miastenia gravis ika.doc

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Miastenia gravis (MG) ialah penyakit kronik dengan dasar imunologi yang ditandai dengan kelemahan otot serat lintang, berpredileksi otot-otot mata dan otot- otot yang dipersarafi saraf kranial. Miastenia gravis termasuk penyakit neuromuskuler dengan kelainan pada neuromuskuler junction. Gejala klinik muncul sebagai kelemahan otot setelah beraktifitas dan pulih kembali setelah istirahat. Yang diserang umumnya otot-otot gerak mata, kelopak mata, otot pengunyah dan otot penelan. MG lebih sering terjadi pada orang dewasa, namun dapat juga terjadi pada anak-anak. Prevalensi MG adalah 33/1.000.000 penduduk, 11% terjadi pada anak-anak. Pada laporan kali ini, kita akan membahas tentang miastenia gravis dan beberapa penyakit kelemahan otot yang lainnya.

Upload: pra-yudha

Post on 11-Dec-2014

138 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Miastenia Gravis ika.doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Miastenia gravis (MG) ialah penyakit kronik dengan dasar imunologi yang

ditandai dengan kelemahan otot serat lintang, berpredileksi otot-otot mata dan

otot-otot yang dipersarafi saraf kranial. Miastenia gravis termasuk penyakit

neuromuskuler dengan kelainan pada neuromuskuler junction. Gejala klinik

muncul sebagai kelemahan otot setelah beraktifitas dan pulih kembali setelah

istirahat. Yang diserang umumnya otot-otot gerak mata, kelopak mata, otot

pengunyah dan otot penelan.

MG lebih sering terjadi pada orang dewasa, namun dapat juga terjadi pada anak-

anak. Prevalensi MG adalah 33/1.000.000 penduduk, 11% terjadi pada anak-anak.

Pada laporan kali ini, kita akan membahas tentang miastenia gravis dan beberapa

penyakit kelemahan otot yang lainnya.

Page 2: Miastenia Gravis ika.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Neurmoscular Junction

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut

terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang

serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik

(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk

neuromuscular junction. Celah sinaps merupakan jarak antara membran

presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30

nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis

dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular

secara difusi. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya

berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma di bagian

terminal, namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps

yang kecil, yan terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor

end plate). Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, sekitar 125

kantong asetilkolin akan dilepaskan dari terminal bub masuk ke dalam celah

sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi

difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini

mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel

akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam

celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan

berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik.

Secara biokimiawi keseluruhan, proses pada neuromuscular junction dianggap

berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan

enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisis reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin → Asetilkolin + KoA

Page 3: Miastenia Gravis ika.doc

2. Asetilkolin kemudian diinkorporasikan/ disatukan ke dalam partikel kecil

terikat membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel

tersebut.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap

berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi

vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta

tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi

satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan

potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami

depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka

saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga

memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion

Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang

melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga

sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah

sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan

bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor

asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan

terminal saraf. Jika 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka

reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran

dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran.

Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga

terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan

depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang

ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.

5. Jika saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh

enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisis reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O → Asetat + Kolin

Page 4: Miastenia Gravis ika.doc

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina

basalis rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport

aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis

asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran

yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri

dari 5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein

beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat

bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi

depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan

menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot

yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).

Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi

suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan

kontraksi otot.

B. Fisiologi Otot Lurik

Adapun mekanisme kontraksi otot adalah: (Sherwood, 2001)

- Asetilkolin yang dikeluarkan dari ujung terminal neuron motorik mengawali

potensial aksi di sel otot yang merambat ke seluruh permukaan membran.

Dan aktivitas listrik ini dibawa ke bagian tengah otot oleh tubulus T

- Penyebaran potensial aksi di tubulus T mencetuskan pelepasan simpanan

Ca2+ dari kantung-kantung lateral retikulum sarkoplasmik didekat tubulus.

- Ca2+ yang dilepaskan akan berikatan dengan troponin, sehingga kompleks

troponin-tropomiosin secara fisik tergeser ke samping, membuka tempat

pengikatan jembatan silang aktin.

- Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang

miosin, yang sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP

menjadi ADP + Pi +energi oleh ATPase miosin

Page 5: Miastenia Gravis ika.doc

- Pengikatan aktin dan miosin menyebabkan jembatan silang menekuk,

menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filamen tipis ke

arah dalam. Pergeseran ke arah dalam dari semua filamen tipis akan

memperpendek sarkomer. Dan selama gerakan mengayun kuat tersebut, ADP

dan Pi dibebaskan dari jembatan silang

- Perlekatan ATP baru memungkinkan terlepasnya jembatan silang dan Ca2+

akan terdorong masuk kembali ke retikulum sarkoplasmik. Namun,

penguraian ATP dan pengikatan Ca2+ berulang akan mengulangi ikatan

jembatan silang ini.

C. Myasthenia Gravis

DEFINISI

Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi

neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor

asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis

merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor

asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini

merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan.

Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis

merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan

antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan

(dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia

gravis ialah gangguan autoimun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah

dan lekas lelah.

Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan

dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada

sambungan neuromuskular.

ETIOLOGI

Miastenia Gravis menyebabkan kegagalan dalam transmisi impuls saraf pada

sambungan neuromuskuler. Secara teoritis, kerusakan seperti ini dapat

Page 6: Miastenia Gravis ika.doc

diakibatkan dari reaksi autoimun atau tidak dapat berfungsinya aktivitas

neurotransmiter.

Miastenia Gravis menyerang semua usia, namun penyakit ini paling banyak

ditemukan pada usia antara 20 sampai 40 tahun. Miastenia Gravis menyerang

wanita 3 kali lebih banyak dari pria, tetapi setelah usia 40 tahun, penyakit ini

tampaknya menyerang baik pria maupun wanita secara seimbang.

Sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia Gravis akan

memiliki miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen). Penyakit ini

akan muncul bersamaan dengan gangguan sistem kekebalan dan gangguan

tiroid, sekitar 15% penderita miastenia gravis mengalami thymoma (tumor

yang dibentuk oleh jaringan kelenjar timus). Remisi terjadi pada 25% penderita

penyakit ini.

PATOFISIOLOGI

Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada

tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau

hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan

neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70% - 90%

reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia

gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap langsung

melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini

mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang

menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus

eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum

penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal

inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita

dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor

nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan

Page 7: Miastenia Gravis ika.doc

miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs),

telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia

gravis generalisata.

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor

asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat

dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”,

dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor

asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin

menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait

dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma,

biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai

subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area

imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site

dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin

akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa

cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-

reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada

neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada

membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat

digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

Page 8: Miastenia Gravis ika.doc

MANIFESTASI KLINIS

Miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi

reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular.

Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif

lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot

tertentu saja.

Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang

ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33%

hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya.

Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan

dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan

menelan.

Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang

menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau

bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi

dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul

setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak

diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar

Page 9: Miastenia Gravis ika.doc

dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari

orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat

ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis

N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan

otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas

lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal.

Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan

melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot

mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan

menyebabkan kematian.

Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada

pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang

bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus

faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan

regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara

yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang

dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung

. Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang

lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala

harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut

otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi

selanjutnya tidak lebih memburuk lagi. Terserangnya otot-otot pernapasan

terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan

dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.

Klasifikasi myasthenia gravis yaitu :

1. Myasthenia okuler (I)

2. Myasthenia umum (II)

a. Myasthenia umum derajat ringan (II A): progesivitasnya lambat, tidak

terjadi krisis, dan respon terhadap obat baik.

Page 10: Miastenia Gravis ika.doc

b. Myasthenia umum derajat sedang (II B) : terjadi kelemahan pada otot

skeletal dan bulber, tidak terjadi krisis, tetapi respon terhadap obat kurang

memuaskan.

3. Myasthenia fulminasi akut (III) : gejala memberat dengan sangat cepat,

terjadi krisis pernafasan, respon terhadap obat sangat buruk, sering

ditemukan adanya timoma, mortalitas tinggi.

4. Myasthenia berat yang sedang berkembang lamban (IV) : klinis seperti

golongan III, tetapi memerlukan waktu lebih dari dua tahun untuk beralih

dari golongan I atau II.

DIAGNOSIS

Diagnosis klinis miastenia gravis dapat dipastikan dengan uji terapeutik, EMG,

dan uji serologik.

a. Endrofonium (Tensilon) test, yaitu tes dengan pemberian obat

antikolinesterase kerja singkat yang menghasilkan perbaiakn segera pada

kelemahan otot bila diberikan secara intravena.

b. Uji Kinin, merupakan uji dimana diberikan 3 tablet kinina masing-masing

200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per

tablet). Pada miastenia gravis, gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain

akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi

prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

c. EMG (Elektromiografi), alat tes uji dengan mempelajari aktivitas listrik yang

timbul pada otot sewaktu istirahat dan sewaktu kontraksi. Pada penderita

miastenia gravis terlihat penurunan progresif amplitudo potensial aksi otot

ketika pasien melakukan kontraksi volunter berulang.

d. Pemeriksaan serum untuk antibodi reseptor asetilkolin, merupakan uji yang

sangat baik karena bersifat spesifik terdapat pada 80% pasien miastenia

gravis. Uji yang positif bersifat diagnostik untuk penyakit miastenia gravis.

Dan titer antibodi yang tinggi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit.

(Chandrasoma dan Taylor, 2005)

Page 11: Miastenia Gravis ika.doc

TERAPI

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi

miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.

Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi

merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase

biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien

dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi

yang rutin.

Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan

pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya

mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.

Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan

kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki omset lebih lambat tetapi

memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya

kekambuhan.

1. Antikolinesterase

Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin

bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara

lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila

diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau

intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),

didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat

menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak

segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati

normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian

antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA

dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi

parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,

berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro

intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi

dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi

Page 12: Miastenia Gravis ika.doc

pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu

banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk

menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah

menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar

pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.

2. Steroid

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis,

dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk

menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan

secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana

halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai

gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada

kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi,

setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini

untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi

tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis

diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh

dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara

mendadak harus dihindari.

3. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang

baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama

berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat

ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap

minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah

itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian

prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.

4. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi

dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita

Page 13: Miastenia Gravis ika.doc

beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian

antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini

harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.

5. Plasmaferesis

Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50

ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu

singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat

imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian

belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang

baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis

mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang

antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan

kasus kronik.

KOMPLIKASI

1) Gagal nafas

2) Disfagia

3) Krisis miastenik

4) Krisis cholinergic

5) Komplikasi sekunder dari terapi obat

PROGNOSIS

- Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%

- MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%

- 40% hanya gejala okuler

Page 14: Miastenia Gravis ika.doc

BAB III

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Burns, Dennis K. Vinay Kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal, Dalam :

Stanley L.Robbins, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran. Buku Ajar Patologi

Robbins. Edisi 7. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedoketeran EGC

Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.

Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Howard, J.F. 2008. Myasthenia Gravis, a Summary.

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia gravis/detail_myasthenia

gravis.htm diakses tanggal 2 Mei 2013

Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian

Rakyat, Jakarta

Medicastore. 2011 Miastenia Gravis (Myasthenia Gravis)

http://medicastore.com/penyakit/328/Miastenia_Gravis_Myasthenia_Gravi

s.html diakses tanggal 1 Mei 2013

Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC,

NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003.

http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm

diakses tanggal 2 Mei 2013

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC