bab ii tinjauan umum tentang hak dan...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI- ISTERI
A. PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN
Secara etimologis hak berarti milik: ketetapan dan kepastian,1 seperti
yang terdapat pada surah yassin (36) ayat 7 yang artinya: “Sesungguhnya telah
berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena
mereka tidak beriman”.
Ada pula pengertian hak yang dikemukakan oleh beberapa ulama’
fiqih. Menurut sebagian ulama’ muta’akhirin hak yaitu, suatu hukum yang telah
ditetapkan secara syara’.2 Lalu Syekh Ali Al-Khafifi (ahli fiqih asal mesir) juga
mengartikan bahwa hak adalah sebagai kemaslahatan yang diperoleh secara
syara’.3
Jadi pengertian hak adalah kewenangan yang di miliki oleh semua
orang, dan orang itu dapat berbuat apa saja asal tidak bertentangan dengan
Undang-undang yang berlaku, ketertiban umum dan keputusan.
Wajib (Ar:Al-wajib = Tetap, mengikat dan pasti). Secara kebahasaan
berarti perbuatan yang di tuntut untuk di kerjakan.4 Istilah ini merupakan
bentuk hukum taklifi (hukum yang bersifat membebani perbuatan.). Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, wajib artinya harus melakukan dan tidak boleh
1 Dahlan, Abdul Azis, Hukum Islam, Ensiklopedi, Jakarta: PT Intermasa, 1997, hlm.486 2 Ibid 3 Ibid 4 Op.cit, hlm. 190
15
ditinggalkan.5 Jadi kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan atau
dikerjakan, dan sifatnya mengikat, apabila tidak dilaksanakan akan
mendapatkan sanksi.
B. Hak Dan Kewajiban Suami-Isteri Menurut Hukum Islam Dan Hukum
Positif
1. Hak dan Kewajiban Suami Isteri menurut Hukum Islam
Perkawinan merupakan suatu cara yang di syari’atkan Alloh S.W.T
sebagai jalan bagi Manusia untuk berkembangbiak dan untuk kelestarian
hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang
positif dalam rangka merealisir tujuan perkawinan.6 Jika akad nikah telah sah
maka akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan
menimbulkan pula hak dan kewajiban dalam kapasitasnya sebagai suami-isteri.
Adapun hak dan kewajiban suami isteri dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Hak isteri atas suami
Diantara hak isteri atas suami adalah:
1) Mahar:
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan seorang calon suami
kepada calon isterinya dalam bentuk apapun baik berupa uang maupun
barang (harta benda).7
5 Kamus besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 486 6 Sayid Sabiq, fiqh Al-Sunnah, Jilid 2, Kairo: Dar Al-Fath Li Al- A’lam Al-Araby, 1997,
hlm.5. 7 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar baru, cet.ke-22,t.t, hlm. 365.
16
Allah berfirman:
وءاتوا النساء صدقاتهن نحلة فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا
Artinya:”Berikanlah mas kawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”.8(Q.S An Nisa’:4)
Kuantitas mahar tidak ditentukan oleh syari’at Islam, hanya menurut
kemampuan suami yang disertai kerelaan dari sang isteri.9 Hal ini
disebabkan adanya perbedaan status sosial ekonomi masyarakat, ada yang
kaya ada yang miskin, lapang dan sempitnya rezeki, itulah sebabnya Islam
menyerahkan masalah kuantitas mahar itu sesuai dengan status sosial
ekonomi masyarakat berdasarkan kemampuan masing-masing orang atau
keadaan dan tradisi keluarganya.
2) Nafkah
Para ulama’ sependapat bahwa diantara hak isteri terhadap suami
adalah nafkah.8 Hal ini berdasarkan firman Alloh Swt:
وعلى المولود له رزقهن وآسوتهن بالمعروفArtinya:”Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma’ruf”.10 (Q.S. Al –Baqoroh: 233)
Menurut Sayyid Sabiq, bahwa yang dimaksud dengan nafkah adalah
memenuhi kebutuhan makan tempat tinggal (dan kalau ia seorang yang
kaya maka pembantu rumah tangga dan pengobatan istri juga masuk
nafkah).11 Hal ini dikarenakan seorang perempuan yang menjadi isteri bagi
8 .Departemen Agama, Alquran dan Terjemahanya, Semarang: Cv. Al-Waah, 1993,
hlm.115. 9 Sulaiman Rasjid, Op.cit, hlm.107. 10 Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit, hlm.57 11 Al-Sayyid Sabiq Op,cit, hlm115.
