public disclosure authorized - the world...

50
0 37735 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

Upload: dangkhanh

Post on 29-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

0

37735P

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

ed

DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP PASAR TENAGA KERJA:

KASUS TIMOR-LESTE DALAM PERSPEKTIF KOMPARATIF 1

Oleh MAITREYI BORDIA DAS

BANK DUNIA

26 JUNI 2004 1 Saya berterima kasih kepada Philip O’Keefe untuk keseluruhan panduan dan komentar terperinci tentang draft-draft sebelumnya, kepada Kathleen Beegle dan Kaspar Richter untuk akses kepada data tentang Timor-Leste, Jan Rutkowski untuk komentar-komentar, diskusi dan data dan Victor Sulla untuk kompilasi-kompilasi data agregat tentang upah-upah. Akhirnya kepada, Elisabeth Huybens untuk komentar teknis dan perasaan on-the-ground yang juga telah memperkaya dokumen ini.

1

DAFTAR ISI

BAGIAN I: PENTINGNYA UPAH-UPAH MINIMUM DAN STUDI MENGENAI ............ 8 BAGIAN II: RELEVANSI UNTUK TIMOR-LESTE ............................................................ 21 BAGIAN III: IMPLIKASI-IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI UNTUK TIMOR-LESTE ........................................................................... 32

2

RINGKASAN

Timor-Leste sedang berada dalam proses membangun tonggak-tonggak perekonomian dan kebijakan sosialnya di mana upah minimum (UM) merupakan masalah penting yang menjadi pusat perhatian. Kode Tenaga Kerja yang telah ditetapkan oleh UNTAET sedang berada dalam proses revisi dan tiga Dewan, menurut Kode Tenaga Kerja itu, telah dibubarkan, di mana salah satunya menangani upah minimum. Secara informal UM di Timor-Leste telah ditetapkan oleh UNTAET sebesar USD85 per bulan atau sekitar USD4 per hari. Meskipun upah ini tidak mengikat secara hukum, namun ia telah memberi dampak penting terhadap penetapan upah di sektor formal, termasuk kepegawaian negeri. Timor-Leste juga mempunyai masalah-masalah pengangguran serius, khususnya di antara para pemuda dan di wilayah-wilayah perkotaan. Dalam konteks itu, kebijakan upah dan mekanisme-mekanisme negosiasi merupakan faktor-faktor penting dalam menetapkan hasil-hasil pasar tenaga kerja, meskipun tentu terdapat determinan-determinan lain yang berkaitan dengan lingkungan-lingkungan makroekonomi dan bisnis yang lebih luas. Pemerintah memahami pentingnya lapangan kerja dan karena itu penciptaan lapangan kerja, terutama bagi para pemuda dan para mantan pejuang, merupakan salah satu prioritas bagi stabilitas. Maksud dokumen ini adalah untuk memberi masukan kepada diskusi-diskusi mengenai kebijakan upah dengan mempertimbangkan pengalaman internasional dan regional tentang kebijakan dan mekanisme-mekanisme penetapan upah, serta analisa mengenai kondisi-kondisi pasar tenaga kerja dan upah-upah di Timor-Leste. Data dan literatur tentang Timor-Leste sangat langka dan tersedia sangat sedikit informasi tentang mekanisme-mekanisme negosiasi, pembentukan serikat-serikat dagang dan dampak dari variabel-variabel demografik penting tentang partisipasi angkatan kerja. Sumber utama untuk dokumen ini adalah Evaluasi Kemiskinan 2002/2002 Poverty Assessment (PA), yang telah berpatokan pada Studi Standar Hidup Timor/Timor Living Standards Survey (TLSS). Selain itu, ia juga menggunakan informasi komparatif dari negara-negara lain, guna memberi informasi bagi pembahasan tentang Timor-Leste. Dokumen ini terbagi atas tiga bagian. Bagian I adalah sebuah pembahasan mengenai peran, prevalensi dan pentingnya UM, diikuti oleh sebuah studi tentang pengalaman internasional mengenai dampak dari UM terhadap lapangan kerja. Bagian II berusaha memahami kondisi-kondisi pasar tenaga kerja dan upah-upah di Timor-Leste yang berdampak pada penetapan UM. Bagian III menawarkan beberapa pilihan-pilihan kebijakan mengenai UM untuk Timor-Leste dalam konteks pengangguran. Prevalensi dan Tingkat-tingkat UM: UM dianggap merupakan sebuah alat kebijakan sosial yang sangat penting dan dampak potensialnya pada pengentasan kemiskinan dan ketidakseimbangan seringkali disebut-sebut sebagai alasan-alasan penting bagi pembuatan undang-undang UM dan penerapan mereka secara efektif. Jadi, kebanyakan negara mempunyai, paling tidak secara prinsip, beberapa undang-undang yang berkaitan dengan UM. Upah-upah minimum pada 1990an berkisar dari USD 5.45 per bulan di Republik Kyrgyz sampai USD 1661 per bulan di Denmark. Negara-negara yang lebih kaya mempunyai UM yang lebih tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh grafik dalam Gambar 1. Namun, struktur-struktur UM tidaklah seragam dan variasi-variasi berlandaskan pada aplikabilitas undang-undang itu. Variasi-variasi ini dapat berasal dari sejumlah faktor seperti usia, wilayah, sektor, industri dan pekerjaan. Seringkali di negara-negara berkembang, sektor pertanian dan para wiraswasta dikecualikan dari UM. Karena sulit memberlakukan UM di sektor swasta atau informal, maka para pekerja informal atau swasta juga seringkali dikecualikan. Dalam praktek, meskipun ketika undang-undang UM berlaku untuk para pekerja di bidang pertanian dan swasta, namun hampir tak mungkin memberlakukan mereka. Rasio upah rata-rata untuk UM seringkali digunakan sebagai panduan kepada pentingnya UM. Semakin tinggi rasio itu maka semakin baik posisi relatif para pekerja berupah minimum, tetapi juga semakin besar dampak yang secara potensial merusak lapangan kerja atau apa yang dikenal sebagai “gigitan” upah minimun. Selain itu, indikator-indikator lain seperti rasio dari rata-rata untuk upah-upah median juga digunakan untuk menilai dampak UM.

3

Dampak-dampak UM terhadap lapangan kerja dan pelajaran-pelajaran dari bukti empiris: Dampak-dampak dari UM terhadap lapangan kerja merupakan sebuah masalah kontroversial, dan bukti empiris itu berdasarkan terutama pada penelitian dari negara-negara OECD, dan meskipun hal ini jauh dari baik mendukung maupun terbukti salah secara jelas, telah menerima pemahaman dari teori ekonomi. Efek positif yang secara potensial paling jelas yang dapat dimiliki UM, dan alasan untuk keberadaannya, adalah bahwa ia akan meningkatkan pendapatan dari para pekerja paling miskin dan dengan demikian melingungi mereka dari vulnerabilitas. Namun, terdapat alas an-alasan untuk percaya bahwa UM tidak selalu mempunyai hasil positif ini dan sebenarnya dapat merugikan para pekerja yang sebetulnya ia berusaha melindungi. Dampak UM yang paling luas dipelajari adalah tentang lapangan kerja secara keseluruhan, karena para ekonomis takut bahwa ia dapat mendatangkan kesulitan di pasar tenaga kerja, yang menyebabakan para majikan untuk merumahkan para pekerja yang kurang mereka butuhkan atau para pekerja yang dapat mereka pecat. Dampak-dampak UM terhadap pasar tenaga kerja paling sering dinilai dalam konteks sejumlah kondisi yang umum, seperti tingkat pengangguran, ukuran sektor formal/pemerintah, ketidakseimbangan upah sebelum penetapan UM, tingkat keterampilan secara keseluruhan di negara itu, kondisi kerja, termasuk pendapatan para pekerja, jumlah jam kerja rata-rata per pekerja, jangkauan lapangan kerja pemuda dan kemiskinan. Bukti empiris menunjukkan bahwa:

• Suatu UM yang moderat atau sedang tidak merugikan baik lapangan kerja atau persaingan dan pasti meningkatakn pendapatan para pekerja yang berada pada bagian terendah skala dan untuk siapa permintaan itu eksis, namun jika UM itu dinaikkan jauh di atas tingkat sedang, maka ida mempunyai dampak-dampak yang merugikan lapangan kerja, baik dalam hal mendorong para pekerja itu ke dalam sektor swasta, maupun dalam hal memecat para pekerja di sektor formal. Dampak-dampak ini besar, secara khusus, bagi para pekerja di perusahaan-perusahaan kecil di negara-negara berkembang.

• Meskipun apabila tidak terdapat dampak-dampak pengangguran dari UM pada angkatan kerja secara umum, namun terdapat sebuah efek negatif terhadap lapangan kerja pemuda, dan sebuah upah sub-minimum bagi para pemuda sebagian besar memulihkan dampak-dampak pengangguran ini pada para pekerja yang lebih muda.

• UM dapat berdampak secara positif pada kemiskinan jika terpenuhi beberapa kondisi are seperti:

o jika UM yang lebih tinggi menyebababkan upah-upah yang lebih tinggi di sektor-sektor yang tidak tercakup;

o peningkatan dalam upah-upah di sektor yang tidak tercakup cukup tinggi untuk mendorong sejumlah penduduk keluar dari kemiskinan; dan

o jumlah orang-orang yang keluar dari kemiskinan melebihi jumlah mereka yang jatuh ke dalam kemiskinan karena UM.

Penetapan UM yang bijaksana: Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sewaktu menetapkan UM, selain itu pada rasio upah minimum/upah rata-rata, kondisi-kondisi pasar tenaga kerja secara keseluruhan, dan pertumbuhan dan kompetitivitas perekonomian sebagaimana telah dibahas dalam bagian sebelumnya. Ini mencakup:

a. Menyeimbangkan tujuan-tujuan sosial dengan tujuan-tujuan ekonomi b. Cakupan sektoral dari UM c. Kemungkinan untuk dapat diterapkan dan pematuhan d. Masalah-masalah pertumbuhan dan kompetitivitas e. Mekanisme-mekanisme negosiasi

4

Relevansi untuk Timor-Leste: sebagaimana telah kita lihat dari diskusi sebelumnya, kondisi-kondisi pasar tenaga kerja dan faktor-faktor lain seperti trend-trend demografik, khususnya tingkat-tingkat pengangguran, merupakan kunci kepada dampak UM. Berikut ini adalah sebuah tinjauan singkat mengenai ciri-ciri pasar tenaga kerja dan upah-upah di Timor-Leste yang paling relevan dalam perumusan kebijakan UM.

Pengangguran pemuda sangat tinggi di wilayah-wilayah perkotaan dan merupakan angkatan kerja muda yang semakin meningkat.

Tingkat keterampilan yang rendah seperti yang ditunjukkan oleh rata-rata masa pendidikan dan berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja. Keterbatasan bukti baru dari sektor konstruksi menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dapat memasukkan pekerja-pekerja asing untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan keterampilan sangat tinggi.

Sektor pertanian yang dominan dan pertanian subsistem, dengan proporsi yang sangat kecil dari angkatan kerja yang dipekerjakan dalam lapangan kerja formal yang berupah. Para petani subsistem tidak akan terpengaruh oleh UM jika upah itu akan diresmikan, dan karena mereka adalah para pekerja yang paling rentan, maka manfaat sosial potensial dari legalisasi akan lenyap bagi mereka.

Rasio UM informal yang sangat tinggi/rasio upah rata-rata dan bahkan UM yang lebih tinggi/rasio upah median.

Perbedaan tingkat upah yang sangat tinggi di wilayah-wilayah perkotaan. Paling kurang seperempat dari para pekerja termiskin di wilayah-wilayah perkotaan akan menderita jika UM dilegalisasi, sementara 10 atau 20 persen teratas tak akan merasakan efeknya sama sekali, dengan demikian, mengakibatkan peningkatan pengangguran, ketidakseimbangan dan kemiskinan di Timor-Leste.

UM informal yang ada saat ini tampaknya tidak akan mengikat karena seperempat dari para pekerja di wilayah perkotaan berpendapatan di bawah tingkat UM. Jadi, tingkat minimum yang ditetapkan oleh pasar lebih rendah daripada UM informal.

Lebih dari separoh dari para pekerja yang tidak berketerampilan menerima pendapatan di bawah UM informal dan tampaknya mereka paling terpengaruh secara negatif oleh legalisasi upah minimun. Dalam sebuah skenario di mana industri manufaktur adalah sangat terbatas, penawaran para pekerja yang tidak terampil melebihi permintaan atas tenaga mereka dan mereka akan menghadapi risiko untuk dipecat jika UM diberlakukan.

Bukti terbatas yang tersedia menunjukkan bahwa upah-upah yang dibayarkan pada kenyataannya menurun di wilayah-wilayah perkotaan.

Kemampuan kelembagaan yang rendah dalam memberlakukan UM dapat menimbulkan masalah-masalah pengawasan jika suatu UM dilegalisasikan dan tidak dapat diterapkan, jadi mengecewakan para pekerja yang paling miskin dan para pemuda.

Beberapa bukti mengenai upah-upah terbaik untuk pekerja-pekerja asing di pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan tinggi di bidang industri konstruksi, sementara tingkat pengangguran adalah lebih tinggi bagi orang Timor yang terdidik.

Gerakan serikat dagang sedang berada dalam tahap pembentukannya dan di masa depan dapat menggunakan pengaruhnya terhadap penetapan upah dan pemberlakuannya di perusahaan-perusahaan formal.

Kelangkaan data di Timor-Leste sangat besar dan analisa ini dilakukan berdasarkan pada data 2001, di mana data itu tidak aktual lagi. Karena ketiadaan data terkini, maka tidak dapat dibuat rekomendasi-rekomendasi yang jelas dan definitif.

5

Kesimpulan-kesimpulan: UM informal di Timor-Leste, yang telah ditetapkan pada tingkat USD 85 per bulan, tampaknya tidak akan diberlakukan karena kebanyakan angkatan kerja berkecimpung dalam bidang pertanian subsistem dan di sektor swasta atau informal – yang merupakan sektor-sektor di mana tidak mungkin dilakukan pengawasan dan pemberlakuan. Jadi, dampak-dampak positif dari UM dalam bentuk meningkatkan pendapatan tampaknya akan terbatas kepada para pekerja terampil di perusahaan-perusahaan formal – yang merupakan bagian terkecil dan paling elit dari angkatan kerja. Kedua, karena kemampuan kelembagaan untuk menjamin pemberlakuan UM itu rendah, maka peluang-peluang dalam skenario itu adalah bahwa UM dapat menjadi lebih dari sekedar suatu penghambat kepada para pengusaha yang ingin memperluas usaha mereka, daripada perlindungan untuk para pekerja miskin. Sebagian besar dari semua pekerja berupah (tidak semua pekerja) menerima upah-upah di bawah UM informal. Hal ini menunjukkan bahwa UM informal ditetapkan pada tingkat yang lebih tinggi daripada upah yang umumnya berlaku pada tingkat keterampilan para pekerja dan untuk permintaan dalam pekerjaan berupah. Pembahasan di bagian-bagian sebelumnya dari dokumen ini telah menunjukkan pentingnya suatu kebijakan yang menciptakan lapangan kerja, mendorong investasi swasta dan melindungi pekerja yang paling miskin (dan bukan merumahkan) para pekerja. Rekomendasi-rekomendasi: Terdapat tiga jalur kebijakan yang dapat ditempuh Timor-Leste. Yang pertama adalah meresmikan UM informal yang ada saat ini sebesar USD 85 per bulan. Yang kedua adalah meresmikan UM pada tingkat yang lebih rendah dan yang ketiga adalah membiarkan UM itu fleksibel. Apapun jalur yang akan ditempuh Timor-Leste, syarat utamanya adalah terdapat suatu landasan statistik yang kuat bagi penetapan upah-upah yang memadai dan kemampuan kelembagaan yang kuat untuk memberlakukan undang-undang dan menengahi pertikaian-pertikaian. Secara khusus, perlu memperkuat kemampuan arbitrasi MWB dan sistem hukum terhadap hubungan industrial akan sangat mempermudah pilihan-pilihan berdasarkan informasi di mana dalam jangka panjang, mempunyai dampak-dampak positif terhadap para pekerja maupun para pengusaha. Dalam keterbatasan- keterbatasan data yang ada saat ini, hasil-hasil analisa ini menawarkan rekomendasi-rekomendasi berikut:

1. Pilihan yang paling diminati untuk Timor-Leste dalam jangka pendek, paling kurang, adalah memiliki sebuah UM yang fleksibel.

