referat miastenia gravis

22
BAB I PENDAHULUAN Miastenia gravis adalah gangguan neuromuscular yang sering terjadi. Penyakit ini ditandai dengan kelemahan otot yang semakin berat ketika beraktivitas, membaik ketika istirahat. Miastenia disebabkan oleh antibodi pada protein postsinaps, yaitu nicotinic acetylcholine receptor (AChR), muscle specific tyrosine kinase (MuSK), dan low density lipoprotein receptor- related protein 4 (LRP4). Tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis. Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh. MG termasuk gangguan neurologis yang dapat diobati, dan melibatkan berbagai spesialis yaitu penyakit dalam, ahli saraf, dokter mata, spesialis paru. Respon pengobatan MG umumnya baik, sehingga terapi awal sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas tahun (Gold dan Toyka, 2007).

Upload: rdindaa

Post on 19-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

tugas blok 17.

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Miastenia Gravis

BAB I

PENDAHULUAN

Miastenia gravis adalah gangguan neuromuscular yang sering terjadi. Penyakit ini

ditandai dengan kelemahan otot yang semakin berat ketika beraktivitas, membaik ketika

istirahat. Miastenia disebabkan oleh antibodi pada protein postsinaps, yaitu nicotinic

acetylcholine receptor (AChR), muscle specific tyrosine kinase (MuSK), dan low density

lipoprotein receptor- related protein 4 (LRP4). Tahun 1977, karakteristik autoimun pada

miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui

beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir

90% penderita miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia

ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek

menguntungkan dari plasmaparesis. Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang

struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Mekanisme dimana

antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh. MG

termasuk gangguan neurologis yang dapat diobati, dan melibatkan berbagai spesialis yaitu

penyakit dalam, ahli saraf, dokter mata, spesialis paru. Respon pengobatan MG umumnya baik,

sehingga terapi awal sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas tahun (Gold

dan Toyka, 2007).

Page 2: Referat Miastenia Gravis

BAB II

ISI

2.1 Epidemiologi

Inside MG berkisar antara3 -30 per 1 juta penduduk. Laju insiden meningkat karena

metode diagnostik lebih berkembang. Insiden meningkat dengan pertambahan usia. Sementara

itu, prevalensi MG diperkirakan 25- 100 per 100 juta penduduk. Perbandingan wanita dan pria

yaitu 3:2 dan rentang usia antara 20-40 dan 60-70 tahun (Gold dan Toyka, 2007).

2.2 Etiologi

MG disebabkan oleh antibodi yang merusak protein yang ada di taut neuromuscular

membran post sinaps. Antibodi yang merusak protein AChR dapat dideteksi pada 50% kasus

MG. Antibodi tersebut mengurani jumlah AChR dengan 3 mekanisme berikut (Sathasivam,

2014):

• antibodi anti-AChR mengikat dan mengadakan ikatan silang yang AChR, mengakibatkan

peningkatan endositosis dan degradasi dari AChR oleh sel otot;

• anti AChR mengikat komplemen di membran pos sinaptik, yang menyebabkan lisis fokus

dari post sinaps di taut neuromuskular

• penghancuran protein AchR terkait lainnya, seperti utrophin, RapSyn

2.3 Patofisiologi

Patofisiologi miastenia gravis berkaitan dengan taut neuromuscular dan reseptor

asitelkolin yang ada disana. Sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu anatomi dan

fisiologi normal dari taut neuromuskular.

Taut neuromuskular adalah sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari membran

pre sinaps, celah sinaps, dan post sinaps. Elemen prasinaps berisi vesikel dengan

neurotransmitter asetilkolin. Saat impuls saraf mencapa taut neuromuskular, membran akson

mengalami depolarisasi sehingga mengeluarkan asetilkolin. Asetilkolin menyebrangi celah dan

Page 3: Referat Miastenia Gravis

menyatu dengan reseptor di pasca sinaps. Terjadi depolarisasi ujung lempeng potensial atau EPP.

Potensial aksi menyebabkan terjadinya kontraksi serabut otot. Begitu terjadi transmisi melewati

celah, asetilkolin akan dirusak oleh asetilkolinesterase (Price dan Wilson, 2009).

Sementara pada kasus miastenia, reseptor asetilkolin menurun karena adanya proses

autoimun (Trouth et al, 2012).

1. Antibodi Anti AChR

Mekansime dari antibodi Anti AChR menurunkan reseptor asetilkolin antara lain

(Sathasivam, 2014):

a. antibodi anti-AChR mengikat dan mengadakan ikatan silang yang AChR,

mengakibatkan peningkatan endositosis dan degradasi dari AChR oleh sel otot;

b. anti AChR mengikat komplemen di membran pos sinaptik, yang menyebabkan

lisis fokus dari post sinaps di taut neuromuskular

c. penghancuran protein AchR terkait lainnya, seperti utrophin, RapSyn

2. Peranan dari sel CD4+

Antibodi Anti AChR memiliki afinitas yang kuat dengan IgG dan membutuhkan aktivasi

dari sel CD4+ dalam sintesisnya. Sehingga, dari mekanisme molecular tersebut sudah

dikembangkan pengobatan terbaru dengan antibodi anti CD4+ dan diketahui memiliki

efek terapeutik yang baik (Trouth et al, 2012).

Gambar 2.1 A. Kondisi Normal Fisiologi pada Taut Neuromuskular B. Miastenia

Gravis

Page 4: Referat Miastenia Gravis

2.4 Manifestasi Klinis

Gejala utama dari MG adalah kelemahan otot yang sifatnya berfluktuasi, memburuk

dengan aktivitas berulang dan membaik dengan istirahat. Kelemahan ini diperparah oleh paparan

panas, infeksi, dan stress. Sifat yang berfluktuasi ini yang membedakan MG dari gangguan lain

dengan gejala kelemahan otot. Biasanya kelemahan melibatkan otot rangka tertentu. Kelemahan

umumnya mata, bulbar, ekstremitas atas dan leher, dan dalam beberapa pasien, melibatkan otot-

otot pernapasan. Pada pasien dengan MG, kelemahan ringan 26%, sedang 36%, dan berat di

39%, serta diikuti dengan disfagia, dan menurunnya kapasitas vital (Trouth et al, 2012).

Gambar 2.2 Distribusi otot yang mengalami kelemahan pada Miastenia Gravis

Kelemahan otot okular adalah yang gejala awal MG, terjadi pada 85% pasien. Hal ini

akan berkembang pada 50% pasien ini dalam dua tahun menjadi ptosis dan diplopia atau kadang-

kadang penglihatan kabur. Ptosis dapat unilateral atau bilateral. Ptosis dapat cukup parah untuk

benar-benar menutup penglihatan jika terjadi bilateral. otot ekstraokular yang paling umum

terlibat adalah rektus medial (Trouth et al, 2012).

Page 5: Referat Miastenia Gravis

Gambar 2.3 Ptosis

Keterlibatan otot bulbar dapat dilihat pada 60% pasien. Gejala disfagia dan diasartria

merupakan gejala awal di 15% pasien. Kelemahan yang melibatkan otot pernapasan jarang

terjadi dalam 2 tahun pertama onset. Kelemahan otot pernapasan dapat menyebabkan krisis

miastenia yang dapat mengancam kehidupan, membutuhkan ventilasi mekanis dan NGT (Trouth

et al, 2012).

Selain itu timus diduga memainkan patogen penting peran dalam anti-AChR antibodi-

positif MG, dengan hiperplasia timus adadi 65% persen kasus dan thymoma 10 %. Selanjutnya,

MG terjadi di 30 persen dari pasien dengan timoma sebagai paraneoplastic sebuah phenomenon.

Beberapa bukti bahwa timus sebagai tempat utama terjadinya autosensitisasi(Sathasivam, 2014).

2.5 Klasfikasi MG

MG diklasifikasikan menjadi subtype berikut untuk menentukan prognosis dan respon

terhadap terapi (Trouth et al, 2012):

a. Early onset MG: usia saat onset <50 tahun. timus hiperplasia, biasanya

perempuan

b. Late onset MG: usia saat onset> 50 tahun. Atrofi timus, terutama laki-laki

c. thymoma terkait MG (10% -15%)

d. MG dengan antibodi anti-Musk

e. Ocular MG (OMG): gejala hanya mempengaruhi ekstraokular otot,

f. MG tanpa AChR dan Musk yang terdeteksi

Page 6: Referat Miastenia Gravis

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat

diklasifikasikan sebagai berikut (Trouth et al, 2012):

Kelas I MG ditandai dengan gejala berikut:

(i) kelemahan otot okular.

(ii) mungkin memiliki kelemahan penutupan mata.

(iii) semua kekuatan otot lainnya normal.

Kelas II MG ditandai dengan gejala berikut:

(i) kelemahan mempengaruhi otot ringan selain okular otot,

(ii) mungkin juga memiliki kelemahan ocularmuscle keparahan apapun.

Kelas IIa MG ditandai dengan gejala berikut:

(i) terutama mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya

(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah dari orofaringeal otot.

Kelas IIb MG ditandai dengan gejala berikut:

(i) terutama mempengaruhi orofaringeal, pernafasan otot, atau keduanya,

(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah atau sama anggota badan, otot

aksial, atau keduanya.

Kelas III MG ditandai dengan gejala berikut:

(i) sedang kelemahan mempengaruhi otot-otot lain selain otot okular,

(ii) mungkin juga memiliki kelemahan ocularmuscle keparahan apapun.

Kelas IIIa MG ditandai dengan gejala berikut:

(i) terutama mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya,

(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah dari orofaringeal otot.

Page 7: Referat Miastenia Gravis

Kelas IIIb MG ditandai dengan gejala berikut:

(i) terutama mempengaruhi orofaringeal, pernafasan otot, atau keduanya,

(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah atau sama anggota badan, otot

aksial, atau keduanya.

Kelas IV MG ditandai dengan gejala berikut:

(i) kelemahan mempengaruhi otot-otot yang parah selain okular otot,

(ii) mungkin juga memiliki kelemahan ocularmuscle keparahan apapun.

Kelas IVa MG ditandai dengan gejala berikut:

(i) terutama mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya,

(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah dari orofaringeal otot.

Kelas IVb MG ditandai dengan gejala berikut:

(I) terutama mempengaruhi orofaringeal, pernafasan otot atau keduanya,

(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah atau sama anggota badan, otot

aksial, atau keduanya.

Kelas V MG ditandai dengan berikut:

(I) intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik, kecuali bila digunakan selama pasca

operasi rutin manajemen,

(ii) penggunaan tabung pengisi tanpa intubasi menempatkan pasien di kelas IVb.

Page 8: Referat Miastenia Gravis

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik. Anamnesis gejala

utama yang muncul misalnya kelelahan otot yang sifatnya fluktuatif yang mengenai otot

ekstraokular dan bulbar. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

a. Tes Ensilon

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi

maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon

disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak

mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh

miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang

lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat

singkat. Ketika didapatkan hasil positif, perlu didapatkan diagnosis banding dengan

sindrom miastenia , tetapi perbedaannya sindrom miastenia penyebabnya berkaitan

dengan proses patologis (Price dan Wilson, 2009). Sensitivitas tes edrophonium telah

diperkirakan sekitar 86% untuk MG okular dan 95% untuk MG secara umum. Hasil

positif palsu mungkin terjadi pada kondisi neurologis lainnya termasuk lesi pada LMN

dan tumor batang otak (Juel dan Massay, 2008).

b. RNS

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga

pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi. Pada MG, ketika RNS

dilakukan di tangan dan di otot bahu, secara keseluruhan sensitivitas sekitar 60%. RNS

relatif lebih sensitif di MG generalisata dan relatif kurang sensitif di MG okular (Juel dan

Massay, 2008).

c. SFEMG (Single Fiber Electromyography)

SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa

peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber,

yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG

dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih

serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatufiber density (jumlah potensial

Page 9: Referat Miastenia Gravis

aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG adalah tes

diagnostik yang paling sensitif untuk mendeteksi gangguan transmisi neuromuskuler

(Juel dan Massay, 2008).

d. Tes Serologi

Tes yang dilakukan untuk mengetahui antibody Anti AChR, Anti-muscle-specific kinase

(MuSK) antibodies dan Antistriated muscle (anti-SM) antibody.

