endometriosis fix
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

ENDOMETRIOSIS
I. Definisi
Endometriosis adalah satu keadaan di mana jaringan endometrium yang
masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri atas
kelenjar-kelenjar dan stroma, terdapat di dalam miometrium atau pun di luar
uterus. Bila jaringan endometrium terdapat di dalam miometrium disebut
adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut endometriosis. Pada endometriosis
jaringan endometrium ditemukan di luar kavum uteri dan di luar miometrium.
Daerah yang paling sering terkena adalah organ pelvis dan peritoneum,
walaupun organ lain seperti paru-paru juga ikut terkena meskipun jarang.
Penyakit ini berkembang dari lesi yang kecil dan sedikit pada organ pelvis
yang normal kemudian menjadi massa keras infiltrat dan kista endometriosis
ovarium (endometrioma). Perlangsungan endometriosis sering disertai
pembentukan fibrosis dan perlekatan luas menyebabkan gangguan anatomi
pelvis.1,2
Manifestasi klinisnya dapat berupa lesi, biasanya didapatkan pada
permukaan peritoneum dari organ reproduksi, tetapi dapat juga muncul
didaerah mana saja di tubuh wanita (gambar 1). Ukuran dari lesi sangat
bervariasi mulai dari mikroskopik hingga massa invasif yang luas yang
mengikis bagian dalam organ dan menyebabkan perlengketan luas. Pada
beberapa kasus endometriosis dapat berupa asimptomatik, dapat pula
menimbulkan gejala nyeri pinggang bahkan sampai infertilitas. Dampak
psikologis dari rasa nyeri hebat yang terjadi semakin bertambah akibat
pengaruh penyakit ini terhadap fertilitas pasien. Penyakit ini tak pernah
sembuh sempurna dan terapi ditujukan untuk penekanan lesi secara medis
(medical supression) – maupun secara pembedahan (surgical excision) untuk
meringankan keluhan penderita1,2
Page | 1

Gambar 1. Lokasi yang sering ditemukan endometriosis(Dikutip dari kepustakaan 3)
II. Insidens dan Epidemiologi
Kebanyakan wanita dengan penyakit ini seringkali tak bergejala, dan
modalitas pencitraan memiliki sensitivitas rendah untuk diagnosis. Wanita
dengan endometriosis umumnya tidak menunjukkan gejala, subfertil, atau
menderita berbagai tingkat nyeri panggul. Metode utama dari diagnosis adalah
laparoskopi, dengan atau tanpa biopsi untuk diagnosis histologis (Kennedy,
2005; Marchino, 2005). Dengan menggunakan standar ini, peneliti telah
melaporkan kejadian tahunan endometriosis menjadi 1,6 kasus per 1.000
perempuan berusia antara 15 dan 49 tahun.
Pada wanita tanpa gejala, prevalensi endometriosis berkisar 2% - 22%,
tergantung pada populasi yang diteliti (Eskenazi, 1997; Mahmood, 1991;
Moen, 1997). Namun, karena kaitannya dengan infertilitas dan nyeri pelvis,
endometriosis terutama lebih menonjol pada sub-populasi perempuan dengan
keluhan ini. Pada wanita infertil, prevalensi telah dilaporkan antara 20%
sampai 50% dan pada mereka dengan nyeri panggul, 40% sampai 50%.3
Dalam tiga dekade terakhir ini terjadi peningkatan angka kejadian
penyakit ini. Angka kejadian antara 5-15% dapat ditemukan di antara semua
operasi pelvik. Yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih
Page | 2

sering ditemukan pada wanita yang belum menikah pada usia muda, dan yang
tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara klinis yang
terus menerus tanpa diselingi kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya
endometriosis.4
Setiap tahunnya angka kejadian endometriosis terus bertambah, dan
hingga saat ini diperkirakan ada 70 juta penderita penyakit ini. Di Amerika
Serikat, diperkirakan lebih dari 7 juta wanita mengidap endometriosis. Angka
kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi
epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,6-
69,5% pada kelompok infertilitas. Bila persentase tersebut dikaitkan dengan
jumlah penduduk sekarang, maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta
penderita endometriosis pada wanita usia produktif.5
III. Anatomi Uterus
A. Uterus
Uterus adalah suatu struktur otot yang cukup kuat, bagian luarnya
ditutupi oleh peritoneum sedangkan rongga dalamnya dilapisi oleh mukosa
uterus. Dalam keadaan tidak hamil, uterus terletak dalam rongga panggul di
antara kandung kemih dan rektum. Uterus berbentuk seperti buah pear,
mempunyai rongga yang terdiri dari tiga bagian besar, yaitu: badan uterus
(korpus uteri), leher uterus (serviks uteri), dan rongga uterus (kavum uteri).
Bagian uterus antara kedua pangkal tuba, yang disebut fundus uteri,
merupakan bagian proksimal uterus. Serviks uteri terbagi atas dua bagian
yaitu pars supravaginal dan pars vaginal. Bagian uterus antara serviks uteri
dan korpus disebut ismus atau segmen bawah uterus, bagian penting dalam
kehamilan dan persalinan karena akan mengalami peregangan.6
Dinding uterus secara histologik terdiri atas tiga lapisan: lapisan serosa
(lapisan peritoneum), lapisan otot (lapisan miometrium), lapisan mukosa
(endometrium). Posisi dan letak uterus dalam rongga panggul terfiksasi
dengan baik karena disokong dan dipertahankan oleh: tonus uterus sendiri,
tekanan intra abdominal, otot-otot dasar panggul, dan ligamen-ligamen seperti
Page | 3

ligamentum kardinal kanan dan kiri, ligamentum sakrouterina, ligamentum
rotundum, ligamentum latum, dan ligamentum infundibulopelvikum.6
Pada uterus selaput yang melapisi permukaan dalam miometrium
disebut endometrium. Endometrium ini mempunyai tiga fungsi penting, yaitu
sebagai tempat nidasi, tempat terjadinya proses haid, dan sebagai petunjuk
gangguan fungsional dari steroid seks. Pada usia reproduksi dan dalam
keadaan tidak hamil, endometrium mengalami berbagai perubahan siklik yang
berkaitan dengan aktivitas ovarium. Endometrium terdiri atas dua lapisan,
yaitu lapisan basal dan lapisan fungsional. Dibawah pengaruh estrogen,
lapisan fungsional akan berploriferasi dan di bawah pengaruh estrogen dan
progesteron lapisan itu akan mengalami sekresi. Bila terjadi fertilisasi dan
implantasi, maka dari lapisan ini akan dibentuk desidua, dan bila tidak, akan
timbul haid lagi.4
Gambar 2.Uterus(Dikutip dari kepustakaan 7)
B. Ovarium
Page | 4

Gambar 3. Ovarium(Dikutip dari kepustakaan 3)
Terdapat dua ovarium di tubuh wanita, masing-masing di kiri dan kanan
uterus, dilapisi mesovarium dan tergantung di belakang ligamentum latum.
Bentuknya seperti buah almon, sebesar ibu jari tangan berukuran 2,5-5 cm x
1,5-2 cm x 0,6-1 cm. Ovarium ini posisinya ditunjang oleh mesovarium,
ligamentum ovarika, dan ligamentum infundibulopelvikum.6
Menurut strukturnya ovarium terdiri dari: korteks dan medulla. Korteks
atau zona parenkimatosa terdiri dari tunika albuginea, yaitu epitel kubik,
jaringan ikat, stroma, folikel primordial, dan folikel de Graaf. Medulla atau
zona vaskulosa terdiri dari stroma berisi pembuluh darah, serabut saraf, dan
otot polos.Pada wanita diperkirakan sekitar 100 ribu folikel primer. Pada masa
reproduktif, tiap bulan satu folikel atau terkadang dua folikel akan matang.
Fungsi ovarium yang utama adalah menghasilkan sel telur, menghasilkan
hormon progesteron dan estrogen serta berperan dalam proses siklus haid.6
Page | 5

Gambar 4. Siklus Haid(Dikutip dari Kepustakaan 3)
Siklus haid dapat dibedakan atas dua, yaitu :4
a) Siklus Ovarium
1. Fase Folikular
Siklus diawali dengan hari pertama menstruasi atau terlepasnya
endometrium. FSH merangsang pertumbuhan beberapa folikel
primordial dalam ovarium. Umumnya, hanya satu yang terus
berkembang dan menjadi folikel de Graaf dan yang lainnya
berdegenerasi. Folikel terdiri dari sebuah ovum dan dua lapisan sel
yang mengelilinginya. Lapisan dalam, yaitu sel-sel granulosa
mensintesis progesteron yang disekresi ke dalam cairan folikular
selama paruh pertama siklus menstruasi dan bekerja sebagai prekursor
pada sintesis estrogen oleh lapisan sel teka interna yang
mengelilinginya. Estrogen disintesis dalam sel-sel lutein pada teka
interna. Di dalam folikel, oosit primer mulai menjalani proses
pematangannya. Pada waktu yang sama, folikel yang sedang
berkembang mensekresi estrogen lebih banyak. Peningkatan estrogen
memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik untuk menekan
produksi FSH, sehingga lobus anterior hipofisis dapat mengeluarkan
hormon gonadotropin yang kedua, yakni LH (Luteinizing Hormone).4
Page | 6

2. Fase Ovulasi
Estrogen merupakan faktor utama yang berperan pada ovulasi.
Peningkatan jumlah estrogen mengakibatkan feed back positif ke
hipofisis anterior untuk menghasilkan LH. Sekresi LH terjadi
perlahan-lahan pada hari ke-8 hingga 12, dan semakin cepat di atas
hari 12. Di bawah pengaruh LH, folikel de Graaf menjadi lebih
matang mendekati permukaan ovarium dan kemudian terjadilah
ovulasi.4
Pada ovulasi ini kadang-kadang terdapat perdarahan sedikit yang
akan merangsang peritoneum di pelvis, sehingga timbul rasa sakit yang
disebut intermenstrual pain. Setelah ovulasi terjadi, folikel de Graaf
berubah menjadi korpus rubrum (berwarna merah oleh karena
perdarahan tersebut di atas) yang kemudian menjadi korpus luteum
(warnanya menjadi kuning) yang menghasilkan progesteron dan akan
berpengaruh terhadap endometrium.
3. Fase Luteal
Fase ini ditandai dengan produksi progesteron oleh korpus luteum
dalam ovarium. Produksi progesteron bergantung dari produksi LH
oleh hipofisis. Bila tidak ada pembuahan, korpus luteum berdegenerasi
dan ini mengakibatkan kadar estrogen dan progeteron menurun. Bila
terjadi pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut
dipertahankan.4
b) Siklus Endometrium
1. Fase proliferasi
Segera setelah menstruasi, endometrium dalam keadaan tipis dan
dalam keadaan istirahat. Kadar estrogen yang meningkat dari folikel
yang berkembang akan merangsang stroma endometrium untuk mulai
tumbuh dan menebal, kelenjar-kelenjar menjadi hipertrofi dan
berproliferasi serta pembuluh darah menjadi banyak. Kelenjar-kelenjar
dan stroma berkembang sama cepatnya. Kelenjar makin bertambah
panjang tetapi tetap lurus dan berbentuk tubulus. Stroma cukup padat
Page | 7

pada lapisan basal tetapi makin ke permukaan semakin longgar.
Pembuluh darah akan mulai berbentuk spiral dan lebih kecil. Lamanya
fase proliferasi sangat berbeda-beda pada tiap orang dan berakhir pada
saat terjadinya ovulasi.4
2. Fase Sekresi
Setelah ovulasi, dibawah pengaruh progesteron yang meningkat
dan terus diproduksinya estrogen oleh korpus luteum, endometrium
mulai menebal. Kelenjar menjadi lebih besar dan berkelok-kelok dan
epitel kelenjar menjadi berlipat-lipat. Stroma menjadi edematosa dan
pembuluh darah menjadi makin berebentuk spiral dan melebar.
Lamanya fase sekresi sama pada setiap perempuan yaitu 14 ± 2 hari.4
3. Fase Menstruasi
Korpus luteum berfungsi sampai kira-kira hari ke-23 atau 24 pada
siklus 28 hari. Bila tidak ada pembuahan, korpus luteum berdegenerasi
dan ini mengakibatkan kadar estrogen dan progesteron menurun.
Menurunnya kadar estrogen dan progesteron menimbulkan efek pada
arteri yang berkelok-kelok di endometrium. Tampak dilatasi dan statis
sengan hiperemia yang diikuti oleh spasme dan iskemia. Sesudah itu
terjadi degenerasi serta perdarahan dan pelepasan endometrium yang
nekrotik. Proses ini disebut haid atau mensis. Bilamana ada
pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut akan
dipertahankan, bahkan berkembang menjadi korpus luteum
graviditatis.4
Perdarahan menstruasi sebagian besar berasal dari arteri dan
sebagian kecil dari vena. Sekret yang dikeluarkan agak berbau karena
adanya sekresi dari kelenjar sebaseus dan dekomposisi elemen darah.
Darah menstruasi memiliki jumlah protrombin dan fibrinogen yang
kurang tetapi kaya akan kalsium. Secara mikroskopik darah menstruasi
terdiri dari sel-sel darah merah, sejumlah besar leukosit,epitel vagina,
mukus servikal, fragmen endometrium dengan makrofag, histiosit, sel
Page | 8

