhkan waktu yang lama dan cukup mahal cara lain adalah dengan menjauhi pemicunya (Ikawati, 2010).

13. Makanan transisi untuk bayi umur 7-12 bulan

Anjuran pola makanan bayi dan balita dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini.

Umur (bulan)ASIMakanan LumatMakanan LembikMakanan Keluarga

0-6

6-8

9-11

12-23

24-59

Keterangan :

Usia 0 6 bulan : hanya diberikan ASI saja

Usia 6 8 bulan : diberikan ASI dan makanan lumat berseling

Usia 9 11 bulan : diberikan ASI dan makanan lembik berseling

Usia 12 23 bulan : diberikan ASI dan makanan keluarga

Usia 24 59 bulan : diberian makanan keluarga (Depkes 2000 dimodifikasi 2003 dalam Azmi, 2002).

Untuk pasien an. C pada saat usia 7-8 bulan diberikan ASI dan makanan lumat berseling, usia 9-11 bulan diberikan ASI dan makanan lembik berseling, usia >1 tahun diberikan ASI dan makanan keluarga.

Bahan makanan untuk makanan transisi bayi usia 7-12 bulan adalah sebagai berikut (Nutrition Society of Malaysia, 2011).

Usia BayiKarbohidratBuahSayuranProtein Nabati dan Hewani

6-8 bulanBeras, oatPisang, pearLabu, tomatAyam, tahu, ikan, kacang hijau

8-10 bulanBeras, oat, biskuit tawarPisang, pear, apel, anggurLabu, tomat, lobak, kubis, brokoliKacang hijau, ayam, tahu, kuning telur, ikan tengiri, daging sapi

10-12 bulanBeras, oat, biskuit tawar, gandumApel, pisang, pear, anggur, beriLabu, lobak merah, brokoli, asparagus, jagung, bayam, buncis, kacang panjangKacang hijau, ayam, tahu, seluruh telur (pada saat umur 1 tahun), daging sapi, daging doomba, ikan salmon

14. Hubungan dari pemberian ASI dan susu formula secara berselang-seling dengan penyakit yang diderita pasien

ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian bronkopneumonia dan alergi. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan atau lebih memberikan efek protektif yang lebih besar berkaitan dengan respon dosis efek protektif terhadap infeksi. Semakin besar dosis ASI yang diberikan semakin besar pula efek protektif yang dihasilkan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ASI sebagai proteksi pasif berpengaruh terhadap respon imun anak melalui berbagai cara, yaitu maturasional, antiinflamasi, imunomodulator, dan antimikrobial. ASI juga dapat memberikan perlindungan jangka panjang melalui stimulasi respon imun aktif. Imunitas aktif merupakan imunitas spesifik dimana sistem imun membentuk memori jangka panjang terhadap paparan antigen tertentu (Widarini, 2009). Selain itu, ASI memiliki kandungan Imunoglobulin A (sebuah antibodi tubuh) yang dapat membantu memperbaiki pencernaan bayi untuk mencegah alergi. Dalam enam bulan pertama kehidupan anak, pemberian ASI eksklusif sangat penting karena metabolisme dan sistem kekebalan tubuh anak memerlukan waktu untuk dibangun dan berkembang sebelum siap menerima makanan lain dari luar dengan tepat (Graha, 2010). Pemberian ASI yang tidak adekuat merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya ISPA pada anak, khususnya pneumonia atau bronkopneumonia (Widarini, 2009). Selain itu, pemberian makanan tambahan selain ASI sebelum 6 bulan ini memungkinkan tubuh kontak langsung dengan faktor-faktor alergen secara dini. Hal ini kurang baik karena dapat menimbulkan risiko peningkatan pengembangan alergi pada tubuh anak (Graha, 2010). Bayi yang diberi susu formula terlalu dini kemungkinan menderita lebih banyak masalah alergi, misalnya asma. Bayi yang diberi susu formula lebih mudah terserang diare dan alergi serta mengalami gangguan pertumbuhan mulut, rahang, dan gigi. Hal ini dikarenakan susu formula tidak mengandung antibodi untuk melindungi tubuh bayi terhadap infeksi. Sedangkan jika bayi diberikan ASI dan susu formula secara berselang-seling maka antibodi yang terbentuk dari ASI hanya sedikit dikarenakan lebih banyak susu formula yang masuk ke tubuh dibandingkan dengan ASI (Mawaddah, 2012).

15. Assessment terkait antropometri

Menurut hasil dari aplikasi WHO Anthro, didapatkan Z-score BB/PB 0,48 yang diinterpretasikan normal, BB/U 0,74 yang diinterpretasikan normal, dan PB/U 0,82 yang diinterpretasikan normal.

16. Preskripsi diet untuk pasienTujuan:

1. Memberikan makanan yang cukup tanpa membuat pasien sesak, muntah, dan diare.

2. Untuk menurunkan tanda dan gejala alergi.

3. Untuk membatasi volume feses.

Prinsip: Tinggi energi, Rendah karbohidrat, Bebas telur, Rendah sisa

Syarat:

1. Energi tinggi, yaitu menambahkan 12% dari kebutuhan energi total.

Energi = (89 x BB) - 100) + 22

Energi = (89 x 9) - 100) + 22

Energi = 723 kkal

Penambahan energi = Energi x 12% = 86,76 kkal

Total energi = 809,76 kkal

Perbandingan pemberian ASI 56% dan MP-ASI 44%.

