hubungan pemberian asi ekslusif, berat badan …eprints.ums.ac.id/66528/1/naskah publikasi.pdf ·...

16
HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, BERAT BADAN LAHIR DAN PAPARAN ROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUDONO 1 TAHUN 2018 Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Oleh : ASTRID PUSPA DEWI KUSUMANINGRUM J410140015 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018

Upload: dothuy

Post on 17-Jul-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, BERAT BADAN LAHIR DAN

PAPARAN ROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUDONO 1 TAHUN 2018

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata 1

pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh :

ASTRID PUSPA DEWI KUSUMANINGRUM

J410140015

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

i

ii

iii

1

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, BERAT BADAN LAHIR DAN

PAPARAN ROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUDONO 1 TAHUN 2018

Abstrak

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi saluran pernapasan

yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Tujuan penelitian ini adalahMenganalisis

hubungan pemberian Asi Ekslusif, Berat Badan Lahir, dan Paparan Rokok dengan

Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Banyudono 1. Jenis penelitian ini

observasional analitik dengan rancangan case control. Pengambilan sampel

menggunakan teknik Proportionate Stratified Random Sampling dengan jumlah

sampel sebanyak 120 sampel yang terdiri dari 60 kelompok kasus dan 60

kelompok kontrol. Teknik pengambilan data dilakukan dengan melakukan

wawancara menggunakan kuisioner kepada responden terkait pemberian asi

ekslusif, berat badan lahir dan paparan rokok. Analisis data bivariat menggunakan

Uji Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI ekslusif (p=

0,042; OR= 2,307; 95% CI= 1,097-4,850), berat badan lahir (p= 0,037; OR=

2,406; 95% CI= 1,120-5,169), dan paparan rokok (p= 0,039; OR= 2,366; 95%

CI= 1,111-5,040) merupakan faktor risiko terjadinya ISPA pada balita.

Kata Kunci : Pemberian ASI ekslusif, berat badan lahir, paparan rokok dan

kejadian ISPA pada balita

Abstract

Acute Respiratory tract infections (ISPA) is a respiratory infection caused by a

virus or bacteria.The purpose of this research is to analyze the relationship of

exclusive breast feeding, birth weight, and exposure to smoking with events in the

region of ISPA Clinics Banyudono 1.The type of the research is observational

analysis with the design case-control. The subject of this research was taken by

using Proportionate Stratified Random Sampling which the number of sample are

120 which consist of 60 samples for the case group and 60 samples for the control

group. The data collecting technique used is an interview using questionnaire to

the respondents with the exclusive breast feeding, birth weight and exposure to

smoking. Bivariate data analysis used is Chi-Square. The results of the research

shows that exclusive breast feeding (p = 0.042; Or = 2.307; 95% CI = 1,097-

4,850), birth weight (p = 0.037; Or = 2.406; 95% CI = 1,120-5,169), and exposure

to smoking (p = 0.039; Or = 2.366; 95% CI = 1,111-5,040) is a risk factor for the

occurrence of ISPA on toddlers.

Keywords : exclusive breast feeding, birth weight, exposure to smoking and the

incidence of ISPA on toddlers

1. PENDAHULUAN

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi saluran pernapasan

yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Komplikasi ISPA yang berat mengenai

2

jaringan paru dapat menyebabkan terjadinya pneumonia(Balitbangkes KemenKes

RI, 2013).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering

terjadi pada anak. Insiden menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29

episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di

negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per

tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus

terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan

Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode(Kemenkes RI

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).

Perkiraan 5,9 juta anak yang berumur dibawah 5 tahun meninggal pada

tahun 2015. Tingkat kematian anak tertinggi di sub-Sahara Afrika, di mana 1 dari

di 12 anak meninggal sebelum berusia 5 tahun, di ikuti oleh Asia Selatan dimana

1 dari 19 anak meninggal sebelum usia 5 tahun. Penyebab utama kematian bayi

pada tahun 2015 yaitu prematur,komplikasi terkait kelahiran (kelahiran asphyxia)

dan neonatal sepsis, sementara penyebab kematian anak di periode pasca neonatal

diantaranya radang paru-paru, diare, cedera dan malaria. Penyebab kematian pada

bayi yang disebabkan oleh ISPA dengan kategori pneumonia sebesar 54%

(World Health Statistic, 2016).

Hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, ISPA

di Indonesia sebanyak 25%. Kejadian ISPA di Indonesia pada tahun 2013

menunjukkan insiden sebesar 1,8% dan prevalensi sebesar 4,5%,. ISPA tertinggi

pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Prevalensi ISPA di Provinsi Jawa

Tengah sebanyak 15,7%. Terdapat lima provinsi dengan ISPA tertinggi yaitu

NTT (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), NTB (28,3%) dan Jawa Timur

(28,3%) (Litbangkes KemenKes RI, 2013).

Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, pneumonia

merupakan penyebab kematian pada bayi mencapai 16%. Kategori populasi yang

rentan terserang pneumonia yaitu anak usia kurang dari 2 tahun, usia lebih dari 65

tahun serta seseorang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi dan gangguan

imunologi). Angka kematian akibat pneumonia lebih tinggi pada kelompok umur

3

1-4 tahun sebesar 0,13% dibandingkan pada kelompok bayi yakni sebesar 0,06%.

Salah satu provinsi yang memiliki kejadian kasus ISPA yang cukup tinggi

terdapat di Provinsi Jawa Tengah sebesar 3,61%. Angka kejadian ini lebih tinggi

dibandingkan dengan kejadian di provinsi lain seperti Bali sebesar

2,05%,Lampung sebesar 2,23 dan Riau sebesar 2,67% (Kementerian Kesehatan

RI,2017).

Penemuan dan penanganan penyakit pneumonia di Jawa Tengah pada

tahun 2015 sebesar 54,3% mengalami peningkatan dibandingkan capaian tahun

2015 sebesar 54,31%.Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terdapat kasus

ISPA cukup banyak yakni di Kabupaten Boyolali. Di Boyolali terdapat 2.749

kasus (23,5%) dengan pneumonia. Jumlah tersebut cukup tinggi bila

dibandingkan dengan kabupaten lain seperti Kabupaten Sukoharjo dengan 2.342

kasus (20,3%) dan Kabupaten Wonogiri dengan 2.168 kasus (18,1%) (Profil

Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2016).

Dinas kesehatan Kabupaten Boyolali bagian P2 ISPA menyebutkan bahwa

perkiraan penderita ISPA dengan golongan pneumonia pada balita sebesar 9.597

balita dan yang berhasil untuk ditangani hanya 45% saja. Hal ini dikarenakan

cakupan penemuan ISPA di Boyolali masih rendah yang masih banyak kasus

yang belum dilaporkan sehingga pendeteksian dini adanya penyakit ISPA

terlambat atau kurang pasti. Salah satu puskesmas yang ada di Boyolali yang juga

terjadi kasus ISPA yang cukup tinggi terdapat di Puskesmas Banyudono I dengan

jumlah kasus 204 penderita. Jumlah tersebut cukup tinggi bila dibandingkan

dengan kejadian kasus ISPA di Puskesmas Banyudono II sebesar 125 penderita

dan Puskesmas Sawit II sebesar 177 penderita (Profil Kesehatan Kabupaten

Boyolali,2015)

Puskesmas Banyudono 1 merupakan salah satu puskesmas yang ada di

Kabupaten Boyolali yang banyak ditemukan kasus penyakit ISPA pada balita.

Berdasarkan Profil Puskesmas Banyudono I (2016) yang diperoleh dari

puskesmas Banyudono I didapatkan bahwa dari 10 besar penyakit yang terjadi di

Puskesmas Banyudono I, kejadian penyakit ISPA menjadi yang tertinggi

sebanyak 6.050 kasus pada semua umur dengan prevalensi 22,14%. Kejadian

4

ISPA yang menyerang anak-anak balita juga cukup banyak mencapai 744 kasus

dengan prevalensi 34,7% (Profil Puskesmas Banyudono I, 2015).

Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA pada balita,

yang ditandai dengan adanya batuk yang disertai dengan peningkatan frekuensi

napas sesuai dengan golongan umur. ISPA pada balita dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu gizi yang kurang, status imunisasi yang kurang lengkap, tidak

mendapatkan ASI yang memadai, defisiensi vitamin A, kepadatan tempat tinggal,

polusi akibat asap dapur dan orang tua perokok didalam rumah (DepKes, 2013).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sirait (2017) menjelaskan bahwa

adanya pengaruh pemberian asi ekslusif dengan kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) pada bayi yang berumur dibawah 3 tahun dengan nilap

p=0,002. Salah satu faktor risiko ISPA lain yakni berat badan lahir rendah.

Pada bayi BBLR, pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga

lebih mudah terkena penyakit infeksi seperti ISPA. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Supriatin (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara berat badan lahir rendah dengan kejadian ISPA dengan nilai

p=0,000. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Milo (2015)

menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada balita.

2. METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif observasional

analitik dengan rancangan penelitian case control yang merupakan penelitian

analitik dimana faktor risiko (pemberian asi ekslusif, berat badan lahir dan

paparan rokok) dari suatu penyakit (kejadian ISPA) dipelajari menggunakan

pendekatan retrospektif di Puskesmas Banyudono 1.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2018 di Wilayah Kerja Puskesmas

Banyudono 1 meliputi Desa Bendan, Desa Banyudono dan Desa Ketaon. Populasi

kasus pada penelitian ini adalah balita usia 1-5 tahun dengan ISPA di wilayah

kerja Puskesmas Banyudono 1dan balita usia 1-5 tahun yang tidak menderita

ISPA kerja Puskesmas Banyudono 1 meliputi Desa Banyudono, Desa Bendan dan

Desa Ketaon. Populasi kasus balita dengan usia 1-5 tahun dengan ISPA sebanyak

5

120 balita. Besar sampel dihitung dengan rumus Lemeshow (1997), diperoleh

jumlah sampel sebanyak 60 kelompok kasus dan 60 kelompok kontrol. Teknik

pengambilan sampel untuk kelompok kasus Fixed Disease Sampling sedangkan

untuk kelompok kontrol menggunakan teknik Proportional Random Stratified

Sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Analisis bivariat dalam

penelitian ini menggunakan uji chi square.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik responden terbagi menjadi 2 yaitu karakteristik ibu (Umur ibu,

pendidikan dan pekerjaan) dan karakteristik balita (umur balita, jenis kelamin,

frekuensi ISPA dan gejala ISPA) sebagai berikut :

Tabel 1. Karakteristik Responden

Karakteristik

Ibu

Kasus Kontrol Jumlah

(n) (%) (n) (%) n (%)

Pendidikan

SD

SMP

SMA

Perguruan

Tinggi

2

12

40

4

3,3

20

66,7

10

3

17

38

2

5

28,3

63,3

3,3

5

29

78

6

100

100

100

100

Umur

15-20 tahun

21-25 tahun

26-30 tahun

31-35 tahun

36-40 tahun

41-45 tahun

46-50 tahun

2

15

15

12

12

3

2

5

23,3

25

20

20

3,3

3,3

2

10

25

11

8

4

0

3,3

16,7

41,7

18,3

13,3

6,7

0

4

25

40

23

20

7

2

100

100

100

100

100

100

100

Pekerjaan

IRT

Swasta

Wiraswasta

Buruh

Guru

33

23

1

3

0

55

38,3

1,7

5

0

35

19

3

1

1

58,3

31,7

5

1,7

1,7

68

42

4

4

1

100

100

100

100

100

Karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan ibu diketahui

bahwa sebagian besar responden pada kelompok kasus maupun kontrol

merupakan tamatan SMA yaitu sebanyak 40 orang (66,7%) dan 38 orang (63,3%).

