BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suara serak bukanlah suatu penyakit melainkan gejala dari suatu penyakit, umumnya
berhubungan dengan gangguan pita suara. Gangguan pita suara dapat terjadi karena adanya
infeksi pada tenggorokkan, pemakaian suara yang berlebihan, pertumbuhan tumor pada pita
suara, gangguan saraf pita suara, trauma pada leher akibat benturan dan infeksi paru-paru.1
Disfonia adalah setiap perubahan kualitas suara menyangkut nada maupun
intensitasnya, yang ditera secara obyektif maupun secara subyektif yang disebabkan oleh
gangguan fungsional ataupun organik yang terletak di sentral maupun perifer.2
Keluhan gangguan suara tidak jarang ditemukan dalam klinik. Gangguannya dapat
berupa suara terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara
lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri
dari beberapa nada ( diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan
mencapai nada atau intensitas tertentu.3
Penyebab disfonia dapat bermacam-macam yang prinsipnya menimpa laring dan
sekitarnya. Salah satu penyebabnya antara lain karena kelainan di rongga torak seperti
kelainan pada kardiovaskuler dan paru. Kelainan kardiovaskuler yang menyebabkan
terjadinya gangguan suara dikenal sebagai sindrom kardivokal yang terjadi akibat kompresi
nervus laringeus rekuren kiri. Sedangkan kelainan pada paru bisa terjadi karena peradangan
kronik seperti pada bronkitis kronik dan tuberkulosis. Penyebab paling sering umumnya
adalah infeksi pada tenggorokkan, biasanya karena infeksi saluran nafas atas, lesi jinak pita
suara dan gangguan suara fungsional. Perlu diwaspadai apabila suara serak lebih dari 2
minggu harus segera diperiksakan untuk menilai gangguan pada pita suara.1,2,3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Disfonia adalah setiap perubahan kualitas suara menyangkut nada maupun
intensitasnya, yang ditera secara obyektif maupun secara subyektif, yang disebabkan adanya
gangguan laring secara fungsional maupun organik yang terletak di sentral maupun perifer.
Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit.
Istilah disfonia sendiri dapat merefleksikan kelainan (abnormalitas) yang letaknya bisa di
berbagai tempat di sepanjang saluran vokalis, mulai dari rongga mulut hingga paru.2
Gangguan suara dapat berupa suara parau (hoarseness), suara terdengar kasar
(roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang suara
(afonia), suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri dari beberapa nada ( diplofonia),
nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas
tertentu.3
Rongga torak adalah bagian tubuh di antara leher dan diafragma respiratori yang
dibungkus oleh iga-iga, yang terdiri dari rongga pleura kiri dan kanan berisi paru-paru dan
rongga mediastinum dan isinya terletak di tengah dada.4,5
2.2 Anatomi
2.2.1 Laring dan Plika Vokalis
Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median
yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur
laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah
kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan
kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. Bagian yang paling proksimal dari
tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat
dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika
vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang
tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan
perkembangan arakus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari
2
aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat
didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung.6
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea
dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring memiliki kegunaan
penting yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme
sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara.7
Laring merupakan bataspaling bawah dari saluran napas atas yang merupakan pintu
masuk serta spingter ke saluran napas bawah. Adanya spingter inilah yang menyebabkan
laring mempunyai proteksi terhadap masuknya bahan makanan atau minuman ke saluran
napas pada proses menelan. Laring terletak setinggi vertebra servikal III sampai VI, tetapi
pada wanita dan anak-anak biasanya lebih tinggi. Batas atas laring adalah epiglotis dengan
plika ariepiglotika,sdangkan bagian bawahnya adalah cincin trakea pertama.2
Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis
terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu)
dan ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik
memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi,
konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus.7
Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik.
Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi
membuka rima glotis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima glotidis
dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea) pada
waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika berbicara.
Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis, sedangkan yang
terakhir oleh korteks serebri secara volunter.7
Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks.
Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m.
krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda
asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai
katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan
intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam
menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat 3
menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh
jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh
cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot fasial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.7
Gambar 1. Anatomi Laring1
Gambar 2. Anatomi pita suara1
2.2.2 Persarafan Laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringis superior dan n.
laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus
laringis superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa
laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak diatas m. konstriktor faring medial,
disebelah medial a.karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang
hioid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam
2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus.3
4
Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m. Konstriktor faring inferior dan
menuju ke m krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m. Tirohioid terletak
disebelah medial a. tiroid superior, menembus membran hiotiroid dan bersama-sama dengan
a. laringitis superior menuju ke mukosa laring.3
Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n. rekuren setelah saraf itu
memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang
dari n.vagus.3
Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya, sedangkan n.
rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantar cabang-
cabang a.tiroid inferior dan melalui dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan
sampai pada permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid,
saraf ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan
n.laringis superior ramus internus. 3
Gambar 3. Anatomi nervus laringeus rekuren kiri
5
Gambar 4. Anatomi nervus laringeus rekuren kiri
2.3 Fisiologi Fonasi
Sistem pembentukan suara secara fisiologis merupakan suatu fenomena aerodinamik
dan proses akustik yang sangat komplek.Tahapan pembentukan suara adalah2:
1. Aliran udara ( Airstream/ Airflow) dari paru
Berfungsi sebagai tenaga pengaktif suara. Fungsi paru yang baik sangat diperlukan
untuk mendukung proses pembentukan suara yang normal,karena pada saat fonasi akan
terjadi penutupan rima glotis oleh pita suara, sehingga aliran udara dari paru tertahan di
subglotis. Akibatnya perbedaan tekanan udara di atas dan dibawah glotis cukup tinggi,
sehingga terjadinya getaran( vibrasi). Tingginya tekanan udara di subglotis yang akhirnya
melewati celah glotis pada saat pita suara membuka (abduksi) secara tiba tiba akan
menentukan intensitas energi suara yang akhirnya keluar melalui rongaa mulut. Bila ingin
menghasilkan suara dengan volume keras maka harus melakukan inspirasi dan ekspirasi
maksimal, agar terjadi tekanan udara yang tinggi di subglotis.
6
Gambar 5. Proses Fonasi
2. Getaran pita suara yang berfungsi sebagai generator suara
Pada keadaan istirahat pita suara dalam keadaaan abduksi dengan jarak antara pinggir
lateral ke median 8 mm. Pada saat fonasi, terjadi kontraksi dari otot otot intrinsik laring
seperti m krikotiroid dan m krikoaritenoid lateral dengan cara menarik kartilago aritenoid ke
arah medial, sehingga terjadi penutupan rima glotis (adduksi), karena pita suara kanan dan
kiri saling merapat. Bila pita suara menjadi tipis, kaku dan panjang maka akan menghasilkan
suara tinggi. Sebaliknya pita suara tebal, kendor dan pendek, maka akan menghasilakan suara
yang rendah.
3. Resonansi suara dibentuk oleh perubahan ukuran dan bentuk laring dan rongga mulut.
Frekuensi dan energi suara sangat lemah,maka dipelukan organ resonansi untuk
memperkuatnya, yaitu dengan cara kontraksi otot otot konstriktor faring dan perubahan posisi
lidah, sehingga suara yang dihasilkan berubah ubah sesuai dengan kebutuhan. Resonansi juga
dipengaruhi oleh rongga hidung dan sinus paranasal.
4. Koordinasi dan kontrol diatur oleh susunan saraf pusat dan saraf tepi
Koordinasi ini sangat diperlukan mengingat pembentuka suara tidak hanya
melibatkan otot otot laring, tetapi juga otot otot diafragma, dada, leher, dasar mulut danm
palatum.
7
Gambar 6. Organ yang terlibat dalam proses fonasi
2.4 Etiologi
Penyebab disfonia akibat kelainan pada rongga torak antara lain disebabkan karena:
1. Kelainan jantung yaitu penyakit yang menyebabkan dilatasi atau peningkatan tekanan
arteri pulmonal diantaranya hipertensi pulmonal, stenosis mitral, penyakit jantung
bawaan (ASD dan PDA), gagal jantung kiri, emboli arteri pulmonal.8
2. Kelainan paru antara lain tuberkulosa paru, bronkitis kronik, atelektasis dan tumor
paru.3
3. Mediastinum berupa penekanan nervus laringeus rekurens kiri oleh massa seperti
tumor.9
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Sindrom Kardiovokal8
Sindrom kardiovokal merupakan sindrom yang ditandai oleh perubahan suara
(disfonia) yang diakibatkan oleh paralisis nervus laringeus rekuren kiri sebagai komplikasi
dari berbagai jenis penyakit kardiovaskuler. Hipotesis mengenai kasus ini awalnya
8
dikemukakan oleh Ortner pada tahun 1897 yang menyatakan bahwa penyebab suara serak
pada pasien dengan dengan stenosis mitral adalah karena paralisis nervus laringeus rekuren
kiri akibat kompresi saraf tersebut secara tidak langsung oleh dilatasi atrium kiri.
