hppt fix

10
TUGAS PRAKTIKUM HAMA PENYAKIT PENTING TANAMAN PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT PADA TANAMAN NAMA : M Bari Muwardi NIM : 135040201111032 KELAS : M KELOMPOK : M1 Potensi Rhizobakteria sebagai Agen Biofungisida untuk Pengendalian Jamur Fitopatogen fusarium sp. Pembangunan pertanian di indonesia saat ini memasuki masa transisi dari orientasi pertanian dengan pola subsisten kepada pola komersial. Pergeseran tersebut membawa konsekuensi penggunaan pestisida sebagai salah satu komponen penting dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman (OPT), salah satu kendala bagi pembangunan pertanian yang berorientasi ekonomi. Sementara itu pengendalian penyakit tanaman menggunakan bahan-bahan kimia kini mulai dihindari karena berdampak negatif bagi lingkungan, oleh karena itu penggunaan fungisida nabati (biofungisida) mutlak diperlukan Salah satu kendala yang dihadapi oleh para petani saat ini antara lain ditemukannya penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Jamur ini banyak menyerang tanaman kentang, pisang, tomat, ubi jalar, strawberry dan bawang daun. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman akibat jamur patogen Fusarium sp. di Indonesia pada saat ini masih banyak mengandalkan penggunaan fungisida sintetik. Penggunaan fungisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, gangguan keseimbangan ekologis dan residu yang ditinggalkannya dapat bersifat racun dan karsinogenik. Spesies jamur Fusarium sp. merugikan para petani, serangan jamur ini menyebabkan tanaman mengalami layu patologis permanen yang berakhir dengan kematian. Kebijakan global mengenai pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada gilirannya akan sangat membebani pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pestisida kimia. Ketergantungan inilah yang akan melemahkan produk pertanian asal Indonesia dan daya saingnya di pasar global. Menghadapi kenyataan tersebut agaknya perlu segera diupayakan pengurangan penggunaan fungisida kimiawi dan mengalihkannya pada jenis fungisida yang aman bagi lingkungan,yakni dengan cara pengendalian hayati menggunakan rhizobakteri (bakteri yang hidup di sekitar akar tanaman) sebagai agen hayati biofungisida untuk mengontrol serangan spesies jamur pengganggu. Beberapa agen pengendali hayati yang mempunyai kemampuan dalam pengendalian patogen melalui

Upload: barry-muwardi

Post on 04-Dec-2015

20 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

hppt

TRANSCRIPT

Page 1: HPPT FIX

TUGAS PRAKTIKUM HAMA PENYAKIT PENTING TANAMAN

PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT PADA TANAMAN

NAMA : M Bari Muwardi

NIM : 135040201111032

KELAS : M

KELOMPOK : M1

Potensi Rhizobakteria sebagai Agen Biofungisida untuk Pengendalian Jamur

Fitopatogen fusarium sp.

Pembangunan pertanian di indonesia saat ini memasuki masa transisi dari orientasi pertanian dengan

pola subsisten kepada pola komersial. Pergeseran tersebut membawa konsekuensi penggunaan

pestisida sebagai salah satu komponen penting dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman

(OPT), salah satu kendala bagi pembangunan pertanian yang berorientasi ekonomi. Sementara itu

pengendalian penyakit tanaman menggunakan bahan-bahan kimia kini mulai dihindari karena

berdampak negatif bagi lingkungan, oleh karena itu penggunaan fungisida nabati (biofungisida) mutlak

diperlukan

Salah satu kendala yang dihadapi oleh para petani saat ini antara lain ditemukannya penyakit layu

fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Jamur ini banyak menyerang tanaman kentang,

pisang, tomat, ubi jalar, strawberry dan bawang daun. Teknologi pertanian, khususnya dalam

pengendalian penyakit tanaman akibat jamur patogen Fusarium sp. di Indonesia pada saat ini masih

banyak mengandalkan penggunaan fungisida sintetik. Penggunaan fungisida yang tidak bijaksana dapat

menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, gangguan keseimbangan ekologis dan residu yang

ditinggalkannya dapat bersifat racun dan karsinogenik. Spesies jamur Fusarium sp. merugikan para

petani, serangan jamur ini menyebabkan tanaman mengalami layu patologis permanen yang berakhir

dengan kematian.

Kebijakan global mengenai pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi

pertanian pada gilirannya akan sangat membebani pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh

tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pestisida kimia. Ketergantungan inilah yang akan

melemahkan produk pertanian asal Indonesia dan daya saingnya di pasar global. Menghadapi kenyataan

tersebut agaknya perlu segera diupayakan pengurangan penggunaan fungisida kimiawi dan

mengalihkannya pada jenis fungisida yang aman bagi lingkungan,yakni dengan cara pengendalian hayati

menggunakan rhizobakteri (bakteri yang hidup di sekitar akar tanaman) sebagai agen hayati biofungisida

untuk mengontrol serangan spesies jamur pengganggu.

