referat miastenia gravis
DESCRIPTION
tugas blok 17.TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Miastenia gravis adalah gangguan neuromuscular yang sering terjadi. Penyakit ini
ditandai dengan kelemahan otot yang semakin berat ketika beraktivitas, membaik ketika
istirahat. Miastenia disebabkan oleh antibodi pada protein postsinaps, yaitu nicotinic
acetylcholine receptor (AChR), muscle specific tyrosine kinase (MuSK), dan low density
lipoprotein receptor- related protein 4 (LRP4). Tahun 1977, karakteristik autoimun pada
miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui
beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir
90% penderita miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia
ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek
menguntungkan dari plasmaparesis. Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang
struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Mekanisme dimana
antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh. MG
termasuk gangguan neurologis yang dapat diobati, dan melibatkan berbagai spesialis yaitu
penyakit dalam, ahli saraf, dokter mata, spesialis paru. Respon pengobatan MG umumnya baik,
sehingga terapi awal sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas tahun (Gold
dan Toyka, 2007).
BAB II
ISI
2.1 Epidemiologi
Inside MG berkisar antara3 -30 per 1 juta penduduk. Laju insiden meningkat karena
metode diagnostik lebih berkembang. Insiden meningkat dengan pertambahan usia. Sementara
itu, prevalensi MG diperkirakan 25- 100 per 100 juta penduduk. Perbandingan wanita dan pria
yaitu 3:2 dan rentang usia antara 20-40 dan 60-70 tahun (Gold dan Toyka, 2007).
2.2 Etiologi
MG disebabkan oleh antibodi yang merusak protein yang ada di taut neuromuscular
membran post sinaps. Antibodi yang merusak protein AChR dapat dideteksi pada 50% kasus
MG. Antibodi tersebut mengurani jumlah AChR dengan 3 mekanisme berikut (Sathasivam,
2014):
• antibodi anti-AChR mengikat dan mengadakan ikatan silang yang AChR, mengakibatkan
peningkatan endositosis dan degradasi dari AChR oleh sel otot;
• anti AChR mengikat komplemen di membran pos sinaptik, yang menyebabkan lisis fokus
dari post sinaps di taut neuromuskular
• penghancuran protein AchR terkait lainnya, seperti utrophin, RapSyn
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi miastenia gravis berkaitan dengan taut neuromuscular dan reseptor
asitelkolin yang ada disana. Sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu anatomi dan
fisiologi normal dari taut neuromuskular.
Taut neuromuskular adalah sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari membran
pre sinaps, celah sinaps, dan post sinaps. Elemen prasinaps berisi vesikel dengan
neurotransmitter asetilkolin. Saat impuls saraf mencapa taut neuromuskular, membran akson
mengalami depolarisasi sehingga mengeluarkan asetilkolin. Asetilkolin menyebrangi celah dan
menyatu dengan reseptor di pasca sinaps. Terjadi depolarisasi ujung lempeng potensial atau EPP.
Potensial aksi menyebabkan terjadinya kontraksi serabut otot. Begitu terjadi transmisi melewati
celah, asetilkolin akan dirusak oleh asetilkolinesterase (Price dan Wilson, 2009).
Sementara pada kasus miastenia, reseptor asetilkolin menurun karena adanya proses
autoimun (Trouth et al, 2012).
1. Antibodi Anti AChR
Mekansime dari antibodi Anti AChR menurunkan reseptor asetilkolin antara lain
(Sathasivam, 2014):
a. antibodi anti-AChR mengikat dan mengadakan ikatan silang yang AChR,
mengakibatkan peningkatan endositosis dan degradasi dari AChR oleh sel otot;
b. anti AChR mengikat komplemen di membran pos sinaptik, yang menyebabkan
lisis fokus dari post sinaps di taut neuromuskular
c. penghancuran protein AchR terkait lainnya, seperti utrophin, RapSyn
2. Peranan dari sel CD4+
Antibodi Anti AChR memiliki afinitas yang kuat dengan IgG dan membutuhkan aktivasi
dari sel CD4+ dalam sintesisnya. Sehingga, dari mekanisme molecular tersebut sudah
dikembangkan pengobatan terbaru dengan antibodi anti CD4+ dan diketahui memiliki
efek terapeutik yang baik (Trouth et al, 2012).
Gambar 2.1 A. Kondisi Normal Fisiologi pada Taut Neuromuskular B. Miastenia
Gravis
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala utama dari MG adalah kelemahan otot yang sifatnya berfluktuasi, memburuk
dengan aktivitas berulang dan membaik dengan istirahat. Kelemahan ini diperparah oleh paparan
panas, infeksi, dan stress. Sifat yang berfluktuasi ini yang membedakan MG dari gangguan lain
dengan gejala kelemahan otot. Biasanya kelemahan melibatkan otot rangka tertentu. Kelemahan
umumnya mata, bulbar, ekstremitas atas dan leher, dan dalam beberapa pasien, melibatkan otot-
otot pernapasan. Pada pasien dengan MG, kelemahan ringan 26%, sedang 36%, dan berat di
39%, serta diikuti dengan disfagia, dan menurunnya kapasitas vital (Trouth et al, 2012).
Gambar 2.2 Distribusi otot yang mengalami kelemahan pada Miastenia Gravis
Kelemahan otot okular adalah yang gejala awal MG, terjadi pada 85% pasien. Hal ini
akan berkembang pada 50% pasien ini dalam dua tahun menjadi ptosis dan diplopia atau kadang-
kadang penglihatan kabur. Ptosis dapat unilateral atau bilateral. Ptosis dapat cukup parah untuk
benar-benar menutup penglihatan jika terjadi bilateral. otot ekstraokular yang paling umum
terlibat adalah rektus medial (Trouth et al, 2012).
Gambar 2.3 Ptosis
Keterlibatan otot bulbar dapat dilihat pada 60% pasien. Gejala disfagia dan diasartria
merupakan gejala awal di 15% pasien. Kelemahan yang melibatkan otot pernapasan jarang
terjadi dalam 2 tahun pertama onset. Kelemahan otot pernapasan dapat menyebabkan krisis
miastenia yang dapat mengancam kehidupan, membutuhkan ventilasi mekanis dan NGT (Trouth
et al, 2012).
Selain itu timus diduga memainkan patogen penting peran dalam anti-AChR antibodi-
positif MG, dengan hiperplasia timus adadi 65% persen kasus dan thymoma 10 %. Selanjutnya,
MG terjadi di 30 persen dari pasien dengan timoma sebagai paraneoplastic sebuah phenomenon.
Beberapa bukti bahwa timus sebagai tempat utama terjadinya autosensitisasi(Sathasivam, 2014).
2.5 Klasfikasi MG
MG diklasifikasikan menjadi subtype berikut untuk menentukan prognosis dan respon
terhadap terapi (Trouth et al, 2012):
a. Early onset MG: usia saat onset <50 tahun. timus hiperplasia, biasanya
perempuan
b. Late onset MG: usia saat onset> 50 tahun. Atrofi timus, terutama laki-laki
c. thymoma terkait MG (10% -15%)
d. MG dengan antibodi anti-Musk
e. Ocular MG (OMG): gejala hanya mempengaruhi ekstraokular otot,
f. MG tanpa AChR dan Musk yang terdeteksi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Trouth et al, 2012):
Kelas I MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) kelemahan otot okular.
(ii) mungkin memiliki kelemahan penutupan mata.
(iii) semua kekuatan otot lainnya normal.
Kelas II MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) kelemahan mempengaruhi otot ringan selain okular otot,
(ii) mungkin juga memiliki kelemahan ocularmuscle keparahan apapun.
Kelas IIa MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) terutama mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah dari orofaringeal otot.
Kelas IIb MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) terutama mempengaruhi orofaringeal, pernafasan otot, atau keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah atau sama anggota badan, otot
aksial, atau keduanya.
Kelas III MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) sedang kelemahan mempengaruhi otot-otot lain selain otot okular,
(ii) mungkin juga memiliki kelemahan ocularmuscle keparahan apapun.
Kelas IIIa MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) terutama mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah dari orofaringeal otot.
Kelas IIIb MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) terutama mempengaruhi orofaringeal, pernafasan otot, atau keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah atau sama anggota badan, otot
aksial, atau keduanya.
Kelas IV MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) kelemahan mempengaruhi otot-otot yang parah selain okular otot,
(ii) mungkin juga memiliki kelemahan ocularmuscle keparahan apapun.
Kelas IVa MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) terutama mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah dari orofaringeal otot.
Kelas IVb MG ditandai dengan gejala berikut:
(I) terutama mempengaruhi orofaringeal, pernafasan otot atau keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah atau sama anggota badan, otot
aksial, atau keduanya.
