180931193 laporan pendahuluan saponisikasi 1
DESCRIPTION
huuTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
LABORATORIUM UNIT PROSES
SAPONIFIKASI
Disusun Oleh:
1. M. Ismansyah Putra 03111003009
2. Liliana Comeriorensi 03111003061
3. Yolanda Febrina 03111003072
4. Andre Tiofami 03111003073
5. Anissa Nurul Badriyah 03111003075
6. Uwu Holifah Ana Fatlullah 03111003103
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan angka pertumbuhan masyarakat Indonesia yang tinggi akan
berdampak pada peningkatan permintan bahan kebutuhan sehari - hari. Salah satu
kebutuhan hidup yang cukup penting adalah produk perawatan tubuh berupa
sabun. Sabun menjadi perhatian semua pihak karena berhubungan langsung
dengan sanitasi, sehingga sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat.
Sabun adalah salah satu senyawa kimia tertua yang pernah dikenal. Sabun
sendiri tidak pernah secara aktual ditemukan, namun berasal dari pengembangan
campuran antara senyawa alkali dan lemak atau minyak. Trigliserida terdiri dari
tiga gugus asam lemak yang terikat pada gugus gliserol. Asam lemak terdiri dari
rantai karbon panjang yang berakhir dengan gugus asam karboksilat pada
ujungnya. Gugus asam karboksilat terdiri dari sebuah atom karbon yang berikatan
dengan dua buah atom oksigen. Satu ikatannya terdiri dari ikatan rangkap dua dan
satunya merupakan ikatan tunggal. Setiap atom karbon memiliki gugus asam
karboksilat yang melekat, maka dinamakan trigliserida.
Sabun merupakan merupakan suatu bentuk senyawa yang dihasilkan dari
reaksi saponifikasi. Istilah saponifikasi dalam literatur berarti soap making. Akar
kata sapo dalam bahasa Latin yang artinya sabun. Pengertian Saponifikasi adalah
reaksi yang terjadi ketika minyak atau lemak dicampur dengan larutan alkali.
Terdapat dua produk yang dihasilkan dalam proses ini, yaitu Sabun dan Gliserin.
Sabun disebut sodium stearat dengan rumus kimia C17H35COO – Na + dan
merupakan hidrokarbon rantai panjang dengan 10 sampai 20 atom karbon. Sabun
digunakan untuk membersihkan karena bersifat polar, merupakan komponen ionik
yang larut dalam air dan tidak larut dalam larutan organik, yaitu minyak.
Sabun mandi terdiri dari cold - made, opaque, dan sabun transparan. Sabun
mandi cold – made kurang terkenal, tetapi sabun ini mempunyai kemampuan busa
yang baik dalam air garam. Sabun opaque adalah jenis sabun mandi yang biasa
digunakan sehari - hari. Sabun transparan atau disebut juga sabun gliserin
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis sabun lain, yaitu
mempunyai tampilan yang lebih menarik (berkilau) jika dibandingkan dengan
jenis sabun lain serta dapat menghasilkan busa lebih lembut di kulit. Sifat dari
sabun tergantung pada jumlah dan komposisi bahan baku yang digunakan serta
bahan baku pendukung, antara lain gliserin dan ethanol. Gliserin berperan sebagai
humektan, sedangkan ethanol sebagai pelarut dapat membuat sabun menjadi lebih
transparan. Pada sabun juga dapat ditambahakan zat aditif berupa ekstrak bahan
alam dan essensial oil untuk meningkatkan kualitas sabun yang dihasilkan.
1.2. Permasalahan
1) Bagaimana prinsip kerja pada proses saponifikasi?
2) Bagaimana cara menghitung konversi dan yield saponifikasi?
3) Bagamana cara menghitung neraca massa dan neraca panas saponifikasi?
1.3. Tujuan
1) Mengetahui prinsip dan proses saponifikasi.
2) Mengetahui cara menghitung konversi dan yield saponifikasi.
3) Mengetahui cara menghitung neraca massa dan neraca panas saponifikasi.
1.4. Manfaat
1) Dapat mengetahui mekanisme kerja sabun.
