diare kronik

19
Oleh : Hilmi Riskawa DIARE KRONIK PADA ANAK PENDAHULUAN Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Mortalitas tersebut dapat disebabkan oleh dehidrasi atau akibat lingkaran sebab akibat dari diare-malnutrisi. Bayi dan anak sangat berisiko karena kebutuhan cairan yang lebih besar, daya tahan tubuh yang kurang, dan rentan terhadap agen fekal-organ. 1 Diare pada anak diperkirakan menyebabkan 5.000.000 kematian tiap tahun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, kasus diare berjumlah 10% dari total kasus rawat jalan. 2 Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 200-400 kejadian diare di antara 1.000 penduduk tiap tahunnya. Dengan demikian dapat diperkirakan terdapat 60 juta kejadian diare setiap tahun. Sebagian besar dari penderita ini (60-80%) adalah anak berusia <5 tahun. Diperkirakan bahwa setiap anak pada kelompok usia ini rata-rata mengalami lebih dari satu kali kejadian setiap tahunnya, sebagian dari padanya (1-2%) akan jatuh dalam keadaan dehidrasi dan 50-60% akan meninggal bila tidak segera mendapatkan pertolongan. 1 Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2003, penyakit diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di rumah sakit. 3 Sebagian besar penyakit diare bersifat akut yang biasanya berlangsung selama 3-5 hari, tetapi 5-15% kejadian diare berlangsung selama 14 hari atau lebih dan menyebabkan 1/3 – 1/2 atau lebih kematian. 4 Angka kematian akibat diare kronik di 1

Upload: wawan-bw

Post on 07-Aug-2015

77 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

Page 1: diare kronik

Oleh : Hilmi Riskawa

DIARE KRONIK PADA ANAK

PENDAHULUAN

Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas

anak di negara berkembang. Mortalitas tersebut dapat disebabkan oleh dehidrasi atau

akibat lingkaran sebab akibat dari diare-malnutrisi. Bayi dan anak sangat berisiko

karena kebutuhan cairan yang lebih besar, daya tahan tubuh yang kurang, dan rentan

terhadap agen fekal-organ.1

Diare pada anak diperkirakan menyebabkan 5.000.000 kematian tiap tahun di

negara berkembang. Di Amerika Serikat, kasus diare berjumlah 10% dari total kasus

rawat jalan.2 Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 200-400 kejadian diare di

antara 1.000 penduduk tiap tahunnya. Dengan demikian dapat diperkirakan terdapat

60 juta kejadian diare setiap tahun. Sebagian besar dari penderita ini (60-80%) adalah

anak berusia <5 tahun. Diperkirakan bahwa setiap anak pada kelompok usia ini rata-

rata mengalami lebih dari satu kali kejadian setiap tahunnya, sebagian dari padanya

(1-2%) akan jatuh dalam keadaan dehidrasi dan 50-60% akan meninggal bila tidak

segera mendapatkan pertolongan.1 Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2003,

penyakit diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat

jalan di rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di rumah

sakit.3

Sebagian besar penyakit diare bersifat akut yang biasanya berlangsung selama

3-5 hari, tetapi 5-15% kejadian diare berlangsung selama 14 hari atau lebih dan

menyebabkan 1/3 – 1/2 atau lebih kematian.4 Angka kematian akibat diare kronik di

Indonesia mencapai 23-62%, di luar negeri mencapai 45%, dan WHO melaporkan

sebanyak 35-56%. Kasus diare kronik walaupun lebih jarang dibandingkan diare akut

tetapi penting karena penatalaksanaannya sulit, sering sulit menentukan penyebabnya

dan memerlukan pemeriksaan khusus, merupakan 40-50% dari total hari perawatan

penderita diare, menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat badan

tiga kali lebih banyak daripada diare akut, dan mempunyai risiko kematian yang

tinggi.5 Pada sari kepustakaan ini akan dibahas tentang definisi, etiologi, klasifikasi,

patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi diare kronis pada anak.

1

Page 2: diare kronik

DEFINISI

Menurut WHO, diare yang berlangsung >14 hari dibagi menjadi diare kronik dan

diare persisten. Disebut diare kronik bila diare berlangsung >14 hari namun tidak

disebabkan oleh infeksi; sedangkan diare persisten adalah bila diare berlangsung >14

hari dan disebabkan oleh infeksi.5,6 Dalam beberapa literatur juga disebutkan istilah-

istilah lain yang termasuk diare kronik antara lain protracted diarrhea, diare intraktabel,

prolonged diarrhea, dan chronic non spesific diarrhea. Protracted diarrhea adalah

diare yang berlangsung >14 hari dengan tinja cair dan frekuensi ≥4 kali per hari. Diare

intraktabel adalah diare yang timbul berulang kali dalam waktu singkat misalnya 1-3

bulan. Prolonged diarrhea adalah diare yang berlangsung >7 hari. Chronic non

spesific diarrhea adalah diare yang berlangsung >3 minggu tetapi tidak disertai

gangguan pertumbuhan dan tidak disertai tanda-tanda infeksi maupun malabsorpsi.5

Untuk memudahkan pembahasan dalam sari kepustakaan ini dipakai istilah diare

kronik yang mencakup semua keadaan tersebut.

FAKTOR RISIKO & ETIOLOGI

Beberapa faktor risiko diare kronik antara lain malnutrisi, pemberian ASI <1 bulan,

pemberian antibiotik, infeksi campuran, adanya darah dalam tinja, pneumonia, dan

dehidrasi berat, pendidikan ibu, riwayat diare sebelumnya dalam tiga bulan terakhir

sebelum diopname, defisiensi seng, dan berat badan lahir rendah.7 Sebuah studi

retrospektif selama 5 tahun di Filipina tentang diare kronik pada bayi dan anak

menemukan bahwa subjek yang diberi susu formula lebih banyak yang mengalami

diare kronik yaitu sebanyak 46% berbanding 15% ASI dan 39% campuran ASI dan

susu formula. Hal ini disebabkan oleh kurangnya faktor-faktor imun yang terkandung

dalam susu formula dibandingkan ASI sebagai proteksi terhadap infeksi usus.8 Secara

epidemiologi, faktor risiko utama diare kronik adalah malnutrisi. Anak dengan

malnutrisi berat bila menderita diare kronik akan meningkatkan risiko mortalitas 17 kali

lipat dibandingkan malnutrisi ringan. Autopsi verbal di Bangladesh pada anak yang

meninggal akibat diare menemukan 50% penderita termasuk malnutrisi.9

Diare kronik dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun sering tidak ditemukan

penyebab spesifiknya.10 Diare kronik pada masa bayi dapat disebabkan oleh sindrom

malabsorpsi pasca gastroenteritis, intoleransi susu sapi/protein kedelai, defisiensi

disakaridase sekunder, atau fibrosis kistik. Pada masa kanak-kanak, etiologi diare

kronik antara lain diare kronik non spesifik, defisiensi disakaridase sekunder,

giardiasis, sindrom malabsorpsi gastroenteritis, penyakit celiac (gluten-sensitive

2

Page 3: diare kronik

enteropathy), atau fibrosis kistik. Pada masa adolesen, etiologi diare kronik antara lain

irritable bowel syndrome, inflammatory bowel disease, giardiasis, ataupun intoleransi

laktosa.2

Sindrom malabsorpsi pasca gastroenteritis adalah gangguan penyerapan

makanan akibat episode gastroenteritis yang panjang dan menurunnya asupan energi.

Inflammatory bowel disease seperti kolitis ulseratif, penyakit Chron, dan kolitis

mikroskopik dapat menyebabkan perubahan integritas mukosa usus sehingga terjadi

penurunan absorpsi air dan elektrolit melalui saluran cerna.2 Diare pada irritable bowel

syndrome ditandai dengan adanya konstipasi, nyeri abdomen, passase mucus dan

rasa tidak sempurna dalam defaksi. Pada beberapa pasien dijumpai konstipasi

dengan kejang perut yang berkurang dengan diare, kemungkinan disebabkan kelainan

motilitas intestinal. Diare terjadi akibat pengaruh fekal atau obstruksi tumor dengan

melimpahnya cairan kolon diantara feses atau obstruksi.11

Diare kronik non spesifik merupakan penyebab paling sering pada anak yang

sedang tumbuh. Usia rata-rata penderita 6-20 bulan. Diare terjadi 3-6 kali per hari

(tidak pada saat tidur) berupa diare berlendir. Diare makin parah bila diet rendah

karbohidrat/lemak dan selama stres dan infeksi. Diare tersebut biasanya sembuh

sendiri pada saat anak mencapai usia 3½ tahun (biasanya bersamaan dengan toilet

training). Tidak ada penyebab organik ditemukan. Kemungkinan penyebabnya adalah

kelainan absorpsi asam empedu di ileum terminal, absopsi karbohidrat inkomplit, dan

kelainan fungsi motorik. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga atau penyakit usus

fungsional. Pada pemeriksaan feses tidak ditemukan darah, leukosit, lemak, parasit,

dan bakteri patogen.12

Penyakit celiac (gluten-sensitive enteropathy) adalah penyakit malabsorpsi

herediter yang disebabkan oleh ketidakmampuan mentoleransi gluten secara

permanen. Gliadin (suatu protein tertentu) menyebabkan atrofi berat mukosa usus

halus. Insidensi penyakit ini tinggi di negara Irlandia.13

PATOGENESIS

Patogenesis terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multipel.7

Patogenesis utama pada diare kronik adalah kerusakan mukosa usus,5 yang

menyebabkan gangguan digesti dan transportasi nutrien melalui mukosa. Faktor

penting lainnya adalah faktor intraluminal yang menyebabkan gangguan proses digesti

saja misalnya akibat gangguan pankreas, hati, dan membran brush border enterosit.

3

Page 4: diare kronik

Biasanya kedua faktor tersebut terjadi bersamaan sebagai penyebab diare kronik.2

Pada tahap awal kerusakan mukosa usus disebabkan oleh etiologi diare akut yang

tidak mendapat penanganan dengan baik.5,7 Akhirnya berbagai faktor melalui interaksi

timbal balik mengakibatkan lingkaran setan. Keadaan ini tidak hanya menyebabkan

perbaikan kerusakan mukosa tidak efektif tetapi juga menimbulkan kerusakan mukosa

yang lebih berat dengan segala komplikasinya.5

Enteropatogen misalnya infeksi bakteri/infestasi parasit yang sudah resisten

terhadap antibiotik/anti parasit, disertai overgrowth bakteri non-patogen seperti

Pseudomonas, Klebsiella, Streptococcus, Staphylococcus, dan sebagainya akan

memprovokasi timbulnya lesi di mukosa usus. Kerusakan epitel usus menyebabkan

kekurangan enzim laktase dan protease yang mengakibatkan maldigesti dan

malabsorpsi karbohidrat dan protein. Pada tahap lanjut, setelah terjadi malnutrisi,

terjadi atrofi mukosa lambung, usus halus disertai penumpulan vili, dan kerusakan

hepar dan pankreas yang mengakibatkan terjadinya maldigesti dan malabsorpsi

seluruh nutrien. Makanan yang tidak dicerna dengan baik akan meningkatkan tekanan

koloid osmotik dalam lumen usus sehingga terjadilah diare osmotik. Overgrowth

bakteri yang terjadi mengakibatkan dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu.

Dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu merupakan zat toksik terhadap epitel

usus dan menyebabkan gangguan pembentukan ATP-ase yang sangat penting

sebagai sumber energi dalam absorpsi makanan.5,7

Usus merupakan organ utama untuk pertahanan tubuh. Defisiensi sekretori IgA

(SigA) dan cell mediated immunity akan menyebabkan individu tidak mampu

mengatasi infeksi bakteri/virus/jamur atau infestasi parasit dalam usus, akibatnya

kuman akan berkembang biak dengan leluasa, terjadi overgrowth dengan akibat lebih

lanjut berupa diare kronik dan malabsorpsi makanan yang lebih berat.5 Secara

skematis patogenesis diare kronik dapat dilihat pada Gambar 1.

