disfonia akibat kelainan di rongga torak (autosaved)

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suara serak bukanlah suatu penyakit melainkan gejala dari suatu penyakit, umumnya berhubungan dengan gangguan pita suara. Gangguan pita suara dapat terjadi karena adanya infeksi pada tenggorokkan, pemakaian suara yang berlebihan, pertumbuhan tumor pada pita suara, gangguan saraf pita suara, trauma pada leher akibat benturan dan infeksi paru-paru. 1 Disfonia adalah setiap perubahan kualitas suara menyangkut nada maupun intensitasnya, yang ditera secara obyektif maupun secara subyektif yang disebabkan oleh gangguan fungsional ataupun organik yang terletak di sentral maupun perifer. 2 Keluhan gangguan suara tidak jarang ditemukan dalam klinik. Gangguannya dapat berupa suara terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri dari beberapa nada ( diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu. 3 Penyebab disfonia dapat bermacam-macam yang prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya. Salah satu penyebabnya antara lain karena kelainan di rongga torak seperti kelainan pada kardiovaskuler dan paru. Kelainan kardiovaskuler yang 1

Upload: wiza-erlanda

Post on 24-Jul-2015

442 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suara serak bukanlah suatu penyakit melainkan gejala dari suatu penyakit, umumnya

berhubungan dengan gangguan pita suara. Gangguan pita suara dapat terjadi karena adanya

infeksi pada tenggorokkan, pemakaian suara yang berlebihan, pertumbuhan tumor pada pita

suara, gangguan saraf pita suara, trauma pada leher akibat benturan dan infeksi paru-paru.1

Disfonia adalah setiap perubahan kualitas suara menyangkut nada maupun

intensitasnya, yang ditera secara obyektif maupun secara subyektif yang disebabkan oleh

gangguan fungsional ataupun organik yang terletak di sentral maupun perifer.2

Keluhan gangguan suara tidak jarang ditemukan dalam klinik. Gangguannya dapat

berupa suara terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara

lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri

dari beberapa nada ( diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan

mencapai nada atau intensitas tertentu.3

Penyebab disfonia dapat bermacam-macam yang prinsipnya menimpa laring dan

sekitarnya. Salah satu penyebabnya antara lain karena kelainan di rongga torak seperti

kelainan pada kardiovaskuler dan paru. Kelainan kardiovaskuler yang menyebabkan

terjadinya gangguan suara dikenal sebagai sindrom kardivokal yang terjadi akibat kompresi

nervus laringeus rekuren kiri. Sedangkan kelainan pada paru bisa terjadi karena peradangan

kronik seperti pada bronkitis kronik dan tuberkulosis. Penyebab paling sering umumnya

adalah infeksi pada tenggorokkan, biasanya karena infeksi saluran nafas atas, lesi jinak pita

suara dan gangguan suara fungsional. Perlu diwaspadai apabila suara serak lebih dari 2

minggu harus segera diperiksakan untuk menilai gangguan pada pita suara.1,2,3

1

Page 2: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Disfonia adalah setiap perubahan kualitas suara menyangkut nada maupun

intensitasnya, yang ditera secara obyektif maupun secara subyektif, yang disebabkan adanya

gangguan laring secara fungsional maupun organik yang terletak di sentral maupun perifer.

Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit.

Istilah disfonia sendiri dapat merefleksikan kelainan (abnormalitas) yang letaknya bisa di

berbagai tempat di sepanjang saluran vokalis, mulai dari rongga mulut hingga paru.2

