paling fix
DESCRIPTION
Paling Fix AIK SMESTER 1TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu
tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Di
sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang
disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak
mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak
mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik.
Kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan paling esensial.
Secara etimologis, tauhid berarti mengesakan, yaitu mengesakan Allah. Formulasi paling
pendek dari tauhid itu ialah kalimat thayyibah: la ilaha illa Allah, yang artinya tidak ada
Tuhan selain Allah. Dengan mengatakan "tidak ada Tuhan selain Allah", seorang manusia-
tauhid memutlakkan Allah Yang Maha Esa sebagai Khaliq atau Maha Pencipta, dan
menisbikan selain-Nya sebagai makhluk atau ciptaan-Nya. Karena itu, hubungan manusia
dengan Allah tak setara dibandingkan hubungannya dengan sesama makhluk.
Untuk itu sebagai seorang muslim, kita perlu mempelajari mengenai tauhid, baik
pengertian tauhid, pembagian tauhid, rukun tauhid, dan syarat-syarat kalimat tauhid.
1.2 Rumusan Permasalahan
Adapun rumusan masalah dalam materi paparan kali ini, yaitu :
1. Apa pengertian tauhid ?
2. Apa sajakah pembagian tauhid itu ?
3. Apa rukun tauhid ?
4. Apa saja syarat-syarat kalimat tauhid ?
1.3 Maksud dan Tujuan
Adapun tujuan dari materi paparan ini, yaitu :
1. Mengetahui pengertian tauhid
2. Mengetahui pembagian – pembagian dari tauhid itu sendiri
3. Mengetahui rukun tauhid
4. Mengetahui syarat-syarat yang menjadikan kalimat tauhid.
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 1
BAB II
ISI
I. Pengertian
Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-
yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan
penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian
baru menetapkannya”.
Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya Dari makna ini sesungguhnya dapat
dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa
Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun
seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan paling esensial.
Secara etimologis, tauhid berarti mengesakan, yaitu mengesakan Allah. Formulasi paling
pendek dari tauhid itu ialah kalimat thayyibah: la ilaha illa Allah, yang artinya tidak ada
Tuhan selain Allah. Dengan mengatakan "tidak ada Tuhan selain Allah", seorang manusia-
tauhid memutlakkan Allah Yang Maha Esa sebagai Khaliq atau Maha Pencipta, dan
menisbikan selain-Nya sebagai makhluk atau ciptaan-Nya. Karena itu, hubungan manusia
dengan Allah tak setara dibandingkan hubungannya dengan sesama makhluk.
Tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa
hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah
akan menjadi nilai (value) bagi manusia-tauhid, dan ia tidak akan mau menerima otoritas dan
petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk Allah. Komitmennya kepada Tuhan adalah utuh, total,
positif dan kukuh, mencakup cinta dan pengabdian, ketaatan dan kepasrahan (kepada Tuhan),
serta kemauan keras untuk menjalankan kehendak-kehendak-Nya.
II. Pembagian Tauhid
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak
dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga:
Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 2
1. Tauhid Rububiyah
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam
kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan
tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan
Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. Meyakini rububiyah yaitu
meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya
meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang
memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan
bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:
Artinya : “[Semua] pujian [karena] kepada Allah, yang menciptakan langit dan bumi
dan membuat kegelapan dan cahaya. Kemudian orang-orang kafir menyamarkan
[lain] dengan Tuhan mereka.” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik
mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah
dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:
Artinya : “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah),
’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”.
(QS. Az Zukhruf: 87)
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 3
Artinya : “Jika kamu bertanya kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi danmenundukkan matahari dan bulan?" mereka pasti akan
berkata, "Allah." Lalu bagaimana mereka tertipu? ” (QS. Al Ankabut 61)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah
diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya
Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada
orang-orang kafir jahiliyah”
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah
kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para
sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak
perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah
kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang
diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
2. Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik
yang zhahir maupun batin . Dalilnya:
Artinya : “Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami
meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala
sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang
dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh,
menyembelih.
Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah.
Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 4
Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain
beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain
Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan
Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:
“Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk
mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling
ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan
alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah.
Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan
kepada selainNya ditinggalkan”
Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat
bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka
tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan
syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah.
3. Tauhid Al Asma’ was Sifat
Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam
penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya
dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara
bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai
yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan
dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif .
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan
menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat
Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata
‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 5
Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah.
Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan
mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama
sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu
menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha
menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah
adalah tasybih dan tafwidh. Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan
sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:
Artinya : “[Dia adalah] Pencipta langit dan bumi. Dia telah dibuat untuk kamu dari
dirimu, pasangan,dan di antara, pasangan sapi; Dia mengalikan kamu demikian. Tidak
ada yang serupa dengan Dia, dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Melihat.” (QS.
Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan
menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang
ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan
kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan
sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan
Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita
berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah
mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat
dipahami oleh hamba-Nya.
III. Rukun – Rukun Tauhid
Inti ajaran islam adalah Laa ilaaha illallaah yang bermakna Laa ma'buda bihaqqin
illallaah = tiada yang diibadahi di segala langit dan bumi dengan haq kecuali hanya Allah.
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 6
Kalimat Tauhid Laa ilaaha illallaah memiliki dua rukun yaitu
An-Nafiyu) النفي = menafikan/meniadakan) dan Al-Itsbat) اإلثبات = menetapkan),
1. An-Nafy (pada kalimat: Laa ilaaha), yaitu menafikan segala bentuk sesembahan yang ada.
2. Al-Itsbat (pada kalimat: Illallaah), dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah
‘Azza wa Jalla.
1. An-Nafiyu
An-Nafiyu mencakup empat perkara, yaitu An-Nafy (meniadakan) Al-Alihah,
Ath-Thaghut, Al-Andad (tandingan-tandingan) dan Al-Arbab.
a) Al-Alihah
Alihah adalah jamak daripada ilah, yaitu apa yang dituju dengan sesuatu hal
(dengan tindakan atau perbuatan) dalam rangka mencari manfaat atau menolak
bala (bencana).
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha
illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka
menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya kami harus
meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?” (QS. As
Shaffat 37: 35-36)
“Apakah dengan menjadikan kebohongan kamu menghendaki sembahan-selain
Allah”. (QS Ash-Shaffat 37:86).
“Dan mereka (orang-orang kafir) heran bahwa telah datang kepada mereka
seorang pemberi peringatan dari mereka. Dan telah berkata orang-orang kafir ini
adalah penyihir pendusta. Apakah dia telah menjadikan sembahan-sembahan
menjadi sembahan yang satu. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang
mengherankan”. (QS. Shad :4-5)
Contoh dari sesuatu hal yang dianggap ibadah disini misalnya memberikan
sesajian-sesajian pada batu atau pohon keramat, melemparkan makanan ke laut
untuk persembahan, menyembelih tumbal untuk jin penunggu, meminta do’a
kepada penghuni kubur, dan yang semacamnya dengan maksud menolak bala
ataupun meminta manfaat dengan perbuatan tersebut.
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 7
Meskipun batu, pohon, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan
tetapi hakikat perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka
orang-orang yang melakukan hal itu adalah musyrik, meski mereka mengaku
muslim.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata:
“Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan
tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim
kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri
darinya” [Ad Durar As Saniyyah: 2/545]. Beliau juga berkata: “Siapa yang
berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” [Syarah Ashli Dienil Islam,
Majmu’ah tauhid].
b) Al-Arbab
Arbab adalah bentuk jamak daripada Rabb, yang artinya tuhan yang mengatur
dan menentukan hukum. Allah disebut Rabbul ‘alamin karena Allah yang
mengatur alam ini baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy
(syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia
berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai Rabb.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang
memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan
kamu mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah maka dia
disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui
bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,
padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. At Taubah 9:31)
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 8
Di dalam atsar yang hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani
kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membacakan ayat
itu dihadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami
dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)”
maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah
Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka
mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan
mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah
berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nashrani kepada mereka
itu” [HR. At Tirmidzi]
Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum
mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum/undang-undang, maka
dia mengkalim bahwa dirinya sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti
atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya
sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat
hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik.
“Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf 12:40)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak
menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan,
undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak
menyandarkan hukum kecuali kepada Allah. Dalam ayat ini penyandaran hukum
disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah,
sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada selain
Allah, itulah dien yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.
Fir’aun ketika mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan
dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai
sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi dia maksudkan “Sayalah pembuat
hukum bagi kalian yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 9
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan
surat Al An’am: 121 dan At Taubah: 31, mengatakan: “Sesungguhnya setiap
orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa
yang Allah syri’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia
musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb
(Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]
Jadi, kesimpulannya bahwa Arbab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya
berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab adalah
orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum
buatan para Arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada
Arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan
tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat
Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun, dia mengatakan:
“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia
seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang
beribadah kepada kita?” (QS. Al Mu’minun 23:47)
Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada
Fir’aun disebut beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang
taat kepada hukum buatan para Arbab itu adalah disebut orang yang beribadah
kepada Arbab tersebut. Inilah penjelasan tentang Arbab yang menjadi bagian
kedua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah.
c) Al-Andad
Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah
tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah memerintahkan agar kita hanya
menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh
seseorang mengedepankan yang lain terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah
berfirman tentang nidd ini atau tentang Andad ini:
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang
kamu mengetahui”. (QS. Al Baqarah 2: 22)
Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam, atau
sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam atau Tauhid, baik itu anak,
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 10
isteri, jabatan, harta, atau apa saja yang mana jika hal itu memalingkan seseorang
daripada Tauhid atau memalingkan seseorang dari pada Al Islam atau
menjerumuskan seseorang kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka
sesuatu hal itu sudah menjadi Andad, tandingan bagi Allah Subhanahuwata’ala.
“Dan dari sebagian manusia menjadikan selain Allah sebagai tandingan-
tandingan, mereka mencintai tandingan-tandingan itu seperti mencintai Allah”.
(QS. Al-Baqarah 2:165).
Singkatnya, segala sesuatu yang memalingkan seseorang daripada Tauhid dan Al
Islam disebut Andad.
d) Ath-Thaghut
Thagut adalah yang disembah dan diminta dari selain Allah, dan dia (yang
diminta dan disembah) ridlo terhadap yang demikian itu.
Thagut itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada lima :
1] Iblis, yang telah dilaknat oleh Allah.
2] Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela.
3] Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.
4] Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib, dan
5] Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah
diturunkan oleh Allah.
Sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam
adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala
sebagaimana yang Dia firmankan:
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka
mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut…”
(QS. An Nahl 16:36)
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran
semua Rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya
amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu
muslim atau musyrik, Allah ta’ala berfirman:
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 11
“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah
berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh” (QS. Al Baqarah 2:256)
Bila seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi
dia tidak kufur terhadap thaghut maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya
tidak diterima.
Sayyidina Umar ibn al-Khattab mengatakan, “Thogut adalah syaitan”
Jabir bin Abdullah berkata: “Thaghut adalah para dukun yang setan turun kepada
mereka di suatu daerah.”
Menurut Mujahid, “Thagut adalah setan yang berbentuk manusia, dia dijadikan
sebagai hakim pemutus perkara dan dialah orang yang mengendalikan urusan
mereka”
Imam Malik mengatakan, “thagut adalah semua hal selan Allah yang disembah
manusia. Semisal, berhala, pendeta, ahli sihir, atau semua hal yang menyebabkan
syirik.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan “orang yang dijadikan pemutus
perkara seperti hakim yan memutuskan perkara dengan selain Kitabullah (Al-
Qur’an) adalah toghut” [Majmu Fatawa : XXVIII/201]
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah berkata,”Thaghut adalah segala sesuatu yang
melampaui batas yang berupa ma’bud (yang diibadahi) atau matbu’ (yang diikuti)
atau mutha’ (yang ditaati). Sehingga toghut adalah semua orang yang dijadikan
pemutus perkara, selain Alloh dan Rasul-Nya didalam suatu kaum, atau mereka
yang dibadahi selain Alloh, atau yang mereka ikuti tanpa dasar keterangan dari
Alloh, atau yang mereka taati pada perkaraperkara yang mereka tidak mengetahui
bahwa taat kepadanya merupakan taat pada Alloh” (’lamul Muwaqqi’in ‘An
Rabbil ‘Alamin :I/50]
Menurut Sayid Qutb, “Thagut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran
dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah swt untuk hamba-Nya.
Thagut bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban, dan lain-lain yang tidak
berlandaskan ajaran Allah” [Fi Zhilalil Qur’an I/292]
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 12
Menurut Syaikh Muhammad Qutb, “Thogut adalah seseorang, organisasi atau
institusi, jama’ah, pemerintahan tradisi atau kekuatan yang menjadi panutan atau
aturan manusia, dimana manusia tidak dapat membebaskan diri dari perintahnya
dan larangannya.”
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
2. Engkau meninggalkannya,
3. Engkau membencinya,
4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya: “Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami
ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan
dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…”
(QS. Al Mumtahanah 60: 4)
Jadi Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, dan
meninggalkan empat hal tadi: Alihah (sembahan-sembahan), Arbab (tuhan-tuhan
pengatur), Andad (tandingan-tandingan), dan Thaghut.
2. Al-Itsbat
Al-Itsbat mencakup empat perkara, yaitu Al-Qashdu, At-Ta’zhim dan Al-
Mahabbah, Al-Khauf dan Ar-Raja’, dan At-Taqwa.
a) Al-Qashdu, adalah tidaklah ibadah itu ditujukan melainkan hanya kepada Allah.
b) At-Ta’zhim adalah pengagungan hanya untuk Allah. Dan Al-Mahabbah, adalah
cinta hanya untuk dan karena Allah.
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 13
“Dan orang-orang yang beriman lebih dahsyat/hebat cintanya kepada Allah”.
(QS. Al-Baqarah 2:165).
c) Al-Khauf adalah rasa takut/khawatir mendapat kemurkaan dan siksa/adzab
Allah (neraka). Dan Ar-Raja’, adalah berharap mendapat rahmat dan ni’mat dari
Allah (surga). Ayat yang berkenaan dengan berharap ni’mat Allah dan takut
terhadap siksa Allah.
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami
dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada
Kami.’ (QS. An-Anbiya’ 21:90)
“Sesungguhnya demikianlah syetan beserta pengikut-pengikutnya menakut-nakuti
(orang-orang beriman). Maka janganlah kalian takut kepada mereka (setan dan
wali-wali syetan), namun takutlah kepada-Ku, jika kalian orang-orang yang
beriman”. (QS. Ali ‘Imran 3:175)
“Maka barangsiapa berharap berjumpa Rabbnya (Allah), hendaklah beramal
dengan amalan Shalih, dan tidak menyekutukan dalam beribadah kepada
Rabbnya (Allah) dengan seseorangpun”. (QS. Al-Kahfi 18:110)
d) At-Taqwa, adalah takut mendapat kemurkaan dan siksa Allah dengan
meninggalkan amalan syirik dan maksiat, ikhlas beribadah kepada Allah,
mengikuti perintah Allah dan Syari’at Allah.
“Maka berbekallah kalian (untuk menjumpai kematian dan alam akhirat), maka
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah Taqwa”. (QS. Al-Baqarah 2:197)
berkata ‘Abdullah bin Mas’ud عنهرضىالله tentang Taqwa :
“Sesungguhnya kamu beramal ta’at kepada Allah, di atas cahaya (petunjuk) dari
Allah, kamu berharap pahala Allah, dan bahwa kamu meninggalkan
maksiat/durhaka kepada Allah di atas cahaya (petunjuk) dari Allah, kamu takut
(khawatir,cemas) siksa Allah”.
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 14
IV. Syarat – Syarat Kalimat Tauhid
Syarat (الشرط ) secara bahasa artinya tanda atau alamat. Secara istilah, makna syarat
adalah sesuatu yang apabila tidak ada menjadikan tidak adanya hukum, namun adanya tidak
mengharuskan pasti adanya hukum.
Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata kepada orang yang bertanya kepadanya:
“Bukankah La Ilaha Illallah kunci surga?” Ia menjawab: “Betul. Tetapi, tiada satu kunci-pun
kecuali ia memiliki gigi-gigi, jika kamu membawa kunci yang memiliki gigi-gigi, pasti
engkau dapat membuka pintu, namun jika engkau membawa kunci yang tidak ada gigi-
giginya pasti pintu itu tak akan terbuka.” (HR. Bukhari dalam ta’liq).
Dan gigi-gigi kunci La Ilaha Illallah adalah syarat La Ilaha Illallah. Yaitu sebagai berikut:
1. Al Ilmu
firman Allah ta’ala :
“Maka ketahuilah, [Muhammad] bahwa tidak ada Tuhan selain Allahdan mntalah ampunan
untuk dosamu bagi orang-orang percaya dan wanita yang beriman. Dan Allah mengetahui
gerakanmu dan tempat istirahatmu.” (QS. Muhammad: 19)
Maksudnya kita harus mengetahui betul makna dan segala konsekwensi ketika kita
sudah mengucapkan kalimat “laa ilaha illallah”. Memahami makna kalimat tersebut, baik dari
sisi penafian (peniadaan) maupun dari sisi penetapan. Paham bahwa kita harus menjauhi dan
meningglakan segala macam bentuk sesembahan dan peribatadan kepada selain Allah, bara’
darinya dan para pelakunya dan hanya beribadah kepada Allah semata dalam segala bentuk
ibadah dalam arti yang luas, sebagaimana telah berlalu penjelasan makna ibadah dan sifatnya.
Sehingga tidak terjadi kontradiksi antara amaliyah dan ucapan. Sebagaimana Orang-orang
kafir quraisy jaman dahulu, mereka konsisten dengan kemusyrikannya dan mereka paham
betul makna “laa ilaha illallah”, makanya mereka ketika diseru untuk mengucapkan “laa ilaha
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 15
illallah”, mereka tidak mau dan menjawab dengan konsekwensi dari kalimat tersebut. Allah
berfirman:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah”
(Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, Dan
mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-sembahan
Kami karena seorang penyair gila?” (ash-shaffat :35-36)
Jadi sekedar pengucapan saja tanpa mengetahui maknanya dan segala konsekwesinya adalah
sia-sia dan belum bisa mengantarkan pelakunya ke surga. Rosulullah bersabda:
“Barangsiapa yang meninggal sedangkan dia mengetahui makna La Ilaha Illallah pasti
masuk surga.” (HR. Muslim)
2. Al- Yaqin
Lawan yakin adalah keragu-raguan (syak). Yakin merupakan kekuatan dan
kesempurnaan ilmu. Seorang yang mengatakan kalimat ini haruslah benar-benar meyakini
pengertian dan kandungan kalimat tersebut tanpa adanya keraguan dan kebimbangan
sedikitpun. Karena iman itu butuh keyakinan, tidak cukup dengan prasangka.
Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta
dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat:
15)
Apabila seseorang ragu-ragu dalam keimanannya, maka termasuklah dia dalam orang-
orang munafik. Allah Ta’ala mengatakan kepada orang-orang munafik tersebut,
“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 16
beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka
selalu bimbang dalam keraguannya.”(QS. At Taubah : 45)
Dalam beberapa hadits, Allah mengatakan bahwa orang yang mengucapkan laa ilaha
illallah akan masuk surga dengan syarat yakin dan tanpa ada keraguan. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan
Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (baca: meninggal dunia) dengan
membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan memasukkannya ke
surga” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah
utusan Allah. Seorang hamba yang bertemu Allah dengan keduanya dalam keadaan tidak
ragu-ragu, Allah tidak akan menghalanginya untuk masuk surga.” (HR. Muslim)
Supaya orang yang mengucapkannya bisa masuk surga, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam menjadikan syarat agar dalam mengucapkannya tidak ragu terhadapnya dan
hatinya meyakininya dengan penuh.
3. Al Ikhlas
Lawannya adalah syirik. keikhlasan disini bermakna memurnikan, maka apabila
ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam
kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’
dan sum’ah.
Allah swt berfirman: “…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama
kepada-Nya.”(az-Zumar: 2)
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 17
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas
(memurnikan) keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al
Bayyinah [98] : 5)
Dalam shahih Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Orang yang paling berbahagia mendapatkan syafaatku pada hari kiamat adalah dia yang
mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah ikhlash dari hatinya atau dirinya.”
4. Ash shidqu
Lawannya adalah mendustakan. Seorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid, maka
orang tersebut harus membenarkannya di dalam hatinya, di mana hatinya selalu sejalan
dengan lisannya. Tidaklah cukup bagi kita mengucapkan kalimat الله اال اله saja, namun ال
ucapan ini juga harus dibarengi dengan adanya pembenaran di dalam hati. Adapun orang
yang hanya menampakkan lahirnya saja dengan mengucapkan kalimat tersebut, akan tetapi
dia tidak membenarkan dalam hatinya, maka dia adalah seorang munafik. Allah Ta’ala
berfirman:
“Mereka yang tetap tinggal dari Badui akan mengatakan kepadamu, "properti kami
dankeluarga kami diduduki kita, sehingga meminta pengampunan bagi kita."
Merekamengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak di dalam hati mereka. Katakanlah,
"Lalu siapa yang bisa mencegah Allah sama sekali jika Dia ditujukan untuk Anda
membahayakan atau ditujukan untuk kamu mendapatkan keuntungan? Sebaliknya, yang
pernah adalah Allah, dengan apa yang kamu lakukan, Mengenal.” (QS. Al-Fath: 11)
Begitu juga pada firman-Nya,
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 18
kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang
munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun [63] : 1)
Untuk mendapatkan keselamatan dari api neraka tidak hanya cukup dengan
mengucapkan kalimat tauhid tersebut, tetapi juga harus disertai dengan pembenaran
(kejujuran) dalam hati. Maka semata-mata diucapkan tanpa disertai dengan kejujuran dalam
hati, tidaklah bermanfaat.
Lihatlah hadits dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali
Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali
Allah akan mengharamkan neraka baginya.” (HR. Bukhari)
5. Al mahabbah
Yaitu mencintai kalimat ini serta makna yang terkandung di dalamnya dan apa saja
yang ditunjukkannya, dituntutnya, dan orang-orang yang menggucapkannya, mengamalkan
dan berpegang teguh dengannya, serta membenci semua hal yang bertentangan dengannya.
dan merasa bahagia dengannya. Bahkan cinta merupakan salah satu unsur pokok dalam
ibadah di samping rasa takut dan harap. Barangsiapa mencintai Allah ia akan mencintai
agama-Nya, barangsiapa yang tidak mencintainya maka jangan diharap ia akan mencintai
agama-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. (Al Baqoroh: 165)
Dalam ayat ini, Allah mengabarkan bahwa orang-orang mukmin sangat cinta kepada
Allah. Hal ini dikarenakan mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam
cinta ibadah. Sedangkan orang-orang musyrik mencintai sesembahan-sesembahan mereka
sebagaimana mereka mencintai Allah. Tanda kecintaan seseorang kepada Allah adalah
mendahulukan kecintaan kepada-Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya dan juga
membenci apa yang dibenci Allah walaupun dia condong padanya. Sebagai bentuk cinta pada
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 19
Allah adalah mencintai wali Allah dan Rasul-Nya serta membenci musuhnya, juga mengikuti
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencocoki jalan hidupnya dan menerima petunjuknya.
Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
“Tiga hal, apabila ketiganya ada pada diri seseorang maka ia akan bisa merasakan
manisnya Iman; Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya,
dia mencintai seseorang hanya karena Allah, dia benci untuk kembali kepada kekufuran
sebagaimana bencinya dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
6. Al inqiyad (tunduk dan patuh) terhadap tuntutannya.
Yaitu seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah haruslah patuh terhadap syari’at
Allah serta tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Serta tunduk terhadap konsekwensi
kalimat ه الل �ال إ �له إ Lawan sikap tunduk adalah al-i’radh (cuek). Artinya, sama sekali tidak .ال
mau melaksanakan konsekwensi kalimat tauhid tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan. . .” (QS. Al-Nisa’: 125)
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS.
Luqman: 22)
Makna Yuslim Wahjahu: dia menyerahkan diri dan tunduk dengan banyak berbuat
baik dan bertauhid. Sedangkan orang yang tidak menyerahkan diri dan tidak tunduk kepada
Allah, maka dia tidak termasuk berpegang teguh dengan tali yang kuat (Laa Ilaaha Illallaah).
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; “Tiada beriman salah seorang kalian
sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. al Baihaqi)
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 20
7. Al Qabul (menerima)
Artinya, menerima dengan sepenuh hati setiap konsekwensi kalimat tauhid. Lawan
dari sikap menerima adalah menolak. Seorang muslim yang mengaku dirinya beriman sudah
seharusnya menerima kalimat ini dengan hati dan lisannya. Karena ada sebagian manusia
yang mengucapkannya dengan mengetahui maknanya tapi ia tidak menerima seruan orang
yang mengajaknya. Hal ini bisa disebabkan karena kesombongan, dengki atau sebab-sebab
yang lain. Maka barangsiapa yang tidak mau menerima kalimat ini, menolaknya, bahkan
menyombongkan diri darinya, maka dia telah kafir. Karena sikap menolak kalimat tauhid ini,
serupa dengan yang terjadi di kalangan kaum kafir Quraisy di mana mereka melawan dan
bersikap sombong serta tidak mau menerima kalimat tauhid tersebut. Allah berfirman:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah”
(Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, Dan
mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-sembahan
Kami karena seorang penyair gila?” (ash-shaffat :35-36)
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti air hujan lebat
yang turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan
menumbuhkan rerumputan. Juga ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman),
namun dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia (melalui tanah
tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan ternaknya, pen) dan
bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah lainnya yang mendapatkan hujan
adalah tanah kosong, tidak dapat menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput
(tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah dan apa yang aku bawa
(petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu dia belajar dan mengajarkannya.
Permisalan lainnya adalah permisalah orang yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan
tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 21
BAB III
PENUTUP
Tauhid ialah meyakini keesaan Allah dalam Rububiyah, ikhlas beribadah kepada-
Nya, serta menetapkan bagiNya nama-nama dan sifat-sifatnya. Dengan kata lain tauhid itu
ada tiga macam, yaitu tauhid rububiyah, tuhid uluhiyah dan tauhid asma’ was sifat.
Rukun tauhid itu ada dua, yaitu :
1. An-Nafy (pada kalimat: Laa ilaaha), yaitu menafikan segala bentuk sesembahan yang ada.
2. Al-Itsbat (pada kalimat: Illallaah), dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah
‘Azza wa Jalla.
Syarat-syarat tauhid ada 7, yaitu :
1. Al Ilmu
2. Al- Yaqin
3. Al Ikhlas
4. Ash shidqu
5. Al mahabbah
6. Al inqiyad
7. Al Qabul
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 22
DAFTAR PUSTAKA
Purnama, Yulian. 2011. Makna Tauhid. Online : http://muslim.or.id/aqidah/makna-
tauhid.html , di akses 22 November 2011.
Rais, M. Amien. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1996, hal 13-
17.
Qari, Abu’. 2011. Syarat kalimat tauhid “laa ilaha illallah”. Online :
www.mimbartauhid.wordpress.com, diakses 22November 2011.
Faisalman. 2008. An-Nafyu wal Itsbat. Online : www. faisalman.wordpress.com, di akses 22 November
2011.
Tauhid Sebagai Landasan Aqidah, Iman dan Islam Page 23