mast dan bakteri. Sekret menstruasi juga terdiri dari kolestrol,
estrogen, lipid dan prostaglandin.4
IV. Etiologi & Patogenesis
Penyebab endometriosis masih belum diketahui. Beberapa teori muncul
menyangkut faktor anatomis, imunologis, hormonal, dan genetik.3,8,9,10
1. Teori Implantasi dan Regurgitasi
Teori yang juga dikenal sebagai teori menstruasi retrograde ini pertama
kali dikemukakan oleh John A.Sampson pada tahun 1927, endometriosis
terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke
dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid didapati
sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang masih
hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis. Teori ini
paling banyak penganutnya, namun teori ini belum dapat menerangkan
kasus endometriosis di luar pelvis. Teori ini berdasarkan 3 asumsi:
pertama, terjadi menstruasi retrograde melalui tuba Fallopi selama
menstruasi; kedua, refluks jaringan endometritik viabel pada kavum
pertoneum; ketiga, jaringan endometritik yang viabel dapat melengket
pada peritoneum melalui rangkaian proses invasi, implantasi, dan
proliferasi. Awalnya teori ini tidak populer dan cukup lama ditinggalkan
karena menstruasi retrograde diasumsikan sangat jarang terjadi. Beberapa
penelitian kemudian membuktikan bahwa angka kejadian menstruasi
retrograde cukup tinggi. Mula-mula oleh Watkins pada tahun 1938 yang
melaporkan adanya tumpahan darah haid melalui tuba Fallopi wanita yang
dilakukan operasi laparotomi saat haid. Setelah itu Goodal melaporkan
menstruasi retrograde terjadi pada 50 persen wanita yang dilakukan
laparotomi saat haid. Penelitian terakhir dengan pemeriksaan laparoskopi
melaporkan angka kejadian menstruasi retrograde mencapai 70-90 persen
wanita.8
Page | 9

Gambar 5. Teori Mentruasi Retrograde(Dikutip dari kepustakaan 11)
2. Teori Metaplasia ( Rober Meyer)
Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena
rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat
mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan
menyebabkan metaplasia dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan
endometrium. Teori metaplasia selom (coelomic) menunjukkan bahwa
peritoneum parietalis adalah jaringan pluripotensial yang dapat mengalami
transformasi metaplasia menjadi jaringan histologi yang tidak dapat
dibedakan dari endometrium normal. Karena ovarium dan progenitor
endometrium, saluran mullerian, berasal dari epitel selom, metaplasia
dapat menjelaskan perkembangan endometriosis ovarium. Selain itu, teori
tersebut telah diperluas sampai mencakup peritoneum karena potensi
proliferasi dan diferensiasi dari mesotelium peritoneal. Teori ini menarik
pada kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi, seperti pada wanita
premenarche dan menopause, dan pada laki-laki dengan karsinoma prostat
diterapi dengan estrogen dan orchiektomi. Namun, tidak adanya
endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel selom menentang
teori ini. 3,9,10
Page | 10

3. Teori Imunologik
Menurut teori ini faktor genetik dan imunologis sangat berperan
terhadap timbulnya endometriosis. Ditemukan penurunan imunitas seluler
pada jaringan endometrium wanita yang menderita endometriosis. Cairan
peritoneumnya ditemukan aktivitas makrofag yang meningkat, penurunan
aktivitas natural killer cell, dan penurunan aktivitas sel-sel limfosit.
Makrofag akan mengaktifkan jaringan endometriosis dan penurunan
sistem imunologis tubuh akan menyebabkan jaringan endometriosis terus
tumbuh tanpa hambatan. Makin banyak regurgitasi darah haid, makin
banyak pula sistem pertahanan tubuh yang terpakai.Pada wanita dengan
darah haid sedikit, atau pada wanita yang jarang haid, sangat jarang
ditemukan endometriosis.Disamping itu masih terbuka kemungkinan
timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran melalui darah ataupun
limfe.3,8
4. Teori Penyebaran Limfatik dan Hematogen ( Halban)
Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui
saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke
berbagai tempat pelvis dimana jaringan. Temuan endometriosis di lokasi
yang tidak biasa, seperti perineum atau pangkal paha, memperkuat teori
ini. Wilayah retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik berlimpah. Dengan
demikian, pada kasus-kasus di mana tidak ada ditemukan implantasi
peritoneal, tetapi semata-mata merupakan lesi retroperitoneal yang
terisolasi, diduga menyebar secara limfatik. Selain itu, kecenderungan
adenokarsinoma endometrium untuk menyebar melalui jalur limfatik
menunjukkan endometrium dapat diangkut melalui jalur ini. Meskipun
teori ini tetap menarik, beberapa studi telah melakukan eksperimen
mengevaluasi bentuk transmisi endometriosis ini.3
Dari beberapa teori penyebab endometriosis yang dikemukakan
beberapa pustaka juga memaparkan faktor-faktor resiko yang terdapat pada
endometriosis:
Page | 11

1. Familial clustering
Beberapa bukti yang berkaitan dalam terjadinya endometriosis.
Meskipun pola warisan genetik mendel yang telah diidentifikasi tidak
jelas, kejadian meningkat pada anak kandung. Sebagai contoh dalam studi
genetik wanita dengan endometriosis, Simpson dan rekan-rekannya (1980)
mencatat bahwa 5,9% dari saudara kandung perempuan dan 8,1% dari ibu
yang telah menderita endometriosis dibandingkan dengan 1% dari saudara
perempuan tingkat pertama suami. Penelitian lebih lanjut telah
mengungkapkan bahwa wanita dengan endometriosis dan anak kandung
yang menderita endometriosis lebih cenderung memiliki endometriosis
berat (61%) daripada wanita tanpa anak kandung yang menderita
endometriosis (24%). Selain itu, Stefansson dan rekan-rekannya (2002),
dalam analisis mereka dari studi berbasis populasi besar di Islandia,
menunjukkan koefisien kekerabatan yang lebih tinggi pada wanita dengan
endometriosis dibandingkan dengan kontrol. Dalam studi ini, rasio risiko
adalah 5.2 untuk saudara kandung dan 1,56 untuk sepupu. Studi juga
menunjukkan indeks untuk endometriosis pada pasangan kembar
monozigot, memberi kesan sebuah dasar genetik.3
2. Cacat anatomi
Obstruksi saluran reproduksi dapat menjadi predisposisi
perkembangan endometriosis, kemungkinan melalui eksaserbasi
menstruasi retrograd. Dengan demikian, endometriosis telah diidentifikasi
pada wanita dengan selaput dara imperforata dan septum vagina
transversal. Karena asosiasi ini, laparoskopi diagnostik untuk
mengidentifikasi dan mengobati endometriosis disarankan pada saat
operasi korektif untuk banyak anomali. Perbaikan cacat anatomi tersebut
dilakukan untuk mengurangi risiko pengembangan endometriosis.3
3. Polusi Lingkungan.
Ada banyak penelitian menunjukkan paparan polusi lingkungan
mungkin memainkan peran dalam perkembangan endometriosis. Polusi
yang paling sering adalah 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioksin (TCDD)
Page | 12

dan senyawa dioxinlain. Pada saat berikatan, TCDD mengaktifkan
reseptor aril hidrokarbon. Fungsi reseptor ini sebagai faktor transkripsi
dasar, dan mirip dengan kelompok reseptor hormon steroid protein,
mengarahkan ke berbagai transkripsi gen. Akibatnya, TCDD dan senyawa
dioxin lain bisa merangsang endometriosis melalui peningkatan jumlah
interleukin, aktivasi enzim sitokrom P-450 seperti aromatase, dan
perubahan dalam remodeling jaringan. Selain itu, TCDD dalam
hubungannya dengan kehadiran estrogen untuk merangsang pembentukan
endometriosis, dan dengan adany TCDD untuk memblokir progesteron
yang menginduksi regresi endometriosis.3
Dalam lingkungan, TCDD dan senyawa dioxin adalah limbah
pengolahan produk industri. Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi
atau kontak yang tidak disengaja adalah bentuk paparan yang paling sering
terjadi. Meskipun endometriosis dan TCDD pada awalnya dikaitkan
dengan binatang primata, studi pada manusia juga mencatat prevalensi
endometriosis lebih tinggi pada wanita dengan konsentrasi dioxin dalam
ASI (air susu ibu)yang tinggi. Selain itu, studi selanjutnya telah
menunjukkan jumlah dioxin serum lebih tinggi pada wanita infertil dengan
endometriosis dibandingkan dengan infertil kontrol.3
V. Gejala Klinis
Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium
yakni sangat bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan
terus meningkat selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause
gejala endometriosis akan menghilang.9
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah:4,10
a) Dismenore adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering
dijumpai. Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya
darah haid yang keluar keluhan dismenorea pun akan mereda. penyebab
dari dismenorea ini belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan
Page | 13

adanya vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada
waktu sebelum dan semasa haid.
b) Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea,
keluhan ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi.
c) Diskezia atau nyeri pada saat defekasi terutama pada waktu haid,
disebabkan oleh adanya endometriosis pada rektosigmoid. Kadang-kadang
bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut.
d) Endometriosis pada kandung kencing jarang terdapat, gejalanya berupa
gangguan miksi dan hematuria pada waktu haid.
e) Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi apabila kelainan pada ovarium
yang luas sehingga mengganggu fungsi ovarium.
f) Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit
dimengerti. Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada
endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan
perlekatan jaringan disekitarnya.
g) Ada korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. Sebanyak
30% - 40% wanita dengan endometriosis mengalami infertilitas. Menurut
Rubin kemungkinan untuk hamil pada wanita dengan endometriosis ialah
kurang lebih separuh dari wanita biasa. Faktor penting yang menyebabkan
infertilitas pada endometriosis adalah apabila motilitas tuba terganggu
akibat fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya.
Page | 14

Gambar 6. Mekanisme Perkembangan Endometriosis(Dikutip dari kepustakaan 15)
Pada pemeriksaan ginekologi, khususnya pada pemeriksaan
vaginorektoabdominal, ditemukan pada endometriosis ringan pada benda-
benda padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglas dan
pada ligamentum sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan
terfiksasi.4
VI. Diagnosis
A. Anamnesis
Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik kronis
yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada
endometriosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek
yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat
diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena
penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali
lebih besar untuk mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih mungkin
berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada dizigot. Rambut
dan nevus displastik telah diperlihatkan berhubungan dengan
endometriosis.3,10
Page | 15

B. Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda pada endometriosis tidak spesifik. Gejala pada
endometriosis biasanya disebabkan oleh pertumbuhan jaringan endometriosis,
yang dipengaruhi hormon ovarium selama siklus haid, berupa nyeri pada
daerah pelvik, akibat dari:
a) melimpahnya darah dari endometrium sehingga merangsang peritoneum.
b) kontraksi uterus akibat meningkatnya kadar prostaglandin (PGF2alpha dan
PGE) yang dihasilkan oleh jaringan endometriosis itu sendiri.
Dismenore pada endometriosis umumnya bersifat sekunder atau
peningkatan dari yang primer, dimenore dan dispareuni makin mengarah ke
endometriosis jika gejala muncul bertahun-tahun dengan haid dan senggama
yang semula tanpa nyeri. Semakin lama dan berat intensitas nyeri semakin
berat stadium endometriosis pada diagnosis awal. Endometriosis juga
dijumpai ekstrapelvik, sehingga menimbulkan gejala yang tidak khas.
Dispareunia juga dirasakan pada daerah kavum douglas dan nyeri pinggang
yang semakin berat selama haid nyeri rektum dan saat defekasi juga dapat
terjadi tergantung daeran invasi jaringan endometriosisnya. Sering dirasakan
nyeri pelvik siklik yang mungkin berkaitan dengan nyeri traktus urinarius dan
gastrointestinal. Pada penderita endometriosis juga sering dijumpai
infertilitas. Gangguan haid berupa bercak prahaid atau hipermenore.2,16
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum jarang dilakukan kecuali penderita menunjukkan
adanya gejala fokal siklik pada daerah organ non ginekologi. Pemeriksaan
dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang letaknya kurang tegas dan
dalam. Endometrioma pada parut pembedahan dapat berupa pembengkakan
yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain seperti granuloma,
abses dan hematom.3,16
Pada pemeriksaan fisik ginekologik, pada genitalia eksterna dan
permukaan vagina biasanya tidak ada kelainan. lesi endometriosis terlihat
hanya 14,4% pada pemeriksaan inspekulo, sedangkan pada pemeriksaan
Page | 16