Hipotesis Ortner tentang mekanisme terjadinya sindrom kardiovokal kemudian
disangkal oleh beberapa peneliti selanjutnya berdasarkan hasil foto polos torak, hasil otopsi,
dan pemeriksaan kateterisasi jantung. Fetterolf dan Norris (1911) melakukan penelitian pada
11 kasus otopsi dan 26 laporan kasus penderita stenosis mitral dan menyimpulkan bahwa
untuk terjadinya paralisis nervus laringeus rekuren kiri maka harus terjepit (tertekan antara
dilatasi arteri pulmonal kiri dengan arkus aorta, atau dengan ligamnetum arteriosum.
Pernyataan ini didukung oleh King et al (1934) pada pasien dengan kasus gagal jantung
kiri,dolowitz dan Lewis (1948) pada defek atrium septum, Stocker dan Enterline (1958) pada
kasus PDA, Rosenberg (1964) dan Kagal (1975) pada kasus hipertensi pulmonal primer, dan
Albertini (1972) pada penderita emboli arteri pulmonal.
Hal ini terjadi karena secara anatomi dalam perjalanannya di mediastinum, nervus
laringeus rekuren kiri akan berjalan melewati suatu daerah “aortic triangle” yang dibentuk
oleh arteri pulmonal, arkus aorta, dan ligamentum arrteriosum.Jarak aorta dengan arteri
pulmonal kiri hanya 4,0 mm pada tempat ini, sehingga membuat saraf ini sangat rentan untuk
cedera yang salah satunya karena kompresi antara dilatasi arteri pulmonal kiri dengan aorta
atau ligamnetum arteriosum, atau karena limfadenopati yang terdapat di sekitar arkus aorta
yang mengakibatkan degenerasi dari serabut saraf dari nervus laringeus rekuren kiri.
Beberapa peneliti meyakini bahwa disfonia merupakan gejala dini terjadinya
dekompensasi kordis, dan dapat menjadi gejala pertama yang muncul.
Dolowitz dan Lewis mengatakan bahwa limfadenitis atau jaringan parut pada arkus
aorta mengkin menjadipenyebab fiksasi nervus laringeus rekuren kiri yang beeakibat
kerusakan dari saraf tersebut.
2.5.2 Disfonia karena kelainan pada paru2
Untuk terbentuknya suara terdapat 3 sistem organ pembentuk suara yang saling
berintegrasi untuk menghasilkan kualitas suara yang baik yaitu sistem pernapasan, laring dan
traktus vokalis supraglotis. Sistem respirasi berperan sebagai tenaga pengaktif suara. Fungsi
paru yang baik sangat diperlukan untuk mendukung proses pembentukan suara yang normal.
Pada saat berbicara normalnya akan terjadi penutupan rima glotis oleh pita suara,sehingga
aliran udara dari paru tertahan di subglotis. Akibatnya perbedaan tekanan udara di atas dan di
9
bawah glottis cukup tinggi, sehingga akhirnya terjadi getaran (vibrasi). Tingginya tekanan
udara di subglotis yang akan melewati celah glotis pada saat pita suara membuka secara tiba-
tiba akan menentukan intensitas energi suara yang akhirnya keluar melalui rongga mulut.
Pada kelainan paru seperti pada peradangan spesifik maupun peradangan nonspesifik dapat
mengganggu atau mengurangi aliran udara yang melalui pita suara yang secara langsung
mengurangi intensitas dari suara yang muncul.
2.5.3 Disfonia karena adanya masa di rongga torak9,10
Sama halnya dengan sindrom kardiovokal disfonia karena adanya masa di rongga
torak seperti tumor di mediastinum dan tumor paru disebabkan oleh penekanan pada nervus
larigeus rekuren kiri.
2.6 Diagnosis2,8,11
Diagnosis etiologi berupa kelainan jantung ataupun paru dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Jika penderita mengeluh suara
lemah/tertahan (damped voice), besar kemungkinan letak abnormalitas bicara (speech)
tersebut adalah di fase paru atau saluran trakeobronkial (level di bawah pita suara), salah
satunya akibat pergerakan paru yang terbatas, membuat suara yang keluar sulit dipersepsikan.
Pada pemeriksaan kardiovaskuler dapat dipakai pemeriksaan EKG, foto toraks,
pemeriksaan CT-scan, dan pemeriksaan dengan ekokardiografi. Foto torak ataupun CT-scan
juga dapat menentukan adanya kelainan di paru dan masa di rongga torak.
Untuk gejala klinis berupa disfonia akibat kelumpuhan pita suara dapat diperiksa dengan
berbagai macam pemeriksaan seperti:
1. Laringoskopi tidak langsung
Dengan pemeriksaan ini dapat dinilai kondisi anatomis, pergerakan, dan posisi
pita suara pada saat respirasi dan fonasi.Pada kelumpuhan pita suara akibat paralisis
nervus laringeus rekuren dapat terlihat pita suara lemah dan tak bergerak.
2. Pemeriksaan stroboskopi
Dengan memeriksa ada tidaknya gelombang mukosa, onset munculnya serta
berapa besar kecepatan gelombang yang terjadi. Sercarz melaporkan asimetris pada
10
gelombang mukosa, terutama ditemukan pada paralisis nervus vagus diikuti paralisis
pada nervus laringeus rekuren dan selanjutnya pada paralisis pada nervus laringeus
superior.
3. Pemeriksaan Elektromiografi
Pemeriksaan ini bersifat invasif dan relatif sulit dikerjakan, karena harus
memasukkan elektroda dengan menembus membrana krikotiroid setinggi glotis.
Elektroda tersebut harus menempel pada otot intrinsik laring seperti m.krikotiroid dan
m.tiroaritenoid atau m.krikoaritenoid lateral. Bila terdapat kelumpuhan nervus
laringeus rekuren, akan terdiagnosis dengan alat ini, karena alat ini dapat menilai
status neuromuskuler.
4. Pemeriksaan Aerodinamik
Waktu fonasi maksimal adalah waktu terlama seseorang untuk mengucapkan
huruf hidup setelah melakukan inspirasi maksimal. Biasanya menggunakan huruf
vokal /a/. Pada laki-laki dewasa normal waktu yang dibutuhkan lebih dari 20 detik
dengan standar deviasi 5,7. Pada wanita dewasa nilainya adalah lebih dari 15 detik
dengan standar deviasi 4,2, sedangkan pada anak-anak lebih dari 10 detik. Penelitian
Soedjak pada pria Indonesia dianggap tidak normal bila < 8 detik dan pada wanita
Indonesia dianggap tidak normal bila <6,4 detik. Hal ini menunjukkan sangat
buruknya aliran udara yang diperlukan untuk siklus fonasi, sehingga perlu evaluasi
dengan pemeriuksaan lanjut seperti foto torak dan fungsi paru untuk mengetahui
etiologi dari kelainan pada paru.
Pemeriksaan aerodinamik lainnya antara lain berupa rerata kecepatan aliran
fonasi (Mean Phonatory Flow Rate), di mana niali normal untuk dewasa 40-300 ml/
detik, sedangkan pada anak-anak sebesar 50-170 ml/detik. MPFR yang tinggi di atas
900 ml/detik menggambarkan adanya paralisis saraf laringeus rekuren.
5. Pemeriksaan Analisis Suara
Pemeriksaan analisis suara pada prinsipnya dapat dilakukan melalui dua cara
yaitu : (1) Pemeriksaan subyektif –persepsi dengan menggunakan telinga pemeriksa
(2) pemeriksaan secara obyektif dengan menganalisis berbagai parameter akustik dari
getaran pita suara.
Penilaian secara subyektif dapat dilakukan secara GRBAS yaitu menilai
derajat disfonia . Pemeriksaan ini untuk menilai derajat penyimpangan (grade of
11
deviance), serak/kasarnya (roughness), mendesah (breathyness), kelemahan
(astenitas),dan strain( ketegangan).
Rough voice adalah suara kasar dan bernada rendah, biasanya disebabkan oleh
adanya massa yang mengganggu getaran (vibarasi) pita suara seperti adanya tumor
atau kelainan yang terdapat pada pita suara. Breathy voice adalah suara yang
terdengar seperti kering, mendesah, terengah engah, berbisik biasanya dihubungkan
dengan penutupan pita suara yang tidak sempurna.Voice strain adalah suara yang
kaku, tegang, sulit dikeluarkan sehingga nada yang terdengar terputus -putus, pendek
dan bergetar (tremor). Astenitas adalah suara yang lemah disebabkan oleh rendahnya
tekanan subglotis yang disebabkan oleh kebocoran celah glotis atau lemahnya tenaga
generator yang diaktifkan paru.
Pemeriksaan dapat menilai derajat disfonia berdasarkan metode GRBAS dengan
menggunakan skala ordinal sebagai berikut :
1. Derajat 0 tidak ada disfonia
2. Derajat 1 disfonia ringan
3. Derajat 2 disfonia sedang
4. Derajat 3 disfonia berat
2.7 Penatalaksanaan
Terapi awal adalah konservatif tetapi kemudian bervariasi bergantung pada posisi pita
suara dan beratnya gejala yang menetap. Terapi wicara dilakukan sejak awal untuk
mempercepat terjadinya kompensasi. Tujuan terapi wicara antara lain memperbaiki kualitas
suara ( pada paresis pita suara) dan dapat berkomunikasi secara verbal. Pada kasus progresif
kronis biasanya tidak memerlukan terapi, karena kompensasi spontan sudah adekuat.2
Apabila kelumpuhan sudah berlangsung 6-9 bulan kemungkinan untuk sembuh
dengan sendirinya sangat kecil sekali, dan biasanya sudah terjadi kompensasi maksimal.
Biasanya observasi dilakukan selama satu tahun. Pada saat ini perlu dipertimbangkan terapi
bedah pada pasien secara selektif dengan kelumpuhan yang menetap. Pada pasien usia lanjut
dengan suara parau berat memerlukan pembedahan, kalau pita suara yang lumpuh melekuk
atau posisinya paramedian. 2
Pembedahan diperlukan bila kelumpuhan sebuah pita suara dalam suatu posisi lateral
dari garis median (posisi abduksi). Sedangkan bila kelumpuhan dalam posisi adduksi maka
12
tidak diperlukan pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk memperbaiki suara atau
mencegah aspirasi. Beberapa prosedur telah dicoba dengan hasil yang baik. Arnold
melakukan suntikan pasta teflon pada pita suara yang lumpuh sehingga posisinya menjadi
median. Prosedur lain misalnya suntikan kolagen pasta gelfoam, implantasi tulang rawan,
otot atau tendon dan tindakan aritenoid adduction. 2
Yang tidak kalah penting adalah menghilangkan faktor penyebab yaitu kompresi saraf
oleh pembesaran jantung, peningkatan tekanan arteri pulmonalis, massa tumor di rongga
toraks. Obat-obatan dan pembedahan mengurangi tekanan pada arteri pulmonalis. Disfonia
karena penekanan nervus laringeus rekuren dapat bersifat reversibel apabila penyakit yang
mendasarinya ditatalaksana dengan cepat dan tepat, hal ini karena belum terjadi paralisis
saraf yang permanen. Sebaliknya apabila telah terjadi paralisis saraf yang permanen, maka
disfonia dapat bersifat irreversibel. 2
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Aldiano, RD, dkk. Penatalaksanaan Suara Serak. Diakses dari www.scribd.com. Tanggal 12 Januari 2010.
2. Aziza, Elissa. 2004. Pemeriksaan Analisis Suara pada Sindrom Ortner. Dalam Kumpulan Makalah THT Laring-Faring. Departemen THT/FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
3. Hermani, Bambang, dkk. 2007. Disfoni. Dalam Buku Ajar Ilmu kesehatan THT-KL. Ed.6 Jakarta : FKUI.
4. Kamus kedokteran Dorland Ed.29. 2005. Jakarta: EGC.5. Alam, Syamsu. Trauma Toraks. Diakses dari www.thoraksbedah.blogspot.com.
Tanggal 13 Januari 2010.6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. 1997. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit buku
kedokteran EGC.Jakarta.7. Bye, MR. Laringomalacia. Diakses dari www.emedicine.com. Tanggal 12 Januari
2010.8. Aziza, Elissa. 2006. Usulan Penelitian Gambaran Analisa Suara Pada Penderita
Penyakit Hipertensi Pulmonal. Dalam Kumpulan Makalah THT Laring-Faring. Departemen THT/FKUI RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta.
9. Amin, Zulkifli. 2006. Penyakit Mediatinum. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Ed. IV. Jakarta: FKUI
10. Amin, Zulkifli. 2006. Kanker Paru. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Ed. IV. Jakarta: FKUI
11. Megantara, Imam. 2008. Suara Serak. Diakses dari www.imammegantara.blogspot.com. Tanggal 13 Januari 2010.
14