2) Dapat mengetahui mekanisme reaksi pada proses pembuatan sabun.
3) Dapat mengetahui jenis surfaktan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Saponifikasi
Kata saponifikasi atau saponify berarti membuat sabun (Latin sapon atau
sabun dan –fy adalah akhiran yang berarti membuat). Bangsa Romawi kuno mulai
membuat sabun sejak 2300 tahun yang lalu dengan memanaskan campuran lemak
hewan dengan abu kayu. Pada abad 16 dan 17 di Eropa sabun hanya digunakan
dalam bidang pengobatan. Barulah menjelang abad 19 penggunaan sabun meluas.
Sabun merupakan merupakan suatu bentuk senyawa yang dihasilkan dari
reaksi saponifikasi. Saponifikasi adalah reaksi hidrolisis asam lemak oleh adanya
basa lemah (misalnya NaOH). Hasil lain dari reaksi saponifikasi ialah gliserol.
Selain C12 dan C16, sabun juga disusun oleh gugus asam karboksilat. Hidrolisis
ester dalam suasana basa bisa disebut juga saponifikasi. Dua metode yang
digunakan dalam esterifikasi yaitu proses batch dan proses kontinyu.
Pada reaksi kesetimbangan, air dipindahkan secara kontinyu untuk
menghasilkan ester. Esterifikasi proses kontinyu lebih baik daripada proses batch.
Dengan hasil yang sama, proses kontinyu membutuhkan waktu yang lebih singkat
dengan kelebihan metanol (excess) yang lebih rendah. Proses esterifikasi
merupakan proses yang lebih sering digunakan dalam produksi ester dari asam
lemak spesifik Laju reaksi esterifikasi sangat dipengaruhi oleh struktur molekul
reaktan dan radikal yang terbentuk dalam senyawa antara. Secara umum laju
reaksi esterifikasi mempunyai sifat sebagai berikut:
1) Alkohol primer bereaksi paling cepat, disusul alkohol sekunder, dan paling
lambat alkohol tersier
2) Ikatan rangkap memperlambat reaksi
3) Asam aromatik bereaksi lambat, tetapi mempunyai batas konversi yang tinggi
4) Makin panjang rantai alkohol, cenderung mempercepat reaksi atau tidak
terlalu berpengaruh terhadap laju reaksi.
Pada umumnya, alkali yang digunakan dalam pembuatan sabun pada
umumnya hanya NaOH dan KOH, namun kadang juga menggunakan NH4OH.
Sabun yang dibuat dengan NaOH lebih lambat larut dalam air dibandingkan
dengan sabun yang dibuat dengan KOH. Sabun yang terbuat dari alkali kuat
(NaOH, KOH) mempunyai nilai pH antara 9,0 sampai 10,8 sedangkan sabun yang
terbuat dari alkali lemah (NH4OH) akan mempunyai nilai pH yang lebih rendah
yaitu 8,0 sampai 9,5.
2.2. Sabun dan Deterjen
Istilah agen permukaaan aktif adalah meliputi sabun dan deterjen, wetting
agent (agen basa) dan penetral. Surface active agent merupakan gabungan antara
water attracting atau hidrofilik group terhadap suatu molekul lainya. Deterjen
secara umum dapat diartikan sebagai pembersih. Untuk memulai pengertian
tentang detergen, dapat dimulai dari sabun. Sabun merupakan produk kaustik.
Lemak merupakan campuran dari gliserida dimana komposisinya berbeda-beda
sesuai dengan sumbernya. Trigliseril-asetat adalah ester yang terbentuk apabila
glycerol alcohol terhidrat digabungkan dengan asam lemak natural fat (lemak
alami).
Angka penyabunan adalah suatu bilangan yang menunjukan jumlah dari
potassium hidroksida yang diperlukan untuk menyabun 1 gram dari berat lemak
atau minyak. Lemak terdiri dari asam – asam lemak yang mempunyai berat
molekul reandah melalui proses safonifikasi menjadi berat molekul tinggi dari
asam lemak pada gliserida. Selain angka penyabunan dalam proses pembuatan
sabun, masih ada beberapa bilangan lainya yang serta sekali hubunganya dengan
proses pembuatan sabun. Bilangan tersebut adalah:
1) Acid Value
Jumlah milligram KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak
bebas (FFA) dalam 1 gram lemak.
2) Hanner Value
Bilangan yang menyatakan persentase asam lemak yang tidak larut dalam 1
gram lemak.
2.3. Bahan Pembuatan Sabun
Secara teknik, sabun adalah hasil reaksi kimia antara fatty acid dan alkali.
Fatty acid adalah lemak yang diperoleh dari lemak hewani atau nabati. Ada
beberapa jenis minyak yang dipakai dalam pembuatan sabun, antara lain : Minyak
zaitun (olive oil), minyak kelapa (coconut oil), minyak sawit (palm oil), minyak
kedelai (soy bean oil) dan lain – lain. Masing – masing mempunyai karakter dan
fungsi yang berlainan. Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut : Fatty
Acid ( oils) + Base ( Natrium Hydroxide / Lye) = A Salt (soap).
Bahan baku yang digunakan didasarkan pada beberapa kriteria, antara lain
faktor manusia dan keamanan lingkungan, biaya, kecocokan dengan bahan-bahan
additive yang lain, serta wujud dan spesifikasi khusus dari produk jadinya.
Sedangkan proses produksi aktual dilapangan bisa saja bervariasi dari satu pabrik
dengan pabrik yang lain, namun tahap-tahap utama pembuatan semua produk ter-
sebut adalah tetap sama.
Sabun dibuat dari lemak [hewan], minyak [nabati] atau asam lemak (fatty
acid) yang direaksikan dengan basa anorganik yang bersifat water soluble,
biasanya digunakan caustic soda/soda api (NaOH) atau KOH (kalium hidroksida)
juga alternative yang sering juga dipakai, tergantung spesifik sabun yang
diinginkan. Sabun hasil reaksi dengan sodium hidroksida (NaOH) biasanya lebih
keras dibandingkan dengan penggunaan Potasium Hidroksida (KOH).
2.4. Jenis – Jenis Lemak
Lemak merupakan senyawa lipid yang memiliki struktur berupa ester dari
gliserol. Pada proses pembuatan sabun, jenis lemak yang digunakan adalah
minyak nabati atau lemak hewan. Perbedaan antara lemak dan minyak adalah
wujud keduanya dalam keadaan ruang. Minyak akan berwujud cair pada
temperatur ruang (± 28°C), sedangkan lemak akan berwujud padat.
Minyak tumbuhan maupun lemak hewan merupakan senyawa trigliserida.
Trigliserida yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun
memiliki asam lemak dengan panjang rantai karbon antara 12 sampai 18. Asam
lemak dengan panjang rantai karbon kurang dari 12 akan menimbulkan iritasi
pada kulit, sedangkan rantai karbon lebih dari 18 akan membuat sabun menjadi
keras dan sulit terlarut dalam air. Kandungan asam lemak tak jenuh, seperti oleat,
linoleat, dan linolenat yang terlalu banyak akan menyebabkan sabun mudah
teroksidasi pada keadaan atmosferik sehingga sabun menjadi tengik. Asam lemak
tak jenuh memiliki ikatan rangkap sehingga titik lelehnya lebih rendah dari pada
asam lemak jenuh yang tak memiliki ikatan rangkap, sehingga sabun yang
dihasilkan juga akan lebih lembek dan mudah meleleh pada temperatur tinggi.
Lemak merupakan campuran ester- gliseril dari asam lemak atau trigliserida.
Ester tersebut dapat berbentuk padatan, cairan, uap jenuh yang volatil dan
sebagian senyawa yang tidak jenuh. Komposisi trigliserida terdiri dari ester 5%
gliserida dan 95% asam lemak yang merupakan gabungan dari ester-ester. Jumlah
minyak atau lemak yang digunakan dalam proses pembuatan sabun harus dibatasi
karena berbagai alasan, seperti: kelayakan ekonomi, spesifikasi produk (sabun
tidak mudah teroksidasi, mudah berbusa, dan mudah larut), dan lain-lain.
Beberapa jenis lemak yang biasa dipakai dalam proses pembuatan sabun di
antaranya :
1) Tallow
Tallow adalah lemak sapi atau domba yang dihasilkan oleh industri
pengolahan daging sebagai hasil samping. Kualitas dari tallow ditentukan dari
warna, titer (temperatur solidifikasi dari asam lemak), kandungan FFA, bilangan
saponifikasi, dan bilangan iodin. Tallow kualitas baik digunakan dalam
pembuatan sabun mandi dan tallow dengan kualitas rendah digunakan dalam
pembuatan sabun cuci. Jumlah FFA dari tallow berkisar antara 0,75-7,0 %. Titer
pada tallow umumnya di atas 40°C. Tallow dengan titer di bawah 40°C dikenal
dengan nama grease.
2) Lard
Lard merupakan minyak babi yang masih banyak mengandung asam lemak
tak jenuh seperti oleat (60 ~ 65%) dan asam lemak jenuh seperti stearat (35 ~
40%). Jika digunakan sebagai pengganti tallow, lard harus dihidrogenasi parsial
terlebih dahulu untuk mengurangi ketidakjenuhannya. Sabun yang dihasilkan
dari lard berwarna putih dan mudah berbusa.
3) Palm Oil
Minyak kelapa sawit umumnya digunakan sebagai pengganti tallow.
Minyak kelapa sawit berwarna jingga kemerahan karena adanya kandungan zat
warna karotenoid sehingga jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan
sabun harus dipucatkan terlebih dahulu. Sabun yang terbuat dari 100% minyak
kelapa sawit akan bersifat keras dan sulit berbusa.
4) Coconut Oil (minyak kelapa)
Minyak kelapa berwarna kuning pucat dan diperoleh melalui ekstraksi
daging buah yang dikeringkan (kopra). Minyak kelapa memiliki kandungan
asam lemak jenuh yang tinggi, terutama asam laurat, sehingga minyak kelapa
tahan terhadap oksidasi yang menimbulkan bau tengik.
5) Palm Kernel Oil (minyak inti kelapa sawit)
Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak yang mirip dengan
minyak kelapa sehingga dapat digunakan sebagai pengganti minyak kelapa.
Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi dan
asam lemak rantai pendek lebih rendah daripada minyak kelapa.
6) Palm Oil Stearine (minyak sawit stearin)
Minyak sawit stearin adalah minyak yang dihasilkan dari ekstraksi asam-
asam lemak dari minyak sawit dengan pelarut aseton dan heksana. Kandungan
asam lemak terbesar dalam minyak ini adalah stearin.
7) Marine Oil
Marine oil berasal dari mamalia laut (paus) dan ikan laut. Marine oil
memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang cukup tinggi, sehingga harus
dihidrogenasi parsial sebelum digunakan sebagai bahan baku.
8) Castor Oil
Minyak ini berasal dari biji pohon jarak dan digunakan untuk membuat
sabun transparan.
9) Olive oil (minyak zaitun)
Minyak zaitun berasal dari ekstraksi buah zaitun. Minyak zaitun dengan
kualitas tinggi memiliki warna kekuningan. Sabun yang berasal dari minyak
zaitun memiliki sifat yang keras tapi lembut bagi kulit.
10) Campuran minyak dan lemak
Industri pembuat sabun umumnya membuat sabun yang berasal dari
campuran minyak dan lemak yang berbeda. Minyak kelapa sering dicampur
dengan tallow karena memiliki sifat yang saling melengkapi. Minyak kelapa
memiliki kandungan asam laurat dan miristat yang tinggi dan dapat membuat
sabun mudah larut dan berbusa. Kandungan stearat dan dan palmitat yang tinggi
dari tallow akan memperkeras struktur sabun.
2.5. Alkali
Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH,
KOH, Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines. NaOH, atau yang biasa dikenal
dengan soda kaustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling banyak
digunakan dalam pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam
pembuatan sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu
soda/natrium karbonat) merupakan alkali yang murah dan dapat menyabunkan
asam lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan trigliserida (minyak atau lemak).
Ethanolamines merupakan golongan senyawa amin alkohol. Senyawa tersebut
dapat digunakan untuk membuat sabun dari asam lemak. Sabun yang dihasilkan
sangat mudah larut dalam air, mudah berbusa, dan mampu menurunkan kesadahan
air. Sabun yang terbuat dari ethanolamines dan minyak kelapa menunjukkan sifat
mudah berbusa tetapi sabun tersebut lebih umum digunakan sebagai sabun
industri dan deterjen, bukan sebagai sabun rumah tangga. Pencampuran alkali
yang berbeda sering dilakukan oleh industri sabun dengan tujuan untuk
mendapatkan sabun dengan keunggulan tertentu.
Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses penyempurnaan
sabun hasil saponifikasi (pegendapan sabun dan pengambilan gliserin) sampai
sabun menjadi produk yang siap dipasarkan. Bahan-bahan tersebut adalah NaCl
(garam) dan bahan-bahan aditif. NaCl merupakan komponen kunci dalam proses
pembuatan sabun. Kandungan NaCl pada produk akhir sangat kecil karena
kandungan NaCl yang terlalu tinggi di dalam sabun dapat memperkeras struktur
sabun. NaCl yang digunakan umumnya berbentuk air garam (brine) atau padatan
(kristal). NaCl digunakan untuk memisahkan produk sabun dan gliserin. Gliserin
tidak mengalami pengendapan dalam brine karena kelarutannya yang tinggi,
sedangkan sabun akan mengendap. NaCl harus bebas dari besi, kalsium, dan
magnesium agar diperoleh sabun yang berkualitas.
Bahan aditif merupakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam sabun
yang bertujuan untuk mempertinggi kualitas produk sabun sehingga menarik
konsumen. Bahan-bahan aditif tersebut antara lain : builders, fillers inert, anti
oksidan, pewarna,dan parfum. Sabun dapat dibuat melalui proses batch atau
kontinu Pada proses batch, lemak atau minyak dipanaskan dengan alkali (NaOH
atau KOH) berlebih dalam sebuah ketel. Jika penyabunan telah selesai, garam
garam ditambahkan untuk mengendapkan sabun. Lapisan air yang mengaundung
garam, gliserol dan kelebihan alkali dikeluarkan dan gliserol diperoleh lagi dari
proses penyulingan.
Endapan sabun gubal yang bercampur dengan garam, alkali dan gliserol
kemudian dimurnikan dengan air dan diendapkan dengan garam berkali-kali.
Akhirnya endapan direbus dengan air secukupnya untuk mendapatkan campuran
halus yang lama-kelamaan membentuk lapisan yang homogen dan mengapung.
Sabun ini dapat dijual langsung tanpa pengolahan lebih lanjut, yaitu sebagai sabun
industri yang murah. Beberapa bahan pengisi ditambahkan, seperti pasir atau batu
apung dalam pembuatan sabun gosok. Beberapa perlakuan diperlukan untuk
mengubah sabun gubal menjadi sabun mandi, sabun bubuk, sabun obat, sabun
wangi, sabun cuci, sabun cair dan sabun apung (dengan melarutkan udara di
dalamnya).
Pada proses kontinu, yaitu yang biasa dilakukan sekarang, lemak atau
minyak hidrolisis dengan air pada suhu dan tekanan tinggi, dibantu dengan katalis
seperti sabun seng. Lemak atau minyak dimasukkan secara kontinu dari salah satu
ujung reaktor besar. Asam lemak dan gliserol yang terbentuk dikeluarkan dari
ujung yang berlawanan dengan cara penyulingan. Asam-asam ini kemudian
dinetralkan dengan alkali untuk menjadi sabun.
2.6. Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus
hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang
terdiri dari air dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas
surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan
memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang
suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat
bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan
surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-
air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan
rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan
rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung
gugus hidroksil.
