referat - syok anafilaksis - ayu yoniko christi
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum, anafilaksis didefinisikan sebagai reaksi hipersensitivitas
sistemik yang serius dan mengancam jiwa. Anafilaksis mempunyai onset yang cepat
dan memberikan gejala yang mengancam jiwa pada jalan nafas (edema faring atau
laring), sistem pernafasan (bronkospasme dengan takipneu) dan atau pada sirkulasi
(hipotensi dan takikardi). Pada beberapa kasus terdapat juga manifestasi pada kulit
dan mukosa (Simons, 2011).
Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh alergen atau
faktor pencetus. Gejala ini dapat timbul melalui reaksi alergen dan antibodi disebut
reaksi anafilaktik ataupun tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi
anafilaktoid. Reaksi alergi karena makanan, racun serangga, obat-obatan dan lateks
biasanya diperantarai oleh Imunoglobulin-E (Ig E). Beberapa obat-obatan juga bisa
menimbulkan gejala tanpa diperantarai realsi imunologik. Selain itu anafilaksis
dapat dikategorikan menjadi idiopatik apabila terdapat gejala klinis yang khas,
namun penyebabnya tidak diketahui. Akan tetapi karena baik gejala yang timbul
maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka berbagai macam reaksi
tersebut disebut sebagai anfilaksis (Aru, 2009).
Angka kejadian anafilaksis di seluruh dunia tidak sepenuhnya diketahui, hal
ini dikarenakan “under-recognition” dari pasien dan paramedis serta “under-
diagnosis” dari tenaga medis profesional. Menurut The American College of
Allergy, Asthma, and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis, insidensi
terjadinya anafilaksis di dunia berkisar antara 30 – 950 kasus per 100.000 orang
tiap tahunnya. Di tingkat pelayanan dasar, anafilaksis sering diartikan sebagai
penyebab kematian yang tidak diketahui. Kematian oleh karena anafilaksis sering
tidak terdiagnosis dikarenakan tidak adanya riwayat yang detail dari saksi mata,
investigasi kematian yang kurang lengkap, temuan patologi pada pemeriksaan post-
2
mortem yang sedikit dan kurangnya pemeriksaan laboratorium yang spesifik
(Simons, 2011).
Anafilaksis merupakan reaksi sistemik sehingga melibatkan banyak organ
yang gejalanya timbul serentak atau hampir serentak. Gejala yang timbul dapat
ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai pada gagal nafas atau syok anafilaktik.
Salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang potensial mematikan adalah
timbulnya syok anafilaktik berupa hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah
sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat. Anafilaksis memang
jarang terjadi, namun bila terjadi umumnya tiba-tiba, tidak terduga, dan potensial
berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaan dan kesiapan menghadapi terjadinya
anafilaksis sangat diperlukan. Referat ini akan membahas beberapa definisi yang
berkaitan dengan anafilaksis, syok anafilaktik, diagnosis, terapi dan pencegahan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat, mengancam jiwa dan
menimbulkan gejala sistemik / generalisata. Reaksi ini ditandai dengan gangguan
pada airway, breathing dan circulation yang mengancam jiwa dan berkembang
dengan cepat. Syok Anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari
anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi
darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat (Aru, 2009;
Simons, 2011).
2.2 Etiologi
Anafilaksis dapat dicetuskan oleh berbagai hal. Makanan merupakan
pencetus anafilaksis yang paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan dewasa
muda. Sedangkan obat-obatan dan gigitan serangga merupakan pencetus
terjadinya anafilaksis pada dewasa sedang dan orang tua. Anafilaksis idiopatik
juga sering terjadi pada dewaasa muda dan orang dewasa (Simons, 2011).
Beberapa pencetus anafilaksis yang spesifik bersifat universal di dunia,
namun ada beberapa pencetus yang dapat menyebabkan anafilaksis di daerah
tertentu. Pencetus yang berupa makanan dapat berbeda-beda tergantung dari
kebiasaan makan setempat, pajanan makanan dan bagaiman mempersiapkan
makanan tersebut. Di Amerika Utara dan beberapa negara di Eropa dan Asia,
makanan yang dapat mencetuskan anafilaksis adalah susu sapi, telur ayam, kacang,
kerang dan ikan (Simons, 2011).
Obat-obatan seperti antimikroba, antivirus dan antijamur merupakan
pencetus umum terjadinya anafilaksis hampir di seluruh dunia namun bervariasi
pula di beberapa negara. Sebagai contoh, penisilin yang diberikan secara
intramuskular merupakan pencetus anafilaksis di negara yang menggunakannya
4
untuk demam rheuma. Obat anti tuberkulosis (OAT) juga sering menjadi penyebab
anafilaksis di beberapa negara. Anafilaksis dapat dicetuskan oleh agen kemoterapi
seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti antibodi
monoklonal. Selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal (Simons,
2011).
Gambar 2.1 Berbagai pencetus reaksi anafilaksis (Simons, 2011).
5
Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media
kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang
mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1
: 50.000 prosedur intravena. Kasus berkurang setelah dipakainya media kontras
yang hiperosmolar. Selain itu imunoterapi dan uji kulit (terutama uji intradermal)
juga dapat berpotensial menyebabkan anafilaksis. Lateks (Natural Rubber Latex)
yang terdapat pada peralatan medis seperti masker, endotracheal tube, sarung
tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis (Aru, 2009).
Anafilaksis dikategorikan idiopatik ketika tidak ada pencetus yang dapat
diidentifikasi meskipun telah dilakukan uji alergen pada kulit dan pengukuran
kadar serum IgE (Brown, 2006).
2.3 Patofisiologi
Anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe 1.
Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera setelah
tubuh terpajan dengan alergen. Pajanan dengan antigen akan mengaktifkan sel Th2
yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi
Imunoglobulin E (IgE) alergen spesifik. IgE mempunyai kecenderungan yang kuat
untuk melekat pada sel Mast dan basofil yang memiliki reseptor untuk fraksi Fc
dari IgE (Fce-R1). Pada pajanan yang kedua dengan alergen akan menimbulkan
ikatan silang (cross-linking) antara antigen dan IgE spesifik yang diikat oleh sel
Mast. Ikatan ini akan menimbulkan influks ion kalsium ke dalam sel dan
menyebabkan penurunan kadar adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraselular
yang menimbulkan degranulasi sel Mast. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran
mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel Mast dan Basofil yakni
histamin, heparin, leukotrin, ECF (Eosinophil Cemotacting Factor) dan berbagai
sitokin seperti interleukin dan TNF-α (Baratawidjaja, 2009).
6
Gambar 2.2 Patogenesis reaksi hipersensitivitas tipe 1
Selain melalui mekanisme imunologi, anafilaksis dapat terjadi melalui
mekanisme non imunologis yakni dengan aktivasi langsung dari sel mast (Gambar
2.3). Sel Mast dapat diaktifkan dan melepas mediator atas pengaruh PAF (Platelet
Activating Factor), C3a, C5a, PGF2α fosfolipase, kimotripsin dan sengatan
serangga. Bahan seperti adrenalin, β-stimultan, PGE1, PGE2 dan ketoifen
menghambat degranulasi, sedangkan berbagai faktor non imun seperti latihan
jasmani, tekanan, trauma, panas dan dingin dapat pula mengaktifkan dan
menyebabkan degranualsi sel Mast (Gambar 2.4) (Baratawidjaja, 2009).
Gambar 2.3 Faktor yang memacu degranulasi sel mast
7
Pelepasan mediator amin vasoaktif melalui degranulasi sel Mast tersebut
dapat menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular
dan vasodilatasi, serta kerusakan jaringan dan anafilaksis. Pelepasan amin
vasoaktif ke dalam sirkulasi darah dapat menyebabkan vasodilatasi luas di seluruh
tubuh dan peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kehilangan
plasma dalam sirkulasi dalam jumlah yang besar. Hal ini dapat menyebabkan
pasien jatuh dalam keadaan syok yang mengancam jiwa karena perfusi dan
oksigenasi jaringan menjadi tidak adekuat (Baratawidjaja, 2009; Katzung, 2001).
Gambar 2.4 Berbagai faktor pencetus dan mekanismenya (Simons, 2011)
8
2.4 Manifestasi Klinis
1) Sistem Umum (Prodomal)
Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak enak di perut dan
dada, rasa gatal di hidung dan palatum
2) Sistem Respirasi
a. Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat, rhinorea
b. Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak nafas, stridor, edema,
spasme
c. Lidah : edema
d. Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme,takipneu
e. Sianosis
f. Respiration arrest
3) Sistem Kardiovaskuler
a. Chest pain
b. Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia
c. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard
4) Sistem Gastro Intestinal
Disfagia, mual muntah, kolik, diare yang kadang-kadang disertai darah,
peristaltik usus meninggi
5) Sistem Integumen, Mata, SSP
9
Integumen : Urtikaria, Angiodema di bibir, muka atau ekstremitas
Mata : Gatal, lakrimasi, edema periorbital, eritema pada konjungtiva
SSP : kejang, gelisah (Aru, 2006).
2.5 Diagnosa
Diagnosis Anafilaksis terutama didasarkan pada riwayat terjadinya alergi,
termasuk semua pajanan dan kejadian selama terjadinya episode anafilaksis,
seperti olahraga, obat-obatan yang diminum, riwayat minum etanol, infeksi akut
seperti common cold, dan lain-lain. Kunci diagnosis dari anafilaksis adalah adanya
gejala dan tanda spesifik yang mendadak dalam beberapa menit atau jam setelah
terpajan suatu alergen dan diikuti dengan gejala dan tanda yang semakin
meningkat beberapa jam kemudian (Simons, 2011).
Kriteria diagnosis Anafilaksis menurut WAO 2011 (World Allergy
Organization) adalah :
1. Terdapat onset akut penyakit (menit sampai jam) yang bermanifestasi di kulit,
jaringan mukosa atau keduanya (berupa urtikaria, gatal, kemerahan,
pembengkakan pada bibir, tonsil, uvula) \
DAN SALAH SATU GEJALA BERIKUT:
A). Gangguan respirasi (dispnea, bronkospasme, stridor, PEF (Peak Expiratory
Flow) menurun, hipoksemia)
B). Tekanan darah turun atau gejala yang berhubungan dengan disfungsi end-
organ (hipotonia/kolaps, sinkop, inkotinensia) ATAU
2. Dua atau lebih gejala berikut yang terjadi dalam beberapa menit sampai jam
setelah pajanan alergen tertentu (likely allergen)
A). Melibatkan mukosa dan kulit (urtikaria, gatal, kemerahan, pembengkakan
pada bibir, tonsil, uvula)
10
B). Gangguan respirasi (dispnea, bronkospasme, stridor, PEF (Peak Expiratory
Flow) menurun, hipoksemia)
C). Tekanan darah turun atau gejala yang berhubungan dengan disfungsi end-
organ (hipotonia/kolaps, sinkop, inkotinensia)
D). Gejala gastrointestinal yang menetap (nyeri perut, muntah) ATAU
3. Adanya penurunan tekanan darah yang terjadi dalam beberapa menit sampai
jam setelah terpajan alergen yang diketahui (known allergen)
A). Bayi dan Anak : penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 30% atau
tekanan darah sistolik yang rendah menurut usia *
B). Dewasa : Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
sistolik lebih 30%
Tekanan Darah rendah pada Bayi dan Anak menurut usia :
Usia* Tekanan darah
1 bulan – 1 tahun < 70 mmHg
1 – 10 tahun < (70 mmHg + [2 x umur]
11 – 17 tahun < 90 mmHg
Denyut nadi normal pada bayi
Usia Heart rate / menit
1 – 2 tahun 80 – 140
3 tahun 80 - 120
> 3 tahun 70 - 115
Gejala klinis anafilaksis pada bayi cenderung berupa gangguan respirasi
daripada hipotensi ataupun syok sirkulasi, namun apabila terjadi syok manifestasi
klinisnya lebih berupa takikardi daripada hipotensi (Soar, 2013).
11
Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, namun mencari alergen penyebab
maupun pencetusnya tidak mudah dan bahkan kadang-kadang tidak ditemukan.
Dalam hal ini anamnesis yang teliti merupakan cara paling penting. Dengan
demikian diagnosis anafilaksis terutama berdasarkan reaksi anafilaksis yang timbul
segera setelah terpajan oleh alergen atau faktor pencetus serangan dan
menimbulkan gejala klinik pada organ-organ sasaran. Pemeriksaan penunjang
seperti uji kulit hanya bermanfaat bila mekanisme anafilakis tersebut melalui IgE
dan obat-obatan yang dapat diuji pun terbatas pada penisislin. Hormon dan enzim
sangat jarang dilakukan karena prosedur tersebut juga menimbulkan reaksi
anafilaksis (NICE, 2011; Aru, 2009).
Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu beberapa menit setelah
terpajan oleh alergen, tapi adakalanya muncul beberapa jam kemudian. Observasi
yang dilakukan oleh Stark dkk menyatakan bahwa bentuk anafilaksis bisa unifasik
seperti yang biasa kita temukan, bifasik yang gejalanya muncul 1 – 8 jam kemudian
dan protrated yaitu satu bentuk anafilaksis berat yang dapat berlangsung 5 – 32
jam meskipun dengan pengobatan yang intensif (Aru, 2009).
Diagnosis Banding
2.6 Diagnosis Banding
Beberapa keadaan yang menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi anafilaksis
yaitu reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik
atau angiodema herediter (Aru, 2009).
1. Reakasi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien
tampak mau pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi
anafilaksis, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya
tidak terlalu rendah seperti pada anafilaksis.
2. Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau
tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak nampak
tanda-tanda obstruksi saluran nafas, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan
12
elektrokardiografi dan enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard
akut.
3. Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian oabt antidiabetes atau
obat lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tak sadar. Tekanan
darah kadang-kadang turun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran
nafas maupun kelainan kulit. Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian
terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik.
4. Pada reaksi histerik tidak dijumpai tanda-tanda gagal nafas, hipotensi ataupun
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian
tanda-tanda vital dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini
dengan reaksi anafilaktik. Sering pasien mengeluh paraestesia.
5. Sindroma angioderma neurotik herediter merupakan salah satu keadaan yang
menyeruapi anafilaksis. Sindrom ini ditandai dengan angiodema saluran nafas
bagian atas dan sering dijumpai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit
atau kolaps vaskuler. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini
disertai penurunan inhibitor CI esterase mendukung adanya sindroma
angiodema neurotik herediter.
6. Sindroma karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindroma ini ditandai
dengan adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus dan rasa panas di sekitar
kulit. Tetapi tidak dijumpai adanya urtikaria atau angiodema. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan serotonin darah meninggi serta kadar histamin dan 5
hidroksi indol asam asetat dalam urin meninggi.
13
Gambar 2.5 Diagnosis banding anafilaksis (Simons, 2011).
2.7 Tatalaksana
Anafilaksis merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang medis.
Pendekatan yang sistematis dalam menangani anafilaksis sangatlah penting.
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk
memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan mempertahankan
suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus
segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Berikut adalah
pendekatan sistematis dalam tatalaksana anafilaksis menurut WOA, 2011 :
1. Menilai kondisi pasien dengan cepat
14
2. Jika memungkinkan, menyingkirkan pajanan alergen dari tubuh pasien
(melepas IV line dari obat yang dimasukkan, menghentikan injeksi obat)
3. Menilai Airway, Breathing, Circulation, Status Kesadaran, kondisi kulit dan
mengestimasi berat badan pasien
4. Memanggil bantuan
5. Secara simultan, melakukan injeksi epinefrin 1:1000 secara intramuskular pada
paha bagian mid-anterolateral dengan dosis 0,01 mg/kgBB. (maksimum dosis
dewasa 0,5 mg, anak 0,3 mg). Catat waktu injeksi dan jika perlu bisa diulang
dalam 5 – 15 menit. Kebanyakan pasien dapat merespon dengan pemberian 1 –
2 dosis.
6. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring dan lakukan elevasi pada tungkai
bawah
7. Jika ada indikasi :
beri oksigen 6-8 lpm dengan masker / oropharingeal tube
resusitasi cairan guyur NaCl 0,9% 1 – 2 liter
lakukan CPR
8. Jika pasien sudah stabil, lakukan monitoring tekanan darah, denyut nadi,
respiratory rate dan oksigenasi pasien.
15
Gambar 2.6 Tatalaksana dasar Anafilaksis (Simons, 2011)
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin
atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin 1: 1000
sebanyak 0,1 – 0,3 ml di bekas suntikan untuk mengurangi absorpsi alergen tadi.
Jika mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan tiap
10 menit. Torniket dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali (Aru, 2006).
Hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada
pasien anafilaksis yaitu mengusahakan 1). Sistem pernafasan yang lancar, sehingga
oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik
sehingga perfusi jaringan menjadi adekuat. Prioritas pengobatan ditujukan pada
16
kedua sistem ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama
disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis (Aru, 2006).
Sistem Pernafasan
1. Penyebab tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran nafas
baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada beberapa kasus, suntikan
epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema
laring kadang-kadng diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea
pada pasien dengan edema laring tidak saja sulit tapi sering juga menambah
beratnya obstruksi karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding laring.
2. Pemberian oksigen 4 – 6 lpm sangat penting baik pada gangguan pernafasan
maupun gangguan kardiovaskuler.
3. Bronkodilator diperlukan jika terjadi obstruksi saluran nafas bagian bawah
seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan
larutan salbutamol atau agonis β2 lainnya sebanyak 0,25 – 0,5cc dalam 2 – 4 ml
NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5 – 6 mg/kgBB yang
diencerkan dalam 20cc Dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-
lahan selama 15 menit
Sistem Kardiovaskuler
1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil diatasi dengan pemberian
epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskuler.
Pasien membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan
kristaloid (NaCl 0,9%) maupun koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk
memberikan cairan koloid 0,5 – 1 liter dan sisanya dalam bentuk cairan
kristaloid. Cairan koloid ini tidak hanya menggantikan cairan intravaskuler yang
merembes ke luar pembuluh darah atau terkumpul di jaringan splangnikus,
tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskuler untuk kembali ke intravaskuler.
2. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem kardiovaskuler
dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
17
3. Kadang-kadang diperlukan CVP (Central Venous Pressure). Pemasangan CVP
selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari pemberian cairan,
juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang
jaringan sekitarnya.
4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, dapat
diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan melarutkan 1 ml
epinefrin 1 : 1000 dalam 250 ml dextrose (konsentrasi 4mg/ml) diberikan
dengan infus 1 – 4 mg/menit atau 15 – 60 mikrodrip/ menit (dengan infus
mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, American Heart Association
menganjurkan pemberian epinefrin 1 : 10.000 diberikan melalui jarum panjang atau
kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5ml epinefrin 1 : 10.000). Tindakan ini
kemudian diikuti pernafasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang
tepat (Aru, 2006).
Pasien yang sedang dalam pengobatan β-blocker gejalanya sukar diatasi
dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulan reseptor
adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan ini inhalasi agonis β2 atau sulfas
atropin akan memberikan manfaat di samping pemberian aminofilin dan
kortikosteroid intravena (Aru, 2006).
Antihistamin khususnya AH1 dengan AH2 bekerja secara sinergis terhadap
reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat
diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat, AH dapat diberikan
secara intravena. Untuk AH2 seperti cimetidin (300mg) atau ranitidin (150mg)
harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit
(Aru, 2006).
Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami
gangguan nafas maupun gangguan kardiovaskuler. Kortikosteroid berfungsi untuk
mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa
18
diberikan tablet prednison atau bisa melalui intravena dengan dosis 5mg/kgBB
hidrokortison atau ekuivalennya dan diberikan setiap 4 – 5 jam (Aru, 2006).
2.8 Pencegahan
Pasien yang pernah mengalami reaksi anfilaksis mempunyai resiko untuk
memperoleh reaksi yang sama apabila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini
harus dikenali, diberikan peringatan dan bila perlu diberi tanda peringatan pada ikat
pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang kepada pasien diberikan bekal suntikan
adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus
sering timbul tak terduga seperti pada sengatan tawon atau pada anfilaksis idiopatik
(Aru, 2006; Brown, 2006).
Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anafilaksis bisa
jauh lebih berat, oleh karena itu setiap pasien asma dan penyakit jantung harus
memperoleh pengobatan yang optimal. Pasien yang mempunyai resiko anafilaksis
dianjurkan tidak memakai obat-obatan golongan penyekat beta karena dapat
mempersulit terapi anafilaksis (Aru, 2006).
Menurut Greenburger dkk, pada beberapa kasus dapat diberikan prednison
dan antihistamin sebelum memberikan kontras pemeriksaan radiologik pada pasien
yang beresiko. Dapat pula dilakukan desensitisasi jangka pendek dengan penisilin
serta desensitisasi jangka panjang diberikan pada pasien yang alergi terhadap
sengatan tawon (Aru, 2006).
Anafilaksis terutama disebabkan oleh obat-obatan, berikut adalah hal-hal yang
perlu diperhatikan saat transmisi obat :
Sebelum memberikan obat
1. Adakah indikasi memberikan obat
2. Adakah riwayat alergi obat sebelumnya
3. Apakah pasien mempunyai risiko alergi obat
4. Apakah obat tersebut perl diuji kulit dulu
19
5. Adakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi reaksi alergi
Sewaktu minum obat
1. Jika memungkinkan diberikan secara oral
2. Hindari pemakaian intermitten
3. Sesudah melakukan suntikan pada pasien harus selalu diobservasi
4. Beritahu pasien reaksi yang mungkin terjadi
5. Sediakan obat/ alat darurat untuk mengatasi keadaan darurat
6. Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitisasi
Sesudah minum obat
1. Kenali tanda dini reaksi alergi obat
2. Hentikan obat bila terjadi reaksi
3. Tindakan imunisasi sangat dianjurkan
4. Bila terjadi reaksi beli penjelasan pada pasien agar kejadian tersebut tidak
terulang lagi
BAB III
KESIMPULAN
20
Anafilaksis didefinisikan sebagai reaksi hipersensitivitas sistemik yang serius
dan mengancam jiwa .Anafilaksis mempunyai onset yang cepat dan memberikan
gejala yang mengancam jiwa pada jalan nafas (edema faring atau laring), sistem
pernafasan (bronkospasme dengan takipneu) dan atau pada sirkulasi (hipotensi dan
takikardi). Pada beberapa kasus terdapat juga manifestasi pada kulit dan mukosa.
Anafilaksis dapat dicetuskan oleh berbagai hal. Makanan merupakan
pencetus anafilaksis yang paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan dewasa
muda. Sedangkan obat-obatan dan gigitan serangga merupakan pencetus
terjadinya anafilaksis pada dewasa sedang dan orang tua. Anafilaksis idiopatik
juga sering terjadi pada dewaasa muda dan orang dewasa.
Diagnosis Anafilaksis terutama didasarkan pada riwayat terjadinya alergi,
termasuk semua pajanan dan kejadian selama terjadinya episode anafilaksis,
seperti olahraga, obat-obatan yang diminum, riwayat minum etanol, infeksi akut
seperti common cold, dan lain-lain. Kunci diagnosis dari anafilaksis adalah adanya
gejala dan tanda spesifik yang mendadak dalam beberapa menit atau jam setelah
terpajan suatu alergen dan diikuti dengan gejala dan tanda yang semakin
meningkat beberapa jam kemudian.
Tatalaksana dasar dalam menangani anafilaksi adalah :
1. Menilai kondisi pasien dengan cepat
2. Jika memungkinkan, menyingkirkan pajanan alergen dari tubuh pasien
(melepas IV line dari obat yang dimasukkan, menghentikan injeksi obat)
3. Menilai Airway, Breathing, Circulation, Status Kesadaran, kondisi kulit dan
mengestimasi berat badan pasien
4. Memanggil bantuan
5. Secara simultan, melakukan injeksi epinefrin 1:1000 secara intramuskular pada
paha bagian mid-anterolateral dengan dosis 0,01 mg/kgBB. (maksimum dosis
dewasa 0,5 mg, anak 0,3 mg). Catat waktu injeksi dan jika perlu bisa diulang
21
dalam 5 – 15 menit. Kebanyakan pasien dapat merespon dengan pemberian 1 –
2 dosis.
6. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring dan lakukan elevasi pada tungkai
bawah
7. Jika ada indikasi :
beri oksigen 6-8 lpm dengan masker / oropharingeal tube
resusitasi cairan guyur NaCl 0,9% 1 – 2 liter
lakukan CPR
8. Jika pasien sudah stabil, lakukan monitoring tekanan darah, denyut nadi,
respiratory rate dan oksigenasi pasien.
Pasien yang pernah mengalami reaksi anfilaksis mempunyai resiko untuk
memperoleh reaksi yang sama apabila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini
harus dikenali, diberikan peringatan dan bila perlu diberi tanda peringatan pada ikat
pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang kepada pasien diberikan bekal suntikan
adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus
sering timbul tak terduga seperti pada sengatan tawon atau pada anfilaksis
idiopatik.
DAFTAR PUSTAKA
22
Aru, Bambang dan Idrus, Alwi. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Baratawidjaja, Karnen G. dan Rengganis, Iris. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI
Brown, Simon. 2006. Anaphylaxis : Diagnosis and Management. Canberra : MIJ
Katzung G,Bertram. 2001. Farmakologi Dasar Dan klinik. Edisi VI. Jakarta :
EGC
NICE. 2011. Anaphylaxis : Assessment to confirm an anaphylactid episode and
the decision to refer after emergency treatment for suspected of
anaphylactid episode. United Kingdom: National Institute for Health and
Clinical Excellence
Simons, Estelle. 2011. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment
and Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal
Soar, Jasmeet. 2013. Emergency Treatment for Anaphylaxis Reaction. United
Kingdom: Resuscitation Council Press