Energi dari ASI = 56% x 809,76 kkal = 453,47 kkal

Energi dari MPASI = 44% x 809,76 kkal = 356,29 kkal

2. Protein cukup, yaitu 20% dari kebutuhan energi total.

Protein = (Energi MP-ASI x 20%) : 4

Protein = (356,29 kkal x 20%) : 4

Protein = 17,82 gr

3. Karbohidrat rendah, yaitu 50% dari kebutuhan energi total untuk mengurangi rasa sesak pada pasien.

Karbohidrat = (Energi MP-ASI x 50%) : 4

Karbohidrat = (356,29 kkal x 50%) : 4

Karbohidrat = 44,54 gr

4. Lemak tinggi, yaitu 30% dari kebutuhan energi total.

Lemak = (Energi MP-ASI x 30%) : 9

Lemak = (356,29 kkal x 30%) : 9

Lemak = 11,87 gr

5. Cairan 130 mL/hari.

6. Rendah serat, yaitu maksimal 8 gram/hari untuk mengurangi diare/volume feses.

7. Diberikan porsi kecil tapi sering (Almatsier, 2008; Duggan, 2008; Raymond, 2008; Lucking, 2012).

17. Perbandingan ASI dan MP-ASI pada makanan transisi

Untuk usia 6-8 bulan, perbandingan pemberian ASI dan MP-ASI yaitu 68% kebutuhan ASI dan MP-ASI 32%. Untuk usia 9-12 bulan, perbandingan pemberian ASI dan MP-ASI yaitu 56% kebutuhan ASI dan MP-ASI 44%. Sedangkan, untuk >1 tahun, ASI diberikan sepertiga dari kebutuhan energi total (Newman, 2009).18. Fungsi pemberian makanan transisi

1. Untuk mengenalkan berbagai makanan meliputi rasa, bau, dan tekstur.

2. Mencoba memberikan makanan yang mudah diterima oleh pencernaan.

3. Melihat ada tidaknya alergi atau intoleransi pada anak (NHMRC, 2013).4. Mengurangi risiko terhadap reaksi buruk dari makanan, seperti alergi dan intoleransi.

5. Mencukupi kebutuhan gizi bayi usia 6 bulan ke atas.

6. Memberikan bentuk dan jenis makanan secara bertahap karena sistem pencernaan bayi usia 6 bulan ke atas masih berkembang (Nazarina, 2008).

7. Mendukung perkembangan neuromuscular (Michaelsen et al, 2000).

8. Untuk membantu memberikan sumber energi dan zat gizi lain, seperti Fe, Zn, dan vitamin A.

9. Untuk mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta menerima bermacam-macam makanan (Nutrition Society of Malaysia, 2011).

19. Konten pemberian edukasi gizi pada orang tua saat rawat jalan dan rawat inap dan cara berkoordinasi dengan orang tua pasien

1. Mengedukasi tentang pentingnya ASI bagi pasien dan melanjutkan pemberian ASI hingga pasien berusia 24 bulan.

2. Mengedukasi tentang kebutuhan energi dan zat gizi untuk pasien serta pemberian makanan pendamping ASI bagi pasien mengenai frekuensi pemberian, tekstur, jumlah yang diberikan, cara pemasakan, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dimakan sesuai usia.

3. Mengedukasi tentang penanganan alergi pada pasien. Ibu pasien diminta untuk tidak memberikan telur terlebih dahulu ke dalam makanan pasien. Hal ini dikarenakan pemberian telur pada pasien bisa memperparah penyakit pasien, yaitu bronkopneumonia.

20. Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi, waktu melakukan monitoring dan evaluasi, dan target keberhasilan dari intervensi gizi yang diberikan.

Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut.

1. Data antropometri, yaitu BB yang dipantau 1 minggu 1 kali dan PB yang dipantau 1 bulan 1 kali. Intervensi gizi dikatakan berhasil jika terdapat penambahan BB 350-450 gram/bulan pada usia 7-8 bulan dan meningkat 250-350 gram/bulan pada usia 9-12 bulan.

2. Data fisik klinis mengenai suhu tubuh, nadi, sesak (+/-), diare (+/-), muntah (+/-), tanda-tanda alergi (+/-). Target keberhasilannya adalah semua tanda fisik klinis pasien mencapai normal.

3. Data dietary mengenai asupan makan pasien. Target keberhasilannya adalah asupan makan pasien sesuai dengan kebutuhan.

4. Pengetahuan Ibu pasien, dilakukan dengan cara Ibu pasien mengulangi materi yang disampaikan saat edukasi telah diberikan. Target pencapaiannya adalah jika Ibu pasien mampu mengulangi materi edukasi yang disampaikan dengan baik.

Semua indikator (kecuali antropometri dan pengetahuan) dimonitoring dan evaluasi setelah pemberian intervensi gizi 1 hari saat pasien rawat inap dan 1 bulan sekali saat pasien rawat jalan.

21. Pengolahan makanan yang menyebabkan alergen agar tetap bisa dikonsumsi.

Bahan Makanan Pemicu AlergiCara pengolahan

Buah-buahanDikukus pada suhu 1000 C selama 5 menit atau dengan pemberian sirup dapat menurunkan sensitivitas alergi (Sathe, 2005 dan Houska, 2013).

Kacang dan kacang-kacanganPengolahan dengan cara digoreng dan direbus dapat menurunkan alergisitas.

TelurPengolahan tidak direbus karena akan menimbulkan reaksi alergi. Jika ingin makan telur, dalam pengolahan ditambahkan cuka untuk menurunkan sensitivitas alergi (Houska, 2013).

Ikan dan seafoodProses pengolahan dengan cara pengasapan, penggaraman, pengawetan, dan fermentasi dapat menurunkan aktivitas ikatan IgE (Houska, 2013).

Daging dan produk dagingProses pengolahan dengan cara mengukus dan freeze drying dapat menurunkan alergsitas (Houska, 2013).

Pasta, biji-bijian dan produk rotiPemanasan protein dapat menurunkan alergisitas dan sensitivitas alergi (Houska, 2013).

Susu dan produk susuPerebusan selama 10 menit dapat menghilangkan sensitivitas alergi (Houska, 2013).

22. Alasan alergi pada saat dewasa tidak dapat disembuhkan

Pada saat dewasa, paparan polusi meningkat yang berasal dari lingkungan pekerjaan, jalan raya, dan lain-lain (Dietert, 2012). Seiring bertambahnya usia, tubuh kurang mampu mengimbangi efek dari paparan polutan. Orang dewasa lebih rentan terhadap paparan bahan kimia karena penurunan kapasitas untuk memperbaiki kerusakan DNA yang disebabkan oleh mutagen yang dapat menurunkan pertahanan imunologi (Uzochukwu, 2009). Paparan polutan dapat mendorong dan meningkatkan produksi IgE tingkat sensitisasi alergen tertentu (Mak, 2014). Karena orang yang terpapar polusi secara terus menerus dapat semakin memperburuk imunitas seseorang, sehingga alergi tidak dapat disembuhkan (Ikawati, 2010).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

1. Seseorang mengalami bronkopneumonia ketika bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh. Saat imunitas tubuh melemah, terjadi respon inflamasi di paru-paru, sehingga menyebabkan lobar pneumonia yang dapat mengakibatkan bronkopneumonal. Bronkopneumonia biasanya ditandai dengan bercak-bercak pada paru, demam, menggigil, suhu tubuh meningkat secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi, sesak napas, nyeri dada saat menarik nafaas, batuk, demam, suara napas bronkial dan ronki, anak sangat gelisah, pernapasan cepat dan dangkal disertai sianosis di sekitar hidung dan mulut, nafsu makan berkurang.

Seseorang mengalami alergi ketika pada saat paparan alergen pertama diproduksi IgE spesifik alergen yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast dan basofil. Pada paparan kedua alergen berikatan dengan antigenic determinant site (Fab) dari IgE yang akan berdempetan dengan mast cell dan basofil. Ikatan satu atau lebih IgE di mast cell memicu pengaktifan mast cell yang berakibat menghasilkan bahan-bahan kimia seperti histamin, serotonin, proteoglikan, serin protease leukotriene C4 dan heparin yang nantina akan berikatan dengan reseptor masing-masing di sel yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi alergi. Tanda dan gejala alergi terbagi menjadi dua, yaitu reaksi alergi cepat dan reaksi alergi lambat. Tanda gejala dari reaksi alergi cepat adalah gatal-gatal pada mulut dan tenggorokan, pembengkakan pada saluran pernafasan yang membuat sesak nafas, syok anafilaktik ditandai dengan penurunan kesadaran dan penurunan tekanan darah yang apabila dibiarkan akan berisiko kematian. Sedangkan, tanda gejala lambat reaksi alergi lambat: diare, muntah, gatal, kemerahan pada organ kulit, pilek, mata menjadi merah dan gatal, buang angin, mual, bercak darah pada feses, konstipasi/sembelit. Selain itu, terdapat tanda gejala pada sistem saraf pusat/otak, yaitu mudah kaget dengan rangsangan suara/cahaya, kejang, gemetar, susah tidur, gigi gemeratak. Sedangkan, tanda gejala pada sistem pembuluh darah dan jantung, yaitu palpitasi, muka kemerahan, nyeri dada, pingsan, dan tekanan darah rendah.

2. Penyebab bronkopneumonia dibagi menjadi dua, yaitu penyebab infeksi dan non-infeksi. Penyebab paling umum pneumonia pada anak-anak yang disebabkan oleh bakteri adalah Streptococcus pneumonia, sedangkan Haemophilus influenza tipe b (Hib) adalah penyebab paling umum pneumonia virus. Selain itu, bronkopneumonia juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim paru juga dapat disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi, dan alergi, biasanya disebut pneumonitis.

Terjadinya alergi disebabkan oleh adanya partikel-partikel yang menimbulkan alergi masuk ke dalam tubuh dan kemudian menimbulkan reaksi alergi. Alergen yang menimbulkan alergi bisa berasal dari berbagai sumber, yaitu dari alam seperti serbuk-serbuk sari berbagai tanaman, bulu-bulu hewan, spora jamur, racun dari serangga, atau bahan makanan seperti susu, telur, ikan, kacang-kacangan. Dapat pula faktor alergen berasal dari bahan kimia, seperti pewangi pakaian, sabun, bedak, obat-obatan, maupun logam seperti gelang, kalung, dan lain-lain. Di samping itu, faktor lingkungan, seperti polusi udara, rokok juga dapat menyebabkan alergi. Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul > 18.000 Dalton, tahan panas, dan tahan enzim proteolitik. Penyebab alergi makanan dilihat dari gastrointestinal adalah belum sempurnanya saluran cerna pada anak, adanya kecenderungan kemiripan antara protein makanan dengan protein virus, dimana kekebalan tubuh seseorang tidak bisa membedakan jenis protein, serta imaturitas usus secara fungsional, dimana mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.

Setiap individu memiliki alergi yang berbeda disebabkan karena setiap individu memiliki fenotif yang berbeda dan setiap periode usia memiliki karakter alergi yang berbeda pula. Selain itu, ketika seseorang mengalami alergi, menunjukkan bahwa tubuhnya membentuk IgE spesifik terhadap makanan tersebut, dan sebaliknya, ketika tidak membentuk IgE spesifik terhadap suatu makanan maka tidak terjadi reaksi alergi. Protein dan glikoprotein yang memicu pembentukan IgE spesifik tersebut. Protein pemicu yang berbeda akan direspon oleh IgE bergantung pada besar kecilnya sensitisasi yang diberikan sehingga tiap orang dapat berbeda alergennya dan ada orang yang alergi maupun tidak alergi.

3. Faktor risiko bronkopneumonia adalah umur ( 2 tahun atau 65 tahun), jenis kelamin, status gizi, status imunisasi, faktor agen, pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, pola asuh anak dalam keluarga berdasarkan jumlah anak, polusi udara dalam ruangan atau rumah, kepadatan hunian, tidak mendapatkan ASI yang cukup, memiliki penyakit paru, HIV/AIDS, penyakit kronik seperti diabetes dan penyakit jantung, sistem imun lemah, perokok, peminum berat, batuk, dan malnutrisi. Sedangkan, faktor risiko alergi adalah faktor genetik (riwayat alergi orang tua), imaturitas usus (anak lebih beresiko daripada dewasa), paparan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik, genetik, usia (kadar IgE tertinggi pada usia anak dan mulai menurun secara bertahap pada umur 15 tahun), jenis kelamin (lebih berisiko pada perempuan karena gangguan keseimbangan hormon), pola makan, jenis makanan, faktor lingkungan, faktor fisik (seperti kelelahan, aktivitas berlebih), faktor emosi (seperti kecemasan, sedih, stres, ketakutan), dan faktor hormonal. Selain itu, asap rokok juga dapat meningkatkan risiko alergi anak karena dapat meningkatkan IgE pada tubuh.

4. Ada hubungan antara alergi makanan terhadap bronkopneumonia. Pada individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen (antigen) menghasilkan aktiviasi sel Th2 dan prouksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan dengan hipersenssitivitas segera (tipe I). Antibodi IgE terikat dengan afinitas tinggi melalui bagian Fe di sel mast. Proses pelapisan sel mast oleh IgE ini disebut sensitisasi, karena pelapisan ini menyebabkan sel mast sensitif terhadap aktivasi bila terjadi paparan ulang antigen. Selama fase sensitisasi awal, tidak terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan. Apabila sel mast yang tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali dengan antigen, sel akan teraktivasi untuk mengeluarkan mediator. Aktivasi sel mast terjadi sebagai hasil ikatan alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast. Setelah adanya ikatan silang, maka akan memicu signal biokimia yang menyebabkan degranulasi cepat, sintesis dan sekresi mediator lipid dan sintesis serta sekresi sitokin. Sekresi sitokin TNF-a dan IL-4 akan menyebabkan inflamasi melalui peran neutrofil dan eosinofil. Inflamasi akibat sintesis sitokin yang menyebabkan infeksi ini melibatkan bronkiolus dan kantung udara alveolar. Ketika infeksi dari berbagai faktor terjadi di seluruh paru-paru, kondisi ini dapat menyebabkan bronkopneumonia. Pemberian telur pada usia di bawah 6 bulan pada pasien yang alergi akan berisiko mendapatkan alergi respiratorik lebih besar daripada bila diberikan setelah usia 12 bulan. Alergi respiratorik ini dapat memperparah penyakit bronkopneumonia yang diderita oleh pasien.

5. Alergi dan food intolerance memiliki perbedaan. Alergi merupakan reaksi imunologis, sedangkan food intolerance merupakan reaksi non-imunologis. Tanda gejala alergi bisa bermanifestasi pada GIT, kutaneus, respiratori, dan sistemik. Sedangkan tanda gejala pada food intolerance hanya bermanifestasi pada GIT dan metabolisme.

6. Pada bayi, makanan yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah telur, susu, kacang, walnuts, kedelai, dan gandum. Sedangkan pada orang dewasa, yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah udang, lobster, kepiting, kacang, walnuts, dan ikan seperti ikan salmon.

7. Ada 4 cara dalam melakukan tes alergi, yaitu skin prick test, patch test, RAST test, dan Oral Food Challenge Test (OFCT).

8. Macam-macam alergi ada 4, yaitu hipersensitivitas segera (tipe I) yang dimediasi oleh antibodi imunoglobulin E (IgE), hipersensitivitas yang dimediasi antibodi (tipe II), hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun (tipe III), dan hipersensitivitas yang dimediasi sel (tipe IV). Berdasarkan cara masuknya alergen, alergi dibagi menjadi 4, yaitu alergen inhalan, alergen ingestan, alergen injektan, dan alergen kontaktan.

9. Reaksi biologis makanan yang menyebabkan alergi di dalam saluran cerna berawal dari makanan sumber alergen masuk ke mulut dibawa ke lambung lewat kerongkongan di lambung makanan yang bersifat alergen tidak dapat dicerna meskipun enzim pepsin bekerja maksimum, sehingga makanan tersebut dapat mencapai permukaan mukosa pada usus halus sebagai alergen yang masih utuh. Jika suatu bahan alergen termakan akan terjadi dua macam reaksi alergi. Aktivasi sel mast mukosa yang terletak pada saluran pencernaan yang menyebabkan cairan tubuh keluar dengan cara menembus sel-sel epitel dan terjadi kontraksi otot polos, sehingga menyebabkan diare dan muntah.

10. Macam-macam diet alergi ada 5, yaitu diet eliminasi (simple elimination diet dan Rowe elimination diet), tree-nut free diet, corn free diet, egg free diet, dan milk-protein free diet.

11. Cara mengatasi orang yang alergi makanan dan cara agar orang tersebut dapat memakan makanan yang menyebabkan alergi adalah dengan cara memeriksa terlebih dahulu alergi pada suatu bahan makanan apakah benar pada semua bentuknya ataukah pada keadaan matang atau mentah saja. Misal pada alergi telur yang mentah saja, maka masih bisa mengonsumsi telur yang dimasak (goreng, dadar, dan sebagainya). Kemudian amati pada kadar atau jumlah alergen, berapa gejala alergi muncul. Misal alergi telur gejalanya muncul pada saat mengonsumsi telur setengah bagian, maka masih memungkinkan untuk mengonsumsi telur kurang dari setengah. Selalu siapkan obat antihistamin, adrenalin injector atau obat alergi lain untuk mengatasi bila terjadi reaksi alergi.

12. Alergi pada anak-anak biasanya akan hilang atau berkurang sejalan dengan bertambahnya umur anak kecuali anak yang memiliki alergi terhadap kacang biasanya akan seumur hidup. Sedangkan orang yang mengalami alergi setelah dewasa, biasanya akan memiliki alerginya seumur hidup. Saat ini, menghindari makanan yang menyebabkan alergi dengan ketat dan pengobatan secara oral dianggap sebagai satu-satunya terapi yang tersedia untuk kasus alergi makanan. Namun, ada terapi lain yang mempu menyembuhkan alergi, yaitu injeksi/suntikan antibodi anti-IgE, vaksinasi protein, dan terapi desensitisasi.

13. Untuk pasien an. C pada saat usia 7-8 bulan diberikan ASI dan makanan lumat berseling, usia 9-11 bulan diberikan ASI dan makanan lembik berseling, usia >1 tahun diberikan ASI dan makanan keluarga.

14. ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian bronkopneumonia dan alergi. Pemberian ASI yang tidak adekuat merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya ISPA pada anak, khususnya pneumonia atau bronkopneumonia. Selain itu, pemberian makanan tambahan selain ASI sebelum 6 bulan ini memungkinkan tubuh kontak langsung dengan faktor-faktor alergen secara dini. Hal ini kurang baik karena dapat menimbulkan risiko peningkatan pengembangan alergi pada tubuh anak . Bayi yang diberi susu formula terlalu dini kemungkinan menderita lebih banyak masalah alergi, misalnya asma. Bayi yang diberi susu formula lebih mudah terserang diare dan alergi serta mengalami gangguan pertumbuhan mulut, rahang, dan gigi. Hal ini dikarenakan susu formula tidak mengandung antibodi untuk melindungi tubuh bayi terhadap infeksi. Sedangkan jika bayi diberikan ASI dan susu formula secara berselang-seling maka antibodi yang terbentuk dari ASI hanya sedikit dikarenakan lebih banyak susu formula yang masuk ke tubuh dibandingkan dengan ASI.

15. Dari hasil assessment terkait antropometri, didapatkan Z-score BB/PB 0,48 yang diinterpretasikan normal, BB/U 0,74 yang diinterpretasikan normal, dan PB/U 0,82 yang diinterpretasikan normal.

16. Pasien an. C mendapatkan diet tinggi energi, rendah karbohidrat, bebas telur, dan rendah sisa dengan tujuan untuk memberikan makanan yang cukup tanpa membuat pasien sesak, muntah, dan diare, untuk menurunkan tanda dan gejala alergi, serta ntuk membatasi volume feses.

17. Untuk usia 6-8 bulan, perbandingan pemberian ASI dan MP-ASI yaitu 68% kebutuhan ASI dan MP-ASI 32%. Untuk usia 9-12 bulan, perbandingan pemberian ASI dan MP-ASI yaitu 56% kebutuhan ASI dan MP-ASI 44%. Sedangkan, untuk >1 tahun, ASI diberikan sepertiga dari kebutuhan energi total.18. Fungsi pemberian makanan transisi adalah untuk mengenalkan berbagai makanan meliputi rasa, bau, dan tekstur; mencoba memberikan makanan yang mudah diterima oleh pencernaan, melihat ada tidaknya alergi atau intoleransi pada anak; mengurangi risiko terhadap reaksi buruk dari makanan, seperti alergi dan intoleransi; mencukupi kebutuhan gizi bayi usia 6 bulan ke atas; memberikan bentuk dan jenis makanan secara bertahap karena sistem pencernaan bayi usia 6 bulan ke atas masih berkembang; mendukung perkembangan neuromuscular; untuk membantu memberikan sumber energi dan zat gizi lain, seperti Fe, Zn, dan vitamin A; serta untuk mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta menerima bermacam-macam makanan.

19. Konten pemberian edukasi pada orang tua pasien adalah tentang pentingnya ASI bagi pasien dan melanjutkan pemberian ASI hingga pasien berusia 24 bulan; tentang kebutuhan energi dan zat gizi untuk pasien serta pemberian makanan pendamping ASI bagi pasien mengenai frekuensi pemberian, tekstur, jumlah yang diberikan, cara pemasakan, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dimakan sesuai usia; serta tentang penanganan alergi pada pasien. Ibu pasien diminta untuk tidak memberikan telur terlebih dahulu ke dalam makanan pasien. Hal ini dikarenakan pemberian telur pada pasien bisa memperparah penyakit pasien, yaitu bronkopneumonia.

20. Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi adalah data antropometri, yaitu BB yang dipantau 1 minggu 1 kali dan PB yang dipantau 1 bulan 1 kali. Intervensi gizi dikatakan berhasil jika terdapat penambahan BB 350-450 gram/bulan pada usia 7-8 bulan dan meningkat 250-350 gram/bulan pada usia 9-12 bulan. Data fisik klinis mengenai suhu tubuh, nadi, sesak (+/-), diare (+/-), muntah (+/-), tanda-tanda alergi (+/-). Target keberhasilannya adalah semua tanda fisik klinis pasien mencapai normal. Data dietary mengenai asupan makan pasien. Target keberhasilannya adalah asupan makan pasien sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, pengetahuan Ibu pasien juga perlu dimonitoring dan evaluasi dengan cara Ibu pasien mengulangi materi yang disampaikan saat edukasi telah diberikan. Target pencapaiannya adalah jika Ibu pasien mampu mengulangi materi edukasi yang disampaikan dengan baik. Semua indikator (kecuali antropometri dan pengetahuan) dimonitoring dan evaluasi setelah pemberian intervensi gizi 1 hari saat pasien rawat inap dan 1 bulan sekali saat pasien rawat jalan.

21. Pengolahan bahan makanan yang menyebabkan alergen agar tetap bisa dikonsumsi adalah dengan mengukus buah-buahan yang menyebabkan alergi atau memberikan sirup pada buah; menggoreng atau merebus kacang-kacangan; menambahkan cuka dalam pengolahan telur; melakukan pengasapan, penggaraman, pengawetan, dan fermentasi pada ikan dan seafood; melakukan pengukusan atau freeze drying pada daging dan produk daging; memanaskan protein pada pasta, biji-bijian, dan produk roti; dan merebus susu dan produk susu.

22. Alergi pada saat dewasa tidak dapat disembuhkan karena pada saat dewasa, paparan polusi meningkat yang berasal dari lingkungan pekerjaan, jalan raya, dan lain-lain. Seiring bertambahnya usia, tubuh kurang mampu mengimbangi efek dari paparan polutan. Orang dewasa lebih rentan terhadap paparan bahan kimia karena penurunan kapasitas untuk memperbaiki kerusakan DNA yang disebabkan oleh mutagen yang dapat menurunkan pertahanan imunologi. Paparan polutan dapat mendorong dan meningkatkan produksi IgE tingkat sensitisasi alergen tertentu. Karena orang yang terpapar polusi secara terus menerus dapat semakin memperburuk imunitas seseorang, sehingga alergi tidak dapat disembuhkan.

B. REKOMENDASI

Skenario klinik pada week 7 ini mampu mengingatkan kembali mengenai patofisiologi, etiologi, sign symptom dari bronkopneumonia dan alergi, macam-macam alergi serta metode test alergi. Skenario ini juga mampu memberikan pengetahuan pada mahasiswa mengenai macam-macam diet untuk pasien alergi, serta pengolahan bahan makanan yang menyebabkan alergi agar dapat dikonsumsi. Skenario yang diberikan cukup jelas dan dimengerti oleh mahasiswa. Terkait kejelasan maksud dari skenario diharapkan tetap dipertahankan pada skenario week berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Risa. 2004. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Penerbit Serba Jaya.

Almatsier, Sunita. 2008. Penuntun Diet. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Azmi, Nurul. 2002. Gambaran Pola Pemberian Makan pada Bayi dan Balita Usia 0-59 Bulan di Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, Tahun 2002. Tidak diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok.

Bennet, Nicholas J. 2014. Pediatric Pneumonia. (Online). (http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview#aw2aab6b2b3aa, diakses 22 Desember 2014).

Berdanier, Carolyn D. 2002. Handbook of Nutrition and Food. USA : CRC Press.