Gangguan suara dapat berupa suara parau (hoarseness), suara terdengar kasar

(roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang suara

(afonia), suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri dari beberapa nada ( diplofonia),

nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas

tertentu.3

Rongga torak adalah bagian tubuh di antara leher dan diafragma respiratori yang

dibungkus oleh iga-iga, yang terdiri dari rongga pleura kiri dan kanan berisi paru-paru dan

rongga mediastinum dan isinya terletak di tengah dada.4,5

2.2 Anatomi

2.2.1 Laring dan Plika Vokalis

Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang

terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median

yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur

laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah

kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan

kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. Bagian yang paling proksimal dari

tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat

dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika

vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang

tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan

perkembangan arakus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari

2

Page 3: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat

didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung.6

Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea

dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring memiliki kegunaan

penting yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme

sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara.7

Laring merupakan bataspaling bawah dari saluran napas atas yang merupakan pintu

masuk serta spingter ke saluran napas bawah. Adanya spingter inilah yang menyebabkan

laring mempunyai proteksi terhadap masuknya bahan makanan atau minuman ke saluran

napas pada proses menelan. Laring terletak setinggi vertebra servikal III sampai VI, tetapi

pada wanita dan anak-anak biasanya lebih tinggi. Batas atas laring adalah epiglotis dengan

plika ariepiglotika,sdangkan bagian bawahnya adalah cincin trakea pertama.2

Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis

terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu)

dan ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik

memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi,

konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus.7

          Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik.

Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi

membuka rima glotis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima glotidis

dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea) pada

waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika berbicara.

Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis, sedangkan yang

terakhir oleh korteks serebri secara volunter.7

         Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks.

Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m.

krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda

asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai

katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan

intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam

menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat 3

Page 4: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh

jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh

cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot fasial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.7

Gambar 1. Anatomi Laring1

Gambar 2. Anatomi pita suara1

2.2.2 Persarafan Laring

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringis superior dan n.

laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus

laringis superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa

laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak diatas m. konstriktor faring medial,

disebelah medial a.karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang

hioid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam

2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus.3

4

Page 5: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m. Konstriktor faring inferior dan

menuju ke m krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m. Tirohioid terletak

disebelah medial a. tiroid superior, menembus membran hiotiroid dan bersama-sama dengan

a. laringitis superior menuju ke mukosa laring.3

Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n. rekuren setelah saraf itu

memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang

dari n.vagus.3

Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya, sedangkan n.

rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantar cabang-

cabang a.tiroid inferior dan melalui dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan

sampai pada permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid,

saraf ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan

mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior

mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan

n.laringis superior ramus internus. 3

Gambar 3. Anatomi nervus laringeus rekuren kiri

5

Page 6: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

Gambar 4. Anatomi nervus laringeus rekuren kiri

2.3 Fisiologi Fonasi

Sistem pembentukan suara secara fisiologis merupakan suatu fenomena aerodinamik

dan proses akustik yang sangat komplek.Tahapan pembentukan suara adalah2:

1. Aliran udara ( Airstream/ Airflow) dari paru

Berfungsi sebagai tenaga pengaktif suara. Fungsi paru yang baik sangat diperlukan

untuk mendukung proses pembentukan suara yang normal,karena pada saat fonasi akan

terjadi penutupan rima glotis oleh pita suara, sehingga aliran udara dari paru tertahan di

subglotis. Akibatnya perbedaan tekanan udara di atas dan dibawah glotis cukup tinggi,

sehingga terjadinya getaran( vibrasi). Tingginya tekanan udara di subglotis yang akhirnya

melewati celah glotis pada saat pita suara membuka (abduksi) secara tiba tiba akan

menentukan intensitas energi suara yang akhirnya keluar melalui rongaa mulut. Bila ingin

menghasilkan suara dengan volume keras maka harus melakukan inspirasi dan ekspirasi

maksimal, agar terjadi tekanan udara yang tinggi di subglotis.

6

Page 7: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

Gambar 5. Proses Fonasi

2. Getaran pita suara yang berfungsi sebagai generator suara

Pada keadaan istirahat pita suara dalam keadaaan abduksi dengan jarak antara pinggir

lateral ke median 8 mm. Pada saat fonasi, terjadi kontraksi dari otot otot intrinsik laring

seperti m krikotiroid dan m krikoaritenoid lateral dengan cara menarik kartilago aritenoid ke

arah medial, sehingga terjadi penutupan rima glotis (adduksi), karena pita suara kanan dan

kiri saling merapat. Bila pita suara menjadi tipis, kaku dan panjang maka akan menghasilkan

suara tinggi. Sebaliknya pita suara tebal, kendor dan pendek, maka akan menghasilakan suara

yang rendah.

3. Resonansi suara dibentuk oleh perubahan ukuran dan bentuk laring dan rongga mulut.

Frekuensi dan energi suara sangat lemah,maka dipelukan organ resonansi untuk

memperkuatnya, yaitu dengan cara kontraksi otot otot konstriktor faring dan perubahan posisi

lidah, sehingga suara yang dihasilkan berubah ubah sesuai dengan kebutuhan. Resonansi juga

dipengaruhi oleh rongga hidung dan sinus paranasal.

4. Koordinasi dan kontrol diatur oleh susunan saraf pusat dan saraf tepi

Koordinasi ini sangat diperlukan mengingat pembentuka suara tidak hanya

melibatkan otot otot laring, tetapi juga otot otot diafragma, dada, leher, dasar mulut danm

palatum.

7

Page 8: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

Gambar 6. Organ yang terlibat dalam proses fonasi

2.4 Etiologi

Penyebab disfonia akibat kelainan pada rongga torak antara lain disebabkan karena:

1. Kelainan jantung yaitu penyakit yang menyebabkan dilatasi atau peningkatan tekanan

arteri pulmonal diantaranya hipertensi pulmonal, stenosis mitral, penyakit jantung

bawaan (ASD dan PDA), gagal jantung kiri, emboli arteri pulmonal.8

2. Kelainan paru antara lain tuberkulosa paru, bronkitis kronik, atelektasis dan tumor

paru.3

3. Mediastinum berupa penekanan nervus laringeus rekurens kiri oleh massa seperti

tumor.9

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Sindrom Kardiovokal8

Sindrom kardiovokal merupakan sindrom yang ditandai oleh perubahan suara

(disfonia) yang diakibatkan oleh paralisis nervus laringeus rekuren kiri sebagai komplikasi

dari berbagai jenis penyakit kardiovaskuler. Hipotesis mengenai kasus ini awalnya

8

Page 9: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

dikemukakan oleh Ortner pada tahun 1897 yang menyatakan bahwa penyebab suara serak

pada pasien dengan dengan stenosis mitral adalah karena paralisis nervus laringeus rekuren

kiri akibat kompresi saraf tersebut secara tidak langsung oleh dilatasi atrium kiri.

Hipotesis Ortner tentang mekanisme terjadinya sindrom kardiovokal kemudian

disangkal oleh beberapa peneliti selanjutnya berdasarkan hasil foto polos torak, hasil otopsi,

dan pemeriksaan kateterisasi jantung. Fetterolf dan Norris (1911) melakukan penelitian pada

11 kasus otopsi dan 26 laporan kasus penderita stenosis mitral dan menyimpulkan bahwa

untuk terjadinya paralisis nervus laringeus rekuren kiri maka harus terjepit (tertekan antara

dilatasi arteri pulmonal kiri dengan arkus aorta, atau dengan ligamnetum arteriosum.

Pernyataan ini didukung oleh King et al (1934) pada pasien dengan kasus gagal jantung

kiri,dolowitz dan Lewis (1948) pada defek atrium septum, Stocker dan Enterline (1958) pada

kasus PDA, Rosenberg (1964) dan Kagal (1975) pada kasus hipertensi pulmonal primer, dan

Albertini (1972) pada penderita emboli arteri pulmonal.

Hal ini terjadi karena secara anatomi dalam perjalanannya di mediastinum, nervus

laringeus rekuren kiri akan berjalan melewati suatu daerah “aortic triangle” yang dibentuk

oleh arteri pulmonal, arkus aorta, dan ligamentum arrteriosum.Jarak aorta dengan arteri

pulmonal kiri hanya 4,0 mm pada tempat ini, sehingga membuat saraf ini sangat rentan untuk

cedera yang salah satunya karena kompresi antara dilatasi arteri pulmonal kiri dengan aorta

atau ligamnetum arteriosum, atau karena limfadenopati yang terdapat di sekitar arkus aorta

yang mengakibatkan degenerasi dari serabut saraf dari nervus laringeus rekuren kiri.

Beberapa peneliti meyakini bahwa disfonia merupakan gejala dini terjadinya

dekompensasi kordis, dan dapat menjadi gejala pertama yang muncul.

Dolowitz dan Lewis mengatakan bahwa limfadenitis atau jaringan parut pada arkus

aorta mengkin menjadipenyebab fiksasi nervus laringeus rekuren kiri yang beeakibat

kerusakan dari saraf tersebut.

2.5.2 Disfonia karena kelainan pada paru2

Untuk terbentuknya suara terdapat 3 sistem organ pembentuk suara yang saling

berintegrasi untuk menghasilkan kualitas suara yang baik yaitu sistem pernapasan, laring dan

traktus vokalis supraglotis. Sistem respirasi berperan sebagai tenaga pengaktif suara. Fungsi

paru yang baik sangat diperlukan untuk mendukung proses pembentukan suara yang normal.

Pada saat berbicara normalnya akan terjadi penutupan rima glotis oleh pita suara,sehingga

aliran udara dari paru tertahan di subglotis. Akibatnya perbedaan tekanan udara di atas dan di

9

Page 10: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

bawah glottis cukup tinggi, sehingga akhirnya terjadi getaran (vibrasi). Tingginya tekanan

udara di subglotis yang akan melewati celah glotis pada saat pita suara membuka secara tiba-

tiba akan menentukan intensitas energi suara yang akhirnya keluar melalui rongga mulut.

Pada kelainan paru seperti pada peradangan spesifik maupun peradangan nonspesifik dapat

mengganggu atau mengurangi aliran udara yang melalui pita suara yang secara langsung

mengurangi intensitas dari suara yang muncul.

2.5.3 Disfonia karena adanya masa di rongga torak9,10

Sama halnya dengan sindrom kardiovokal disfonia karena adanya masa di rongga

torak seperti tumor di mediastinum dan tumor paru disebabkan oleh penekanan pada nervus

larigeus rekuren kiri.

2.6 Diagnosis2,8,11

Diagnosis etiologi berupa kelainan jantung ataupun paru dapat ditegakkan dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Jika penderita mengeluh suara

lemah/tertahan (damped voice), besar kemungkinan letak abnormalitas bicara (speech)

tersebut adalah di fase paru atau saluran trakeobronkial (level di bawah pita suara), salah

satunya akibat pergerakan paru yang terbatas, membuat suara yang keluar sulit dipersepsikan.

Pada pemeriksaan kardiovaskuler dapat dipakai pemeriksaan EKG, foto toraks,

pemeriksaan CT-scan, dan pemeriksaan dengan ekokardiografi. Foto torak ataupun CT-scan

juga dapat menentukan adanya kelainan di paru dan masa di rongga torak.

Untuk gejala klinis berupa disfonia akibat kelumpuhan pita suara dapat diperiksa dengan

berbagai macam pemeriksaan seperti:

1. Laringoskopi tidak langsung

Dengan pemeriksaan ini dapat dinilai kondisi anatomis, pergerakan, dan posisi

pita suara pada saat respirasi dan fonasi.Pada kelumpuhan pita suara akibat paralisis

nervus laringeus rekuren dapat terlihat pita suara lemah dan tak bergerak.

2. Pemeriksaan stroboskopi

Dengan memeriksa ada tidaknya gelombang mukosa, onset munculnya serta

berapa besar kecepatan gelombang yang terjadi. Sercarz melaporkan asimetris pada

10

Page 11: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

gelombang mukosa, terutama ditemukan pada paralisis nervus vagus diikuti paralisis

pada nervus laringeus rekuren dan selanjutnya pada paralisis pada nervus laringeus

superior.