2. Jika di lain pihak, kebijakan politik yang dianut adalah bahwa perlu ditetapkan suatu UM, maka

sangatlah penting bahwa upah itu ditetapkan sesuai dengan upah minimum di negara-negara tetangga atau negara-negara dengan perpaduan keterampilan dan pendapatan yang sebanding, guna menghindari dampak-dampak yang sangat negatif pada lapangan kerja keseluruhan dan investasi, serta bahkan dampak-dampak yang jauh lebih negatif terhadap para pemuda dan lapangan kerja perusahaan kecil.

3. Dalam hal harus ditetapkannya sebuah UM, maka sangat dianjurkan sebuah upah sub-minimum

untuk para pemuda.

6

DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP PASAR TENAGA KERJA: KASUS TIMOR-LESTE DALAM PERSPEKTIF KOMPARATIF

Maitreyi Bordia Das 26 Juni 2004

Prinsip-prinsip dasar

Timor-Leste sedang berada dalam proses membangun tonggak-tonggak perekonomian dan kebijakan sosialnya dengan melakukan reformasai dalam beberapa bidang yang sangat penting seperti kepegawaian negeri, lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan keterampilan serta pasar tenaga kerja. Pembahasan tentang kebijakan upah minimum (UM) merupakan suatu kunci dalam proses itu. Kode Tenaga Kerja yang ditetapkan oleh UNTAET sedang berada dalam proses revisi dan tiga Dewan Direksi, menurut Kode Tenaga Kerja, telah dibubarkan, di mana salah satunya menangani upah-upah minimum. Timor-Leste mempunyai pula masalah-masalah pengangguran yang serius, khususnya di antara para pemuda dan di wilayah-wilayah perkotaan. Kebijakan upah dan mekanisme-mekanisme negosiasi merupakan faktor-faktor dalam menentukan hasil-hasil pasar tenaga kerja, meskipun tentu saja terdapat determinan-determinan penting lain yang berkaitan dengan lingkungan-lingkungan makroekonomi dan bisnis yang lebih luas.

Maksud dokumen ini adalah untuk memberi informasi kepada diskusi-diskusi mengenai kebijakan upah dengan mempertimbangkan pengalaman internasional dan regional tentang kebijakan upah dan mekanisme-mekanisme penetapan upah, dan analisa tentang kondisi-kondisi pasar tenaga kerja dan upah-upah di Timor-Leste. Data dan literatur tentang Timor-Leste adalah sangat langka dan tersedia sangat sedikit informasi tentang mekanisme-mekanisme negosiasi, pertumbuhan serikat-serikat dagang dan dampak dari variabel-variabel demografik penting mengenai partisipasi angkatan kerja. Sumber utama untuk dokumen ini adalah Evaluasi Kemiskinan 2002 (PA), yang telah berdasarkan pada Studi Standar Hidup Timor-Leste/Timor Living Standards Survey (TLSS). Selain itu, dokumen ini menggunakan pula informasi komparatif dari negara-negara lain, guna memberi masukan bagi pembahasan tentang Timor-Leste.

Dokumen ini terbagi atas tiga bagian. Bagian I adalah sebuah pembahasan mengenai peran, prevalensi dan pentingnya UM, diikuti oleh sebuah studi tentang pengalaman internasional mengenai dampak-dampak UM terhadap lapangan kerja. Bagian II berusaha memahami kondisi-kondisi pasar tenaga kerja dan upah-upah di Timor-Leste yang berdampak pada penetapan UM. Bagian III menawarkan beberapa pilihan kebijakan mengenai UM untuk Timor-Leste dalam konteks pengangguran.

7

BAGIAN I: PENTINGNYA UPAH-UPAH MINIMUM DAN STUDI MENGENAI PENGALAMAN INTERNASIONAL

UM merupakan salah satu materi yang penuh muatan politis dalam kebijakan tenaga kerja. UM digunakan oleh pemerintah-pemerintah untuk tujuan-tujuan membuat kebijakan ekomomi dan kebijakan sosial. Para pendukungnya mengatakan bahwa UM dapat meningkatkan upah para pekerja miskin yang berpendapatan rendah sementara para penentangnya takut bahwa efek-efeknya terhadap lapangan kerja, karena mereka mengatakan bahwa ia menetapkan suatu tingkat upah minimum artifisial yang tidak relevan dengan kondisi-kondisi nyata pasar tenaga kerja. Bukti empiris menunjukkan bahwa UM itu sendiri bukanlah sebuah hikmah atau kutukan buruk yang telah dibuat, namun hal yang benar-benar penting tentang UM itu adalah tingkat di mana upah itu ditetapkan, tingkat pembangunan dan prioritas-prioritas perekonomian, tingkat pengangguran dan lain-lain. Pada kenyataannua tingkat UM yang sedang tidak merugikan, malah mendatangkan beberapa keuntungan kepada para pekerja dan perekonomian secara umum. Di lain pihak, UM yang tinggi dapat mengakibatkan efek yang buruk, dalam hal meningkatkan pengangguran dan mengurangi persaingan dalam sebuah perekonomian. Bagian I dokumen ini terbagi atas tiga seksi. Seksi 1 membahas tentang prevalensi dan tingkat-tingkat UM dan juga indikator-indikator yang telah digunakan untuk menilai dampaknya terhadap perekonomian. Seksi 2 memberikan pedoman-pedoman dan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan sewaktu menetapkan suatu UM yang bijaksana. Bukti internasional tentang dampak-dampak UM merupakan pokok bahasan Seksi 3. 1. Upah-upah Minimum: Prevalensi dan Tingkat Sub-seksi ini merupakan sebuah studi tentang “rejim” UM antar negara-negara yang membahas tentang:

a. Prevalensi UM – Seberapa umum mereka? b. Variasi-variasi dalam struktur UM c. Jangkauan tingkat absolut UM d. Menilai tingkat UM – tinggi, sedang dan rendah – berdasarkan pada indikator-indikator.

a. Seberapa umum upah-upah minimum itu?

UM dianggap sebagai salah satu alat kebijakan sosial penting dan dampak-dampak potensialnya terhadap pengentasan kemiskinan dan ketidakseragaman dalam pembayaran upah seringkali disebut-sebut sebagai alasan-alasan penting bagi pemberlakuan undang-undang UM dan penerapannya secara efektif. Jadi, kebanyakan negara, pada prinsipnya paling kurang memiliki beberapa undang-undang yang berkaitan dengan UM. Negara-negara OECD, dengan gerakan-gerakan tenaga kerja mereka yang secara historis kuat telah mempunyai undang-undang UM yang diberlakukan secara ketat. Begitu pula, negara-negara bekas Soviet telah memiliki pula undang-undang UM yang ketat, namun terdapat variasi antar negara-negara dalam penerapan dan cakupannya dalam tahun-tahun terakhir. Kebanyakan negara-negara di Asia Timur juga memiliki sebuah UM (kecuali Malaysia, yang mempunyai undang-undang dan mekanisme-mekanisme perlindungan pekerja yang lain seperti system dana masa depan). Indonesia mempunyai sebuah sistem UM yang rumit yang berbeda menurut sektor dan wilayah, dan UM di sana berlipat ganda dalam hal real antara 1988-95, setelah ada kritisisme bahwa para pekerja Indonesia tidak menikmati keuntungan-keuntungan pembangunan perekonomian2. Kebanyakan negara-negara di Asia Selatan dan Afrika juga memiliki undang-undang UM. Sejauh mana dan di sektor mana saja UM diberlakukan tergantung pada sejumlah faktor dan akhirnya memainkan sebuah perean besar dalam menentukan dampak nyata dari UM pada berbagai sektor perekonomian. 2 Edwards, 1996

8

b. Variasi-variasi dalam struktur-struktur UM

Sejumlah masalah penting dalam kebijakan UM berkaitan dengan cakupan hukum UM, dan jangkauan di mana terdapat sebuah atau berbagai upah minimum untuk sektor-sektor yang tercakup atau kelompok-kelompok sosial. Seringkali UM itu dibuat untuk skala nasional dan berlaku untuk semua sektor, tetapi seringkali, mereka bervariasi menurut sejumlah faktor. Variasi-variasi itu adalah:

Usia – sejumlah negara maju dan negara sedang berkembang, seperti Portugal, Selandia baru dan India mempunyai sub-upah minimum untuk para pekerja muda.

Wilayah – negara-negara seperti Austria, Finlandia, Jerman, Irlandia dan Indonesia mempunyai UM regional.

Industri dan Mata pencaharian – Negara-negara seperti Austria, Denmark, Finlandia, Irlandia, Italia, Norwegia, Portugal, Swedia, Swiss dan Cina mempunyai UM terpisah untuk berbagai industri dan Finlandia, Yunani, Irlandia, dan Swedia mempunyai UM berdasar mata pencaharian.

Seringkali di negara-negara berkembang, sektor pertanian dan para wiraswasta dikecualikan dari UM. Karena sulit untuk memberlakukan UM di sektor swasta atau informal, maka para pekerja informal juda seringkali diabaikan. Dalam praktek, bahkan ketika undang-undang UM berlaku untuk pertanian dan para pekerja swasta, hampir sangat tidak mungkin memberlakukan upah-upah itu.

c. Tingkat-tingkat absolut upah-upah minimum

Upah-upah minimum pada tahun 1990an berkisar dari USD 5.45 per bulan di Republik Kirgiztan sampai USD 1661 per bulan di Denmark. Negara-negara yang lebih kaya mempunyai UM yang lebih tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 1, yang menunjukkan hubungan positif antara UM dan PDB per kapita.

Pada tahun 1990an Pakistan mempunyai PDB per kapita sebesar USD 484 – mendekati tingkat PDB Timor-Leste saat ini (USD 472) dan mempunyai suatu UM sebesar USD 50 (Lampiran Tabel 4). Semua negara yang mempunyai PDB per kapita di bawah USD 500 pada tahun 1990an juga mempunyai UM di bawah USD 50. Negara-negara itu adalah Bangladesh, Kenya, Vietnam dan India. Negara-negara yang mempunyai UM yang mendekati UM informal Timor-Leste sebesar USD 85 (yaitu: antara USD 80 dan 90) adalah negara-negara yang jaug lebih kaya - Botswana dan Uruguai – dengan PDB per kapita masing-masing sebesar 3654 dan 6581, yang secara tepat menunjukkan bagaimana tingginya UM Timor-Leste yang telah ditetapkan secara informal, jika dibandingkan dengan tingkat pembangunannya. Meskipun secara jelas terdapat masalah-masalah dalam membuat perbandingan semacam ini, namun hal ini memberi suatu pemahaman intuitif tentang tingkat UM dari negara-negara yang berada pada kondisi serupa.

9

Gambar 1 Upah-upah minimum dan PDB per kapita

Untuk negara-negara dengan PDB per kapita di bawah USD 3000 Sumber: Rama, 2000 dan SIMA (20 negara)

d. Upah-upah minimum : rendah, sedang atau tinggi? Bagaimana kita mengetahuinya?

Rasio upah rata-rata terhadap UM seringkali digunakan sebapai pedoman tentang pentingnya UM. Semakin tinggi rasio itu maka semakin baik posisi relatif dari upah minimum para pekerja, tetapi juga semakin besar efek-efeknya yang secara potensial merugikan lapangan kerja atau apa yang dikenal sebagai “gigitan” upah minimun.

“Baik rasio upah minimum maupun rasio upah rata-rata kedua-duanya digunakan untuk melukiskan system upah minimun dan untuk menuntun keputusan-keputusan tentang kebijakan. Suatu penurunan dalam rasio ini, kecuali dilakukan secara sengaja dan disetujui di antara para mitra sosial, seringkali merangsang peningkatan penyesuaian upah minimum guna mempertahankan upah minimun itu pada tingkat tetap yang relatif terhadap upah rata-rata. Namun upah rata-rata itu, meskipun digunakan secara umum, bukanlah titik referensi yang memadai untuk upah minimun. Alasannya adalah bahwa nilai tengah itu sangat terpengaruh secara kuat oleh perubahan-perubahan pada ujung teratas dari distribusi upah, misalnya oleh peningkatan gaji dari para pekerja professional terampil. Karena itu upah median itu tidak mencerminkan kondisi-kondisi pasar tenaga kerja yang dihadapi oleh para pekerja berproduktivitas rendah. Upah median (adalah upah di mana separoh dari semua pekerja mendapatkan kurang dari upah itu dan separohnya lagi mendapatkan lebih banyak) adalah alat ukur atau benchmark yang lebih relevan guna menilai “gigitan” upah minimun”3.

3 Rutkowski, 2003 (pg 4)

10

Meskipun upah median dapat merupakan indikator terbaik, namun, untuk kebanyakan negara-negara berkembang, sulit mendapatkan data tentang upah-upah median4. Karena itu, rasio UM terhadap upah rata-rata adalah indikator yang digunakan secara lebih luas untuk menilai dampak UM. Nanti pada Bagian II, kita akan mencoba menilai pentingnya UM informal di Timor-Leste dengan menggunakan perhitungan-perhitungan upah median.

Gambar 2 Rasio upah minimun terhadap upah-upah rata-rata

Sumber: Rutkowski

Meskipun Gambar 2 mencantumkan kebanyakan negara-negara OECD, namun masih terdapat pula

negara-negara yang pendapatan per kapitanya rendah. Gambar itu menunjukkan bahwa rasio UM itu terhadap upah rata-rata berkisar dari lebih dari 62 persen di Honduras sampai dibawah 10 persen di Belarus, Tajikistan, Republik Kyrgyz, Moldova dan Russia, di mana kebanyakan negara-negara untuk mana tersedia datanya berada di antara kisaran 20-40 persen. UM di atas kisaran ini kebanyakan dimiliki oleh negara-negara industri maju. Rasio sebesar 50 persen atau lebih dianggap sangat tinggi dan dibawah 20 persen diangap rendah.

4 Berdasarkam pada data yang tersedia, kisaran UM untuk upah median di negara-negara OECD adalah antara 20 persen untuk Meksiko sampai lebih dari 60 persen untuk Perancis.

11

Tabel 1: Kategorisasi tingkat-tingkat upah minimum

Tingkat upah minimum UM sebagai persentase dari upah rata-rata

Rendah Kurang dari 20 Sedang 20 – 29 Cukup tinggi 30 – 39 Tinggi 40 – 49 Sangat tinggi 50 atau lebih

Sumber: Rutkowski, 2003.

2. Dampak-dampak UM terhadap lapangan kerja dan pelajaran-pelajaran dari bukti empiris

Dampak-dampak UM terhadap lapangan kerja merupakan materi yang kontroversial, dan bukti empiris berdasarkan secara luas pada penelitian dari negara-negara OECD, dan hal ini bahkan jauh dari mendukung tanpa ragu, ataupun secara jelas menentang pemahaman yang diterima dari teori ekonomi. Efek positif potensial yang paling nyata yang dapat dimiliki UM, dan alasan bagi keberadaannya, adalah bahwa ia akan meningkatkan pendapatan para pekerja termiskin dan dengan demikian melindungi mereka dari vulnerabilitas. Sebetulnya, terdapat alasan-alasan untuk percaya bahwa UM tidak selalu mempunyai hasil positif ini dan sebenarnya dapat merugikan para pekerja yang di mana ia berusaha melindungi. Dampak UM yang dipelajari secara luas adalah tentang lapangan kerja keseluruhan, karena ia dapat mendatangkan kesulitan di pasar tenaga kerja, yang menyebabkan para majikan dalam meberhentikan para pekerja yang kurang mereka butuhkan atau para pekerja yang yang dapat mereka pecat. Dampak-dampak UM terhadap pasar tenaga kerja seringkali dinilai dalam konteks sejumlah kondisi yang umum. Kondisi-kondisi ini meliputi:

Tingkat pengangguran (meskipun tingkat pengangguran bukan suatu indikator yang akurat tentang pasar tenaga kerja, dan tingkat lapangan kerja yang tidak memadai). Di mana pengangguran adalah tinggi (atau tinggi di wilayah atau sektor-sektor tertentu), maka UM yang tinggi dapat merugikan para pekerja yang berpendapatan dan berketerampilan rendah.

Ukuran sektor formal dan proporsi dari para pekerja yang dipekerjakan dalam sektor non-pertanian juga merupakan kunci kepada efek yang dapat dimiliki UM. Biasanya UM hanya diterapakan kepada sektor formal dan sektor yang lain “tidak tercakup”. Jika bagian terbesar dari penduduk berada dalam sektor yang tidak tercakup oleh upah minimum, maka manfaat potensial UM menurun seperti yang telah kita lihat dalam seksi sebelumnya. Berkaitan pula dengan hal ini, jika lapangan kerja sektor formal dan manufaktur di sektor swasta tidak berkembang sepenuhnya dan pemerintah mengambil kebijakan yang buru-buru untuk mendorong sektor ini, maka penetapkan UM yang terlalu tinggi dapat membahayakan pembangunannya dengan meningkatkan kekakuan pasar tenaga kerja. Jadi, lapangan kerja di sektor-sektor formal dan informal, dan di sektor-sektor swasta dan pemerintah yang telah ada semuanya penting dalam pengertian dampak UM terhadap lapangan kerja keseluruhan.

Perbedaan upah sebelum penetapan UM, khususnya di mana seorang pekerja yang berada pada distribusi upah menentukan dampak UM terhadap dirinya. Para pekerja yang mendapatkan upah mendekati UM adalah pihak yang paling terpengaruh oleh dampak upah minimum itu5. Karena itu, penting untuk mengetahui persentase dari para pekerja yang memperoleh pendapatan di bawah usulan UM sebelum upah itu diberlakukan. Di negara-negara sedang berkembang,

5 Neumark et al, 2000; Maloney dan Mendez, 2002.

12

tampak bahwa para pekerja di bidang pertanian dan di sektor swasta atau informal akan memperoleh upah-upah di bawah atau sebesar UM. Jika suatu UM meningkatkan upah-upah para pekerja ini melalui pemberlakuannya atau pengaruhnya, maka tampak bahwa (seringkali berketerampilan rendah) para pekerja murah ini dapat dipecat, dengan demikian menimbulkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun pendapatan para pekerja berupah rendah meningkat seiring peningkatan UM, namun jam kerja mereka dan lapangan kerja dapat pula mengalami penurunan, dan gabungan efek ini menimbulkan penurunan keseluruhan dalam pendapatan yang diterima.

Tingkat keterampilan angkatan kerja secara keseluruhan: hal ini secara khusus penting untuk sebuah negara sedang berkembang. Jika tingkat keterampilan rendah, dan UM ditetapkan terlalu tinggi, maka para majikan akan terpaksa memecat para pekerja, tidak memanfaatkan para pekerja berketerampilan rendah, atau bergantung kepada para pekerja asing. Karena itu beberapa negara telah menetapkan UM berbeda untuk para pekerja yang tidak terampil.

Kondisi kerja: hal ini mencakup pendapatan para pekerja dan jumlah jam kerja rata-rata per pekerja. Di mana pendapatan para pekerja adalah rendah, maka sebuah UM dapat berusaha meningkatkan pendapatan-pendapatan ini dam memperbaiki kondisi kerja.

Ukuran lapangan kerja pemuda: Penelitian menunjukkan bahwa meskipun dampak-dampak pemecatan pekerja keseluruhan adalah rendah, namun dampak-dampak mereka terhadap pengangguran pemuda secara potensial dapat menjadi tinggi.

Ukuran kemiskinan dan perbedaan/ketidaksamaan: baik kuantitas maupun kualitas lapangan kerja di negara-negara berkembang merupakan determinan-determinan kunci terhadap tingkat-tingkat kemiskinan. Di sini, dampak-dampak menurut gender, terutama di negara-negara di mana lapangan kerja untuk para wanita sudah sempit, secara khusus penting.

Bagian selanjutnya dari seksi ini menarik pelajaran-pelajaran dari literatur, terutama untuk memungkinkan dilakukannya suatu evaluasi tentang dampak-dampak UM terhadap lapangan kerja, dengan demikian dapat dibuat rekomendasi-rekomendasi di bagian-bagian terakhir bagi penetapan upah di Timor-Leste.

a. Dampak-dampak Terhadap Keseluruhan Lapangan Kerja

Di negara-negara OECD bukti itu tercampur dengan dampak-dampak UM terhadap lapangan kerja keseluruhan. Namun, struktur perekonomian, cara-cara penerapan, cakupan, struktur usia penduduk semuanya sangat penting dalam menilai dampak UM terhadap lapangan kerja, sebagaimana telah kita lihat sebelumnya. Di perekonomian-perekonomian yang sedang berkembang, meskipun faktor-faktor penentu dampak sangat mirip dengan di perekonomian yang lain, namun, konteksnya sangat berbeda. Yang tampak sangat jelas adalah kenyataan bahwa suatu UM yang sedang tidak merugikan baik lapangan kerja maupun kompetitivitas dan tentu meningkatkan pendapatan para pekerja yang berada di bagian terendah skala dan untuk siapa permintaan itu ada (lihat Tabel 1 untuk kategorisasi UM sebagai tinggi, sedang, dan rendah). Di negara-negara sedang berkembang (terutama yang berpendapatan rendah), sektor formal seringkali menggunakan bagian terbesar dari angkatan kerja, dan penting untuk menilai tidak hanya dampak keseluruhan UM terhadap lapangan kerja, tetapi juga dampaknya dalam hal mendorong para pekerja keluar dari sektor formal ke dalam sektor formal, dan terutama untuk kelompok-kelompok yang rentan, seperti para pekerja berketerampilan rendah, para pemuda dan para wanita. Bukti empiris tentang dampak-dampak UM yang meningkat atau tinggi terhadap lapangan kerja keseluruhan di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa jika UM dinaikkan melebihi tingkat yang sedang, maka ia akan

13

mendatangkan dampak-dampak buruk terhadap lapangan kerja, baik dalam hal mendorong para pekerja ke dalam sektor formal, maupun merumahkan para pekerja formal. Dampak-dampak ini khususnya tampak bagi para pekerja di perusahaan-perusahaan kecil. Jadi, misalnya, upah minimun Ghana yang meningkat selama tahun 1970an dan 1980an menimbulkan suatu pengurangan pekerjaan di sektor formal dan suatu peningkatan dalam pekerjaan-pekerjaan di sektor formal6. Di Costa Rica peningkatan UM menimbulkan dirumahkannya para pekerja paruh-waktu, dan suatu peningkatan dalam jam kerja untuk para pekerja waktu penuh7. Dalam kasus Indonesia, para pekerja di perusahaan-perusahaan kecil telah terpengaruh secara negatif oleh peningkatan UM pada tahun 1990an8.

b. Dampak terhadap lapangan kerja pemuda

Di banyak negara berkembang, peningkatan jumlah para pekerja pemuda yang akan memasuki pasar tenaga kerja diseimbangkan. Dengan demikian efek UM terhadap pengangguran pemuda menempati urutan sentral dalam setiap analisa kebijakan UM. Dasar teoritis untuk pernyataan bahwa UM akan mempunyai dampak negatif terhadap lapangan kerja pemuda adalah bahwa jika dipaksa membayar upah-upah yang lebih tinggi, maka tampaknya para majikan tidak akan mempekerjakan atau merumahkan para pekerja yang lebih muda yang tidak berketerampilan dan tidak berpengalaman. Karena itu di banyak negara, terdapat sebuah upah sub-minimum untuk para pekerja yang lebih muda. Jika telah ditetapkan, maka upah sub-minimum itu biasanya berkisar antara 60 sampai 80 persen dari UM keseluruhan (lihat Tabel 3 dan Lampiran Tabel 5). Penelitian yang dilakukan oleh negara-negara maju tentang topik ini lebih produktif dan penelitian itu membuktikan pandangan bahwa meskipun tidak ada dampak-dampak pengangguran UM terhadap angkatan kerja secara umum, namun terdapat sebuah efek negatif terhadap para pekerja yang lebih muda. Selain itu, sebuah upah sub-minimum sampai titik tertentu memperbaiki dampak-dampak pengangguran UM ini terhadap para pekerja yang lebih muda9. Dampak-dampak UM terhadap lapangan kerja para pekerja yang lebih muda tidak gampang diperoleh dalam literatur empiris tentang negara-negara berkembang. Namun, dalam kasus Indonesia telah diteliti secara lebih baik, dan di sini, meskipun hasil-hasilnya tidak menunjukkan dampak-dampak negatif upah-upah minimum terhadap lapangan kerja keseluruhan, namun dampak-dampak terhadap pengangguran pemuda tampak lebih jelas10. Tabel 3 menunjukkan instrumen-instrumen untuk menetapkan UM dan kebijakan UM untuk para pekerja muda bagi suatu kelompok negara-negara berkembang yang terpilih. Informasi yang dapat dibandingkan untuk OECD dan negara-negara transisi terpilih disajikan dalam Lampiran Tabel 5. Jelaslah bahwa apabila terdapat pengangguran pemuda yang tinggi yang telah ada sebelumnya – baik di tingkat nasional maupun wilayah-wilayah perkotaan – maka para pembuat kebijakan perlu berhati-hati dalam memperkenalkan suatu UM. Kehati-hatian itu bahkan harus lebih kuat apabila pola demografis menunjukkan suatu aliran masuk pemuda yang tinggi ke dalam pasar tenaga kerja.

6 Jones, 1997 7 Gindling dan Terrell, 2002 8 Rama, 1996; Atalas dan Cameron, 2003 9 Misalnya, dengan menggunakan data untuk US dari tahun 1970an sampai 1980an, Neumark dan Wascher (1992) menemukan bahwa suatu peningkatan sebesar 10% dalam upah minimum menyebabkan penurunan sebesar 1-2% dalam lapangan kerja di antara para pekerja muda dan suatu penurunan sebesar 1,5-2% dalam lapangan kerja untuk pekerja dewasa. Mereka menemukan pula bukti bahwa undang-undang upah sub-minimun untuk para pemuda yang diberlakukan oleh para ahli hukum Negara telah mengurangi efek-efek upah minimum terhadap para pemuda. 10 Rama, 1996; Suryahadi et al, 2000.

14

Tabel 2. System-sistem penetapan upah minimum dan tingkat UM pemuda di negara-negara sedang berkembang terpilih

Negara

(1)

Alat untuk menetapkan UM

(2)

Status pekerja muda

(3)

UM pemuda sebagai % dari UM dewasa

(4) Brazil UM legal atau yang

ditetapkan menurut undang-undang

UM orang dewasa berlaku untuk para pekerja muda

India Ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah Negara bagian

Tingkat upah khusus untuk para pekerja muda

Di New Delhi, 75% untuk para pekerja muda berusia antara 14 dan 18 tahun 50% untuk anak-anak di bawah 14 tahun

Pantai Gading

UM legal atau yang ditetapkan menurut undang-undang

Tingkat UM khusus untuk para pekerja muda menurut usia

60%: 14-15 tahun 70%: 15-16 tahun 80%: 16-17 tahun 90%: 17-18 tahun

Mauritius Tingkat UM ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja atas dasar rekomendasi yang dibuat oleh triparti Dewan Pembayaran Nasional (WRB)

Sumber: Dikutip dari Ghellab, 1998 Tabel A1.1

c. Dampak-dampak terhadap kemiskinan dan ketidaksamaan

Pandangan dominan tentang peran UM dalam pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang adalah bahwa UM mempunyai sedikit efek terhadap kemiskinan karena empat alasan utama11.

Cakupan UM terbatas kepada sekelompok kecil pekerja, biasanya dalam sektor formal. Garis-garis kemiskinan di negara-negara berkembang – jika ada – sangat rendah dan manfaat-

manfaat UM secara khas tidak meningkat kepada masyarakat termiskin. Sebagian besar masyarakat miskin bekerja di sektor wiraswasta yang tidak tercakup oleh UM. Tingkat-tingkat inflasi yang tinggi menyulitkan penetapan suatu UM.

Namun, kondisi-kondisi di mana UM dapat berdampak positif terhadap kemiskinan adalah jika:

(a) UM yang lebih tinggi mengakibatkan upah-upah yang lebih tinggi di sektor yang tidak tercakup. (b) Peningkatan upah-upah di sektor yang tidak tercakup cukup tinggi dalam mendorong sejumlah

penduduk keluar dari kemiskinan. (c) Jumlah penduduk yang keluar dari kemiskinan melebihi jumlah orang-orang yang jatuh ke dalam

kemiskinan karena UM.

11 Lustig dan McLeod, 1996

15

Sewaktu mengevaluasi dampak-dampak terhadap ketidaksamaan, dampak-dampak terhadap jurang upah untuk gender dan dampak-dampak lapangan kerja diferensial terhadap para wanita dan pria harus dipertimbangkan pula. UM seringkali digunakan sebagai suatu obat untuk mengobati jurang upah gender, terutama di negara-negara OECD. Beberapa studi menunjukkan bahwa para wanita cenderung menarik manfaat lebih besar dari UM daripada para pria, namun bukti dari negara-negara sedang berkembang sangat langka tentang materi ini. Bukti seperti itu yang ada menunjukkan hasil-hasil yang bervariasi. Di Trinidad misalnya, para pria yang berkerja di perusahaan-perusahaan besar cenderung mengalami peningkatan upah sampai, paling tidak, tingkat minimum, sementara para majikan untuk perusahaan-perusahaan besar maupun kecil, dalam beberapa kasus, bereaksi terhadap upah minimun itu dengan merumahkan para pekerja. Berbicara mengenai dampak-dampak lapangan kerja terhadap para wanita, sebuah studi Indonesia telah menunjukkan suatu depresi besar dalam lapangan kerja formal di perkotaan untuk para wanita karena peningkatan dalam UM.12 Jadi, terdapat lebih banyak alasan untuk dipikirkan mengenai penerapan suatu UM jika lapangan kerja untuk para wanita sudah terbatas.

3. Upah-upah minimum yang bijaksana: faktor-faktor apa yang harus dipertimbangkan?

Dalam konteks pembahasan sebelumnya, seksi ini menetapkan beberapa prinsip dasar untuk penetapan UM yang bijaksana. UM diterapkan melalui dua mekanisme dasar–UM legal yang ditetapkan menurut undang-undang oleh pemerintah-pemerintah atau UM yang ditetapkan melalui persetujuan-persetujuan bersama (liha Lampiran Tabel 5 kolom 2). Mekanisme-mekanisme ini tidak saling eksklusif dan seringkali UM ditetapkan melalui undang-undang dalam konsultasi dengan serikat-serikat dan asosiasi-asosiasi majikan. Terdapat beberapa faktor untuk dipertimbangkan ketika menetapkan UM yakni: rasio upah minimun/rasio upah rata-rata, kondisi-kondisi pasar tenaga kerja keseluruhan dan pertumbuhan dan kompetitivitas perekonomian yang telah dibahas di seksi sebelumnya. Faktor-faktor itu meliputi:

(a) Menyeimbangkan tujuan-tujuan sosial dengan tujuan-tujuan ekonomi (b) Cakupan sektoral UM (c) Dapat diberlakukan dan kepatuhan (d) Masalah-masalah pertumbuhan dan kompetitivitas (e) Mekanisme-mekanisme negosiasi dan UM

a. Menyeimbangkan tujuan-tujuan sosial dengan tujuan-tujuan ekonomi

Kebijakan Organisasi Tenaga Kerja Internasional/International Labor Organization (ILO) mengenai upah-upah minimum diuraikan di dalam sejumlah Konvensi ILO dan Rekomendasi-rekomendasi, yang paling terkini adalah Konvensi Upah Minimum (No.131) dengan referensi khusus kepada negara-negara sedang berkembang, yang telah diadopsi pada 1970. Sejak saat itu telah terbukti bahwa negosiasi kolektif dan cara-cara non-legal yang lain untuk penetapan upah tidak tersebar seluas dan secepat seperti yang telah diharapkan ILO sendiri. Ayat 3 Konvensi itu menuntut para pejabat yang menetapkan upah minimun mempertimbangkan unsur-unsur berikut:

(a) kebutuhan-kebutuhan para pekerja beserta keluarga-keluarga mereka, dengan mempertimbang-kan tingkat upah-upah umum di negara itu, biaya hidup, manfaat-manfaat kemanan sosial, dan standar hidup relatif dari kelompok sosial yang lain;

(b) faktor-faktor ekonomi, seperti tuntutan-tuntutan pembangunan ekonomi, tingkat produktivitas dan keinginan untuk mencapai dan mempertahankan suatu tingkat yang tinggi dalam lapangan kerja.

