referat kusta

23
KECACATAN PADA KUSTA DEFINISI Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik,dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kecacatan adalah kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutu terhadap sesuatu hal kurang baik. Kecacatan kusta adalah keadaan abnormal dari fisik dan fungsi tubuh serta hilangnya beberapa struktur dan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh penyakit kusta. (DEPKES 2000) BATASAN KECACATAN KUSTA Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat Kusta adalah: 1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari. 2. Dissability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Dissability ini merupakan objektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai baju sendiri.

Upload: ria-dianty-mudzakir

Post on 17-Feb-2015

102 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT KUSTA

KECACATAN PADA KUSTA

DEFINISI

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik,dan penyebabnya ialah Mycobacterium

leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan

mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf

pusat. Kecacatan adalah kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutu terhadap sesuatu hal

kurang baik.

Kecacatan kusta adalah keadaan abnormal dari fisik dan fungsi tubuh serta hilangnya

beberapa struktur dan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh penyakit kusta. (DEPKES 2000)

BATASAN KECACATAN KUSTA

Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat Kusta adalah:

1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat

psikologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw

hand, ulkus, dan absorbsi jari.

2. Dissability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk

melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Dissability

ini merupakan objektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk

ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai

baju sendiri.

3. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau disability) yang

membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur,

seks, dan faktor sosial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang

berdampak sosial, ekonomi, dan budaya.

4. Deformity: kelainan struktur anatomis

5. Dehabilitation: keadaan/proses pasien Kusta (handicap) kehilangan status sosial secara

progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya.

6. Destitution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari seluruh

masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter).

Page 2: REFERAT KUSTA

EPIDEMIOLOGI KECACATAN KUSTA

Berdasarkan laporan WHO tercatat antara 2 sampai 3 juta orang di dunia mengalami

kecacatan yang permanen yang disebabkan oleh penyakit kusta. Pada tahun 2000 di 11 negara

endemis kusta tercatat sekitar 673.000 kasus dan 677.000 kasus baru terjadi (Cook dan Zumla,

2003). Di India sekitar 67 juta orang telah terinfeksi penyakit kusta. Dari seluruh penderita kusta

tercatat 80.595 penderita kusta dengan kecacatan tingkat 2 dengan prevalensi sekitar 12,03 % per

10.000 penduduk. Studi yang dilakukan di beberapa kabupaten diperoleh variasi tingkat

kecacatan antara 6,7% sampai 26,2%.

Pada studi yang sama dari 6000 penderita kusta didapatkan angka kesakitan mata sekitar

20%–30% (Srinivasan, 1998). Berdasarkan penelitian Sow et al. (1998) didapatkan hasil bahwa

prevalensi tingkat kecacatan pada tangan penderita kusta lebih banyak terjadi di daerah pedesaan

(25,3 per 1000 penduduk) dari pada perkotaan (17,3 per 1000 penduduk). Hal ini disebabkan

jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan yang berbeda antara penderita kusta di daerah pedesaan

dan perkotaan. Sebagian besar penderita kusta didaerah pedesaan mempunyai tingkat pendidikan

yang rendah, disamping itu sebagian besar penderita didaerah pedesaan adalah petani.

Berdasarkan laporan WHO Expert Committee on Leprosy dari beberapa negara tercatat

bahwa rata-rata setelah selesai pengobatan kusta terdapat 75% penderita kusta dengan kecacatan,

sedang 25% penderita kusta tidak mengalami kecacatan (Singhi et al., 2004). Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 25% pasien kusta mengalami kecacatan. Di Indonesia

Proporsi cacat penderita kusta sebesar 10.4% (WHO, 1997). Studi epidemiologi oleh Brakel dan

Kaur (2002), dari berbagai penelitian menunjukan bahwa 90% dari populasi yang kontak dengan

penderita akan mengalami penularan penyakit tersebut, tetapi hanya sebagian kecil yang

kemudian menjadi menderita karena adanya peranan cell mediated immune (CMI) respon tubuh

terhadap M. leprae. Dilaporkan bahwa jumlah kontak serumah pada penderita lepromatous

mempunyai risiko lebih besar 4 kali dibanding dengan pada tipe tuberkuloid. Namun demikian

oleh beberapa peneliti lain dijumpai bahwa untuk kedua tipe tersebut hampir tidak ada perbedaan

yakni sekitar 40% kontak serumah yang kemudian menderita kusta.