Bradley, John et al. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older Than 3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis, 53 (7): 617-630.

Christanto, Anton dan Tedjo Oedono. 2011a. Uji Diagnostik Alergi Makanan. Praktis, 38 (6): 465-467.

___________________________. 2011b. Manifestasi Alergi Makanan pada Telinga, Hidung, dan Tenggorok. Continuing Medical Education, 38 (6): 410-416.Dietert, Rodney R. 2012. Immunotoxicity, Immune Dysfunction, and Chronic Disease. London : Elsevier.

Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.Dorland, Newman. 2009. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta : EGC.

Duggan et al. 2008. Nutrition in Pediatrics 4: Basic Science, Clinical Applications. Ontario : BC Decker, Inc.

Graha, Chairinnisa K. 2010. 100 Questions & Answers, Alergi pada Anak. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.

Helmy, Mazdar dan Zakiudin Munasir. 2007. Pemakaian Cetrizine dan Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak. Jurnal Kedokteran dan Farmasi Dexa Media, 2 (20): 68-73.

Holmes, Deborah E. Saunders Medical Assisting Exam Review Fourth Edition. USA : Elsevier Saunders.

Houska, Milan et al. 2013. Food Allergens and Processing - Review of Recent Results. (Online). (http://www.icef11.org/content/papers/fms/FMS997.pdf, diakses 27 Desember 2014).

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Ikawati, Zullies. 2010. Resep Hidup Sehat. Yogyakarta : Kanisius.

Isnaini, M. 2009. Pneumonia pada Balita. (Online). (http://indonesiabisasehat.blogspot.com/2009/05/tentang-pneumonia-balita.html, diakses tanggal 22 Desember 2014).

Judarwanto, Widodo. 2004. Perbedaan Perjalanan Alamiah Alergi Setiap Individu. (Online). (http://allergycliniconline.com/2012/03/15/allergy-march-perbedaan-perjalanan-alamiah-alergi-setiap-individu/, diakses tanggal 22 Desember 2014).

_________________. 2005. Alergi Makanan, Diet dan Autisme. (Online). (http://puterakembara.org/archives3/widodo2.pdf, diakses 22 Desember 2014).

Kartikawati, Henny. 2007. Tes Cukit (Skin Prick Test) pada Diagnosa Penyakit Alergi. Semarang : Universitas Diponegoro.

Lasota, Jack P et al. 2005. Pediatric Allergy about Protein Formula in Infant and Young Children with Atopic Eczema or Dermatitis Syndrome Immune. 16: 189-190.

Lucking, Steven et al. 2012. Pediatric Critical Care Study Guide: Text and Review. London : Springer.

Mak, Tak W et al. 2014. Primer to the Immune Response. London : Elsevier.

Martel, Janelle. 2012. Bronchopneumonia. (Online). (http://www.healthline.com/health/bronchopneumonia#Overview1, diakses 22 Desember 2014).

Martin, Ellizabeth A. 1982. Concise Medical Dictionary. London : Oxford University Press.

Mawaddah, Isra. 2012. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Puskesmas Kembang Tanjong Kabupaten Pidie. Tidak diterbitkan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Ubudiyah Banda Aceh.

Michaelsen, Kim F et al. 2000. Feeding and Nutrition of Infants and Young Children, Guidelines for the WHO European Region, with Emphasis on the Former Soviet Countries. Denmark : WHO Regional Publication.Mitchell, Richard N et al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : EGC.Nazarina. 2008. Menu Sehat dan Aman untuk Bayi 6-12 Bulan. Jakarta : PT Mizan Publika.Nency, Yetty M. 2005. Prevalensi dan Faktor Risko Alergi pada Anak Usia 6-7 Tahun di Semarang. Tidak diterbitkan. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Newman, Jack P. 2009. Alergi Makanan, Diet dalam Autisme Children Med. Family Groups Association. NPO Guidelines. 50: 274-8.

National Health and Medical Research Council (NHMRC). 2013. Infant Feeding Guidelines: Summary. Canberra : National Health and Medical Research Council.

National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID). 2011. Guidelines for the Diagnosis and Management of Food Allergy in the United States: Summary for Patients, Families, and Cargivers. USA : NIH Publication.

_____________________________________________________. 2012. Food Allergy, An Overview. USA : NIH Publication.

Nutrition Society of Malaysia. 2011. Nutritionists Choice Cookbook. Malaysia : Versacomm.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI). 2009. Kamus Gizi, Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta : Buku Kompas.

Rafika. 2007. Gejala Rinitis Alergi pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2007-2009. Tidak diterbitkan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Raymond, Janice. 2008. Krauses Food and Nutrition Therapy. United States : Elsevier Saunders.

RelayHealth. 2009. Allergy Tests. Canada : RelayHealth.

Rifai, Muhaimin. 2011. Alergi dan Hipersensitif. Tidak diterbitkan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang.

Roy, Sampurna. 2014. Pathology of Bronchopneumonia. (Online). (http://www.histopathology-india.net/brpn.htm, diakses 22 Desember 2014).

Sathe, Shridhar et al. 2005. Effects of Food Processing on the Stability of Food Allergens. Biotechnology Advances, 23 : 423-429.

Sigalingging, Ganda. 2010. Karakteristik Penderita Penyakit Pneumonia pada Anak di Ruang Merpati II Rumah Sakit Umum Herna Medan. Jurnal Darma Agung, 69-78.

