referat ns

29
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom nefrotik adalah penyakit/sindroma yang mengenai glomerulus, ditandai proteinuria masif, hipoalbuminemia dan edema disertai hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang didapat hipertensi, hematuria dan penurunan fungsi ginjal. 1 Sindroma nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer dan bila timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sebagai sindron nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindroma nefrotik primer ini 2 kasus pertahun tiap 100.000 anak berumur kurang clari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak kurang dad 14 tahun. Rasio antara lelaki clan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan duapertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada anak umur kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hal tersebut, berikut ini akan dibahas mengenai sindrom nefrotik. B. Tujuan penulisan 1. Tujuan umum Mahasiswa dapat memahami sindrom nefrotik 2. Tujuan khusus

Upload: romi-uye-mikron

Post on 16-Apr-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Ns

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom nefrotik adalah penyakit/sindroma yang mengenai glomerulus,

ditandai proteinuria masif, hipoalbuminemia dan edema disertai hiperlipidemia

dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang didapat hipertensi, hematuria dan

penurunan fungsi ginjal. 1 Sindroma nefrotik yang tidak menyertai penyakit

sistemik disebut sindrom nefrotik primer dan bila timbul sebagai bagian dari

penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sebagai

sindron nefrotik sekunder.

Insidens penyakit sindroma nefrotik primer ini 2 kasus pertahun tiap

100.000 anak berumur kurang clari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif

16 tiap 100.000 anak kurang dad 14 tahun. Rasio antara lelaki clan perempuan

pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan duapertiga kasus

anak dengan SN dijumpai pada anak umur kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hal

tersebut, berikut ini akan dibahas mengenai sindrom nefrotik.

B. Tujuan penulisan1. Tujuan umum

Mahasiswa dapat memahami sindrom nefrotik

2. Tujuan khusus

Mahasiswa dapat menjelaskan sindrom nefrotik

Page 2: Referat Ns

BAB II. SINDROM NEFROTIK

A. Definisi

Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik yang terdiri dari

edema, proteinuria masif (≥40mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada

urin sewaktu >2.5mg/mg atau BANG/DIPSTIX ≥2+), hipoproteinemia (<2.5g/dL)

dan dengan atau tanpa disertai hiperlidipemia dan hiperkolesterolemia.

Beberapa definisi atau batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik adalah :

Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4mg/m2 LPB/jam) 3

hari berturut-turut dalam 1 minggu.

Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari

berturut-turut dalam 1 minggu.

Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama

setelah respon awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.

Relaps sering : relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon

awal atau ≥4 kali dalam periode 1 tahun.

Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau

dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali

berturut-turut.

Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis

penuh 2 mg/kg BB/hari selama 4 minggu. 4

B. Epidemiologi

Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada

anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-

85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan

laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak

nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan

laki-laki dan wanita 2 : 1.

Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada

dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa

terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.2

Page 3: Referat Ns

C. Etiologi dan klasifikasi

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom

nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat

kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling

sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah

sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang

ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan

menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in

Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui

pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan

pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini

menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak

berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International

Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971). 

Tabel  1.  Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3

            Kelainan minimal (KM)

            Glomerulosklerosis (GS)

                        Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

                        Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)

            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif

            Glomerulonefritis kresentik (GNK)

            Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

                        GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

                        GNMP tipe II dengan deposit intramembran

                        GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial

            Glomerulopati membranosa (GM)

            Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,

Page 4: Referat Ns

Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom

nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe

kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.

2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik

atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping

obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :

a.   Penyakit metabolik atau kongenital

b.   Infeksi

c.   Toksin dan alergen

d.   Penyakit sistemik bermediasi imunologik

e.   Neoplasma.3

Dasar Klasifikasi KeteranganEtiologi1. Sindrom Nefrotik PRIMER * umumnya idiopatik

* penyakit terbatas hanya di dalam ginjal / glomerulus* diduga ada hubungan dengan genetik, imunologi, dan alergi

2. Sindrom Nefrotik SEKUNDER * berasal dari luar ginjal; jarang dijumpai* tersering : Lupus Eritematosus Sistemik, Henoch Schonlein Purpura

Histopatologi1. Sindrom Nefrotik Perubahan Minimal

* 60 - 90 % dari seluruh kasus SN pada anak

* lebih banyak pada anak daripada dewasa* dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal* prognosis lebih baik

2. Sindrom Nefrotik Perubahan Non-minimal

* 10 - 15 % dari seluruh kasus SN pada anak

* prognosis kurang baika. Fokal dan segmental glomerulosklerosisb. membranoproliferatif glomerulonefritisc. proliferasi mesangial difusad. membranus glomerulonefritis

Respon terhadap Steroid1. Steroid responsive * Remisi terjadi setelah pemberian steroid selama 4 minggu2. Non-steroid responsive  *Remisi tidak terjadi dengan pengobatan steroid selama 4

minggu,sehingga memerlukan pengobatan alternatif4

D. Patofisiologi

Page 5: Referat Ns

Proteinuria (albuminuria) massif merupakan penyebab utama terjadinya

sindrom nefrotik., namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.

Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang

biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.

Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif

tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan

akibat utama dari  proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar

albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan

konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula

oleh penurunan aktivitas degradasi lemak  karena hilangnya a-glikoprotein

sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik

secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar

lipid kembali normal.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma

intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus

dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan

edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan

stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini

timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan

intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan

pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma

yang pada akhirnya  mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang

memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi

natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar

natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini

dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder

karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik

menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru

memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin

plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori

Page 6: Referat Ns

overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme

intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi

natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan

ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke

dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan  volume

plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron  rendah sebagai

akibat hipervolemia.

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang

dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill  berlangsung

bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena

patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi

rangsangan yang lebih dari satu.3

E. Gejala Klinis

Gejala klinis yang utama dan sering adalah timbulnya oedem yang

mendadak, bersifat umum dan distribusinya berdasarkan daya gravitasi. Oedem

periorbital pada saat bangun tidur biasanya merupakan gejala awal, yang hilang

setelah siang dan sore hari, digantikan oleh oedem ekstremitas bawah. Keadaan

oedem periorbital ini akan berlangsung beberapa minggu dan biasanya tidak cepat

dibawa untuk berobat karena merasa bengkak kelopak mata tersebut suka hilang

pada siang dan sore harinya, bahkan seorang dokter yang memeriksa pun

menganggap keadaan itu sebagai suatu reaksi alergi dan baru sadar apabila oedem

ini sudah meluas ke seluruh tubuh4.

Timbulnya efusi serosa (transudat) berupa asites atau hidrotoraks. Asites

bisa terjadi tanpa adanya oedem hebat terutama pada anak kecil dan bayi di mana

jaringan interstitial lebih resisten terhadap pembentukan oedem daripada anak

yang lebih besar. Oedem yang hebat di seluruh tubuh disebut oedem Anasarca,

dapat disertai oedem skrotal dan oedem vulva. Suatu trauma kecil pada kulit yang

mengalami peregangan karena oedem, mudah menimbulkan pecahnya bagian

kulit tersebut dan tampak cairan keluar.

Page 7: Referat Ns

Timbulnya oedem mendadak dan pada 30% diawali dengan adanya infeksi

virus atau bakteri, umumnya infeksi saluran nafas. Pada penderita sindrom

nefrotik yang mengalami relaps sebanyak 70% diawali dengan infeksi virus.

Dengan timbulnya oedem, diuresis menjadi berkurang dan tampak kental

dan keruh.

Tekanan darah umumnya normal, akan tetapi hipertensi ringan dapat

menyertai sebanyak 15%. Kenaikan tekanan darah ini disebabkan adanya

pelepasan renin yang tinggi sebagai respon terhadap hipovolemi.4

F. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua

kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia.

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Urine

o Proteinuria masif

Proteinuria bisa diperiksa secara kualitatif dengan pemeriksaan bang atau

dipstik (+2) atau secara kuantitatif dengan pemeriksaan esbach atau

penghitungan rasio protein kreatinin urin1.Pengertian proteinuria masif

adalah bila terdapat protein dalam urin : >40 mg/m2/jam atau >2 g/24 jam

atau >50 mg/kgBB/24 jam rasio protein kreatinin urin sewaktu (urin pagi)

>2,5.

o Protein selektivitas

Pada sindrom nefrotik perubahan minimal biasanya bersifat selektif, yaitu

proteinuria kebanyakan terdiri dari albumin yang mempunyai berat

molekul rendah. Bila proteinuri terdiri dari protein dengan berat molekul

tinggi disebut bersifat tidak selektif1.Selektifitas proteinuri dapat diukur

dengan pemeriksaan kadar transferin (berat molekul rendah) dan kadar

IgG (berat molekul tinggi) di dalam urin dan plasma.

Rasio = (transferin urin : IgG plasma) : (IgG urin : transferin plasma)

o <0,1 = selektif

o >0,2 = tidak selektif

Page 8: Referat Ns

o Hematuri

Pada 15% penderita sindrom nefrotik perubahan minimal bisa terdapat

hematuri mikroskopik sementara. Adanya hematuri mikroskopik yang

terus-menerus disertai dengan adanya eri kast dan granuler kast merupakan

petunjuk penyebab kronik glomerulonefritis (sindrom nefrotik non

minimal) atau adanya trombosis vena renalis.

Pemeriksaan Darah

o Hipoalbuminemia

Yang dimaksud dengan hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik pada anak

adalah bila kadar albumin plasma kurang dari 3 gr%. Odema pada

kebanyakan sindrom nefrotik baru terjadi apabila kadar albumin plasma

kurang dari 2,7 gr%.. selain penurunan albumin plasma, juga terdaapat

penurunan kadar IgG dan alfa-1-globulin, dan di pihak lain terjadi

kenaikan IgM, alfa-2-globulin, beta-globulin, fibrinogen, dan IgE. Bila

kadar albumin sangat rendah (<1,2 gr%) akan terjadi hipovolemia berat

dengan gejala “hipotensi orthostatik”, sakit perut, muntah, dan diare1.

o Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia.

Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan konsentrasi total kolesterol

low density dan very low densiti lipoprotein, sedangkan high density

lipoprotein biasanya dalam batas normal. Hal ini disebabkan oleh:

o peningkatan sintesis lipoprorein, yang dirangsang oleh adanya

hipoalbuminemia atau penurunan tekanan onkotik

o penurunan klirens lipid dari sirkulasi

Ureum, kreatinin dan elektrolit

Konsentrasi ureum dan kreatinin plasma biasanya normal, kadang-

kadang sedikit meningkat akibat adanya hipovolemi dan gangguan perfusi

ginjal (prerenal azotemia). Pada glomerulonefritis kronik dapat

menimbulkan penurunan fungsi ginjal/gagal ginjal.

Page 9: Referat Ns

Elektrolit umumnya normal, kadang-kadang dijumpai hiponatremi

akibat hemodilusi atau pemberian diuretik hebat pada keadaan

hipovolemi.4

H. Diagnosis

Ditemukan gejala berikut:

Edema

Diuresis,

Normotension,

Pada Pemeriksaan:

edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema

skrotum/labia.

Pemeriksaan Urine:

Proteinuria massif : > 40 mg/jam/m2 atau >2 g/24 jam atau >50

mg/kgBB/24 jam rasio protein kreatinin urin sewaktu (urin pagi) >2,5.

Pemeriksaan Darah :

Hipoalbuminemia

Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia. 1

Diagnosis banding:     

1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal.

2. Lupus sistemik eritematosus.4

I. Penatalaksanaan

Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan

untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan

edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan

steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif

diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis

diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya

dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi

Page 10: Referat Ns

muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan

dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak

boleh sekolah.

o Dietetik

Pada anak normal protein diberikan sebanyak 3-3,5 gr/kg BB/hari. Pada

sindrom nefrotik tidak direkomendasikan pemberian protein di atas jumlah

tersebut karena ada bukti-bukti bahwa pemberian protein tinggi malah

dapat mempercepat terjadi gagal ginjal pada penyakit yang kronis.

Diet rendah garam, 1-2 gr/hari selama edema. Bila dengan diet rendah

garam anak kehilangan nafsu makan masih direkomendasikan diberikan

makan normal, tanpa garam di atas meja atau makanan asin lainnya.

Sebaiknya sebanyak kurang dari 35% kalori berasal dari lemak untuk

mencegah obesitas selama terapi steroid dan mengurangi

hiperkolesterolemi.

o Albumin dan diuretik

Pemberian albumin harus selektif, yaitu hanya diberikan bila:

o Ada hipovolemi hebat dengan gejala postural hipotensi, sakit perut,

muntah dan diare.

o Sesak dan oedem hebat disertai oedem pada skrotum dan labia.

Dosis albumin adalah 0,5-1 gr/kg BB iv, diberikan dalam 2-4 jam,

diikuti oleh pemberian furosemid 1-2 mg/kg BB iv. Bisa diberikan

sehari 2 kali dan bila diperlukan bisa diberikan dalam beberapa

hari

o Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya

diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila

perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,

diuretik hemat kalium) 2-3 mg/ kgBB/hari. Pada pemakaian

diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan

elektrolit darah (kalium dan natrium).

o Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema

refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau

Page 11: Referat Ns

hipoalbuminemia berat (kadar albumin < 1 g/dL), dapat diberikan

infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk

menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan

pemberian furosemid intravena 1-2 mg/ kgBB. Bila pasien tidak

mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20

ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk

mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila

diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari

untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah

overload cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan

penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain lain. Bila asites

sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat

dilakukan pungsi asites berulang.