4

Page 5: diare kronik

Infeksi & overgrowth bakteriDefisiensi imun

Kerusakan epitel usus

Laktase ↓ Protease ↓

Malnutrisi

HeparDekonjugasi & dehidroksilasi asam empedu

Atrofi mukosa lambung & vili usus

Gastrin, HCl, pepsin, sekretin ↓

PankreasPankreozimin &

polipeptida pankreas ↓

ATP-ase ↓ Maldigesti/ malabsorpsi

nutrien

Sekresi & motilitas ↓

Absorpsi protein asing ↑

Tekanan koloid osmotik ↑

Alergi Sensitisasi

DIARE KRONIK

Gambar 1. Patogenesis Diare Kronik Dikutip dari: Suraatmaja5

PENDEKATAN DIAGNOSTIK

Pendekatan diagnostik pasien dengan diare kronik dibagi menjadi empat langkah.

Penting sekali memastikan apakah pasien benar-benar menderita diare kronis

ataukah mengalami enkopresis yang diinterpretasi salah sebagai diare akibat

5

Page 6: diare kronik

sekunder dari pengeluaran feses secara konstan. Langkah-langkah pendekatan

diagnostik diare kronis adalah sebagai berikut:2

1. Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan feses, dan pemeriksaan darah.

Anamnesis pada diare kronik sangat penting bukan saja untuk mengetahui

lamanya diare tetapi juga untuk mengungkap etiologi diare kronik, derajat beratnya

malabsorpsi, menemukan penyakit yang mendasari terjadinya diare kronik,

menentukan derajat malnutrisi, dan failure to thrive.5 Status nutrisi penderita harus

diidentifikasi melalui anamnesis makanan dalam tiga hari terakhir.10 Hal-hal yang

perlu ditanyakan antara lain onset dan durasi diare; gambaran feses dan faktor-

faktor yang memperberat/memperingan; kualitas feses (warna, bau, konsistensi,

volume, adanya darah/lendir/makanan yang tidak dicerna); adanya demam atau

gejala-gejala lain yang berhubungan; riwayat gastroenteritis, konstipasi, riwayat

pneumonia sebelum onset diare kronik; riwayat perjalanan atau paparan infeksi;

riwayat pengobatan; atau riwayat keluarga.13 Penderita juga dianamnesis tentang

jumlah dan jenis cairan yang diminum setiap hari. Diare non spesifik kronik perlu

dicurigai pada penderita yang banyak minum cairan berkarbonat atau jus buah-

buahan >150 mL/kg/24 jam dan tidak disertai gangguan pertumbuhan dan

parameter tinggi badan.2

Pada pemeriksaan fisik perlu dievaluasi status hidrasi penderita, berat badan,

tinggi badan, indikator pertumbuhan; kulit apakah disertai edema, ikterus, pucat,

rash kemerahan, jari tabuh; paru-paru apakah disertai mengi atau crackles;

abdomen apakah nyeri, adanya massa (feses, abses, tumor, organomegali); dan

rektum apakah disertai tanda-tanda penyakit perianal, prolaps rekti, hirschprung,

atau konstipasi.13

Pemeriksaan feses merupakan langkah penting dalam investigasi diare kronik.

Bagian feses yang paling penting untuk diperiksa adalah cairan yang terkandung

dalam feses. Spesimen feses harus disimpan dalam kulkas sebelum dilakukan

pemeriksaan. Untuk pemeriksaan kultur feses dianjurkan menggunakan spesimen

feses segar. Adanya darah dalam pemeriksaan makroskopis feses menandakan

inflamasi kolon. Warna feses sangat penting dianalisis kecuali disertai darah.

Occult testing bermanfaat untuk mengetahui adanya perdarahan mikroskopik.

Pada pemeriksaan mikroskopik juga perlu diperiksa adanya leukosit, telur/parasit

seperti Giardia, amuba, atau kriptosporidia. Pemeriksaan darah seperti darah

lengkap, LED, elektrolit, ureum, kreatinin, dan sebagainya juga termasuk evaluasi

langkah pertama.2

6

Page 7: diare kronik

2. Sweat chloride test, deteksi malabsorpsi lemak, elektrolit feses, osmolalitas feses;

pemeriksaan phenophthalein, magnesium sulfat, fosfat feses; breath hydrogen

test.