Permintaan surfaktan di dunia internasional cukup besar. Pada tahun 2004,
permintaan surfaktan sebesar 11,82 juta ton per-tahun dan pertumbuhan
permintaan surfaktan rata-rata 3 persen per-tahun (Widodo, 2004). Penggunaan
surfaktan sangat bervariasi, seperti bahan deterjen, kosmetik, farmasi, makanan,
tekstil, plastik dan lain-lain. Beberapa produk pangan seperti margarin, es krim,
dan lain-lain menggunakan surfaktan sebagai satu bahannya. Syarat agar surfaktan
dapat digunakan untuk produk pangan yaitu bahwa surfaktan tersebut mempunyai
nilai Hydrophyle Lypophyle Balance (HLB) antara 2-16, tidak beracun, serta tidak
menimbulkan iritasi. Penggunaan surfaktan terbagi atas tiga golongan, yaitu
sebagai bahan pembasah, bahan pengemulsi dan bahan pelarut. Penggunaan
surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi dengan cara
menurunkan tegangan antarmuka, antara fasa minyak dan fasa air. Surfaktan
dipergunakan baik berbentuk emulsi minyak dalam air maupun berbentuk emulsi
air dalam minyak.
Emulsi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari dua fasa cairan
yang tidak saling melarut, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk
globula-globula cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula
dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula
dinamakan fase kontinu atau medium dispersi. Berdasarkan jenisnya emulsi
dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Emulsi minyak dalam air (O/W), adalah emulsi dimana bahan
pengemulsinya mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase
eksternal.
2) Emulsi air dalam minyak (W/O), adalah emulsi dimana bahan
pengemulsinya mudah larut dalam minyak.
Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa
dengan air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa
dengan minyak. Di dalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih
dominan jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-
molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan
dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah
sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula sebaliknya,
bila gugus non polarnya lebih dominan, maka molekulmolekul surfaktan tersebut
akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya
tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan
menjadi fase kontinu.
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan
permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan
akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan
ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk
misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration
(CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Setelah CMC
tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antar muka
menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis
dengan monomernya. Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi
menjadi empat golongan yaitu:
1) Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat, garam
sulfonat asam lemak rantai panjang.
2) Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil
ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3) Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak
bermuatan. Contohnya ester gliserin asam lemak, ester
sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam lemak, polietilena
alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol
amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
4) Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya
mempunyai muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan
yang mengandung asam amino, betain, fosfobetain.
Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak
bumi, seperti linier alkilbensen sulfonat (LAS), alkil sulfonat (AS),
alkil etoksilat (AE) dan alkil etoksilat sulfat (AES). Surfaktan dari
turunan minyak bumi dan gas alam ini dapat menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan, karena surfaktan ini setelah
digunakan akan menjadi limbah yang sukar terdegradasi.
Disamping itu, minyak bumi yang digunakan merupakan sumber
bahan baku yang tidak dapat diperbaharui. Masalah inilah yang
menyebabkan banyak pihak mencari alternatif surfaktan yang
mudah terdegradasi dan berasal dari bahan baku yang dapat
diperbaharui.
Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir
ini mendapat perhatian yang besar. Bioteknologi dapat
didefinisikan sebagai pemanfaatan jasad hidup dan proses
biologis/kimia dalam suatu proses metabolisme untuk
menghasilkan produk bernilai ekonomis lebih tinggi. Sejalan
dengan definisi di atas serta didukung dengan jumlah minyak
nabati sebagai pemasok bahan baku biosurfaktan maka
penerapan bioteknologi pada sintesis biosurfaktan ini berpotensi
besar untuk diaplikasikan.
Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan
sintetik, akan tetapi biosurfaktan lebih rendah tingkat
toksisitasnya, mudah terurai secara biologi, lebih efektif pada
suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah
disintesis. Disamping itu, sifat aktif permukaan yang dimilikinya
berbeda dengan surfaktan yang disintesis secara kimia.
Biosurfaktan mempunyai banyak struktur. Sebagian besar adalah
lemak, yang memiliki ciri struktur surfaktan amfifil. Bagian lipofil
dari lemak hampir selalu gugus hidrokarbon dari satu atau lebih
asam lemak jenuh atau tak jenuh dan mengandung struktur
siklik atau gugus hidroksi. Sebagian besar biosurfaktan
bermuatan netral atau negatif. Pada biosurfaktan anionik,
muatan itu disebabkan oleh karboksilat dan/atau fosfat atau
kelompok sulfat. Sejumlah kecil biosurfaktan kationik
mengandung gugus amina.
Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh
mikroorganisme seperti bakteri, ragi (khamir) dan kapang secara
biotransformasi sel. Beberapa mikroba dapat menghasilkan
surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang
berbeda, mulai dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan
substrat seringkali mengubah juga struktur kimia dari produk
sehingga akan mengubah sifat surfaktan yang dihasilkan.
Pengetahuan mengenai surfaktan akan sangat berguna dalam
merancang produk dengan sifat yang sesuai dengan aplikasi
yang diinginkan. Beberapa mikroorganisme juga ada yang
menghasilkan enzim dan dapat digunakan sebagai katalis pada
proses hidrolisis, alkoholisis, kondensasi, asilasi atau esterifikasi.
Proses ini digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk
surfaktan termasuk monogliserida, fosfolipida dan surfaktan
asam amino.
2.7. Mekanisme Kerja Sabun
Kotoran yang melekat pada kulit atau pakaian ataupun benda-benda lainnya,
pada umunya berasal dari lemak, minyak dan keringat, butir–butir tanah dan
sebagainya. Zat- zat tersebut sangant sukar larut dalam air karena bersifat non
polar. Untuk itu diperlukan sabun untuk membersihkanya. Suatu gugus sabun
terdiri dari bagian muka berupa gugus – COONa yang polar serta bagian ekor
berupa rantai alkyl yang bersifat non polar. Ketika sabun dimasukkan ke dalam air
maka sabun akan mengalami ionisasi. Gugus–gugus ini akan membentuk buih ,
dimana akan mengarah kepada air (karena sama- sama polar), sedangkan bagian
yang lain akan mengarah kepada kotoran (karena sama-sama non polar). Karena
itu kotoran–kotoran terikat pada sabun dan terikat pada air, maka dengan adanya
gerakan tangan atau mesin cuci, kotoran tersebut akan tertarik atau terlepas. Jika
berupa minyak atau lemak, maka akan membentuk emulsi minyak dalanm air dan
sabun sebagi emulgator. Jika sabun bertemu dengan kotoran tanah, maka akan
diabsorbsi oleh sabun dan membentuk suspensi butiran tanah, air dimana sabun
sebagai zat pembentuk suspensi. Kegunan sabun adalah kemampuannya
mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan.
Kemampuan ini disebabkan oleh 2 sifat sabun, yaitu:
1) Rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun larut dalam molekul nonpolar
seperti tetesan-tetesan minyak.
2) Ujung anion molekul sabun yang tertarik pada air ditolak oleh ujung anion
molekul-molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena
tolak menolak antara tetes-tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat
bergabung tetapi tetap tersuspensi.
BAB 3
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
1) Beaker glass 1000 ml 2 buah
2) Beaker glass 100 ml 1 buah
3) Termometer 1 buah
4) Gelas ukur 100 ml 1 buah
5) Pengaduk Kayu
6) Pemanas (water bath)
7) Neraca Analitis
8) Mortar
3.1.2. Bahan
1) Garam 15 gram
2) Aquadest 50 gram
3) Minyak sayur 225 gram
4) NaOH 75 gram
5) Pewarna dan Parfum secukupnya
3.2. Prosedur Percobaan
1) Haluskan garam.
2) Panaskan air di waterbath, kemudian larutkan garam di dalamnya.
3) Campur minyak dan NaOH dan dipanaskan dalam waterbath pada temperatur
80oC sampai mendidih sambil diaduk terus.
4) Tambahkan larutan garam (dalam keadaan panas) dan pewarna ke dalam
campuran minyak dan NaOH sambil diaduk terus sampai kental dan timbul
minyak.
5) Pisahkan minyak dari campuran bahan dan timbang berat minyak tersebut.
6) Campuran yang telah dipisahkan dimasukkan ke dalam wadah plasitik (yang
ditimbang terlebih dahulu) dan timbang berat campuran dengan wadah
plastik.
7) Tunggu sampai 2 hari. Kemudian timbang.