17
seorang suami mempergunakan segala waktunya untuk kepentingan
suaminya dan kepentingan rumah tangganya.
Nafkah rumah tangga merupakan hal yang sangat penting dalam
membentuk keluarga yang sejahtera, sehingga kebutuha pokok manusia
terpenuhi. Adapun kuantitas nafkah yang diberikan suami kepada isterinya
adalah sesuai kemampuan suami.
Allah S.W.T berfirman:
من وجدآم أسكنوهن من حيث سكنتم Artinya: ”Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu”.12 (Q.S.At-Thalaq:6)
Nafkah diberikan suami kepada isteri dalam sebuah ikatan
perkawinan yang sah, yang masih berlangsung dan isteri tidak nusyuz
(durhaka). Atau karena hal-hal lain yang menghalangi istri menerima
belanja (nafkah).
3) Memperlakukan dan menjaga isteri dengan baik
Suami wajib menghormati, bergaul dan memperlakukan isterinya
dengan baik dan juga bersabar dalam menghadapinya.13 Bergaul dengan
baik berarti menjadikan suasana pergaulan selalu indah dan selalu diwarnai
dengan kegembiraan yang timbul dari hati kehati sehingga keseimbangan
rumah tangga tetap terjaga dan terkendali.14
Allah S.W.T. telah berfirman:
12 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm946 13 Al-Sayid Sabiq, Op,Cit, hlm.126 14 Rs. Abdul Azis, Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, Semarang: CV. Wicaksana, cet.ke 1,
1990, hlm.65.
18
وعاشروهن بالمعروف فإن آرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا آثيرا
Artinya: ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.15(Q.S. An-nisa’:19)
Bergaul dengan cara yang baik berarti memperlakukan dan
menghormati dengan cara yang wajar, memperhatikan kebutuhan isterinya,
menahan diri dari sikap yang tidak menyenangkan iseteri dan tidak boleh
berlaku kasar terhadap isterinya.16 Hal ini telah diajarkan oleh nabi
Muhammad sebagai berikut:
حق المراء ة على الزوج ان يطعمها ادااطعم ويكسوهااداآتسى واليضربالوجهاواليقبح وال يهجراالفىالبيت
Artinya:”Hak isteri kepada suami adalah memberi makan kepada isterinya apabila ia makan, memberi pakaian kepadanya jika dia berpakaian, tidak memukul pada muka dan tidak berbuat jelek serta tidak memisahkan diri kecuali dari tempat tidur”. 17
Seorang suami tidak boleh memarahi isteri sekalipun sang isteri
memiliki kekurangan-kekurangan, namun suami tidak boleh mengungkit-
ungkit apa yang menjadi kelemahan isterinya karena dibalik kekurangan-
kekurangan yang ada pada isterinya terdapat kelebihan-kelebihan yang
15 Departemen Republik Indonesia, op,cit, hlm.119 16 Huzaimah Tahido, Hak dan kewajiban Pria dan Wanita”, Agus Tiarsa dalam tuntunan
Islam tentang kemitrasejajaranpria dan wanita (dalam perspektif islam), Jakarta: Majlis Ulama’
Indonesia, 1999, hlm.82. 17 Al-Khafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1,
Dar Al-Fikr, hlm.593-594, Abu dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid 1,cet ke 1, Mesir: Isa Al-Babi Al-
Halabi WA Auladih, 1952, hlm. 494.
19
dipunyai oleh isterinya. Di samping itu totalitas waktu isterinya tercurahkan
oleh ketaatanya kepada suami.
Rasulullah telah bersabda:
ال يفر ك مؤ من مؤ منة ان آره منها رضى منهااالخر
Artinya:”Janganlah Seorang Suami Mukmin memarahi seorang Isteri Mukminah. Jika tidak suka dengan salah satu perilakunya, Ia dapat menerima perilaku yang lain”.
b. Hak suami atas isteri
Adapun diantara hak suami atas isteri adalah sebagai berikut:
1) Suami ditaati oleh isteri
Isteri wajib mentaati suami selama dalam hal-hal yang tidak
maksiyat. Istri menjaga dirinya sendiri dan juga harta suaminya,
menjauhi diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan
suaminya, tidak cemberut dihadapan dan tidak menunjukkan keadaan
tidak disenangi oleh suaminya.18 Isteri hendaknya taat kepada suaminya
dalam melaksanakan urusan rumah tangganya selama suami menjalankan
ketentuan-ketentuan berumah tangga.19 Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT sebagai berikut:
فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله
Artinya:”…Sebab itu maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri dibalik pembelakangan
18 Al-Sayyid Sabiq, op,cit, hlm.134 19 Huzaemah tahido, Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita, Jakarta : Majlis Ulama’
Indonesia, 1999, hlm. 80-81
20
suaminya oleh karena Allah telah memelihara”.20(Q.S.An-Nisa’: 34)
Yang dimaksud taat dalam ayat ini ialah patuh kepada Allah SWT
dan kepada suaminya. Perkataan “taat” bisanya hanya digunakan oleh
Allah. Tetapi dalam ayat ini digunakan untuk suami juga, hal ini
menggambarkan bagaimana sikap isteri yang baik terhadap suaminya.
Allah menerangkan isteri harus berlaku demikian karena suami itu telah
memelihra isterinya dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan suami-
isteri.21
Yang dimaksud menjaga dirinya di belakang suaminya adalah
menjaga dirinya diwaktu suaminya tidak ada, tanpa berbuat khianat
kepadanya baik mengenai diri atau harta bendanya.22 Seorang isteri harus
mentaati serta berbakti dan mengikuti segala yang diminta dan
dikehendaki suaminya asalkan tidak merupakan suatu hal yang berupa
kemaksiyatan.23
2) Isteri tidak memasukkan orang yang dibenci oleh suaminya kedalam
rumahnya kecuali dengan izin suaminya, isteri wajib memelihara diri di
balik pembelakangan suaminya, terutama apabila suami bepergian,
jangan sekali-kali isteri melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
20 Departemen Agama Republik Indonsia: op.cit,hlm.123 21 Departemen Agama, ilmu Fiqih, jilid II, Jakarta: Proyek Perguruan Tinggi Agama/ IAIN
Jakarta, hlm. 163-164. 22 Al-Sayyid Sabiq, Loc.cit. 23 Al-Alamah Almarhum Al-Syaikh Muhamad Jamaludin Al-Dimasyiqi, Mau’idhah Al-
Mu’minin,Indonesia: Dar Ihya’ Al-kutub Al-Araby, Jilid.1,hlm.117
21
kecurgaan suami, sehingga suami tidak merasa tenteram pikiranya dalam
bepergian. Sebagaimana hadits nabi Muhammad S.A.W. Sebagai berikut:
فاماحقكم على . االان لكم على نسائكم حقا و لنسا ئكم عليكم حقكم من تكرهون والياءدن فى بيو تكم لمن نسائكم فاليوطئن فرش
االوحقهن عليكم ان تحسنو االيهن فىكسوتهن وطعامهن. تكرهون
Artinya: ” ketahuilah…bahwa kalian punya hak terhadap Isteri-Isteri kalian dan isteri-isteri kalian punya hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap isteri-isteri kalian adalah tidak bersenang-senang di tempat tidurmu bersama orang yang kalian benci dan tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci di dalam rumah. Dan hak mereka terhadap kalian adalah kalian memberi pakaian dan makanan kepada mereka dengan baik”
Melakukan perbuatan terlarang tidak hanya akan menghancurkan
rumah tangga tetapi juga akan mendapat siksa yang sangat berat dari Allah.
c. Hak bersama suami isteri
Diantara hak bersama suami dengan isteri adalah antara lain sebagai
berikut:
1) Halalnya pergaulan
Suami-isteri sama-sama mempunyai hak untuk menggauli sebagai
pasangan suami-isteri dan memperoleh kesempatan saling menikmati atas
dasar saling memerlukan.24 Hal ini tidak dapat dilakukan secara sepihak
saja.25
Allah Swt telah berfirman:
انتم لباس لهنهن لباس لكم و
24 Al-Tirmidzi, Sunan Al-tirmidzi, Jilid 2,Dar Al-Fikr, t,t,hlm.315. 25 Huzaemah Tahido, op.cit, hlm.81.
22
Artinya: ”Mereka (para isteri) adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka”.26 (Q.S. Al- Baqrah: 187)
2) Hak saling memperoleh harta waris
Sebagai salah satu dampak dari perkawinan yang sah bila salah
seorang meninggal dunia, suami sebagai pemimpin yang bertanggung
jawab dan mencukupi nafkah serta keperluan hidup isterinya maka bila
Istrinya mati dengan meninggalkan harta pusaka, sang suami berhak
mendapatkan harta warisan. Demikian pula isteri sebagai kawan hidup
yang sama-sama merasakan suka-duka hidup berumah tangga dan
berkorban membantu suaminya, maka adillah kiranya bila isteri diberi
bagian yang pasti dari harta peninggalan suaminya.27
3) Hak timbal balik
Dalam kehidupan rumah tangga, salah satu kriteria ideal untuk
mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah adalah suami
sebagai pemimpin bagi keluarganya memimpin istrinya untuk mendidik
dan memperlakukan isterinya secara proporsional sebagai perintah syari’at
bahwa Allah S.W.T. telah menyebut laki-laki merupakan sosok pemimpin
bagi perempuan, hal ini tersebut dalam firmanNya:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا
Artinya: ”Laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.28
26 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm.48. 27 Al-Sayyid Sabiq, Op.cit, hlm.48. 28 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm. 123.
23
Sebagai pemimpin bagi isteri dan keluarganya maka suami wajib
memberikan bimbingan dan pendidikan kepada isterinya dan keluarganya
agar tidak terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan dan kehinaan.29Hal ini
telah jelas diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:
يايهاالدين امنواقواانفسكم واهليكم نارا
Artinya:”Wahai Orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. 30
Sedangkan isteri sebagai seorang yang dipimpin oleh suaminya
hendaklah taat dan patuh terhadap perintah suaminya (selama perintah
suaminya tidak dalam hal kemaksiyatan), isteri hendaknya mengerjakan
perintah suami dengan sabar dan tenang.31
Demikian timbal-balik antara suami-isteri dalam memperoleh
haknya masing-masing secara proporsional yang tidak merugikan kedua
belah pihak. Inilah kriteria ideal sebagai simbiosis mutualisme (hubungan
ketergantungan yang saling menguntungkan) dalam rumah tangga.
2. Hak dan Kewajiban Suami-Istri Menurut Hukum Positif
a. Menurut Undang-Undang Perkawinan
Negara Indonesia merupakan negara yang mendasarkan segala
kegiatan kehidupan pada peraturan perundang-undangan hukum yang
berlaku dengan ancaman akan dikenakan suatu sanksi atau tindakan apabila
29 RS. Abd. Azis, op.cit, hlm.62. 30 Departeman Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm.951. 31 RS. Abdul Azis, op.cit,hlm.72.
24
melanggarnya.32 Salah satu produk Nasional adalah pada tanggal 7 januari
tahun1974, disahkannya Undang-undang perkawinan, yaitu Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yang dimuat dalam lembaran
negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, tambahan lembaran
negara republik Indonesia Nomor 3019 Tahun 1974. Undang-undang
perkawinan tersebut pada penerapanya dirasakan sudah mantap sekalipun
masih di perlukan upaya lain untuk mempertahankan eksistensinya dalam
pengakuan hukum perkawinan.33
Adapun dasar hukum di keluarkanya Undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan diantaranya adalah Undang-undang dasar 1945
pasal 5 ayat 1(satu), pasal 20 ayat 1(satu) pasl 27 ayat 1(satu) dan pasal 29.
Selain itu sebagai dasar hukum di keluarkanya undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan adalah ketetapan MPR nomor:
IV/MPR/1978 tentang garis-garis besar halauan negara (GBHN) yang berisi
landasan, modal dasar agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, pembinaan keluarga sejahtera dan hukum.34
Sedangkan dasar pertimbangan yang digunakan dalam mengeluarkan
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah sesuai
dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional
32 R. Badri, perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KUHP, Surabaya: CV.
Amin, 1985, hlm.11 33 Ibid 34 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Cet.ke-18, Jakarta:
Balai pustaka, 1982, hlm 207
25
sehingga perlu dikeluarkanya Undang-undang tentang perkawinan yang
berlaku bagi seluruh warga Republik Indonesia.35
Undang-undang perkawinan terdiri dari 14 bab dengan 67 pasal.
Dalam Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban suami-
isteri dalam bab V pasal 30 sampai dengan pasal 34.36
Undang-undang perkawinan tahun 30 menyatakan: ”Suami-istri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Undang-undang perkawinan pasal 31 mengatur tentang kedudukan
suami-isteri yang menyatakan:
1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
Inilah yang membedakan antara hukum perkawinan dengan
Undang-undang hukum perdata. Di dalam Undang-undang perkawian
menyatakan secara tegas bahwa kedudukan suami isteri itu seimbang, dalam
melakukan perbuatan hukum. Sedangkan dalam hukum perdata apabila izin
suami tidak diperoleh karena ketidak hadiran suami atau sebab-sebab lainya,
35 Ibid, hlm. 208. 36 R.subekti dan R.Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang hukum perdata dengan Tambahan
Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan,Cet.ke-18, Jakarta: pradnya
Paramita,1984,hlm.547-548.
26
pengadilan dapat memberikan izin kepada isteri untuk menghadap hakim
dalam melakukan perbuatan hukum.37
Undang-undang perkawinan mengatakan dengan tegas bahwa suami
adalah kepala rumah tangga, berbeda dengan hukum adat dan hukum Islam.
Menurut R. Wirdjona Prodjodikoro yang dikutip oleh Lili Rasjidi,
menyatakan bahwa dalam hukum adat dan hukum Islam tidak menyatakan
secara tegas.38
Kemudian pasal 32 Undang-undang perkawinan menerangkan:
1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat.
2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Tempat kediaman dalam ayat (1) dalam artian tempat tinggal atau
rumah, yang bisa di tempati pasangan suami-isteri dan juga anak-anak
mereka.
Pasal 30 Undang-undang perkawinan merupakan prolog bagi pasal
32, Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa: Suami-isteri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat. Oleh karena itu, mereka (suami-isteri) harus
mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan bersama, di
samping mereka (suami-isteri) harus saling mencintai, hormat-menghormati
dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami sebagai kepala
37 Lili Rasjidi, hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaisia dan Indonesia, Cet ke-1,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1991,hlm.125-126 38 ibid.
27
rumah tangga melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuan sang suami. Demikian pula isteri
dia wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Kemudian apabila
salah satu dari keduanya melalaikan kewajibannya, mereka dapat menuntut
ke pengadilan di wilayah mereka berdomisili.39 Hal ini sesuai dengan pasal
33 dan pasal 34 Undang-undang perkawinan.
Pada pasal 33 Undang-undang perkawinan menerangkan bahwa
suami-istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Sedangkan pasal 34 Undang-undang perkawinan menegaskan:
1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.
2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya
3) Jika suami atau istrei melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Kewajiban suami dalam pasal 34 ayat (1) menegaskan suami
wajib melindungi isteri dan keluarganya, yaitu memberikan rasa aman dan
nyaman, dan isteri wajib mengurus urusan rumah tangga sebaik mungkin.
Jika keduanya malakukan sesuatu yang akibatnya melalaikan kewajibanya
maka baik isteri atau suaminya maka dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan.