Sweat chloride test bermanfaat untuk menyingkirkan fibrosis kistik.

Pengumpulan feses selama 72 jam merupakan syarat untuk mengetahui adanya

malabsorpsi lemak bila sweat chloride test negatif. Pemeriksaan phenophthalein,

magnesium sulfat, dan fosfat berguna untuk mengetahui apakah diare akibat

penggunaan yang salah laksatif (diare factitia).2

Breath hydrogen test berguna untuk menentukan malabsorpsi karbohidrat.

Breath hydrogen test untuk glukosa atau laktulosa bermanfaat untuk diagnosis

pertumbuhan bakteri.2 Hidrogen dihasilkan dari fermentasi bakteri dari karbohidrat;

hidrogen akan meningkat pada pertumbuhan bakteri dan intolerans laktosa. Breath

hydrogen test akan mencapai puncaknya dua jam setelah pertumbuhan bakteri

dan 3-6 jam pada pasien dengan defisiensi laktasa atau insufisiensi pankreas.

Membedakan defisiensi laktasa dan insufisiensi pancreas adalah dengan

pemberian enzim pancreas; metode ini akan menurunkan breath hydrogen.11

3. Endoskopi, biopsi usus halus, sigmoidoskopi atau kolonoskopi dengan biopsi,

barium.

4. Pemeriksaan neurohormonal dan neurotransmital seperti vasoactive intestinal

polypeptide, gastrin, sekretin, dan 5-hydroxyindoleacetic.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan diare kronik terutama difokuskan pada penyakit yang

mendasarinya. Menurut Suraatmaja,5 penatalaksanaan diare kronik meliputi tiga

langkah sebagai berikut:

1. Rehidrasi enteral/parenteral

a. Tanpa malnutrisi

Penderita diare kronik yang mengalami dehidrasi ringan/sedang tetap

diupayakan memberikan terapi rehidrasi oral, bila perlu cairan diberikan melalui

pipa nasogastrik sampai anak bisa minum per oral secara adekuat. Oralit

efektif untuk sebagian besar penderita diare kronik. Pada sebagian kecil

penderita mungkin terjadi gangguan absorpsi monosakarida (glukosa)

sehingga diare menjadi berat. Pada kasus demikian perlu dilakukan rehidrasi

intravena. Cara pemberian rehidrasi intravena sama dengan pemberian pada

diare akut.

7

Page 8: diare kronik

b. Dengan malnutrisi

Cairan yang diberikan adalah resomal, bila perlu dengan sonde. Infus hanya

diberikan dalam keadaan dehidrasi berat/syok dan muntah yang tidak

terkendali. Cairan infus yang digunakan untuk penderita diare kronik dengan

malnutrisi adalah DG 10% (banyak mengandung kalium). Pantau ketat untuk

mencegah kelebihan cairan dengan perhatian khusus pada tanda-tanda

edema dan produksi urin.

2. Terapi nutrisi

Tujuan terapi nutrisi pada penderita diare kronik adalah agar pertumbuhan dan

perkembangan tetap berlangsung optimal. Nutrisi sedapat mungkin diberikan per

oral karena lebih murah, efek samping minimal, dan rehabilitasi mukosa jauh lebih

cepat dan sempurna bila diberikan nutrisi intraluminal. Nutrisi yang diberikan harus

lengkap, berkualitas tinggi, dan mudah dicerna mengingat adanya

maldigesti/malabsorpsi yang kemungkinan dialami penderita. Makanan yang

diberikan sedikit-sedikit tapi sering. Nutrisi yang diberikan adalah:

a. Nutrisi enteral

Pada bayi yang mendapat ASI harus dilanjutkan. Bila tidak ada ASI, beri susu

formula rendah/bebas laktosa. Bila dengan susu formula rendah/bebas laktosa

tidak ada perbaikan, berikan susu formula khusus seperti Pepti Junior,

Nutramigen, Pregestemil, dan lain-lain. Pada anak-anak, makanan diberikan

bertahan dimulai dari makanan cair, lunak, lalu makanan biasa sesuai dengan

umur.

b. Nutrisi parenteral total (total parenteral nutrition = TPN)

TPN adalah suatu teknik memberikan nutrisi yang diperlukan tubuh melalui

intravena. Nutrisi yang diberikan terdiri dari air, elektrolit, asam amino, emulsi

lemak, mineral, vitamin, dan trace elements. TPN diberikan pada penderita

yang tidak dapat mentoleran atau menyerap zat makanan yang diberikan per

oral. Bila diberikan dengan benar TPN sangat bermanfaat bahkan dapat

menyelamatkan jiwa penderita.

3. Medikamentosa

a. Antibiotika

Antibiotika pada umumnya tidak dianjurkan bahkan berbahaya karena dapat

mengubah atau menimbulkan overgrowth flora usus sehingga diare bertambah

berat. Jika diperlukan, berikan sesuai dengan hasil biakan dan tes resistensi.

Pengalaman selama 25 tahun di Brazil menunjukkan bahwa penggunaan

8

Page 9: diare kronik

antibiotik dan/atau obat-obat lain secara rutin pada diare kronik (diare

persisten) tidak bermanfaat untuk mengontrol diare.7

b. Obat antidiare

Pemberian obat-obat anti diare seperti difenoksilat, loperamide dan obat

pengeras tinja seperti kaolin, pektin, arang aktif, attapulgit, smectite; tidak

dianjurkan. Obat-obatan tersebut berbahaya karena memberikan kesan

”sembuh palsu” dan dapat mempengaruhi motilitas usus yang justru

menghambat pengeluaran bakteri bersama tinja sehingga memberi

kesempatan pada bakteri untuk berada lebih lama dan berkembang biak dalam

usus.

c. Kolestiramin dan bismut sub salisilat

Kolestiramin (anion exchange resin) dan bismut sub salisilat mengikat asam

empedu yang toksis terhadap usus menjadi kompleks yang tidak larut dan

dikeluarkan bersama tinja sehingga stimulasi pada usus hilang. Dosis 4-20

gram cukup efektif dalam mengurangi jumlah tinja.

d. Mikronutrien

Berbagai mikronutrien seperti vitamin A, B12, asam folat, dan seng sangat

berguna untuk regenerasi mukosa dan reaksi imunologis. Penelitian yang

memperlakukan pasien dengan pemberian makanan tertentu dan beberapa

mikronutrien lain seperti vitamin A, thiamin, riboflavin, vitamin B6, B12, asam

folat, niasin, asam panthotenat, vitamin C, D, E, zat besi, seng, tembaga, dan

selenium menunjukkan bahwa penambahan berat badan lebih cepat daripada

kelompok kontrol.

Seng memegang peran penting untuk melindungi integritas sel membran

dan mungkin berguna untuk melindunginya dari perlukaan yang diakibatkan

oleh radikal bebas. Pada diare kronik kadar seng berkurang dengan bertambah

beratnya penyakit sehingga pemberian seng dapat memperbaiki status seng

penderita. Suplemen seng juga baik dalam rehabilitasi nutrisi untuk

meningkatkan berat badan anak dengan diare kronik.

Defisiensi vitamin A juga merupakan faktor risiko berkembangnya diare

kronik. Penelitian pada beberapa kasus mendapatkan bahwa pemberian

vitamin A dapat mengurangi risiko diare. Vitamin A dapat memperbaiki

pertumbuhan anak dengan HIV dan malaria serta menurunkan risiko stunting

dalam hubungannya dengan diare persisten.

