laporan pendahuluan-mobilisasi
TRANSCRIPT
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan Gangguan
Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi dan Imobilisasi
Oleh:
Ayu Pramiswari
0902105067
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2010
A. Konsep Dasar Kebutuhan Dasar Manusia Gangguan Mobilisasi dan
Imobilisasi
I. Pengertian
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas,
mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna
mempertahankan kesehatannya. Sedangkan gangguan mobilisasi fisik
(imobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau berisiko
mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et al, 1995 dalam Fundamental
Keperawatan Potter dan Perry, Ed. 4, Vol. 2). Mobilisasi dan Imobilisasi berada
pada suatu rentang dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial di antaranya.
Beberapa klien mengalami kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang
mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi mobilisasi
mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas (Perry dan Potter,
1994). Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan instruksi
pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama
penggunaan alat bantu eksternal (mis. Gips atau traksi rangka), pembatasan
gerakan volunter, atau kehilangan fungsi motorik.
II. Jenis Mobilisasi dan Imobilisasi
1. Jenis Mobilisasi
a. Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi
saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area
tubuh seseorang.
b. Mobilisasi sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada tubuhnya.
Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan
pemasangan traksi. Pasien paraplegi dapat mengalami mobilisasi
sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan
sensorik. Mobilisasi sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1. Mobilisasi sebagian temporer, merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Dapat
disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
2. Mobilisasi permanen, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut
disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang ireversible, contohnya
terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang
belakang, poliomyelitis karena terganggunya system saraf motorik
dan sensorik.
2. Jenis Imobilisasi
a. Imobilisasi fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,
seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat
mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
b. Imobilisasi intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami
kerusakan otak akibat suatu penyakit.
c. Imobilisasi emosional, keadaan ktika seseorang mengalami pembatasan
secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam
menyesuaikan diri. Contohnya keadaan stress berat dapat disebabkan
karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian
anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.
d. Imobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat
memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.
III. Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi
1. Gaya Hidup. Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan
mobilisasi seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau
kebiasaan sehari-hari.
2. Proses Penyakit/Cedera. Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan
mobilisasi karena dapat memengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh,
orang yang mengalami fraktur femur akan mengalami keterbatasan
pergerakan dalam ekstremitas bawah.
3. Kebudayaan. Kemampuan melakukan mobilisasi dapat juga dipengaruhi
kebudayaan. Contohnya orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh
memiliki kemampuan mobilisasi yang kuat; sebaliknya ada orang yang
mengalami gangguan mobilisasi (kaki) karena adat dan kebudayaan tertentu
dilarang untuk beraktivitas.
4. Tingkat Energi. Energi adalah sumber untuk melakukan mobilisasi. Agar
seseorang dapat melakukan mobilisasi dengan baik, dibutuhkan energi yang
cukup.
5. Usia dan Status Perkembangan. Terdapat perbedaan kemampuan
mobilisasi pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan
atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.
IV. Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilisasi
Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko terjadi
gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung dari umur
klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang
dialami. Misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi lansia berpenyakit
kronik lebih cepat dibandingkan klien yang lebih muda (Perry dan Potter, 1994).
1. Perubahan Metabolisme
Secara umum imobilisasi dapat mengganggu metabolisme secara normal,
mengingat imobilisasi dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme
di dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal
metabolism rate (BMR) yang menyebabkan berkurangnya energi untuk
perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi
sel. Perubahan metabolisme imobilisasi dapat mengakibatkan proses
anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini juga dpat
berisiko meningkatkan gangguan metabolisme. Defisiensi kalori dan protein
merupakan karakteristik klien yang mengalami penurunan selera makan
sekunder akibat imobilisasi. Protein disintesis dan diubah menjadi asam
amino dalam tubuh untuk dibentuk kembali menjadi protein lain secara
konstan. Asam amino yang tidak digunakan akan diekskresikan. Tubuh
dapat mensintesa asam amino tertentu (nonesensial) tetapi tergantung pada
protein yang dikonsumsi untuk menyediakan delapan asam amino esensial.
Jika lebih banyak nitrogen (produk akhir pemecahan asam amino) yang
diekskresikan dari pada yang dimakan dalam bentuk protein, maka tubuh
dikatakan mengalami keseimbangan nitrogen negatif, dan kehilangan berat
badan, penurunan massa otot, dan kelemahan akibat katabolisme jaringan.
Kehilangan protein menunjukkan penurunan massa otot terutama pada hati,
jantung, paru-paru, saluran pencernaan, dan sistem kekebalan (Long et al,
1993 dalam Fundamental Keperawatan Perry dan Potter ed.4, Vol.2).
Beberapa dampak perubahan metabolisme di antaranya adalah pengurangan
jumlah metabolisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang, gangguan
dalam mengubah zat gizi, dang gangguan gastrointestinal.
2. Ketidakseimbangan cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari
imobilisasi akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi
protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan
tubuh. Di samping itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravascular
ke interstisial dapat menyebabkan edema sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Ekskresi kalsium dalam urine
ditingkatkan melalui resorpsi tulang. Imobilisasi menyebabkan pelepasan
kalsium ke dalam sirkulasi. Dalam keadaan normal ginjal dapat
mengekskresi kelebihan kalsium. Jika ginjal tidak mampu berespon dengan
tepat maka terjadi hiperkalsemia (Holm, 1989 dalam Fundamental
Keperawatan Perry dan Potter Ed.4, Vol.2).
3. Gangguan Fungsi Gastriointestinal
Imobilisasi dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini
disebabkan karena imobilisasi dapat menurunkan hasil makanan yang
dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat
menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri lambung
yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi. Gangguan fungsi
gastrointestinal bervariasi dan mengakibatkan penurunan motilitas saluran
gastrointestinal. Konstipasi merupakan gejala umum. Diare sering terjadi
akibat impaksi fekal. Perawat harus waspada terhadap temuan penemuan
seperti ini yaitu bukan diare yang normal, tetapi lebih cair feses yang
berjalan melalui area yang terjepit. Jika dibiarkan tidak ditangani, impaksi
fekal dapat mengakibatkan obstruksi usus mekanik sebagian ataupun
keseluruhan yang menyumbat lumen usus, menutup dorongan normal dari
cairan dan udara. Akibat adanya cairan dalam usus menimbulkan distensi
dan peningkatan tekanan intraluminal. Selanjutnya, fungsi usus menjadi
tertekan, terjadi dehidrasi, terhentinya absorbsi, dan gangguan cairan dan
elektrolit semakin memburuk.
4. Perubahan Sistem Pernapasan
Akibat imobilisasi, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan
terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme
terganggu. Terjadinya penurunan kadar hemoglobin dapat menyebabkan
penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga menyebabkan
anemia.
5. Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular juga dipengaruhi oleh imobilisasi. Ada tiga perubahan
utama yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus. Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan
darah sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari
posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi
penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada ekstremitas
bawah, dan penurunan respon otonom. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan
penurunan aliran balik vena, diikuti oleh penurunan curah jantung yang
terlihat pada penurunan tekanan darah (McCance and Huether, 1994 dalam
Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed. 4, Vol.2). Jika beban kerja
jantung meningkat maka konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu
jantung bekerja lebih keras dan kurang efisien selama masa istirahat yang
lama. Jika imobilisasi meningkat maka curah jantung menurun, penurunan
efisiensi jantung yang lebih lanjut dan peningkatan bebanm kerja. Klien juga
berisiko terjadi pembentukan thrombus. Kelainan aliran darah vena yang
lambat akibat tirah baring dan imobilisasi dapat menyebabkan akumulasi
trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah, dan elemen sel-sel darah
yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang-
kadang menutup lumen pembuluh darah.
6. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Perubahan yang terjadi dalam sistem musculoskeletal sebagai dampak dari
imobilisasi adalah sebagai berikut :
a. Pengaruh Otot. Akibat pemecahan protein, klien mengalami kehilangan
massa tubuh, yang membentuk sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan
massa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan
kelelahan. Massa otot menurun akibat metabolisme dan tidak digunakan.
Jika imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi
penurunan massa yang berkelanjutan. Penurunan stabilitas terjadi akibat
kehilangan daya tahan, penururnan massa otot, atrofi dan kelainan sendi
yang aktual. Sehingga klien tersebut tidak mampu bergerak terus
menerus dan sangat berisiko untuk jatuh.
b. Pengaruh Skelet. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap
skelet : gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena
imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang
menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm, 1989 dalam
Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed.4, Vol.2). Apabila
osteoporosis terjadi maka klien berisiko terjadi fraktur patologis.
Imobilisasi dan aktivitas yang tidak menyangga tubuh meningkatkan
kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi tulang juga menyebabkan kalsium
terlepas ke dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadi hiperkalsemia.
Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi dimana terjadi kondisi
abnormal dan biasanya permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan
terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan
pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat
mempertahankan rentang gerak dengan penuh. Sayangnya kontraktur
sering menjadikan sendi pada posisi yang tidak berfungsi (Lehmkuhl et
al, 1990 dalam Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed. 4, Vol.
2). Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah foot
drop, dimana kaki terfiksasi pada posisi plantarfleksi secara permanen.
Ambulasi sulit pada kaki dengan posisi ini.
7. Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integument yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit
karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan terjadinya iskemia
serta nekrosis jaringan superficial dengan adanya luka decubitus sebagai
akibat tekanan kulit yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.
8. Perubahan Eliminasi
Eliminasi urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak
lurus, urine mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan
kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau
datar, ginjal dan ureter membentuk garis datar seperti pesawat. Ginjal yang
membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya
gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan
gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam
ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan risiko infeksi
saluran perkemihan dan batu ginjal. Klien dengan imobilisasi berisiko terjadi
pembentukan batu karena gangguan metabolisme kalsium dan akibat
hiperkalsemia. Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan
cairan yang terbatas, dan penyebab lain seperti demam, akan mengakibatkan
resiko dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun, umunya urine yang
diproduksi berkonsentrasi tinggi. Urine yang pekat ini meningkatkan risiko
terjadi batu dan infeksi. Perawatan perineal yang buruk setelah defekasi
terutama pada wanita, meningkatkan risiko kontaminasi saluran perkemihan
oleh bakteri Escherechia Coli. Penyebab lain infeksi saluran perkemihan
pada klien imobilisasi adalah pemakaian kateter urine menetap.
9. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilisasi, antara lain timbulnya rasa
bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus
tidur, dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku
tersebut merupakan dampak imobilisasi karena selama proses imobilisasi
seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan
lain-lain.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
1. Riwayat Keperawatan Sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang menyebabkan
terjadi keluhan/gangguan dalam mobilisasi dan imobilisasi, seperti adanya
nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat mobilisasi dan imobilisasi, daerah
terganggunya mobilisasi dan imobilisasi, dan lama terjadinya gangguan
mobilisasi.
2. Riwayat Keperawatan Penyakit yang Pernah Diderita
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan mobilisasi, misalnya adanya riwayat penyakit sistem neurologis
(kecelakaan cerebrovascular, trauma kepala, peningkatan tekanan
intracranial, miastenia gravis, guillain barre, cedera medulla spinalis, dan
lain-lain), riwayat penyakit sistem kardiovaskular (infark miokard, gagal
jantung kongestif), riwayat penyakit musculoskeletal (osteoporosis, fraktur,
artritis), riwayat penyakit sistem pernapasan (penyakit paru obstruksi
menahun, pneumonia, dan lain-lain), riwayat pemakaian obat, seperti
sedative, hipnotik, depresan sistem saraf pusat, laksania, dan lain-lain.
3. Kemampuan Fungsi Motorik
Pengkajian fungsi motorik antara lain pada tangan kanan dan kiri, kaki
kanan dan kiri untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan, atau
spastis.