.

o Kortikosteroid

a. Pengobatan inisial.

Obat yang dipakai adalah prednison dan prednisolon. Rezim

pengobatan dengan prednison secara luas dipakai standar ISCKD

( International Study of Kidney Disease of Children), yaitu:

o 4 minggu pertama: prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari

(2mg/kgBB) dibagi dalam 3-4 dosis sehari. Dosis ini diteruskan

selama 4 minggu (28 hari) tanpa memperhitungkan adanya remisi

atau tidak (maksimum 80 mg/hari)

o 4 minggu kedua : prednison diteruskan dengan dosis 40

mg/m2/hari, diberikan dengan cara “intermitent”, yaitu 3 hari

berturut-turut dalam 1 minggu dengan dosis tunggal setelah makan

pagi dan “alternate”, yaitu selang sehari dengan dosis tunggal

setelah makan pagi.

o “Tappering-off” : prednison berangsur-angsur diturunkan tiap

minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg/m2/hari, diberikan secara

“intermitent” atau “alternate”.

o Bila terjadi relaps, pengobatan diulangi dengan cara yang sama.

Page 12: Referat Ns

o Bila ada TB diberikan bersama dengan antituberkulosis.

b. Pengobatan relaps

Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi

sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% di antaranya mengalami

relaps sering. Pada pengobatan relaps diberikan prednison dosis penuh sampai

remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating

selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria > 2+ kembali tetapi tanpa

edema, sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dulu dicari pemicunya,

biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,

dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak

perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria > 2+

disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps.

c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

Dahulu pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan

pengobatan steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid

(CPA), tetapi sekarang dalam literatur ada 4 opsi:

1. Pemberian steroid jangka panjang

2. Pemberian levamisol

3. Pengobatan dengan sitostatik

4. Pengobatan dengan siklosporin (opsi terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, atau

cacingan.

1. Steroid jangka panjang

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka

panjang dapat dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek

samping steroid yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps

sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh,

diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan

perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan

relaps yaitu antara 0,1 - 0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis

threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.

Page 13: Referat Ns

Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5 mg/kgBB dan anak

usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.

Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgBB alternating,

tetapi < 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba

dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/ kgBB, selang sehari, selama 4-12

bulan, atau langsung diberikan CPA.

Bila ditemukan keadaan di bawah ini:

1. Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau

2. Dosis rumat < 1 mg tetapi disertai

a. Efek samping steroid yang berat

b. Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis.

Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12

minggu.

2. Levamisol

Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih

diragukan. Efek samping levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia

reversibel.

Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang

sehari, selama 4-12 bulan.

3. Sitostatika

Obat sitostatika yang paling sering dipakai pada pengobatan SN anak

adalah siklofosfamid (CPA) dosis 2-3 mg/kgBB atau klorambusil dosis 0,2-0,3

mg/kgBB/hari, selama 8 minggu. Sitostatika dapat mengurangi relaps sampai

lebih dari 50%, yaitu 67-93% pada tahun pertama, dan 36-66% selama 5 tahun.

APN melaporkan pemberian CPA selama 12 minggu dapat mempertahankan

remisi lebih lama daripada pemberian CPA selama 8 minggu, yaitu 67%

dibandingkan 30%, tetapi hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.

Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps

sering (70%) daripada SN dependen steroid (30%). Efek samping sitostatika

antara lain depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan

dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu

pemantauan pemeriksaan darah tepi seperti kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,

Page 14: Referat Ns

1-2 kali seminggu. Bila jumlah leukosit kurang dari 3.000/uL, kadar hemoglobin

kurang dari 8 g/dL, atau jumlah trombosit kurang dari 100.000/uL, sitostatik

dihentikan sementara, dan diteruskan kembali bila jumlah leukosit lebih dari

5.000/uL, hemoglobin lebih dari 8 g/dL, dan trombosit lebih dari 100.000/uL

Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai >

200-300 mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total

180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak. CPA dapat diberikan secara oral

atau puls, baik pada SN relaps sering atau dependen steroid.

4. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau

sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 5 mg/ kgBB/hari.

Pada SN relaps sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan

mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau

dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen

siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada

SN resisten steroid.

d. Pengobatan SN resisten steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.

Kebanyakan publikasi dalam literatur tidak dengan subyek kontrol. Sebelum

pengobatan dimulai, pada pasien SNRS sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk

melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi

tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil

lebih baik bila hasil biopsy ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Demikian

pula hasil pengobatan pada SNRS nonresponder kasep lebih baik daripada SNRS

sejak awal (initial non responden).

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi

pada 20% pasien. Bila terjadi relaps kembali setelah pemberian CPA, meskipun

sebelumnya merupakan SN resisten steroid, dapat dicoba lagi pengobatan relaps

dengan prednison, karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif lagi.

Page 15: Referat Ns

Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid kembali, dapat diberikan

siklosporin, bila pasien mampu.

CPA puls dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik daripada CPA

oral, tetapi jumlah kasus yang dilaporkan hanya sedikit. Yang jelas dosis

kumulatif pada pemberian CPA puls lebih kecil daripada CPA oral, dan efek

sampingnya lebih sedikit, tetapi karena harga CPA puls lebih mahal maka

pemakaiannya di Indonesia masih selektif.

2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total

sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.

Efek samping CyA antara lain hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,

hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi

tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan

terhadap:

1. Kadar CyA dalam serum (dipertahankan antara 100-200 ug/mL)

2. Kadar kreatinin darah berkala

3. Biopsi ginjal berkala setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam

literatur, tetapi karena harga obat ini mahal maka pemakaian CyA jarang atau

sangat selektif.

3. Metil-prednisolon puls

Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan

metilprednisolon puls selama 82 minggu bersamaan dengan prednison oral dan

siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Pada pengamatan selama 6 tahun,

21 dari 32 penderita (66%) tetap menunjukkan remisi total dan gagal ginjal

terminal hanya ditemukan pada 5% dibandingkan 40% pada kontrol, tetapi hasil

ini tidak dapat dikonfirmasi oleh laporan penelitian lainnya. Di samping itu efek

samping metil prednisolon puls juga banyak, sehingga pengobatan dengan cara ini

agak sukar untuk direkomendasikan di Indonesia.

4. Obat imunosupresif lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah dipakai pada SNRS adalah

vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur

Page 16: Referat Ns

yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini

belum direkomendasikan di Indonesia.

Pemberian non imunosupresif untuk mengurangi proteinuria

Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik,

dan siklosporin (atau tidak mampu membeli obat ini), dapat diberikan diuretik

(bila ada edema) dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensin converting

enzyme) untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah

kaptopril 0,3 mg/kgBB, 3 x sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari, dibagi 2

dosis.

Sebuah penelitian secara random dengan pemberian enalapril 0,2

mg/kgBB/hari dan 0,6 mg/kgBB/hari selama 8 minggu dapat menurunkan

proteinuria 33% dan 52%. Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk

menghambat terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif).7

J. Prognosis

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6

tahun.

2. Disertai oleh hipertensi.

3. Disertai hematuria.

4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.

5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.3

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons

yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di

antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10%  tidak memberi respons lagi

dengan pengobatan steroid.3

Page 17: Referat Ns

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik yang terdiri dari

edema, proteinuria masif (≥40mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada

urin sewaktu >2.5mg/mg atau BANG/DIPSTIX ≥2+), hipoproteinemia (<2.5g/dL)

dan dengan atau tanpa disertai hiperlidipemia dan hiperkolesterolemia. Gejala

klinis yang utama dan sering adalah timbulnya oedem yang mendadak, bersifat

umum dan distribusinya berdasarkan daya gravitasi.

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak

mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Pemeriksaan Penunjan

berupa pemeriksaan Urine, darah, ureum kreatinin dan eleektrolit.

Penatalaksanaannya tidak perlu pembatasan aktivitas bila penderita

menginginkan, dietetic, albumin, diuretic, dan Kortikosteroid. Pada umumnya

sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik

terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan

relapse berulang dan sekitar 10%  tidak memberi respons lagi dengan pengobatan

steroid.

Page 18: Referat Ns

Daftar Pustaka

1. Gama, Henry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi edisi Ke-3 Ilmu

Kesehatan Anak. Bandung: FK UNPAD.

2. Gunawan, Carta W. 2006. Sindrom nefrotik patogenesis dan pelaksanaan.

Jakarta: CDK no.50

3. Noer, Sjaifullah Muhammad dan Ninik soemyarso. Sindrom Nefrotik.

Diakses dari www.pediatrik.com tanggal 26 Juni 2011.

4. Singadipoera, B.S. 1996. Nefrologi Anak. Bandung : Bag/SMF Ilmu

Kesehatan Anak RSHS.

5. Robert M. Kliegman and friends. 2006. Nelson Essentials of Pediatrics,

5th edition, Elsevier Saunders, USA.

6. Wirya, IGN. Sindrom Nefrotik. Dalam : Buku Ajar Nefrologi Anak.

Alatas dkk. Jakarta : IDAI. 2002.

7. Alatas, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI; 2002

8. Noer, Sjaifullah Muhammad,dkk.2011.Kompendium Nefrologi Anak