6

Sedangkan responden yang yang tamatan SD jumlahnya paling sedikit baik pada

kelompok kasus maupun kelompok kontrol.

Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan umur ibu diketahui

bahwa umur responden untuk kelompok kasus maupun kelompok kontrol

terbanyak terdapat pada kelompok umur 26-30 tahun dengan jumlah 15 (23,3%)

dan 25 (41,7%), sedangkan responden pada kelompok umur 46-50 tahun

jumlahnya paling sedikit baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol.

Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan umur balita diketahui

bahwa sebagian besar balita dengan kelompok umur 1-1,5 tahun yaitu pada

kelompok kasus sebanyak 19 balita (31,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak

32 balita (53,3%). Pada balita dengan umur 5 tahun jumlahnya paling sedikit pada

kelompok kasus sebanyak 2 balita (3,3) sedangkan pada balita dengan umur 4-4,5

tahun sebanyak 3 balita (5%). Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan

jenis kelamin diketahui bahwa balita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan pada kelompok kasus dan kelompok kontrol

sebanyak 32 balita (53,3%).

Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan frekuensi terjadinya

ISPA selama 1 tahun terakhir diketahui bahwa frekuensi terjadinya ISPA dalam

kurun waktu satu tahun pada kelompok kontrol terbanyak yaitu 2 kali (51,7%).

Jumlah paling sedikit yaitu 1 dan 5 kali yaitu dengan frekuensi kejadian 6 kali

(10%) dalam kurun waktu satu tahun. diketahui bahwa frekuensi terjadinya ISPA

dalam kurun waktu satu tahun pada kelompok kasus terbanyak yaitu 6 kali

(36,7%). Jumlah paling sedikit yaitu 15 kali (1,7%) dalam kurun waktu satu

tahun.

Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan gejala yang

ditimbulkan diketahui bahwa gejala yang paling banyak diderita oleh balita pada

kelompok kasus adalah pilek dan batuk sebanyak 16 balita (26,7%) sedangkan

pada kelompok kontrol adalah batuk, pilek dan demam sebanyak 19 balita

(31,7%). Gejala ISPA yang paling sedikit yang diderita balita pada kelompok

kasus sebanyak 8 balita (13,3%) dengan gejala batuk, pilek dan demam.

7

Sedangkan pada kelompok kontrol yang paling sedikit dengan gejala sesak nafas,

radang tenggorokan dan batuk sebanyak 4 balita (6,7%).

Analisis bivariat dilakukan untuk menganalisis hubungan antara

pemberian ASI ekslusif, berat badan lahir dan paparan rokok dengan kejadian

ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Banyudono 1 sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil Analisis Univariat dan Bivariat

Variabel

Kejadian ISPA pada Balita

Kasus Kontrol Jumlah P

value

OR 95% CI

(n) (%) (n) (%) n (%)

Pemberian

ASI

ekslusif

Tidak

ASI

ekslusif

ASI

ekslusif

41

19

68,3

31,7

29

31

48,3

51,7

70

50

100

100

0,042

2,307

1,097-

4,850

Berat

Badan

Lahir

BBLR

Tidak

BBLR

44

16

73,3

26,7

32

28

46,7

53,3

76

44

100

100

0,037

2,406

1,120-

5,169

Paparan

Rokok

Terpapar

Tidak

Terpapar

43

17

71,7

28,3

31

29

61,7

38,3

74

46

100

100

0,039

2,366

1,111-

5,040

Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0,042 yang

menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI ekslusif dengan

kejadian ISPA pada balita. Nilai OR adalah 2,307 (95% CI= 1,097-4,850)

sehingga dapat diartikan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif

selama 6 bulan berisiko 2,307 kali untuk mengalami kejadian ISPA. Penelitian ini

8

sejalan dengan penelitian Ikasari (2015), yang menyatakan bahwa ada hubungan

antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,024,

OR= 0,454, 95% CI= 0,238-0,865). Hasil penelitian Hersoni (2015), juga

menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI ekslusif dengan

kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,025, OR= 32,738, 95% CI= 11,951-89,684).

Selain itu penelitian Sumarni (2013), juga menunjukkan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita

(nilai p= 0,000, OR= 0,074, 95% CI= 0,017-0,323).

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa ASI sangat dibutuhkan

untuk kesehatan bayi. ASI adalah makan terbaik untuk bayi. ASI sangat

dibutuhkan untuk kesehatan bayi dan mendukung pertumbuhan dan

perkembangan bayi secara optimal. Bayi yang diberi ASI eksklusif akan

memperoleh seluruh kelebihan ASI serta terpenuhi kebutuhan gizinya secara

maksimal sehingga dia akan lebih sehat, lebih tahan terhadap infeksi, tidak mudah

terkena alergi dan lebih jarang sakit (Sulistiyoningsih, 2011).

Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0,037 yang

menunjukkan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA

pada balita. Nilai OR adalah 2,406 ( 95% CI= 1,120-5,169) sehingga dapat diartikan

bahwa balita yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki risiko

2,100 kali untuk mengalami kejadian ISPA. Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Chandrawati (2014), yang menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah dengan

kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,007, OR= 5,60, 95% CI= 1,54-6,66). Hasil

penelitian Supriatin (2013), juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p=

0,000, OR= 2,762, 95% CI= 1,562-4,884). Selain itu penelitian yang dilakukan

oleh Imelda (2017), juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,000, OR=

4,491).

Berdasarkan teori yang mengatakan berat badan lahir rendah sangat mudah

mendapatkan infeksi karena imunitas humoral dan seluler masih kurang, selain

9

itu, karena kualitas dan selaput lendir membran tidak memiliki perlindungan.

Sindroma gangguan pada bayi berat badan lahir rendah adalah perkembangan

imatur pada sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-

paru (Proverawati, 2010).

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan

mental pada masa balita. Bayi yang lahir dengan berat badan di bawah normal

disebut dengan BBLR (berat badan bayi < 2500 gram). Bayi BBLR mudah

terserang ISPA, karena bayi dengan BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh

yang rendah terhadap mikroorganisme patogen. Dengan infeksi ringan saja sudah

cukup membuat sakit, sehingga bayi BBLR rentan terhadap penyakit infeksi

termasuk penyakit ISPA

Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0,039 yang

menunjukkan bahwa ada hubungan antara paparan rokok dengan kejadian ISPA

pada balita. Nilai OR adalah 2,366 (95% CI= 1,111-5,040) sehingga dapat

diartikan bahwa balita yang terpapar langsung oleh asap rokok memiliki risiko

2,366 kali untuk mengalami kejadian ISPA. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Yusridawati (2016), juga menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara

kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p=

0,001, OR= 13,736). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Asriati (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara paparan rokok dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,000, OR= 7,8,

95% CI= 2,774-21,929). Hasil penelitian dari Syahidi (2016) juga menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paparan asap rokok dengan

kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,001, OR= 8,02, 95% CI= 2,42-26,57).

Berdasarkan teori yang peneliti dapatkan prosentase terjadinya penyakit

ISPA pada balita salah satunya disebabkan karena paparan asap rokok yang

berada di lingkungan disekitar bayi. Sebab, terdapat seorang perokok atau lebih

dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga yang menderita sakit,

seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit

angina pectoris serta dapat meningkatkan risiko untuk mendapat serangan ISPA

khususnya pada balita.

10

Keluarga yang merokok didalam rumah adalah dominanya yaitu ayah. Hal

tersebut terjadi karena perilaku merokok dianggap sesuatu yang wajar bagi

seorang laki-laki khususnya seorang ayah atau anggota keluarga lain yang sudah

bekerja, disamping itu juga kebiasaan merokok adalah sesuatu yang sulit untuk

dihilangkan karena telah dilakukan sejak lama. Prevalensi konsumsi tembakau

cenderung meningkat baik pada laki-laki maupun perempuan. Tetapi laki-laki

cenderung lebih banyak yang mulai merokok diusia muda.