Silverman et al. 2002. Essential of Oral Medicine. Ontario : BC Decker Inc.

Siregar, Sjawitri P. 2001. Alergi Makanan pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri, 3 (3): 168-174.

_______________. 2006. Pentingnya Pencegahan Dini dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi. Sari Pediatri, 7 (4) : 237-243.

Stevenson, Angus. 2010. Oxford Dictionary of English Third Edition. London : Oxford University Press.

Suri, Sujata. 2006. ABCs of Allergies. (Online). (http://www.csa.com/discoveryguides/allergy/review.pdf, diakses 22 Desember 2014).

Syaiful, Abdullah. 2012. Pediatric Allergy in Baby Amount Less Than A Year Age: Food and Information The Medical Profession Guideline. Switzerland : Children Family Clinic.

Tambayong, Jan. 1999. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

The Anaphylaxis Campaign (TAC). 2011. Egg Allergy-The Facts. Hampshire : TAC.

Uzochukwu, Godfrey A et al. 2009. Proceedings of the 2007 National Conference on Environmental Science and Technology. New York : Springer.

Wang, Julie dan Hugh A Sampson. 2009. Food Allergy: Recent Advances in Pathophysiology and Treatment. Allergy Asthma Immunol Res, 1 (1): 19-29.

WebMD Medical Reference. 2010. Allergies Health Center: Food Allergy, or Something Else?. (Online). (http://www/webmd.com/allergies/foods-allergy-intolerance?print=true, diakses tanggal 21 Desember 2014).

Widarini dan Sumasari. 2009. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Bayi. (Online). (http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JIG/V1N1/widarini.pdf, diakses 22 Desember 2014).

World Health Organization (WHO). 2014. Pneumonia. (Online). (http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/, diakses 22 Desember 2014).

TIM PENYUSUN

A. KETUA

FIRDA AMALIA(125070301111009)

B. SEKERTARIS

RANI ILMINAWATI(125070301111004)

RACHMI FARICHA(125070301111005)C. ANGGOTA

DWI RATNAWATI(125070301111008)

DWIYANTI CAESARRIA(125070301111010)

TIARA DIAN N.(125070301111011)

FEBY DINA ARDIYANTI(125070301111012)

DIESMAHARANI ASTRI M.(125070301111013)

YUNITA ENDAH K.(125070301111014)

SOFIE AYU MISRINA(125070301111001)

DESAK MADE TRISNA U.(125070301111002)

YUNITA REZA R.(125070301111003)HESTI RETNO BUDIARINI(125070301111006)

FARIKHA ALFI F.(125070301111007)

D. FASILITATOR

Sylvia

E. PROSES DISKUSI

1. KEMAMPUAN FASILITATOR DALAM MEMFASILITASI

Mampu mengarahkan berjalannya diskusi mahasiswa agar fokus pada kompetensi dan skenario. Mampu membantu mahasiswa dalam menggali dan memecahkan masalah yang terdapat dalam skenario. Mampu membantu mahasiswa untuk berpikir kritis dalam menanggapi masalah pada skenario. Mampu mendampingi mahasiswa dalam melakukan diskusi dengan lancar dan mengarahkan apabila topik pembahasan mulai menyimpang.2. KOMPETENSI/HASIL BELAJAR YANG DICAPAI OLEH ANGGOTA DISKUSI

Mahasiswa mampu memahami patofisiologi, etiologi, faktor risiko, tanda dan gejala dari penyakit bronkopneumonia dan alergi, macam-macam alergi dan dietnya, metode test alergi, cara pengolahan bahan makanan yang menyebabkan alergi agar dapat dikonsumsi, macam-macam makanan transisi, dan perbandingan pemberian ASI dan MP-ASI pada bayi.

Mahasiswa mengetahui hubungan antara bronkopneumonia dan alergi, serta hubungan antara pemberian ASI dan susu formula yang berselang seling dengan penyakit bronkopneumonia dan alergi.

Mahasiswa mampu merencanakan intervensi diet dan edukasi terkait penyakit bronkopneumonia dan alergi pada pasien berusia 7 bulan.

Reaksi Simpang Makanan

An. C (7 bulan)

MRS

Target waktu

Waktu monev

Target

Dietary:

Intake

Fisik klinis:

Suhu, nadi, RR, sesak

Antropometri:

BB dan PB

Edukasi

Monitoring Evaluasi

Bahan Makanan

Tekstur

Fungsi

MP-ASI

Makanan transisi

ASI

Komposisi

Frekuensi

Syarat

Prinsip

Tujuan

Preskripsi diet

Intervensi

Susu,telur, ikan, gandum

Intoleransi

Genetik

Tipe IV

Tipe III

Tipe II

Tipe I

Faktor risiko

Sign symptom

Bahan Makanan Sumber Alergen

Macam alergi

Penyebab

Non-IgE

IgE

Non-Imunologis

Imunologis

Diagnosa medis

Umur

ASI

Status gizi

Suhu tinggi

Kejang

Bakteri

Virus

Jamur

Bakteri

Paru-paru terisi cairan

Faktor risiko

Sign symptom

Penyebab

Patofisiologi

Alergi

Bronkopneumonia

2