PATOGENESIS

Page 3: REFERAT KUSTA

M. leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terdapat pada sel makrofag di

sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan syaraf. Kuman

masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag

M. leprae dapat mengakibatkan kerusakan syaraf sensori, otonom, dan motorik. Pada

syaraf sensori akan terjadi anastesi sehingga terjadi luka tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada

saraf otonom akan terjadi kekeringan kulit yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak

dan dapat terjadi infeksi sekunder. Pada syaraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi

deformitas sendi

Kecacatan akibat kerusakan syaraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :

a. Tahap I. Pada tahap ini terjadi kelainan pada syaraf, bentuk penebalan pada syaraf,

nyeri tanpa ganguan fungsi gerak, namun telah terjadi ganguan sensorik.

b. Tahap II. Pada tahap ini terjadi kerusakan syaraf, timbul paralisis tidak lengkap atau

paralisis awal termasuk pada otot kelopak mata, otot jari tangan, dan otot kaki. Pada

stadium ini masih dapat terjadi pemulihan kekuatan otot. Bila berlanjut, dapat terjadi

luka di mata, tangan, kaki dan

kekakuan sendi.

c. Tahap III. Pada tahap ini terjadi penghancuran saraf kemudian kelumpuhan akan

menetap. Pada stadium ini dapat terjadi infeksi yang dapat mengakibatkan kerusakan

tulang dan kehilangan penglihatan.

Page 4: REFERAT KUSTA

JENIS-JENIS KECACATAN KUSTA

Menurut Djuanda A, 1997, jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:

a.    Cacat primer

Adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan

akibat respon jaringan terhadap mycobacterium leprae.

                          Yang termasuk kedalam cacat primer adalah :

1.    Cacat pada fungsi saraf

a)    Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi

b)    Fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wist drop, fot drop, clow tes, lagoptalmus

Page 5: REFERAT KUSTA

c)    Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan elastisitas kulit

berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.

2.    Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan

berlipat-lipat

3.    Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon,

ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.

b.    Cacat sekunder

1.    Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf sensorik,

motorik, dan otonom

2.    Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan berjalan dan

mudah terjadinya luka

3.    Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan terjadinya

kreatitis

4.    Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya elastisitas akibat

kulit mudah retak dan terjadi infeksi skunder.

DERAJAT KECACATAN KUSTA

Terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena

kuman kusta mupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi kusta,

kerusakan tersebut meliputi (Depkes RI, 2005):

a. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa (anastesi). Akibat

kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka. Sedangkan pada kornea

mata akan mengakibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan

kotoran, benda-benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya kebutaan.

b. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama lama ototnya mengecil

(atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok ( claw

hand/ claw toes ) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendinya. Bila terjadi kelemahan/

kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus).

c. Kerusakan fungsi otonom

Page 6: REFERAT KUSTA

Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah

sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah. Pada

umumnya apabila akibat kerusakan fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan cepat maka

akan terjadi ke tingkat yang lebih berat.

Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai ada cacat yang timbul atau bertambah berat.

TINGKAT KECACATAN KUSTA MENURUT WHO

Untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat maka semua pasien kusta dinilai

tingkat kecacatannya sesuai dengan petunjuk WHO. Hal ini merupakan suatu sistem untuk

mengukur cacat akibat kerusakan saraf sebagai resiko penyakit kusta. Cacat yang terjadi bukan

akibat kusta tidak dihitung.

Mata diperiksa apakah kelopak mata sulit menutup. Tangan diperiksa apakah ada lunglai,

mati rasa pada telapak tangan, luka atau ulkus akibat mati rasa, pemendekan jari atau kelemahan

otot. Kaki diperiksa apakah ada lunglai (semper), mati rasa pada telapak kaki, ulkus atau

pemendekan jari. (Ditjen PP & PL, 2006). Berikut ini merupakan tabel pembagian tingkat cacat

menurut WHO.

Page 7: REFERAT KUSTA

Tabel 2.4 Pembagian tingkat cacat kusta menurut WHO

No Tingkat Mata Telapak tangan & kaki

1 0 Tidak ada kelainan

pada

mata akibat kusta

Tidak ada cacat akibat kusta

2 1 Anastesi, kelemahan otot,

(Tidak ada cacat/kerusakan

yang kelihatan akibat kusta).

3 2 Ada lagopthalmos Ada cacat/kerusakan yang

kelihatan akibat kusta,

misalnya ulkus, jari kiting, kaki

simper

Sumber : (Ditjen PP & PL, 2006)

1.      Tingkat (0) berarti tidak ada cacat

2.      Tingkat 1 (satu) cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf  sensoris yang tidak terlihat

seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata , telapak tangan dan telapak kaki. Gangguan

sensoris pada mata tidak diperiksa di lapangan oleh Karen itu tidak ada cacat tingakt 1 pada

mata. Cacat tingkat satu pada telapak kaki terjadi beresiko ulkus plataris, namun dengan

perawatan dini  secara rutin hal ini dapat dicegah. Mati rasa pada bercak bukan merupakan

cacat tingkat 1 karena bukan disebabkan oleh kerusakan syaraf perifer utama tetapi

rusaknya syaraf  local kecil pada kulit.

3.      Tingkat 2 (dua) berarti cacat atau kerusakan yang terlihat

untuk mata :

a.       Tidak mampu menutup dengan rapat (langopthalamus)

b.      Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis).

c.       Gangguan penglihatan berat atau kebutaan.

Untuk tangan dan kaki :

a.      Luka atau ulkus di telapak.

Page 8: REFERAT KUSTA

b.       Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kintraktur)

dan hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorbsi parsialis dari jari-jari.

Yang tidak termasuk hitungan ialah semua cacat atau kelainan pada kulit saja atau yang

terjadi bukan akibat penyakit kusta, yaitu luka biasa (pada tangan atau kaki yang tidak mati rasa),

kiting, kelemahan otot atau kehilangan jara yang disebabkan oleh kecelakan.

Tingkat cacat umum berarti nilai cacat yang paling tinggi di antara mata, tangan dan kaki.

Jumlah nilai diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai dari mata, tangan, dan kaki sehingga

dapat gambaran yang lebih jelas mengenai keadaan penderita itu yang sebenarnya

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECACATAN

1. Jenis kelamin

Peter dan Eshiet (2002), menyatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat dan variasi kecacatan

pada penderita kusta antara pria dan wanita. Variasi kecacatan lebih sering terjadi pada pria

dibanding wanita. Untuk cacat tangan dan kaki sering dijumpai pada pria dari pada wanita

dengan perbandingan kecacatan 2:1. Kecacatan pada pria berkaitan dengan aktivitas yang

dilakukan setiap hari. Tingkat kecacatan cenderung lebih tinggi terjadi pada laki-laki

dibanding dengan perempuan. Hai ini berkaitan dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah

dan merokok

2. Umur

Bakker et al. (2005), menyatakan bahwa kejadian kecacatan pada penderita kusta sering

terjadi pada umur antara 15–34 tahun, dimana umur tersebut merupakan usia produktif.

Aktivitas fisik lebih meningkat pada usia 15– 34 tahun, sehingga kejadian kecacatan pada

penderita kusta lebih sering dialami pada usia ini.

Berdasarkan hasil penelitian Muhammed et al. (2004), dari 500 penderita kusta diperoleh hasil

tingkat kecacatan paling tinggi terjadi pada usia > 60 tahun (50%), kemudian umur 46 – 60

tahun (43,6%), dan terrendah pada umur 0 – 15 tahun (8,3%). Courtright et al. (2002),

mengatakan bahwa pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan hormonal, kemampuan

sensorik, dan kemampuan motorik. Penurunan kemampuan sensasi kornea pada mata dapat

mengakibatkan terjadinya lagoptalmus.

Page 9: REFERAT KUSTA

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan di India, Malawi, Myanmar, Papua dan Uganda

diperoleh hasil bahwa vaksinasi BCG dapat melindungi 20– 30 persen dan pada studi yang

sama diperoleh hasil bahwa imunisasi BCG sebelum umur 15 tahun berhubungan dengan

kejadian penyakit kusta .

Peningkatan tingkat kecacatan pada penderita kusta dapat disebabkan oleh meningkatnya

umur penderita. Peningkatan umur dapat menyebabkan kemampuan sistem saraf berkurang

sehingga pada syaraf motorik terjadi paralisis

3. Pendidikan

Status pendidikan berkaitan dengan tindakan pencarian pengobatan pada penderita kusta.

Rendahnya tingkat pendidikan dapat mengakibatkan lambatnya pencarian pengobatan dan

diagnosis penyakit, hal ini dapat mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta semakin

parah (Peter dan Eshiet, 2002).

Penelitian Iyor (2005), diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan

kecacatan penderita kusta (p = 0,00; r = 0,6). Tingkat pendidikan yang rendah dapat

mempengaruhi penderita kusta untuk tidak merawat kondisi luka akibat kusta sehingga akan

memperparah kondisi cacat.

4. Reaksi kusta

Reaksi kusta adalah suatu periode mendadak dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang

merupakan reaksi kekebalan (Cellular response) dan reaksi antigen dan anti bodi dengan

akibat merugikan penderita. Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat

pengobatan, dalam pengobatan maupun setelah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6

bulan sampai 1 tahun sesudah mulai pengobatan. Adapun reaksi kusta meliputi:

a. Reaksi tipe 1

Reaksi kusta tipe ini dibedakan menjadi 2 yaitu reaksi ringan dan reaksi berat. Bila reaksi ini

tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan kelumpuhan yang permanen misalnya drop-

hand, drop-foot. Adapun gejalanya dapat dilihat pada tabel 2 berikut :

Page 10: REFERAT KUSTA

b. Reaksi tipe 2

Terjadi pada penderita kusta tipe MB, terjadi reaksi humoral pada reaksi ini. Menurut

keadaan reaksi dibedakan menjadi 2 yaitu reaksi ringan dan reaksi berat. Adapun gejala

dapat dilihat pada table 3 berikut :

Page 11: REFERAT KUSTA

Keadaan reaksi pada penderita kusta dapat mengakibatkan kerusakan syaraf dan kecacatan.

Deteksi dini kejadian reaksi kusta dapat mengurangi kerusakan syaraf. Reaksi kusta lebih

sering terjadi pada tipe kusta MB

Paulo et al. (2004), mengatakan mekanisme perlindungan imonologi terhadap agen infeksi

terlihat pada sistem imun yang komplek, sehingga terjadi keseimbangan antara sehat dan

sakit sesuai skenario yang terjadi di tubuh. Berdasarkan hasil penelitian Ganapati et al.

(2003), dari 892 pasien kusta yang mendapat pengobatan MDT-WHO terdapat kasus reaksi

sebesar 21% dari pasien. Reaksi kusta dapat mengakibatkan kerusakan syaraf penderita

kusta, sehinga kejadian reaksi yang lama dapat menimbulkan kecacatan pada penderita

kusta. Reaksi kusta dapat terjadi setelah dilakukan pengobatan.

5. Pengetahuan

Das (2006), mengatakan bahwa pengetahuan yang rendah tentang penyakit kusta dapat

menimbulkan stigma yang negatif terhadap penyakit kusta. Stigma yang buruk disebabkan

kecacatan fisik yang tampak jelas pada penderita kusta. Rendahnya pengetahuan tentang

penyakit kusta mengakibatkan penderita kusta tidak mengetahui akibat buruk yang

ditimbulkan oleh penyakit kusta.

Iyor (2005), mengatakan bahwa kejadian kecacatan kusta lebih banyak terjadi pada penderita

yang mempunyai pengetahuan yang rendah tentang penyakit kusta dan pengetahuan

berhubungan dengan kecacatan penderita kusta

6. Keteraturan berobat

Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta. Pada penderita PB

yang berobat dini dan teratur akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat. Akan tetapi bagi

penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen pengobatan hanya dapat mencegah

cacat lebih lanjut. Selama pengobatan penderita dapat bersekolah atau bekerja seperti biasa.

Apabila penderita tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif

kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan syaraf yang memperburuk

keadaan. Disinilah pentingnya pengobatan secara dini dan teratur (Ishii, 2005).

Pada penderita PB yang berobat secara teratur akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat.

Apabila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi

aktif kembali, sehingga timbul gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk

keadaan (Ogbeiwi, 2005).

Page 12: REFERAT KUSTA

7. Lama Sakit

Ganapati et al., (2003), mengatakan bahwa terdapat 30 sampai 56 persen penderita kusta baru

telah terjadi kerusakan fungsi saraf. Pengkajian yang dilakukan terhadap 454 pasien dengan

kecacatan didapatkan hasil bahwa ada perbaikan status tingkat kecacatan setelah empat tahun

menderita kusta dengan perawatan yang baik. Penelitian Muhammed et al., (2004) diperoleh

hasil bahwa menderita kusta selama 0-2 tahun terjadi kecacatan sebesar 26,9 persen,

menderita kusta selama 2-5 tahun sebesar sebesar 45,6 persen. Pada penelitian serupa

diperoleh hasil bahwa rata-rata tingkat kecacatan di beberapa daerah di India antara 16 – 44

persen.

8. Lama bekerja

Wisnu dan Hadilukito (2003), menyatakan bahwa pekerjaan yang berat dan kasar dapat

mengakibatkan kerusakan jaringan kulit dan saraf semakin parah. Pekerjaan dengan intensitas

yang lama membuat aktivitas mata semakin meningkat sehingga pada penderita penyakit

kusta yang mengalami Logoftalmus terjadi kekeringan pada kornea mata yang berakibat

terjadinya keratitis.

Brakel and Kaur (2002), menyatakan bahwa dari jenis pekerjaan penderita kusta yang

mengalami kecacatan terbesar adalah petani (35%). Pekerjaan yang memerlukan aktivitas

fisik berlebih dapat mengakibatkan kecacatan fisik semakin parah. Berdasarkan penelitian

Sow et al. (1998) didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat

kecacatan tangan penderita kusta di pedesaan dengan perkotaan (p = 0,01). Perbedaan ini

lebih cenderung disebabkan karena penderita kusta di daerah pedesaan mempunyai kebiasaan

bekerja yang tidak teratur.

9. Diagnosis dini

Untuk menegakkan diagnosis kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau “Cardinal sign” pada

tubuh (Depkes RI, 2005) yaitu :

a. Adanya kelainan kulit yang berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritema

(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan).

b. Berkurang sampai hilangnya rasa pada kelainan kulit tersebut diatas.

c. Penebalan syaraf tepi.

d. Adanya kuman tahan asam kerokan jaringan kulit (BTA positif = Basil Tahan Asam

Positif).

Page 13: REFERAT KUSTA

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bila mana terdapat sekurang-kurangnya dua

dari tanda pokok diatas atau bila terdapat BTA positif. Bila ragu-ragu orang tersebut

dianggap sebagai kasus, ia dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnosa

dapat ditegakkan kusta atau penyakit lain. Untuk melakukan diagnosis secara lengkap

dilaksanakan anamnesa, pemeriksaan klinis, pemeriksaan bakteriologis, pemeriksaan

histopatologis dan immunologis (Depkes RI, 2005).

Diagnosis dini dan terapi yang tepat dapat menghindarkan dari adanya cacat pada penderita

kusta. Cacat pada penderita kusta mengakibatkan stigma yang buruk pada masyarakat

sehingga penderita kusta dijauhi dan dikucilkan. Hal tersebut sebenarnya lebih disebabkan

karena kecacatan yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh dapat dicegah apabila diagnosis

dan penanganan penyakit dilakukan secara dini

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chen et al., (2000), antara tahun 1984 –

1998 terdapat 27928 kasus kusta diperoleh antara masa onset dan penetapan diagnosis

(confirmed diagnosis) berkisar 2 tahun dengan nilai rata-rata umum 22 bulan. Rata-rata ini

lebih lama terjadi pada tipe MB dari pada tipe PB, dan lebih lama pada petani dari pada

pekerja pabrik.

Brakel et al. (2004), mengatakan bahwa proporsi dari kasus baru dengan kecacatan tingkat 2

telah terjadi penurunan dengan diterapkannya penemuan kasus baru kusta, sehingga

penegakan diagnosis kusta secara dini dapat mengurangi tingkat kecacatan kusta.

10. Perawatan diri

Penelitian Ganapati et al. (2003), yang dilakukan terhadap 454 pasien kusta diperoleh hasil

bahwa setelah 4 tahun terdeteksi kusta dengan perawatan diri yang baik dapat membantu

memperbaiki tingkat kecacatan lebih dari 50% dari pasien. Kurangnya perawatan diri pada

penderita kusta dapat mengakibatkan kerusakan akan bertambah semakin berat. Menentukan

dan mengobati dengan tepat merupakan salah satu aspek pencegahan cacat yang penting.

PENCEGAHAN

Pencegahan cacat Kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada

penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas

kesehatan maupun oleh pasien itu sendiri dan keluarganya. Di samping itu perlu mengubah

Page 14: REFERAT KUSTA

pandangan yang salah dari masyarakat, antara lain bahwa Kusta identik dengan deformitas atau

disability.

Upaya pencegahan cacat terdiri atas:

1. Untuk Upaya pencegahan cacat primer, meliputi:

o diagnosis dini

o pengobatan secara teratur dan akurat

o diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi

2. Upaya pencegahan sekunder, meliputi:

o Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka

o Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah

terjadinya kontraktur

o Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak

mendapat tekanan yang berlebihan

o Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada proses

penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang

o Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan

otot.

3. Upaya pencegahan tersier :

o Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah dengan

jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal,

tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.

o Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu member lapangan pekerjaan yang sesuai

cacat tubuhnya, sehingga masih dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa

percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).

Prinsip yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan cacat kusta adalah:

o pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya

luka

o pasien harus melindungi tempat risiko tersebut (dengan kaca mata, sarung tangan,

sepatu, dll)

o pasien mengetahui penyebab luka (panas, tekanan, benda tajam dan kasar)

Page 15: REFERAT KUSTA

o pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok, melumasi) dan

melatih sendi bila mulai kaku

penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka, mengurangi

tekanan pada luka dengan cara istirahat.

Page 16: REFERAT KUSTA

DAFTAR PUSTAKA

Agusni, I., Nurjanti L., (2002), Berbagai Kemungkiannn Sumber Penularan Mycobacterium

Leprae, Jurnal Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,Vol 14 (3) pp. 288-297.

Amirudin, MD., Hakim, Z., Darwis, E., (2003), Kusta ; Diagnosis Penyakit Kusta, 2ed., Balai

Penerbit FKUI, Jakarta. Pp. 12-31.

Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XVII,

Direktorat Jendral PPM dan PLP, Jakarta. pp. 4-97

Djuanda, adhi, dkk.2010.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam.Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Dinkes Kab. Sukoharjo, (2004), Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, Dinkes Kabupaten

Sukoharjo, Sukoharjo.

Effendi, EH., (1997), Penegakan Diagnosis Dermatosis Akibat Kerja, Pertemuan Ilmiah

Tahunan IV PERDOKSI, Jakarta.

Ganapati, R., Pai, VV., Kingsley S. (2003). “Disability Prevention and Management in Leprosy:

A Field Experience”, Indian J Dermatol Venereol Leprol, Volume 69, page 369 – 374.

Marhaento, P.B.(2003) Evaluasi Penemuan Penderita Kusta Baru dan Faktor faktor Penentu

Ketidakteraturan Berobat Penderita Kusta di Jogjakarta, Tesis, Universitas Gadjah

Mada.

Martodiharjo, S., Susanto SR., (2003). Kusta ; Pencegahan Cacat Kusta, 2ed., Balai Penerbit

FKUI, Jakarta. Pp. 75-81