laporan pendahuluan kusta

27
LAPORAN PENDAHULUAN MORBUS HANSEN (KUSTA) Oleh: BAMBANG HERUJU 1001010 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA SEMARANG

Upload: bambang-heruju

Post on 05-Dec-2014

353 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Pendahuluan Kusta

LAPORAN PENDAHULUAN

MORBUS HANSEN (KUSTA)

Oleh:

BAMBANG HERUJU

1001010

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA

SEMARANG

2013

Page 2: Laporan Pendahuluan Kusta

Laporan Pendahuluan

Morbus Hansen (Kusta)

A. Definisi

Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai

penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya

diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan

bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh universitas Texas pada tahun 2008, yang

menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus

dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae

ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen

pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal

sebagai lepra.

Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk

menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy dan leper

mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih

diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien

kusta. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari

saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila

tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-

saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta

tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit

tzaraath.

B. Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycobacterium leprae, yang

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 micrm, lebar 0,2 – 0,5 micrm. Biasanya

berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam

(BTA). Sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan hanya manusia satu –

satunya, walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada telapak

kaki tikus (Depkes RI, 1990). Dengan demikian berarti kuman kusta yaitu

Mycobactirium leprae hidup harus berpindah langsung dari seorang ke orang lain untuk

penularan penyakit tersebut (Ross, F.W., Halim, WP, 1989 : 4).

Page 3: Laporan Pendahuluan Kusta

Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama

dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12 – 21 hari. Hal ini merupakan salah satu

penyebab masa tunas yang lama yaitu 2 – 5 tahun (Depkes RI, 2002). Penyakit kusta

dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi Basiler (MB) kepada orang lain dengan

cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian

besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran

pernafasan dan kulit. Luka di kulit dan mukosa hidung dikenal sebagai sumber dari

kuman.

Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti

tergantung dari beberapa faktor antara lain :

1. Faktor sumber penularan

Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Basiler (MB). Penderita MB

inipun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.

2. Faktor kuman kusta

Kuman kusta dapat tumbuh dan hidup diluar tubuh manusia antara 1 – 9 hari

tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid)

saja yang dapat menimbulkan penularan.

3. Faktor daya tahan tubuh

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil penelitian

menunjukkan gambaran sebagai berikut :

Dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 (tiga) orang sembuh

sendiri tanpa obat dan 2 (dua) orang menjadi sakit, hal ini belum lagi

memperhitungkan pengaruh pengobatan (Depkes RI, 2002).

C. Klasifikasi

Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran

klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :

1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan

kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satu dengan

yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung

dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan

jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).

Page 4: Laporan Pendahuluan Kusta

3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran

khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah

dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas sedikit, BTA

( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).

4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi

asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).

5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah

sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit

dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT

2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

D. Manifestasi klinis

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling manifestasi klinis dari penyakit kusta

adalah :

1. Tipe Tuberkoloid ( TT )

a. Mengenai kulit dan saraf.

b. Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,

atau, kontrol healing ( + ).

c. Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan

psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,

kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

d. Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon

imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

a. Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

b. Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

c. Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

d. Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3. Tipe Mid Borderline ( BB )

a. Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

b. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

Page 5: Laporan Pendahuluan Kusta

c. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe

BT, cenderung simetris.

d. Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

e. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oral pada

bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh.

Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian

tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa

hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut

lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada

tempat prediteksi.

5. Tipe Lepromatosa ( LL )

a. Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas

tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

b. Distribusi lesi khas :

1) Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

2) Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat

bawah.

c. Stadium lanjutan :

1) Penebalan kulit progresif

2) Cuping telinga menebal

3) Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai

madarosis, intis dan keratitis.

d. Lebih lanjut

1) Deformitas hidung

2) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

3) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

4) Penyakit progresif, makula dan popul baru.

5) Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

e. Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan

anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.

Page 6: Laporan Pendahuluan Kusta

6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

a. Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

b. Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat

ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

c. Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

d. Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain :

1. Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

2. Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

3. Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

4. Lidah : ulkus, nodus

5. Larings : suara parau

6. Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

7. Kelenjar limfe : limfadenitis

8. Rambut : alopesia, madarosis

9. Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

E. Patofisiologi

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa

penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan

melalui mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas

seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi

lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.

M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag

sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila

kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit

darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit. Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun

seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri

dengan bebas merusak jaringan. Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi

macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag,

terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian

longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel

menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

Page 7: Laporan Pendahuluan Kusta

F. Pathway

M. Leprae M. Tuberkoloid

Menyerang kulit dan saraf tepi

Makula nodula papula ulkus menyerang saraf

tepi sensorik dan

motorik

Kulit

terlihat

rusak

Keganasan/

kanker

epidemoid

Resti

infeksi

Invasi

bakteri

Gangguan

konsep diri

HDR

Neuritis

Malu Metastase

Gangguan

rasa

nyaman

nyeri

Sensibilitas

turun

Resti

injuri

Perubahan

aktivitas

Resiko

traumaInefektif

koping

individu

Amputasi

Gangguan

konsep diri

HDR

Menyerang saraf

ulnaris, nervus

popliteus, nervus

aurikularis, nervus

radialis

Kelumpuhan otot

Intoleran aktivitas

Kerusakan

integritas

kulit

Page 8: Laporan Pendahuluan Kusta

G. Pemeriksaan diagnostik

1. Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak

ditemukanlesi ditempat lain.

3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila

perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.

4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae

ialah:

a) Cuping telinga kiri atau kanan.

b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.

5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:

a) Tidak menyenangkan pasien.

b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.

c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir

hidungapabila sedian apus kulit negatif.

d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung

lebihdulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.

6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:

1) Semua orang yang dicurigai menderita kusta.

2) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta.

3) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka

kuman resisten terhadap obat.

4) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.

7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu

ziehlneelsen atau kinyoun gabett.

8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara

zigzag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman

yangmungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah

(fragmented),granula (granulates), globus dan clumps.

Page 9: Laporan Pendahuluan Kusta

2. Indeks Bakteri (IB)

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB

digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.

Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh

BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil

pengobatan, dan membantumenentukan resistensi terhadap obat.

H. Komplikasi

Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah kerusakan

uratsaraf tepi,kecacatan,terjadinya kerontokan alis mata,menebalnya

cupingtelinga,kadang-kadang terjadi hidung pelanaakibat dari kerusakan tulang

rawanhidung,pada bentuk yang parah bisa terjadi wajah singa(faces leonina).

I. Penatalaksanaan

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien

kustadan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien

kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan

DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang

semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,

dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT

di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:

1. Tipe PB (Pause Basiler)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln diminum di depan

petugas, DDS (Diamino Difenil Sulfon) tablet 100 mg/hari diminum di rumah.

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis

Page 10: Laporan Pendahuluan Kusta

dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995)

tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment

Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

2. Tipe MB (Multi Basiler)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln diminum di depan

petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum di depan petugas dilanjutkan dengan

klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum di rumah,

pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai

minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan

pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk

12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

3. Dosis untuk anak

Klofazimin: umur di bawah 10 tahun: bulanan100mg/bln, harian 50mg/2kali/minggu;

umur 11-14 tahun: bulanan 100mg/bln, harian 50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg

BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB.

4. Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta

tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,

ofloksasim 400 mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,

sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk

tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24

dosis dalam 24 jam.

5. Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang

seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO

bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

Page 11: Laporan Pendahuluan Kusta

J. Fokus pengkajian

Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan

untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat mengidentifikasi

mengenai masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial,

dan lingkungan (Nasrul Effendi, 1995 : 18).

1. Identitas klien

Meliputi : nama, umur, nomor register, jenis kelamin, status, alamat, tanggal MRS,

diagnosa medis.

2. Keluhan utama

Pada umumnya pada pasien dengan morbus hensen, mengeluh adanya bercak-bercak

Disertai hiperanastesi dan terasa kaku diikuti dengan dan peningkatan suhu.

3. Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang

Riwayat penyakit kusta biasanya adanya bercak-bercak merah disertai

hiperanastesi dan odema pada ektrimitas pada bagian perifer seperti tangan, kaki

serta bisa juga terjadi peningkatan suhu tubuh.

b. Riwayat kesehatan dahulu

Penyakit yang diderita pasien sebelumnya seperti hepatitis, asma dan alergi,

jantung koroner.

c. Riwayat kesehatan keluarga

Biasanya merupakan penyakit menular, maka anggota keluarga mempunyai

resiko beasar tertular dengan kontak lama.

4. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum klien

biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan,

berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.

b. Sistem penglihatan

Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga

reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf

tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan

buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada

organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler

jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akanrontok.

Page 12: Laporan Pendahuluan Kusta

c. Sistem pernafasan

Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan

pada tenggorokan.

d. Sistem persarafan

1) Kerusakan fungsi sensorik, kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan

terjadinya kurang/mati rasa. Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan

dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan

kurang/hilangnya reflek kedip.

2) Kerusakan fungsi motorikm, kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi

lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak

dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya

dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan

mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

3) Kerusakan fungsi otonom, terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar

minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,

menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

e. Sistem muskuloskeletal

Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan

otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

f. Sistem integumen

Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem

(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada

kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak

dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-

pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

5. Pola Aktivitas Sehari-hari

a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami gangguan

terutama pada body image, penderita merasa rendah diri dan merasa terkucilkan

sedangkaan pada tatalaksana hidup sehat pada umumnya klien kurang

kebersihan diri dan lingkungan yang kotor dan sering kontak langsung dengan

penderita kusta. Karena kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya maka

timbul masalah dalam perawatan diri.

Page 13: Laporan Pendahuluan Kusta

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Meliputi makanan klien sehari-hari komposisi: sayur, lauk-pauk, minum sehari

berapa gelas, berat badan naik atau turun, sebelum dan saat masuk rumah sakit

turgor kulit normal atau menurun dan kebiasaan makan klien. Klien tinggal di

tempat yang kotor atau bersih. Adanya penurunan nafsu makan, mual, muntah,

penurunan berat badan, gangguan pencernaan.

c. Pola eliminasi

Pada pola eleminasi alvi dan urin pada pasien kusta tidak ada kelainan.

d. Pola istirahat dan tidur

Pada klien kusta pada umumnya pola tidur tidak terganggu tetapi bagi penderita

kusta yang belum menjalani pengobatan pasien baru biasanya terjadi gangguan

kebutuhan tidur dan istirahat yang disebabkan oleh pikiran stress, odema dan

peningkatan suhu tubuh yang yang diikuti rasa nyeri.

e. Pola aktivitas dan latihan

Biasanya pada pasien kusta dalam aktifitas ada gangguan dalam hal interaksi

sosial dengan masyarakat biasanya pasien mengurung diri dan pada pergerakan

ektrimitas bagian perifer didapatkan bercak-bercak merah disertai odema dan

pasien dianjurkan harus banyak mobilisasi.

f. Pola persepsi dan konsep diri

Presepsi klien tentang penyakitnya dan bagaimana konsep dalam menghadapi

penyakitnya yang diderita.

g. Pola sensori dan kognitif

Pada umumnya penderita kusta mengalami gangguan di salah 1 sensorinya

seperti peraba. Pasien tidak merasa adanya rangsangan apabila bercak tersebut

diberikan rangsangan. Pada kognitifnya pasien kusta merasa tidak berguna lagi

dan merasa terkucilkan serta merasa tidak diterima oleh masyarakat dan

keluarganya.

h. Pola reproduksi seksual

Pada umumnya pada pola produksi seksual klien tidak mengalami gangguan.

i. Pola hubungan peran

Biasanya pada pasien kusta selalu mengurung diri dan menarik diri dari

masyarakat (disorentasi). Pasien merasa malu tentang keadaan dirinya, dan

masyarakat beranggapan penyakit kusta merupakan penyakit yang menjijikan.

Page 14: Laporan Pendahuluan Kusta

j. Pola penanggulangan stress

Bagaimana klien menghadapi masalah yang dibebani sekarang dan cara

penanggulangannya.

k. Pola nilai dan kepercayaan

Dalam pola ini terkadang ada anggapan yang bersifat ghaib.

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak

ditemukanlesi ditempat lain.

3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila

perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.

4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae

ialah:

a) Cuping telinga kiri atau kanan.

b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.

5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:

a) Tidak menyenangkan pasien.

b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.

c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir

hidungapabila sedian apus kulit negatif.

d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung

lebihdulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.