9

Page 10: diare kronik

Diare kronik

Berat badan ↓Feses berlemak

Berat & tinggi badan normal,status nutrisi normal, feses tidak berlemak

Malabsorpsi

Tes diagnostik untuk menentukan etiologi

Terapi spesifik

Malabsorpsi karbohidratDiare kronik non spesifik

Asupan jus buah-buahan ↑Asupan minuman berkarbonat ↑Asupan lemak ↓

Kurangi asupan jus buah-buahanKurangi asupan cairan ≤ 90 mL/kg/24 jamTingkatkan asupan lemak 35-40%

Intoleransi laktosa Intoleransi sukrosa

Asupan laktosa ↓

Perbaikan (-)

Diet bebas laktosa

Asupan sukrosa ↓

Perbaikan (-)

Diet bebas sukrosa

Menurut Ghishan,2 penatalaksanaan diare kronik mengutamakan perbaikan status

nutrisi untuk memperbaiki atau mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan

yang optimal seperti yang disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Diare Kronik Dikutip dari: Ghishan2

10

Page 11: diare kronik

RANGKUMAN

Diare kronik, walaupun lebih jarang dibandingkan diare akut, tetap penting karena

penatalaksanaannya sulit dan mortalitasnya tinggi. Diare kronik dapat disebabkan oleh

berbagai faktor, namun sering tidak ditemukan penyebab spesifiknya. Patogenesis

terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multipel, faktor mukosa dan

intraluminal sering terjadi bersamaan sebagai penyebab diare kronik. Pendekatan

diagnostik pasien dengan diare kronik dibagi menjadi empat langkah, penting sekali

memastikan apakah pasien benar-benar menderita diare kronis atau bukan.

Penatalaksanaan diare kronik terutama difokuskan pada penyakit yang mendasarinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soeparto P. Sumbangan dan peran kaum professional dalam mendukung program

penyakit saluran cerna di era otonomi. Kumpulan Makalah Kongres Nasional II

Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. 2003. h. 17-27.

2. Ghishan FK. Chronic Diarrhea. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,

penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelpia: Saunders;

2008. h. 1621-6.

3. Ma’arij NFN. Identifikasi drug related problems (DRPs) dalam pengobatan diare

pada anak di instalasi rawat inap rumah sakit umum daerah wonogiri tahun 2007.

(diunduh 21 September 2010). Tersedia dari: http://etd.eprints.ums.ac.id.

4. Widaya IW, Gandi. Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan

mortalitas diare di era otonomi dan krisis. Kumpulan Makalah Kongres Nasional II

Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. 2003. h. 45-54.

5. Suraatmaja S. Gastroenterologi anak. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UNUD/RS Sanglah Denpasar: Sagung Seto. 2005.

6. Basu S, Chatterjee M, Ganguly S, Chandra PK. Effect of Lactobacillus rhamnosus

GG in persistent diarrhea in Indian children: A andomized controlled trial. J Clin

Gastroenterol. 2007;41:756-60.

7. Andrade JAB, Murcira C, Neto UF. Persistent diarrhea. Jurnal de Pediatrica.

2000;76:S119-24.

8. Doria RD, Abad MM, Bello J, Reyes RR, Costibolo ES. Chronic diarrhea in infancy

and childhood: a five year retrospective study. Phil J Microbiol Infect

Dis.1985;14:65-75.

9. Bhutta ZA, Ghishan F, Lindley K, Memon IA, Mittal S, Rhoads JM. Persistent and

11

Page 12: diare kronik

chronic diarrhea and malabsorption: working group report of the second world

congress of pediatric gastroenterology, hepatology, and nutrition. Journal of

Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2004:39:S711-6.

10. Pediatric Associates of Plano. Chronic Diarrhea. 2007 (diunduh 21 September

2010). Tersedia dari: http://www.planopeds.com.

11. Sutadi SM. Diare kronik. 2003 (diunduh 21 September 2010). Tersedia dari:

http://library.usu.ac.id.

12. Sondheimer JM, Sundaram S. Gastrointestinal tract: chronic diarrhea. Dalam: Hay

WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current diagnosis &

treatment. Edisi ke-19. New York: McGraw Hill. 2009. h. 594-6.

13. Baldassano R. Chronic diarrhea. Dalam: Schwartz MW, penyunting. Clinical

handbook of pediatrics. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

2003. h. 262-72.

12

Page 13: diare kronik

13

Page 14: diare kronik