Beberapa agen pengendali hayati yang mempunyai kemampuan dalam pengendalian patogen melalui

Page 2: HPPT FIX

tanah, salah satunya adalah bakteri yang hidup di sekitar akar (Rhizobakteria). Bakteri dilaporkan bisa

menekan pertumbuhan jamur patogen dalam tanah secara alamiah, terdapat beberapa genus bakteri

yang berasosiasi dengan tanaman sebagai penghambat pertumbuhan jamur, yaitu Alcaligenes,

Acinetobacter, Enterobacter, Erwinia, Rhizobium, Flavobacterium, Agrobacterium, Bacillus,

Burkholderia, Serratia, Streptomyces, Azospirillum, Acetobacer, Herbaspirillum dan Pseudomonas.

Rhizobakteria ini mampu menjadi agen antagonis untuk mengendalikan pertumbuhan jamur.

Rhizobakteria bersimbiosis mutualisme secara tidak langsung dengan tanaman, karena beberapa bakteri

dilaporkan mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman atau disebut sebagai mikroorganisme PGPR

(Plant growth-promoting rhizobacteria).

Rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur melalui sintesis senyawa antifungi dan aktivitas

degradasi kitin yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel jamur Fusarium sp. Rhizobakteri

yang digunakan bersifat non patogen pada manusia, sehingga produk pertanian akan aman untuk

dikonsumsi. Aplikasi penggunaanya pun cukup praktis, petani bisa menggunakan kultur cair

rhizobakteria secara langsung (dengan pengenceran), menggunakan senyawa aktif biofungisida yang

dihasilkan bakteri atau digunakan sebagai inokulum tambahan pada proses pengomposan.

Pengembangan rhizobakteria sebagai agen antagonis penghambat pertumbuhan fitopatogen Fusarium

sp di Indonesia sendiri masih belum optimal. Penggunaan beberapa rhizobakteria yang dilakukan baru

sebatas tingkat daerah, belum sampai skala nasional. Hal ini sangat disayangkan, mengingat penggunaan

rhizobakteria sebagai biofungisida dari hasil penelitian yang telah dilakukan terbukti efektif dalam

mengendalikan fitopatogen.

Penggunaan Rhizobakteria sebagai biofungisida untuk mengendalikan jamur Fusarium sp memiliki

beberapa keunggulan, antara lain: mampu membantu revitalisasi tanaman dengan dihasilkannya

hormon pertumbuhan seperti IAA (auksin) dan sitokinin; lebih ramah lingkungan dan biodegradable;

penggunaannya lebih mudah dan murah, bersifat non-patogen dan tidak membahayakan bagi hewan

dan manusia. Aplikasi rhizobakteria sebagai biofungisida juga memiliki beberapa kekurangan yakni

diperlukan adanya analisis resiko rhizobakteria yang digunakan sebelum dipasarkan sebagai agen

biofungisida. Beberapa agen hayati kemungkinan mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang

menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi

peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan

suatu agen hayati.

https://djarumbeasiswaplus.org/artikel/content/21/Potensi-Rhizobakteria-sebagai-Agen-Biofungisida-

untuk-Pengendalian-Jamur--Fitopatogen-fusarium-sp./

POTENSI Corynebacterium SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT HAWAR DAUN

BAKTERI PADA TANAMAN PADI

Corynebacterium sebagai agens pengendali hayati

Page 3: HPPT FIX

Pemanfaatan bakteri Corynebacterium di bidang pertanian yaitu dengan penerapan system

pengendalian hama terpadu (PHT) dengan cara memaksimalkan penerapan berbagai metode

pengendalian hama secara komprihensif dan mengurangi penggunaan pestisida. Salah satu komponen

PHT tersebut adalah pengendalian hayati dengan memanfaatkan bakteri antagonis sebagai pengganti

pestisida, hal ini terbukti efektif pada beberapa jenis bakteri potensial yang digunakan sebagai agensia

hayati. Bakteri – bakteri antagonis ini dapat menghasilkan antibiotik dan siderofor juga bisa berperan

sebagai kompetitor terhadap unsur hara bagi patogen tanaman, pemanfaatan bakteri – bakteri

antagonis ini dimasa depan akan menjadi salah satu pilihan bijak dalam usaha meningkatkan produksi

pertanian sekaligus menjaga kelestarian hayati untuk menunjang budidaya pertanian berkelanjutan

(Hasanuddin dalam Manik 2011).