6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:

a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta.

b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta.

c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka

kuman resisten terhadap obat.

d) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.

7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu

ziehlneelsen atau kinyoun gabett.

8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara

zigzag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman

Page 15: Laporan Pendahuluan Kusta

yangmungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah

(fragmented),granula (granulates), globus dan clumps.

b. Indeks Bakteri (IB)

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB

digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.

Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap

seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman,

mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantumenentukan resistensi terhadap

obat.

K. Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan kecacatan dan kehilangan

fungsi tubuh.

L. Intervensi

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kerusakan

integritas kulit. Dengan kriteria hasil :

a. Klien mampu mengidentifiksi tentang keadaan kulitnya saat ini.

b. Klien mampu mengungkapkan tenteng perubahan kulit yang terjadi pada

dirinya.

c. Klien mampu mendemonstrasikan yang dianjurkan oleh perawat

mengistirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.

Page 16: Laporan Pendahuluan Kusta

d. Menunjukkan regenerasi jaringan, mencapai penyembuhan tepat waktu pada

lesi.

Intervensi :

a. Kaji/ catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar

luka.

b. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.

c. Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.

d. Anjurkan klien untuk mengistirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.

e. Kolaborasi dengan TIM Medis dalam mengevaluasi warna lesi dan jaringan

yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar.

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan

rasa nyaman nyeri dapat berkurang. Dengan kriteria hasil :

a. Klien mampu mengidentifiksi tentang nyeri yang dirasakannya.

b. Klien mampu mengungkapkan tenteng perubahan kondisi pada dirinya.

c. Klien mampu mendemonstrasikan yang dianjurkan oleh perawat untuk

mengatur posisi senyaman mungkin dan mendemonstrasikan tekhnik distraksi

dan relaksasi.

d. Proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang, skala nyeri 2-3.

Intervensi :

a. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri.

b. Observasi tanda-tanda vital.

c. Ajarkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi.

d. Anjurkan pasien mengatur posisi senyaman mungkin.

e. Kolaborasi dengan TIM Medis untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kelemahan

fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan. Dengan kriteria hasil :

a. Klien mampu mengidentifiksi tentang keadaan dirinya.

b. Klien mampu mengungkapkan tentang perubahan peran pada dirinya.

c. Keluarga mampu mendemonstrasikan yang dianjurkan oleh perawat memberi

dukungan dan bantuan latihan.

d. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari, kekuatan otot penuh.

Page 17: Laporan Pendahuluan Kusta

Intervensi :

a. Observasi TTV.

b. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.

c. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit.

d. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian

aktif.

e. Anjurkan keluarga/orang yang terdekat untuk memberi dukungan dan bantuan

latihan.

f. Kolaborasi dengan TIM Medis dalam menjadwalkan pengobatan dan aktifitas

perawatan untuk memberikan periode istirahat.

4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan kecacatan dan kehilangan

fungsi tubuh.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 diharapkan tidak terjadi

gangguan citra diri. Dengan Kriteria Hasil :

a. Klien mampu mengidentifiksi dan mulai menerima tentang keadaan dirinya.

b. Klien mampu mengungkapkan tenteng perubahan fisik yang terjadi pada

dirinya.

c. Keluarga mampu mendemonstrasikan yang dianjurkan oleh perawat untuk

memberikan kelompok pendukung untuk pasien.

d. Pasien menyatakan penerimaan situasi diri, Memasukkan perubahan dalam

konsep diri tanpa harga diri negatif.

Intervensi :

a. Kaji makna perubahan pada pasien.

b. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan

perilaku menarik diri.

c. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan

keyakinan yang salah.

d. Anjurkan pada keluarga untuk memberikan kelompok pendukung untuk pasien.

e. Kolaborasi dengan TIM Medis dalam memberikan penguatan positif

Page 18: Laporan Pendahuluan Kusta

Daftar Pustaka

Anonim. 2012. Penyakit Hansen. http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen. Diperoleh

tanggal 28 Maret 2013.

Graber, M.A. 1998. Buku Saku Kedokteran University Of IOWA. Jakarta: EGC.

Juall, L. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi II.

Jakarta: EGC.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2 Ed. III. Jakarta: media Aeuscualpius.

Sjamsoe, D., Emmi, S. (2003). Kusta. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC.