referat ns
TRANSCRIPT
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom nefrotik adalah penyakit/sindroma yang mengenai glomerulus,
ditandai proteinuria masif, hipoalbuminemia dan edema disertai hiperlipidemia
dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang didapat hipertensi, hematuria dan
penurunan fungsi ginjal. 1 Sindroma nefrotik yang tidak menyertai penyakit
sistemik disebut sindrom nefrotik primer dan bila timbul sebagai bagian dari
penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sebagai
sindron nefrotik sekunder.
Insidens penyakit sindroma nefrotik primer ini 2 kasus pertahun tiap
100.000 anak berumur kurang clari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif
16 tiap 100.000 anak kurang dad 14 tahun. Rasio antara lelaki clan perempuan
pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan duapertiga kasus
anak dengan SN dijumpai pada anak umur kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hal
tersebut, berikut ini akan dibahas mengenai sindrom nefrotik.
B. Tujuan penulisan1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami sindrom nefrotik
2. Tujuan khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan sindrom nefrotik
BAB II. SINDROM NEFROTIK
A. Definisi
Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik yang terdiri dari
edema, proteinuria masif (≥40mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu >2.5mg/mg atau BANG/DIPSTIX ≥2+), hipoproteinemia (<2.5g/dL)
dan dengan atau tanpa disertai hiperlidipemia dan hiperkolesterolemia.
Beberapa definisi atau batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik adalah :
Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respon awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
Relaps sering : relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon
awal atau ≥4 kali dalam periode 1 tahun.
Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut.
Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh 2 mg/kg BB/hari selama 4 minggu. 4
B. Epidemiologi
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada
anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-
85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan
laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak
nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan
laki-laki dan wanita 2 : 1.
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada
dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa
terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.2
C. Etiologi dan klasifikasi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom
nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat
kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling
sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah
sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang
ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan
menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in
Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini
menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak
berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International
Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping
obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital
b. Infeksi
c. Toksin dan alergen
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik
e. Neoplasma.3
Dasar Klasifikasi KeteranganEtiologi1. Sindrom Nefrotik PRIMER * umumnya idiopatik
* penyakit terbatas hanya di dalam ginjal / glomerulus* diduga ada hubungan dengan genetik, imunologi, dan alergi
2. Sindrom Nefrotik SEKUNDER * berasal dari luar ginjal; jarang dijumpai* tersering : Lupus Eritematosus Sistemik, Henoch Schonlein Purpura
Histopatologi1. Sindrom Nefrotik Perubahan Minimal
* 60 - 90 % dari seluruh kasus SN pada anak
* lebih banyak pada anak daripada dewasa* dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal* prognosis lebih baik
2. Sindrom Nefrotik Perubahan Non-minimal
* 10 - 15 % dari seluruh kasus SN pada anak
* prognosis kurang baika. Fokal dan segmental glomerulosklerosisb. membranoproliferatif glomerulonefritisc. proliferasi mesangial difusad. membranus glomerulonefritis
Respon terhadap Steroid1. Steroid responsive * Remisi terjadi setelah pemberian steroid selama 4 minggu2. Non-steroid responsive *Remisi tidak terjadi dengan pengobatan steroid selama 4
minggu,sehingga memerlukan pengobatan alternatif4
D. Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) massif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik., namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan
akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula
oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein
sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar
lipid kembali normal.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang
memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi
natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar
natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini
dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder
karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik
menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori
overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.3
E. Gejala Klinis
Gejala klinis yang utama dan sering adalah timbulnya oedem yang
mendadak, bersifat umum dan distribusinya berdasarkan daya gravitasi. Oedem
periorbital pada saat bangun tidur biasanya merupakan gejala awal, yang hilang
setelah siang dan sore hari, digantikan oleh oedem ekstremitas bawah. Keadaan
oedem periorbital ini akan berlangsung beberapa minggu dan biasanya tidak cepat
dibawa untuk berobat karena merasa bengkak kelopak mata tersebut suka hilang
pada siang dan sore harinya, bahkan seorang dokter yang memeriksa pun
menganggap keadaan itu sebagai suatu reaksi alergi dan baru sadar apabila oedem
ini sudah meluas ke seluruh tubuh4.
Timbulnya efusi serosa (transudat) berupa asites atau hidrotoraks. Asites
bisa terjadi tanpa adanya oedem hebat terutama pada anak kecil dan bayi di mana
jaringan interstitial lebih resisten terhadap pembentukan oedem daripada anak
yang lebih besar. Oedem yang hebat di seluruh tubuh disebut oedem Anasarca,
dapat disertai oedem skrotal dan oedem vulva. Suatu trauma kecil pada kulit yang
mengalami peregangan karena oedem, mudah menimbulkan pecahnya bagian
kulit tersebut dan tampak cairan keluar.
Timbulnya oedem mendadak dan pada 30% diawali dengan adanya infeksi
virus atau bakteri, umumnya infeksi saluran nafas. Pada penderita sindrom
nefrotik yang mengalami relaps sebanyak 70% diawali dengan infeksi virus.
Dengan timbulnya oedem, diuresis menjadi berkurang dan tampak kental
dan keruh.
Tekanan darah umumnya normal, akan tetapi hipertensi ringan dapat
menyertai sebanyak 15%. Kenaikan tekanan darah ini disebabkan adanya
pelepasan renin yang tinggi sebagai respon terhadap hipovolemi.4
F. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Urine
o Proteinuria masif
Proteinuria bisa diperiksa secara kualitatif dengan pemeriksaan bang atau
dipstik (+2) atau secara kuantitatif dengan pemeriksaan esbach atau
penghitungan rasio protein kreatinin urin1.Pengertian proteinuria masif
adalah bila terdapat protein dalam urin : >40 mg/m2/jam atau >2 g/24 jam
atau >50 mg/kgBB/24 jam rasio protein kreatinin urin sewaktu (urin pagi)
>2,5.
o Protein selektivitas
Pada sindrom nefrotik perubahan minimal biasanya bersifat selektif, yaitu
proteinuria kebanyakan terdiri dari albumin yang mempunyai berat
molekul rendah. Bila proteinuri terdiri dari protein dengan berat molekul
tinggi disebut bersifat tidak selektif1.Selektifitas proteinuri dapat diukur
dengan pemeriksaan kadar transferin (berat molekul rendah) dan kadar
IgG (berat molekul tinggi) di dalam urin dan plasma.
Rasio = (transferin urin : IgG plasma) : (IgG urin : transferin plasma)
o <0,1 = selektif
o >0,2 = tidak selektif
o Hematuri
Pada 15% penderita sindrom nefrotik perubahan minimal bisa terdapat
hematuri mikroskopik sementara. Adanya hematuri mikroskopik yang
terus-menerus disertai dengan adanya eri kast dan granuler kast merupakan
petunjuk penyebab kronik glomerulonefritis (sindrom nefrotik non
minimal) atau adanya trombosis vena renalis.
Pemeriksaan Darah
o Hipoalbuminemia
Yang dimaksud dengan hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik pada anak
adalah bila kadar albumin plasma kurang dari 3 gr%. Odema pada
kebanyakan sindrom nefrotik baru terjadi apabila kadar albumin plasma
kurang dari 2,7 gr%.. selain penurunan albumin plasma, juga terdaapat
penurunan kadar IgG dan alfa-1-globulin, dan di pihak lain terjadi
kenaikan IgM, alfa-2-globulin, beta-globulin, fibrinogen, dan IgE. Bila
kadar albumin sangat rendah (<1,2 gr%) akan terjadi hipovolemia berat
dengan gejala “hipotensi orthostatik”, sakit perut, muntah, dan diare1.
o Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia.
Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan konsentrasi total kolesterol
low density dan very low densiti lipoprotein, sedangkan high density
lipoprotein biasanya dalam batas normal. Hal ini disebabkan oleh:
o peningkatan sintesis lipoprorein, yang dirangsang oleh adanya
hipoalbuminemia atau penurunan tekanan onkotik
o penurunan klirens lipid dari sirkulasi
Ureum, kreatinin dan elektrolit
Konsentrasi ureum dan kreatinin plasma biasanya normal, kadang-
kadang sedikit meningkat akibat adanya hipovolemi dan gangguan perfusi
ginjal (prerenal azotemia). Pada glomerulonefritis kronik dapat
menimbulkan penurunan fungsi ginjal/gagal ginjal.
Elektrolit umumnya normal, kadang-kadang dijumpai hiponatremi
akibat hemodilusi atau pemberian diuretik hebat pada keadaan
hipovolemi.4
H. Diagnosis
Ditemukan gejala berikut:
Edema
Diuresis,
Normotension,
Pada Pemeriksaan:
edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia.
Pemeriksaan Urine:
Proteinuria massif : > 40 mg/jam/m2 atau >2 g/24 jam atau >50
mg/kgBB/24 jam rasio protein kreatinin urin sewaktu (urin pagi) >2,5.
Pemeriksaan Darah :
Hipoalbuminemia
Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia. 1
Diagnosis banding:
1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal.
2. Lupus sistemik eritematosus.4
I. Penatalaksanaan
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan
steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif
diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya
dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi
muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan
dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak
boleh sekolah.
o Dietetik
Pada anak normal protein diberikan sebanyak 3-3,5 gr/kg BB/hari. Pada
sindrom nefrotik tidak direkomendasikan pemberian protein di atas jumlah
tersebut karena ada bukti-bukti bahwa pemberian protein tinggi malah
dapat mempercepat terjadi gagal ginjal pada penyakit yang kronis.
Diet rendah garam, 1-2 gr/hari selama edema. Bila dengan diet rendah
garam anak kehilangan nafsu makan masih direkomendasikan diberikan
makan normal, tanpa garam di atas meja atau makanan asin lainnya.
Sebaiknya sebanyak kurang dari 35% kalori berasal dari lemak untuk
mencegah obesitas selama terapi steroid dan mengurangi
hiperkolesterolemi.
o Albumin dan diuretik
Pemberian albumin harus selektif, yaitu hanya diberikan bila:
o Ada hipovolemi hebat dengan gejala postural hipotensi, sakit perut,
muntah dan diare.
o Sesak dan oedem hebat disertai oedem pada skrotum dan labia.
Dosis albumin adalah 0,5-1 gr/kg BB iv, diberikan dalam 2-4 jam,
diikuti oleh pemberian furosemid 1-2 mg/kg BB iv. Bisa diberikan
sehari 2 kali dan bila diperlukan bisa diberikan dalam beberapa
hari
o Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila
perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diuretik hemat kalium) 2-3 mg/ kgBB/hari. Pada pemakaian
diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan
elektrolit darah (kalium dan natrium).
o Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema
refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (kadar albumin < 1 g/dL), dapat diberikan
infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/ kgBB. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20
ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari
untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah
overload cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan
penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain lain. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat
dilakukan pungsi asites berulang.
.
o Kortikosteroid
a. Pengobatan inisial.
Obat yang dipakai adalah prednison dan prednisolon. Rezim
pengobatan dengan prednison secara luas dipakai standar ISCKD
( International Study of Kidney Disease of Children), yaitu:
o 4 minggu pertama: prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari
(2mg/kgBB) dibagi dalam 3-4 dosis sehari. Dosis ini diteruskan
selama 4 minggu (28 hari) tanpa memperhitungkan adanya remisi
atau tidak (maksimum 80 mg/hari)
o 4 minggu kedua : prednison diteruskan dengan dosis 40
mg/m2/hari, diberikan dengan cara “intermitent”, yaitu 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu dengan dosis tunggal setelah makan
pagi dan “alternate”, yaitu selang sehari dengan dosis tunggal
setelah makan pagi.
o “Tappering-off” : prednison berangsur-angsur diturunkan tiap
minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg/m2/hari, diberikan secara
“intermitent” atau “alternate”.
o Bila terjadi relaps, pengobatan diulangi dengan cara yang sama.
o Bila ada TB diberikan bersama dengan antituberkulosis.
b. Pengobatan relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi
sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% di antaranya mengalami
relaps sering. Pada pengobatan relaps diberikan prednison dosis penuh sampai
remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating
selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria > 2+ kembali tetapi tanpa
edema, sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dulu dicari pemicunya,
biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria > 2+
disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps.
c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Dahulu pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan
pengobatan steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid
(CPA), tetapi sekarang dalam literatur ada 4 opsi:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, atau
cacingan.
1. Steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka
panjang dapat dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek
samping steroid yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps
sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh,
diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps yaitu antara 0,1 - 0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5 mg/kgBB dan anak
usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.
Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgBB alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/ kgBB, selang sehari, selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan CPA.
Bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg tetapi disertai
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis.
Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12
minggu.
2. Levamisol
Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih
diragukan. Efek samping levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia
reversibel.
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang
sehari, selama 4-12 bulan.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering dipakai pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) dosis 2-3 mg/kgBB atau klorambusil dosis 0,2-0,3
mg/kgBB/hari, selama 8 minggu. Sitostatika dapat mengurangi relaps sampai
lebih dari 50%, yaitu 67-93% pada tahun pertama, dan 36-66% selama 5 tahun.
APN melaporkan pemberian CPA selama 12 minggu dapat mempertahankan
remisi lebih lama daripada pemberian CPA selama 8 minggu, yaitu 67%
dibandingkan 30%, tetapi hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.
Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps
sering (70%) daripada SN dependen steroid (30%). Efek samping sitostatika
antara lain depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan
dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu
pemantauan pemeriksaan darah tepi seperti kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
1-2 kali seminggu. Bila jumlah leukosit kurang dari 3.000/uL, kadar hemoglobin
kurang dari 8 g/dL, atau jumlah trombosit kurang dari 100.000/uL, sitostatik
dihentikan sementara, dan diteruskan kembali bila jumlah leukosit lebih dari
5.000/uL, hemoglobin lebih dari 8 g/dL, dan trombosit lebih dari 100.000/uL
Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai >
200-300 mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total
180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak. CPA dapat diberikan secara oral
atau puls, baik pada SN relaps sering atau dependen steroid.
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 5 mg/ kgBB/hari.
Pada SN relaps sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan
mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau
dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen
siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada
SN resisten steroid.
d. Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Kebanyakan publikasi dalam literatur tidak dengan subyek kontrol. Sebelum
pengobatan dimulai, pada pasien SNRS sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk
melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi
tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil
lebih baik bila hasil biopsy ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Demikian
pula hasil pengobatan pada SNRS nonresponder kasep lebih baik daripada SNRS
sejak awal (initial non responden).
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi
pada 20% pasien. Bila terjadi relaps kembali setelah pemberian CPA, meskipun
sebelumnya merupakan SN resisten steroid, dapat dicoba lagi pengobatan relaps
dengan prednison, karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif lagi.
Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid kembali, dapat diberikan
siklosporin, bila pasien mampu.
CPA puls dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik daripada CPA
oral, tetapi jumlah kasus yang dilaporkan hanya sedikit. Yang jelas dosis
kumulatif pada pemberian CPA puls lebih kecil daripada CPA oral, dan efek
sampingnya lebih sedikit, tetapi karena harga CPA puls lebih mahal maka
pemakaiannya di Indonesia masih selektif.
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA antara lain hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan
terhadap:
1. Kadar CyA dalam serum (dipertahankan antara 100-200 ug/mL)
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal berkala setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat ini mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.
3. Metil-prednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan
metilprednisolon puls selama 82 minggu bersamaan dengan prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Pada pengamatan selama 6 tahun,
21 dari 32 penderita (66%) tetap menunjukkan remisi total dan gagal ginjal
terminal hanya ditemukan pada 5% dibandingkan 40% pada kontrol, tetapi hasil
ini tidak dapat dikonfirmasi oleh laporan penelitian lainnya. Di samping itu efek
samping metil prednisolon puls juga banyak, sehingga pengobatan dengan cara ini
agak sukar untuk direkomendasikan di Indonesia.
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah dipakai pada SNRS adalah
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur
yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini
belum direkomendasikan di Indonesia.
Pemberian non imunosupresif untuk mengurangi proteinuria
Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik,
dan siklosporin (atau tidak mampu membeli obat ini), dapat diberikan diuretik
(bila ada edema) dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensin converting
enzyme) untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah
kaptopril 0,3 mg/kgBB, 3 x sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari, dibagi 2
dosis.
Sebuah penelitian secara random dengan pemberian enalapril 0,2
mg/kgBB/hari dan 0,6 mg/kgBB/hari selama 8 minggu dapat menurunkan
proteinuria 33% dan 52%. Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk
menghambat terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif).7
J. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.3
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di
antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi
dengan pengobatan steroid.3
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik yang terdiri dari
edema, proteinuria masif (≥40mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu >2.5mg/mg atau BANG/DIPSTIX ≥2+), hipoproteinemia (<2.5g/dL)
dan dengan atau tanpa disertai hiperlidipemia dan hiperkolesterolemia. Gejala
klinis yang utama dan sering adalah timbulnya oedem yang mendadak, bersifat
umum dan distribusinya berdasarkan daya gravitasi.
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak
mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Pemeriksaan Penunjan
berupa pemeriksaan Urine, darah, ureum kreatinin dan eleektrolit.
Penatalaksanaannya tidak perlu pembatasan aktivitas bila penderita
menginginkan, dietetic, albumin, diuretic, dan Kortikosteroid. Pada umumnya
sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik
terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan
relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid.
Daftar Pustaka
1. Gama, Henry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi edisi Ke-3 Ilmu
Kesehatan Anak. Bandung: FK UNPAD.
2. Gunawan, Carta W. 2006. Sindrom nefrotik patogenesis dan pelaksanaan.
Jakarta: CDK no.50
3. Noer, Sjaifullah Muhammad dan Ninik soemyarso. Sindrom Nefrotik.
Diakses dari www.pediatrik.com tanggal 26 Juni 2011.
4. Singadipoera, B.S. 1996. Nefrologi Anak. Bandung : Bag/SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSHS.
5. Robert M. Kliegman and friends. 2006. Nelson Essentials of Pediatrics,
5th edition, Elsevier Saunders, USA.
6. Wirya, IGN. Sindrom Nefrotik. Dalam : Buku Ajar Nefrologi Anak.
Alatas dkk. Jakarta : IDAI. 2002.
7. Alatas, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002
8. Noer, Sjaifullah Muhammad,dkk.2011.Kompendium Nefrologi Anak