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
39 Ibid, hlm. 127.
28
Menurut HM.Tahir Azhari sebagai mana dikutip oleh Eman
Sulaeman dalam hasil penelitianya “hukum kewarisan dalam KHI di
Indonesia-studi tentang sumber-sumber hukum” bahwa yang dimaksud
dengan KHI adalah suatu himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang di
susun secara sistematis selengkap mungkin dengan berpedoman pada
rumusan kalimat-kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan dalam
peraturan perundang-undangan.40
Salah satu sebab kemunculan KHI adalah, karena hukum materiil dari
peradilan Agama masih variatif dalam berbagai kitab fiqih sebagai
pedoman dalam mengambil keputusan oleh para hakim. Hal ini membuka
peluang bagi terjadinya pembangkangan bagi orang yang kalah dalam
berperkara seraya menanyakan pendapat yang dipakai dengan menunjukkan
kitab lain sebagai penyelesaian perkara untuk memenangkan perkaranya.41
Inilah sebab kemunculan KHI agar orang dalam berperkara memiliki
hukum positif dan kongkrit, karena pada hakekatnya peradilan Agama itu
sendiri telah lahir dari lebih dari se-abad lamanya.42
Kemunculan Kompilasi Hukum Islam mengatur hak dan kewajiban
suami-isteri dalam bab VII pasal 77 sampai dengan pasal 84.
Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam menyatakan:
40 Eman Sulaeman, Hukum Kewarisan Dalam KHI di Indonesia (Study Tentang sumber-
Sumber Hukum), Semarang: Balai Penelitian IAIN Wali Songo,t.t, hlm.47,t,d. 41 Ibid,hlm.48-50. 42 HM. Djamil Latif, Kedudukan dan kekuasaan peradilan agama Di Indonesia,cet ke 1,
Jakarta: bulan Bintang,1983, hlm.9-10.
29
1. Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan keluarga
yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat”.
2. Suami-istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu dengan yang lain.
3. Suami-isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasa dan pendidikan agamanya.
4. Suami-istri wajib memelihara kehormatanya
5. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibanya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan agama.
Adapun pasal 78 KHI menjelaskan:
1) Suami-istri harus mempunyai kediaman yang sah.
2) Rumah kediaman yang dimaksud oleh ayat (1) ditentukan oleh suami
isteri bersama.
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang kedudukan
Suami-isteri terdapat dalam pasal 79, yaitu:
1) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.
2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
masyarakat.
3) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
30
Pasal 80 KHI menjelaskan tentang kewajiban suami terhadap isteri
dan keluarganya, yaitu:
1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah- tangga yang penting di putuskan
oleh suami-isteri bersama.
2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.
3) Suami wajib memberikan pendidikan dan kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan penghasilan suami menanggung:
(a) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
(b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak.
(c) Biaya pendidikan anak.
5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut dalam ayat (4) huruf a
dan b diatas berlaku sesudah ada tamkin dari istrinya.
6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri
nusyuz.
KHI Pasal 81 terdiri atas empat ayat yang menjelaskan tentang
tempat kediaman yang menyatakan:
31
1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya
atau bekas isteri yang masih dalam masa iddah
2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama
dalam ikatan atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah-tangga.
4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Dalam pasal 82 KHI menerangkan tentang kewajiban suami yang
beristeri lebih dari seorang, yaitu:
1) Suami yang mempunya isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara
berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung
masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya
dalam satu tempat kediaman.
Pasal 83 dan pasal 84 KHI menjelaskan tentang kewajiban isteri
terhadap suaminya, yaitu:
Pasal 83
32
1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin di
dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam
2) Isteri menyelanggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-
hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika Ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1)
kecuali dengan alasan yang sah.
2) Selama isteri dalam keadaan nusyuz, kewajiban suami terhadap
isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku
kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah
isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus
didasarkan atas bukti yang sah.
Agar tidak dianggap nusyuz maka isteri harus melaksanakan
kewajiban dalam rumah tangga yaitu, berbakti lahir dan batin kepada suami
di dalam batas-batas yang di benarkan oleh hokum Islam. Di samping itu
isteri berkewajiban pula menyelenggarakan pula dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
C. Terwujudnya Keluarga Sakinah dalam Pemenuhan Hak dan Kewajiban
Suami-Isteri
33
Tujuan utama kehidupan rumah tangga ialah mencapai ketenangan,
kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan hidup lahir batin di atas jalinan kasih
sayang antara suami-isteri.43 Keluarga sakinah adalah sebuah keadaan rumah
tangga yang para anggotanya memperoleh ketenangan dan kebahagiaan lahir
batin, mengantar kemungkinan berkembangnya cinta dan sayang dalam
keluarga. Sebagaimana firman Allah S.W.T. dalam surat Ar-ruum: 21
ومن ءاياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.44 (Q.S. Ar-ruum : 21)
Dalam pembentukan keluarga yang sakinah didasarkan pada dua unsur
pokok, yaitu moril dan materiil.45 Unsur moril menggambarkan sikap pergaulan
antara suami-isteri yang meliputi:
Pertama, Tahabub yakni sikap saling mencintai, mengasihi dan
menghargai satu sama lain, bila sikap ini ada maka segala beban yang harus di
emban menjadi ringan.
43 Swara Rahima, risalah Perempuan Bekerja, Jakarta: No. 12 Th. IV, September, 2004,
hlm. 34 44 Departemen Agama, Alquran dan Terjemahanya, Semarang: Cv. Al-Waah, 1993,
hlm.367 45 Rindang, Antara Idealita dan Realita, “Sikap Santun dalam Keluarga” Semarang: CV.
Aneka Ilmu, No. 05, Th. XXX Desember 2004, hlm. 37
34
Kedua, Taawun yakni sikap tolong menolong, isi mengisi dan saling
melengkapi. Tidak ada manusia yang sempurna, maka suami-isteri harus
menyadari hal ini serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, Tasyawur yakni apabila suami-isteri akan berbuat sesuatu,
mereka hendaknya saling terbuka dan musyawarah dengan akal sehat untuk
mencari kata mufakat dan bukan memaksa kehendak sendiri. Hasil kesepakatan
itulah yang seharusnya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan
bertawakal kepada Allah.
Keempat, Taaffi yakni saling memaafkan, di mana suami-isteri asalnya
sama-sama orang lain yang berbeda keinginan yang kadangkala satu sama lain
sering bertentangan. Agar bahtera rumah tangga berjalan dengan baik, maka
suami-isteri hendaknya tidak mengumpulkan perbedaan, akan tetapi memilih
persamaan-persamaan. Karena itu suami-isteri harus terjalin sikap saling
memaafkan.
Adapun unsur materiil banyak menggambarkan kebendaan yang
dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga demi terbinanya keluarga yang
kekal, bahagia dan sejahtera. Unsur ini meliputi pangan, sandang papan /
tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan hiburan.
Semua orang pasti merindukan kebahagiaan, rumah tangga yang ideal
(sakinah) sebagaimana gambaran di atas, keluarga yang senantiasa dihiasi
gelaktawa, kemesraan, kelembutan, hubungan yang harmonis antara suami-
isteri, orang tua dan anak serta adanya kasih sayang yang satu dengan yang
lain. Namun betapa sering suasana rumah tangga telah menjadi ‘neraka’ dunia
35
sebab tidak ada persesuaian di dalam rumah tangga, tiada lagi sikap tahabub,
taawun, tasyawur dan taaffi, sehingga makin lama makin retak.46
Banyak langkah yang bisa dipahami dan dilakukan untuk memperoleh
keluarga sakinah. Memperbaiki komunikasi adalah salah satu langkah untuk
memegang peranan, yaitu dengan sopan santun dalam berkomunikasi, sebab
ketidak sopanan akan menimbulkan berbagai salah pengertian. Ketika masih
dalam taraf penjagaan, calon suami isteri sangat peka sakali dalam hal ini,
mereka berbicara sesopan mungkin jangan sampai menyinggung perasaan
calonnya, sudah semestinya kepekaan ini diteruskan dalam rumah tangga,
jangan sampai menyakiti suamiatau isteri.
Pada keseluruhanya maka sakinah itu memang ketenteraman jiwa dan
ketenangan bathin. Jadi satu kondisi yang sangat dibutuhkan manusia agar ia
bisa hidup bahagia dan sejahtera, tenteram dalam kancah keluarga. Sebab untuk
hidup bahagia dan sejahtera manusia membutuhkan ketenangan hati dan jiwa
yang aman dan damai. Inilah hakekat perkawinan muslim yang disebut
“sakinah”. Jadi tegasnya keluarga sakinah adalah keluarga yang bahagia dan
sejahtera. Keluarga yang berdiri di atas sendi kasih sayang atau mawaddah
warahmah.47
D. Hukum Meninggalkan Hak dan Kewajiban Suami-Isteri
Dalam menjaga kelangsungan hidup dan meneruskan keturunannya,
manusia disyari’atkan untuk menikah sebagai jalan dalam rangka mewujudkan
keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Sebagaimana firman Allah :
46 Ibid 47 Op., cit, hlm. 39.
36
ومن ايته ان خلق لكم من انفسكم ازو اجالتسكنوااليهاوجعل بينكم مودة ان فى دلك اليت لقوم يتفكرون‘ ورحمة
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasanNYA ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadaNYA, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu bener-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.48
Sebagai pasangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, suami isteri
dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawahdah dan rahmah, maka hak
dan kewajiban suami dan isteri harus dijalankan secara proporsional. Dalam
kaitannya dengan hak dan kewajiban suami isteri, baik di dalam Undang-
undang perkawinan atau di dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa
suami merupakan kepala keluarga sedang isteri merupakan ibu rumah tangga.49
sekalipun suami berperan disektor publik, sedangkan isteri berperan dalam
sektor domestik,50 namun hal tersebut tidak dipahami secara dogmatis. Hal ini
berdasarkan firman Allah S.W.T sebagai berikut:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض اوبما أنفقو
Artinya: “laki-laki itu adalah pemimpin bagi permpuan kaerena Allah telah melebihkan bagaimina mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”51 (Q.S An Nisa’: 34)
48 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Semarang:
CV.Al waah, 1993, hlm. 644 49 Undang-undang Perkawinan Pasal 31 ayat 3 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 79 ayat
1 50 Bagus Hariyono, Kekuasaan Isteri Tergantung Suami, Surakarta: Yayasan Pustaka
Cakra, cet.1 2000, hlm.15 51 Deparemen Agama Republik Indonesia, Op.Cit, hlm.951
37
Dalam kaitannya dengan isteri yang bekerja untuk mencari nafkah,
menurut Sayyid Sabiq yang mengutip pendapat Ibnu Abidin, salah satu ulama
Imam Hanafi berpendapat bahwa apabila isteri bekerja untuk mencari nafkah
keluarga selama tidak merugikan hak suami maka hal itu diperbolehkan.52
Hal ini senada dengan para ulama’ NU dalam hasil muktamarnya yang
ke-14 di magelang. Kebolehan istri yang bekerja disamakan dengan mahar,53
yang telah disebutkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNYA sebagai berikut:
وءاتوا النساء صدقاتهن نحلة فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا
Artinya: ”Kemudian jika (isteri-isteri) menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”56 (Q.S. AnNissa’: 4)
Dalam bukunya Ibrahim Muhammad Al-Jamal terjemahan Anshori Umar
Sitanggal yakni fiqih wanita dalam kaitanya dengan hak dan kewajiban suami
isteri salah satunya pergi ke luar negeri untuk suatu tugas (bekerja) dengan
adanya izin oleh pihak yang bersangkutan maka diperbolehkan. Karena
nantinya akan membawa oleh-oleh dan uang yang cukup banyak.57
Dari uraian tersebut di atas maka maka pengertian bahwa suami berperan
di bidang publik sedangkan isteri berperan di bidang domestik tidak dipahami
52 Al Sayyid Sabyq, Op.Cit,hlm. 131 53 KH.A Azis Masyuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar NU, Surabaya: PP, Rabithah
Ma’hadil islamiyah, 1997, hlm.179 56 Deparemen Agama Republik Indonesia, Op.Cit, hlm115. 57 Ibid.
38
secara dogmatis, diantara suami- isteri dalam sebuah rumah tangga di
perbolehkan untuk melakukan pertukaran peran selama masing-masing pihak
tidak merasa terganggu haknya.