Kelas V MG ditandai dengan berikut:
(I) intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik, kecuali bila digunakan selama pasca
operasi rutin manajemen,
(ii) penggunaan tabung pengisi tanpa intubasi menempatkan pasien di kelas IVb.
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik. Anamnesis gejala
utama yang muncul misalnya kelelahan otot yang sifatnya fluktuatif yang mengenai otot
ekstraokular dan bulbar. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
a. Tes Ensilon
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon
disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak
mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang
lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat. Ketika didapatkan hasil positif, perlu didapatkan diagnosis banding dengan
sindrom miastenia , tetapi perbedaannya sindrom miastenia penyebabnya berkaitan
dengan proses patologis (Price dan Wilson, 2009). Sensitivitas tes edrophonium telah
diperkirakan sekitar 86% untuk MG okular dan 95% untuk MG secara umum. Hasil
positif palsu mungkin terjadi pada kondisi neurologis lainnya termasuk lesi pada LMN
dan tumor batang otak (Juel dan Massay, 2008).
b. RNS
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi. Pada MG, ketika RNS
dilakukan di tangan dan di otot bahu, secara keseluruhan sensitivitas sekitar 60%. RNS
relatif lebih sensitif di MG generalisata dan relatif kurang sensitif di MG okular (Juel dan
Massay, 2008).
c. SFEMG (Single Fiber Electromyography)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber,
yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG
dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih
serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatufiber density (jumlah potensial
aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG adalah tes
diagnostik yang paling sensitif untuk mendeteksi gangguan transmisi neuromuskuler
(Juel dan Massay, 2008).
d. Tes Serologi
Tes yang dilakukan untuk mengetahui antibody Anti AChR, Anti-muscle-specific kinase
(MuSK) antibodies dan Antistriated muscle (anti-SM) antibody.
2.7 Tata Laksana
Antikolinesterase dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada
miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Berikut terapi untuk miastenia gravis (Gilhus et al, 2011).
a. Terapi untuk keadaan akut
• Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon
dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Terapi ini paling efektif
digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek menjadi prioritas. Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang
mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi
setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan
kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul
pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek
samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang
dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada
berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal
itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya
perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.
• Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat
dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar
3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan
beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi
awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-
asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,
mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
• Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon,
maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak
ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien
menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien
lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam
waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisis
akan dipertimbangkan apabila terapi lain gagal atau tidak dapat digunakan.
Gambar 2.4 Alur Terapi Miastenia Gravis
b. Terapi medikamentosa
• Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai
tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30
mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi.
• Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine
dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki
efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.
Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik
oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant
lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan
dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
• Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-
helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi
dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
• Cyclophosphamide (CPM)CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada
proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis
imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi
antibodi dibandingkan obat lainnya.
2.8 Prognosis dan Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada MG adalah krisis, pasien dikatakan mengalami krisis
jika tidak mampu menelan, membersihkan secret, atau bernapas secara adekuat. Dua jenis krisis
adalah krisis miastenik dan krisis kolinergik. Krisis miastenik ketika pasien membutukan lebih
banyak obat antikolinesterase dan krisis kolinergik terjadi akibat kelebihan obat antikolinesterase
(Price dan Wilson, 2009).
BAB III
PENUTUP
Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Patogenesis
penyakit ini karena adanya gangguan pada taut neuromuskular. Sebelum memahami tentang
miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari taut neuromuskular
sangatlah penting. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran
otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk taut neuromuscular.
Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun
dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik
pada kesembuhan miastenia gravis
DAFTAR PUSTAKA
Gilhus et al. (2011). “Myasthenia Gravis: A Review of Available Treatment Approaches”. Hindawi Publishing Corporation
Gold,C.S., Toyka,K.V. (2007). “Myasthenia Gravis: Pathogenesis and Immunotherapy”. Dtsch
Arztebl Vol.104 No.7: pp: 420–6 .
Juel,V.C., Massay, J.M. (2008). “Myasthenia gravis”. Orphanet Journal of Rare Diseases Vol 2
No. 44
Price,S.A., Wilson, L. M. (2009). Bab Gangguan Neurologis dengan Simptomatologi
Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Sathasivam, S., (2014).” Diagnosis and management of myasthenia gravis”. Progress in
Neurology and Psychiatry.
Trouth et al. (2012). Myasthenia Gravis: A Review. Hindawi Publishing Corporation