manual lesi ini teraba pada 43,1% penderita. Ada keterkaitan antara stenosis
pelvik dan endometriosis pada penderita nyeri pelvik kronik. Paling umum,
tanda positif dijumpai pada pemeriksaan bimanual dan rektovaginal. Hasil
pemeriksaaan fisik yang normal tidak menyingkirkan diagnosis
endometriosis, pemeriksaan pelvik sebagai pendekatan non bedah untuk
diagnosis endometriosis dapat dipakai pada endometrioma ovarium. Jika
tidak tersedia pemeriksaan penunjang lain yang lebih akurat untuk
menegakkan diagnosis endometriosis, gejala, tanda fisis dan pemeriksaan
bimanual dapat digunakan.3,16
Tabel 1. Kemungkinan endometriosis berdasarkan gejala(Dikutip dari kepustakaan 15)
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada endometriosis, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab lain nyeri pelvic. Pemeriksaan darah rutin, urin
rutin, kultur urin dan vaginal swab mungkin diperlukan untuk
menyingkirkan infeksi atau penyakit menular seksual penyakit infeksi
panggul.3
Selain itu, serum antigen kanker CA-125 sering meningkat pada
wanita dengan endometriosis. Namun, marker ini juga meningkat pada
penyakit pelvik lain dan mempunyai spesifitas yang kecil dalam diagnosis
endometriosis.3
2. Pemeriksaan Radiologi
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal telah digunakan
dalam membantu mendiagnosis endometriosis. Walaupun USG
Page | 17

transvaginal digunakan untuk mengevaluasi gejala terkait endometriosis
dan akurat dalam mendeteksi endometrioma, gambaran endometriosis
superfisial dan adhesi endometriotik yang didapatkan tidak adekuat.
Teknik radiologi lainnya seperti CT-Scan, dan MRI, dapat digunakan
hanya untuk sebagai konfirmasi tambahan saja, tapi tidak dapat digunakan
sebagai alat bantu diagnosis utama, karena selain biaya lebih mahal dari
USG, informasi yang diberikan masih dapat kurang jelas.3
3. Pemeriksaan Laparoskopi
Diagnosis pasti endometriosis hanya dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan laparoskopi dan pemeriksaan histopatologik. Merupakan
baku emas yag harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
endometriosis, dengan pemeriksaan visualisasi langsung ke rongga
abdomen,yang mana pada banyak kasus sering dijumpai jaringan
endometriosis tanpa adanya gejala klinis. Invasi jaringan endometrium
paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina, kavum douglasi,
kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvik yang berdekatan.
Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas, permukaan
kandung kemih dan usus. 3,12
Penampakan klasik dapat berupa jelaga biru-hitam ‘blue-black
powder-burn’ dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di
sekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari
serpihan haid yang terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa
lesi-lesi atipikal tak berpigmen berwarna merah atau putih..3,10,12
Page | 18

Gambar 7 : Lesi kemerahan endometriosis pada berbagai tempat.(Dikutip dari kepustakaan 10)
Tabel 2. Hubungan warna lesi endometriosis peritoneal secara laparoskopi dan makna klinisnya
(Dikutip dari kepustakaan 10)
4. Pemeriksaan Histopatologik
Pada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai ciri-ciri khas
endometriosis, yaitu kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan
perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit pigmen hemosiderin dan sel-sel
radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi jaringan normal di
sekelilingnya.endometriosis yang menyebuk dalam dan makrofag yang
termuati hemosiderin dapat dikenal pada 77% bahan biopsi endometriosis.
Secara histopatologis, endometriosis ada beberapa bentuk (distrofik,
glanduler, stroma, atau diferensiasi progresif) 3
Page | 19

Gambar 8.Pemeriksaan histopatogik.Tampak kelenjar dan stroma endometrium pada colon.
(Dikutip dari kepustakaan 3)
Page | 20

VII. Klasifikasi
A. Klasifikasi Menurut The American Society for Reproductive Medicine
The American Society for Reproductive Medicine merupakan pedoman
yang digunakan untuk klasifikasi endometriosis. Pembagian ini berdasarkan
permukaan, ukuran, dan kedalaman implantasi ovarium dan peritoneum.
Meskipun tidak berhubungan dengan beratnya nyeri, pembagian ini dapat
memprediksikan kemungkinan untuk hamil. Tambahan pula identifikasi visual
endometriosis ini tidak akurat pada kebanyakan kasus; oleh itu sistem
klasifikasi ini hanya untuk penggunaan praktis harian.1,3
The American Society for Reproductive Medicine Revised Classification
of Endometriosis yang sudah direvisi
Tabel 3. American Society for Reproductive Medicine Revised Classification of Endometriosis yang telah direvisi
(Dikutip dari kepustakaan 12)
Page | 21

Gambar 9 : Revisi Klasifikasi Endometriosis oleh ‘The American Fertility Society’
(Dikutip dari kepustakaan 1)
Pada tahun 2009, seorang peneliti yang berasal dari Amerika Serikat
mengembangkan sebuah indeks fertilitas pada penderita endometriosis setelah
surgical staging, yaitu Endometriosis Fertility Index (EFI) dengan
menggunakan status fungsional dari tuba, ovarium, dan fimbri, untuk
memprediksi kemungkinan mereka hamil secara alami.13
Tabel 4. Derajat Disfungsi Tuba, Fimbria, dan Ovarium(Dikutip dari kepustakaan 12)
Page | 22

B. Klasifikasi menurut Acosta
1) Ringan
a. Endometriosis menyebar tanpa perlekatan pada anterior
b. atau posterior kavum Douglasi atau permukaan ovarium atau
peritoneum pelvis.
2) Sedang
a. Endometriosis pada satu atau kedua ovarium disertai parut dan
retraksi atau endometrioma kecil.
b. Perlekatan minimal juga di sekitar ovarium yang mengalami
endometriosis.
c. Endometriosis pada anterior atau posterior kavum Douglasi dengan
parut dan retraksi atau perlekatan, tanpa implantasi di kolon sigmoid.
3) Berat
a. Endometriosis pada satu atau dua ovarium, ukuran lebih dari 2 x 2 cm
b. Perlekatan satu atau dua ovarium atau tuba atau kavum Douglasi
karena endometriosis.
c. Implantasi atau perlekatan usus dan/ atau traktus urinarius yang nyata.
VIII. Diagnosis Banding
Adenomiosis uteri, radang pelvik dengan tumor adneksa dapat
menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis
jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjolan kecil di kavum
Douglasi dan ligamentum sakrouterina. Kombinasi adenomiosis uteri atau
mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis
ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis banding dengan kista
ovarium.4
IX. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita
itu, tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk
pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan kesuburan masa depan. Faktor
Page | 23

yang paling penting ketika menentukan pengelolaan yang paling tepat adalah
apakah pasien mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai
pengobatan akan berbeda berdasarkan gejala.3,13
1. Terapi Ekpektatif
Beberapa peneliti memakai strategi pengobatan yang disebut terapi
ekspektatif. Penderita endometriosis yang didiagnosis dengan laparoskopi,
akan diobservasi untuk mencapai suatu kehamilan tanpa terapi (treatment-
independent therapy). Dasar dari terapi ekspektatif adalah endometriosis
yang ringan tanpa disertai keluhan simptomatik tidak akan memberikan
efek pada fertilitas.14
Pengobatan ekspektatif ini akan berguna bagi wanita dengan gejala
dan kelainan fisik yang ringan. Pada wanita yang sudah agak berumur,
pengawasan ini bisa dilanjutkan sampai menopause, karena sesudah itu
gejala-gejala endometriosis hilang sendiri. Sikap yang sama diambil pada
wanita yang lebih muda, yang tidak mempunyai persoalan tentang
infertilitas, akan tetapi pada wanita yang ingin mempunyai anak, jika
ditunggu 1 tahun tidak terjadi kehamilan, perlu dilakukan pemeriksaan
terhadap infertilitas dan diambil sikap yang lebih aktif. Pada observasi
seperti yang diterangkan sebelumnya, harus dilakukan pemeriksaan secara
periodik dan teratur untuk meneliti perkembangan penyakitnya dan jika
perlu mengubah sikap ekspektatif. Dalam masa observasi ini dapat
diberikan pengobatan paliatif berupa pemberian analgesikuntuk
mengurangi rasa nyeri.4
Terapi analgesik yang sering digunakan untuk penderita
endometriosis adalah obat anti inflamasi non steroid (NSAID). NSAID
menghambat siklooksigenase isoenzim 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2), dan
dalam kelompok ini, selektif COX-2 inhibitor selektif menghambat COX-
2 isoenzyme. Enzim ini bertanggung jawab untuk sintesis prostaglandin
yang terlibat dalam rasa sakit dan peradangan yang terkait dengan
endometriosis. Obat anti-inflamasi nonsteroid menjadi lini pertama terapi
pada wanita dengan dismenorea primer atau nyeri panggul sebelum
Page | 24

konfirmasi laparoskopi endometriosis, dan pada wanita dengan gejala rasa
sakit yang minimal atau ringan yang berhubungan dengan endometriosis
diketahui. Jenis NSAID yang umum digunakan yaitu ibuprofen dan asam
mefenamat.3
2. Terapi hormonal
Sebagai dasar pengobatan hormonal ialah bahwa pertumbuhan dan
fungsi jaringan endometriosis, seperti jaringan endometrium yang normal,
yang dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Data laboratorium
menunjukkan bahwa jaringan endometriosis pada umumnya mengandung
reseptor estrogen, progesteron dan androgen. Pada hewan coba, estrogen
merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan
atrofi sedangkan pengaruh progesteron kontroversial. Progesteron sendiri
mungkin merangsang pertumbuhan endometriosis, namun progesteron
sintetik yang umumnya mempunyai efek androgenik tampaknya
menghambat pertumbuhan endometriosis.4
Atas dasar tersebut, maka prinsip dasar pengobatan hormonal
endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon yang rendah
estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi
jaringan endometriosis. Sedangkan keadaan yang asiklik mencegah
terjadinya haid, yang berarti tidak terjadinya pelepasan jaringan
endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Prinsip kedua
yaitu menciptakan lingkungan hormon yang tinggi androgen atau tinggi
progestogen (progesteron sintetik) yang secara langsung menyebabkan
atrofi jaringan endometriosis.4
a) Pil Kontrasepsi Kombinasi
Pil Kontrasepsi Kombinasi (estrogen dan progestron) dapat digunakan
untuk terapi endometriosis. Obat ini berkerja dengan cara menghambat
aksis hipotalamik-ovari. Ia menghambat hormon luteinizing (LH) dan
hormon stimulasi folikel (FSH), menghalang ovulasi dan menyebabkan
dinding endometrium menjadi atrofi. 3,13
Page | 25

Terapi standar yang dianjurkan adalah 0,03 mg etinil estradiol dan 0,3
mg norgestrel per hari. Bila terjadi ‘breakthrough’, dosis ditingkatkan
menjadi 0,05 mg etinil estradiol dan 0,5 mg norgestrel per hari atau
maksimal 0,08 mg etinil estradiol dan 0,8 mg norgestrel per hari.
Pemberian tersebut terus menerus setiap hari selama 6-9 bulan, bahkan ada
yang menganjurkan minimal satu tahun dan bila perlu dilanjutkan sampai
2-3 tahun.4
Dilaporkan bahwa 30% penderita menyatakan keluhannya berkurang
dan hanya 18% yang secara obyektif mengalami kesembuhan, 41%
penderita tidak menyelesaikan terapinya karena mengalami efek samping.
Efek samping dari terapi ini seperti nyeri kepala, nausea, perdarahan
ireguler, dan pertambahan berat badan.4,13
b) Gonadotropin-releasing Hormon Analog (GnRH analog)
GnRH analog telah digunakan secara efektif untuk membebaskan
nyeri dan mengurangi ukuran dari implantasi endometriosis. Obat ini
menekan produksi estrogen oleh ovarium dengan menghambat sekresi
hormon pengatur dari kelenjar pituitari. Sebagai akibatnya, periode-
periode menstruasi berhenti, seperti menopause. Agonis GnRH mensuplai
stimulasi secara konstan pada reseptor LHRH. Ini menghambat aksis
pituitari-ovarium dan menyebabkan sekresi FSH dan LH berkurang
sekaligus kadar estrogen dan progesteron turut berkurang. Ini
menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi dan
hipoestrogenik.Dosis yang dianjurkan adalah leuprolin asetat
3,75mg/bulan secara injeksi intramuskular selama 6 bulan. Terapi ini
dilimitasi selama 6 bulan untuk menghindari efek samping yang dapat
terjadi karena keadaan hipoestrogenik seperti sakit kepala, hot flushes,
depresi, pengurangan densitas tulang, perubahan mood dan perubahan
profil lipoprotein.1,10,13
c) Androgen
Preparat yang dipakai adalah metiltestosteron sublingual dengan dosis
5 mg sampai 10 mg per hari. Kerugian terapi ini adalah dapat
Page | 26

menyebabkan maskulinisasi terutama pada dosis jangka panjang. Selain
itu masih mungkin terjadi ovulasi atau kehamilan terutama pada dosis 5
mg perhari. Bila terjadi kehamilan, terapi harus dihentikan karena dapat
menyebabkan cacat bawaan pada janin.4
d) Progestin
Progestin mempunyai efek antiendometriotik yang menyebabkan
desidualisasi dan atrofi pada jaringan endometrium. Progestin juga
menghambat ovulasi dengan menghambat luteinizing hormon (LH) dan
mungkin dapat menyebabkan amenore. Dosis yang diberikan adalah
medroksiprogesteron asetat 30-50 mg per hari atau noerestisteron asetat 30
mg per hari. Pemberian parenteral dapat menggunakan
medroksiprogesteron asetat 150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg setiap
bulan.Penghentian terapi parenteral dapat diikuti dengan anovulasi selama
6-12 bulan, sehingga cara ini tidak menguntungkan bagi mereka yang
ingin segera mempunyai anak. Lama pengobatan dengan progestogen
yang dianjurkan adalah 6-9 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah
‘breakthrough bleeding’, perubahan mood, perdarahan ireguler, amenore,
muntah, pertambahan berat badan dan retensi cairan. Terapi ini sesuai
untuk penderita endometriosis yang tidak segera ingin hamil.3,4
e) Danazol
Danazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi, dan estrogen
rendah.Dosis yang digunakan untuk endometriosis ringan (stadium 2) atau
sedang (stadium 3) adalah 400 mg perhari sedangkan untuk endometriosis
yang berat (stadium 4) dapat diberikan sampai 800 mg perhari. Lama
pemberian minimal 6 bulan dapat pula diberikan 12 minggu sebelum terapi
pembedahan konservatik dilakukan. Danazol memilki efek samping
berupa akne, hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan
berat badan, dan edema.Kehamilan dan menyusui merupakan
kontrindikasi absolut dari pemakaian danazol.6
3. Terapi Pembedahan
Page | 27

Terapi pembedahan dapat digunakan pada penderita endometriosis yang
berat atau yang tidak berespon baik dengan terapi medis atau penderita
dengan keluhan infertilitas, terapi pembedahan ini terdiri daripada terapi
pembedahan konservatif dan pembedahan definitif.11,14
a) Terapi Konservatif
Terapi ini bertujuan untu mengembalikan anatomi normal penderita dan
mengurangi serta menghilangkan lesi endometriotik. Pembedahan
konservatif dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni laparotomi
atau laparoskopi operatif3,10
1. Eksisi atau destruksi dengan cara vaporisasi laser, elektrokoagulasi,
koagulasi termal secara langsung pada permukaan lesi atau dapat juga
eksisi komplit pada endometrioma.
2. Laparoscopic Uterine Nerve Ablation (LUNA) adalah prosedur
pembedahan konservatif yang digunakan untuk mengatasi dismenore,
atau nyeri saat menstruasi, yang disebabkan oleh endometriosis.
Selama prosedur, dokter bedah dapat memotong, membakar, atau
menghancurkan bundel saraf simpatik dan para-simpatik. Saraf ini
membawa sensasi rasa sakit dari uterus, dan ilmuwan percaya bahwa
saraf ini yang terlibat dalam dismenore. Studi menunjukkan bahwa
LUNA dapat mengurangi dismenore pada 80 persen wanita.
b) Terapi Definitif
Terapi ini terdiri daripada histerektomi dengan bilateral
salfingooferektomi, eksisi luas pada permukaan peritoneal atau
endometrioma dan adhesiolisis. Histerektomi total dan oferektomi bilateral
sesuai untuk penderita yang tidak mau mempertahankan fungsi
reproduksinya. Namun, sesudah histerektomi dan oforektomi bilateral,
pasien mempunyai resiko hipoestrogenisme prematur seperti ‘hot flushes’,
osteoporosis dan menurunnya libido. Biasanya setelah operasi ini,
diberikan terapi pengganti hormon post-operatif.Gabungan dosis rendah
estrogen-progestin adalah bentuk pengobatan yang diinginkan dari terapi
hormon postmenopause setelah perawatan bedah radikal.3,10,15
Page | 28