3. Pemeriksaan Elektromiografi

Pemeriksaan ini bersifat invasif dan relatif sulit dikerjakan, karena harus

memasukkan elektroda dengan menembus membrana krikotiroid setinggi glotis.

Elektroda tersebut harus menempel pada otot intrinsik laring seperti m.krikotiroid dan

m.tiroaritenoid atau m.krikoaritenoid lateral. Bila terdapat kelumpuhan nervus

laringeus rekuren, akan terdiagnosis dengan alat ini, karena alat ini dapat menilai

status neuromuskuler.

4. Pemeriksaan Aerodinamik

Waktu fonasi maksimal adalah waktu terlama seseorang untuk mengucapkan

huruf hidup setelah melakukan inspirasi maksimal. Biasanya menggunakan huruf

vokal /a/. Pada laki-laki dewasa normal waktu yang dibutuhkan lebih dari 20 detik

dengan standar deviasi 5,7. Pada wanita dewasa nilainya adalah lebih dari 15 detik

dengan standar deviasi 4,2, sedangkan pada anak-anak lebih dari 10 detik. Penelitian

Soedjak pada pria Indonesia dianggap tidak normal bila < 8 detik dan pada wanita

Indonesia dianggap tidak normal bila <6,4 detik. Hal ini menunjukkan sangat

buruknya aliran udara yang diperlukan untuk siklus fonasi, sehingga perlu evaluasi

dengan pemeriuksaan lanjut seperti foto torak dan fungsi paru untuk mengetahui

etiologi dari kelainan pada paru.

Pemeriksaan aerodinamik lainnya antara lain berupa rerata kecepatan aliran

fonasi (Mean Phonatory Flow Rate), di mana niali normal untuk dewasa 40-300 ml/

detik, sedangkan pada anak-anak sebesar 50-170 ml/detik. MPFR yang tinggi di atas

900 ml/detik menggambarkan adanya paralisis saraf laringeus rekuren.

5. Pemeriksaan Analisis Suara

Pemeriksaan analisis suara pada prinsipnya dapat dilakukan melalui dua cara

yaitu : (1) Pemeriksaan subyektif –persepsi dengan menggunakan telinga pemeriksa

(2) pemeriksaan secara obyektif dengan menganalisis berbagai parameter akustik dari

getaran pita suara.

Penilaian secara subyektif dapat dilakukan secara GRBAS yaitu menilai

derajat disfonia . Pemeriksaan ini untuk menilai derajat penyimpangan (grade of

11

Page 12: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

deviance), serak/kasarnya (roughness), mendesah (breathyness), kelemahan

(astenitas),dan strain( ketegangan).

Rough voice adalah suara kasar dan bernada rendah, biasanya disebabkan oleh

adanya massa yang mengganggu getaran (vibarasi) pita suara seperti adanya tumor

atau kelainan yang terdapat pada pita suara. Breathy voice adalah suara yang

terdengar seperti kering, mendesah, terengah engah, berbisik biasanya dihubungkan

dengan penutupan pita suara yang tidak sempurna.Voice strain adalah suara yang

kaku, tegang, sulit dikeluarkan sehingga nada yang terdengar terputus -putus, pendek

dan bergetar (tremor). Astenitas adalah suara yang lemah disebabkan oleh rendahnya

tekanan subglotis yang disebabkan oleh kebocoran celah glotis atau lemahnya tenaga

generator yang diaktifkan paru.

