tahap an moral

Upload: fika-risvita

Post on 10-Jul-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Tahap perkembangan moral KohlbergDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasBelum Diperiksa

Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. [1] Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 [2] yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, [3] yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.[4] Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan,[2] walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.[5][6] Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.[4]Daftar isi[sembunyikan]

1 Tahapan-tahapan

o o o

1.1 Pra-Konvensional 1.2 Konvensional 1.3 Pasca-Konvensional

2 Contoh dilema moral yang digunakan

o

2.1 Dilema Heinz

3 Kritik 4 Lihat pula 5 Referensi

6 Bacaan lebih lanjut

o

6.1 Bacaan Bahasa Indonesia

7 Pranala luar

[sunting]Tahapan-tahapanKeenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: prakonvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapantahapan ini.[10][11] Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.[10][11] Tingkat 1 (Pra-Konvensional) 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman 2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?) Tingkat 2 (Konvensional) 3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik) 4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan) Tingkat 3 (Pasca-Konvensional) 5. Orientasi kontrak sosial 6. Prinsip etika universal ( Principled conscience)

[sunting]Pra-KonvensionalTingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anakanak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris. Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu

tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.[12] Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.[4] Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

[sunting]KonvensionalTingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orangorang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,[4] karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik'.[4] Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar

kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.

[sunting]Pasca-KonvensionalTingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat hakekat diri mendahului orang lain ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional. Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapatpendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyakbanyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima. Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant[13]). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of

ignorance dari John Rawls[14]). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.[11]

[sunting]Contoh

dilema moral yang digunakan

Kohlberg menyusun Wawancara Keputusan Moral dalam disertasi aslinya di tahun 1958.[2] Selama kurang lebih 45 menit dalam wawancara semiterstruktur yang direkam, pewawancara menggunakan dilema-dilema moral untuk menentukan penalaran moral tahapan mana yang digunakan partisipan. Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek yang menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang membuat keputusan moral. Partisipan tersebut diberi serangkaian pertanyaan terbuka yang sistematis, seperti apa yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya dilakukan, juga justifikasi seperti mengapa tindakan tertentu dianggap benar atau salah. Pemberian skor dilakukan terhadap bentuk dan struktur dari jawaban-jawaban tersebut dan bukan pada isinya; melalui serangkaian dilema moral diperoleh skor secara keseluruhan.[2][9]

[sunting]Dilema

Heinz

Salah satu dilema yang digunakan Kohlberg dalam penelitian awalnya adalah dilema apoteker: Heinz Mencuri Obat di Eropa.[5]Seorang perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat semacam kanker. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah semacam radium yang baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Obat itu mahal ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker menjualnya sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut. Ia membayar $200 untuk radium tersebut dan menjualnya $2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut. Suami dari perempuan yang sakit, Heinz, pergi ke setiap orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma memperoleh $1.000, setengah dari harga obat seharusnya. Ia berceritera kepada apoteker bahwa isterinya sudah sekarat dan memintanya untuk dapat menjual obat dengan lebih murah atau memperbolehkan dia melunasinya di kemudian hari. Tetapi si apoteker mengatakan: Tidak, saya yang menemukan obat

itu dan saya akan mencari uang dari obat itu. Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi istrinya.

Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri obat bagi isterinya? Mengapa?[5]

Dari sudut pandang teoretis, apa yang menurut partisipan perlu dilakukan oleh Heinz tidaklah penting. Teori Kohlberg berpendapat bahwa justifikasi yang diberikan oleh partisipanlah yang signifikan,bentuk dari repon mereka.[7]

[sunting]KritikSalah satu kritik terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori tersebut terlalu menekankan pada keadilan dan mengabaikan norma yang lainnya. Konsekuensinya, teori itu tidak akan menilai secara adekuat orang yang menggunakan aspek moral lainnya dalam bertindak. Carol Gilligan berargumentasi bahwa teori Kohlberg terlalu androsentrik[15] Teori Kohlberg semula dikembangkan berdasarkan penelitian empiris yang menggunakan hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi bahwa hal tersebut membuat tidak adekuatnya teori itu dalam menggambarkan pandangan seorang perempuan. Walaupun penelitian secara umum telah menemukan tidak adanya perbedaan pola yang signifikan antar jenis kelamin,[10][11] teori perkembangan moral dari Gilligan tidak memusatkan perhatiannya pada norma keadilan. Ia mengembangkan teori penalaran moral alternatif berdasarkan norma perhatian.[15] Psikolog lain mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral dicapai terutama oleh penalaran formal. Salah satu kelompok yang berpandangan demikian, social intuitionists, mengemukakan bahwa orang sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan nilai-nilai seperti keadilan, hukum, hak asasi manusia, dan norma etika yang abstrak. Berdasarkan hal ini, argumen yang telah dianalisis oleh Kohlberg dan psikolog rasionalist lainnya dapat dianggap hanya merupakan rasionalisasi dari keputusan intuitif. Ini berarti bahwa penalaran moral kurang relevan terhadap tindakan moral dibanding apa yang dikemukakan oleh Kohlberg.

Perkembangan moral pada remajaPosted: April 12, 2010 by hanhan in Pengembangan diri, Remaja Tag:orang tua, pelajaran, perilaku, perkembangan remaja, Remaja

4

15 Votes Masa remaja adalah periode di mana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis,remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya kenyataan lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan kenyataan yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap pemberontakan remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.

Peranan orangtua atau pendidik sangat besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan

dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika lingkungan baru memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.

dikutip dari BK

psikologi perkembangan moral remajaPerkembangan Moral

Nov 27, '07 5:35 AM untuk semuanya

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The

Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral(1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:

1. Tingkat Pra Konvensional

Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan,

pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat baik, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan bentuk: pragmatis. jika Resiprositas ini merupakan tercermin dalam engkau menggaruk

punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.

2. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :

Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi

anak manisPerilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau alamiah. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan dia bermaksud baik untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan

penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)

Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilainilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:

Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial Legalitas Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian.

Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah moralitas resmi

dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara. Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsipprinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.

Berdasarkan penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gegasan mereka. Dengan kata lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang dianggap terlalu sederhana.Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5 dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey, : (1) pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan; (1) tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas

(hubungan timbal balik). Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas. Hubungan antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi dalam struktur baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur yang semakin dibeda-bedakan dan diintegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama, yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral. Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diintegrasikan kembali oleh tahap yang lebih tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi, mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah. Selanjutnya penelitian lintas budaya yang dilakukan di Turki, Israel, Kanada, Inggris, Malaysia, Taiwan, dan Meksiko memberikan kesan kuat bahwa urutan tahap yang tetap dan tidak dapat dibalik itu juga bersifat universal, yakni berlaku untuk semua orang dalam periode historis atau kebudayaan apa pun. Menurut Kohlberg penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak setiap individu akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas saja, yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan angka inipun masih diragukan kemudian. Diakuinya pula bahwa untuk sementara waktu orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebut sebagai regresi fungsional. Nah, dimana tingkatan moral anda? (jp) Perkembangan Moral

Oleh: Zainun Mu'tadin, SPsi., MSi.

Jakarta, 21 Juni 2002

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The

Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral(1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:

1. Tingkat Pra Konvensional

Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan

Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat baik, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan bentuk: pragmatis. jika Resiprositas ini merupakan tercermin dalam engkau menggaruk

punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.

2. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata

tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :

Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi

anak manisPerilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau alamiah. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan dia bermaksud baik untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan

penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)

Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilainilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:

Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial Legalitas Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian.

Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah moralitas resmi dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara. Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsipprinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada

komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.

Berdasarkan penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gegasan mereka. Dengan kata lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang dianggap terlalu sederhana.Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5 dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey, : (1) pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan; (1) tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (hubungan timbal balik). Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas. Hubungan antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi dalam struktur

baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur yang semakin dibeda-bedakan dan diintegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama, yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral. Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diintegrasikan kembali oleh tahap yang lebih tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi, mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah. Selanjutnya penelitian lintas budaya yang dilakukan di Turki, Israel, Kanada, Inggris, Malaysia, Taiwan, dan Meksiko memberikan kesan kuat bahwa urutan tahap yang tetap dan tidak dapat dibalik itu juga bersifat universal, yakni berlaku untuk semua orang dalam periode historis atau kebudayaan apa pun. Menurut Kohlberg penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak setiap individu akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas saja, yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan angka inipun masih diragukan kemudian. Diakuinya pula bahwa untuk sementara waktu orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebut sebagai regresi fungsional. Nah, dimana tingkatan moral anda? (jp)