Bakteri antagonis adalah jasad renik (mikroorganisme) yang mengintervensi kegiatan patogen penyebab

penyakit pada tumbuhan. Pada dasarnya terdapat 3 mekanisme antagonis dari bakteri yaitu :

1. Hiperparasitisme : terjadi apabila organisme antagonis memparasit organisme parasit (patogen

tumbuhan)

2. Kompetisi ruang dan hara : terjadi persaingan dalam mendapatkan ruang hidup dan hara, seperti

karbohidrat, Nitrogen, ZPT dan vitamin.

3. Antibiosis : terjadi penghambatan atau penghancuran suatu organisme oleh senyawa metabolik yang

diproduksi oleh organisme lain (Anonim 2009).

Pengendalian penyakit HDB yang diterapkan oleh BBPOPT Jatisari adalah dengan pemanfaatan bakteri

antagonis. Bakteri antagonis tersebut adalah Corynebacterium. Efektifitas Corynebacterium sebagai

bakteri antagonis terhadap penyakit HDB nampaknya cukup baik dan corynebacterium menunjukkan

penghambatan pada pemunculan gejala awal, penyebaran maupun intensitas serangan (BBPOPT 2007).

Bakteri antagonis Corynebacterium yang di eksplorasi dari tanaman padi awalnya diduga mempunyai

pengaruh buruk, bahkan berperan sebagai bakteri patogen pada beberapa jenis sayuran (Tomat, Cabe

Rawit, Sawi, Terong dan Mentimun), akan tetapi setelah diuji dengan inokulasi buatan suntik, siram dan

semprot ternyata tidak menyebabkan timbulnya penyakit pada tanaman. Hal ini membuktikan bahwa

jenis bakteri ini aman diaplikasikan terhadap penyakit sasaran (Wibowo dalam Banjarnahor 2011).

Pemanfaatan Corynebacterium dalam mengendalikan Hawar Daun Bakteri

Corynebacterium sp. merupakan bakteri antagonis yang ditemukan pada daun padi di daerah Jatisari

Karawang, bakteri ini berhasil diisolasi dan terbukti efektif dalam mengendalikan penyakit yang

disebabkan oleh cendawan dan bakteri, pada beberapa tanaman pangan serta hortikultura seperti

penyakit kresek pada padi serta penyakit layu dan bercak daun pada tanaman cabai serta kubis-kubisan.

Biopestisida yang berbahan dasar Corynebacterium sp. dibuat formulasinya oleh Balai Besar Peramalan

Organisme Penggangu Tumbuhan (BBPOPT) dan kelompok tani Patih di Subang dalam bentuk cair dan

diberi nama dagang AntiKres (BBPOPT 2007).

Page 4: HPPT FIX

Beberapa hasil kajian dan pengalaman para petani di lapangan tentang penggunaan bakteri

corynebacterium sebagai agens hayati dalam mengendalikan penyakit hawar daun bakteri (HDB) telah

banyak dikemukakan. Penelitian di rumah kaca (MK 1998) diketahui bahwa Cornebacterium dapat

menekan gejala Bacterial Red Stripe (BPS/Pseudomonas sp.) sebesar 52% dan terhadap HDB (BLB /

Xanthomonas campestris pv oryzae sebesar 28%. Corynebacterium efektif menekan laju infeksi HDB di

lapang (Purwakarta MK 1999) sebesar 27%, dan secondary infection (penularan antar rumpun)dapat

ditekan sebesar 84%. Penelitian lapang di Cianjur pada MK 2011, diketahui bahwa aplikasi sebanyak 4

(empat) kali, yaitu perendaman benih, penyemprotan umur 28 hst, 42 dan 56 hst dinilai merupakan

waktu yang tepat untuk tujuan pengendalian penyakit HDB. Dari 4 kali aplikasi Corynebacterium

didapatkan hasil penyebaran penyakit paling rendah berkisar 0-10% dibanding tanpa perlakuan

Corynebacterium, dimana penyebaran penyakit dapai mencapai 100%. Penelitian selanjutnya, 4 kali

penyemprotan Corynebacterium yaitu di pesemaian, umur 14, 28 dan 42 hst menghasilkan penekanan

terhadap hawar daun bakteri (HDB) yang serupa. Penelitian lainnya tentang pemanfaatan

Corynebacterium, penyemprotan Corynebacterium di lokasi Bojong Picung, Cianjur (MH 2001/2002)

menunjukkan penekanan kehilangan hasil yang signifikan.

Hasil penelitian tentang efektivitas Corynebacterium dalam mengendalikan penyakit hawar daun bakteri

yang dilakukan oleh Manik, (2011), menunjukkan bahwa intensitas serangan Xanthomonas campestris

py oryzae tertinggi pada perlakuan B0P0 (kontrol) dengan intensitas serangan sebesar 6,36%, sedang

intensitas serangan terendah yaitu pada perlakuan B2P2 (107 sel bakteri Corynebacterium/ml dengan 60

kg/ha pupuk (100 kg KCl) yaitu sebesar 0,39%. Produksi Padi tertinggi terdapat pada perlakuan B3P3

(108 sel bakteri / ml dengan 90 kg/ha pupuk (150 kg KCl) yaitu sebesar 11,09 ton/ha dan produksi

terendah terdapat pada perlakuan B0P0 (kontrol ) sebesar 6,85 ton/ha. Hasil Penelitian lanjutan yang

diamati pada perlakuan konsentrasi Corynebacterium terhadap intensitas serangan Xanthomonas

campestris pv oryzae ternyata, intesitas serangan paling rendah terlihat pada perlakuan

Corynebacterium dengan konsentrasi 7,5 cc/liter air dengan intensitas serangan yaitu 37,23% dengan

produksi hasil mencapai 8,92 ton/ha, sedangkan pada perlakuan kontrol (tidak menggunakan

Corynebacterium) intensitas serangan mencapai 47,86% (Banjarnahor 2010).

Selain Corybacterium dapat mengendalikan penyakit hawar daun bakteri (HDB) banyak penelitian

lainnya yang menunjukkan Corynebacterium sebagai agens hayati pengendali patogen. Penelitian yang

dilakukan (Dahyar dan Ayu 2010), dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dengan perendaman benih

bakteri antagonis Corynebacterium 5 cc/l sebelum tanam dan penyemprotan pada 14 hst, 28 hst dan 42

hst mampu menekan perkembangan penyakit blas, hal ini ditunjukkan dengan intensitas serangan yang

rendah sehingga dengan demikian produksi yang diperoleh masih cukup baik (6,15 ton/ha) dibanding

perlakuan kontrol yang hanya menghasilkan prduksi sebanyak 5,50 ton/ha. Penggunaan bakteri

Corynebacterium sebagai agens pengedali hayati juga dilakukan pada tanaman Krisan untuk

mengendalikan penyakit Karat, dari hasil penelitian yang dilakukan (Hanudin et al. 2010) diketahui

bahwa dengan penambahan bakteri Corynebacterium pada konsentrasi 0,3% dapat menekan intensitas

serangan Puccinia horiana sebanyak 38,49%, juga dapat mempertahakan hasil panen bunga Krisan layak

jual sebanyak 14,58%. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dipastikan bahwa bakteri

Corynebacterium memiliki peluang untuk dikembangan sebagai agens pengendali hayati untuk

pengendalian penyakit Hawar Daun Bakteri (Kresek). Seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk

menjaga lingkungan sehat, mendorong aplikasi teknologi yang ramah lingkungan bahkan mengarah

pada sistem usaha tani organik. Corynebacterium sangat cocok untuk mencegah penyakit layu yang

Page 5: HPPT FIX

disebabkan oleh bakteri pada daun/ tanaman hortikutura, palawija maupun tanaman Padi Sawah

(Anonim 2009).

Pengendalian Penyakit Bakteri Pustul Xanthomonas axonopodis pada Kedelai

dengan Agens Hayati Pseudomonas fluorescens dan Ekstrak Daun Sirih

Pseudomonas fluorescens (Pf) merupakan salah satu bakteri yang mampu menekan beberapa jenis

patogen penyebab penyakit tanaman. Potensi Pf sebagai agens pengendali hayati yang mampu

menghambat perkembangan patogen dan mengendalikan penyakit tanaman telah banyak dilakukan,

sebagai contoh adalah interaksi P. fluorescens dengan jamur tular tanah Sclerotium rolfsii,

menyebabkan pertumbuhan jamur tular tanah ini terhambat (Grahan & Mitcel 1998). Isolat Pf hasil

eksplorasi dari rizosfer tanaman kacang-kacangan di beberapa daerah di Jawa Timur memiliki daya

antagonis cukup baik terhadap Sclerotium rolfsii. Penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa aplikasi

isolat Pf tersebut dapat menekan penyakit rebah S. rolfsii berkisar antara 6,67% hingga 17,03%. Selain

menekan kejadian penyakit, Pf juga dapat menekan jumlah struktur pembiakan patogen yan berupa

propagul sklerosia dan menekan perkecambahannya (Rahayu 2008).

Daun sirih (Piper betel sp.) merupakan salah satu dari 13 jenis tumbuhan yang mengandung senyawa

antibakteri (Soewondo et al. 1991). Hasil penelitian Poeloengan et al. (2006) menunjukkan bahwa

minyak atsiri dan esktrak etanol daun sirih pada konsentrasi ekstrak 25–50% dapat menghambat

perkembangan bakteri Staphylococcus aureus penyebab penyakit mastitis pada sapi. Senyawa yang

terkandung dalam sirih adalah senyawa fenol yaitu hidroksikavikol yang mempunyai aktivitas

antioksidan (Amonkar et al. 1989) dan asam klorogenat, yaitu suatu senyawa yang dilaporkan dapat

membunuh sel kanker (TNN 2004).

Berdasarkan daya antibakteri yang dimiliki sirih dan keefektifan isolat Pf sebagai agens hayati, maka

kedua jenis pestisida ramah lingkungan tersebut diteliti efikasinya untuk mengendalikan X. axonopodis

bakteri penyebab penyakit pustul pada kedelai.

Tujuh isolat Pf yang diuji secara in vitro (Pf-Bwa, Pf-Bwb, Pf-Bwc, Pf-Kpja, Pf-Kpjb, Pf-Mlg, dan Pf-Blg)

asal rizosfer kedelai dan kacang-kacangan lain di Jawa Timur menunjukkan bahwa isolat Pf-Blg memiliki

daya hambat lebih tinggi dibanding dengan isolat lainnya. Hal itu nampak pada ukuran zona hambatan

yang terlebar mencapai 15 mm pada pengamatan 14 hari setelah inokulasi. Isolat tersebut selanjutnya

digunakan untuk bahan aplikasi pada tanaman kedelai di lapangan.

Hasil penelitian pengendalian bakteri pustul secara in-vitro menggunakan beberapa tingkat konsentrasi

esktrak sirih (0%, 1%, 3%, dan 5%) menunjukkan adanya penghambatan bakteri pustul yang dinyatakan

sebagai lebar zona hambatan, berkisar antara 1–2,4 mm pada umur kultur 14 hari. Nilai penghambatan

tertinggi sebesar 2,4 mm dicapai pada perlakuan kultur bakteri pustul pada media mengandung

Page 6: HPPT FIX

Potensi Bakteri Streptomyces sp.

Sebagai Agens Pengendali Hayati (APH)

Streptomyces merupakan salah satu genus dari kelas Actinomycetes yang biasanya terdapat di tanah.

Actinomycetes adalah prokariot yang menghasilkan substansi penting untuk kesehatan seperti

antibiotik, enzim, dan immunomodulator (Moncheva et al., 2000 dalam Puryatiningsih, 2009) dan salah

satu organisme tanah yang memiliki sifat-sifat umum yang dimiliki oleh bakteri dan jamur tetapi juga

memiliki ciri khas yang cukup berbeda yang membatasinya menjadi satu kelompok yang jelas berbeda

(Rao, 1994 dalam Puryatiningsih, 2009). Banyak anggota dari Actinomycetes tumbuh seperti filamen-

filamen yang tipis seperti kapang daripada sel tunggal sehingga Actinomycetes dianggap sebagai fungi

atau cendawan.

Meskipun ada persamaan dalam hal pola pertumbuhannya, fungi itu eukariota sedangkan

Actinomycetes adalah prokariota (Kimball, 1999 dalam Puryatiningsih, 2009). Pada lempeng agar

Actinomycetes dapat dibedakan dengan mudah dari bakteri yang sebenarnya tidak seperti koloni bakteri

yang jelas berlendir dan tumbuh dengan cepat. Koloni Actinomycetes muncul perlahan, menunjukkan

konsistensi berbubuk dan melekat erat pada permukaan agar (Rao, 1994 dalam Puryatiningsih, 2009).

Streptomyces menghasilkan antibiotik di mana lebih dari setengahnya merupakan antibiotik yang efektif

melawan bakteri, misalnya streptomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.

Isolasi Streptomyces menghasilkan koloni-koloni kecil (berdiameter 1-10 mm), terpisah-pisah seperti

liken, dan seperti kulit atau butirus (mempunyai konsistensi seperti mentega), mula-mula

permukaannya relatif licin tetapi kemudian membentuk semacam tenunan miselium udara yang dapat

menampakkan granularnya, seperti bubuk, seperti beludru, atau flokos, menghasilkan berbagai macam

pigmen yang menimbulkan warna pada miselium vegetatif, miselium udara, dan substrat (Pelczar dan

Chan, 1988 dalam Puryatiningsih, 2009). Streptomyces mempunyai misel yang baunya sangat kuat,

berkembang dan mengandung hifa udara (sporofor), dari bentuk ini terjadi konstruksi lurus,

bergelombang, mirip spiral, dapat mengurai selulosa, khitin dan zat-zat lain sukar dipecah. Streptomyces

umumnya memproduksi antibiotik yang dipakai manusia dalam bidang kedokteran dan pertanian, juga

sebagai agen antiparasit, herbisida, metabolisme aktif, farmakologi, dan beberapa enzim penting dalam

makanan dan industri lain (Schlegel, 1994 dalam Puryatiningsih, 2009).

antibiotik streptomisin sulfat. Kultur X. axonopodis tumbuh secara normal pada media PPGA (potato

peptone glucose agar) murni tanpa perlakuan pengendalian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

ekstrak sirih pada konsentrasi 1–5% mampu menekan bakteri pustul, walaupun penekannya tidak

terlalu besar. Efikasi ekstrak sirih dan P. fluorescens di lapangan menunjukkan bahwa penyemprotan

ektrak sirih diikuti penyemprotan Pf masng-masing tiga kali aplikasi (ES/Pf @ 3 x), serta perlakuan

penymrotan Pf dengn enam kali aplikasi (Pf 6 x) dapat menekan penyakit pustule hingga 15%

dibandingkan cek tanpa pengendalian dengan intensitas penyakit mencapai 25% (Rahayu, 2011).

Page 7: HPPT FIX

Streptomyces spp. termasuk ke dalam kelompok bakteri gram positif. Ditinjau dari segi

morfologinya, Streptomyces sp. memiliki hifa ramping yang bercabang tanpa sekat melintang, dengan

diameter antara 0,5-2 μm. Ciri inilah yang membuat Streptomyces sp. mudah dibedakan dari genus

bakteri lain karena miseliumnya bercabang banyak dan berkembang dengan baik dalam rangkaian

konidia yang menggulung (Agrios, 2005).

Menurut Agrios (2005), Streptomyces sp. diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Prokaryotae

Divisi : Firmicutes

Kelas : Thallobacteria

Genus : Streptomyces

Spesies : Streptomyces spp.

Genus Streptomyces terdapat dalam jumlah spesies yang sangat besar dan beragam diantara famili

Actinomycetaceae lainnya. Genus tersebut memiliki keragaman dalam morfologi, fisiologi, dan aktivitas

biokimia yang menghasilkan berbagai antibiotik (Taddei, 2005). Streptomyces sp, telah dikenal memiliki

kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan berbagai senyawa bioaktif yang potential untuk

menghambat pertumbuhan mikroba patogen tular tanah (Lestari, 2007). Antibiotik dari jenis

Streptomyces yaitu bleomisin, eritromisin, josamisin, kanamisin, neomisin, tetrasiklin, dan lain-lain

(Hasim, 2003 dalam Listari, 2009 dalam Anonim, 2012).

Streptomyces sp. merupakan salah satu mikroorganisme pendegradasi khitin terbanyak dari ordo

actinomycetes. Kemampuan khitinolitik Streptomyces sp. banyak mendapat perhatian peneliti, karena

Streptomyces sp. adalah ordo actinomycetes dengan jumlah terbanyak di tanah yang mampu

memanfaatkan khitin sebagai sumber karbon dan nitrogennya (Yurnaliza, 2002). Streptomyces sp. non

patogen sangat potensial dalam menghambat mikroba patogen tular tanah karena Streptomyces sp.

merupakan agens hayati yang mampu bekerja efektif baik secara tunggal maupun dikombinasikan

dengan mikroorganisme prokariotik lainnya (Cook dan Baker, 1983 dalam Anonim¹, 2012).

III. Streptomyces sp. Sebagai Agens Pengendali Hayati (APH)

1. Streptomyces sp. berpotensi membentuk senyawa anti mikroba

Streptomyces diketahui mampu menghasilkan lebih dari 500 senyawa anti mikroba yang telah

diketahui senyawa penyusunnya. Senyawa anti mikroba ini dalam bidang pertanian dimanfaatkan

sebagai pestisida hayati. Mekanisme penghambatan Streptomyces sp. terhadap fungi dapat terjadi

karena kemampuannya dalam menghasilkan antibiotik dan senyawa Hidrolitik seperti Glukanase,

kitinase yang mampu mendegradasi dinding sel fungi (Prapagdee et al, 2008 dalam J. Ulya, 2009)

Aktivitas penghambatan senyawa anti mikroba secara umum dapat dilakukan dengan berbagai

mekanisme, diantaranya adalah :

1. Merusak dinding sel dengan cara menghambat pembentukan maupun merubah setelah

terbentuk.

Page 8: HPPT FIX

2. Perubahan permeabilitas sel, kerusakan pada membran ini berakibat terhambatnya

pertumbuhan sel atau matinya sel, karena membran bertujuan untuk memelihara

integritas komponen-komponen seluler.