Pemeriksaan dapat menilai derajat disfonia berdasarkan metode GRBAS dengan

menggunakan skala ordinal sebagai berikut :

1. Derajat 0 tidak ada disfonia

2. Derajat 1 disfonia ringan

3. Derajat 2 disfonia sedang

4. Derajat 3 disfonia berat

2.7 Penatalaksanaan

Terapi awal adalah konservatif tetapi kemudian bervariasi bergantung pada posisi pita

suara dan beratnya gejala yang menetap. Terapi wicara dilakukan sejak awal untuk

mempercepat terjadinya kompensasi. Tujuan terapi wicara antara lain memperbaiki kualitas

suara ( pada paresis pita suara) dan dapat berkomunikasi secara verbal. Pada kasus progresif

kronis biasanya tidak memerlukan terapi, karena kompensasi spontan sudah adekuat.2

Apabila kelumpuhan sudah berlangsung 6-9 bulan kemungkinan untuk sembuh

dengan sendirinya sangat kecil sekali, dan biasanya sudah terjadi kompensasi maksimal.

Biasanya observasi dilakukan selama satu tahun. Pada saat ini perlu dipertimbangkan terapi

bedah pada pasien secara selektif dengan kelumpuhan yang menetap. Pada pasien usia lanjut

dengan suara parau berat memerlukan pembedahan, kalau pita suara yang lumpuh melekuk

atau posisinya paramedian. 2

Pembedahan diperlukan bila kelumpuhan sebuah pita suara dalam suatu posisi lateral

dari garis median (posisi abduksi). Sedangkan bila kelumpuhan dalam posisi adduksi maka

12

Page 13: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

tidak diperlukan pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk memperbaiki suara atau

mencegah aspirasi. Beberapa prosedur telah dicoba dengan hasil yang baik. Arnold

melakukan suntikan pasta teflon pada pita suara yang lumpuh sehingga posisinya menjadi

median. Prosedur lain misalnya suntikan kolagen pasta gelfoam, implantasi tulang rawan,

otot atau tendon dan tindakan aritenoid adduction. 2

Yang tidak kalah penting adalah menghilangkan faktor penyebab yaitu kompresi saraf

oleh pembesaran jantung, peningkatan tekanan arteri pulmonalis, massa tumor di rongga

toraks. Obat-obatan dan pembedahan mengurangi tekanan pada arteri pulmonalis. Disfonia

karena penekanan nervus laringeus rekuren dapat bersifat reversibel apabila penyakit yang

mendasarinya ditatalaksana dengan cepat dan tepat, hal ini karena belum terjadi paralisis

saraf yang permanen. Sebaliknya apabila telah terjadi paralisis saraf yang permanen, maka

disfonia dapat bersifat irreversibel. 2

13

Page 14: Disfonia Akibat Kelainan Di Rongga Torak (Autosaved)

DAFTAR PUSTAKA

1. Aldiano, RD, dkk. Penatalaksanaan Suara Serak. Diakses dari www.scribd.com. Tanggal 12 Januari 2010.

2. Aziza, Elissa. 2004. Pemeriksaan Analisis Suara pada Sindrom Ortner. Dalam Kumpulan Makalah THT Laring-Faring. Departemen THT/FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

3. Hermani, Bambang, dkk. 2007. Disfoni. Dalam Buku Ajar Ilmu kesehatan THT-KL. Ed.6 Jakarta : FKUI.

4. Kamus kedokteran Dorland Ed.29. 2005. Jakarta: EGC.5. Alam, Syamsu. Trauma Toraks. Diakses dari www.thoraksbedah.blogspot.com.

Tanggal 13 Januari 2010.6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. 1997. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit buku

kedokteran EGC.Jakarta.7. Bye, MR. Laringomalacia. Diakses dari www.emedicine.com. Tanggal 12 Januari

2010.8. Aziza, Elissa. 2006. Usulan Penelitian Gambaran Analisa Suara Pada Penderita

Penyakit Hipertensi Pulmonal. Dalam Kumpulan Makalah THT Laring-Faring. Departemen THT/FKUI RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta.

9. Amin, Zulkifli. 2006. Penyakit Mediatinum. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Ed. IV. Jakarta: FKUI

10. Amin, Zulkifli. 2006. Kanker Paru. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Ed. IV. Jakarta: FKUI

11. Megantara, Imam. 2008. Suara Serak. Diakses dari www.imammegantara.blogspot.com. Tanggal 13 Januari 2010.

14