4. PENUTUP

4.1. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini bahwa terdapat

hubungan antara pemberian ASI ekslusif (nilai p value= 0,042, OR= 2,307,

95%CI= 1,097-4,850), berat badan lahir (nilai p value= 0,037, OR= 2,406,

95%CI= 1,120-5,169), dan paparan rokok (nilai p value= 0,039, OR= 2,366, 95%

CI= 1,111-5,040) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Banyudono 1.

4.2. Saran

Saran yang dapat dilakukan antara lain Petugas kesehatan diharapkan lebih

meningkatkan edukasi kesehatan supaya upaya promotif dan preventif melalui

penyuluhan rutin selama minimal satu bulan sekali kepada semua ibu-ibu yang

memiliki balita ataupun ibu-ibu yang sedang hamil baik yang memiliki balita dengan

ISPA ataupun yang tidak dengan ISPA dengan menggunakan media leaflet yang

menarik atau poster yang berisikan faktor-faktor resiko terjadinya ISPA pada balita di

lingkungan puskesmas serta mengajak ibu-ibu yang memiliki balita untuk berperan

aktif dalam kegiatan posyandu yang sudah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) Riset Kesehatan Dasar

2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Chandrawati, P.F., Alhabsyi, F.N. (2014). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah

terhadap Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 tahun. Bagian

11

Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Malang, Volume 10 Nomor 1

Departemen Kesehatan RI. (2010). Riskesdas Indonesia Tahun 2010. Departemen

Kesehatan RI : Jakarta

Hersoni, S. (2015). Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif terhadap

Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Bayi Usia 6-12 bulan di

RAB RSU dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas

Husada, Volume 14, Nomor 1

Ikasari, F.S., Pertiwiwati, E., Rahmawati, K. (2015). Pemberian ASI Ekslusif

terhadap Kejadian ISPA pada Bayi Usia 6-12 bulan. Jurnal DK, Volume 3,

Nomor 2

Imelda. (2017). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dan Status Imunisasi

dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Aceh

Besar. Jurnal Ilmu Keperawatan, Volume 5 Nomor 2

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Milo,S., Ismanto,A.Y., Kallo,V.D. (2015).Hubungan Kebiasaan Merokok didalam

Rumah dengan Kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas

Sario Kota Manado. Ejournal keperawatan (e-Kp), Volume 3, Nomor 2

Dinas Kesehatan Boyolali. (2015). Profil Kesehatan Kabupaten Boyolali Tahun

2016. Boyolali: Dinas Kesehatan Boyolali

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. (2017). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2016. Semarang: Dinas Kesehatan Jawa Tengah

Proverawati & Sulistyorini. (2010). Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: Nuha

Medika

Sirait,S.H. (2017). Pengaruh Pemberian Asi Ekslusif dengan Kejadian ISPA Pada

Anak Batita di Puskesmas Singosari Kota PemantangSiantar. Global

Health Science, Volume 2 Nomor 1

Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta:

Graha Ilmu

Sumarni., Retnowati, M., Rahmayati, A.D. (2013). Hubungan Antara Pemberian

ASI Ekslusif dengan Kejadian ISPA pada Bayi Usia 6-12 bulan di

Puskesmas Purwokerto Barat. YLPP Midwifery Academy Purwokerto

12

Supriatin, E. (2013). Hubungan Faktor-Faktor dengan Kejadian ISPA pada Balita

di Puskesmas X Kota Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan, Volume1,

Nomor 1

World Health Statistic.(2016). Monitoring Health For the SDG’s. Perancis: World

Health Organization

Yusridawati. (2016). Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua dengan Kejadian

ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Binjai Serbangan Air

Joman Kabupaten Asahan