2.7 Tata Laksana

Antikolinesterase dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada

miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.

Sedangkan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.

Berikut terapi untuk miastenia gravis (Gilhus et al, 2011).

a. Terapi untuk keadaan akut

• Plasma Exchange (PE)

Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon

dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Terapi ini paling efektif

digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek menjadi prioritas. Terapi ini

digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis.

Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang

mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi

setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan

kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul

pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek

samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama

pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang

dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada

berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal

itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya

perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.

Page 10: Referat Miastenia Gravis

• Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan

mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat

dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat

penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar

3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga

menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat

dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan

beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,

sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi

awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400

mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.

IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-

asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan

pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah

nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga

tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,

mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.

• Intravenous Methylprednisolone (IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon,

maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak

ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien

menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien

lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam

waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisis

akan dipertimbangkan apabila terapi lain gagal atau tidak dapat digunakan.

Page 11: Referat Miastenia Gravis

Gambar 2.4 Alur Terapi Miastenia Gravis

b. Terapi medikamentosa

• Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk

pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai

tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja

kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3

bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan

efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.

Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada

fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi

diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan

kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang

berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer

antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis

yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.

Page 12: Referat Miastenia Gravis

Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian

dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30

mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan

komplikasi obesitas serta hipertensi.

• Azathioprine

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif

terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine

dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki

efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.

Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai.

Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik

oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit

dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant

lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan

dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga

dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.

• Cyclosporine

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-

helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi

antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi

dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat

dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping

berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

• Cyclophosphamide (CPM)CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada

proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis

imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi

antibodi dibandingkan obat lainnya.

Page 13: Referat Miastenia Gravis

2.8 Prognosis dan Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada MG adalah krisis, pasien dikatakan mengalami krisis

jika tidak mampu menelan, membersihkan secret, atau bernapas secara adekuat. Dua jenis krisis

adalah krisis miastenik dan krisis kolinergik. Krisis miastenik ketika pasien membutukan lebih

banyak obat antikolinesterase dan krisis kolinergik terjadi akibat kelebihan obat antikolinesterase

(Price dan Wilson, 2009).

Page 14: Referat Miastenia Gravis

BAB III

PENUTUP

Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal

dan progresif pada otot rangka dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Patogenesis

penyakit ini karena adanya gangguan pada taut neuromuskular. Sebelum memahami tentang

miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari taut neuromuskular

sangatlah penting. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran

otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk taut neuromuscular.

Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun

dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik

pada kesembuhan miastenia gravis

Page 15: Referat Miastenia Gravis

DAFTAR PUSTAKA

Gilhus et al. (2011). “Myasthenia Gravis: A Review of Available Treatment Approaches”. Hindawi Publishing Corporation

Gold,C.S., Toyka,K.V. (2007). “Myasthenia Gravis: Pathogenesis and Immunotherapy”. Dtsch

Arztebl Vol.104 No.7: pp: 420–6 .

Juel,V.C., Massay, J.M. (2008). “Myasthenia gravis”. Orphanet Journal of Rare Diseases Vol 2

No. 44

Price,S.A., Wilson, L. M. (2009). Bab Gangguan Neurologis dengan Simptomatologi

Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta : EGC

Sathasivam, S., (2014).” Diagnosis and management of myasthenia gravis”. Progress in

Neurology and Psychiatry.

Trouth et al. (2012). Myasthenia Gravis: A Review. Hindawi Publishing Corporation