bahan ajar kejadian ispa dan kejadian diare pada balita ” (30) daftar pustaka (52) “diare dan...

60

Upload: lamkhanh

Post on 02-Mar-2019

251 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

“Diare dan ISPA” i

BAHAN AJAR

PENYAKIT DIARE DAN ISPA

Nurun Nikmah, SST., M.Kes Ervi Suminar, S.Kep., Ns., M.Si

Penerbit

STKIP PGRI Bangkalan Jl. Soekarno-Hatta No. 52 Telp/Fax (031) 3092325 Bangkalan 69116 Website: www.press.stkippgri-bkl.ac.id

“Diare dan ISPA” ii

BAHAN AJAR

PENYAKIT DIARE DAN ISPA

Copyright©2018

Penulis

Nurun Nikmah, SST., M.Kes Ervi Suminar, S.Kep., Ns., M.Si

Desain Sampul Fathiyaturrohmah

Editor Muharromah Mushaddaq

Istiana Husen

Penanggung Jawab Sakrim, M.Pd.

Tata Letak Moh Ridlwan

Halaman: iv + 54

Ukuran: 14,8 cm x 21 cm Cetakan Pertama: Oktober 2018

ISBN 978-602-51778-5-9

Penerbit STKIP PGRI Bangkalan Jl. Soekarno-Hatta No.52

e-mail: [email protected] Website: www.press.stkippgri-bkl.ac.id

Isi di luar tanggung jawab penerbit

Lingkup Hak Cipta Pasal 1

Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pidana

Pasal 113 1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i

untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi

Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi

Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Pengguna Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4) Setiap orang yang memebuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

“Diare dan ISPA” iii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kami panjatkan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis dapat menyelesaikan

dan menerbitkan Buku Ajar Diare dan ISPA. Buku ini

merupakan penunjang mahasiswa pada pembelajaran tentang

penatalaksanaan Diare dan ISPA. Buku ini diharapkan dapat

memenuhi mahasiswa kebidanan dan keperawatan dalam

memahami tentang penatalaksanaan Diare dan ISPA.

Tujuan penyusunan buku ajar ini yaitu membantu para

pengajar atau dosen dan mahasiswa kesehatan dalam

melaksanakan proses belajar mengajar yang efektif.

Mudah-mudahan dengan diterbitkannya buku ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan pendorong

bagi para dosen untuk berkarya nyata dalam penyusunan

buku-buku sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya.

Penulis sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran

perbaikan terhadap isi buku ini. Akhirnya kami mengucapkan

terimakasih dan penghargaan kepada semua pihak terkait

yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan buku ini.

Bangkalan, Oktober 2018

Penulis

“Diare dan ISPA” iv

DAFTAR ISI

Halaman Judul (i) Kata Pengantar (ii) Daftar Isi (iii) BAB 1 Konsep Diare

1. Pengertian Diare (1) 2. Klasifikasi Diare (2)

3. Faktor-faktor terjadinya Diare (3) 4. Gejala Diare (6) 5. Patofisiologis Diare (7) 6. Komplikasi Diare (8)

7. Penatalaksanaan Diare (8) 8. Penatalaksanaan Diare Akut (9)

9. LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntas Diare) (10) 10. Pencegahan diare (14)

BAB 2 Konsep ISPA

1. Pengertian ISPA (16) 2. Etiologis ISPA (18) 3. Patogenesis ISPA (18)

4. Gejala ISPA (20) 5. Klasifikasi ISPA (22) 6. Cara penularan ISPA (23)

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA (24) 8. Diagnosa ISPA (24) 9. Penatalaksanaan ISPA (25)

10. Perawatan dirumah (26)

11. Pencegahan dan Pemberantasan ISPA (27)

BAB 3 Hasil Penelitian tentang “Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA dan Kejadian Diare pada Balita” (30) Daftar Pustaka (52)

“Diare dan ISPA” 1

BAB 1 DIARE

TIK: Mahasiswa mampu mengetahui tentang:

1. Pengertian Diare 2. Klasifikasi Diare

3. Faktor-faktor terjadinya Diare

4. Gejala Diare

5. Patofisiologis Diare 6. Komplikasi Diare

7. Penatalaksanaan Diare

8. Penatalaksanaan Diare Akut 9. LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntas Diare) 10. Pencegahan Diare

1. Pengertian Diare

a. Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari,

dengan atau tanpa darah dan atau lendir dalam feses.

Secara epidemologik, biasanya diare didefinisikan

sebagai pengeluaran feses lunak atau cair tiga kali

sehari atau lebih dalam sehari. (Sodikin, 2011)

b. Neonatus dinyatakan diare bia frekuensi buang air

besar sudah lebih dari 4 kali. Sedangkan untuk bayi

berumur lebih dari satu bulan dan anak dikatakan

diare bila frekuensinya lebih dari 3 kali dalam 24 jam.

(FKUI, 2008)

c. Diare (bahasa Inggris: diarrhea) adalah sebuah penyakit

di saat tinja atau feses berubah menjadi lembek atau

cair yang biasanya terjadi paling sedikit tiga kali dalam

24 jam. (World Health Organization, 2009)

“Diare dan ISPA” 2

d. Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang

tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang

lebih lembek atau cair. (Suharyono, 2008)

e. Diare (bahasa Inggris: diarrhea) adalah sebuah penyakit

di saat tinja atau feses berubah menjadi lembek atau

cair yang biasanya terjadi paling sedikit tiga kali dalam

24 jam. ("Diarrhoea: Why children are still dying and what

can be done", World Health Organization).

(image: http://doktersehat.com/diare-pada-anak-dan-balita/)

2. Klasifikasi Diare

Klasifikasi diare berdasarkan waktu diare terdiri dari :

a. Diare Akut

Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-

waktu, berlangsung kurang dari 14 hari, dengan

pengeluaran tinja lunak atau cair yang dapat atau

tanpa disertai lendir dan darah. (Ernawati, 2012)

b. Diare Persisten

Diare persisten adalah diare yang pada mulanya akut,

tetapi berlangsung lebih dari 14 hari. Jika terdapat

dehidrasi sedang atau berat diklasifikasikan sebagai

berat atau kronik. Diare persisten menyebabkan

kehilangan berat badan karena pengeluaran volume

“Diare dan ISPA” 3

faces dalam jumlah banyak dan berisiko mengalami

diare (Sodikin, 2011).

Diare persisten dibagi menjadi dua yaitu diare persisten

berat dan diare persisten tidak berat atau ringan. Diare

persisten berat merupakan diare yang berlangsung

selama ≥ 14 hari, dengan tanda dehidrasi, sehingga

anak memerlukan perawatan di rumah sakit.

Sedangkan diare persisten tidak berat atau ringan

merupakan diare yang berlangsung selama 14 hari atau

lebih yang tidak menunjukkan tanda dehidrasi (Ariani,

2016).

c. Diare Kronis

Diare kronis adalah diare yang berlanjut lebih dari 2

minggu, disertai dengan kehilangan berat badan atau

tidak bertambah berat badannya. (Sodikin, 2011)

d. Diare Malnutrisi Berat

Diare malnutrisi berat disebabkan karena infeksi.

Infeksi dapat menyebabkan anak mengalami malnutrisi

karena selama sakit,mengalami infeksi, anak

mengalami penurunan asupan makanan, gangguan

pertahanan dan fungsi imun (Kuntari, 2013).

3. Faktor-Faktor Terjadinya Diare

a. Faktor Infeksi

1) Infeksi enteral adalah infeksi saluran pencernaan

makanan yang merupakan penyebab utama diare

pada anak. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut:

a) Infeksi bakteri: Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella,

Campylobacter, Yersinia, Aeromonas dan

sebagainya.

“Diare dan ISPA” 4

b) Infeksi virus : Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie,

Poliomyelitis) Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan

lain-lain.

c) Infeksi parasite : Cacing (Ascaris,

Strongyloides)Protozoa (Entamoeba histolytica,

Giardia lamblia, Trichomonas hominis), Jamur

(Candida albicans)

2) Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat

pencernaan makanan seperti : otitis media akut

(OMA), tonsillitis atau tonsilofaringitis,

bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.

Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak

berumur di bawah 2 tahun.

b. Faktor Malabsorbsi

1) Malabsorbsi karbohidrat adalah disakarida

(intoleransi laktosa, membran dan sukrosa),

monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan

galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan

tersering intoleransi laktosa)

2) Malabsorbsi lemak

3) Malabsorbsi protein

Menunda pemberian makanan padat memberikan

kesempatan pada system pencernaan bayi untuk

berkembang menjadi lebih matang. Biasanya bayi siap

untuk makan-makanan padat, baik secara

pertumbuhan maupun secara psokologis, pada usia

6-9 bulan. Bila makanana padat sudah mulai diberikan

sebelum system pencernaan bayi siap untuk

menerimanya, maka makanan tersebut tidak dapat

dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan

reaksi yang tidak menyenangkan (gangguan

“Diare dan ISPA” 5

pencernaan, timbulnya gas, konstipasi) tubuh bayi

belum memiliki protein pencernaan yang lengkap.

Asam lambung dan pepsin dibuang pada saat

kelahiran dan bari dalam 3 sampai 4 bulan

terakhir jumlahnya meningkat mendekati jumlah

orang dewasa. Amylase, enzim yang diproduksi oleh

pancreas belum mencapai jumalh yang cukup untuk

mencernakan makanan kasar sampai usia sekitar 6

bulan. Dan enzim pencerna karbohidrat seperti

maltase, isomaltase dan sukrase sebelum mencapai

level orang dewasa sebelum 7 bulan. Bayi juga

memiliki jumlah lipase dan bilesats dalam jumlah

yang sedikit, sehingga pencernaan lemak belum

mencapai level orang dewasa sebelum 6-9 bulan.

c. Faktor Makanan

Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.

1) Faktor psikologis; Rasa takut dan cemas (jarang,

tetapi dapat terjadi pada saat anak yang lebih

besar).

2) Tidak memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan;

Risiko menderita diare berat beberapa kali lebih

besar pada bayi yang tidak mendapatkan ASI

dibandingkan bayi yang mendapat ASI

eksklusif. Risiko kematian karena diare juga lebih

besar.

3) Menggunakan botol susu yang tidak bersih;

Penggunaan botol ini memudahkan pencermaran oleh

kuman yang berasal dari feses dan sukar dibersihkan.

Sewaktu-waktu dimasukkan kedalam susu di

masukkan ke dalam botol yang tidak bersih,

terjadi kontaminasi kuman dan bila tidak segera

“Diare dan ISPA” 6

diminum, kuman dapat berkembang biak di

dalamnya.

4) Menyimpan makanan matang pada suhu kamar;

Penyimpanan yang sudah dimasak untuk digunakan

kemudian memudahkan pencemaran, salah

satunya melalui kontak dengan permukaan

peralatan yang terpajan. Jika makanaan disimpan

beberapa jam pada suhu kamar, kuman dapat

berkembang biak di dalamnya.

5) Menggunakan air minum tercemar bakteri yang

berasal dari feses; Air mungkin terpajan pada

sumbernya atau pada saat disimpan dirumah.

Pencemaran dirumah dapat terjadi jika tempat

penyimpanan tidak tertutup atau jika tangan

tercemar kuman saat kontak dengan air sewaktu

mengambil dari tempat penyimpanan.

6) Tidak mencuci tangan sesudah membuang air

besar, sesudah membuang feses, atau sebelum

memasak makanan.

7) Membuang feses (termasuk feses bayi)

dengan tidak benar. (Sodikin, 2011).

4. Gejala Diare

a. Dehidrasi

b. Gelisah

c. Mata cekung

d. Nadi cepat

e. Pernafasan cepat.

f. Ubun- ubun cekung

g. Berat badan turun

“Diare dan ISPA” 7

5. Patofisiologis Diare

a. Gangguan Osmotic

Makanan atau zat yang tidak dapat diserap

menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus

meninggi terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam

rongga usus, hal ini menyebabkan isi rongga usus

berlebihan sehingga merangsang usus

mengeluarkannya (diare).

b. Gangguan Sekresi

Toksin pada dinding usus meningkat sekresi air dan

elektrolit kedalam usus, peningkatan isi rongga usus

merangsang usus untuk mengeluarkannya.

c. Gangguan Motalitas Usus

Hiperperistaltik menyebabkan berkurangnya

kesempatan usus untuk menyerap makanan atau

peristaltic yang menurun menyebabkab bakteri

tumbuh berlebihan menyebabkan peradangan pada

rongga usus sehingga sekresi air dan elektrilit

meningkat. Hal ini menyebabkan absorsi rongga usus

menurun sehingga terjadilah diare (Erich, 2008)

d. Gambaran Klinis

Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah,

suhu tubuh meningkat, nafsu makan menurun atau

tidak ada, kemudian timbul diare.Tinja cair, mungkin

disertai lendir dan darah.Warna tinja makin lama

berubah kehijauan karena bercampur dengan

empedu. Anus dan daerah sekitarnya timbul lecet

karena sering defekasi dan tinja makin lam makin

asam sebagai akibat makin banyak asam laktat yang

berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus

selama diare (Ngastiyah, 1997).

“Diare dan ISPA” 8

Gejala muntah dapat timbul sebelum atau sesudah

diare dan dapat disebabkan karena lambung turut

meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam

basa dan elektrolit. Bila pasien telah banyak

kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi

mulai tampak yaitu berat badan turun, gelisah, nadi

cepat, pernafasan cepat,ubun-bubun besar cekung,

tonus dan turgor agak berkurang, mata cekung.

Bedasarkan banyak cairan yang hilang dapat dibagi

menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat. Dan

berdasarkan tonisitas plasma dibagi menjadi

dehidrasi isotonic, hipotonik, hipertonik (Sodikin, 2011)

6. Komplikasi Diare

a. Dehidrasi

b. Renjatan hipovolemik

c. Hipokalemia

d. Hipoglikemia

e. Intoleransi laktosa sekunder

f. Kejang

g. Malnutrisi

7. Penatalaksaan Diare

Menurut Sodikin, M.Kes 2011

a. Diare cair membutuhkan pergantian dan

elektrolit tanpa menimbang etiologinya.

b. Makanan harus terus diberikan, bahkan harus

ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek

buruk pada status gizi.

c. Antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin

karena tidak bermanfaat pada kebanyakan kasus,

“Diare dan ISPA” 9

termasuk dalam hal ini pada diare berat dan diare

dengan panas, kecuali pada :

1) Disentri yang harus diobati dengan antimikroba

yang efektif untuk shigella. Penderita yang tidak

berespons terhadap pengobatan ini harus dikaji

lebih lanjut atau diobati untuk kemungkinan

amoebiasis

2) Suspek kolera dengan dehidrasi berat

3) Diare persisten, jika ditemukan tropoziot atau

kista G.Lamblia atau tropozit E. histolitica pada

feses atau cairan usus, atau bila bakteri pathogen

usus ditemukan dalam kultur feses.

8. Penatalaksanaan Diare Akut

a. Penggunaan rehidrasi elektrolit seimbang pada orang

tua dengan diare berat atau setiap pelancong dengan

kolera seperti diare cair dianjurkan. Kebanyakan

individu dengan diare akut atau gastroenteritis dapat

mengikuti cairan cairan dan garam dengan konsumsi

air, jus, minuman olahraga, sup, dan biskuit asin.

b. Penggunaan probiotik atau prebiotik untuk pengobatan

diare akut pada orang dewasa tidak dianjurkan, kecuali

dalam kasus penyakit terkait postantibiotic.

c. Bismuth subsalicylates dapat diberikan untuk

mengontrol tingkat pengeluaran tinja dan dapat

membantu wisatawan, berfungsi lebih baik selama

serangan ringan sampai sedang penyakit.

d. Pada pasien yang menerima antibiotik untuk diare,

terapi loperamide tambahan harus diberikan untuk

mengurangi durasi diare dan meningkatkan

kesempatan untuk menyembuhkan.

“Diare dan ISPA” 10

e. Penggunaan antibiotik untuk diare yang didapat dari

masyarakat harus dihindari karena studi epidemiologi

menunjukkan bahwa sebagian besar diare yang

didapat oleh masyarakat adalah virus asal (norovirus,

rotavirus, dan adenovirus) dan tidak diperpendek

dengan penggunaan antibiotik.

9. LINTAS Diare ( Lima Langkah Tuntaskan Diare )

a. Berikan Oralit

Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat

dilakukan mulai dari rumah tangga dengan

memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak

tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin,

kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di

pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas

yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan

muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi

penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang.

Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa

ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan

cairan melalui infus.

Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi :

1) Diare tanpa dehidrasi

Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di

bawah ini atau lebih :

a) Keadaan Umum : baik

b) Mata : Normal

c) Rasa haus : Normal, minum biasa

d) Turgor kulit : kembali cepat

Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb:

a) Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak

mencret

“Diare dan ISPA” 11

b) Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak

mencret

c) Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali

anak mencret

2) Diare dehidrasi Ringan/Sedang

Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila

terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:

a) Keadaan Umum : Gelisah, rewel

b) Mata : Cekung

c) Rasa haus : Haus, ingin minum banyak

d) Turgor kulit : Kembali lambat 20

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/

kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit

seperti diare tanpa dehidrasi.

3) Diare dehidrasi berat

Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah

ini atau lebih:

a) Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar

b) Mata : Cekung

c) Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum

d) Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari

2 detik)

Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera

dirujuk ke Puskesmas untuk di infus.

b. Berikan obat Zinc

Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang

penting dalam tubuh. Zinc dapat menghambat enzim

INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana

ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan

mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga

berperan dalam epitelisasi dinding usus yang

“Diare dan ISPA” 12

mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama

kejadian diare.

Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu

mengurangi lama dan tingkat keparahan diare,

mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi

volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian

diare pada 3 bulan berikutnya.(Black, 2003). Penelitian

di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc mempunyai

efek protektif terhadap diare sebanyak 11 % dan

menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa Zinc

mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67 % (Hidayat

1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti ini semua

anak diare harus diberi Zinc segera saat anak

mengalami diare.

Dosis pemberian Zinc pada balita:

1. Umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari selama

10 hari

2. Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10

hari.

Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun

diare sudah berhenti. Cara pemberian tablet zinc :

Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau

ASI, sesudah larut berikan pada anak diare.

c. Pemberian ASI / Makanan :

Pemberian makanan selama diare bertujuan

untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada

anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah

berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum

Asi harus lebih sering di beri ASI. Anak yang minum

susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya.

Anak uis 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah

mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan

“Diare dan ISPA” 13

yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit

dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian

makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk

membantu pemulihan berat badan.

d. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi

Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin

karena kecilnya kejadian diare pada balita yang

disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat

pada penderita diare dengan darah (sebagian besar

karena shigellosis), suspek kolera. Obat-obatan Anti

diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang

menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat

anti muntah tidak di anjurkan kecuali muntah berat.

Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun

meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar

menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa

berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila

terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).

e. Pemberian Nasehat

Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat

dengan balita harus diberi nasehat tentang :

1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah

2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas

kesehatan bila :

a) Diare lebih sering

b) Muntah berulang

c) Sangat haus

d) Makan/minum sedikit

e) Timbul demam

f) Tinja berdarah

g) Tidak membaik dalam 3 hari.

“Diare dan ISPA” 14

10. Pencegahan Diare

a. Memberikan ASI eksklusif kepada bayi usia 4-6 bulan.

b. Menghindari penggunaan susu botol

c. Memperbaiki cara penyiapan dan penyimpanan

makanan pendamping ASI (untuk mengurangipajanan

ASI terhadap bakteri dan perkembangbiaka bakteri).

d. Menggunakan air bersih untuk minum.

e. Mencuci tangan denga baik sesudah buang air besar

dan setelah membuang feses bayi, serta sebelum

menyiapkan makanan atau sebelum makan.

f. Membuang feses (termasuk feses bayi) secara benar.

g. Konseling tingkat pasien pada pencegahan infeksi

enterik akut tidak dianjurkan secara rutin tetapi dapat

dipertimbangkan dalam kontak individu atau dekat

dari individu yang berisiko tinggi untuk komplikasi.

h. Individu harus menjalani konseling pretravel mengenai

menghindari makanan / minuman berisiko tinggi

untuk mencegah diare.

i. Cuci tangan yang sering dan efektif dan pembersih

tangan berbahan dasar alkohol memiliki nilai terbatas

dalam mencegah sebagian besar pendeerita diare tetapi

mungkin berguna di mana patogen dosis rendah

bertanggung jawab untuk penyakit seperti contoh

selama jatuhnya kapal pesiar infeksi norovirus, wabah

institusional, atau pencegahan diare endemic (Riddle,

2016).

“Diare dan ISPA” 15

(image: http://alditakhairunisa.blogspot.co.id/2012/10/diare.html)

“Diare dan ISPA” 16

BAB 2 Infeksi Saluran Pernafasan Akut

( ISPA )

TIK: Mahasiswa mampu mengetahui tentang:

1. Pengertian ISPA

2. Etiologis ISPA

3. Patogenesis ISPA

4. Gejala ISPA

5. Klasifikasi ISPA

6. Cara penularan ISPA 7. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA

8. Diagnosa ISPA

9. Penatalaksanaan ISPA 10.Perawatan dirumah 11.Pencegahan dan Pemberantasan ISPA

1. Pengertian ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Atas dalam bahasa

Indonesia juga di kenal sebagai ISPA

(Infeksi Saluran Pernapasan Atas) atau URI (Upper

Respiratory Tract Infection) dalam bahasa Inggris adalah

penyakit yang diakibatkan adanya infeksi pada sistem

pernapasan atas.

a. Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan

Akut (ISPA) merupakan istilah yang diadaptasi dari

istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections

(ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu

infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Dengan

pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya

kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga

“Diare dan ISPA” 17

menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan

adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus- sinus, rongga telinga

tengah dan pleura.Infeksi akut adalah infeksi yang

berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil

untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk

beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam

ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

(Depkes RI, 2004).

b. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah

Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih

dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli

termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah,

pleura). (Kemenkes RI, 2011).

(image : https://halosehat.com/penyakit/ispa/9-penyebab-ispa-pada-

anak-dan-dewasa)

“Diare dan ISPA” 18

2. Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri,

virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya antara lain dari

genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus, Hemofilus,

Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara

lain golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus,

Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus (Depkes RI,

2004).

3. Patogenesis ISPA

Menurut Baum (1974), saluran pernapasan selama

hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga guna

mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang

efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernapasan

terhadap infeksi mauapun partikel dan gas yang ada di

udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang

selalu terdapat pada orang sehat, yaitu:

a. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia.

b. Makrofag alveoli terjadi.

c. Antibodi setempat.

Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi

bakteri mudah terjadi pada saluran napas yang sel-sel

epitel mukosanya rusak, akibat infeksi terdahulu. Selain

itu, hal-hal yang dapat menggangu keutuhan lapisan

mukosa dan gerak silia adalah:

a. Asap rokok dan gas SO₂ yang merupakan polutan

utama dalam pencemaran udara

b. Sindrom immotil.

c. Pengobatan dengan O₂ konsentrasi tinggi (25 % atau

lebih).

Makrofag banyak terdapat di alveolus dan akan

dimobilisasikan ke tempat lain bila terjadi infeksi. Asap

“Diare dan ISPA” 19

rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag

membunuh bakteri, sedangkan alkohol akan

menurunkan mobilitas sel-sel ini (Baum,1974).

Antibodi setempat yang ada pada saluran

pernapasan ialah imunoglobulin A (IgA).Antibodi ini

banyak terdapat di mukosa. Kekurangan antibodi ini

akan memudahkan terjadinya infeksi saluran

pernapasan, seperti yang sering terjadi pada anak.

Mereka dengan defisiensi IgA akan mengalami hal

yang serupa dengan penderita yang mengalami

imunodefisiensi lain, seperti penderita yang

mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita dengan

neoplasma yang ganas dan lain-lain (immunocompromised

host) (Baum,1974). Menurut Baum (1974) gambaran klinik

radang yang disebabkan oleh infeksi sangat tergantung

Pada:

1) Karakteristik inokulum meliputi ukuran aerosol,

jumlah dan tingkat virulensi jasad renik yang masuk.

2) Daya tahan tubuh seseorang tergantung pada utuhnya

sel epitel mukosa, gerak mukosilia, makrofag alveoli

dan IgA.

3) Umur mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi

pada anak dan bayi akan memberikan gambaran klinis

yang lebih buruk bila dibandingkan dengan orang

dewasa. Gambaran klinis yang buruk dan tampak

lebih berat tersebut terutama disebabkan oleh infeksi

virus pada bayi dan anak yang belum

memperoleh kekebalan alamiah. (Baum,1974 dalam

Alsagaff, 2009).

“Diare dan ISPA” 20

4. Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat

menular, hal ini timbul karena menurunnya sistem

kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena

kelelahan atau stres. Pada stadium awal, gejalanya

berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang

kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung

tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri

kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan

membengkak.Infeksi lebih lanjut membuat sekret

menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila

tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang

sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi

adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi

saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia

(radang paru) (Halim, 2000).

Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala

yang berbeda yang pada dasarnya ditimbulkan oleh

iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir yang

berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak

semua penelitian dan kegiatan program memakai gejala

gangguan pernafasan yang sama. Misalnya untuk

menentukan infeksi saluran pernafasan, WHO

menganjurkan pengamatan terhadap gejala-gejala,

kesulitan bernafas, radang tenggorok, pilek dan penyakit

pada telinga dengan atau tanpa disertai demam.Efek

pencemaran terhadap saluran pernafasan memakai

gejala-gejala penyakit pernafasan yang meliputi radang

tenggorokan, rinitis, bunyi mengi dan sesak nafas

(Robertson, 1984 dalam Purwana, 1992).

Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan

telah terbukti bahwa kadar debu berasosiasi dengan

“Diare dan ISPA” 21

insidens gejala penyakit pernafasan terutama gejala batuk.

Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap

menyebabkan oedema mukosa dinding saluran pernafasan

sehingga terjadi penyempitan saluran.

Menurut Putranto (2007), faktor yang mendasari

timbulnya gejala penyakit pernafasan :

a. Batuk

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah

jika terjadi rangsangan pada bagian-bagian peka

saluran pernafasan, misalnya trakeobronkial, sehingga

timbul sekresi berlebih dalam saluran

pernafasan.Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran

pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran

pernafasan dalam bentuk pengeluaran udara (dan

lendir) secara mendadak disertai bunyi khas.

b. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir

(mucus glands) dan sel goblet oleh adanya stimuli,

misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan

mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di

samping dahak dalam saluran pernafasan juga

terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan

yang berdegenerasi.

c. Sesak nafas

Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh

aliran udara dalam saluran pernafasan karena

penyempitan.Penyempitan dapat terjadi karena

saluran pernafasan menguncup, oedema atau karena

sekret yang menghalangi arus udara.Sesak nafas dapat

ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam satu

menit.

“Diare dan ISPA” 22

d. Bunyi mengi

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit

pernafasan yang turut diobservasikan dalam

penanganan infeksi akut saluran pernafasan.

e. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan di Desa Kibera

Lindi, Nairobi, Kenya, mayoritas anak-anak ini

mengalami batuk, pilek, dan demam. Penarikan dada

dan kesulitan bernapas tidak umum terjadi pada anak-

anak. Selain infeksi saluran pernafasan akut, anak-anak

juga menderita sakit seperti diare, muntah, menolak

makan, dan infeksi kulit (Sikolia, 2002).

5. Klasifikasi ISPA (WHO, 2003)

a. Klasifikasi Berdasarkan Umur

1) Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a) Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-

tanda klinis seperti berhenti menyusu (jika

sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa

kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor

pada anak yang tenang, mengi, demam (38ºC

atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di

bawah 35,5 ºC), pernafasan cepat 60 kali atau lebih

per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis

sentral(pada lidah), serangan apnea, distensi

abdomen dan abdomen tegang.

b) Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan

frekuensi kurang dari 60 kali per menit dan tidak

terdapat tanda pneumonia seperti diatas.

2) Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan

atas :

a) Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan

bernafas yang disertai dengan sianosis sentral,

“Diare dan ISPA” 23

tidak dapat minum, adanya penarikan dinding

dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.

b) Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas

dan penarikan dinding dada tetapi tidak disertai

sianosis sentral dan dapat minum.

c) Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan

pernafasan cepat tanpa penarikan dinding dada.

d) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk

(atau kesulitan bernafas) tanpa pernafasan cepat

atau penarikan dinding dada.

e) Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis

pneumonia tetap sakit walaupun telah diobati

selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang

adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya

terdapat penarikan dinding dada, frekuensi

pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.

b. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

1) Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian

faring, seperti pilek, otitis media, faringitis.

2) Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis

atau laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai

dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis,

laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis,

pneumonia.

6. Cara Penularan Penyakit ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara

yang telah tercemar, bibit penyakit masuk ke dalam

tubuh melalui pernafasan, maka penyakit ISPA termasuk

golongan Air Borne Disease.Penularan melalui udara

“Diare dan ISPA” 24

terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan

benda terkontaminasi.Sebagian besar penularan melalui

udara, dapat pula menular melalui kontak langsung,

namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar

penularannya adalah karena menghisap udara yang

mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme

penyebab (Halim, 2000).

7. Faktor-Faktor yang mempengaruhi ISPA

Berdasarkan studi kasus tentang ISPA pada 300

kasus balita di rumah sakit pedesaan India Tengah,

(2010-2012) Bahwa ISPA dipengaruhi oleh faktor resiko

yaitu sosiodemografi dan sosial-budaya, berbagai faktor

risiko yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah

kekurangan menyusui, kurang gizi, status imunisasi,

menunda penyapihan, malnutrisi, berat lahir rendah dan

prematuritas. Pada variabel lingkungan, ventilasi yang

tidak memadai, kondisi rumah yang tidak tepat, paparan

udara dalam ruangan, polusi dalam bentuk pembakaran

dari bahan bakar yang digunakan untuk memasak

ditemukan sebagai faktor risiko yang signifikan untuk

kejadian ISPA pada balita.

Jadi, untuk pencegahan ISPA, promosi kesehatan

dasar, langkah-langkah seperti praktik pemberian makan

bayi yang benar, nutrisi yang tepat dan perbaikan sosio-

ekonomi. (Taksande, 2016)

8. Diagnosa ISPA

Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat

ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap

jasad renik itu sendiri.Pemeriksaan yang dilakukan

adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara

“Diare dan ISPA” 25

langsung.Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena

bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan

darah, biakan cairan pleura (Halim, 2000).

Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya

nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali

per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat

pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.Rujukan

penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk

atau kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala

tidak sadar dan tidak dapat minum.Pada klasifikasi

bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek

biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau

penyakit non pnemonia lainnya (Halim, 2000).

9. Penatalaksanaan ISPA

Menurut Rasmaliah (2005) penatalaksanaan ISPA ada

tiga:

a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan

antibiotik parenteral, oksigen dan sebagainya.

b. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol per

oral. Bila penderita tidak mungkin diberi

kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian

kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat

dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin,

amoksisilin atau penisilin prokain.

c. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik.

Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat

digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain

yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti

kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila

demam diberikan obat penurun panas yaitu

parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila

“Diare dan ISPA” 26

pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak

nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah

bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan

oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik

(penisilin) selama 10 hari.Tanda bahaya setiap bayi

atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan

perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.

10. Perawatan dirumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk

mengatasi anaknya yang menderita ISPA:

a. Mengatasi Panas (Demam)

Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam

diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan

kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam

harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali

tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya,

tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian

digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,

dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air

(tidak perlu air es).

b. Mengatasi Batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu

ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh

dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh,

diberikan tiga kali sehari.

c. Pemberian Makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit

tetapi berulang- ulang yaitu lebih sering dari biasanya,

lebih-lebih jika muntah.Pemberian ASI pada bayi yang

menyusu tetap diteruskan.

“Diare dan ISPA” 27

d. Pemberian Minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan

sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan

membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan

akan menambah parah sakit yang diderita.

e. Lain-lain

Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut

yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak

dengan demam.Jika pilek, bersihkan hidung yang

berguna untuk mempercepat kesembuhan dan

menghindari komplikasi yang lebih parah.Usahakan

lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang

berventilasi cukup dan tidak berasap.Apabila selama

perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka

dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas

kesehatan.Untuk penderita yang mendapat obat

antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat

yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar

selama 5 hari penuh.Dan untuk penderita yang

mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2

hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan

untuk pemeriksaan ulang.

11. Pencegahan dan Pemberantasan ISPA

Pencegahan dapat dilakukan dengan :

a. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.

b. Immunisasi.

c. Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.

d. Menyusui

Di negara berkembang, anak-anak yang eksklusif

menyusui selama 6 bulan memiliki 30% -42% insiden

lebih rendah terjadi ISPA dibandingkan dengan anak-

“Diare dan ISPA” 28

anak yang tidak mendapatkan durasi menyusui yang

sama. Penelitian terbaru laporan dari kohor

longitudinal oleh Mihrshahi et al., melaporkan

peningkatan risiko ISPA (risiko relatif = 2.3) di antara

anak-anak tidak menyusui secara memadai. Menyusui

termasuk salah satu tindakan yang menyelamatkan

jiwa dalam pencegahan berbagai penyakit masa kanak-

kanak. Sehingga, menyusui adalah salah satu rencana

aksi global WHO / UNICEF untuk menghentikan

pneumonia. Selain itu, cuci tangan, ditingkatkan nutrisi,

dan pengurangan polusi udara dalam ruangan

disarankan sebagai strategi utama untuk melindungi

dari pneumonia pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.

e. Mencuci Tangan

Tinjauan sistematis kuantitatif dari studi yang

dikembangkan negara-negara memperkirakan mencuci

tangan mengurangi insiden infeksi pernafasan sebesar

24% (mulai dari 6% hingga 44%). Bukti-bukti dari

negara berkembang masih kurang tentang masalah ini.

f. Polusi Udara Dalam Ruangan

Paparan polusi udara dalam ruangan memiliki 2,3 (1,9-

2,7) kali peningkatan risiko infeksi pernapasan

(terutama yang lebih rendah infeksi saluran

pernafasan). Oleh karena itu, gunakan bahan bakar

yang lebih bersih atau kompor improvisasi telah

terbukti hemat biaya intervensi untuk mengurangi

insiden polusi udara dalam ruangan. Penelitian jutaan

kematian juga telah melaporkan peningkatan

prevalensi rasio (PR = 1,54 di antara pria, 1,94 di antara

wanita) dari infeksi pernafasan karena penggunaan

bahan bakar padat.

“Diare dan ISPA” 29

g. Vaksin Pencegah ISPA

Keparahan dan penularan ISPA oleh patogen utama,

ketersediaan laboratorium diagnostik terbatas, dan

resistensi antibiotik untuk berbagai macam obat

membuat vaksin sebagai intervensi potensial terhadap

ISPA. Sementara kematian konvensional karena

pertusis, difteri dan campak dikurangi dengan

imunisasi rutin, infeksi karena organisme bakteri

lainnya seperti H. influenza, Streptococcus pneumonia

tetap bertanggung jawab atas Penyakit ISPA (Selvaraj,

2014).

“Diare dan ISPA” 30

BAB 3 Analisis Hasil Penelitian

Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Kejadian ISPA dan

Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Jaddih Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ISPA DAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA

JADDIH KECAMATAN SOCAH KEBUPATEN BANGKALAN

Nurun Nikmah, SST.,M.Kes1) Ervi Suminar, S.Kep.,Ns.,M.Si2)

Program Studi D-III Kebidanan, STIKES Insan Se Agung Bangkalan1)

Email : [email protected] Program Studi S-I Keperawatan, STIKES Insan Se Agung

Bangkalan2)

Email : [email protected]

ABSTRACT

Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan

diare merupakan masalah kesehatan pada Balita yang masih harus dijadikan fokus dalam mengatasi masalah kesehatan pada Balita. Penyakit ISPA dan diare masih menjadi masalah global dengan derajad kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) yang tinggi, sehingga penting untuk dilakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian ISPA Dan Kejadian Diare pada Balita Di Desa Jaddih Kecamatan Socah Kebupaten Bangkalan”.

“Diare dan ISPA” 31

Desain penelitian ini analitik dengan menggunakan rancangan Cross Sectional. Sampel adalah ibu yang mempunyai balita sebanyak 146 orang. Variabel independen (status imunisasi, pemberian ASI eksklusif, sanitasi lingkungan, dan status gizi balita) dan variabel dependen (kejadian Diare dan ISPA). Pengumpulan data dengan sampel secara cross sectional. Analisis data menggunakan uji Regresi Logistik dengan tingkat kesalahan 0,05.

Hasil analisis data dengan uji Regresi Logistik diperoleh bahwa pengaruh status imunisasi terhadap kejadian diare p>α (0,854>0,05), pemberia ASI Eksklusif terhadap kejadian diare p>α (0,286>0,05), sanitasi lingkungan dengan kejadian diare p<α (0,02<0,05), status gizi balita dengan kejadian diare p<α (0,035<0,05). Dan pengaruh status imunisasi terhadap kejadian ISPA p>α (0,224>0,05), pemberia ASI Eksklusif terhadap kejadian ISPA p<α (0,014<0,05), sanitasi lingkungan dengan kejadian ISPA p<α (0,008<0,05), status gizi balita dengan kejadian ISPA p>α (0,144>0,05). Dari hasil analisa diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh secara bersama sama antara status gizi (EXB=0,563) dan sanitasi lingkungan (EXB=0,383) dengan kejadian diare, serta ada pengaruh secara bersama sama antara ASI Eksklusif (EXB=0,288) Dan status gizi (EXB=0,452) dengan kejadian ISPA.

Kata kunci : ISPA, Diare, Balita

“Diare dan ISPA” 32

PENDAHULUAN Latar Belakang

Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan diare merupakan masalah kesehatan pada Balita yang masih harus dijadikan focus dalam mengatasi masalah kesehatan. Penyakit ISPA dan diare masih menjadi masalah global dengan derajad kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) yang tinggi di berbagai Negara terutama di Negara berkembang. Penyakit ISPA dan diare juga merupakan penyakit yang utama meyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas anak di Dunia.

ISPA disebabkan oleh virus atau bakteri yang masuk ke saluran nafas. Asap pembakaran bahan bakar kayu yang biasanya digunakan untuk memasak merupakan salah satu penyebab ISPA. Asap bahan bakar kayu ini banyak menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat masih ada yang menggunakan kayu bakar untuk aktifitas memasak terutama ibu-ibu rumah tangga, dan tanpa disadari asap tersebut telah mereka

hirup sehari-hari, sehingga menyebabkan timbulnya keluhan batuk, sesak nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon,

Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2008).

Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan atau tanpa darah dan atau lendir dalam feses. Secara epidemiologic, biasanya diare didefinisikan sebagai pengeluaran feses lunak atau cair tiga kali sehari atau lebih dalam satu hari (Sodikin, 2014).

Neonatus dikatakan diare jika frekuensi buang air besar lebih dari empat kali, sedangkan untuk bayi berusia lebih dari satu bulan dan pada anak dikatakan diare bila frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam (FKUI, 2008).

Berdasarkan study pendahuluan yaitu data tahun 2015 di wilayah kerja Puskesmas Jaddih terdapat data 484 bayi usia 0-12 bulan dalam 4 desa, dan berdasarkan data kohort bayi pada bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun

“Diare dan ISPA” 33

2015 di Jaddih tercatat sebanyak 182 bayi usia 0-12 bulan. Data kunjungan berobat pada bulan Februari 2016 didapatkan 11 bayi terkena ISPA dan 13 bayi terkena diare. Data kujungan pasien berobat untuk balita pada bulan Februari 2016 didapatkan 16 balita terkena ISPA dan 18 balita diantaranya terkena diare. (Bidan Desa Jeddih, 2016)

Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu karena pada penelitian ini ingin membuktikan dan mencari faktor (status imunisasi, pemberian ASI eksklusif, sanitasi lingkungan, dan status gizi balita) yang mempengaruhi 2 kejadian masalah kesehatan balita yaitu kejadian ISPA dan Diare pada balita. Harapannya yaitu mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA dan Diare, sehingga upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian karena ISPA dan Diare pada balita bisa secara bersama-sama dilakukan.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya, maka peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Kejadian ISPA Dan Kejadian Diare pada Balita Di Desa Jaddih Kecamatan Socah Kebupaten Bangkalan”.

Kajian Literatur ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). Faktor resiko timbulnya ISPA menurut Dharmage (2009) : a. Faktor Demografi Faktor demografi terdiri dari 3 aspek yaitu : 1) Usia 2) Jenis Kelamin 3) Pendidikan

b. Faktor Biologis Faktor biologis terdiri dari 2 aspek yaitu (Notoatmodjo, 2007):

“Diare dan ISPA” 34

1) Status gizi Menjaga status gizi yang

baik, sebenarnya bisa juga mencegah atau terhindar dari penyakit terutama penyakit ISPA. Misalnya dengan memperbanyak air putih dan mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna, olah raga teratur serta istirahat cukup. Faktor rumah

Syarat-syarat rumah sehat diantarnya dari bahan bangunan, ventilasi, dan cahaya c. Faktor Polusi Adapun penyebab dari faktor polusi terdiri : 1) Cerobong asap 2) Kebiasaan merokok

Faktor Penyebab ISPA pada Balita 1) Berat badan bayi rendah 2) Status gizi buruk 3) Status imunisasi tidak

lengkap 4) Kepadatan tempat tinggal

dan lingkungan fisik (DEPKES, 2002) Diare

Neonates dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali. Sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak dikatakan diare bila

frekuensinya lebih dari 3 kali dalam 24 jam (FKUI, 2008) Faktor Penyebab Diare Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu (Depkes RI, 2007): 1. Tidak memberikan ASI

secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang diberi ASI resiko menderita diare lebih kecil daripada balita yang tidak diberi ASI.

2. Menggunakan botol susu. Penggunaan botol yang kurang bersih atau sudah dipakai terlalu lama dibiarkan dilingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol bisa tercemar oleh kuman/bakteri penyebab diare.

3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, makanan yang disimpan terlalu lama pada suhu kamar, makanan tersebut akan tercermar dan kuman mudah berkembang biak.

4. Menggunakan air minum yang tercemar kuman/ bakteri/ virus.

5. Tidak mencuci tangan sesudah defekasi dan sesudah membuang tinja

“Diare dan ISPA” 35

atau sebelum makan serta menyuapi anak

6. Tidak membuang tinja dengan baik, beranggapan tinja tidak berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung bakteri atau virus dalam jumlah besar..

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Observasional analitik, menggunakan data kuantitatif. Data diperoleh dari sumbernya dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.

(Sugiyono, 2009)

Pendekatan Waktu Pengumpulan Data

Pendekatan waktu dalam penelitian ini adalah cross sectional yaitu desain penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara variabel cara pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach), artinya setiap subyek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subyek pada saat pemeriksaan. (Sugiyono, 2009)

Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini

menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, menggunakan bantuan kuesioner terstruktur. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung kepada ibu yang mempunyai Balita dan observasi kepada Balita.

Populasi penelitian

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas; objek/ Subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Balita Di Desa Jaddih Kecamatan Socah Kebupaten Bangkalan.

Prosedur Pemilihan sampel dan sampel penelitian

Pemilihan sampel penelitian dilakukan secara probability sampling dengan secara simple random sampling

yaitu pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak sederhana.

“Diare dan ISPA” 36

Instrumen Penelitian dan Cara Penelitian Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data menggunakan kuesioner terstruktur dengan pertanyaan tertutup yaitu pertanyaan yang kemungkinan jawabannya sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak diberi kesempatan memberikan jawaban lain.

Tehnik Pengolahan dan Analisa Data

Tehnik Pengolahan Data yaitu dengan proses editing, skoring, koding, pemrosesan data, dan cleaning data. Analisa Data

Tahap ini melakukan analisa data yang sudah di entry sehingga dihasilkan informasi yang digunakan untuk menjawab pertanyaan dan menguji hipotesis. Hasil pengukuran pada variabel Independen dan variabel dependen dikategorikan menjadi 2 kategori.

Analisis data pada penelitian ini dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Analisis Univariat

Dilakukan uji normalitas kolmogorov smirnov terlebih

dahulu sebelum analisa univariat. Apabila nilai p > 0,05 maka data berdistribusi normal, bila nilai p < 0,05 maka data berdistribusi tidak normal, kemudian data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. 2) Analisa Bivariat

Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Apabila data penelitian berdistribusi normal maka menggunakan uji statistik Pearson Product Moment, bila berdistribusi tidak normal maka menggunakan uji statistik Rank Spearman. 3) Analisis Multivariat

Untuk melihat pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat yaitu dengan menggunakan uji regresi logistik. Apabila didapatkan nilai p < 0,05 maka Ho ditolak yang berarti ada pengaruh antara variabel bebas dan terikat dan apabila nilai p > 0,05 maka Ho diterima berarti tidak ada pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat. ( Notoatmodjo, 2005)

“Diare dan ISPA” 37

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Data Umum a. Umur Ibu Tabel 5.1 Distribusi frekuensi umur ibu di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Umur Frekuensi Persentase (%)

20-30 tahun 78 53,4

31-41 tahun 57 39

42-52 tahun 11 7,5

Total 146 100,0

Dari hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa sebagian besar umur adalah 20-30 tahun yaitu sebanyak 78 orang (53,4%). b. Pekerjaan Tabel 5.2 Distribusi frekuensi pekerjaan ibu di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)

Ibu rumah tangga

94 64,4

Swasta 40 27,4

PNS 12 8,2

Total 146 100

Dari hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa rata-rata adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 94 orang (64,4%).

c. Pendidikan Tabel 5.3 Distribusi frekuensi pendidikan ibu di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

SD 70 47,9

SMP 47 32,2

SMA 17 11,6

PT 12 8,2

Total 146 100,0

Dari hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan responden adalah SD yaitu sebanyak 70 orang (47,9%) d. Umur Balita Tabel 5.4 Distribusi frekuensi umur balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Umur balita Frekuensi Persentase (%)

1 tahun 38 26

2 tahun 31 21,2

3 tahun 26 17,8

4 tahun 27 18,5

5 tahun 24 16,4

Total 146 100

Dari hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa sebagian besar umur balita adalah 1 tahun yaitu sebanyak 38 anak (26%).

Data Khusus a. Status Imunisasi Tabel 5.5 Distribusi frekuensi Status Imunisasi di Desa Jaddih wilayah kerja

“Diare dan ISPA” 38

Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Status Imunisai

Frekuensi Persentase (%)

Lengkap 127 87

Tidak lengkap

19 13

Total 146 100,0

Dari hasil pengumpuan data menunjukkan bahwa sebagian besar status imunisasi lengkap yaitu sebanyak 127 orang (87%) b. Pemberian ASI Eksklusif Tabel 5.6 Distribusi frekuensi Pemberian ASI Eksklusif di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Pemberian ASI Eksklusif

Frekuensi Persentase (%)

ASI Eksklusif 108 74

Tidak ASI Eksklusif

38 26

Total 146 100,0

Dari hasil pengumpuan data menunjukkan bahwa sebagian besar memberikan ASI Eksklusif yaitu sebanyak 108 orang (74%). c. Status Gizi Balita Tabel 5.7 Distribusi frekuensi Status Gizi balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Status Gizi Frekuensi Persentase (%)

Baik 80 54,8

Cukup 37 25,3

Kurang 29 19,9

Total 146 100,0

Dari hasil pengumpuan data menunjukkan bahwa sebagian Status Gizi Balita Baik yaitu sebanyak 80 orang (48,8%) d. Sanitasi Lingkungan Tabel 5.8 Distribusi frekuensi Sanitasi Lingkungan di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Sanitasi Lingkungan

Frekuensi Persentase (%)

Sehat 112 76,7

Tidak Sehat 34 23,3

Total 146 100,0

Dari hasil pengumpuan data menunjukkan bahwa sebagian besar Sanitasi Lingkungan yaitu sebanyak 112 orang (76,7%) e. Kejadian diare Tabel 5.9 Distribusi frekuensi kejadian diare di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Kejadian diare frekuensi Persentase (%)

Terjadi 93 63,7

Tidak terjadi 53 36,3

Total 146 100,0

Dari hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa sebagian besar balita pernah terjadi diare yaitu sebanyak 93 anak (63,7%). f. Kejadian ISPA Tabel 5.10 Distribusi frekuensi kejadian ISPA di Desa Jaddih

“Diare dan ISPA” 39

wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

Kejadian ISPA

frekuensi Persentase (%)

Terjadi 102 69,9

Tidak terjadi 44 30,1

Total 146 100,0

Dari hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa sebagian besar balita pernah terjadi ISPA yaitu sebanyak 102 anak (69,9%).

g. Tabulasi silang Status Imunisasi dan Kejadian Diare Tabel 5.11 Tabulasi Silang Status Imunisasi dengan Kejadian Diare pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

diare Total

terjadi tidak terjadi

status_ imunisasi

lengkap Count 80 47 127

% within status_imunisasi 63.0% 37.0% 100.0%

% of Total 54.8% 32.2% 87.0%

tidak lengkap

Count 13 6 19

% within status_imunisasi 68.4% 31.6% 100.0%

% of Total 8.9% 4.1% 13.0%

Total Count 93 53 146

% within status_imunisasi 63.7% 36.3% 100.0%

% of Total 63.7% 36.3% 100.0%

Dari tabel 5.11 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian diare cenderung pada balita dengan status imunisasi tidak lengkap yaitu 13 (68,4%), sedangkan balita dengan tidak terjadi diare cenderung pada balita dengan imunisasi lengkap yaitu 47 (37,0%).

“Diare dan ISPA” 40

h. Tabulasi silang ASI Eksklusif dan Kejadian Diare Tabel 5.12 Tabulasi Silang ASI Eksklusif dengan Kejadian Diare pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

diare

Total terjadi tidak terjadi

asi_ eksklusif

eksklusif Count 66 42 108

% within asi_eksklusif 61.1% 38.9% 100.0%

% of Total 45.2% 28.8% 74.0%

tidak eksklusif

Count 27 11 38

% within asi_eksklusif 71.1% 28.9% 100.0%

% of Total 18.5% 7.5% 26.0%

Total Count 93 53 146

% within asi_eksklusif 63.7% 36.3% 100.0%

% of Total 63.7% 36.3% 100.0%

Dari tabel 5.12 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian diare cenderung pada balita yang tidak mendapat ASI Eksklusif yaitu 27 (71,1%), sedangkan balita dengan tidak terjadi diare cenderung pada balita yang mendapat ASI Eksklusif yaitu 42 (38,9%). i. Tabulasi silang Status Gizi dan Kejadian Diare Tabel 5.13 Tabulasi Silang Status Gizi dengan Kejadian Diare pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

diare

Total terjadi tidak terjadi

status_ gizi

baik Count 41 39 80

% within status_gizi 51.2% 48.8% 100.0%

% of Total 28.1% 26.7% 54.8%

cukup Count 32 5 37

% within status_gizi 86.5% 13.5% 100.0%

% of Total 21.9% 3.4% 25.3%

kurang Count 20 9 29

% within status_gizi 69.0% 31.0% 100.0%

% of Total 13.7% 6.2% 19.9%

Total Count 93 53 146

% within status_gizi 63.7% 36.3% 100.0%

% of Total 63.7% 36.3% 100.0%

“Diare dan ISPA” 41

Dari tabel 5.13 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian diare cenderung pada balita dengan status gizi cukup yaitu 32 (86,5%), sedangkan balita dengan tidak terjadi diare cenderung pada balita dengan status gizi baik yaitu 39 (48,8%). j. Tabulasi silang Sanitasi Lingkungan dan Kejadian Diare Tabel 5.14 Tabulasi Silang Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017. diare

Total terjadi tidak terjadi

sanitasi_ lingkungan

sehat Count 66 46 112

% within sanitasi_lingkungan 58.9% 41.1% 100.0%

% of Total 45.2% 31.5% 76.7%

tidak sehat

Count 27 7 34

% within sanitasi_lingkungan 79.4% 20.6% 100.0%

% of Total 18.5% 4.8% 23.3%

Total Count 93 53 146

% within sanitasi_lingkungan 63.7% 36.3% 100.0%

% of Total 63.7% 36.3% 100.0%

Dari tabel 5.14 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian diare cenderung pada balita dengan sanitasi lingkungan yang tidak sehat yaitu 27 (79,4%), sedangkan balita dengan tidak terjadi diare cenderung pada balita dengan sanitasi lingkungan yang sehat yaitu 46 (41,1%).

k. Tabulasi silang Status Imunisasi dan Kejadian ISPA Tabel 5.15 Tabulasi Silang Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017. ispa

Total terjadi tidak terjadi

status_ imunisasi

lengkap Count 86 41 127

% within status_imunisasi 67.7% 32.3% 100.0%

% of Total 58.9% 28.1% 87.0%

tidak lengkap

Count 16 3 19

% within status_imunisasi 84.2% 15.8% 100.0%

% of Total 11.0% 2.1% 13.0%

Total Count 102 44 146

% within status_imunisasi 69.9% 30.1% 100.0%

% of Total 69.9% 30.1% 100.0%

“Diare dan ISPA” 42

Dari tabel 5.15 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian ISPA cenderung pada balita dengan status imunisasi tidak lengkap yaitu 16 (84,2%), sedangkan balita dengan tidak terjadi ISPA cenderung pada balita dengan imunisasi lengkap yaitu 41 (32,3%).

l. Tabulasi silang ASI Eksklusif dan Kejadian ISPA Tabel 5.16 Tabulasi Silang ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017. ispa

Total terjadi tidak terjadi

asi_ eksklusif

eksklusif Count 69 39 108

% within asi_eksklusif 63.9% 36.1% 100.0%

% of Total 47.3% 26.7% 74.0%

tidak eksklusif

Count 33 5 38

% within asi_eksklusif 86.8% 13.2% 100.0%

% of Total 22.6% 3.4% 26.0%

Total Count 102 44 146

% within asi_eksklusif 69.9% 30.1% 100.0%

% of Total 69.9% 30.1% 100.0%

Dari tabel 5.16 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian ISPA cenderung pada balita yang tidak mendapat ASI Eksklusif yaitu 33 (86,8%), sedangkan balita dengan tidak terjadi ISPA cenderung pada balita yang mendapat ASI Eksklusif yaitu 39 (36,1%).

m. Tabulasi silang Status Gizi dan Kejadian ISPA Tabel 5.17 Tabulasi Silang Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017.

“Diare dan ISPA” 43

ispa

Total terjadi tidak terjadi

status_gizi baik Count 46 34 80

% within status_gizi 57.5% 42.5% 100.0%

% of Total 31.5% 23.3% 54.8%

cukup Count 32 5 37

% within status_gizi 86.5% 13.5% 100.0%

% of Total 21.9% 3.4% 25.3%

kurang Count 24 5 29

% within status_gizi 82.8% 17.2% 100.0%

% of Total 16.4% 3.4% 19.9%

Total Count 102 44 146

% within status_gizi 69.9% 30.1% 100.0%

% of Total 69.9% 30.1% 100.0%

Dari tabel 5.17 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian ISPA cenderung pada balita dengan status gizi cukup yaitu 32 (86,5%), sedangkan balita dengan tidak terjadi diare cenderung pada balita dengan status gizi baik yaitu 34 (42,5%). n. Tabulasi silang Sanitasi Lingkungan dan Kejadian ISPA Tabel 5.18 Tabulasi Silang Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian ISPA pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Mei 2017. ispa

Total terjadi tidak terjadi

sanitasi_ lingkungan

sehat Count 75 37 112

% within sanitasi_lingkungan 67.0% 33.0% 100.0%

% of Total 51.4% 25.3% 76.7%

tidak sehat

Count 27 7 34

% within sanitasi_lingkungan 79.4% 20.6% 100.0%

% of Total 18.5% 4.8% 23.3%

Total Count 102 44 146

% within sanitasi_lingkungan 69.9% 30.1% 100.0%

% of Total 69.9% 30.1% 100.0%

Dari tabel 5.18 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian ISPA cenderung pada balita dengan sanitasi lingkungan yang tidak sehat yaitu 27 (79,4%), sedangkan balita dengan tidak terjadi ISPA cenderung pada balita dengan sanitasi lingkungan yang sehat yaitu 37 (33,0%).