4. Kemampuan Mobilisasi
Pengkajian kemampuan mobilisasi dengan tujuan untuk menilai kemampuan
gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa bantuan.
Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut :
Tingkat Aktivitas/Mobilisasi KategoriTingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh.Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat.
Tingkat 2Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain.
Tingkat 3Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan peralatan.
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan.
5. Kemampuan Rentang Gerak
Pengkajian rentang gerak (range of motion-ROM) dilakukan pada daerah
seperti bahu, siku, lengan, panggul dan kaki.
Tipe GerakanDerajat Rentang Normal
Leher, Spina, ServikalFleksi : menggerakkkan dagu menempel ke dada 45Ekstensi : mengembalikan kepala ke posisi tegak 45Hiperekstensi : menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin
10
Fleksi Lateral : memiringkan kepala sejauh mungkin ke arah setiap bahu
40-45
Rotasi : memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler
180
BahuFleksi : menaikkan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke posisi di atas kepala
180
Ekstensi : mengembalikan lengan ke posisi semula 180Abduksi : menaikkan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan telapak tangan jauh dari kepala
180
Adduksi : menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh mungkin
320
Rotasi dalam : dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang
90
Rotasi luar : dengan siku fleksi, menggerakkan lengan sampai ibu jari ke atas dan samping kepala
90
Lengan BawahSupinasi : memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke atas
70-90
Pronasi : memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap ke bawah
70-90
Pergelangan TanganFleksi : menggerakkan telapak tangan ke sisi dalam lengan bawah
80-90
Ekstensi : menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan, dan lengan bawah berada dalam arah yang sama
80-90
Abduksi (fleksi radial) : menekuk pergelangan tangan miring (medial) ke ibu jari
Sampai 30
Adduksi (fleksi luar) : menekuk pergelangan tangan miring (lateral) ke arah lima jari
30-50
Jari-jari TanganFleksi : membuat pergelangan 90
Ekstensi : meluruskan jari tangan 90Hiperekstensi : menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin
30-60
Ibu JariFleksi : menggerakkan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan
90
Ekstensi : menggerakkan ibu jari lurus menjauh dari tangan 90PinggulFleksi : menggerakkan tungkai ke depan dan atas 90-120Ekstensi : menggerakkan kembali kesamping tungkai yang lain
90-120
LututFleksi : menggerakkan tumit ke arah belakang paha 120-130Ekstensi : mengembalikan tungkai ke lantai 120-130Mata KakiDorsifleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke atas
20-30
Plantarfleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk kebawah
45-50
6. Perubahan Intoleransi Aktivitas
Pengkajian intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan perubahan pada
sistem pernapasan, antara lain : suara napas, analisa gas darah, gerakan
dinding thorak, adanya mucus, batuk yang produktif diikuti panas, dan nyeri
saat respirasi. Pengkajian intoleransi aktivitas terhadap perubahan sistem
kardiovaskular, seperti nadi dan tekanan darah, gangguan sirkulasi perifer,
adanya thrombus, serta perubahan tanda vital setelah melakukan aktivitas
atau perubahan posisi.
7. Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi
Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan secara bilateral
atau tidak. Derajat kekuatan otot dapat ditentukan dengan :
Skala Persentase Kekuatan Normal
Karakteristik
0 0 Paralisis sempurna.
1 10Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di palpasi atau dilihat
2 25Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan tahanan
penuh
8. Kaji Batasan Karakteristik
Kerusakan Mobilitas Fisik
Postur tubuh tidak stabil selama melakukan aktivitas rutin
Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar
Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus
Tidak ada koordinasi gerak atau gerakan tak ritmis
Keterbatasan ROM
Sulit terbalik
Perubahan gaya berjalan
Penurunan waktu reaksi
Gerakan menjadi napas pendek
Usaha yang kuat untuk perubahan gerak
Gerak lambat
Gerakan menyebabkan tremor
9. Kaji Faktor yang Berhubungan
Kerusakan mobilitas fisik
Pengobatan
Terapi pembatasan gerak
Kurang pengetahuan mengenai manfaat pergerakan fisik
IMT di atas 75% sesuai dengan usia
Kerusakan sensori persepsi
Nyeri, tidak nyaman
Kerusakan musculoskeletal dan neuromuscular
Intoleransi aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina
Depresi mood atau cemas
Kerusakan kognitif
Penurunan kekuatan otot, control dan atau massa
Keengganan untuk memulai gerak
Gaya hidup menetap, tidak fit
Malnutrisi umum atau spesifik
Kehilangan integritas struktur tulang
Keterlambatan perkembangan
Kekakuan sendi atau kontraktur
Keterbatasan daya tahan kardiovaskular
Berhubungan dengan metabolisme selular
Keterbatasan lingkungan fisik atau social
Kepercayaan terhadap budaya berhubungan dengan aktivitas yang
tepat disesuaikan dengan umur
II. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal
patahnya jaringan tulang
III. Rencana Keperawatan
Dx Tujuan Intervensi Rasional
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan patahnya jaringan tulang
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, klien dapat melakuakan aktivitas secara bertahap sesuai dengan batas kemampuannya dengan kriteria hasil :
1. Pasien menunjukan peningkatan mobilitas
2. Pasien menggunakan alat bantu dengan benar
3. Pasien dapat mempertahankan kekuatan otot
4. Pasien dapat mempertahankan fleksibilitas sendi
5. Kekuatan kontraksi otot meningkat
1. Kaji pergerakan atau aktivitas klien.
2. Berikan latihan ROM aktif dan ROM pasif.
3. Ukur kekuatan otot klien.
4. Ajarkan teknik berjalan khusus
5. Kolaborasi dengan fisioterapi dalam melatih pasien.
6. Dorong klien agar aktif menjalankan aktivitas sehari-hari secara mandiri sesuai kemampuan
7. Dorong melakukan aktivitas dengan alat bantu
1. Mengetahui tingkat kemandirian aktivitas klien
2. Melatih dan menjaga massa otot agar tidak atrofi.
3. Mengetahui perkembangan otot klien
4. Teknik berjalan khusus dapat mengimbangi gaya berjalan menyeret dan kecenderungan tubuh condong ke depan pada klien
5. Memberi terapi fisik pada pasien untuk menjaga dan meningkatkan aktivitas
6. Motivasi yang tinggi dari diri pasien dan latihan yang sering dilakukan akan mempercepat perbaikan mobilitas tubuh
7. Penggunaan alat dapat membantu dalam menghindari aktivitas yang sedikit akibat keterbatasan mobilisasi
IV. Evaluasi
Evaluasi yang dihharapkan dari hasil tindakan keperawatan untuk mengatasi
masalah gangguan mobilitas adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan fungsi sistem tubuh
2. Peningkatan kekuatan dan ketahanan otot
3. Peningkatan fleksibilitas sendi
4. Peningkatan fungsi motorik, perasaan nyaman pada pasien, dan ekspresi
pasien menunjukkan keceriaan.
Bagan
Mobilitas Fisik
TerbatasTidak Terbatas
Sehat Disebabkan karena factor-faktor yang berhubungan seperti: pengobatan, terapi pembatasan gerak, kurang pengetahuan mengenai pembatasan gerak fisik,IMT 75% sesuai dengan usia, kerusakan sensori persepsi. Nyeri, tidak nyaman, kerusakan musculoskeletal dan neuromuscular, dll.
Keterbatasan dalam pergerakan fisik pada bagian tubuh tertentu atau pada satu atau lebih ekstremitas
Tanda/gejala sesuai dengan batasan karakteristik seperti : keterbatasan ROM, keterbatasan kamampuan melakukan keterampilan motorik kasar dan/atau halus, gerak lambat, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marrilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik, Ed.4. Vol.2. Jakarta : EGC
NANDA. 2006. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2005-2006. Jakarta :
Prima Medika
limul H., A. Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Buku 1. Jakarta : Salemba Medika
Suratun, dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan: Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Kerusakan Mobilitas Fisik