3. Perubahan molekul protein dan asam nukleat

4. Penghambatan kerja enzim yang mengakibatkan terganggunya metabolisme sel atau

matinya sel.

5. Penghambatan sintesa asam nukleat dan protein yang berakibat terganggunya

Aktivitas metabolisme karena DNA, RNA dan protein memegang peranan penting

dalam mekanisme sel secara normal (Pelczar dan Chan, 2005 dalam J. Ulya, 2009).

2. Potensi Streptomyces sp. Sebagai Agen Biokontrol Mikroba Patogen Tular Tanah

Streptomyces sp. dapat bersifat saprofit, mampu mendekomposisi bahan organik seperti

lignoselulosa, patin dan kitin. Streptomyces sp. Di-994 dapat mengendalikan bakteri Rhizoctonia solani,

Hwang et al, (2001), meyatakan bahwa senyaw bioaktif asam fenil asetat dan sodium fenil asetat yang

dihasilkan oleh Streptomyces humidus mampu melawan P. capsici, R. solanacearum, F. oxysporum, F.

moniliforme, B. subtilis, R. solani.

Menurut Lestari (2007) dalam Anonim², (2012), Streptomyces sp. yang berperan sebagai bakteri

antagonis memiliki kemampuan menghasilkan senyawa anti mikroba. Soesanto (2008) menyatakan

bahwa mekanisme penghambatan agens pengendali hayati adalah cara kerja agens pengendali hayati di

dalam mengendalikan patogen tanaman. Cara kerja yang dilakukan oleh agens tersebut biasanya

menggunakan hasil metabolisme sekunder, baik berupa antibiotika, toksin, enzim, atau hormon, serta

tanpa melibatkan hasil metabolisme tersebut.

Menurut Shimizu et al. (2000) dalam Anonim², (2012), beberapa antibiotika yang

dihasilkan Streptomyces sp. adalah metabolit sekunder (alnumisin, Phythoxazolin A dan B-

D), antibiotika polyene, vinilamisin, dan geldamisin. Selain menghasilkan antibiotika

tersebut, Streptomyces sp. juga mampu memproduksi auksin indole-3-acetid acid (IAA) yang berperan

menstimulasi pertumbuhan tanaman (Tuomi et al., 1994 dalam Aryantha et al., 2004). IAA merupakan

auksin yang dihasilkan mikroba berguna dalam tanah yang diperkirakan menjadi salah satu mekanisme

dalam Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Soesanto, 2008 dalam Anonim², (2012).

Streptomyces sp. S4 adalah bakteri dari rizosfer terung yang memiliki kemampuan

antagonis cukup baik terhadap R. solanacearum secara in vitro dengan cara antibiosis dan mekanisme

penghambatan secara bakteriostatik. Bakteri ini mempunyai kemampuan yang baik dalam

memanfaatkan beberapa senyawa karbon (glukosa, fruktosa, maltosa, selobiosa, sukrosa, dan

trehalosa), nitrogen (histidin, prolin, dan sistein), mendegradasi makromolekul (gelatin, pati, tween 80,

eskulin, dan reaksi kuning telur), mampu tumbuh pada berbagai suhu (4-45 oC) dan kandungan garam,

serta dapat tumbuh pada medium yang mengandung kitin dan pektin (Djatmiko et al., 2007) (Anonim²,

2012).

Page 9: HPPT FIX

PENGHAMBATAN ACTINOMYCETES TERHADAP ERWINIA CAROTOVORA SUBSP.

CAROTOVORA SECARA IN VITRO

Salah satu faktor pembatas di lapangan dalam peningkatan produksi kualitas dan kuantitas tembakau

yaitu adanya serangan hama dan penyakit (Hartana, 1987). Salah satunya adalah penyakit busuk batang

berlubang yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora (Semangun, 2001). Tetapi

penyakit ini belum efektif dikendalikan menggunakan pestisida kimiawi maka alternatif pengendalian

perlu dikembangkan yaitu pengendalian menggunakan agen hayati. Salah satu mikroba yang memiliki

potensi sebagai agen pengendali hayati adalah Actinomycetes yang diketahui memiliki kemampuan

dalam menghasilkan berbagai antibiotik seperti streptomycin, aureomisin, oleandomisin, spiramycin dan

eritromisin (Suwandi, 1993). Actinomycetes juga dapat mengendalikan beberapa patogen seperti

Sclerotium rolfsii Saac. penyebab penyakit rebah semai pada tanaman kedelai dan F. oxysporum f.sp.

cubense penyebab penyakit layu fusarium pada pisang (Muhibuddin, 2010; Sudarma, 2010).