12 Suryahadi et al, 2003

16

Menurut ILO13, kebanyakan kriteria yang telah dirumuskan secara internasional untuk menetapkan tingkat relatif upah-upah minimum adalah varian-varian dari empat konsep berikut, yang mewakili kepentingan-kepentingan sektoral para pekerja, para majikan dan keprihatinan makroekonomi para pejabat:

Kebutuhan-kebutuhan para pekerja; Kemampuan para majikan untuk membayar; upah-upah dan pendapatan-pendapat yang dapat dibandingkan; dan tuntutan-tuntutan pembangunan perekonomian

Dalam praktek, para pejabat yang menetapkan upah minimun “umumnya berharap untuk menetapkan suatu keseimbangan antara masalah-masalah ekonomi dan sosial”14. Menurut rekomendasi-rekomendasi ILO, umumnya negara-negara menetapkan UM berdasarkan pada konsepsi dari “kebutuhan-kebutuhan dasar” dari para pekerja – kebutuhan-kebutuhan yang ditentukan oleh biaya sebuah keranjang standar barang-barang. Seberapa baik sebuah kebijakan merumuskan “dasar” dapat tergantung pada kecenderungan politisnya, pendapatan per kapitanya, PDB, dan kekuatan gerakan serikat dagangnya, di antara faktor-faktor yang lain. Misalnya, di Indonesia, basis untuk UM telah berobah dari “kebutuhan fisik minimum” (disingkat KFM) menjadi “kebutuhan hidup minimum” (dan disingkat KHM) pada tahun 1996. Kedua konsep mencakup sebuah keranjang komoditi seperti makanan, pakaian, perumahan, angkutan, kesehatan, hiburan, dan lain-lain. KHM mencakup sebuah konsepsi yang lebih luas tentang kebutuhan-kebutuhan minimum dan juga menyesuaikan dengan kemampuan dan kesinambungan perusahaan-perusahaan, tingkat-tingkat upah pasar, kondisi-kondisi pasar tenaga kerja, dan tingkat pertumbuhan ekonomi mikro dan makro. Selain itu, Indonesia telah berpindah dari UM berbasis propinsi menjadi UM di dalam propinsi yang lebih spesifik untuk sektor-sektor.15

b. Cakupan Sektoral Sektor-sektor di mana relevan untuk UM merupakan kunci untuk menetapkan dampak-dampak lapangan kerja nya pada perekonomian. Di negara-negara berkembang, umumnya UM berlaku untuk sektor formal dan untuk mata-pencaharian bukan-pertanian. Namun terdapat beberapa perkecualian16. Meskipun jika UM tidak berlaku untuk para pekerja pertanian dan sektor informal (di mana mereka seringkali tidak berlaku), namun pemberlakuan UM itu merupakan suatu tugas administratif dan hukum yang sangat besar. Tentu saja, upah-upah di sektor yang tidak tercakup dapat meningkat pula, karena efek hukum dan demonstrasi dari UM. Jadi, di Amerika Latin terdapat indikasi-indikasi dari sebuah “efek mercucuar” yang meningkatkan pula upah-upah di sektor yang tidak tercakup17. Bukti-bukti non-ilmiah dari India18 menunjukkan suatu peningkatan dalam kekuatan bernegosiasi dari para pekerja di sektor swasta atau informal di mana terdapat suatu UM, dan apabila para pekerja informal berkumpul untuk meminta upah-upah yang lebih tinggi (misalnya di sektor konstruksi). Meskipun hal ini dapat menjadi suatu hasil kebijakan sosial penting, namun ia dapat pula berkontribuis untuk meningkatkan kekakuan di pasar tenaga kerja. Dalam kasus-kasus yang lain, UM dapat ditetapkan lebih tinggi, dan tidak “mengikat”, yang berarti bahwa upah yang ditetapkan oleh pasar jauh lebih rendah, dan jika UM itu harus benar-benar

13

ILO, 2000

14 LO, 2000 I15

Suryahadi et al, 2003

16 Misalnya, India mempunyai pula upah-upah minimum untuk para pekerja pertanian, namun upah-upah ini jarang diberlakukan. 17 Maloney dan Mendez , 2002 18 Asosiasi Wanita-Wanita Wiraswasta/Self Employed Women’s Association (SEWA)

17

diberlakukan, maka perusahaan-perusahaan akan gulung tikar. Di Kolombia, misalnya, pada tahun 1980an, UM meningkat dan mengikat secara hukum di banyak kasus, yang telah membuat dampak mereka besar19.

c. Dapat diberlakukan dan kepatuhan

Kemampuan kelembagaan banyak negara sedang berkembang terbatas dalam memberlakukan UM dan perlindungan hukum yang tersedia untuk para pekerja. Misalnya sebuah studi dari Trinidad tentang UM yang baru pertama kali diperkenalkan menunjukkan bahwa biaya-biaya potensial dari kepatuhan penuh pada upah itu sangat tinggi. Karena hal ini dan kenyataan bahwa kemungkinan deteksi untuk ketidak-patuhan dan hukuman-hukuman terkait adalah kecil, maka ketidak-patuhan pada kenyataannya sangat tinggi20. Di Indonesia, diperkirakan bahwa sekitar seperempat dari perusahaan-perusahaan membayar upah di bawah UM propinsi dan bahwa sekitar 14 persen dari para pekerja pada tahun 2001 telah menerima upah di bawah UM propinsi. Tidaklah jelas apakah hal ini hanya berlaku untuk para pekerja di perusahaan-perusahaan formal saja.

Tabel 3. Indonesia: Cakupan Upah Minimun – 2001

Triwulan Pertama

Triwulan kedua

Triwulan ketiga

Standar UM Nasional (Rp) 272,790 271,150 278,530Upah rata-rata para pekerja yg menerima kurang dari UM propinsi (Rp)

220,040 228,690 230,760

% dari perusahaan yang membayar kurang dari UM propinsi

26.1 22.6 22.1

% para pekerja yang menerima kurang dari UM propinsi

15.7 13.6 13.2

Sumber: Statistik Indonesia, 2002

Jika terdapat suatu UM tetapi tidak diberlakukan selama periode-periode pengangguran tinggi dan aktivitas serikat dagang meningkat, maka hal ini dapat pula menciptakan masalah-masalah governance yang potensial, dengan para pekerja yang putus asa dengan pertikaian antara upah yang ditetapkan hukum dan upah-upah aktual. Hal ini pada akhirnya dapat menimbulkan konflik tenaga kerja potensial dan instabilitas politik.

d. Masalah-masalah pertumbuhan dan kompetitivitas

Salah satu argument konvensional melawan teori kekakuan/rigidity yang disebabkan oleh peningkatan-peningkatan dalam UM adalah bahwa perusahaan-perusahaan – baik asing maupun dalam negeri- akan dipaksa, baik untuk mengurangi aktivitas maupun menutup usaha jika biaya tenaga kerja mereka meningkat karena UM legal. Dalam hal negara-negara sedang berkembang yang tergantung pada perusahaan-perusahaan multinasional untuk lapangan kerja berskala besar hal ini berarti apakah mengurangi lapangan kerja secara tidak proporsional, atau memindahkan usaha-usaha keluar dari Negara itu atau menimpor tenaga kerja asing yang lebih murah. Penelitian itu menunjukkan bahwa kompetitivitas perusahaan-perusahaan kecil terpengaruh besar karena peningkatan UM. Perusahaan-perusahaan dalam negeri di negara-negara berkembang seringkali kecil dan menengah, dan jika UM berdampak negatif pada

19 Bell, 1995 20 Strobl dan Walsh, 2003

18

kompetitivitas perusahaan-perusahaan ini, maka kesempatan-kesempatan yang ada adalah bahwa baik pertumbuhan maupun lapangan kerja akan menderita, seperti telah disebutkan sebelumnya.

e. Mekanisme-mekanisme negosiasi dan upah-upah minimum Koordinasi negosiasi antara para pekerja dan para majikan terbukti telah menunjukkan hasil-hasil penting baik bagi para pekerja maupun para majikan. Jadi, ketika menetapkan UM, para pejabat harus memberi perhatian yang memadai kepada serikat-serikat dan hal ini seringkali dapat mempengaruhi tingkat UM itu sendiri. Salah satu peran penting serikat-serikat itu adalah dalam penetapan upah melalui proses negosiasi bersama. Sebuah studi tentang penelitian yang dilakukan saat ini menunjukkan suatu gambaran perpaduan antara dampak serikat-serikat itu pada perekonomian dan memperkuat argumen untuk sebuah pendekatan kontekstual dan khas kepada negara itu daripada suatu pendekatan agregat atau bahkan suatu pendekatan yang khas untuk suatu wilayah. Namun, satu efek dari negosiasi bersama muncul secara jelas – serikat-serikat baik di negara-negara industri maupun di negara-negara sedang berkembang telah sukses dalam menjamin suatu tingkat upah untuk para anggota mereka dan para pekerja lain yang tercakup oleh persetujuan-persetujuan kolektif itu; dan tergantung pada situasi perekonomian, kelembagaan, dan lingkungan politis di mana serikat-serikat itu dan para majikan berinteraksi, negosiasi kolektif kebalikan dengan kontrak individual dapat berkontribusi secara negatif atau positif kepada kinerja perekonomian dari perusahaan-perusahaan dan kepada kesejahteraan para pekerja. Dalam hal penyebaran upah dan ketidak-samaan upah, negara-negara yang memiliki negosiasi kolektif yang terkoordinir cenderung mempunyai penyebaran upah yang sedikit dibanding negara-negara lain21. Kesimpulan: Guna menetapkan UM yang bijaksana, sebuah negara perlu mempertimbangkan sejumlah faktor seperti tingkat pembangunannya, masalah-masalah pertumbuhan dan kompetitivitas, distribusi upah, cakupan dan kepatuhan pada upah itu, dan para pekerja mana yang akan terpengaruh oleh UM itu. Tak satupun dari hal-hal tersebut di atas yang dapat dicapai tanpa data dan pengukuran pasar tenaga kerja yang dapat diandalkan. Di sinilah di mana studi-studi dan analisa-analisa pasar tenaga kerja berguna – guna memastikan bahwa UM ditetapkan pada tingkat yang tidak akan merugikan perekonomian atau kesejahteraan sosial penduduknya. Kotak 1 menyajikan 9 unsur dalam menetapkan UM yang bijaksana.

21 Aidt dan Tzannatos 2001 dan 2002

19

Kotak 1: Sembilan prinsip suatu kebijakan upah minimum yang bijaksana

1. Tetapkan upah minimun sedemikian sehingga memberi suatu standar hidup minimum yang dapat diterima oleh para pekerja berpendapatan rendah tetapi secara simultan memastikan bahwa “gigitannya” terbatas, bahwa ia tidak memotong terlalu dalam ke distribusi upah.

2. Memungkinkan kondisi-kondisi pasar tenaga kerja. Tidak meningkatkan upah minimun ketika pengangguran sedang tinggi atau menaikkan dan terkoncentrasi di antara para pekerja berketerampilan rendah.

3. Tetapkan suatu sub-upah minimum untuk pemuda, khususnya jika pengangguran pemuda sedang tinggi. Secara kasar, upah sub-minimum harus menanggung sekitar 75 percent dari upah minimum pekerja dewasa. Diferensiasi selanjutnya dapat dipertimbangkan, misalnya, upah minimun yang lebih rendah untuk para pemuda dan lebih tinggi untuk pekerja dewasa.

4. Pertimbangkan diferensiasi regional dalam upah minimun jika kondisi-kondisi pasar tenaga kerja dan produktivitas bervariasi secara substantial antar wilayah. Di wilayah-wilayah yang secara ekonomis miskin dengan pengangguran tinggi maka upah minimun regional harus lebih rendah daripada di wilayah-wilayah dengan pasar tenaga kerja yang lebih baik.

5. Tidak memperluas peprsetujuan kolektif sektoral mengenai upah-upah minimum kepada para mejikan yang tidak ikut-serta, dan memberi suatu opsi “pilih keluar” bagi para majikan (khususnya yang kecil) untuk siapa terlalu mahal untuk mematuhi persetujuan-persetujuan sektoral. Para majikan ini harus terikat semata-mata kepada upah minimun nasional.

6. Lakukan penyesuaian upah minimun secara periodik guna memungkinkan pertumbuhan harga atau upah. Sementara itu, perhitungkan pula perubahan-perubahan dalam kondisi-kondisi pasar tenaga kerja (lihat point 2). Untuk menyeimbangkan kedua pertimbangan ini, jangan terpaku pada rumusan yang kaku untuk penyesuaian-penyesuaian rutin bagi upah minimun. Misalnya, keseimbangan dapat dicapai dengan menghubungkan upah-upah minimum kepada peningkatan rata-rata upah, tetapi tunduk pada tingkat inaktivitas yang masih berada di bawah tingkat yang telah ditetapkan (seperti dalam kasus di Belanda).

7. Himpun data tentang distribusi upah baik dengan cara melakukan survey berbasis majikan atau rumah-tangga.

8. Analisis distribusi upah sebelum meningkatkan upah minimun, dengan memuatkan perhatian pada faktor-faktor yang akan menentukan dampak itu. Kedua faktor terpenting adalah:

a. Tetapkan rasio upah minimun baru kepada upah rata-rata (lebih baik median) untuk kelompok pekerja vulnerabel (misalnya para pemuda, para pekerja berketrampilan rendah) dan antar wilayah.

b. Tetapkan proporsi para pekerja yang akan terpengaruh oleh peningkatan itu, misalnya proporsi para pekerja yang upah-upahnya berada di antara tingkat upah minimun saat ini dan tingkat minimun upah baru (menurut kelompok pekerja dan wilayah);

9. Tetapkan upah minimun pada tingkat lebih rendah dan memberlakukannya secara efektif. Ini adalah pendekatan yang lebih efisien dan adil daripada menetapkan upah minimun pada tingkat yang lebih tinggi tetapi dengan pengawasan yang lemah atau selektif.

Sumber: Rutkowski, 2003

20

BAGIAN II: RELEVANSI UNTUK TIMOR-LESTE

Apa implikasi-implikasi dari studi sebelumnya tentang pengalaman internasional terhadap UM, lapangan kerja dan negosiasi untuk Timor-Leste? Beberapa aspek dari perekonomian Timor-Leste dalam konteks ini perlu mendapatkan perhatian. Timor-Leste sedang berada pada tahap yang sangat kritis dalam pembangunan lembaga-lembaga pasar tenaga kerjanya dan menghadapi tantangan-tantangan serius di bidang ini. Konteks historisnya menyangkut lembaga-lembaga ini berakar dalam pengalamannya sebelum kemerdekaannya. Pengalaman regional Asia Timur dan Asia Tenggara dapat diharapkan memiliki dampak-dampak demonstrasi dalam hal pertumbuhan serikat-serikat dagang dan menarik pengalaman dari kebijakan para tetangganya. Bagian II berdasarkan pada suatu analisa data dari Studi Standar Hidup Timor/the Timor Living Standards Survey (TLSS) 2001. Sejak 2001, telah ada beberapa perkembangan yang secara potensial telah mempengaruhi pasar tenaga kerja, namun kelangkaan data segar telah menuntut suatu analisa yang berdasarkan pada TLSS. Meskipun demikian, tingkat inflasi yang rendah sejak 2001, dipadu dengan dampak negatif pada lapangan kerja perkotaan dan upah-upah karena penuruan kehadiran donor di Timor-Leste, menunjukkan bahwa data 2001 masih bermanfaat untuk analisa pasar tenaga kerja.

Kotak 2: Definisi-definisi yang berkaitan dengan lapangan kerja

Menurut pendekatan standar untuk mengukur partisipasi angkatan kerja untuk penduduk yang aktif secara ekonomis, angkatan kerja mencakup semua orang yang dianggap bekerja dan tidak bekerja misalnya mereka yang telah bekerja selama minggu lalu, tidak bekerja selama minggu lalu namun memiliki pekerjaan tetap, atau tidak bekerja selama minggu lalu tetapi sedang mencari pekerjaan selama minggu lalu.

Orang-orang yang tidak bekerja, menurut definisi internasional, adalahorang-orang yang, selama 7 hari terakhir, tidak bekerja tetapi sedang mencaripekerjaan selama minggu lalu. Baik orang-orang yang bekerja maupun yang tidak bekerja dianggap berada di dalam angkatan kerja dan tingkat-tingkat lapangan kerja (berbeda dari tingkat partisipasi angkatan kerja) berdasarakan pada sampel orang-orang yang berada di dalam angkatan kerja. Mereka yang berada di luar angkatan kerja umumnya adalah orang-orang yang baiktidak bekerja maupun tidak mencari pekerjaan, seperti para pelajar, orang-orang yang melakukan pekerjaan rumahtangga, dan para pengemis, para WTS, para penyelundup, para penerima uang transfer, para penyewa, para pensiunan, tidak sanggup bekerja karena cacat, dan anak-anak yang berusia antara 0-14 tahun.

Definisi standar untuk pengangguran dapat tidak mencakup secara memadai orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan yang ingin bekerja, dan orang-orang yang mungkin tidak sedang mencari pekerjaan selama 7 hari terakhir atau orang-orang yang sedang bekerja yang jauh berada di bawah kapasitas optimal mereka, atau dengan kata lain, sedang bekerja tidak maksimal. Di negara-negara berkembang, tingkat pengangguran terbuka seringkali rendah, karena orang-orang tidak dapat terus menganggur dan melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia, setelah mencari pekerjaan yang cocok selama beberapa waktu, namun jumlah orang yang bekerja tidak maksimal adalah tinggi namun sulit diukur. Sebuah masalah terakhir yang penting berkaitan dengan apa yang dinamakan "menghambat para pekerja", di mana orang berhenti mencari pekerjaan karena tidak sukses mencarinya, namun berkemauan bekerja jika tersedia. Kelompok ini tidak dikategorikan sebagai berada di dalam angkatan kerja dalam analisa tradisional, namun tampak jelas sebagai anggota angkatan kerja potensial, dan sebuah gejala kurangnya permintaan di pasar tenaga kerja.

21

1. Faktor-Faktor Pasar Tenaga Kerja di Timor-Leste dan Pentingnya Potensi UM Sebagaimana telah kita lihat dalam pembahasan sebelumnya, kondisi-kondisi pasar tenaga kerja dan faktor-faktor lain seperti trend-trend demografik, khususnya tingkat pengangguran, merupakan kunci kepada dampak UM. Misalnya, jika pengangguran tinggi saat dimulai, maka dampak-dampak UM yang tinggi jelas akan lebih merugikan daripada jika pengangguran rendah pada saat dimulai. Berikut adalah sebuah tinjauan singkat tentang ciri-ciri pasar tenaga kerja di Timor-Leste yang paling relevan untuk perumusan kebijakan UM.

a. Pengangguran yang tinggi di wilayah perkotaan: Pengangguran di wilayah perkotaan di Timor-Leste tinggi (definisi ILO) di mana para pekerja di Dili dan Baucau menghadapi tingkat pengangguran tertinggi sebesar 20 persen. Tingkat partisipasi angkatan kerja adalah tertinggi di wilayah pedesaan namun di dalam wilayah-wilayah perkotaan terdapat variasi besar dalam partisipasi angkatan kerja di wilayah-wilayah pusat, timur dan barat. Dalam hal pentingnya UM, wilayah-wilayah perkotaan adalah tempat di mana UM tampaknya akan berdampak besar dan akan diberlakukan.

b. Partisipasi angkatan kerja menurut Gender dan Pendidikan: dalam hal perbedaan gender, tingkat partisipasi angkatan kerja cukup tinggi untuk para pria (81 persen) daripada untuk para wanita (40 persen). Pengangguran adalah tertinggi di antara orang yang tidak terdidik, sebuah pola yang terlihat di banyak negara sedang berkembang. Di dalam sebuah rejim kelangkaan kesempatan kerja, orang-orang yang tidak berpendidikan tampak paling berpeluang berada dalam angkatan kerja, barangkali karena mereka kurang sanggup jika tidak bekerja (atau mencari pekerjaan) dibandingkan dengan mereka yang lebih berpendidikan. akhirnya, dalam hal jurang gender, seperempat dari para wanita dibandingkan dengan satu dia antara tujuh pria adalah penganggur, jadi hal itu menghawatirkan mengenai pengangguran wanita yang merupakan sebuah faktor penting dalam kebijakan UM di Timor-Leste .

c. Cakupan dan Pematuhan: pembahasan dalam Bagian I menenkankan bahwa dampak UM dirasakan paling kuat di negara-negara di mana kepatuhan sangat tinggi. Di Timor-Leste, lebih dari 80 persen dari angkatan kerja berkecimpung di bidang pertanian dan pemberlakuan UM di sektor pertanian secara praktis tidak mungkin. Lebih lanjut, lapangan kerja berupah merupakan bagian yang sangat kecil dari gambaran lapangan kerja keseluruhan. Karena itu cakupan UM, tampaknya akan dibatasi untuk wilayah-wilayah perkotaan dan lapangan kerja berupah formal, yang merupakan bagian yang sangat kecil dari angkatan kerja. Lebih lanjut, karena Timor-Leste merupakan sebuah negara baru, yang mempunyai kemampuan kelembagaan terbatas dalam memberlakukan UM, maka akan merupakan sebuah tantangan untuk secara efektif memberlakukan UM itu, urusan dengan masalah-masalah hukum, dan menangani harapan-harapan para pekerja bahkan di sektor formal.

d. Kelompok-kelompok pemuda yang besar dan pengangguran pemuda yang tinggi di perkotan: Seksi-seksi sebelumnya telah menggaris-bawahi pentingnya UM di lapangan kerja pemuda. Timor-Leste mempunyai penduduk yang sangat muda dan jumlah itu akan bertambah untuk para pekerja muda yang memasuki angkatan kerja. Piramida penduduk dalam Lampiran Gambar 1 menunjukkan suatu bagian penduduk yang meningkat secara substansial yang terdiri dari usia 35-tahun pada 2025. kemampuan pasar tenaga kerja dalam menyerap aliran besar pemuda ini akan merupakan tantangan sosial dan ekonomi yang penting. Pada 2001, tingkat pengangguran mencapai titik tertinggi di antara kelompok-kelompok penduduk termuda di wilayah-wilayah perkotaan dan penurunan tajam dalam usia, di mana tingkat pengangguran di antara penduduk kota berusia 15-24 tahun adalah 43 persen, dan turun menjadi 17 persen untuk penduduk berusia 25-34 tahun, dan sembilan persen dari penduduk berusia lebih dari 35 tahun. Karena risiko dampak-dampak negatif UM pada lapangan kerja

22

pemuda, titik tolak dari pengangguran pemuda kota yang tinggi merupakan sebuah faktor penting dalam pengembangan kebijakan upah minimun di Timor-Leste.

e. Pentingnya perusahaan-perusahaan kecil: pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bahwa dampak-dampak mengurangi lapangan kerja dari UM telah dirasakan paling kuat oleh perusahaan-perusahaan kecil. Pada 2001, sedikit kurang dari 4 persen dari lapangan kerja di Timor-Leste ada di sektor manufaktur. Lebih lanjut, wiraswasta merupakan jenis lapangan kerja yang dominan. Jadi, kebanyakan perusahaan tampaknya kecil, meskipun tidak tersedia estimasi yang akurat. Jika ingin mendorong pengembangan sektor swasta di Timor-Leste, maka kepentingan perusahaan-perusahaan kecil harus dipromosikan, dan suatu upah minimun yang tinggi melebihi batas pasti akan berdampak negatif terhadap perusahaan kecil di Timor-Leste.

f. Tingkat-tingkat keterampilan: Timor-Leste mengalami kelangkaan pekerja-pekerja terampil, seperti diwakili oleh rata-rata masa studi, di mana pada 2001 adalah sebesar 4.62 tahun. Hanya 4.25 persen dari sampel TLSS yang pernah mengenyam pendidikan universitas. Hal ini berhubungan dengan baik produktivitas maupun potensi negara untuk menarik investasi asing. Pembahasan berikutnya akan menggaris-bawahi dampak yang dimiliki hal ini terhadap para pekerja Timor-Leste.

g. Hukum tenaga kerja dan pertumbuhan negosiasi kolektif: serikat-serikat dan lembaga-lembaga hukum di Timor-Leste sedang berada dalam tahap pembentukan mereka dan tergantung pada dukungan dari para mitra mereka dari Australia, ILO dan organisasi-organisasi payung dunia yang lain. Dasar hukum pembentukan serikat-serikat itu adalah Kode Tenaga Kerja, yang didirikan berdasarkan standar-standar ILO. Hukum memungkinkan para pekerja untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi-organisasi pekerja tanpa izin sebelumnya. Namun usaha-usaha untuk mengorganisir para pekerja umumnya berjalan lamban karena kurangnya pengalaman dan langkanya keterampilan-keterampilan berorganisasi. Kode Tenaga Kerja juga menetapkan pekan kerja maksimun dan lembur, standard-standar minimum kesehatan dan keamanan pekerja, masa cuti, dan tunjangan-tunjangan standar lain. Sebagaimana dituntut oleh Kode Tenaga Kerja, Pemerintah telah mengangkat para anggota Dewan Tenaga Kerja Nasional, Dewan Hubungan Tenaga Kerja, dan Dewan Upah Minimun. Dewan-dewan ini diharapkan menerima pelatihan dan mulai bekerja pada 2004. hukum memperlakukan semua pekerja, baik legal maupun ilegal, secara sama dalam hal upah-upah dan kondisi-kondisi kerja22.

Meskipun memiliki kemampuan rendah dan masalah-masalah lain, saat ini terdapat peristiwa-peristiwa pemogokan yang dipublikasikan dengan baik yang bertujuan mengamankan hak-hak para pekerja melawan pemecatan secara tidak adil, untuk upah yang adil dan beberapa pelindungan sosial. Karena itu negosiasi kolektif merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam penetapan dan pemberlakuan suatu UM, meskipun tidak secara lansung.

2. Upah-upah di Timor-Leste dan “gigitan” UM “Gigitan” UM sebagaimana telah kita lihat, menyangkut dampak (umumnya negatif) terhadap struktur upah secara khusus dan perekonomian secara umum. Upah minimun di Timor-Leste telah ditetapkan secara informal pada tingkat USD 85 per bulan atau sekitar USD 4 per hari oleh UNTAET. Meskipun upah ini tidak mengikat secara hukum, namun ia telah mempunyai suatu dampak penting terhadap penetapan upah di sektor formal, termasuk kepegawaian negeri. Dalam konteks pembahasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pentingnya UM, perkenankan kami mulai dengan beberapa pengamatan mengenai Timor-Leste.

22 Departemen Dalam Negeri AS. 2004

23

Dengan UM informal, rasio UM/UR (upah rata-rata) untuk Timor-Leste adalah 0,53, atau dengan kata lain, MU memberi andil sebesar 53% untuk upah rata-rata23. Hal ini menempatkan rasio Timor-Leste dalan kisaran “sangat tinggi” dalam perbandingan internasional (lihat Tabel 1), lebih tinggi daripada Belanda dan Ukraina dan lebih mendekati negara-negara seperti Perancis.

• Dalam hal mutlak, UM informal untuk Timor-Leste secara dramatis adalah lebih tinggi daripada tingkat UM di negara-negara yang tingkat pendapatannya dapat diperbandingkan, termasuk negara tetangga Indonesia dan Vietnam (Lampiran Tabel 4). Suatu tingkat UM dari USD 85 menempatkan Timor-Leste mendekati Uruguai pada tahun 1990an. Akan tetapi, pendapatan per kapita Uruguai adalah USD 6581 dan rata-rata masa pendidikan untuk setiap penduduk diatas –15 adalah USD 7.56 dalam tahun 1990an, dibandingkan dengan USD 472 secara berturut-turut untuk Timor-Leste.

• Upah minimum bulanan Nusa Tenggara Barat - propinsi tetangga Indonesia ditetapkan sekitar USD 24 pada tahun 2001 dan sekitar USD 40 di akhir 2003 ( lihat lampiran Tabel 3). Jelaslah bahwa dalam perbandingan itu, UM USD 85 per bulan untuk Timor-Leste setinggi hampir dua kali lipat. Meskipun biaya hidup dapat menjadi lebih tinggi di bagian-bagian Timor-Leste seperti Dili karena kehadiran banyak donor, perbedaan-perbedaan ini antara Nusa Tenggara Barat dan Timor-Leste dapat mengecil dari waktu ke waktu.

• Jika rata-rata masa pendidikan diambil sebagai sebuah perwakilan kasar dari tingkat keterampilan, maka Timor-Leste yang mempunyai rata-rata masa pendidikan 6.62, mendekati Republik Dominika, tetapi negara terakhir ini memiliki suatu UM sebesar USD 42 pada pertengahan 1990an (Lapiran Tabel 4). Jadi, bahkan dalam hal tingkat keterampilan, Timor-Leste memiliki tingkat UM yang luarbiasa tinggi.

• Akhirnya, Lampiran Tabel 4 juga menunjukkan bahwa dalam hal pendapatan per kapita, Timor-Leste lebih dekat dengan Pakistan, yang memiliki UM sebesar USD50 pada pertegahan 1990an24.

a. Ketidakseimbangan upah

Rasio UM/AW yang dibahas diatas menerangkan kepada kita bahwa UM informal di Timor-Leste berada pada ditingkat yang sangat tinggi (lihat Tabel 1). Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang upah-upah, kita menganalisa upah-upah di wilayah-wilayah perkotaan dimana UM tampaknya akan berdampak terhadap para pekerja yang tidak terampil secara nasional. Ukuran-ukuran numerik sederhana dari upah minimum dapat menawarkan petunjuk-petinjuk yang menyesatkan tentang dampaknya. Langkah-langkah alternatif, seperti grafik-grafik menunjukkan bahwa distribusi upah lebih terpercaya dan juga intuitif, dan menggaris-bawahi pengaruh-pengaruh pada titik-titik yang berbeda dalam distribusi upah, dan oleh karena itu kita menggunakan semua itu guna mendapatkan sesuatu bentuk empiris dan juga dapat dirasakan tentang upah-upah relatif25. Upah-upah di wilayah perkotaan: Rasio UM/AW di wilayah perkotaan adalah kira-kira 56 persen - lebih tinggi daripada rasio nasional sebesar 53 persen. Akan tetapi, kita juga tahu bahwa rasio itu tidak banyak memberitahu kita tentang tingkat ketidakseimbangan upah. Kalau begitu, kita mencari rasio UM

23 Berdasarkan pada upah-upah yang dihitung dari data yang dilaporkan tentang pembayaran kas untuk lapangan kerja utama selama tiga bulan terakhir (di semua sektor dan lapangan kerja) dibagi jumlah jam yang dihabiskan melakukan pekerjaan itu dalan TLSS 2001. 24 Dengan UM sebesar USD 50, Timor-Leste akan memiliki sebuah rasio UM/AW sebesar 0.31, yang merupakan sebuah rasio UM/AW yang sedang. 25 Lihat Maloney dan Mendez, 2003

24

perkotaan ke upah median di Timor-Leste adalah 70%, yang merupakan sebuah rasio yang lebih tinggi daripada negara OECD mana saja ( lihat Lampiran Gambar 3). Oleh karena itu, distribusi upah di wilayah perkotaan menunjukkan bahwa upah-upah tersebut terpusat di sekitar mean. Dalam hal angka plot itu (dan perhitungan-perhitungan) menunjukkan bahwa hampir 25 persen dari para pekerja di wilayah perkotaan menperoleh upah dibawah UM pada tahun 2001. Jadi, UM informal itu tidak mengikat.

Gambar 3

Distribusi Upah di Wilayah Perkotaan di Timor-Leste

Sumber: TLSS, 2001

Pekerja median di wilayah perkotaan hanya menerima gaji sebesar USD 116 per bulan. Sebuah eksplorasi lanjutan tentang ketidakseimbang itu menunjukkan bahwa 10 persen di bagian bawah hanya mendapatkan USD 59 dan 20 persen bagian bawah memperoleh USD 74. Pada bagian teratas, 10 persen teratas dari pekerja-pekerja perkotaan mendapatkan rata-rata USD 263 dan 20 persen teratas mendapatkan hampir USD 200, yang ditunjukkan “ekor”`panjang pada bagian kanan dari distribusi upah. Jadi, di satu bagian kita memiliki pekerja yang dibayar rendah yang mendapatkan dibawah UM, dan di bagian lain kita memiliki pekerja-pekerja yang dibayar tinggi yang menaikkan rata-rata upah. Apa yang ditunjukkan angka-angka itu adalah bahwa perbedaan upah di Timor-Leste adalah tinggi (lihat Tabel 4).

Tabel 4: Distribusi persentil upah-upah di wilayah perkotaan Timor-Leste

Sumber: TLSS, 2001

Persentil Upah dalam USD per bulan untuk pekerja-pekerja perkotaan (n=344)

10 59 20 74 50 (Median) 116 80 200 90 264

25

Upah Pekerja-Pekerja Tidak Terampil: Kembali ke pekerja26 yang tidak terampil kami menemukan bahwa lebih dari separuh dari mereka memperoleh upah di bawah UM informal di 2001 (Gambar 5). Terdapat pula suatu tingkat perbedaan diantara pata pekerja tidak terampil, di mana sepersepuluh teratas mendapatkan lima kali lipat lebih dari upah yang diperoleh sepersepuluh terbawah pada 2001 (Tabel 5). Ini mungkin lebih baik memiliki penjelasan sektoral. Misalnya tenaga kerja pertanian yang tidak terampil mungkin memperoleh upah lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bekerja di bidang manufaktur atau konstruksi. Akan tetapi, ukuran sampel pekerja tidak terampil yang sangat kecil yang memperoleh upah kas tidak memungkinkan kita untuk meneliti masalah ini. Yang jelas adalah bahwa jika UM itu dilegalisasikan, pekerja-pekerja yang tidak terampil – di mana lebih dari separoh dari mereka memperoleh upah dibawah USD 85 per bulan - akan menjadi pihak yang paling terpengaruh secara negatif.

Gambar 4

Distribusi Upah untuk para pekerja tidak terampil

Upah per jam untuk para pekerja tidak terampil

Perkiraan Densitas Kemel 26 Pekerja-pekerja yang tidak terampil di tandai dari kategori pekerjaan “tidak terampil termasuk buruh tani” yang melaporkan menerima upah kas dalam studi itu.

26

Tabel 1: Distribusi persentil tenaga kerja yang tidak berkeahlian di Timor-Leste

Sumber: TLSS, 2001

Pembahasan awal kita menunjukkan bahwa “gigitan” UM – jika upah itu akan dilegalisasikan pada tingkat informal saat ini dan diterapkan – akan dirasakan oleh para pekerja yang berpendapatan di bawah UM informal saat ini. Kita menemukan bahwa paling tidak seperempat dari pekerja-pekerja paling miskin di perkotaan mungkin akan menderita jika UM dilegalisasikan, sementara yang top 10 atau 20 persen mungkin tidak merasakan dampaknya sama sekali, jadi, menimbulkan peningkatan penggangguran, ketidakseimbang dan kemiskinan di Timor-Leste. Selain itu, jika UM di dilegalisasikan dan diterapkan disemua sektor, maka para pekerja yang tidak terampil akan menderita pengaruh terburuk karena lebih dari separuh dari mereka menerima upah di bawah UM informal.

b. Pergerakan upah sejak 2001

Rasio UM/UR (upah rata-rata) untuk Timor-Leste adalah 0.53, atau UM memberi andil untuk 53% dari upah rata-rata pada 2001, yang menunjukkan bahwa pada tahun 2001 UM informal sudah meningkatkan upah-upah27. Perkiraan-perkiraan tentang upah rata-rata menurut pekerjaan menunjukkan bahwa setiap golongan pekerjaan telah menerima upah yang lebih tinggi daripada USD 4 per hari pada 2001 (Lampiran Tabel 4), Akan tetapi, mungkin ada suatu penurunan dalam upah rata-rata dalam beberapa tahun terakhir karena pengurangan kehadiran para donor dan LSM internasional. Ada beberapa bukti tentang hal ini yang diberikan oleh sebuah survey pada 2003 di sektor konstruksi (Tabel 7), yang menemukan bahwa upah untuk rata-rata yang dilaporkan untuk para pekerja konstruksi tidak terampil jauh lebih rendah daripada upah rata-rata untuk semua pekerja tidak terampil pada 2001 (USD 3.85 dalam survey konstruksi dibandingkan dengan USD 5.12 dalam TLSS. Hal ini menunjukkan bahwa upah-upah yang berada pada posisi terendah di pasar tenaga kerja khususnya, menuruh sebagai tanggapan terhadap turunnya permintaan. Meskipun perbandingan itu adalah kasar (membandingkan upah-upah dalam industri tertentu dengan upah keseluruhan), namun ia konsisten dengan informasi yang tidak ilmiah yang menunjukkan bahwa upah para pekerja tidak terampil telah mengalami penurunan dalam dua tahun setelah TLSS.

27 Terdapat pula bukti tentang hal ini dari sebuah draft laporan tentang gaji pegawai negeri (2001) yang menunjukkan bahwa hotel/losmen lokal di Dili membayar kira-kira USD 5 per hari atau USD 120 per bulan untuk staf yang melek huruf dengan pendidikan SMP terbatas– sedikit lebih tinggi daripada level 2 di ETTA. Staf yang tidak berpengalaman dengan diploma pendidikan terakhir mendapatkan gaji USD 170 – sedikit lebih besar dari level 4 di ETTA. Staf berpendidikan tinggi dengan 10 tahun pengalaman kerja mendapatkan gaji USD 400 per bulan – yang merupakan tingkat gaji tertinggi yang tersedia saat ini di kepegawaian negeri di level apa saja. Upah cadangan untuk pekerja tidak trampil di Dili pada awal 2000 adalah kira-kira USD 3 per hari sedangkan tingkat upah harian di pasar adalah USD 4 (atau USD 88 per bulan). Angka terakhir ini sesuai dengan tarif yang ada sebesar USD 85 per bulan pada level 1 dari skala gaji di ETTA (Valentine, 2000).

27

Tampak pula bahwa UM informal itu, meskipun tidak mengikat, tidak hanya menaikkan upah rata-rata, tetapi juga memaksa para majikan beberapa perusahaan swasta untuk mencari pekerja di luar Timor-Leste khususnya untuk pekerja terampil. Di industri konstruksi, pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian dikerjakan oleh orang Timor-Leste, pekerjaan yang membutuhkan sedikit keahlian dilakukan terutama oleh orang Indonesia dan orang Timor-Leste, sedangkan orang dari negara-negara lain secara eksklusif melakukan pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan pekerjaan supervisi, dan mendapatkan upah jauh lebih besar dari para pekerja Timor-Leste28. Hal ini juga mengarahkan perhatian pada langkanya pekerja-pekerja terampil di Timor-Leste. Dengan demikian, upah-upah para pekerja yang tidak terampil kemungkinan turun pada tahun 2003, sementara untuk kelompok terampil, para majikan mulai mengimpor tenaga kerja asing.

28 Wichmann, 2004 (draft)

28

Tabel 2: Rata-rata Gaji untuk pekerja konstruksi di Timor-Leste: 2003

Gaji rata-rata (USD perhari)

Warganegara Timor-Leste

Warganegara Warga Indonesia

Warganegara Lain

Pekerja konstruksi yang tidak terampil Mean 3.85 2* Median 3.4 2* Pekerja konstruksi yang semi terampil dan terampil Mean 7.67 7.3 19.88 Median 7 6.75 22.5 Insinyur/Pengawas Mean 15 20.5 27.35 Median 12 15 26.5 *Satu kasus saja Sumber: Wichmann (2004, draft)

c. Upah kepegawaian negeri

Timor-Leste juga sedang berada dalam proses reformasi kepegawaian negeri dan peninjauan gaji dan tunjangan-tunjangan untuk para pegawai pemerintah. Tingkat gaji pegawai pemerintah adalah kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain, yang berarti perbedaan antara gaji tertinggi dan terendah adalah sangat kecil (Tabel 8). Jadi, upah untuk orang yang berkeahlian tinggi secara tidak proporsional adalah lebih rendah daripada upah untuk pegawai yang berkeahlian rendah. Dalam hal menarik minat personil berkualifikasi tinggi, hal ini menghadapi sebuah hambatan, karena struktur gaji tidak memungkinkan membuat perbedaan untuk tingkat keahlian dan kinerja yang berbeda 29. Jadi para pegawai negeri, barangkali bukan penentu dalam distribusi upah yang tinggi di Timor-Leste. Hal ini terbukti pula oleh upah-upah dari LSM-LSM dalam Tabel 7. Sedangkan upah-upah di ETTA dan UNTAET adalah lebih terpusat, yang di LSM-LSM adalah lebih merata. Tampak bahwa pada tahun 2001 LSM-LSM di Timor-Leste telah bersepakat tentang tingkat terendah skala gaji menjadi dibawah UM informal, yang menunjukkan bahwa tingkat ini merupakan suatu tingkat minimum yang dapat diterima untuk perusahaan-perusahaan terorganisir dan kenyataan UM informal mungkin lebih tinggi pada saat itu.

29 Valentine, 2001

29

Tabel 3: Gaji bulanan pegawai pemerintah dan para pekerja yang lain (USD)

Upah di ETTA

Upah di UNTAET1

Kesepakatan-kesepakatan2 LSM

Upah di LSM saat ini

Level 1 85 111 – 134 77 – 88 69 – 94

Level 2 100 144 –174 88 – 110 86 – 152 Level 3 123 191 – 231 -- 125 – 240 Level 4 155 253 – 335 121 – 198 120 – 263 Level 5 201 335 – 445 176 – 242 172 – 285 Level 6 266 445 – 538 176 – 242 263 – 550 Level 7 361 589 – 713 -- -- Sumber: Valentine, 2001, berdasarkan data yang disediakan oleh ETTA, UNTAET dan LSM yang sedang beroperasi di Timor-Leste.

d. Upah-upah para pekerja muda

Salah satu masalah penting dalam perkembangan kebijakan UM untuk Timor-Leste adalah pengganguran pemuda. Meskipun tingkat penggagguran diantara para pemuda adalah lebih tinggi daripada di antara penduduk pada umumnya, namun jika dipekerjakan, semua kelompok umur tampaknya telah menerima upah diatas UM untuk kegiatan utama mereka. Gambar 4 menunjukkan distribusi rata-rata upah menurut kelompok umur. Pola gerigi berbentuk-M dari upah rata-rata menunjukkan bahwa kelompok para pekerja termuda memperoleh upah terendah, dan pekerja dewasa berusia 45-54 tahun mendapat bayaran tertinggi. Upah median adalah sedikit lebih rendah untuk pekerja termuda dari pada pekerja dewasa, tetapi tidak begitu signifikan. Karena itu, tampak bahwa ketika para majikan harus membayar UM, mereka merasa bahwa lebih baik tidak menyewa para pekerja termuda. Ketidaktersediaan data runtun-waktu/time series, orang biasa berspekulasi bahwa UM ikut memberi sebagian andil dalam tingkat penggangguran yang sangat tinggi (43%) untuk kelompok-kelompok termuda.

Gambar 5

Timor Leste: Upah menurut Kelompok Umur Sumber: TLSS, 2001

6.72

8.08

7.44

8.64

6.24

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

15-24 25-34 35-44 45-54 55-64

Rat

a-ra

ta U

pah

Har

ian

dala

m U

SD

30

e. Ringkasan Tentang Kondisi-Kondisi Upah dan Pasar Tenaga Kerja di Timor-Leste yang Relevan dengan Kebijakan UM

• Jurang data adalah cukup besar dan analisa dilakukan berdasarkan pada data 2001, yang tidak aktual lagi. Karena tidak tersedianya data terkini, maka tidak dapat dibuat rekomendasi-rekomendasi yang jelas dan difinitif.

• Penggagguran pemuda yang sangat tinggi di daerah-daerah perkotaan dan angkatan kerja pemuda yang semakin meningkat.

• Tingkat keterampilan rendah yang diwakili oleh rata-rata masa pendidikan dan memiliki suatu pengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja. Keterbatasan bukti-bukti baru dari sektor konstruksi menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan bisa saja membawa mengimpor tenaga-kerja asing untuk pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keahlian tinggi.

• Sektor pertanian dan pertanian subsistem yang dominan, dengan proporsi yang sangat kecil dari angkatan kerja yang dipekerjakan di lapangan kerja berupah formal. Petani-petani subsistem tidak akan terpengaruh oleh UM jika upah tersebut legalisasikan, dan karena mereka adalah pekerja-pekerja yang paling rentan, maka manfaat-manfaat sosial dari legalisasi itu tidak akan dinikmati oleh mereka.

• Rasio UM/AW informal yang sangat tinggi dan bahkan rasio UM/upah median yang jauh lebih tinggi.

• Perbedaan upah yang sangat tinggi di daerah-daerah perkotaan. Paling tidak seperempat dari para pekerja termiskin di daerah perkotaan akan menderita jika UM dilegalisasikan, sementara kelompok top 10 atau 20 persen tidak akan merasakan dampaknya sama sekali, jadi, menyebabkan meningkatnya penggangguran, ketidakseimbang dan kemiskinan di Timor-Leste.

• UM informal yang ada saat ini tampaknya tidak akan mengikat karena seperempat dari pekerja-pekerja perkotaan mendapatkan gaji dibawah UM. Jadi, upah minimun yang ditetapkan oleh pasar lebih rendah daripada UM informal.

• Lebih dari separuh pekerja-pekerja yang tidak terampil mendapatkan gaji dibawah UM informal dan mempunyai kemungkinan besar untuk terpengaruh secara negatif oleh setiap legalisasi. Di dalam sebuah skenario di mana industri manufaktur sangat terbatas, suplay pekerja-pekerja yang tidak terampil melebihi permintaan mereka dan mereka akan menghadapi risiko yang lebih besar untuk diberhentikan jika sebuah UM di terapkan.

• Terbatasnya bukti yang tersedia menunjukkan bahwa upah yang benar-benar dibayarkan mengalami penurunan di daerah-daerah perkotaan.

• Kemampuan institusi yang rendah dalam menerapkan UM bisa menciptakan masalah-masalah governance jika suatu UM dilegalisasikan tetapai tidak mampu diberlakukan, yang mengecewakan para pekerja termiskin dan para pemuda.

• Sejumlah bukti dari upah yang lebih baik untuk tenaga-tenaga kerja asing di pekerjaan-pekerjaan yang lebih tinggi dalam industri konstruksi, sementara tingkat penggagguran adalah lebih tinggi untuk orang-orang Timor-Leste yang berpendidikan.

• Gerakan Serikat Dagang masih berada dalam tahap pembentukannya dan bisa saja di masa depan berpengaruh terhadap penetapan upah dan penerapannya dalam perusahaan-perusahaan formal.

31

BAGIAN III: IMPLIKASI-IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI UNTUK TIMOR-LESTE UM informal di Timor-Leste, yang telah ditetapkan sebesar USD 85 per bulan tampaknya tidak akan diterapkan karena kebanyakan angkatan kerja bekerja di bidang pertanian subsistem dan sektor informal – yang merupakan sektor-sektor yang todak memungkinkan monitoring dan pengawasan. Jadi, pengaruh-pengaruh positif UM dalam bentuk meningkatkan pendapatan tampaknya akan dibatasi untuk para pekerja terampil di perusahaan-perusahaan formal – yang merupakan seksi-seksi terkecil dan paling elit dari angkatan kerja. Kedua, karena kemampuan institusi untuk menjamin penerapan UM masih rendah, maka peluang-peluang dalam skenario itu adalah bahwa UM bisa saja menjadi lebih sebagai suatu penghambat terhadap para majikan yang ingin memperluas usaha mereka, daripada sebagai perlindungan untuk para pekerja miskin. Sebuah proporsi besar untuk semua pekerja berupah (tidak semua perkerja) menerima upah dibawah UM informal. Ini menunjukkan bahwa UM informal di tetapkan lebih tinggi daripada upah yang umumnya berlaku untuk tingkat keahlian yang ada dari pekerja-pekerja dan untuk permintaan yang ada untuk pekerjaan berupah. Pembahasan pada seksi-seksi terdahulu dari paper ini telah mengungkapkan pentingnya suatu kebijakan yang menciptakan lapangan kerja, mendorong investasi swasta dan melindungi (dan bukannya merumahkan) pekerja-pekerja termiskin. Berikut ini ketiga pilihan untuk Timor-Leste. Pilihan A Melegalisasikan tingkat UM informal saat ini sebesar USD 85 per bulan, tampaknya merupakan pilihan yang paling merugikan baik secara ekonomis maupun sosial. Sebagaimana telah kita perhatikan sebelumnya, upah minimum informal umum adalah sangat tinggi untuk tingkat pembangunan negara dan tingkat-tingkat keahliannya. Hal ini benar meskipun menggunakan ukuran UM apa saja yang memadai: rasio UM/UR; tingkat absolut UM informal yang relatif terhadap negara-negara tetangga dan negara-negara lain yang berada pada tingkat pendapatan yang sama; atau bagian pekerja-pekerja yang menerima upah dibawah UM informal. Mengingat bahwa UM yang begitu tinggi secara tida proporsional berdampak negatif terhadap lapangan kerja pemuda dan pekerja di perusahaan-perusahaan kecil – kedua ciri dari lapangan kerja di Timor –Leste - dampak-dampak negatif untuk negara dalam melegalisasikan UM informal sebesar USD 85 secara tidak lazim akan tinggi. Selain itu, data dari survey industri konstruksi telah menunjukkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan swasta sedang mencari dan mendapatkan pekerja-pekerja asing yang gajinya lebih tinggi daripada gaji pekerja-pekerja Timor-Leste. Kemampuan institusi yang rendah untuk menerapkan UM bisa menciptakan masalah-masalah pemerintahan jika suatu UM dilegalisasikan dan tidak dapat diterapkan, yang akan mengecewakan pekerja-pekerja miskin dan para pekerja muda. Jadi, karena tingkat pengangguran yang tinggi di perkotaan, dan kelesuan ekonomi pada akhir tahun lalu, sekali lagi, pilihan ini akan berdampak buruk terhadap para pekerja Timor-Leste. Pilihan B Berdasarkan bukti dari perbandingan-perbandingan internasional, tampak sebuah kasus kuat bahwa setiap UM formal di Timor-Leste harus lebih rendah daripada tingkat informal saat ini sebesar USD 85 per bulan. Meskipun usaha-usaha untuk merumuskan tingkat yang “tepat” untuk UM tidak bakal membuahkan hasil tanpa data yang dapat diandalkan, namun jelas dari semua sudut perbandingan bahwa sebuah tingkat upah yang jauh lebih rendah akan dibutuhkan untuk menghindari dampak-dampak negatif lapangan kerja terhadap para pekerja yang tidak terampil, para pemuda dan mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil. Lebih lanjut hal ini perlu berdasarkan pada tingkat pembangunan negara dan sama dengan negara-negara lain yang memiliki indikator-indikator yang sama.

32

Sebagaimana telah ditunjukan oleh pembahasan-pembahasan sebelumnya, penggangguran diantara para pemuda di perkotaan cukup tinggi, tetapi jika dipekerjakan, upah mereka tidak terlalu berbeda dari pekerja-pekerja yang lebih tua, barangkali menunjukan, bahwa kebutuhan untuk membayar mereka setara dengan pekerja-pekerja yang lebih berpengalaman bisa saja menyebabkan penggangguran diperkotaan. Studi tentang bukti internasional juga telah menunjukkan bahwa meskipun pengaruh-pengaruh keseluruhan pengangguran diabaikan, kemungkinannya adalah bahwa lapangan kerja pemuda akan sangat dirugikan. Jadi, beberapa negara menganut UM yang lebih rendah untuk pekerja muda, atau apa yang dinamakan sub-upah minimum. Tampaknya hal ini merupakan sebuah pilihan untuk dipertimbangkan secara serius di Timor-Leste jika ia mengambil jalan untuk meresmikan sebuah UM. Akan tetapi, jika UM itu diformalkan, maka akan sangat penting untuk memutuskan mengenai cakupannya yang direncanakan. Untuk kepentingan pematuhan dan pengawasan maka akan lebih jika mengesampingkan sektor pertanian dan sektor informal. Pilihan C Karena saat ini, data di Timor-Leste masih lemah dan legalisasi UM dapat mengakibatkan dilegalisasikannya tingkat-tingkat UM yang tidak akurat, maka pilihan terbaik adalah mempertahankan UM yang fleksibel. Karena kegiatan donor, yang telah mendorong lapangan kerja, sedang berada dalam proses pengurangan, maka beberapa sektor, akan memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan itu. Karena itu, dalam hal waktu, ini bukanlah saat yang tepat untuk melegalisasikan sebuah UM. Jika kebutuhan untuk perundingan kolektif muncul, upah-upah itu dapat ditetapkan kemudian melalui negosiasi antara para majikan dengan para pekerja, dimana Dewan UM memainkan peran sebagai penengah. Rekomendasi Penutup Tidak ada UM yang dapat atau harus ditetapkan tanpa data yang memadai guna menuntun legalisasinya. Selain data tentang pasar tenaga kerja, upah saat ini dan perusahaan–perusahaan, Timor-Leste akan memerlukan pula: • Sebuah keranjang komoditi minimum dari barang-barang dan jasa-jasa pokok untuk daerah-daerah

perkotaan khusus30. • Penyesuaian-penyesuaian yang telah dibuat untuk inflasi, di mana selama tiga tahun terakhir berada

pada tingkat 3 persen (tahun demi tahun). Jadi, jalur kebijakan apapun yang ditempuh negara ini, persyaratan-persyaratan utamanya adalah sebuah landasan statistik yang kuat untuk menentukan upah-upah yang memadai dan kemampuan institusi yang kuat untuk menerapkan legislasi dan menengahi pertikaian- pertikaian. Secara khusus, kebijakan itu perlu memperkuat kemampuan arbittrasi Dewan UM dan sistim hukum tentang hubungan industrial. Hanya pilihan-pilihan yang berlandaskan informasi yang dalam jangka panjang akan mempunyai pengaruh-pengaruh positif terhadap baik para pekerja maupun perusahaan-perusahaan. Dengan demikian, berikut ini adalah kesimpulan-kesimpulan dari laporan ini. 1. Pilihan terbaik untuk Timor-Leste dalam jangka-pendek paling tidak, adalah memiliki sebuah UM

yang flekisbel. 30 Laporan Staf IMF di Ayat IV konsultasi-konsultasi pada tahun 2003 telah mengungkapkan fakta bahwa CPI sedang berada dalam proses revisi. Begitu sebuah keranjang komoditi minimum dilengkapi, maka ia akan membentuk dasar untuk subsistensi minimum yang dapat dipertimbangkan dalam pembahasan- pembahasan dengan serikata-serikat dagang, dan dalam penetapan UM.

33

2. Jika di lain pihak, keputusan-keputusan politik mensyaratkan supaya perlu menetapkan sebuah UM

maka sangat penting bahwa upah itu ditetapkan pada tingkat yang sama dengan negara-negara tetangga atau negara-negara yang mempunyai perpaduan keterampilan-pendapatan yang sama, guna menghindari dampak-dampak negatif yang serius terhadap lapangan kerja secara keseluruhan serta investasi, dan bahkan dampak-dampak yang negatif terhadap para pemuda dan lapangan kerja di perusahaan-perusahaan kecil.

3. Jika UM memang harus ditetapkan, maka sangat disarankan untuk menetapkan sebuah upah sub-

minimum untuk para pemuda. Sebagaimana nota dari ILO,

….. Tetapi penetapan upah minimum tidak dilakukan hanya sekali untuk seluruh upaya itu. Penentuan tingkat-tingkat upah minimun awal dan penyesuaian-penyesuain berikutnya harus dipandang sebagai bagian dari sebuah proses. Kenyataan bahwa satu kriteria menjadi dominan pada suatu tahap tertentu, tidak berarti bahwa kepuasan dari kriteria-kriteria tidak dapat diramalkan untuk masa depan. Kenyataannya, dengan melihat penetapan upah sebagai sebuah proses maka akan membuka peluang-peluang baru untuk negosiasi-negosiasi diantara pihak-pihak itu pada saat-saat sulit.…... ILO, 1998

34

Referensi-referensi Alatas, Vivi dan Lisa Cameron. 2003. The impact of minimum wages on employment in a low income country : an evaluation using the difference-differences approach. Policy Research Working Paper. No. WPS2985. Washington DC: Bank Dunia. Barro, Robert J. dan Jong-Wha Lee. 2000. International Data on Educational Attainment: Updates and Implications (CID Working Paper no. 42). HUMAN CAPITAL UPDATED FILES (April 2000). Edwards, Alejandra Cox. 1996. Labor regulations and industrial relations in Indonesia. Policy Research Working Paper. No. WPS1640. Washington DC: Bank Dunia. Ghellab, Youcef . 1998. Minimum Wages and Youth Unemployment. ILO Employment and Training Papers No. 26. Diperoleh dari http://www.ilo.org/public/english/employment/strat/publ/etp26.htm ILO Regional Office for Asia and the Pacific. 2001. Thirteenth Asian Regional Meeting. Bangkok 28-31 August, 2001. http://www.ilo.org/public/english/region/asro/bangkok/arm/tmp.htm ILO. 1998. Statistical aspects of minimum wage determination, Briefing Note No. 11 http://www.ilo.org/public/english/dialogue/govlab/legrel/papers/brfnotes/minwages/stat3.htm ILO. 1998. Minimum wage fixing: a summary of selected issues, Briefing Note No. 14 http://www.ilo.org/public/english/dialogue/govlab/legrel/papers/brfnotes/minwages/issues3.htm ILO. 2004. Summary of Basic Industrial Relations Data in Indonesia. ILO/USA Declaration Project in Indonesia Phase II. Indonesia BPS. 2002. Average Wage and Minimum Wage in Indonesia, 2001. Berita Resmi Statistik No. 13/Th.V/March 2, 2002. International Monetary Fund. 2003. Democratic Republic of Timor-Leste: 2003 Article IV Consultation – Staff Report. IMF Country Report No. 03/227. http://www.imf.org/external/pubs/ft/scr/2003/cr03227.pdf Jones, Patricia. 1997. "The impact of minimum wage legislation in developing countries where coverage is incomplete " The Centre for the Study of African Economies Working Paper Series. Working Paper 66. December 1, 1997. http://www.bepress.com/csae/paper66 Katz, Lawrence F. and Alan B. Krueger. 1992. “The Effect of the Minimum Wage on the Fast-Food Industry” (New Minimum Wage Research: A Symposium). Industrial and Labor Relations Review, Vol. 46, No. 1. (Oct., 1992), pp. 6-21. Maloney, William F. and Jairo Nunez Mendez. 2003. “Measuring the impact of minimum wages: evidence from Latin America”, National Bureau Of Economic Research. Working Paper Series No. 9800:1-[27], June 2003 Lustig, Nora Claudia and Darryl McLeod. 1996. “Minimum Wages and Poverty in Developing Countries: A Cross-Analysis for Developing Countries”. Brookings Discussion Papers in International Economics No. 125, June 1996.

35

Neumark David and William Wascher. 1992. New Minimum Wage Research: A Symposium on Employment Effects of Minimum and Subminimum Wages: Panel Data on State Minimum Wage Laws. Industrial and Labor Relations Review, Vol. 46, No. 1. (Oct., 1992), pp. 55-81. Neumark David and William Wascher. 1999. “A cross-national analysis of the effects of minimum wages on youth employment”. National Bureau Of Economic Research Working Paper Series No. 7299:1-[48], August 1999. Neumark David and William Wascher. 2002. Do Minimum Wages Fight Poverty? Economic Inquiry, 1 July 2002, vol. 40, no. 3, pp. 315-333(19) Rama, Martin. 1996 The consequences of doubling the minimum wage : the case of Indonesia. Policy Research Working Paper. No. WPS1643. Washington DC: Bank Dunia. Strobl, Eric and Frank Walsh. 2003. “Minimum Wages and Compliance: The Case of Trinidad and Tobago” Economic Development and Cultural Change (U.S.); 51, No. 2:[427]-50, January 2003. Suryahadi, Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira and Sudarno Sumarto. 2003. “Minimum wage policy and its impact on employment in the urban formal sektor". Bulletin Of Indonesian Economic Studies (Australia); 39, No. 1:29-50, April 2003. US State Department. 2004. Country Reports on Human Rights Practices: 2003: East Timor. Released by the Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, February 25, 2004 http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2003/27769.htm Valentine, Theodore. 2001. Civil Service Pay in East Timor: Current Status and Recommendations. The World Bank. (Draft). Waite, Robyn. 2003. “East Timor: Australian Companies Are `Worst Employers'”. Green Left Weekly [Australia] issue dated July 23, 2003 http://www.etan.org/et2003/july/20-26/23labour.htm Wichmann Jakob Mathias. 2004. Timor-Leste: Employment creation in construction works. The World Bank. Processed (Draft).

36

Lampiran Gambar 1 Timor-Leste: Kelompok-kelompok umur yang diproyeksikan 2000-2050

37

Lampiran Gambar 2

Rasio UM terhadap upah rata-rata di bidang manufaktur Sumber: Sulla, 2004 berdasarkan ILO

1994Algeria

1995Anguilla

1995Argentina

1998Belgium

1997Botswana

2000Brazil

1991Canada

1999El Salvador

1996Equatorial Guinea

2001Estonia

1997France

1997Greece

1993 1998

Po1995

Philippines1998

Indonesia

1997Japan

Guyana

1999Hungary

1997Kenya

2002Korea, Rep.

2001Luxembourg

1998Mexico

1999Netherlands

1992Netherlands Antilles

1998Panama

1998Paraguay

1990Peru

Poland

1997rtugal

2000Romania

1997Russian Federation

2000Spain

1992Tunisia

1990Uruguay

2001Latvia

1997Turkey

1997Trinidad and Tobago

2000United Kingdom

1997United States

2001Belarus

2000Lithuania

2000Bolivia1996Barbados

1993Azerbaijan

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

Negara-negara

Ras

io o

f UM

:UR

di b

idan

g m

anuf

aktu

r

38

Lampiran Tabel 1 Indonesia: Pemogokan buruh menurut wilayah: 2001-2003

Propinsi 2001 2002 2003* D.I. Aceh 0 0 0 Sumatra Utara 4 3 3 Sumatra Barat 0 1 1 Riau 0 3 0 Jambi 3 0 0 Sumatra Selatan 4 4 0 Lampung 2 0 0 Batam 0 0 1 DKI Jakarta 57 71 40 Java Barat 53 96 48 Java Tengah 16 19 22 D.I. Yogyakarta 3 7 0 Java Timur 18 16 6 Bali 5 0 1 N T T 0 0 0 Kalimantan Barat 1 0 3 Kalimantan Timur 3 3 2 Kalimantan Tengah 2 2 0 Sulawesi Selatan 1 1 0 Maluku 2 0 0 Irian Jaya 0 1 0 TOTAL 174 220 146

*Januari – November 2003 Sumber: ILO, 2004

Lampiran Tabel 2: Indonesia: Pemogokan buruh berdasarkan sektor: 2001-2003

Sektor 2001 2002 2003* Tanaman 6 3 1 Timah 2 0 1 Industri 127 163 112 Konstruksi 1 2 0 Listrik, Gas dan Air

2 0 0

Perdaganggan dan Perbankan

6 0 0

Angkutan 2 0 0 Pelayanan 26 52 31 Lain-lain 0 0 0 TOTAL 174 220 146

*Januari – November 2003 Sumber: ILO, 2004.

39

Lampiran Tabel 3: Perbandingan UM di propinsi-propinsi Indonesia 2001-2004

Propinsi Upah Minimum (dalam Rp) 2001 2002 2003 2004

Nanggroe Aceh Darussalam

300,000 330,000 425,000 550,000

Sumatra utara 340,000 464,000 505,000 537,000 Sumatra Barat 250,000 385,000 435,000 480,000 Riau 329,000 394,000 437,500 476,875 Jambi 245,000 304,000 390,000 425,000 Sumatra Selatan 255,000 331,000 403,500 460,000 Bangka Belitung . 345,000 379,500 447,923 Bengkulu 240,000 295,000 330,000 363,000 Lampung 240,000 310,000 350,000 377,500 Banten . 360,000 475,000 660,000 DKI Jakarta 426,000 591,266 631,554 671,550 Jawa Barat 245,000 280,799 320,000 367,000 JawaTengah 245,000 314,500 340,400 440,000 Yogyakarta 255,000 321,750 360,000 365,000 Jawa Timur 220,000 245,000 281,750 310,000 Bali 309,750 341,000 341,000 425,000 Nusa Tenggara Timur

275,000 330,000 350,000 .

Nusa Tenggara Barat

240,000 320,000 375,000 412,500

Kalimantan Barat 304,500 380,000 400,000 420,000 Kalimantan Tengah

362,000 362,000 425,000 425,000

Kalimantan Timur 300,000 500,000 540,000 540,000 Kalimantan Selatan

295,000 377,500 425,000 .

Sulawesi Utara 372,000 438,000 495,000 . Sulawesi Selatan 300,000 375,000 415,000 455,000 Sulawesi Tengah 245,000 350,000 410,000 . Sulawesi Tenggara

275,000 325,000 390,000 470,000

Gorontalo 375,000 410,000 430,000 Maluku 320,000 285,000 370,000 . Maluku Utara 320,000 322,000 322,000 . Papua 400,000 530,000 600,000 650,000 Sumber: ILO, 2004

40

Lampiran Tabel 4: Timor-Leste Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Gender dan Wilayah

Catatan:Partisipasi angkatan kerja dirumuskan oleh Konvensi ILO standar untuk penduduk berusia 15-64 yang aktif secara ekonomis. Baik penduduk yang bekerja maupun menganggur dianggap berada dalam angkatan kerja, misalnya mereka yang telah bekerja selama minggu lalu, tidak bekerja selama minggu lalu namun memiliki pekerjaan tetap, atau tidak bekerja selama minggu lalu tetapi sedang mencari pekerjaan dalam minggu lalu. Sumber: TLSS 2001

41

Lampiran Tabel 5: UM (daalm USD saat ini per bulan) untuk negara-negara terpilih tahun terakhir tersedia (1990an – oleh UM yang diurut naik)

UM(USD sekaragn ini per

bulan 1990an

GDP per kapita (1995 constant USD)

Rata-rata umur sekolah (15 dan diatas) 1990an

Republic Kirgistan 5.45 425 .. Vietnam 11.17 351 3.84* Indonesia 20.07 981 4.55 India 34.00 360 4.52 Mesir, Rep. Arab 34.54 1007 4.98 Mali 38.24 247 0.76 Guatemala 38.28 1437 3.25 Bangladesh 40.99 306 2.41 Ekuador 40.99 1776 6.14 Federasi Russia 42.47 2782 9.77^ Bolivia 44.11 940 5.58 Romania 44.28 1456 9.42 Kenya 45.92 337 4.2 Bulgaria 47.73 1511 9.26 Burkina Faso 48.71 272 .. Pakistan 50.00 484 3.92 Jamaika 57.68 2136 5.02 Meksiko 64.02 3620 7.23 El Salvador 65.79 1612 4.7 Senegal 70.70 591 2.55 Pantai G 72.57 862 .. Republic Cheko 78.50 5206 9.48 Botswana 80.09 3654 6.28 Uruguay 85.55 6581 7.56 Colombia 94.00 2326 4.96 Hungary 94.36 5136 9.12 Thailand 96.61 2638 6.08 Turkey 104.51 2887 5.29 Brazil 109.00 4486 4.88 Algeria 111.64 1463 4.83 Dominican Republic

119.88 1589 4.66

Venezuela 121.90 3482 6.69 Philippines 122.64 1133 8.21 Tunisia 127.07 1994 4.53 Poland 132.04 3536 9.84 Costa Rica 136.53 3356 5.77 Maroko 139.29 1362 .. Chile 148.45 5146 7.55 Argentina 200.00 8313 8.83 Trinidad dan Tobago

247.87 4088 7.44

42

Korea, Rep. 325.23 12174 10.56 Portugal 337.14 12411 5.87 Spanyol 481.48 16836 7.28 Israel 488.39 15594 9.45 Taiwan, China 488.76 15023 8.76 Yunani 504.74 12674 8.67 Kanada 658.08 22174 11.62 Amerika Serikat 671.30 30965 12.05 Kuwait 687.00 15067 5.96 Selandia Baru 757.56 17553 11.74 Perancis 1006.02 26493 7.42 Irlandia 1007.23 25622 9.35 Jepang 1022.07 43653 9.47 Australia 1059.33 20040 10.67 Belanda 1264.17 30473 9.35 Belgia 1323.47 29857 9.34 Luxembourg 1385.51 54443 .. Denmark 1661.08 37619 9.66 *1990 ^USSR

Sumber: Rama, 2000; Barro and Lee, 2000, SIMA, 2004.

43

Lampiran Tabel 6

Lapangan Kerja menurut Gender, Sektor, Kemiskinan, dan Wilayah

Catatan: sektor lapangan kerja merujuk pada sektor lapangan kerja untuk pekerjaan utama orang itu selama tiga bulan terakhir. Pertanian mencakup, pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, dan perburuan. Industry mencakup pertambangan dan quarrying, manufaktur atau pemrosesan, kelistrikan, gas, air, dan konstruksi. Jasa-jasa meliputi perdagangan grosir, eceran, restoran dan hotel, transpor, pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi, real estate, jasa-jasa bisnis, administrasi negara, militer, jasa-jasa kesehatan, jasa-jasa pendidikan, dan kegiatan-kegiatan jasa masyarakat, sosial dan pribadi. Sumber: 2001 TLSS.

44

Lampiran Tabel 7: Sistem penentuan upah minimum dan tingkat UM pemuda di negara-negara OECD dan negara-negara transisi

Negara-Negara (1)

Instrumen Penentuan UM (2)

Status Pekerja Muda (3)

UM untuk pekerja muda sebagai % dari UM pekerja dewasa (4)

Negara-negara OECD yang diseleksi Belgia Dinegosiasi oleh serikat

pekerja dan majikan sebagai bagian dari persetujuan nasional

Tarif khusus untuk tenaga kerja muda

Pengurangan kecil untuk para pekerja muda yang berusia dibawah 23 tahun

Kanada Um federal ditetapkan oleh kode tenaga-kerja, sementara di beberapa propinsi, UM ditentukan oleh ditetapkan oleh peraturan pemerintah

Tarif khusus untuk para pekerja muda dan para pemagang di beberapa propinsi

Korea UM Nasional ditetapkan oleh sebuah badan triparti

Tarif khusus bisa ditetapkan untuk para pekerja muda dibawah umur 17 bagi yang memiliki pengalaman kurang dari 6 bulan Para pemagang diperkecualikan dari cakupan UM

Perancis Ditetapkan oleh pemerintah atas dasar sebuah rumus yang ditetapkan didalam undang-undang

Tarif khusus untuk pekerja muda yang memiliki pengalaman kerja kurang dari 6 bulan di cabang yang sama Tarif khusus untuk para peserta pelatihan dan pemagang menurut usia dan lamanya pelatihan (Peserta pelatihan: 30% ke 65 % Pemagang: 25% ke 78%)

80% umur dibawah 17 90% umur 17, 18 tahun

Jerman Ditetapkan oleh komite teknis di tingkat cabang dan disetujui oleh Mentri

Tarif khusus tercantum didalam persetujuan industry

45

tenaga-kerja federal

Yunani Ditetapkan oleh sebuah persetujuan kolektif nasional

Pada tahun 1989 terdapat sebuah upah pemuda diferensia. Saat ini tidak ada tariff khusus untuk pemuda

Japan Tarif regional ditetapkan oleh dewan upah lokal dan tarif industri ditetapkan oleh komite ad hoc

UM orang dewasa diterapkan untuk para pekerja muda

Belanda UM menurut Undang-undang

Tarif khusus diterapkan kepada pekerja muda menurut umur. Pemagang tidak dimasukan ke dalam cakupan UM

Umur 22: 85% Umur 15: 3%

Selandia Baru Hingga 1994, anak-anak 16 – 19 tidak dimasukan kedalam cakupan UM sebelum diterapkan (sejak dari 1994) tarif khusus

60% untuk pemuda berumur 16-19

Portugal UM menurut Undang-undang

Tarif khusus diterapkan kepada pekerja muda dan pemagang

75% dibawah umur 18 80% dibawah umur 25 tahun

Spanyol UM menurut undang-undang

Tarif khusus untuk para pekerja muda

66% dibawah umur 18 tahun

Swedia Ditetapkan pada tingkat industri melalui persetujuan kolektif

Tarif khusus untuk pekerja muda

85% dibawah umur 24 tahun

Inggris Sebelum 1993: Ditentukan oleh dewan upah di industri-industri-upah rendah tertentu; saat ini hanya di bidang pertanian

Pemuda, dibawah umur 22 tidak dimasukan

Amerika Serikat Disahkan oleh Kongres dan dimasukan kedalam hukum atau undang-undang oleh presiden di tingkat nasional. Juga

Tarif khusus untuk pelajar

46

dilakukan secara legislatif di tingkat negara bagian

Negara transisi yang diseleksi Republik Cheko Ditetapkan melalui

persetujuan nasional triparti dan disahkan oleh instruksi pemerintah

UM orang dewasa diterapkan kepada pekerja muda

Polandia Ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja setelah negosiasi dengan serikat dagang

47

Lampiran Tabel 8 Timor-Leste: Rata-rata upah harian berdasarkan daerah tempat tinggal (2001)

Wilayah N Upah Harian

(USD) Dili/Baucau 304 7.2Kota-kota lain 40 8.16Pedesaan pusat 43 9.76Pedesaan Timur 29 11.12Pedesaan Barat 18 5.04

Catatan: Perhitungan tidak tertimbang berdasarkan pada (TLSS 2001) pendapatan per jam yang dilaporkan oleh para pekerja (15-64) mengenai aktifitas utama mereka. Nilai tukar Rp terhadap USD sebesar 10,000 dan rata-rata jam kerja per hari adalah 8 jam.

Lampiran Tabel 9: Timor-Leste: Rata-rata Upah Harian Menurut kelompok pekerjaan (2001)

Kategori Pekerjaan N Upah Harian

(USD) Profesional 124 9.52 Penjual/Jasa 103 7.44 Pertanian/peternak dan pekerja yang berkaitan 14 6.72 Pekerja dibidang Produksi & Transportasi 46 7.44 Tidak berketerampilan (termasuk tenaga kerja pertanian) 64 5.12 Lain-lain 83 7.6

Catatan: Perhitungan tidak tertimbang berdasarkan pada (TLSS 2001) pendapatan per jam yang dilaporkan oleh para pekerja (15-64) mengenai aktifitas utama mereka. Nilai tukar Rp terhadap USD adalah sebesar 10,000 dan rata-rata jam kerja adalah 8.

48

Catatan Lampiran 1: Serikat-Serikat Dagang di Timor-Leste Meskipun serikat-serikat dan organisasi-organisasi pekerja masih berada dalam tahap awal pertumbuhan mereka di Timor-Leste, namun saat ini, mereka telah berkembang pesat selama 2 tahun terakhir. Laporan tahunan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat tentang hak asasi manusia menyebutkan bahwa para pekerja di Timor-Leste memiliki sedikit pengalaman dalam bernegosiasi tentang kontrak-kontrak, mempromosikan hak-hak pekerja, atau terlibat dalam perundingan kolektif dan negosiasi-negosiasi. Undang-undang menjamin hak mogok, tetapi hanya sedikit dari para pekerja yang telah sanggup menggunakan hak tersebut. Pada bulan April 2003, para pengemudi taxi telah melakukan sebuah pemogokan singkat. Pada bulan September 2003, beberapa pekerja di Bandar udara melakukan pemogokan untuk memprotes pemecatan dua rekan mereka. Pemogokan ini diizinkan berlansung secara damai bahkan setelah seorang pemimpin buruh ditangkap karena menyerang seorang anggota polisi. Pada tanggal 4 Desember Chubb Security memecat 32 pekerja yang dikontrak bekerja untuk Bank Dunia karena mogok. Para pemogok memprotes tentang upah dan sebelum mogok, para pekerja itu melakukan piket tanpa kekerasan selama 8 hari.

Kotak Lampiran 1. Pertumbuhan Serikat Dagang di Timor Leste Sebuah kelompok buruh terkenal adalah Lembaga Advokasi Buruh Timor-Leste (LAIFET). LAIFET telah memperluas kegiatan-kegiatannya dari advokasi buruh sampai mengatur para pekerja. LAIFET juga membantu melaksanakan Kongres Buruh pertama di Timor Leste pada akhir bulan Februari 2001 guna meluncurkan sebuah pusat serikat dagang Timor Leste yang dinamakan Konfederasi Serikat Dagang Timor-Lorosa’e (TLTUC). Serikat-serikat yang lain di Timor–Leste didirikan atas dasar industri atau bidang pekerjaan, misalnya, persatuan perawat (persatuan pertama yang didirikan dalam tahun 2000), dan diikuti oleh persatuan-persatuan guru, wartawan, pekerja-pekerja pertanian, pekerja-pekerja konstruksi, hotel dan restoran, pekerja-pekerja pelabuhan, dokter medis dll. Konfederasi Serikat Dagang Timor Lorosa’e (KSTL) mengklaim mewakili 4.700 pekerja yang terorganisir termasuk para guru, jururawat, wartawan dan mereka yang bekerja di bidang konstruksi, pertanian, kelautan dan sektor angkutan. KSTL yang didirikan pada bulan Februari 2001, berbangga diri karena independen, tidak berafiliasi secara politik dan bertindak atas nama para pekerja. KSTL menerima dukungan dari ILO, Konfederasi Internasional Serikat Dagang Bebas dan Dewan Serikat Dagang Australia, di mana semuanya telah berketetapan hati untuk memberi bantuan selama 6 bulan mendatang. Dua tujuan utama KSTL adalah mendorong para pekerja untuk berorganisasi dan memberikan pelayanan advokasi dan konsiliasi. Serikat Pekerja lainnya, Persatuan Sindikat Nasional (UNS), didirikan pada bulan Maret 2003. Serikat ini didirikan oleh Persatuan Pekerja Sosialis (SBST) dan Persatuan Pekerja Pelabuhan (OTPTL). UNS mengklaim bahwa ia memiliki lebih dari 1000 pekerja anggota. UNS beroperasi dengan staf sukarela dan memiliki tiga tujuan; untuk meloby pemerintah dalam masalah-masalah perburuhan; memonitor kondisi-kondisi kerja; dan meningkatakan kesadaran masyarakat dan tempat kerja mengenai urusan-urusan tenaga kerja dan pentingnya membentuk serikat-serikat pekerja. Meskipun ada persaingan antara KSTL dan UNS, keduanya sangat penting dalam nuansa politik saat ini. Organisasi dagang utama di Timor Leste adalah Kamar Dagang Timor-Leste dan Asosiasi Pengusaha Nasional Timor-Leste (ASSET). Sumber:

1. Waite, 2003 http://www.etan.org/et2003july/20-26/23labour.htm 2. ILO.2001 http://www.ilo/public/english/region/asro/bangkok/arm/tmp.htm

49