“Diare dan ISPA” 44

4. Hasil Uji Statistik Regresi Logistik Kejadian Diare Tabel 5.19 Uji Regresi Logistik Ganda Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian Diare pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Step 1 Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a status_imunisasi -.101 .551 .034 1 .854 .904 .307 2.663

asi_eksklusif -.454 .425 1.141 1 .286 .635 .276 1.462

status_gizi -.543 .244 4.965 1 .026 .581 .360 .937

sanitasi_lingkungan -1.007 .477 4.461 1 .035 .365 .143 .930

Constant 2.197 1.062 4.279 1 .039 9.001

a. Variable(s) entered on step 1: status_imunisasi, asi_eksklusif, status_gizi, sanitasi_lingkungan.

Dari hasil uji regresi logistic 1 didapatkan bahwa ada variabel independen yang nilai p>0,05 sehingga dilakukan uji regresi logistic step 2 dengan menghilangkan variabel status imunisasi dan asi eksklusif. Tabel 5.20 Hasil Uji Regresi Logistik Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian Diare pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Step 1

No Variabel Sig.

1 Status Imunisasi 0,854 2 ASI Eksklusif 0,286 3 Status Gizi 0,026 4 Sanitasi Lingkungan 0,035

Tabel 5.21 Uji Regresi Logistik Ganda Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian Diare pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Step 2 Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a

status_gizi -.574 .242 5.618 1 .018 .563 .350 .905

sanitasi_lingkungan -.960 .473 4.123 1 .042 .383 .152 .967

Constant 1.508 .691 4.765 1 .029 4.519

a. Variable(s) entered on step 1: status_gizi, sanitasi_lingkungan.

“Diare dan ISPA” 45

Tabel 5.20 Hasil Uji Regresi Logistik Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian Diare pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Step 2 No Variabel Sig. Expt (B)

1 Status Gizi 0.018 0,563 2 Sanitasi Lingkungan 0.042 0,383

Tabel 5.20 menunjukkan bahwa hasil uji analisis multivariat tahap pertama dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh Status Gizi dan Sanitasi Lingkungan secara bersama-sama terhadap Kejadian Diare. Hasil Uji Statistik Regresi Logistik Kejadian ISPA Tabel 5.21 Uji Regresi Logistik Ganda Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian ISPA pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Step 1 Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a

status_imunisasi -.835 .686 1.481 1 .224 .434 .113 1.665

asi_eksklusif -1.323 .538 6.056 1 .014 .266 .093 .764

status_gizi -.740 .281 6.937 1 .008 .477 .275 .828

sanitasi_lingkungan -.724 .496 2.131 1 .144 .485 .183 1.282

Constant 3.698 1.252 8.732 1 .003 40.382

a. Variable(s) entered on step 1: status_imunisasi, asi_eksklusif, status_gizi, sanitasi_lingkungan.

Dari hasil uji regresi logistic 1 didapatkan bahwa ada variabel independen yang nilai p>0,05 sehingga dilakukan uji regresi logistic step 2 dengan menghilangkan variabel Status Imunisasi dan Sanitasi Lingkungan. Tabel 5.22 Hasil Uji Regresi Logistik Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian ISPA pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Step 1

No Variabel Sig.

1 Status Imunisasi 0,224 2 ASI Eksklusif 0,014 3 Status Gizi 0,008 4 Sanitasi Lingkungan 0,144

“Diare dan ISPA” 46

Tabel 5.23 Uji Regresi Logistik Ganda Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian ISPA pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Step 2 Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a

asi_eksklusif -1.244 .531 5.493 1 .019 .288 .102 .816

status_gizi -.794 .281 7.958 1 .005 .452 .261 .785

Constant 1.881 .754 6.217 1 .013 6.561

a. Variable(s) entered on step 1: asi_eksklusif, status_gizi.

Tabel 5.24 Hasil Uji Regresi Logistik Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian ISPA pada balita di Desa Jaddih wilayah kerja Puskesmas Jaddih Kabupaten Bangkalan Step 2

No Variabel Sig. Expt (B)

1 ASI Eksklusif 0.019 0,288

2 Status Gizi 0.005 0,452

Tabel 5.24 menunjukkan bahwa hasil uji analisis multivariat tahap pertama dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh ASI Eksklusif dan Status Gizi secara bersama-sama terhadap Kejadian ISPA. Pembahasan Variabel yang berpengaruh terhadap Kejadian Diare yaitu: 1. Status Gizi

Apabila dilihat dari nilai Exp B, variabel status gizi mempunyai nilai Exp B sebesar 0,563 artinya apabila balita memiliki status gizi

yang kurang maka akan beresiko terjadi diare ½ kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang memiliki status gizi baik.

Dari tabel 5.13 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian diare cenderung pada balita dengan status gizi cukup yaitu 32 (86,5%), sedangkan balita dengan tidak terjadi diare cenderung pada balita dengan status gizi baik yaitu 39 (48,8%).

Status gizi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi daya tahan tubuh pada balita, status gizi yang baik akan meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit-penyakit infeksi termasuk diare. Brown (2003) menyebutkan, kekurangan gizi dapat menyebabkan rentan terhadap infeksi karena dampak negatif terjadi

“Diare dan ISPA” 47

perubahan pada perlindungan yang diberikan oleh kulit & selaput lendir serta menginduksi perubahan fungsi kekebalan tubuh. Harohalli & Dona (2009) menyatakan pada malnutrisi terjadi penurunan fungsi absorbsi usus yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi enteral. 2. Sanitasi Lingkungan

Apabila dilihat dari nilai Exp B, variabel sanitasi lingkungan mempunyai nilai Exp B sebesar 0,383 artinya apabila balita dengan kondisi sanitasi lingkungan tidak sehat maka kemungkinan terjadi diare 1/3 kali lebih besar dibandingkan dengan balita dengan kondisi sanitasi lingkungan sehat.

Dari tabel 5.14 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian diare cenderung pada balita dengan sanitasi lingkungan yang tidak sehat yaitu 27 (79,4%), sedangkan balita dengan tidak terjadi diare cenderung pada balita dengan sanitasi lingkungan yang sehat yaitu 46 (41,1%).

Menurut Word Health

Organization (WHO) salah satu penyebab penyakit diare adalah sanitasi masih terlalu

buruk, sejalan dengan teori Bloom menyatakan bahwa faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor hereditas mempengaruhi derajat masyarakat. Faktor lingkungan yang berkaitan dengan perilaku hidup masyarakat yang kurang baik dan sanitasi lingkungan buruk yang menyebabkan balita mudah terserang diare. 3. Pengaruh Bersama-sama

antara variabel bebas (status gizi dan sanitasi lingkungan) dengan variabel terikat (kejadian diare). Variabel yang mempunyai pengaruh terbesar adalah variabel Status Gizi kemudian dilanjutkan Sanitasi Lingkungan.

Variabel yang berpengaruh terhadap Kejadian ISPA yaitu: 1. Asi Eksklusif

Apabila dilihat dari nilai Exp B, variabel ASI Eksklusif mempunyai nilai Exp B sebesar 0, 288 artinya apabila balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif maka kemungkinan terjadi ISPA 1/3 kali lebih besar dibandingkan dengan balita

“Diare dan ISPA” 48

yang mendapatkan ASI Eksklusif.

Dari tabel 5.16 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian ISPA cenderung pada balita yang tidak mendapat ASI Eksklusif yaitu 33 (86,8%), sedangkan balita dengan tidak terjadi ISPA cenderung pada balita yang mendapat ASI Eksklusif yaitu 39 (36,1%).

ASI Ekskusif mampu memberikan kekebalan tubuh yang lebih baik pada bayi sehingga tidak mudah terserang penyakit infeksi khususnya ISPA. ASI mengandung zat kekebalan sehingga dapat mencegah terhadap infeksi yang disebabkan bakteri, virus, jamur, zat kekebalan tersebut mengandung protein, laktoferin, imunoglobulin dan antibody. ASI Eksklusif memberikan perlindungan pada anak melalui antibody SigA sehingga terhindar dari infeksi kuman Haemophilus Influenza yang terdapat pada mulut dan hidung serta dapat menurunkan resiko terserang infeksi (Hull, 2008). 2. Status Gizi

Apabila dilihat dari nilai Exp B, variabel status gizi mempunyai nilai Exp B

sebesar 0,452 artinya apabila balita memiliki status gizi yang kurang maka akan beresiko terjadi ISPA ½ kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang memiliki status gizi baik.

Dari tabel 5.17 menunjukkan bahwa balita dengan kejadian ISPA cenderung pada balita dengan status gizi cukup yaitu 32 (86,5%), sedangkan balita dengan tidak terjadi diare cenderung pada balita dengan status gizi baik yaitu 34 (42,5%).

Salah satu faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh pada balita adalah status gizi, sehingga balita mudah sakit. Keadaan gizi buruk merupakan faktor resiko yang menyebabkan terjadinya ISPA. Balita yang mendapat pola asuh gizi yang baik yaitu mendapat makanan yang baik juga serta seimbang maka tubuhnya dapat tumbuh sehat, sehingga anak tidak mudah diserang penyakit infeksi dan berat badan balita dapat dipertahankan. 3. Pengaruh Bersama-sama

antara variabel bebas (Asi Eksklusif dan status gizi) dengan variabel terikat (kejadian ISPA). Variabel

“Diare dan ISPA” 49

yang mempunyai pengaruh terbesar adalah variabel Status Gizi kemudian dilanjutkan dengan ASI Eksklusif.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sebagian besar status

imunisasi lengkap yaitu sebanyak 127 orang (87%)

2. Sebagian besar memberikan ASI Eksklusif yaitu sebanyak 108 orang (74%).

3. Sebagian Status Gizi Balita Baik yaitu sebanyak 80 orang (48,8%)

4. Sebagian besar Sanitasi Lingkungan yaitu sebanyak 112 orang (76,7%)

5. Sebagian besar balita pernah terjadi diare yaitu sebanyak 93 anak (63,7%).

6. Sebagian besar balita pernah terjadi ISPA yaitu sebanyak 102 anak (69,9%).

7. Hasil analisis data dengan uji Regresi Logistik diperoleh bahwa pengaruh status imunisasi terhadap kejadian diare p>α (0,854>0,05), pemberia ASI Eksklusif terhadap kejadian diare p>α (0,286>0,05), sanitasi lingkungan dengan kejadian diare p<α (0,02<0,05), status gizi balita dengan kejadian diare p<α

(0,035<0,05). Dan pengaruh status imunisasi terhadap kejadian ISPA p>α (0,224>0,05), pemberia ASI Eksklusif terhadap kejadian ISPA p<α (0,014<0,05), sanitasi lingkungan dengan kejadian ISPA p<α (0,008<0,05), status gizi balita dengan kejadian ISPA p>α (0,144>0,05).

8. Terdapat pengaruh secara bersama sama antara status gizi (EXB=0,563) dan sanitasi lingkungan (EXB=0,383) dengan kejadian diare, serta ada pengaruh secara bersama sama antara ASI Eksklusif (EXB=0,288) Dan status gizi (EXB=0,452) dengan kejadian ISPA.

B. Saran Meningkatkan kegiatan

Promitif yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan (Bidan, Perawat, Dosen kesehatan) kepada masyarakat tentang pencegahan kejadian Diare dan ISPA pada Balita, sehingga angka kejadian Diare maupun ISPA dapat diturunkan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Amin, et al. 2012. Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Balita di

“Diare dan ISPA” 50

Wilayah Kerja Puskesmas Barang Lampo Kecamatan Ujung Tanah.

2. Athanasia Budi Astuti. 2012. Hubungan Antara Status Gizi Balita Dengan Kejadian Ispa. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Jilid 1, Mei 2012, hlm. 1-132.

3. Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita : Jakarta.

4. Depkes RI. 2008. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Premonia Pada Balita. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

5. Dharmage. Chandrika R, Lalani F, Dulitha N. 2009. Risk Factors of Acute Lower Respiratory Tract Infections in Children Under Five Years of Age. Southeast Asian Journal of Trop.Med Public Health. 27 (1). 2009. p : 107 – 110.

6. Effendy, N. 2004. Dasar-dasar keperawatan, kesehatan masyarakat. Edisi 2. Jakarta: EGC.

7. FKUI. 2008. Konsep Dasar Diare. Jakarta.

8. Irma Suryani1, Edison2, Julizar Nazar3. 2015 .

Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan Penduduk dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1).

9. Ishak. 2011. USU, institusional Repository. Universitas Sumatra Utara.

10. Jurnal Penelitian. Pengertian Diare. http://www.e-jurnal.com/2013/04/pengertian-diare.html. Diakses pada 12 April 2016.

11. Kholisah Nasution dkk.2009. Infeksi Saluran Napas Akut Pada Balita Di Daerah Urban Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 4, Desember 2009.

12. Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar : Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Pernafasan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika

13. Notoatmojo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

14. Notoatmojo. 2007. Kesehatan Masyarakat : Ilmu & Seni. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

15. Sodikin. 2012. Keperawatan Anak, Gangguan Penceranaan. Jakarta: EGC

“Diare dan ISPA” 51

16. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

17. Sugiyono. 2009. Statistika

Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

18. Brown, K.H., (2003). Diarrhea and Malnutiriton. American Society for Nutritional Sciences. JN the Journal of Nutrition 0022-3166/03

19. Harohalli RS, Donna GG. (2009). Malnutrition. eMedicine. Didapatkan dari: URL:http://emedicine,medscape.com/ article/985140-overview

20. Hull, D. (2008). Dasar-dasar Pediatri edisi 3. Jakarta: EGC.

“Diare dan ISPA” 52

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.

Ardiansyah. M. (2012). Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta; Banguntapan

Ariani, P. (2016). Diare pencegahan dan pengobatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Badriul. (2008). Perbedaan Frekuensi Diare Antara Bayi Yang Diberi

ASI.EGC. Jakarta

Barbara, E. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta; EGC

Baum,GL., (1974). Text Book of Pulmonary Disease. 2nd ed. Boston, Little Brown and Company. Dalam : Alsagaff, Hood., 2009. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Airlangga University Press, Surabaya

Depkes R (2004). Pengertian ISPA dan Pneumonia. Dirjen PPM & PL, Jakarta

Depkes RI. (2004). Etiologi ISPA dan Pneumonia. Dirjen PPM & PL, Jakarta

Erich. (2008). Konsep Dasar Diare. Diakses pada tanggal 15 Februari

2008 dari http:// zerich150150.wordpress.com

Ernawati, (2012). Pengaruh pendidikan kesehtan terhadap peningkatan pengetahuan tentang diare pada anak jalanan semarang. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro, Semarang

Fkui. (2008). Konsep Dasar Diare. Jakarta: http://www.google.com

Halim, D. (2000). Ilmu Penyakit Paru, Jakarta: Hipokrates

image: http://alditakhairunisa.blogspot.co.id/2012/10/diare.html

image: http://doktersehat.com/diare-pada-anak-dan-balita/

John B. West. (2010). Patologi Paru Eseensial Edisi 6. Jakarta; EGC

Kemenkes RI. (2011). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut, Jakarta: Kementrian Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Buletin Jendela Data dan Iformasi Kesehatan, Situasi Diare di Indonesia. Jakarta

Kuntari, dkk. (2013). Faktor risiko malnutrisi pada balita. Kesmes, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 12, Juli 2013

“Diare dan ISPA” 53

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta;EGC

Purwana, R. (1992), Partikulat Rumah Sebagai Faktor Resiko Gangguan Pernafasan Pada Anak Balita. Disertasi, IKM-UI, Jakarta.

Putranto. A. (2007). Pajanan Debu Kayu (PM10) dan Penyakit Saluran Pernafasan pada Pekerja Mebel Sektor Informal di Kota Pontianak Kalimantan Barat, Thesis, PS-UI.

Putri. M. Y dan Wijaya. S. A. (2013). KMB Keperawatan

Medika Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta; Nuha Medika

Rasmaliah., (2004). Infeksi Saluran Akut (ISPA) dan

penanggulangan. Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-rasmaliah9.pdf.

Riddle, MS, et al. ACG Clinical Guideline: Diagnosis, Treatment, and Prevention of Acute Diarrheal Infections in Adults. The American Journal Of Gastroenterology

Saputra, L.(2014). Atlas Saku Patofisiologi Klinik.Tangerang Selatan; karisma publishing group

Saputra. L dan Robinson. M.J.(2014) Buku Ajar Visual Nursing

(Medikal-Bedah) jilid satu. Tangerang; Binarupa Aksara

Sari, Kumala dan Muttaqin, A. (2013). Gangguan Gastrointestinal

Aplikasi Asuhan Keperawatan Medika Bedah. Jakarta; Salemba Medika

Selvaraj K, et al. (2014). Acute respiratory infections among under-5 children in India: A situational analysis. Journal of Natural Science, Biology and Medicine: Vol 5 Issue 1

Setiawan & Saryono.(2010). Metodologi Penelitian Kebidanan D3,D4,S1&S2.Nuha Medika. Yogyakarta

Sikolia DN, et al. (2002). The Prevalence of acute respiratory infections and the associated risk factors: A Study of children under five years of age in Kibera Lindi Village, Nairobi, Kenya. J. Natl. Inst. Public Health, 51 (1): 2002

Sitompul, Eva Molika (2014). Variasi Resep Makanan Bayi. Kunci Aksara. Jakarta

Sodikin, (2011). Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobiler, Jakarta: Salemba Medika

Suandi. (1998). Diit Pada Anak Sakit. Jakarta; EGC

Subari.(2007). Manajemen Epidemiologi. Media presindo. Yogyakarta

“Diare dan ISPA” 54

Suharyono.(2008). Diare Akut. Rineka Cipta. Jakarta:

Taksande, et al. (2016). Risk factors of Acute Respiratory Infection (ARI) in under-fives in a rural hospital of Central India. Journal of Pediatric and Neonatal Individualized Medicine: 5(1):e050105

Udith dan Dian P.(2015). MPASI Perdana Cihuy!. Asha Book. Jakarta

WHO. (2003). Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang. Pedoman Untuk Dokter Dan Petugas Kesehatan Senior. Alih Bahasa: C. Anton Widjaja. Penerbit Buku Kedoteran EGC. Jakarta.

WHO. 2009. Diarrhoea:Why children are still dying and what can be done". World Health Organization.

WHO.(2011).Penatalaksan dan pencegahan Diare Akut. EGC. Jakarta