A. Eksplorasi dan Isolasi Actinomycetes

Isolasi dilakukan dari sampel tanah rhizosfer tanaman tembakau pada tanah dengan cara Hot Treatment

pada sampel tanah dengan suhu 121ºC, satu atm menggunakan autoklaf selama satu jam kemudian

dibuat seri pengenceran 10-1 sampai dengan 10-10. Sebanyak 50μl suspensi pada pengenceran 10-9 dan

10-10 ditumbuhkan pada YPGA. Untuk identifikasi sampai tingkat genus dilakukan dengan pengamatan

karakteristisasi secara morfologi menggunakan metode culture slide, pengujian Gram dan pengujian

Hipersensitif (HR) pada daun tembakau.

B. Kultur E. carotovora subsp. carotovora

Bakteri E.carotovora subsp. carotovora diperbanyak dengan cara digoreskan pada medium YPGA dalam

cawan Petri dengan menggunakan jarum ose yang kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 24

jam

C. Pengujian Daya Hambat dan Mekanisme secara In Vitro

Pengujian antibiosis dilakukan dengan cara menumbuhkan tiga titik biakan isolat Actinomycetes pada

medium YPGA, diinkubasikan 24 jam. Cawan Petri dibalik dan pada tutupnya ditetesi dengan satu ml

kloroform kemudian dibiarkan sampai menguap (2 jam). Menuangkan empat ml agar air 0,6% suhu 50ºC

yang sudah dicampuri dengan suspensi 0,2 ml E. carotovora ke dalam biakan Actinomycetes, kemudian

inkubasikan selama 24 jam dan dan diamati zona hambatan yang terbentuk. Untuk mekanisme

mekanisme penghambatan, media agar dalam zona hambatan diambil secara aseptis dengan scalpel

steril kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi berisi lima ml air pepton 1% dan dihancurkan dengan

jarum preparat. Air pepton berisi agar kemudian dishaker menggunakan rotary shaker selama 24 jam

pada suhu ruang. Air pepton yang menjadi keruh setelah 24 jam menunjukan mekanisme

penghambatan Actinomycetes bersifat bakteristatik. Air pepton yang tetap bening maka mekanisme

penghambatan bersifat bakterisidal.

Page 10: HPPT FIX

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009. Bakteri Antagonis Corynebacterium. www.thl-tbpp.blogspot.com. Akses 15 November

2011.

Balai Besar Peramalan Organisme Penggangu Tumbuhan, 2007. Efektivitas Bakteri Antagonis

Corynebacterium terhadap HDB/KRESEK.

Hanudin, W.N., Silvia, E., Djatnika, I., Marwoto, B., 2010. Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bacillus

subtilis, Pseudomonas fluorescens, dan Corynebacterium Non Patogenik Untuk Mengendalikan

Penyakit Karat Pada Krisan.

J. Ulya, 2009, Kemampuan Penghambatan Streptomyces spp. terhadap Mikroba Patogen Tular Tanah

Pada Beberapa Kondisi Pertumbuhan : Jenis media, Waktu Produksi, pH dan Suhu, dikutip dari

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/4626/Tinjauan%20Pustaka_2009j ul-

3.pdf?sequence=9, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.

Muhibuddin A. 2010. Antagonisme Streptomyces Terhadap Sclerotium rolfsii Saac. Penyebab Penyakit

Rebah Semai Pada Tanaman Kedelai. Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian.

Universitas Brawijaya

Sudarma MI. 2010. Seleksi Dan Pemanfaatan Actinomycetes Sebagai Mikroba Antagonis Yang Ramah

Lingkungan Terhadap Fusarium oxysporum f.sp cubense Secara In Vitro. Fakultas Pertanian.

Universitas Udayana

Suwandi U. 1993. Skrining mikroorganisme penghasil antibiotika. Cermin Dunia Kedokteran 89(48):46-48

Puryatiningsih, R. A., 2009, Isolasi Streptomyces Dari Rizosfer Familia Poaceae Yang Berpotensi

Menghasilkan Antibiotik Terhadap Escherichia Coli, Universitas Muhammadiyah Surakarta,

Surakarta.

Rahayu, M. 2011. Keefetifan agens Pseudomonas fluorescens dan ekstrak daun sirih terhadap penyakit

bakter pustul Xanthomonas axonopodis pada kedelai. Disampaikan pada Seminar Nasional Hasil

Penelitian KABI.

https://djarumbeasiswaplus.org/artikel/content/21/Potensi-Rhizobakteria-sebagai-Agen-Biofungisida-

untuk-Pengendalian-Jamur--Fitopatogen-fusarium-sp./