X. Pencegahan
Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk
endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang
pada waktu dan sesudah kehamilan kerana regrasi endometrium dalam sarang-
sarang endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda
terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaklah diusahakan mendapat anak-
anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu
tidak hanya merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis timbul.
Selain itu, jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan
kerokan pada waktu haid, kerana dapat menyebabkan mengalirnya darah haid
dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.4
XI. Prognosis
Konseling yang tepat pada penderita endometriosis memerlukan
perhatian pada beberapa aspek penyakit tersebut. Yang paling penting adalah
penilaian awal derajat penyakit secara operatif. Simptom dan keinginan pasien
untuk mendapatkan anak turut menjadi penentu jenis terapi yang
sesuai.Perhatian jangka panjang harus dilakukan karena semua terapi
memberikan perbaikan namun tidak menyembuhkan, walaupun setelah terapi
definif, endometriosis masih dapat muncul kembali. Namun resikonya cukup
rendah (kira-kira 30%). Terapi pengganti estrogen tidak meningkatkan resiko
secara signifikan. Selain itu, setelah terapi konservatif, dilaporkan kadar
kekambuhan bervariasi namun umumnya lebih 10% dalam 3 tahun dan lebih
35% dalam 5 tahun. Kadar rekurensi setelah terapi medis juga bervariasi dan
dilaporkan hampir sama dengan terapi pembedahan.Walaupun banyak
penderita mengetahui endometriosis mempunyai sifat progresif yang lama,
namun terapi konservatif dapat mencegah histerektomi pada kebanyakan
kasus. Penyebab endometriosis pada setiap individu tidak dapat langsung
diprediksi dan modalitas terapi akan datang harus lebih baik dari terapi yang
adasaat ini.1
XII. Kesimpulan
Page | 29

Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium
yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri
atas kelenjar-kelenjar dan stroma, terdapat di dalam miometrium ataupun di
luar uterus. Bila jaringan endometrium terdapat di dalam miometrium disebut
adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut endometriosis. Lokasi yang sering
ditemukan endometriosis adalah pada ovari, septum retrovaginal dan rongga
pelvik. Penyebab utama endometriosis belum dapat dipastikan, akan tetapi
kemungkinan dapat disebabkan aliran menstruasi mundur, metaplasia,
penyebaran limfatik dan vaskuler, faktor imunologik serta induksi hormonal.
Gejala endometriosis yang sering dirasakan oleh penderita yaitu antara
lain berupa nyeri haid (dismenore), nyeri panggul kronik, nyeri saat
berhubungan (dispareunia) dan infertilitas. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan laparoskopi.
Pengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita
itu, tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk
pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan kesuburan masa depan. Faktor
yang paling penting ketika menentukan pengelolaan yang paling tepat adalah
apakah pasien mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai
pengobatan akan berbeda berdasarkan gejala. Penanganan dapat dilakukan
dengan terapi medis seperti pemberian analgesik, GnRH agonis, progestin, pil
kontrasepsi oral dan danazol. Sedangkan untuk terapi pembedahan, sering
dilakukan secara konservatif yaitu dengan laparoskopi dan laparotomi melalui
pelepasan pelekatan, merusak jaringan endometriotik, rekonstruksi anatomi
sebaik mungkin, mengangkat kista dan melenyapkan implantasi dengan sinar
atau elektrokauter dan secara definitif dengan histerektomi, bilateral
salfingooferektomi, eksisi luas pada permukaan peritoneal atau endometrioma
dan adhesiolisis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alan DeCherney, Kenneth Muse. Endometriosis. In: Alan DeCherney,
Lauren Nathan, Murphy Goodwin, Neri Laufer, eds. (Lange) Current
Page | 30

Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Ed. 10th. Amerika: The
McGraw-Hill Companies. 2007
2. Derek Llewellyn , Jones. Fundamentals of Obstetrics and Gynaecology,
Ed. 6th. Sydney: Hipokrates. 2002. p.254-9
3. Bruce, Carr. Endometriosis. In: John Schorge, Joseph Schaffer, Lisa
Halvorson, Barbara Hoffman, Karen Bradshaw, Gary Cunningham. Williams
Gynecology. China: The McGraw-Hill Companies. 2008
4. Prabowo, Raden Prajitno. Endometriosis. Dalam: Wikojosastro H, Abdul
Bari Saifuddin, Triatmojo Rachimhadhi. Ilmu Kandungan, Edisi ke 2.
Jakarta; Balai Penerbit FKUI:2008.p.316-27
5. Danudjo Oepomo, T. Dampak Endometriosis pada Kualitas Hidup
Perempuan. [serial online]. [cited 2012 Mei 7]. Available from:
http://www.google . co.id/#hl=id&biw=1366&bih=551&sclient=psyab&q=Da
mpak+Endometriosis+pada+Kualitas+Hidup+Perem puan
6. Mochtar R. Anatomi Alat-Alat Kandungan. Dalam: Sinopsis Obstetri, edisi
2. Jakarta: EGC. 1998: p.5-12
7. Anonymous. Chapter 27 Uterine Anatomy. [serial online]. [cited 2012 Mei
7]. Available from: http://apbrwww5.apsu.edu/thompsonj/Anatomy %20&
%20Physiology/2020/2020%20Exam%20Reviews/Exam%205/CH27%20Ute
rine %20Anatomy.htm
8. Overton, Caroline., Davis, Colin,. McMillan, Lindsay,. Shaw, Robert W.
An Atlas of Endometriosis Third Edition. United Kingdom; Informa
Healthcare:2007
9. Berek J. Berek & Novak's Gynecology, Ed. 14th. California: Lippincott
Williams & Wilkins. 2007
10. Kapoor D. Endometriosis.[serial online]. [cited 2012 Mei 7]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/271899-overview#showall
Page | 31

11. Krotec JW, Perkins S. Endometriosis for Dummies. New York: Wiley
Publishing, Inc. 2007.p.55-77
12. Adamson, GD. Pasta, DJ. Endometriosis Fertility Index: The New,
Validated Endometriosis Staging System. [serial online]. [cited 2012 Mei 7].
Available from: http://www.endometriosiszone.org/content/PDF/EFI-
Endometriosis-FNS-Fertil-Steril-Article.pdf
13. Pernol M. Benson and Pernolls, Handbook of Obstetrics Gynecology, Ed.
10th. Amerika: The McGraw-Hill Companies. 2001.p.755-67
14. Nusratudin A. Hubungan Endometriosis dan Infertilitas. [serial online].
[cited 2012 Mei 7]. Available from: http://med.unhas.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=163:hubungan-endometriosis-dan-
infertilitas&catid=101&Itemid=48.\
15. Fairley, Diana Hamilton. Endometriosis. In : Lecture Notes Obstetrics and
Gynaecology 2nd Edition. USA:Blackwell Publishing I.td.2004.p.240-2
Page | 32