makalah sindrom steven johnson

23
MAKALAH SINDROM STEVEN JOHNSON NANDA RIZKI ARIFIN 111420110031 3 A

Upload: nightday

Post on 28-Dec-2015

331 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Makal lengkap

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Sindrom Steven Johnson

MAKALAH SINDROM STEVEN JOHNSON

NANDA RIZKI ARIFIN

111420110031

3 A

STIKES NGUDIA HUSADA MADURA

Page 2: Makalah Sindrom Steven Johnson

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala

klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit

vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.

Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum

multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,

dermatostomatitis, dll.

Etiologi SSJ sulit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya

berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon

imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya :

infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin,

etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik

(udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen,

keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun

sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks

imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya

dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-

type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh

limfosit T yang spesifik.

Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis

(TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat.

Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS

dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut

adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum

SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi

pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan

SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi

karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi

dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan

Page 3: Makalah Sindrom Steven Johnson

sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam

derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :

1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%

2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%

3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

II. Tujuan

Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang sindrom steven

johnson.

Page 4: Makalah Sindrom Steven Johnson

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua

dokter, yaitu dr. Stevens dan dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson,

disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap

obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa.

Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis

Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).

Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema

Multiforme (EM). Sekarang sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme

Mayor.

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput

lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan

sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat

disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang

terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982:

480).

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa

eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput

lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik

sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan

sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan

keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab

yang spesifik.

Page 5: Makalah Sindrom Steven Johnson

B. Etiologi

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang

dapat dianggap sebagai penyebab adalah:

a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya

Sthreptomicine

Sulfonamida

Tetrasiklin

Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol,

metampiron dan paracetamol)

Kloepromazin

Karbamazepin

Kirin Antipirin

Tegretol

b) Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

c) Neoplasma dan faktor endokrin

d) Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

e) Makanan

C. Manifestasi Klinis

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan

pegal, yang dapat berlanjut dari 1-14 hari. Kemudian pasien mengalami ruam

datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian

meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar

dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat

longgar, dan mudah dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan

sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh

hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat

sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan

rambut rontok.

Page 6: Makalah Sindrom Steven Johnson

Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang

melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat

dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat

besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat

rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.

Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara

terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat

mempengaruhi orang yang mengalaminya.

Gejala awal termasuk :

ruam

lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

bengkak pada kelopak mata, atau mata merah

konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak

mata dan bola mata)

demam terus-menerus atau gejala seperti flu

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan

umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya

menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut

dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala,

batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

a) Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan

bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu

dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya

generalisata.

b) Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut

(100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%)

sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).

Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi

Page 7: Makalah Sindrom Steven Johnson

erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk

pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta

berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosas dapat juga terdapat

difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini

dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya

pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

c) Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang

tersering ialah konjungtifitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa

kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis.

Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,

misalnya: nefritis dan onikolisis.

Komplikasi :

Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati

sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain

ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan

syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

D. Patofisiologi

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas

yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh

beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini

ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.

Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang

dapat diidentifikasi.

Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin

dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa

menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur.

Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61%

SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 –

frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel

Page 8: Makalah Sindrom Steven Johnson

berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang

berhubungan.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi

hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya

komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi

aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang

kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada

organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat

limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama

kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000:

147) .

Reaksi Hipersensitif tipe III

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi

dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.

Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam

jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke

jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat

tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast

sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi

tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-

sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan

sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000:

72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T

penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi

penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini

bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk

terbentuknya.

Page 9: Makalah Sindrom Steven Johnson

E. Pemeriksaan laboratorium

a. Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu

dalam penegakan diagnosis.

b. CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang

normal atau leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit

kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.

c. Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai

penyebab infeksi.20

Tes lainnya:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan

prosedur unit gawat darurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla

subepidermal

Adanya nekrosis sel epidermis

Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular

F. DIAGNOSA

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias

kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab

yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi,

kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan

laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,

biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta

pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan,

leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan

eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau

sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.

Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk

bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

Page 10: Makalah Sindrom Steven Johnson

G. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET)

dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET

terlihat lebih buruk daripada SSJ.

Penatalaksanaan

Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand

kehilangan cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama

dengan pasien luka bakar.

Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan

koreksi elektrolit.

Luka kulit diobati sebagai luka bakar.

Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan

nafas dan stabilitas hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan

kontrol nyeri.

Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif. Mengobati lesi

pada mulut dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk

mengurangi rasa nyeri. daerah yang mengalami pengelupasan harus

dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution

Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan

diterapi. Obat penyebab harus dihentikan.

Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.

Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui

menyebabkan reaksi SJS. Penatalaksanaan awalnya sama dengan

penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan lanjutan dapat

berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan

analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.

Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit

yang terkelupas/terbuka. Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan

calamine lotion. Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial

semenjak hal itu dapat menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan

resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan, antara

lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang berhasil.

Page 11: Makalah Sindrom Steven Johnson

Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang

menjanjikan dalam mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki

gejala. Pengobatan suportif lain diantaranya penggunaan anestesi nyeri

topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat, dan

penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris

harus dikonsultasikan secepatnya,

Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut

di dalam bola mata yang kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan

terganggunya penglihatan, dan gangguan mata lainnya. Diperlukan pula

adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang dari

rumah sakit.

Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati

dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk

dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid

merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena

dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.

Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-

Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg

intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak

timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara

cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari,

deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya

prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari,

sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut

dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.

Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan

elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila

terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam

bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari

kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok

Page 12: Makalah Sindrom Steven Johnson

dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa

(dosis untuk anak tergantung berat badan).

Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia

yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang

menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya

gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting

karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan

tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan

infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi

perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak

300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai

purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula

ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan

hemostatik.

Topikal

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.

Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim

sulfadiazine perak.

H. Pengobatan SSJ/TEN

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat

yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah

keburukan.

Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien

TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara

ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU.

Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka

bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan

dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.

Page 13: Makalah Sindrom Steven Johnson

Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti

sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih

nyaman.

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati

SSJ/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi

dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa

obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan

tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan

sistem kekebalan yang sudah lemah.

a. Prognosis

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh

terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa

diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan

menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome

lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.

Page 14: Makalah Sindrom Steven Johnson

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit,

selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan

ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula

dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang

disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan

oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari setengah

kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.

B. Saran

Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami

sebagai kelompok mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing

dan teman – teman sesama mahasiswa. Selain itu penyakit osteosarkoma ini

sangat berbahaya dan kita sebagai host harus bisa menerapkan pola hidup

sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.

Page 15: Makalah Sindrom Steven Johnson

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.

Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi

2. Jakarta: EGC.

Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media

Aesculapius.

Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius