buku kumpulan diskusi 2000 dbp

174

Upload: institut-sejarah-sosial-indonesia-issi

Post on 15-Jun-2015

1.269 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Buku kumpulan hasil-hasil diskusi "Diskusibulanpurnama" tahun 2000

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp
Page 2: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp
Page 3: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

1

Page 4: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

2

Page 5: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

3

JARINGAN KERJA BUDAYAMaret 2002

Kumpulan Hasil DiskusiTahun 2000

Diskusibulanpurnama.[Dbp.]

Page 6: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

4

/

Diskusibulanpurnama. [Dbp] adalah diskusiberkala yang diadakan oleh Jaringan KerjaBudaya. Dbp mengangkat segala persoalan,gagasan dan penciptaan untuk memajukankehidupan budaya dan intelektual di Indonesia.

Buku kumpulan hasil diskusi ini diterbitkandalam rangka peringatan 3 tahunDiskusibulanpurnama. [Dbp.]. Dirangkum danditerbitkan oleh Jaringan Kerja Budaya. Seluruhisi dari penerbitan ini dapat digunakan seluas-luasnya kecuali untuk kepentingan komersialsemata-mata.

© 2002, Diskusibulanpurnama.[Dbp.], Jaringan Kerja Budaya

Diskusibulanpurnama.[Dbp.]Jalan Pondok Gede Raya No. 40, Persimpangan TamanMini - Pondok Gede, Jakarta Timur 13560.tel./fax: 021.800.9213 & 809.5474e-mail: [email protected]: www.egroups.com/group/diskusibulanpurnamawebsite: www.geocities.com/diskusibulanpurnama

rancangan sampul & tata letak:Nobodycorp. Internationale Unlimited<www.geocities.com/nobodycorp>

Page 7: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

5

Daftar Isi

Pengantar

Profil Tentang Museum

Ruang Publik dan Tata Kota

Gerakan Petani

Gerakan Non-Kekerasan: PengalamanTimur Tengah

Gegenjekan dan PendekatanAntropologi

Krisis Pengungsi dan Politik Bantuan

Pembantaian 1965

Che Guevara: Antara Kaos Oblong,Cimeng dan Revolusi

Naiknya Fasisme yang Mengatasnama-kan Islam

19 FEBRUARI 2000

18 MEI 2000

16 JULI 2000

4 AGUSTUS 2000

14 AGUSTUS 2000

25 AGUSTUS 2000

13 SEPTEMBER 2000

12 OKTOBER 2000

13 DESEMBER 2000

7

15

35

44

55

69

86

106

131

149

Page 8: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp
Page 9: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 7

Pengantar

Awalnya adalah sebuah obrolan ringan di “kalangan sendiri” dipelataran rumah-studio pematung Dolorosa Sinaga di daerahGaruda-TMII, Pondok Gede. Sekelompok seniman dan intelektual

yang kadang-kadang menyebut dirinya Jaringan Kerja Budaya (JKB),kadang-kadang juga Forum Kita, merasa perlu mencerna apa yang sedangterjadi di negeri ini, sekaligus menambah pengetahuan umum. Kamibukannya tak tahu masalah sama sekali. Oleh pergolakan politiksepanjang 1998 hampir semua dari kami, secara langsung pun tidak,terseret ke dalam kerja-kerja kemanusiaan yang dikoordinir melalui TimRelawan untuk Kemanusiaan (TRK). Rumah Dolorosa sendiri secara tidakresmi ditahbiskan menjadi “Posko Pemulihan” mental dan pikiran setelahlelah bergerak di jalanan. Namun, informasi yang diperoleh dan disimpansendiri-sendiri ternyata perlu diuji kebenarannya. Apalagi di tengah situasitak berketentuan, kebenaran dan gunjingan tumpang tindih di setiapkolom dan saluran media massa yang baru merdeka. Berita dan ceritalebih banyak buat hati cemas dan kepala pening ketimbang bantujernihkan pandangan.

Sebenarnya sejak Soeharto jatuh ada banyak forum diskusi yang di-selenggarakan berbagai kelompok di Jakarta. Beberapa diantara kamisempat cukup rajin menghadiri seminar, diskusi panel, dialog terbuka,atau peluncuran buku di berbagai hotel dan gedung pertemuan eksklusif.Yang segera tampak adalah jarak sosial antara narasumber dan pesertadiskusi; pembicara dianggap sebagai yang maha tahu dan peserta hampir-hampir tak berkesempatan untuk mempengaruhi jalannya diskusi.Menurut kami hal ini terjadi karena pembicaraan cenderung bergerak diantara dua kutub ekstrim: sangat teoretik sehingga membuat pesertalebih banyak terpana oleh jargon-jargon ilmiah, atau terlalu sarat dengananekdot yang tidak berkaitan dengan pokok permasalahan dalam diskusi.Tema-tema yang diangkat pun bergantung pada apa yang sedang ramai

Page 10: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 20008

Topik-topik yang dibicarakan di Dbp. 1999:Ignatius Wibowo tentang GlobalisasiAlit Ambara tentang Tatlin dan Seni Konstruktivisme RusiaLeonard Retel Helmrich dan Amarzan Lubis tentang Film DokumenterAllan Nairn tentang Hubungan Militer Indonesia dan Militer AmerikaSerikatMunir dan Nezar Patria tentang Kekerasan Militer di AcehMyra Diarsi tentang Hak-hak PerempuanWahyu tentang Buruh MigranJohn Roosa tentang NasionalismeCellia Mather tentang Gerakan Buruh di Afrika SelatanRoger Clark tentang Hukum Internasional dan Timor LorosaeTim Investigasi Kontras tentang Kerusuhan AmbonAna Luisa Rodriguez tentang Pengaruh Zapatista terhadap Gerakan Sosialdi Meksiko

dibicarakan di media massa. Alhasil, pembicara atau penyelenggara acara acap kalimenggunakan forum lebih untuk membuat pernyataan politik daripada menjelaskanduduk soal suatu kejadian. Pengalaman ini membuat kami semakin yakin akanperlunya suatu forum yang lebih akrab dan santai dalam penyelenggaraan tanpameninggalkan unsur pendidikan di dalamnya.

Atas usulan Arjuna “Oom” Hutagalung, guru musik yang terlanjur dipilih menjadipendamping hidup Dolorosa, dirancanglah sebuah diskusi bulanan denganmengundang narasumber yang tidak perlu terkenal, tapi dianggap mampu membantukami lebih paham akar masalah. Mengapa pada bulan purnama? Tak ada alasan yangterlalu filosofis. Kebetulan kalender yang tergantung di rumah itu kalender Bali yang

dipenuhi segala tanda upacara. Di setiap lembar yang bertanggal ada satu bulatanmerah menyolok untuk menandai saat bulan bundar benar. Agaknya mudah bagisiapa pun untuk mengingatnya. Alit Ambara, pekerja seni yang ikut menjaga Garuda,mencoba memberi pembenaran kultural. Tapi tak seorang pun berhasil mengingatkembali penjelasan itu. Pokoknya setiap bulan ada “diskusi bulan purnama” tentangsoal-soal yang sedikit atau sama sekali tidak kami ketahui asal-usulnya.

Diskusi Bulan Purnama (Dbp.) pertama kali diadakan pada Februari 1999 dengannara sumber Ignatius Wibowo tentang Globalisasi. Sekitar 20 orang menghadiridiskusi ini. Acara dimulai dengan makan malam bersama yang dipersiapkan olehIrok, komandan dapur Garuda, dan dilanjutkan dengan presentasi oleh narasumber.Biasanya presentasi berlangsung tak lebih dari satu jam, kemudian moderator akanmemulai sesi diskusi terbuka yang bisa berlangsung hingga menjelang tengah malam.Karena perbincangan dilakukan di beranda rumah yang berbatasan dengan halamanterbuka, ketika langit cerah, cahaya bulan ikut menghangatkan suasana.

Pada tahun pertama pelaksanaan diskusi diserahkan kepada tiga “pemudagondrong” yang sebetulnya jarang bicara satu sama lain, yaitu Alex Supartono, AlitAmbara dan Arjuna Hutagalung. Penentuan tema dan narasumber pun bergantung

Page 11: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 9

pada kecekatan si “3 A” ini menangkap keinginan forum dan informasi mendesakyang beredar di luar Garuda. Tak jarang terjadi tema mencuat di sela-sela obrolanringan, tapi tidak ada narasumber yang dianggap mampu membahasnya. Pola yanglebih lazim muncul, kami berbincang-bincang atau bekerja dengan seseorang danmuncul ide untuk mengundangnya bicara karena pengetahuan si kawan dianggapberguna untuk dibagikan ke forum yang lebih luas. Menariknya, tanpa diberitahuterlebih dahulu, narasumber paham bahwa ia tidak akan dibayar untuk bicara diDbp. Layanan utama yang diberikan hanyalah makan malam yang cukup sedap danmengenyangkan, dan antar-jemput sampai ke tujuan kalau narasumber tak memilikikendaraan pribadi.

Dalam waktu beberapa bulan jumlah orang yang menghadiri Dbp. bertambahbanyak. Padahal penyebaran undangan awalnya hanya melalui berita dari mulut kemulut dan jaringan email. Dari 20 orang yang saling kenal cukup baik pengunjungDbp. berkembang menjadi sekitar 50 sampai 150 orang yang cukup saling bertegur-sapa. Memang ada tema dan narasumber tertentu, seperti ketika Munir dari Kontrasdan Nezar Patria bicara tentang Kekerasan Militer di Aceh, yang mengundang perhatianlebih banyak pihak. Selebihnya, jumlah pengunjung tidak pernah kurang dari 50orang. Selain itu, kedatangan beberapa kawan dari luar negeri yang bekerjasamadengan personil-personil JKB dan Forum Kita menjadi pertimbangan pula untukmenambah frekuensi pertemuan. Dbp extended version (Dbp.-ev) pun mau tidakmau dilahirkan tanpa bergantung pada sinar purnama.

Dengan meningkatnya jumlah orang yang menghadiri Dbp. timbulkebutuhan untuk membuat kegiatan ini lebih tertata. Dbp. bukan lagiruang eksklusif bagi sekelompok orang belaka, tapi sudah menjadiwahana terbuka untuk tahu soal dan beradu pendapat. Karena latarbelakang dan pengetahuan dasar pengunjung berbeda-beda, kami selaluberusaha mengangkat tema-tema sederhana yang dikenal publik tapitidak pernah dibahas secara menyeluruh. Kepada pembicara pun kamitekankan lebih pentingnya pemaparan masalah dan pengungkapan datadan informasi yang tidak lazim diketahui daripada pengajuan argumen-argumen teoretik yang terlalu rumit ujung-pangkalnya. Dbp. menjadi“ruang belajar publik” yang kerap berlanjut menjadi medan ujian bagigagasan-gagasan picik yang berangkat dari kecerobohan membangun asumsi.

Sementara itu situasi politik berkembang semakin kompleks dan berubah-ubahsangat cepat sejalan dengan kerasnya perebutan kekuasaan di lapisan elit. SebelumMei 1998 perhatian orang diarahkan sepenuhnya ke kejahatan Soeharto. Setelahdiktator ini dipaksa pensiun, sederetan soal lama yang tidak pernah diperhitungkanbermunculan: peran IMF dan hutang luar negeri, hubungan erat pemerintah ASdan militer Indonesia, referendum di Timor Lorosae dan operasi bumi hangus yangmengikutinya, dll. Diskusi dengan beberapa kawan dari luar negeri yang kebetulanada di Jakarta sangat membantu pengunjung Dbp. membangun perspektif

Page 12: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200010

internasional tentang masalah-masalah ekonomi-politik di Indonesia.Perkembangan lain yang juga berpengaruh terhadap penentuan tema-tema diskusi

adalah meledaknya konflik berdarah di beberapa daerah dan surutnya gerak mahasiswadi jalanan setelah Peristiwa Semanggi II terjadi pada September 1999. Timbul banyakpertanyaan mengenai bagaimana gerakan sosial bisa bertahan lama dan menjangkaukalangan yang lebih luas dari mahasiswa lelaki. Peran partai politik sebagai wadahaspirasi politik rakyat dan LSM sebagai agen perubahan pun diragukan. Pengalamanberbagai kelompok menghadapi perkembangan ini — seperti usaha yang dilakukanoleh kelompok masyarakat di bawah pimpinan Pak Ghaffar dari Palu untuk mencegahkonflik dan menangani pengungsi dari Poso – memberi gambaran lebih konkrittentang bentuk-bentuk organisasi dan kegiatan alternatif yang dibutuhkan masyarakatdewasa ini.

Selain lebih serius memikirkan bentuk dan isi diskusi, kami jugamelihat pentingnya menjaga hubungan baik dengan pengunjung.Bagaimana pun juga oleh keterbatasan waktu tidak mungkin pembicaraansuatu soal dituntaskan lewat sekali pertemuan. Kami selalu berharapbeberapa hal yang dirasa menggantung dalam satu diskusi bisadibicarakan pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Ternyata memangbanyak pengunjung baru yang meminta pemberitahuan rutin tentangacara ini, sedangkan kami sendiri merasa perlu mengetahui siapa sajayang hadir. Maka, absensi pun mulai diedarkan sejak awal 2000. Lalu,melalui email kawan-kawan di luar Jakarta meminta notulensi atautranskripsi diskusi tema-tema tertentu. Kami putuskan untuk merekamseluruh proses diskusi dan mentranskripnya. Memang, tidak semuadiskusi terekam dengan baik, entah karena wireless pinjaman dari IKJsudah kelewat tua, atau karena penjaga mesin perekam seringkali terlaluasyik mengikuti diskusi sehingga lupa membalik kaset.

Pada tahun yang sama Alit berinisiatif membuka situs Dbp. di internet danlayanan e-group untuk melancarkan peredaran informasi. Di situs ini dimuat pro-gram diskusi, peta lokasi – banyak yang kesulitan mencari rumah-studio Dolorosa –dan transkrip diskusi. Kemudian, kawan-kawan dari Lembaga Studi Pers danPembangunan (LSPP) yang rajin mengunjungi diskusi mengusulkan agar hasil diskusiditerbitkan dalam bentuk yang sederhana. Kami sepakati usulan itu dan mulaimenggarapnya bersama dengan LSPP. Proses transkripsi berlangsung cepat, tapi kerjaediting tersendat-sendat, pertama karena tidak mudah menentukan bagian-bagianyang harus dipotong tanpa mengurangi bobot diskusi; kedua, karena beban kerjapersonil JKB yang berlebihan.

Sementara itu Dbp. semakin berkembang juga menjadi “ruang sosialserbaguna” bagi siapa pun. Dari anak jalanan, ibu rumah tangga, relawankemanusiaan yang memerlukan pengetahuan tambahan; kaumprofesional yang selalu dibuat penasaran dengan isyu-isyu politik tingkat

Page 13: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 11

tinggi; pekerja seni yang tergugah oleh isyu-isyu kemanusiaan; bekas tapol/napollansia yang ingin memahami pemikiran generasi muda; sampai aktifis pemuda yangperlu membakar semangat “massa” dengan kejantanannya mendapat tempat seluas-luasnya untuk angkat bicara atau sekedar mendengar saja. Sesudah diskusi usai,terjadilah berbagai “transaksi” yang kadangkala berlangsung lebih lama dan lebih luasdaripada diskusi itu sendiri. Bahkan, pada suatu waktu salah satu pengunjung setiaDbp., Pak Surya, menawarkan “Beras Bagus, Murah, Karya Bumiputera” hasil panenpetani Karawang dan mendapat sambutan meriah dari para pengunjung!

Pengunjung Dbp. bisa semakin beragam saat topik yang dibicarakan mengenakepentingan banyak pihak dan narasumber yang diundang dikenal luas. Dua topikyang paling menarik perhatian adalah Pembantaian 1965 pada September 2000 danKedaulatan Rakyat atau Kedaulatan Negara? pada April 2001 dengan pembicarasosiolog Dr. George Junus Aditjondro. Reaksi spontan pengunjung pun beragam.Dalam sebuah diskusi tentang Peran Ibu dalam Perjuangan Masa Transisi Mega Priantidari Suara Ibu Peduli (SIP) bercerita tentang pengalamannya sebagai ibu rumahtangga yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan. Tiba-tiba di tengah perbincanganseorang aktifis perempuan menyambut cerita itu dengan penghargaan terhadap paraibu sambil tersedak tangis haru. Tapi mungkin diskusi yang paling mengundangtawa berkepanjangan adalah Militer Indonesia dengan narasumber bekas PangdamKalimantan Timur, Hario Kecik, yang memang terkenal jenaka.

Selama hampir 3 tahun menjalankan kegiatan ini kami hampir tidak pernahmengalami hambatan yang berarti. Bahkan, para polisi lalu lintas yang berjaga di posjalan masuk ke halaman rumah Dolorosa meminta diundang, “Mbak, kalau yangbicara bagus-bagus, seperti George Aditjondro itu, kami diundang dong. Kalau yangbodoh-bodoh, ngga usahlah!” Tentu saja ada ‘kecelakaan’ di sana-sini yang membuatkami harus putar otak atasi keadaan. Sekali waktu penulis kawakan bekas anggotaLekra, Hersri Setiawan, yang diharapkan akan berbicara mengenai Sastra Eksil Indo-nesia, mengalami keterlambatan pesawat dan tidak bisa hadir dalam diskusi. Karenapengunjung sudah berkumpul, terpaksa topik diganti menjadi Musik Punk karenakebetulan malam itu banyak kawan-kawan dari kelompok underground yang hadir.Kali lain, mobil yang dipakai untuk menjemput narasumber mogok di tengah jalandan acara harus mundur sekitar 1,5 jam. Sering pula kami kelabakan tentukan temadan narasumber sementara waktu sudah mendesak sehingga pilihan jatuh pada or-ang-orang JKB saja. Apa pun, kehadiran dan harapan pengunjung setia Dbp. tetapmemberi kami semangat untuk melanjutkan diskusi ini.

Atas desakan banyak pihak di Jakarta maupun di luar Jakarta, akhirnya awaltahun ini niat menerbitkan buku tahunan Dbp. terlaksana. Denganmempertimbangkan kualitas perbincangan dan rekaman yang ada tidaksemua diskusi kami muat dalam buku ini. Selain itu, demi kejelasanpersoalan yang dibicarakan, transkrip diskusi sengaja kami sederhanakandengan memotong bagian-bagian pembicaraan yang lebih bersifat “debat

Page 14: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200012

untuk tahun 2001, program lengkap Dbp sbb.:

Soetjipto & Olly Supit: Pandangan Int. tentang Gerakan Kiri InternasionalIbe Karyanto & Ignas Kleden: PendidikanMega Prianti & Maria Hartiningsih: Peran Ibu dalam Perjuangan MasaTransisi dan Diskusi Buku Ibunda karya Maxim Gorky (diskusi buku Ibunda,Gorky) bekerjasama dengan KalyanamitraEndo Suanda: Revitalisasi seni tradisiAmarzan Lubis dan Bre Redana: Jurnalisme BudayaHario Kecik: Militer IndonesiaIr Widodo: Teknologi Metalurgi di Dunia KetigaArya Kusumadewa: Pemutaran film ‘Beth’ dan diskusi FilmMichael Bodden: Teater dan SastraFX Harsono: Tentang SenirupaJohn Roosa: Tentang terorisme pasca 11 sept.Dialog Kebudayaan dalam rangka Pameran Tunggal Dolorosa Sinaga diGaleri NasionalGunawan Wiradi :Reforma Agraria

kusir”. Kami membayangkan akan sulit bagi pembaca yang tidak hadir dalam diskusiuntuk mengikuti alur silang pendapat apabila transkrip dibiarkan sebagaimana aslinya.Harapan kami buku ini bukan saja berfungsi sebagai bahan bacaan awal untukmemahami soal-soal yang diperbincangkan, tetapi juga bisa menjadi inspirasi bagisiapa pun untuk menyelenggarakan kegiatan serupa dimana saja.

Bertahannya ritual bulanan ini tentunya tak bisa dilepaskan dari kebesaran dankemurahan hati sang pemilik rumah, Dolorosa Sinaga dan Arjuna Hutagalung, sertakesediaan para pekerja rumah tangganya, yaitu Irok dan Johan, yang mempersiapkanmakanan dan ruangan untuk berdiskusi. Mereka kerap harus relakan waktu bersamakeluarganya karena lembur sampai jauh malam untuk mencuci peralatan makan danmembersihkan arena diskusi. Mulanya para pekerja ini hanya tahu “mau ada rapat dirumah ibu”. Belakangan, Johan, yang sedang merintis karir sebagai pematung, mulai

tertarik ikut diskusi. Dengan bertambahnya jumlah pengunjung, mau tak mau kamisemua turun tangan untuk mempersiapkan arena diskusi, memasak, dan kadang-kadang saweran untuk makan malam. Tak kurang dari Atoen, sekretaris JKB danRara, sekretaris pribadi Dolorosa luangkan waktu istirahatnya untuk membantu kamipersiapkan kegiatan ini. Buku ini antara lain didedikasikan pada mereka.

Jakarta, 28 Februari 2002

Page 15: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 13

Page 16: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

14

Page 17: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 15

Sudarmadji Damais:Pertama-tama saya ingin memperkenalkan diri. Saya bukan ahli mu-

seum tetapi orang yang suka sejarah dan kebetulan pada zaman AliSadikin disuruh mengurus museum. Saya menulis tesis tentangkebudayaan Polynesia. Nah, karena saya juga mempelajari Jawa — maafsaja nanti kalau keluar bahasa Jawa dan juga ada Sundanya.

Istilah “museum” berasal dari bahasa Latin, yang bentuk aslinya daribahasa Yunani, yaitu museon. Dulu ada kerajaan Yunani dan rajanyatertarik pada filsafat. Istilah philosophie, atau mencari hal-hal yang benar.Dia mengumpulkan guru-guru besar waktu itu dan membuat museonatau tempat ibadah untuk sembilan dewi yang namanya musee. Sembilandewi ini semuanya anak haram, dan masing-masing musee itu dibuatkhusus untuk sastra dan sejarah yang diberi nama epic, lalu ada khususuntuk teater, tragedie dan komedie. Ada untuk tarian dan anehnya, adauntuk astronomi. Kesembilan cabang yang mewakili sembilan musee inianehnya tidak memasukkan senirupa. Tidak ada dewi seni patung atauseni lukis. Kenapa? Karena pada zaman itu seni lukis dan patung dianggap

Profil Tentang MuseumNarasumber: Sudarmadji Damais, mantan Direktur Museum Sejarah Jakarta Fatahillah.Moderator: Alit Ambara.

19 FEBRUARI 2000

Seperti apa nasib museum di Indonesia sekarang? Di tengah ambruknyaperekonomian, menurun drastisnya dana pendidikan dan kesejahteraanlain, berdiskusi tentang museum seolah menjadi kemewahan tersendiri.Namun, seperti yang ditunjukkan Sudarmadji Damais, atau yang lebihdikenal dengan Adji Damais, museum bukan hanya tempat nongkrong,tapi tempat bangsa merekam masa lalunya. Berdasarkan pengalaman Adjiemempelajari sejarah permuseuman di Eropa dan mengelola beberapamuseum di Indonesia, ia berpendapat bahwa apa yang ada dalam mu-seum sesungguhnya mencerminkan watak sebuah bangsa. Miskinnya mu-seum di Indonesia mencerminkan kemiskinan berpikir di kalangan eliteyang sesungguhnya bisa berbuat banyak untuk memajukan kehidupanbudaya. Penguasa Orde Baru lebih senang membuat museum untukmembela citranya sendiri ketimbang untuk berbicara tentang bangsasebagai keseluruhan. Walaupun tidak dihadiri banyak orang, diskusi inimemberikan gambaran yang lebih jelas tentang apa fungsi museumsebenarnya dan apakah negeri ini perlu museum. Adji sendiri berpendapatbahwa pertanyaan yang lebih mendasar sebetulnya berkaitan dengan sikapbangsa ini terhadap masa lalunya. Apa pentingnya masa lalu bagi kita?Dan, bagaimana seharusnya kita mempelajari sejarah? Hanya jika keduapertanyaan ini dijawab, kita bisa menentukan apakah kita perlu museumatau tidak, dan kalau diperlukan, museum seperti apa yang akan didirikan.

Page 18: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200016

sebagai kerja tukang atau kriya. Jangan lupa pengagungan seni rupa itu baru terjadibeberapa abad sesudahnya, paling sedikit enam abad sesudahnya. Jadi, agak miripdengan pematung di Bali yang lebih seperti pematung. Kalau disuruh patung, yabikin patung. Disuruh melukis, ya melukis. Penjualan patung, memasarkannya melaluipameran itu adalah hal baru.

Dalam museon ini, berdasarkan cerita-cerita kuno, pemerintah membayarsekelompok pemikir yang mengembangkan daya cipta dalam bentuk ceramah. Gedungitu pun berkembang, ada ruang perpustakaan, ada juga ruang untuk berpikir. Cobaperhatikan kalau orang Eropa berpikir, maka dia cenderung jalan kaki wira-wiri.Beda dengan orang Indonesia yang kalau mikir malah ndeprok atau semedi. Nah, didalamnya ada juga ruang seminar, dan yang paling penting tentunya ada ruangmakan. Rupanya entah dua atau tiga kali sehari ada santapan untuk orang-orangyang berpikir itu, dan semuanya dibayar oleh pemerintah. Nah, kita tidak tahu lebihjauh apakah ini semua ada kaitannya dengan dua lembaga kuno dalam sejarah Yunani,yaitu musoleum untuk mengembangkan anak muda, dan academia. Kalau akademikita tahu ciptaan orang Yunani di mana filsuf seperti Plato bicara menyebarluaskanpemikirannya. Sebenarnya nama academia ini semula berasal dari taman milik seseorangbernama Academos.

Itulah asal-usulnya. Tapi yang lebih penting kita tinjau adalahperkembangan museum ini sendiri. Di zaman Renaissance sekitar abadke-14 dan 15, tiba-tiba bermunculan koleksi-koleksi pribadi, sebagiandiberi nama museum. Orang mulai kumpul lagi di ruangan seperti itu,ada buku-buku langka, lukisan, kerang dan macam-macam lainnya. Orangmulai mengumpulkan benda-benda yang dianggap ajaib, untukmenunjukkan kehebatan dan kekayaan. Seperti sekarang juga. Sampaisekarang masih ada orang yang mengumpulkan kerang, di OxfordUnivesity bahkan khusus untuk itu. Tapi juga ada lukisan, patung dannaskah-naskah tua dari Indonesia dalam bahasa Jawa dan Sunda.

Nah, keinginan membuat koleksi dan mengumpulkan barang terangmenimbulkan masalah. Kalau didiamkan saja akan hancur. Jadi harusdilestarikan. Pelestarian itu pun perlu ilmu yang disebut konservasi.Tapi di Indonesia ini kan biasanya kalau ada barang mau hancur dibiarkansaja. Saya tidak menilai ini salah atau benar, tapi ada perbedaan sikap.Di satu pihak ada orang yang mau barang tetap utuh, otentik, tidakdimakan kutu atau rayap. Di pihak lain ada orang – seperti kita di Indo-nesia ini – yang kalau barangnya hancur, selalu mikir bikin baru.

Di Eropa baru pada abad ke-18 orang membuat koleksi benda-bendaseni, jadi bukan hanya benda alam seperti kerang dan sebagainya itu.Muncul koleksi lukisan yagn besar dari zaman sebelum Revolusi Prancis dan dibukauntuk umum. Tapi umum yang mana dulu? Umum di sini maksudnya orangberpendidikan, biasanya orang kaya, yang punya koneksi dan seterusnya. Koleksi itu

Page 19: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 17

biasanya ada di istana raja yang tidak dibuka untuk sembarang orang. Waktu RevolusiPrancis terjadi muncul konsep baru. Daripada menghancurkan barang-barang kerajaandan gereja yang dianggap feodal – dan barangnya dianggap benda maksiat – makabeberapa tokoh Prancis berpengaruh yang terpengaruh Pencerahan mulai mengatakanbahwa semua itu harus dipelajari. Semua koleksi itu akhirnya menjadi milik pemerintahrevolusioner Prancis yang mengatakan benda-benda itu tidak boleh dihancurkan.Mereka yang menghancurkan akan dihukum. Semua itu harus dilestarikan untukpendidikan dan pengajaran rakyat. Istana-istana yang tadinya tertutup lalu dibukauntuk rakyat, demi pencerahan rakyat. Soal rakyat itu doyan lukisan yang dipajangatau tidak, tidak dipertanyakan. Tapi yang pasti pemerintahnya membuka pintu-pintu museum itu.

Sampai di sini kita lihat bahwa museum itu awalnya adalah tempatibadah, tempat kumpulnya pemikir dan juga perpustakaan. Tapi tidakada koleksi seni rupa. Lalu ada gelombang kedua di mana museummenjadi tempat menyimpan barang-barang aneh. Sebetulnya seperti itudi Indonesia juga banyak, tapi orang hanya mengumpulkan saja. Sayakenal orang yang punya kambing berkepala dua. Sudah mati, tapi masihdisimpan. Dia juga punya batu akik dengan tulisan Allah, juga disimpan.Nah, dari tempat mengumpulkan benda-benda aneh, larinya ke senirupa. Seperti museum di Prancis yang sebelumnya adalah koleksi raja-raja. Nah, Revolusi Prancis yang pertama membuka museum seperti kitakenal sekarang. Belakangan semakin banyak ke seni rupa. Itu sebabnyaada yang disebut art gallery. Gallery ini sebenarnya selasar tempat rajalewat tiap hari yang temboknya penuh lukisan. Jadi sebenarnya hanyabagian dari sebuah museum. Dalam periode inilah muncul gagasantentang museum sebagia tempat mengumpulkan, mengawetkan danmelestarikan, meneliti dan menyebarluaskan isinya kepada masyarakat.Unsur pendidikan yang dulu tidak ada, sekarang malah menjadi penting.

Anehnya Indonesia itu ternyata memiliki salah satu museum tertuadi dunia. Museum Nasional itu dibangun tahun 1778 dengan konsepyang sama. Mereka menemukan barang yang dianggap menarik atauaneh dari kepulauan Indonesia, lalu dikumpulkan dan digabung denganperpustakaan serta koleksi-koleksi lainnya. Dulu ada koleksi khususmineral yang akhirnya dipindahkan. Masalah seni justru tidak ditekankan,walau ada patung dan tekstil dari seluruh Indonesia. Ini semua bertolakdari sikap ilmu dalam antropologi yang mau mengumpulkan segala hasilkarya orang Indonesia.

Museum yang saya mau bicarakan di sini sebenarnya hanya dua. Pertama, mu-seum budaya seperti Museum Nasional itu, dan kedua museum seni rupa. Nah,memang aneh museum seni rupa itu dalam sejarahnya tidak ada. Patung dan lukisantidak masuk hitungan di antara sembilan kesibukan orang Yunani. Soal ini ada cerita

Page 20: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200018

lucu. Seorang Prancis bercerita bahwa di dunia ada dua anak yatim-piatu, namanyaseni patung dan seni lukis. Mereka luntang-lantung karena ibu mereka, seni bangunan,sudah dibunuh. Nah, supaya kedua anak ini punya tempat maka lahirlah museum.Dan dalam 20 tahun terakhir yang paling banyak kita lihat adalah museum senirupa. Hampir tidak ada yang lain. Museum seni rupa menjadi perkembangan yangpaling penting. Jadi ibunya, seni bangunan, itu dibunuh dan hanya mendapatpenghormatan lewat bangunan museum seni rupa yang megah.

Di sini kita perlu bertanya juga, apa sebenarnya yang dicari orang – khususnyaorang Eropa – dengan membangun museum? Apakah seperti dikatakan oleh pakar-pakar itu, sebagai tempat menoleh ke masa lalu, merenungkan kebesaran masa lalu,merenungkan keanehan, atau apa? Tadi saya sempat bicara dengan Alit tentang sikapkita terhadap kebudayaan. Orang melihat waktu sejarah sebagai garis dari nol sampai2000, dari zaman orang telanjang sampai orang berpakaian sampai sekarang. Jadi adasatu garis yang seolah bergerak, tapi ada juga yang melihat sejarah sebagai prosesberulang atau siklus. Orang di Timur, khususnya Cina, melihat kadang orang hidupdi atas, turun lagi, lantas mati dan begitu seterusnya. Tetapi di Barat, apalagi sejakzaman pencerahan mereka sadar bahwa kita mulai dari nol, dari gerombolan biadabmenjadi beradab. Nah, inilah yang perlu kita tanyakan. Apa yang sebenarnya dirasakanoleh lingkungan kita sendiri.

Konsepsi tentang waktu itu penting. Misalnya di Bali ada legendaBatara Kala, mulut yang tidak punya badan. Kerjanya makan bulan, tapibulan itu selalu keluar lagi. Batara Kala ini kerjanya merongrong sehinggaorang terus menjadi tua. Di Yunani ada juga, tapi namanya Kronos. Diaini dewa yang makan apa pun, rumah atau kota bisa dia makan.Maksudnya hancur karena waktu. Nah, sikap kita terhadap waktu iniyang perlu dipertanyakan. Karena Batara Kala terus mengganggu danmenghancurkan segalanya, apa sikap kita terhadap pelestarian? Kalaudi Eropa orang mau melestarikan barang tua karena dianggap pentinguntuk pendidikan, penting untuk menjadi tapak ingatan. Pertanyaannya,apakah kita perlu mengingat-ingat semua demi kemajuan dan agarkesalahan yang sama tidak terulang? Dalam kebudayaan Barat kitamengenal monumen, artinya benda yang dipakai untuk memperingatisesuatu, entah tokoh atau kejadian.

Di Indonesia nampaknya beda. Apakah ingatan memang punya tempat yangpenting dalam hidup kita sehari-hari? Misalnya ada barang yang hancur, orang Indo-nesia biasanya bilang, “ya sudah biarkan saja hancur. Mana fotonya, kita bikin lagi.”Kalau di Barat replika itu dianggap hina. Anda masuk museum mana pun tidak adabarang replika, kecuali beberapa koleksi tertentu karena terpaksa. Tapi museum ataulembaga yang merasa dirinya terhormat, tidak akan menerima copy atau replika. Nah,di sini saya minta tolong pada teman-teman untuk bertanya pada diri sendiri. Menurutsaudara-saudara orang Indonesia itu pada umumnya, kalau mau mengacu ke masa

Page 21: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 19

lalu atau mendekatkan diri pada masa lalu, tujuannya apa?Menurut saya kebanggaan kita sering kali ada di sekitar mitos. Jadi yang kita

hormati sebenarnya sesuatu yang tidak berbentuk, kecuali keris mungkin. Tapi soalkeris pun perlu dipertanyakan. Kita ambil contoh di Tiongkok. Ada orang Prancisyang cerita kepada saya naik kereta api dan terkagum-kagum karena setiap stasiunpunya nama yang mengingatkan orang akan kebesaran kebudayaan Tiongkok. Tapianehnya kalau pergi ke tempat-tempat tersebut, sisa peninggalan kebudayaanTiongkok yang kuno tidak ada lagi. Karena orang di sana punya kebiasaan – sepertikita mungkin – untuk menghancurkan segala setiap kali ada pergantian kekuasaan.Jadi kalau kita pergi ke Kota Terlarang, umurnya belum sampai 500 tahun itu. Tapikalau ke Roma, tidak jarang kita lihat bangunan yang usianya sudah seribu bahkandua ribu tahun. Dan masih asli. Misalnya Pantheon di Roma, umurnya sudah 2000tahun. Mungkin dulunya tempat ibadah lalu jadi gereja yang terus dilestarikan.Tembok Besar Tiongkok itu batunya sering diganti, dan umurnya pun baru 300-400 tahun. Si ahli dari Prancis ini bertanya-tanya, “kok aneh orang Cina yang begitumengagungkan masa lalu, kebesaran mereka, sering mengganti-ganti seperti itu?” Disisi lain kita tahu tulisan mereka sudah 2000 tahun usianya dan tidak sampai sekarangpada dasarnya masih sama. Jadi ada semacam kesinambungan kebudayaan yang luarbiasa, tapi tidak ada kesinambungan peninggalan. Saya dulu juga berpikir hanyaorang Indonesia yang tidak punya sense of archeology, tapi ternyata orang Cina danJepang juga tidak. Orang Jepang malah merombak puri mereka setiap 60 tahun sekalisampai ke paku-pakunya. Tapi lantas dia bilang bahwa puri itu usianya sudah 2000tahun. Kesimpulan orang Prancis itu, di Timur yang dihormati ternyata bukan bendatapi kemampuan untuk membuat benda itu. Jadi, masalahnya konsep yang lebihkuat daripada benda.

Di Indonesia saya juga pernah terpikir begitu ketika bicara denganorang kraton. Mereka bilang, “ini pusaka dari Brawijaya pamungkas, yang ini dariAmangkurat Tegalwangi” dan seterusnya. Saya mulai mikir. Dalam iklim seperti inibenda-benda yang dari besi – biar pakai pamor yang peng-pengan – itu tetap akanberkarat. Belum lagi keris itu setiap satu Syuro – sebenarnya ini bukan tradisi Jawatapi ciptaan Orba – harus dicuci. Selalu diwarang, padahal warang itu bahan kimiayang merongrong besi. Mestinya dalam seratus tahun besi itu sudah habis. Lalu sayalihat, umpamanya keris yang namanya Kyai Turonggo itu ada keris yang disebut KyaiTuronggo Putro, atau copy-nya. Tapi kalau keris kita tidak bilang itu di-copy. Namanyaamurtani atau bikin anak. Artinya barang baru tapi dengan sukma dari keris yanglama. Itu sebabnya kraton Solo dan Jogja punya koleksi keris lengkap, dari sekitar 500sampai 600 tahun sebelumnya. Jadi, sekali lagi yang penting bukan wujud tapi isi.Nah, ini sikap yang sangat berbeda dengan orang Barat yang ngotot “it must beauthentic”. Kalau nggak otentik, dibuang. Kalau kita sekarang mau bikin museumdemi keagungan masa lalu, jelas keris tidak bisa dipertontonkan. Tapi di sini kita akanberhadapan dengan sikap orang yang tidak keberatan dengan copy atau replika. Saya

Page 22: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200020

pernah usul bikin pameran foto tentang revolusi. Artinya harus bicara dengan Hippos.Tapi lalu ada yang bilang, “nggak usah, Pak. Kita main fotocopy saja.” Buat saya,kalau mau pajang fotocopy-nya, buat apa bikin pameran? Tapi buat kebanyakanorang nggak jadi masalah, yang penting masih kelihatan. Saya sengaja mengangkatmasalah-masalah ini untuk dijawab. Bagaimana caranya kita membikin museumyang lebih baik dan dikunjungi oleh masyarakat luas.

O ya, saya berikan contoh lain. Tadi saya sudah cerita sama Alit, pernah dimintaseorang rahib membantu membuat kelenteng di Malang. Saya ini kan arsitek amatiran.Saya bikin bangunan kelentengnya dengan gaya the fifties (era 1950-an). Rahib inimasih muda, anak orang kaya, Cina dari Semarang yang baru kembali sekolah dariAmerika Serikat. Lalu waktu masuk saya sudah membayangkan, kelentengnya harusbegini-begitu. Terus saya lihat patung Buddha, kok dibuat dari semen dan tidakberbentuk? Saya bilang, “Mas, kenapa tidak pesan patung perunggu dari Thailand?”Orangnya dengan tenang bilang, “kesaktiannya tidak ada.” Jadi, yang penting adalahsemangat kesaktian itu, kekuatan yang ada dalam patung tersebut. Urusan patungitu bagus atau tidak, bukan masalah bagi dia. Jadi kelihatan bahwa sikapnya lebihumum dari yang saya duga.

Nah, kita selalu mendengar bahwa museum itu elitis, kurang merakyat dansebagainya. Saya sih ngerti rakyat, ngapain masuk museum tidak ada seru-serunya.Kalau saya rakyat biasa tentu lebih baik ke mall, dingin, bendanya mewah, indah tapitidak bisa dibeli. Kalau masuk ke Louvre, ada Monalisa, tapi saya tidak mampu beli.Hal ini sedikit banyak ada hubungannya dengan kebudayaan modern yang jugadatang dari Barat. Artinya kebudayaan yang cukup dengan melihat dan puas. Inijuga ada hubungan kuat dengan orang pergi ke mall. Lihat sepatu, aduh kerenbanget, tapi kok mahal? Sekarang di museum juga sebenarnya kita bisa ngobrol,ketemu teman, ada restoran yang mahal. Mall juga sama, sebuah tempat nyaman dimana kita bisa jalan-jalan satu sampai dua jam. Museum modern makin lama, makinseperti mall. Ini melahirkan pertanyaan. Kalau sekarang kita bikin museum itu untukapa dan untuk siapa?

Dalam hal ini menarik memperhatikan sikap kita terhadap masalahwaktu. Benda budaya itu penting atau tidak? Perlu dilestarikan atautidak? Atau cukup reproduksi saja? Kalau kita anggap reproduksi itucukup, tidak usah pusing dengan pelestarian. Tetapi kalau kita anggapbarang itu harus dilestarikan, maka perlu laboratorium, perlu ahli, ACkhusus, bendanya tidak boleh dijamah, tidak boleh keluar museum danseterusnya. Dan yang paling penting adalah pemanfaatannya. Kalau dulumuseum dibuat orang kaya, raja-raja dengan koleksi agar dia kelihatanhebat. Zaman sekarang, koleksi semacam itu kan penting juga untuknegara. Pemerintah Prancis bayar puluhan milyar untuk museum.Pengunjungnya bisa sampai lima juta orang per tahun dan dari sudutekonomi jelas sangat bermanfaat. Mereka semua beli tiket, beli kartu

Page 23: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 21

pos, belum tentu beli buku, beli souvenir, dan paling sedikit orang itu minum tehdan kopi. Itu semua membawa uang berlipat ganda, belum lagi yang nginap. Palingsedikit tiga hari di kota Paris. Pakai taksi, pakai travel agent, jadi ada perputaranekonomi karena kunjungan orang ke sana itu luar biasa. Apakah orangnya kemudianmerasa terdidik dan lebih beradab, saya serahkan kepada saudara-saudara sekalianyang terhormat ini.

Jadi, sekarang pertanyaannya kembali, menurut kita museum Indonesia sepertiapa yang ideal? Maksudnya menurut kita di sini. Saya tidak punya pendapat lho. Sayasudah sepuluh tahun ngurus museum dan kasarnya sampai pada kesimpulan mungkinmuseum itu harus ditutup. Sebab menurut saya pribadi tidak ada manfaatnya.Mungkin juga saya merasa bosan, capai dan frustasi, ya. Kalau ada uang bisa dilestarikan,dipamerkan dengan baik, ada publikasi. Masyarakatnya belajar, tapi sekarang adamasalah apakah masyarakatnya mau masuk museum dan diberi pendidikan yangbaik?

Agung Putri:Saya mau tanya soal kegunaan. Kalau tadi disebut kegunaannya untuk

pendidikan pencerahan, bagaimana dengan museum seperti LubangBuaya? Apakah memang dibuat dengan maksud pencerahan atau tujuan politis saja?

Sudarmadji Damais:Budaya itu kan politik. Keagungan masalalu itu juga kan politik.

Lubang Buaya ini kan dianggap keramat, diciptakan jadi semacamkeramat. Ada satu kejadian yang dianggap jelek oleh pemerintah ketikaitu, dan menjadi contoh buat masyarakat sekarang dan masyarakat yanglalu, supaya ini tidak terulang lagi.

Agung Putri:Padahal cerita sekitar Lubang Buaya ini mau dipertanyakan lagi,

sedang mau dikaji ulang.Sudarmadji Damais:Kalau soal itu, kita sudah terlambat tiga tahun. Kalian tidak baca

koran, waktu Cipinang dibuka untuk pers, semua orang lari ke XananaGusmão. Cuma ada satu orang Australia yang cari orang lain. Siapa yangdia cari? Kolonel Latief, satu-satunya saksi hidup yang belum dibunuh,yang tahu persis kejadian malam itu. Orang lain tidak tertarik, dan this isthe problem. Apakah kita sebenarnya tertarik pada masa lalu? OrangIndonesia tidak ada satu yang mendatangi Latief. Jadi jangan salahkanorang lain. Salahkan diri kita sendiri. Pada dasarnya tertarik tidak sihdengan G-30-S? Saya mendengar begitu menunggu-nunggu kapan itulaporan keluar, kapan buku itu diterbitkan, tetapi nggak ada yang tulis.Kita selalu demonstrasi dengan urusan yang tidak jelas. Jadi, yang sayamasalahkan, kok di antara begini banyak orang tidak ada terpikir maumengorek keterangan Latief? Tentu mengorek dengan disiplin sejarah.

Page 24: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200022

Semua yang Latief katakan belum tentu kita telan bulat-bulat kan? Mesti periksa dandiperiksa dengan kejadian lain.

Waktu G-30-S meletus saya nggak ada di sini. Jadi bacanya dari koranluar negeri dan nonton televisi. Waktu itu penuh dengan pertanyaan,dan saya sangat terpengaruh dengan satu versi, bahwa itu urusan DewanJenderal. Saya pulang ke Indonesia yang dibicarkan di sekililing sayasama sekali lain. Jadi saya selalu dihantui oleh kejadian malam itu. Tapikalau saya ajak bicara teman atau saudara saya, tidak ada yang tertarik.Sudah terang saya dianggap orang aneh, terlalu tercemar oleh pemikiranBarat mau tahu kebenaran, dan lama-lama jadi tidak perduli juga. Sampaisaat orang Australia itu ketemu Pak Latief, saya penasaran lagi apa sihceritanya.

Coba kita tanya pada diri kita sendiri, apakah kita tertarik denganmasa lalu? Sebab, kalau kita betul tertarik mestinya sudah muncul 10buku. Tidak usah jauh-jauh. Kennedy dibunuh sudah berapa puluh bukudengan sepuluh ribu teori. Ada yang mengatakan Kennedy dibunuholeh si A, atau si B, dan seterusnya. Apakah semua orang betul atau salah, tidak jadimasalah, tetapi paling sedikit muncul puluhan buku. Di kita kok nggak muncul?Saya tidak menyalahkan orang, tapi saya cuma bertanya apakah masa lalu itu begitupenting buat kita?

Soal maksud politis mendirikan museum. Louvre saja oleh Mitteranddipakai untuk mengangkat keagungan Prancis. Jadi selalu ada itu. Tetapi,saya mau tanya apakah itu diterima masyarakat atau tidak? Ternyatasangat diterima, dan yang datang lima juta orang. Orang Prancis yangkere saja bangga. Tidak usah jauh-jauh. Gus Dur di Paris kemarindipertemukan dengan Kadin-nya konglomerat Prancis. Mereka kumpuldi satu ruangan, mengelilingi meja lalu ada protokol Indonesia yangdatang duluan dan bilang, “Saudara-saudara sekalian, presiden Indone-sia akan datang, dan kalian diharapkan berdiri dan tepuk tangan.” Or-ang Prancis dibegitukan ngedumel dua jam. “Apa-apaan ini? Itu kanspontanitas. Itu hak kita mau tepuk tangan atau tidak.” Boss-nya datangdan Gus Dur lalu duduk. Sambil si boss-nya bicara menjelaskan Indone-sia itu apa dan pertemuan ini untuk kepentingan apa, dan segala tetekbengek semua peserta ngedumel terus. Gus Dur lalu ngomong dalamInggris, “saya sangat bahagia ada di Prancis, kebetulan saya belajar bahasaPrancis waktu kecil. Jadi perkenankanlah saya bicara Prancis.” Ini sayadengar dari teman saya, bahasa Prancisnya bagus dan lugu. Hampirtidak ada logat Jawanya dan apapun, dan dia bicaranya sangat pelan.“Saya pengagum Prancis, pada waktu kecil saya belajar Prancis danakhirnya saya dapat mengatakan bahwa filsuf favorit saya darikebudayaan Prancis namanya Jean-Paul Sartre.” Saya yakin separuh

Page 25: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 23

ruangan itu hanya tahu nama ketimbang membaca karyanya. Dan Prancis tidakterlalu beradab. Karya Sartre yang mereka sukai adalah “Pintu Tertutup” yangditerjemahkan oleh Asrul Sani mengenai pengadilan. Setelah itu Gus Durmenambahkan, “tetapi ada buku yang tidak pernah saya tinggal ke mana-mana karyaAndré Malreaux.” Lantas dia bilang. “Sekarang saya berbahasa Inggris.” Lalu disambungtanya-jawab. Saya dengar ini dari beberapa orang dan mestinya benar. Waktu selesaibicara, tanpa disuruh semua orang berdiri dan tepuk tangan. Gus Dur menunjukkankekuatannya. Kalau disentuh dengan baik, maka hasilnya sama seperti kalau kitapentung. Pikiran Gus Dur tentunya, “Wah Prancis ini harus gue pukul lewat sini.Kalau nggak, pasti nggak kena.” Pelajaran yang bisa kita tarik di sini, bahwa ternyatarakyat Prancis yang kelihatannya tinggi, ternyata sama saja dengan kita, hidup denganmitos-mitos dan klise juga. Nah, tinggal pintarnya kita memakai itu untuk politik.

Setianingsih Purnomo:Sebagian dari kita menganggap masa lalu kita kan seperti aib yang tidak perlu

dikasih tahu ke orang. Yang kedua, adalah filsafat mikul dhuwur, mendem jero. Jadinggak nyambung. Nah bagaimana kita mau bicara tentang museum yang ideal dalamsituasi begini?

Sudarmadji Damais:Sekarang cuma ada dua jenis museum. Museum pemerintah pusat

yang namanya museum negeri yang selama 30 tahun dikembangkan.Ada yang mulai dari nol, tetapi kebanyakan mengambilalih museumlama dari jaman Belanda yang dulu merupakan lembaga swasta. AdaMuseum Bali, Museum Radya Pustaka di Solo – museum swasta Jawatertua, museum pribumi tertua. Itu yang mendirikan adalah para pangerandan raja-raja di Solo. Kalau museum Sonobudoyo di Yogya itu bukanmuseum Belanda, tapi museum Jawa. Kalau di Bali, museum yang diDenpasar itu ciptaan Bali Institute kerjasama raja-raja Bali dengan orangBelanda. Museum Batak Simalungun itu juga swasta, lho. Repotnyadengan revolusi Indonesia itu semua dilahap pemerintah pusat, seringkalidengan maksud dan tujuannya tidak jelas.

Tetapi baru 30 tahun Orde Baru itu timbul gagasan setiap propinsipunya museum yang sangat jauh dari museum yang saya ceritakan tadi.Karena umumnya museum itu melekat dengan filsafat kita pada saat itu,bahwa selalu ada satu ruangan untuk satu kebudayaan. Misalnya propinsiMaluku, museum Siwalima itu menerangkan siapa kita orang Indonesiadi Maluku. Tetapi ada ruangan lain yang menghubungkan BhinnekaTunggal Ika, hubungan kita dengan kebudayaan-kebudayaan lain.Seringkali ada koleksi boneka orang kawin dari 27 propinsi, nanti adaanik-anik dari 27 propinsi, ada gendang. Itu salah satu cara yang sayatidak berani nilai sebab saya tidak pernah bekerja di museum negeri

Page 26: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200024

seperti itu. Museum negeri saya itu lebih ke sejarah Jakarta dan beratnya sudah terangke VOC. Nah, ini kan ada pertentangan antara kehendak pemerintah pusatmenempatkan diri, “ini adalah orang Maluku berdiri di tengah 27 propinsi dengan27 jenis budaya.” Tapi biar pun ada 27 propinsi, yang menonjol biasanya cuma satu-dua, Di Sumatra Utara, Nias menjadi anak bawang, karena yang muncul hanya yangMelayu dan yang Batak. Di Jawa Barat kebudayaan Sundanya yang dipegang, padahalCirebon itu juga Jawa Barat, tetapi itu dianggap sepertinya Sunda. Kalau Jawa Tengah,jelas semuanya dilahap oleh kraton. Tidak ada yang tertarik dengan kebudayaannyaorang Banyumas atau Tegal yang notabene berbeda dan seterusnya. Kalau Baligampang, agak homogenous tapi yang lain-lain masih menjadi pertanyaan.

Tapi, paling sedikit ada keinginan pemerintah pusat lewat Depdikbud waktuitu, untuk menempatkan setiap budaya daerah dengan budaya saudara-saudaranya.Apa itu berhasil atau tidak, masih pertanyaan, karena sekali lagi museum tidak sekadarmemperagakan koleksi, tetapi dengan mengembangkan kegiatan. Dan kebanyakanmuseum Indonesia itu justeru mati di kegiatannya, padahal kita ini tukang upacara,kenapa tidak nyetrum? Mestinya kan begitu kalau kita menganggap museum itutempat ibadah baru untuk mengagungkan budaya. Di Eropa kan orang mengatakanmuseum itu pada dasarnya adalah katedral-nya masa baru. Kenapa katedral? Karenatempat orang ngumpul untuk beribadah mengagungkan, menyembah sesuatu yangdianggap lebih luhur. Kalau di gereja jelas urusannya Yesus Kristus dan Maria. Tapikalau di museum benda hasil karya manusia itu atau hasil cipta manusia.

Jadi yang penting adalah kegiatannya, dan saya kira ini masalah utama di mu-seum-museum Indonesia. Tidak ada kegiatan untuk mengangkat lembaga tersebut.Penelitian yang diterbitkan saja tidak ada. Sebenarnya kita harus menggiatkan denganfestival, pembacaan syair, teater, tarian atau merayakan salah satu tokoh. Dulu kan disamping hari raya Kristen, Islam, Hindu, Buddha dan sekarang kelihatannyaKonghucu juga masuk, masih ada hari pos nasional, hari anak, hari nelayan, hari ibu,lahirnya Diponegoro, Sumpah Pemuda, hari kebangkitan nasional dan seterusnya.Daripada hanya dirayakan dengan membacakan asas-asas Korpri, lebih baikdimanfaatkan untuk kegiatan yang bisa mengangkat museum.

Dewi Wilutomo:Mas, karena bidang saya bahasa, menurut saya perubahan itu juga

harus melalui dan dari bahasa. Mungkin istilah “museum” saja sudahberjarak dengan kita. Mungkin kalau diganti namanya, bisa lebih jelastujuannya. Setiap kata punya referensi tertentu, dan kita tidak mungkinmenciptakan nama tanpa memikirkan sesuatu di baliknya. Tapi dari segikonsep saya juga tidak tahu apakah kebutuhan orang Indonesia akanmasa lalu itu perlu dilestarikan seperti apa. Apakah seperti museum diBarat, kita tidak tahu. Tapi yang pasti saya tidak percaya kalau orangIndonesia tidak punya curiosity.

Sudarmadji Damais:

Page 27: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 25

Saya setuju. Orang Indonesia masih senang menyimpan souvenir untuk dikenangsebagai bagian dari masa lalu. Nah, inilah yang perlu dilembagakan. Museum Indo-nesia di Taman Mini itu lumayan banget… karena yang bikin itu saya [tertawa].Walaupun harus putar otak waktu menerima pesan dari Ibu Tien Soeharto. Ini maunyaapa. Akhirnya saya ngarang saja dan untungnya Ibu Tien senang. Dia malah terimakasih, dan sejak itu hormat sama saya. Di bawah museum itu, saya disuruh bikinsebuah tata pameran 27 pasang penganten dengan pakaian lengkap. Saya bilang inicara aneh untuk membuat museum, karena pengunjung ujuk-ujuk melihat pengantenkawin. Habis itu dia bilang, “untuk lantai atas diisi saja, kan banyak sumbangan.”Saya waktu itu putar otak cari konsep yang bisa menampung koleksi macam-macamini. Tapi lebih penting pesannya Ibu Tien, itu dapat dipertanggungjawabkan. Katanyayang penting harus nalar. Makanya saya ciprat saja dengan urusan kejawen. Sayaterus minta bikin sebuah fresco, lukisan kaca dari Cirebon: kepulauan Indonesia darilukisan kaca. Di atas ada burung garuda, di bawah ada naga. Itu dipertanyakan, “nagaitu kan Cina?” Oh, tidak. Ini kan filsafatnya orang Indonesia, Garuda itu adalahbopok ngakoso, naganya itu ibu pertiwi. Karena pertemuan dari prinsip perempuan-laki ini, maka terjadilah dunia Indonesia persada nasional. Lalu saya tambahkan lagi,karena dalam wayang Arjuna sebelum mencoblos Cakil bilang “sambato bopok ngakosoibumu pertiwi babumu wadon, tumengo ing ngakoso waspadakno ndirgantoro wuskaton mangalap-alap genine naroko jahanan kang wus ngarep-ngarep tekane nyawamu.”Itu kan artinya kejawen, agama yang sangat primitif dan turun-temurun, masihhidup tapi dalam bentuk baru. Waktu dibacakan ke ibu Tien, dia klenger. Dia malahbilang, “Pak Damais, saya terimaksih bapak mengingatkan saya kembali warisanleluhur.” [tertawa]

Naik ke lantai dua, ini urusan perkakas rumah tangga. Bagaimanamenatanya, memang bingung juga. Lantas saya bilang, ”kita sekarangcoba bikin – saya kerja sama tim sudah terang – satu display urusandapur, satu urusan ruang tengah, satu urusan ruang belakang. Kita isidengan ritual-ritual dari seluruh Indonesia.” Pokoknya supaya semuakoleksinya dapat dipakai. Terakhir saya taruh pohon hayat yang dibikinorang Bandung, tapi konsepnya datang dari kelompok kita. Karena dalamkebudayaan Jawa itu ada sikap semua yang lama harus nunggak semi,tidak boleh dilestarikan, tapi harus beranak, harus berkembang menjadisesuatu yang baru. Terus kita buat pohon yang ditaruh di atas, biarpuntidak ada pengunjung naik lantai tiga karena tidak ada lift, capek dianaik. Jadi, biasanya orang berhenti di lantai dua, tidak pernah lihat pohondi atas. Perkara museum itu dikunjungi atau tidak, saya tidak tahu. Semuamuseum yang ada di Taman Mini sebetulnya kan kayak keramat.Koleksinya tidak berubah. Kita mengunjungi tulisannya dari tahun ketahun itu sama semua, tidak ada yang diubah. Dan yang paling banyakpengunjungnya di Taman Mini ternyata Museum Listrik. Saya lupa berapa

Page 28: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200026

ribu orang tiap tahun. Tapi direkturnya nakal, karena semua orang beli tiket, diabelakangan empang tempat orang bisa mancing. Jadi orang pengunjungnya mancingsemua, tidak masuk museum. Saya bilang sama dia, paling tidak ada orang danmerasa bayar tiket itu bermanfaat. Bahwa manfaat yang mereka dapat itu bukan yangkamu harapkan, itu urusan kedua. Jadi, kalau kalian datang ke situ pada hari mingguitu pemancing penuh.

Saya bisa cerita tentang Condet yang saya alami. Waktu ramai-ramainya tahun1970-an kita ngurus museum ada gagasan yang sebenarnya tidak langsung sayabikin, yaitu melestarikan budaya salak dan duku. Tanahnya gede di pinggiran kotadan kepadatan bangunannya rendah. Kebun mangga dibiarkan, kebun duku danseterusnya. Ketika konsep ini sampai ke kuping Kepala Dinas Kebudayaan, merekalangsung bikin proyek cagar budaya Condet. Lho, kok jadinya cagar budaya?Masalahnya planologi kok jadi cagar budaya? Dan mulailah salah pengertian yangluar biasa dan akhirnya meresahkan penduduk setempat. Keluar peraturan gubuktidak boleh diubah, tanah tidak boleh dibagi, orang Betawi tidak boleh begini-begitu. Orang Betawinya protes, “kita kan juga mau jual tanah, beli motor, naik haji”dan seterusnya. Akhirnya bingung sendiri, padahal konsep awalnya adalahmenciptakan daerah resapan hujan sepanjang kali Ciliwung, apalagi di sepanjangCiliwung banyak sisa-sisa prasejarah. Tapi akhirnya malah jadi cagar budaya, di manaorang nggak boleh bikin apa-apa. Sampai keluar ucapan dari Nurcholish Madjid,“memangnya kita orang Indian Amerika, harus terus hidup dalam tenda primitif?Orang Betawi kan juga mau maju.” Saya bilang, ini urusannya bukan soal orangBetawi mau maju atau tidak, tapi semata-mata urusan pohon yang tidak boleh ditebang.Akhirnya sekarang kacau-balau semua, dan malah sekarang katanya jadi pusatpenampungan TKW. Jadi maksud baik sekelompok orang belum tentu diterima olehorang lain. Jadi waktu mendengar perkembangannya seperti itu, kalau ada yangmengajak bicara soal Condet, saya langsung tutup mulut. Untungnya cuma satu,banyak seniman yang sekarang kumpul di Balekambang.

Jadi, ini semua cuma ilustrasi. Kalau mau bikin museum, kita harus menyatukanpandangan paling sedikit tentang konsep museum itu. Apa manfaat yang diharapkandan apa maksud-tujuannya. Tapi umumnya itu tidak pernah dipersoalkan. Orangbikin saja. Zaman Ali Sadikin, antara tahun 1972-77, kita bikin tujuh museum. Tapisaya merasa paling beruntung karena paling sedikit bangunannya dilestarikan.Museumnya, koleksinya, masih lengkap. Nah, sekarang bagaimana caranya museumitu dimanfaatkan. Jadi kalian ini jangan cuma ngurusin orang miskin. Bantu saya carivolunteers untuk museum. Saya sangat perlu itu.

Dewi Wilutomo:Barang-barang yang masuk di museum itu seleksinya bagaimana?

Dalam bayangan saya koleksi itu semuanya bagian dari sejarah besar,jadi tradisi orang-orang besar. Kalau lukisan, maka lukisannya Raden Saleh. Tapi,seandainya patungnya Dolorosa Sinaga atau topengnya Galis, itu mungkin tidak jadi

Page 29: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 27

bagian dari museum?Sudarmadji Damais:Ya, mungkin banget. Tapi, museum-museum Jakarta dan museum

lain umumnya tidak otonom. Kedua, tidak ada kebijakanmengembangkan koleksi. Museum Nasional boleh dibilang koleksinyamasih sama dengan apa yang mereka punya 50 tahun lalu. Dia merasatidak perlu menambah sebab dianggap sudah lengkap. Itu kesalahanbesar. Saya kira yang mengembangkan koleksi hanya museumnya PelitaHarapan di Karawaci. Itu punya kebijakan, kita punya sepuluh Sudjojono,kita harus punya 20 Affandi. Itu memang ada program. Ada panitiaseleksinya sendiri. Tapi, kalau orangnya merasa tidak perlu menambahkoleksi, bagaimana Dolo mau masuk? Nah, ditambah lagi itu kan perluuang. Kerjasama antara museum dan swasta itu boleh dikatakan lemah.Mau tambah koleksi saja tidak, apalagi perlu uang. Dia akan mengetukpintu orang berduit, dan orang berduit itu tidak semuanya murah hati.Ada yang kasih besar dan ada kasih karya yang jelek, yang bagus nantidijual.

Muncul pertanyaan bagaimana caranya kita dapat karya-karya yangterbaik? Kita hidup di negara yang tidak kenal pajak museum. Padahaldi seluruh dunia ada. Artinya saya kasih seratus rupiah ke sebuah lembagamasyarakat, pajak saya dikurangi seratus rupiah. Di Amerika Serikatjalannya seperti itu. Kamu pikir orang Amerika bermurah hati kasih satujuta dollar? Tidak, karena dengan begitu dia juga bebas pajak satu jugadollar yang lain. Di Inggris demikian, tapi di Prancis boleh dikatakantidak ada. Prancis itu sepeti Indonesia, semuanya terpusat di Paris.Semuanya pemerintah yang bayar. Sekarang memang mulai meningkattetapi 20 tahun yang lalu itu minim. Amerika sudah 100 tahun, seluruhpermuseuman Amerika itu betul-betul pengembangan dari masyarakatmurni, pemerintah hanya bayar tanah, perawatan gedung, security danbayar listrik. Saya saja minta listrik ditambahin untuk AC, agar AC-nyadapat melestarikan lukisan sampai buyutan juga nggak dapat. Malahdikasih kipas angin untuk mengurangi debu, katanya. Padahal bukandebu yang paling bahaya, tapi kelembaban.

Moderator:Sebetulnya yang disampaikan oleh Adji bahwa museum harus hidup

di masyarakatnya. Di Indonesia museum itu lahir bukan karenakebutuhan. Kita kembali kepada pertanyaan dasar, sebenarnya kita iniperlu museum atau tidak? Kalau perlu, seperti apa idealnya museum itu.Lantas, kenapa kita mau membangun dan membentuk museum? Apakahmemang masa lalu dan pelestariannya penting buat kita? Dari pertanyaan-pertanyaanitu mungkin kita bisa membayangkan konsep museum yang ideal di Indonesia,

Page 30: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200028

artinya museum yang memang tumbuh dari masyarakatnya.Ayu Ratih:Saya tertarik uraian Adji tadi. Ambil contoh Museum Nasional, yang

ternyata bukan cerminan orang Indonesia melihat dirinya, tapi orangBelanda yang melihat Indonesia. Bukan kita melihat diri sendiri, tapiorang lain melihat Indonesia. Artinya konsep museum sebenarnyaberkaitan erat dengan pertanyaan siapa kita sebenarnya. Pertanyaan yangsebenarnya sederhana, tapi sulit dijawab. Perjalanan museum di Indo-nesia ini erat kaitannya dengan masa lalu yang tidak pernahdipertanyakan, tidak pernah diperdebatkan. Misalnya kaitannya denganmenjadi modern. Itu pun belum pernah dimulai. Dulu pernah ada PolemikKebudayaan yang membicarakan itu. Memang tidak ada yang bicaramuseum, tapi ada konsep tentang siapa kita ini sebagai sebuah bangsa.

Alex Supartono:Tadi Adji mengatakan masyarakat kita tidak punya kebiasaan

menyimpan barang-barang tua yang otentik. Juga soal kecenderungannyalebih pada ide atau konsep sehingga barang tidak diperlukan. Kalau inidipertemukan dengan konsep-konsep modern, apakah masyarakat kitatidak perlu museum? Menurut saya museum itu tempat melihat perjalananperadaban manusia. Dan menurut saya memang perlu. Memang tidaksecara langsung dihubungkan dengan kondisi obyektif masyarakat, tapimemperlihatkan masyarakat yang ada sekarang itu hasil sebuah proses.

Sudarmadji Damais:Jadi menurut kamu perlu dipaksakan? Itu ide yang fasis.Alex Supartono:Dipaksakan bukan karena masyarakat tidak punya sense atau kurang

peduli terhadap dokumentasi sejarah. Ketidakpedulian itu kan hasil dariproses sebelumnya. Kalau saya berkunjung ke tempat orang lama –artinya dari masa sebelum 1965 – dokumentasi mereka jauh lebih hebatdari saya. Masalahnya di sini adalah apresiasi orang terhadap bukumisalnya. Kalau kita berkunjung ke tempat kos mahasiswa, jangan kagetkalau di kamarnya tidak ada buku. Jadi, soal masyarakat itu perlu mu-seum atau tidak, sebenarnya tidak relevan. Yang penting kita bagaimanamembuat museum itu menjadi kebutuhan.

Agung Putri:Saya belum tahu apakah museum itu perlu dalam arti umum. Dalam

konteks Indonesia sekarang, yang hidup 30 tahun dalam situasi represif,museum masih menjadi alat manipulasi. Kalau dulu museum itu menjadibagian dari kebesaran raja-raja, sekarang pun begitu. Dan bahkan lebih keras lagi,seperti Lubang Buaya itu. Nah, ini menimbulkan persepsi bahwa museum hanyamelestarikan kekuasaan dan membenarkan tindakannya. Saya tidak tahu museum

Page 31: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 29

yang lain, apakah juga melestarikan nilai-nilai orang yang berkuasa. Tapi kalau keMuseum Lubang Buaya, saya tidak dapat pencerahan di sana, tapi seperti dijejalikebenaran yang dibuat oleh orang-orang yang berkepentingan langsung membuattafsiran sendiri atas peristiwa itu.

Hario Kecik:Secara umum saya juga senang menungunjungi museum, terutama

waktu saya di luar negeri, di Rusia dan Cina. Tapi pertanyaan apakahmuseum itu perlu atau tidak, belum pernah saya pikir. Barangkali memangtidak perlu, tapi dibuat supaya kita tahu bahwa itu tidak perlu. Barangkalikita sendiri ini juga tidak perlu. Kalau dipikir-pikir manusia ini perlunyaapa di dunia? Baik, saya ingin hubungkan diskusi ini denganperkembangan teknik. Dulu museum itu lampunya belum listrik, sekarangsudah listrik. Museum itu nantinya harus punya bentuk yang sesuaidengan kemampuan teknik ini, terutama elektronik dan komputer. Kalausekarang kita sudah bisa belanja dengan komputer, tidak perlu lagibersinggungan lagi dengan orang yang melayani, museum juga mestibegitu. Museum harus punya bentuk yang sesuai dengan zamannya.Kalau tidak begitu, maka tidak ada orang yang ke situ.

Saya ke Museum Gajah, nggak tahunya gajah itu dari Thailand. Sayakira bikinan sini, dari Jogja atau mana. Jadi saya pikir memang lain Indo-nesia ini. Kalau di sini orang ke museum bawa bayi nangis, kalau diEropa museum itu barang serius. Di St Petersburg, ada museum yangpinjam lukisan Monalisa dari Paris. Di Rusia diumumkan, “kita pinjamlukisan Monalisa untuk 15 hari.” Saya lihat, nggak tahunya cuma orangmesem begitu. Terus ada arloji yang digambar Salvador Dali. Saya pikiritu lukisan besar, nggak tahunya cuma kecil segini. Padahal saya dirumah maunya orang bikin lukisan besar, tiga setengah meter kali satusetengah meter. Di majalah Tempo foto lukisan saya itu besar sekali.Tapi kalau di Eropa lukisan itu mesti ada datanya, ukuran sekian-sekian,pakai kanvas, cat minyak dan seterusnya. Kalau di sini tidak ada. Kalaubikin lukisan besar orang tidak tahu seberapa besar. Ini semua pentinguntuk kaum intelektual melihat, museum itu buat apa. Mungkin lebihbaik perkembangan motor atau mesin.

Bikin museum di sini mahal. Siapa yang mau beri uang? Lebih baikbikin rumah sakit, orang mau mati saja tidak bisa diurus, mau bikinmuseum. Mungkin begitulah yang ada di benak banyak orang. Nah,saya sekarang sedang menulis buku, dan yang paling berat bagi sayaadalah bagian the past. Perlu saya tonjolkan atau tidak? Itulah pertanyaannya. Samadengan dokumentasi dan museum juga, tapi dalam bentuk buku. Yang mau sayatonjolkan adalah etika militer, yang harus menjadi dokumentasi sebab TNI sudahterlanjur bilang, “militer Indonesia itu dari rakyat untuk rakyat.” Lha, pernyataan itu

Page 32: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200030

konsekuensinya besar. Tidak ngerti orang-orang itu. Kembali soal museum. Museumini sebenarnya dokumentasi. Nah, kalau pemerintahnya masih seperti 30 tahun lalu,terus mau menutupi barang-barang yang tidak enak supaya dia tetap kuasa, jelastidak bisa. Jadi yang penting bagaimana masyarakat ini bisa membentuk pemerintahyang betul-betul mewakili kepentingan masyarakat. Ada masalah demokrasi di sini.Apakah rakyat kebanyakan itu bisa membentuk pemerintah demokratik yang betul-betul baru. Kalau itu selesai, baru kita bisa jawab apakah museum itu perlu atautidak. Kecuali museum fosil-fosil, lha buat apa bohong di situ? Tapi kalau MuseumLubang Buaya, itu tergantung rakyat sendiri, apakah bisa membentuk pemerintahdemokratik atau tidak. Saya sendiri masih merenungkan masalah ini. Saya tadi sur-prised, ada orang yang 30 tahun kerja di museum, masih tanya apakah museum ituperlu atau tidak.

Sudarmadji Damais:Tapi pada dasarnya, Pak, museum itu pemaksaan dari luar. Parlemen

juga begitu. Kalau kita tidak punya parlemen nanti dianggap biadab.Soal Internet, memang benar. Kalau mau lihat perkembangan museumdi Eropa dan Amerika Serikat sekarang tinggal lewat Internet.

Hario Kecik:Tadi saya sudah bilang, semua ini tergantung pada perkembangan

teknik. Internet, elektronik dan sebagainya. Orang belanja saja pakaiitu, apalagi lihat museum. Saya pernah cari di Internet, fosil-fosil sepertiHomo Sapiens, Pithecanthropus Erectus, keluar semua. Saya tidak perluke museum. Jadi semuanya tergantung teknik. Tapi pertanyaannya, siapayang menggunakan teknik itu. Kalau yang menggunakan fasis ya bahayajuga. Soeharto dan Hitler itu sama fasisnya. Tapi kalau Hitlermenundukkan bangsa lain, Dritte Reich über alles, maka Soehartotemannya sendiri yang ditundukkan. Kalau Hitler tidak punya kekayaan,paling cuma si Eva Braun

Sudarmadji Damais:Kalau urusan dokumentasi, saya juga menganggap itu penting, karena

penyakit saya ini senang sejarah. Pertanyaannya, apakah dokumentasiitu bermanfaat atau tidak. Tapi saya setuju, dengan perkembangan yangkita punya sekarang, kita sudah tidak bisa mundur. Masalahnya tinggalmuseum seperti apa yang kita dambakan. Ini bukan soal bentuk saja,tapi konsep juga. Ambil contoh Museum Tekstil. Dulu Ali Sadikin maubikin museum untuk Ibu Tien. Dia panggil saya dan bilang, “Adji, saya mau bikinmuseum untuk Ibu Tien.” Saya tanya, “Museum apa?” Dia jawab, “Museum batik.Ibu Tien kan orang Jawa. Itu ada gedung lama di Tanah Abang baru saya ambil oper,dan saya mau itu jadi museum batik.” Saya bilang, “Itu gagasan baik, Pak. Tapi kalauboleh beri saran jangan museum batik, tapi museum tekstil. Karena batik kan hanyamilik satu-dua budaya. Lalu bagaimana dengan songket, ikat dan seterusnya?” Akhirnya

Page 33: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 31

dia setuju bikin Museum Tekstil.Ini bisa jadi contoh. Museum itu kemudian dibangun sebagai acuan

bagi pengrajin yang mungkin kehilangan ilham atau apa. Dia bisa keMuseum Tekstil untuk menciptakan pola baru. Itu keinginan awalnya.Tapi setelah itu, karena museum itu kurang dihayati, Museum Tekstil itutidak pernah bertambah koleksinya. Awalnya hanya 100 lembar, sekarangpaling 110 atau 120 begitulah. Padahal kalau lihat kekayaan Indonesiaini, mestinya paling tidak ada seribu kain dalam waktu 10 tahun.Masalahnya si pengelola ini tidak menghayati dokumentasi yang bapakjelaskan tadi. Dokumentasi itu kan harus direkam, digambar, dibikinjadi buku lalu disebarluaskan supaya pengrajin bisa bikin pola baru.Tapi itu satu cara, Pak. Penyebarluasan dokumentasi yang bapakmasalahkan tadi adalah kuncinya. Kalau tidak percuma saja. Etika militeryang bapak mau tulis itu juga sia-sia, dan bapak akan kecewa. Jadi, disamping mengumpulkan, kita harus menyimpan, melestarikan. Jaditulisan bapak yang ratusan halaman itu jangan cuma dimakan debu,tapi dicetak dan disebarluaskan. Soal murah-mahalnya, itu urusan kedua.

Ayu Ratih:Museum sebenarnya institusi pendidikan modern seperti yang lain.

Kembali soal Revolusi Prancis yang menghasilkan republik. Republikitu mengambil tanggungjawab untuk mendidik, yang sebelumnya adadi tangan institusi tradisional. Artinya urusan museum juga harusditanggung pemerintah. Pak Hario tadi tanya, siapa yang bayar. Ya,pemerintah yang bayar. Seperti juga sekolah. Katakanlah monumen untukmengenang korban Mei 1998 yang seribu orang lebih itu. Untuk bikinmonumen mau tidak mau mereka harus mendesak Pemda, mendekatipengusaha yang mau bantu. Jadi harus dari dua arah, tidak bisa dilepasbegitu saja kepada masyarakat, tapi juga tidak diserahkan mentah-mentahkepada pemerintah. Karena ada bahaya yang tadi disebutkan AgungPutri. Begitu juga dengan sekolah. Kalau dilepas sepenuhnya kemasyarakat, maka jadilah sekolah-sekolah elite, seperti Pelita Harapan,Al Azhar dan sebagainya. Kalau sekarang ditanya kepada masyarakat,“perlu museum atau tidak?” Mungkin mikir saja tidak. Jadi perlu kesadaranbahwa masyarakat, kita semua ini, perlu dapat pencerahan, dibebaskandari kebodohan, kemiskinan dan sebagainya. Dalam konteks ini museum menjadipenting, sama seperti institusi pendidikan atau institusi modern lainnya, yang tugasnyaadalah pembebasan manusia. Jadi tidak relatif dalam arti tersearh mau buat museum,ya buat saja. Saya pikir tidak sesederhana itu. Misalnya di Amerika, banyak sekalimuseum yang menjadi simbol status sosial. Jadi ada orang kelebihan uang danmenghindari pajak, bikin museum. Dari bawah ada orang yang mau bikin museumHolocaust, museum ras di Kalifornia dan sebagainya. Semua itu diatur oleh pemerintah

Page 34: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200032

negara bagian, jadi ada kerjasama semacam itu. Saya pikir semua ini tidak bisa berdiribegitu saja. Selalu ada kaitan antara civil society dan pemerintah. Masalahnya sekarang,siapa yang punya akses seperti itu?

Sudarmadji Damais:Jadi, menurut kamu pemerintah pun harus diketok dari atas. Akhirnya

jadi dikotomi antara pemerintah sebagai pusat kekuasaan dan masyarakat.Semua ini harus dipertentangkan, agar bisa timbul yang kamu harapkanitu?

Ayu Ratih:Ya, kita kembali lagi ke demokrasi tadi. Pemerintah ini tidak lepas

dari masyarakat. Kalau pemerintah lahir sebagai organ yang dibentukoleh masyarakat dengan sendirinya dia akan berusaha ke arah itu.

Sudarmadji :Tapi itu masalah waktu lagi.Ayu Ratih:Ya, memang. Tapi kita kan bicara soal perlu tidaknya museum. Sama

seperti kita bicara perlu tidaknya demokrasi.Sudarmadji Damais:Masalahnya, apakah pendidikan kita sekarang setara? Apakah

pendidikan semua orang sama, dari orang gedongan di kota sampaiorang desa? Menurut saya yang perlu ditinjau lagi sekarang adalah soaldesentralisasi. Orang bisa bicara tentang muatan lokal. Dan itu perluwaktu dan kesadaran juga. Soal kesetaraan itu justru yang jadi masalah.Sejak dulu kebijakannya semua orang dapat kesempatan pendidikanyang sama. Tapi kesempatan untuk meningkatkan hidup tidak mungkinsama. Di seluruh dunia juga begitu. Kecuali kalau pendidikannyadisesuaikan dengan lingkungan. Konsep pendidikan universal ini kanlahir dari watak fasis Revolusi Prancis yang mematahkan demokrasi.Kita ingat, bahasa-bahasa daerah di Prancis dilarang. Baru beberapatahun lalu Prancis mengubah konstitusinya mengenai kedudukan bahasadaerah. Di negara Eropa yang lain tidak ada masalah seperti itu, hanyadi Prancis. Artinya di Prancis yang sudah dua ratus tahun revolusinya,baru tahun 1989 ada desentralisasi. Kita baru 50 tahun merdeka, mau mikirdesentralisasi sekarang tapi bentuknya apa juga kita tidak tahu.

Moderator:Baiklah, saya pikir diskusi ini sudah cukup, ada banyak hal yang

dibicarakan. Dari museum ke pendidikan, akhirnya sampai ke demokrasidan desentralisasi. Saya tutup sampai di sini, dan selamat malam.

Page 35: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 33

Page 36: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200034

Page 37: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 35

Moderator:Ruang publik perkotaan, seperti Jakarta dirasakan sudah mendesak

untuk dicermati. Banyak pihak merasakan bahwa pembicaraan persoalanruang publik saat ini banyak terbentur pada peraturan perundang-undangan dan pengaruh modal yang ada. Dalam kesempatan ini hadirChristina Gantini, dosen Universitas Winaya Mukti Bandung jurusanarsitektur yang sedang magang di Universitas Parahiyangan dan MarcoKusumawijaya, pekerja di British Council dan sebagai arsitek. Keduanyamerupakan nara sumber dalam diskusi kali ini. Pada kesempatan awalkedua nara sumber akan memulai dengan membicarakan gagasannyatentang bagaimana ruang publik dan penataan kota Jakarta. Hadir jugadi sini mahasiswa, aktivis buruh, kalangan LSM yang diharapkan membuatdiskusi lebih leluasa.

Christina Gantini:Secara historis kota Jakarta sebenarnya merupakan sebuah kota

benteng yang didirikan Pangeran Jayakarta. Sebelumnya Jakarta

Ruang Publik dan Tata KotaNarasumber: Marco Kusumawijaya, pengamat tata kota dan Christina Gantini, dosenarsitektur. Moderator: Alit Ambara.

18 MEI 2000

Diskusi ini diadakan untuk memenuhi desakan beberapa kawan senimanyang merisaukan terbatasnya ruang terbuka untuk menumbuhkansemangat berkesenian di masyarakat. Sebagian besar kegiatan keseniandilakukan di gedung-gedung tertutup dan/atau eksklusif sehinggamasyarakat melihat hanya seniman yang punya kemampuan dan berhakmenghasilkan karya seni. Marco Kusumawijaya dan Christina Gantini,keduanya arsitek dan pengamat tata kota, diundang ke Dbp. lebih untukmemberi gambaran tentang apa ruang publik dan kepublikan itusebenarnya dan bagaimana perencanaan tata ruang di Jakartadilaksanakan sepanjang sejarah. Ruang publik sebagai milik kolektifdiperlukan dalam setiap masyarakat. Masalahnya tidak semua masyarakatniscaya akan membentuk “publik” dan berjuang untuk mendapatkantempat. Di Indonesia misalnya ruang publik cenderung ditentukan dariatas, oleh penguasa yang bekerjasama dengan kalangan bisnis. Pada 1971pemerintah mendapat hutang dari Asian Development Bank (ADB) untukmerancang dan membangun “ruang-ruang publik”. Tidak ada hasil yangberarti. Ruang publik tidak terbentuk tapi hutang publik semakin bertumpuk.Tanggapan dari kawan-kawan aktifis yang menangani masalah kaummiskin kota menggiring diskusi ke semacam kesimpulan bahwa untukmembangun ruang publik memang diperlukan tingkat kolektivitas tertentuyang semakin tipis dewasa ini, dan untuk itu itu diperlukan pemerataanekonomi. Hanya dengan itu kita bisa bicara tentang kebersamaan danmilik bersama yang bernama ruang publik itu.

Page 38: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200036

merupakan perkampungan. Di sekitar perkampungan dari ujung utara Jakarta dibuatsebuah benteng kolonial, kemudian berkembang ke arah selatan menyusuri sungaiCiliwung yang selanjutnya membentuk aliran air di Monas. Kemudian dalamperkembangannya pada periode abad 20 dibentuk sebuah kota baru yang berdasarkanatas konsep Garden City di Kebayoran Baru yang berkembang terus sampai sekarang.Dilihat dari segi style, banyak bangunan yang mengadopsi bangunan kolonial awalabad 20. Karena dirasakan dengan iklim Indonesia tidak cocok, maka kemudianbeberapa arsitek Belanda mulai menyesuaikannya dengan iklim Indonesia.

Dari segi planologinya, perkembangan Jakarta sebelumnya cukup tertata hampirmengikuti bentuk kota Den Haag, di Amsterdam dengan parit-parit di sekelilingnya.Tapi perkembangan akhirnya menjadikan Jakarta seperti sekarang ini. Perkembanganbaru kota Jakarta yang dimulai dengan konsep garden city mengakibatkanperkembangan kota ini menjadi semerawut.

Marco Kusumawijaya:Saya sangat surprised dengan para hadirin yang terdiri dari berbagai

kalangan. Saya juga ingin mendapat masukan dari beberapa teman. Kalaukita bicara tentang ruang publik kota Jakarta, kita harus lebih teliti, bahwaJakarta itu permasalahannya lebih jauh dari sekadar ruang publik. Halpertama yang harus dikatakan adalah ruang publik itu baru bermaknabila ada kepublikan atau publicness. Kalau tidak ada publicness, makaruang publik tidak ada yang akan memakai. Kepublikan itu mensyaratkanadanya tingkat kolektivitas tertentu. Saya berusaha berbicara pada bahasaini agar berbagai kalangan bisa menyambung. Jadi saya menghindariuraian yang teknis tentang arsitektur atau tata kota.

Yang saya rasakan menjadi masalah besar dalam ruang lingkup kitayaitu syarat minimal yang berupa kepublikan dari kehidupan Jakarta inisangat lemah. Hal itu bukan hanya menyangkut hal terbuka saja, jugadalam hal lain seperti hal transportasi, usaha kita dalam memecahkanmasalah pendidikan, perumahan, kegiatan publik dan sebagainya.

Saya sulit sekali menghindari kesimpulan bahwa memang pemerataanitu penting, karena tanpa pemerataan tidak ada rasa kolektivitas yangcukup. Saya tidak menganggap bahwa kolektivitas itu sesuatu yangmutlak harus ada, tapi bagaimana pun tingkat kolektivitas tertentu sangatdiperlukan. Sejauh mana kota itu mempunyai ruang yang bernilai publik,tergantung masyarakat sendiri dalam mengaturnya. Di samping itu jugasulit untuk tidak meyimpulkan yang dimaksud dengan pemerataan ituadalah kesejahteraan sosial ekonomi. Saya merasa kita perlu memilikisuatu tingkat pemerataan sosial ekonomi yang minimal. Dengan satutingkat yang minimal itulah baru kita bisa membangun kolektivitas.

Moderator:Publicness masih merupakan pertanyaan yang masih harus dijelaskan

Page 39: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 37

lebih lanjut. Kedua, ada yang melontarkan isu tentang kesadaran dalam merebutruang publik. Apakah ini bisa lebih dielaborasi? Dan yang lebih penting lagi sepertidiungkapkan di depan adalah mengisi ruang publik ini dan juga mengetahui kendala-kendalanya, misalnya perundang-undangan yang menyebabkan arti ruang publikyang sebenarnya hilang. Kalau dilihat dari sejarah kota Jakarta ini pernah punyaruang publik dan kepublikannya. Tapi itu kemudian hilang. Kecenderungan pasarbebas dengan privatisasi mengubah ruang publik menjadi ruang-ruang privat. Sepertimall-mall yang ada itu sebenarnya milik pribadi yang dibuka sebagai ruang publik.Konsep kepublikan semacam itu sangat semu. Karena kita tidak bisa berbuat apa-apakecuali sebagai konsumen yang berbelanja. Itu beberapa hal hal kunci yang bisadielaborasi lagi dalam diskusi. Kemudian saya minta tanggapan dari kawan-kawansemua atau komentar.

John Roosa:Pendapat saya Jakarta adalah gudang, bukan kota benteng. Sejak

awal kota ini dipakai untuk impor dan ekspor. Kita lihat sekarang adadua masalah. Pertama orang dari daerah atau desa yang tidak bekerja,tidak punya uang atau anak pengangguran. Kedua kita juga melihatbahwa pemerintah tidak mewakili publik, tapi lebih mewakiti orangyang mempunyai gudang-gudang itu. Orientasi ekonomi pemerintahIndonesia lebih pada ekspor-impor, bukan pada pembangunan desa-desa di daerah, mengambil sumber daya alam untuk dibawa ke pasardunia. Masalah di Jakarta berkembang karena struktur ekonomi yangtidak bagus dan tidak ada rencana pembangunan yang bagus untukIndonesia. Untuk mengerti Indonesia kita harus mengerti strukturekonomi Indonesia seluruhnya dan kebijakan ekonomi yang ada darimasa lalu dan masa sekarang. Menurut saya ada kesalahan historismenempatkan Jakarta sebagai ibu kota negara. Akan lebih baik kalaukita membuat ibu kota di tempat lain. Karena kita harus memikir soalekonomi dan juga pembangungan untuk seluruh Indonesia.

Marco Kusumawijaya:Saya hanya ingin mengingatkan bahwa jangan-jangan kita lupa

pengertian dasar dari public space. Menurut saya public space berbicaratentang social intercourse atau pergaulan sosial dalam produksi.Pengertian ruang publik berkembang seperti sekarang karena memangsudah bermain dengan berbagai kepentingan dan perkembangan. Haltersebut bukan sesuatu yang baru. Dia lahir dan berkembang secarahistoris dan kita bisa tahu di mana sebenarnya letak perlawanan terhadapperkembangannya. Satu contoh, teman dari kalangan seminan bidang seni rupamembuat perlawanan terhadap iklan, hal yang sebenarnya sama atas perkembanganyang dibawa oleh kapitalisme.

Tahun 1961 pernah mau dirancang penataan tentang tata letak kota

Page 40: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200038

Jakarta oleh DPRS/MPRS. Konsepnya sederhana, yaitu bagamana menyeimbangkankota dengan kampung atau desa. Rencana tidak berlangsung karena adanya peristiwa1965. Sejak tahun 1971 sampai tahun-tahun berikutnya tata letak kota Jakartabahkan seluruh Indonesia ditangani Asian Development Bank (ADB). Hingga sekarangmenurut data yang ada, ADB sudah mengeluarkan US$16 milyar yang berupahutang. Sementara pada tahun 1961 perencanaan kota akan terjadi tanpa tergantunglagi ke bank-bank asing. Sekarang ini perencanaan tata kota selalu tergantung padamodal asing. Dan tidak ada kontrol tata kota dari publik.

Kita harus membuat ruang yang sangat besar dan harus dirancang dan diperkuatdengan badan air. Karena air mempunyai yoni yang sangat kuat Jadi tidak cukuphanya patungnya. Kalau kita bicara space berarti bukan hanya di rumput karena adapemantulan maka keberadaan air saya rasa perlu dipikirkan. Saya sangat setuju Mo-nas itu diisi dengan berbagai hal sehingga akan menjadi sesuatu yang plural, meskipunmasalahnya tetap yaitu Monas sebagai lingga bukan hanya besar dan tegak, tapiberada tepat di tengah-tengah. Kekuatan yang besar dan tegak di tengah ini sulituntuk dihancurkan.

Kalau bicara tentang public space hanya dengan pengertian inter-course saya rasa tidak benar, karena ada public space untuk hal lainmisalnya, untuk keperluan domestik atau untuk anak bermain dansebagainya. Jadi space itu bertingkat-tingat. Yang paling heran orangselalu menyebut ruang publik sebagai agora, dalam kebudayaan Yunaniyang bukan hanya punya arti sosial tapi juga politik. Ruang publik ituseperti ruang keluarga, semua urusan ada di situ. Apalagi ruang keluargaIndonesia, makan di situ, ngobrol di situ. Itu adalah ruang keluargauntuk satu polis, tapi sayang sekali agora hancur bersama hancurnyapolis akibat totalitarianisme Romawi. Agora atau polis itu merupakansatu contoh luar biasa dari otonomi masyarakat kota. Yang kitaperjuangkan di sini adalah otonominya, betul-betul kita perjuangkandan wujudkan. Di situ baru terasa proses itu benar-benar penting .

Sebetulnya pernah ada diskusi di Kompas yang mengambil judul“Hak Atas Kota”, kerjasama Kompas dengan Kelompok Arsitek MudaIndonesia. Kebetulan saya menjadi moderator dan membuat konsepnya.Intinya adalah proses itu penting. Masalahnya pembangunan tidak pernahdilakukan melalui proses konsultasi yang benar. Contoh yang paling ilustratif misalnyaPak Soetiyoso, waktu diangkat jadi gubernur ditanya oleh wartawan, “Apaprogramnya?” Jawabannya, ”Wah, saya belum tahu”. Setelah beberapa hari denganSoeharto baru dia bisa menjawab apa saja yang akan diperbuat. Hal itu sangat ironis.Ilustrasi itu hanya satu dari banyak contoh lain.

Jakarta memang tidak dibangun dengan konsultasi yang nyata dengan masyarakat.Bukan hanya masyarakat kecil, masyarakat menengah, juga masyrakat besar puntidak pernah dimintai pertimbangan. Kalau gubernur tanya kepada pengusaha sana-

Page 41: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 39

sini, itu saya anggap bukan konsultasi. Konsultasi di sini adalah konsultasi terbuka/publik. Yang menderita di Jakarta ini bukan hanya anak-anak jalanan. Kita menderitadi Jakarta bukan hanya dari segi ekonomi saja. Jalan raya macet juga membuat kitamenderita. Semuanya membuat konflik yang seharusnya tidak perlu. Saya jadi mudahmarah terhadap orang lain gara-gara macet. Kenapa hal ini tidak dijadikan programprioritas bagi seorang gubernur? Karena tidak dikonsultasikan dengan nyata. Halyang perlu dibicarakan adalah bagaimana mekanismenya.

Sebelum kerja di British Council pernah bekerja di UNDP selama satu tahun.Program yang saya jalankan itu direncanakan jauh sebelum reformasi. Intinya adalahmodernisasi pengelolaan kota dengan participatory programming and planning. Jadimasyarakat diikutsertakan. Hal itu cukup berhasil dilakukan misalnya di kota Kendari.Biasanya kalau program pembangunan itu ada yang disebut proses P5D. Artinyaseolah-olah ada perencanaan dari masyarakat, naik ke kecamatan, lalu ke tingkat II,kemuidan digodok di BAPPEDAL. Tapi setelah sampai di sana, tidak pernahdilaporkan kembali kepada rakyat. Dinas-dinas pemerintah yang langsung jalan. DiKendari agak terbalik. Kecamatan dan kelurahan akhirnya tidak ada urusan dengandinas-dinas. Baru di tingkat kota dinas-dinas membuat program sendiri juga. Memangwajar kalau masyarakat ditanya tentang program, mereka hanya akan memikirkanlingkungannya saja. Tapi secara rasional dinas tugasnya memikirkan secara keseluruhankota. Misalnya lingkungan sistem kereta api, tidak bisa dipikirkan di kampung, tapimereka dipertemukam dalam forum yang sejajar dan disiarkan langsung serta terbuka.Sampai sekarang mentradisi tiap Jumat ada acara live mereka saling berkomunikasi.Di situ orang bisa tanya kepada wali kota, kepala dinas. Saya melihat sendiri wali kotaketika ketemu di airport. Rupanya ada pertanyaan yang harus dijawab oleh kepaladinas PU, tapi kepala dinas PU-nya tidak ada. Dia minta kepala dinas PUmeninggalkan rapat dengan DPRD untuk menjawab pertanyaan. Dia bilang,“Tinggalkan saja DPRD. Pergi saja ke radio jawab itu pertanyaan dari masyarakat”.Tidak mungkin kita melakukan hal seperti itu, tapi dengan mekanisme bagaimanakita menjalin konsultasi dengan DPRD dan gubernur yang dipilih. Buat apa bicaradengan gubernur yang tidak dipilih. Kalau kita lihat orang berkampanye supayapresiden dipilih langsung, syukur-syukur sampai gubernur, bupati, camat juga dipilihlangsung. Untuk Jakarta hal itu penting, karena Jakarta itu besar dan penduduknyalebih dari 10 juta, DPRD-nya haya satu. Jarak antara kita dengan DPRD itu masihjauh. Proses itu harus bisa kita rebut. Jadi merebut Jakarta itu juga merebut proses.

Ada dua hal yang sangat krusial yang berkaitan dengan ruang publik khususnyaJakarta ini. Hal pertama adalah menyadarkan kepublikan yang masih banyakkendalanya, karena masing-masing jalan sendiri. Dan yang kedua adalah ruang publikyang kembali harus diartikan sebagai interaksi sosial yang bisa dilihat seluas-luasnya.

Peserta:Saya pikir dalam persoalan publik para pemilik modal tidak pernah

peduli dengan kebutuhan publik. Perspektif mereka dalam membangun

Page 42: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200040

kota Jakarta adalah bisnis. Kita pesimis membuat public space bagi banyak orang, tapiorang tidak peduli. Konsep yang telah ditawarkan Marco tadi menurut saya adalahkonsep yang dibuat untuk memenangkan pemilik modal. Dalam konseppemberdayaan, maka yang penting saat ini adalah kesadaran dari kelas menengah.Arsitektur hendaknya mulai mengoptimalisasi perannya. Tidak hanya sebagaipengambil order dari pemerintah, tetapi mengangkat gagasan dari bawah mencobamenegosiasikan ke pengambil keputusan. Peran semacam ini yang belum diambiloleh agen-agen tadi. Sementara kita tahu yang bisa mendobrak kekuasaan itu adalahagen. Kita bicara tentang tata ruang kota, kalau agen-agen ini tidak pernah berpikirtentang ruang publik untuk rakyat bagaimana ide ini bisa sampai ke atas? Misalnyamasyarakat kampung ada gagasan tentang ruang publik yang begitu sederhana, dimana mereka bisa berkumpul, bisa berekspresi secara bebas, berkesenian dan tidakterkooptasi oleh kekuasaan. Gagasan ini masih kita temui di Jatinegara, KampungMelayu dan lain sebagainya dengan adanya kesenian jaipongan. Kalau agenmemikirkan ini sebagai ruang publik, maka sebetulnya ini merupakan sebagian darigarapannya. Kemudian kita lihat bahwa taman-taman di Jakarta ini dipagari sehinggatidak bisa dinikmati oleh banyak orang. Ini juga membutuhkan perhatian yangsangat serius demi tata ruang yang bisa diharapkan.

Peserta:Dalam membicarakan ruang publik kita harus kembali kepada tatanan

sosial, standarisasi sosial masyarakat. Saya ingin tahu bagaimanamengukur standar sosial tersebut untuk mengkaji ruang publik itu. Sebab yang sayalihat mereka punya pasar tradisional yang mereka gunakan untuk berkumpul dengankapasitas orang banyak dan sangat bebas berekspresi dan tempat yang lapang. Secaraekonomi sudah baik, tapi di Jakarta ini jarak antara si kaya dan si miskin sangat jauh.

Saut Sitompul:Pengertian saya tentang ruang publik ini, anggap saja kalau ada

kerumunan orang di suatu tempat, hal ini bisa dijadikan ruang untukmengekspresikan apa yang saya mau. Contoh saya sebagai pengamenyang tampil di bus-bus. Dengan penampilan itu, seolah-olah yang adadalam ruangan bus itu memang membutuhkan saya. Sehingga saya kalauberhadapan dengan mereka selalu bilang semoga anda terhibur danlain sebagainya. Seolah-olah sudah merupakan kebutuhan mereka.Walaupun mungkin ada yang complain karena dengan penampilanpengamen merasa tidak nyaman. Ruang publik untuk kebudayaan,kesenian saya pikir berbeda. Ruang publik untuk sastra atau kesenianmemang tidak terbatas dan begitu luas.

Marco Kusumawijaya:Ruang publik disini adalah plural, dan juga harus menerima

kemungkinan diberlakukan atau tidak karena harus dimusyawarahkan.Kembali kepada pertanyaan, bagaimana mengatur tingkat ruang kota?

Page 43: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 41

Ada yang sedikit kaku dan ada yang lewat musyawarah. Dalam kehidupan tradisionalkita, memang betul ada yang disebut tata krama dalam menentukan ruang. Misalnyadengan permisi di tengah perjalanan. Kita harus sadar bahwa tata krama itu adalahpanggung sandiwara, kalau kita harus membuat perilaku baru, kita buat perilakubaru. Kalau kita butuh tata krama baru, kita harus buat tata krama baru. Saya punyapengalaman pribadi waktu SMA, saya naik sepeda di tengah jalan berhenti karenaada orang menyeberang. Saya ditabrak oleh orang Jogya yang tutur katanya halussekali. Ada juga di sebelah saya mengalami hal serupa, dia seorang bule yang berhentikalau ada orang yang menyeberang di sepeda cross. Hal itu sudah menjadi kebiasaanyang melekat. Saya juga selalu bilang kepada sopir saya, “Kamu harus mengalahdengan pejalan kaki”. Sebenarnya pejalan kaki mengalah dengan mobil dalamaturannya tidak ada. Jadi setiap lingkungan membutuhkan tata krama baru dan bagisaya kota adalah satu lingkungan baru dan membutuhkan tata krama baru. Dankadang-kadang kita tidak sadar bahwa seolah-olah tata krama itu begitu saja dantidak bisa diubah seperti bayi baru lahir.

Di negara maju pun tata krama kota itu dibentuk dan diajarkan.Sehingga sebelum 1970 an itu berantakan di Cina. Di Inggris pun, masihdi zaman Beatles, ketertiban lalu lintas di sana masih omong kosong.Tetapi ada kebersamaan untuk menyadari itu dengan membuat program yangkongkret, mengkampanyekan tata krama baru. Di persimpangan jalan mobil keluarakan saling ketemu. Di Jerman ada caranya sendiri, setiap arus memasukkan mobilnyasilih berganti. Hal demikian sangat damai tanpa harus ribut dan semua orang tahukarena ada sosialisasi sebelumnya. Tata krama seperti itu juga tidak akan kita temui didesa. Jadi kita jangan menganggap kebudayaan itu sebagai suatu yang tertanam,yang tidak bisa diubah. Jadi ukurannya menurut saya fasilitas umum harus lebih baikdari pada fasilitas untuk pribadi/individual. Karena kesenjangan yang terlalu besar,maka akan menjadi sulit. Ini mungkin definisi sosial demokrasi yang paling sederhana.Orang memerlukan kesamaan dalam suatu tingkat sosisl ekonomi supaya bisa berbedadengan hal-hal lainnya. Kalau tidak ada kesamaan dalam tingkat tertentu, dalamsosial ekonomi, maka tidak mungkin kita mengukur minimal, dengan begitu kitaharus musyawarah dulu.

Menurut saya hal itu penting sekali dan dengan dasar itu kita bisamenentukan hal-hal yang lain. Tapi jangan dianggap ini mengajak ramai-ramai menyama-ratakan semua orang dengan statement. Saya rasa kurangbagus. Minimal orang mempunyai tingkat sosial minimal tertentu. Kalauini sudah ada, maka orang akan lebih mudah dalam hidup di masayarakatsecara kolektif. Pada masyarakat pluralitas, maka kita tidak perlumengatakan Monas itu paling penting. Ada sisi lain yang lebih penting.Saya tidak akan bilang trotoar itu kurang baik, tapi jalan pun juga masihtidak baik.

Kita hindari cara berpikir yang mengatakan bahwa yang susah hidup

Page 44: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200042

di Jakarta itu orang yang jalan kaki atau orang miskin. Semua orang hidup di Jakartaitu susah dan semua orang bisa hidup lebih baik. Saya yakin jalanan kita tidakmemenuhi syarat. Di Inggris dari jalan sampai naik ke trotoar maksimum 10 cmuntuk kepentingan mobil dan juga pejalan kaki. Bagi mobil, kalau trotoar terlalutinggi pelek bisa mentok dan rusak dan bagi pejalan kaki berbahaya bisa membuatorang jatuh. Akhirnya dalam menggunakan ruang itu orang tidak merasakan nyaman.Itu sisi teknis yang berhubungan dengan arsitektur. Ada juga pemecahan-pemecahanuntuk menghindari konflik horisontal untuk mensejahterakan semua orang bukanhanya orang miskin/kaya. Meskipun dalam ilmu lain juga seperti itu. Memang dalamperkembangan teknologi sekarang harus ada keberpihakan kapada orang-orang lemah,karena dia kurang memiliki akses. Sedang akses berkaitan dengan proses yang harusdiciptakan. Dan saya tidak mengatakan bahwa kalau tidak ada publicness lalu kitatidak bisa berbuat apa-apa. Semua harus berbarengan melakukan sesuatu yang nyata.Merumuskan publicness itu bukan hanya dengan wacana saja tapi juga denganeksperimen. Dan saya merasakan bahwa hidup itu selalu eksperimen terus. Memangbetul bahwa publicness itu syarat bagi public space. Karena itulah kita harus selalumemperjuangkan fasilitas bersama termasuk transportasi umum, karena memangtermasuk juga publik space. Dan itu sangat mengintensifkan hubungan warga denganberbagai golongan. Itu merupakan hal yang sehat untuk kehidupan suatu kota.

Page 45: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama [Dbp.] 345Diskusibulanpurnama.[Dbp.]

Page 46: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200044

Hedar Laudjeng:Saya sebetulnya tidak membayangkan kalau diskusi ini serius. Saya

ini seorang praktisi dan selama kuliah tidak pernah menjadi aktivismahasiswa. Jadi mohon maklum kalau tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berat. Keterlibatan saya dalam persoalan-persoalanpetani berawal dari kerja saya sebagai pengacara yang tidak tahu dagang.Saya tinggal di kampung dan karena itu lebih banyak berurusan dengankampung. Sempat juga menjadi kepala desa lima tahun dan karena ituselalu berurusan dengan permasalahan masyarakat. Saya jugabersentuhan dengan soal-soal kesenian. Dalam kesenian selalu adakebutuhan eksplorasi, dan saya bergabung dengan kelompok senimansetempat. Kebetulan di tempat kumpul itu kepala desanya dipecat, lalusaya ditawari. Saya terima tawaran itu dan semuanya mengalir begitusaja, tidak pernah direncanakan sebelumnya. Jadi itulah latar belakangketerlibatan saya dalam urusan petani dan masalah masyarakat sertaagraria.

Saya kerja di Sulawesi Tengah dan ada pergerakan petani di sana.

Gerakan PetaniNarasumber: Hedar Laudjeng, Organisator petani di Sulawesi Tengah dan aktifis LBHBantaya, Palu.

16 JULI 2000

Indonesia disebut sebagai negara agraris, tapi selama seratus tahun terakhirkekuasaan negara modern, petani selalu tersingkir. Zaman Orde Baru tidakbanyak bedanya dari zaman kolonial. Hedar Laujeng, seorang aktivisgerakan tani di Palu, Sulawesi Tengah, yang kebetulan sedang mengikutipelatihan di Jakarta, hadir di Dbp. untuk membicarakan berbagai masalahyang dihadapi petani dalam membangun gerakannya sendiri. MenurutHedar, pendampingan petani yang lazim dilakukan LSM tidak senantiasapositif, apalagi jika segala sesuatu sudah diatur dari pusat, lengkap dariprogram sampai biaya. Solidaritas dalam gerakan tani dihancurkan olehOrde Baru sehingga orang biasanya berjuang untuk mendapat tanahnyasendiri tanpa memikirkan kepentingan petani secara umum. Jalankeluarnya tidak lain dengan membantu petani sendiri membentukorganisasi. Walau tidak banyak peserta yang pernah bersinggungan denganpetani, apalagi jadi petani dalam kehidupan sehari-hari, diskusi tetapmenarik. Ada yang datang untuk belajar, sekadar mendengar, dan jugaberapi-api menceritakan pengalamannya berurusan dengan petani.Sebagian berupaya untuk menempatkan masalah petani ini dalam konteksyang lebih luas, membandingkan dengan pengalaman di sektor kehidupanyang lain.

Page 47: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 45

Nah, saya kurang tahu apakah gerakan ini masuk dalam kategori petani atau tidaksebenarnya, tapi menurut saya kalu bicara tentang gerakan maka berarti ada cita-citayang diperjuangkan. Saya sendiri mulai dari kegiatan pembelaan bagi petani melawanperusahaan perkebunan sebagai pengacara di tahun 1990-an. Gerakannya sangatlegalistik. Saat itu di Sulawesi Tengah gerakan mahasiswa belum bersentuhan denganpersoalan agraria dan petani. Banyak aksi mahasiswa memang, tapi lebih banyak padasoal porkas atau judi, prostitusi dan sejenisnya. Masalah agraria belum pernahdisinggung dalam gerakan mahasiswa.

Saya mau ajak teman-teman menelusuri lebih jauh aksi-aksi protespetani ini. Di Palu sendiri protes petani terjadi di kampung Nunu, ketikatanah rakyat di sana dirampas oleh pemerintah sejak tahun 1974. Tapimahasiswa saat itu sama sekali belum tertarik. Keterlibatan mahasiswadan LSM secara massal baru dimulai tahun 1992 ketika pemerintahmerencanakan pembangunan bendungan di tengah Taman Nasional LoreLindu. Pada tahun itulah baru ada protes yang dilakukan mahasiswadan LSM yang berkaitan dengan sumber daya alam. Dan sejak itu pulapengelolaan sumber daya alam menjadi isu utama bagi LSM di SulawesiTengah. Melihat pertanyaan ini, saya ingin kembali kepada pertanyaansemula: apakah ini disebut gerakan atau tidak?

Saya sendiri belum melihat petani atau masyarakat adat terlibat yangterlibat dalam protes itu punya cita-cita tentang perubahan. Saya belummelihat persoalan yang mereka hadapi itu adalah persoalan politik,sebuah kebijakan atau masalah struktural. Masalah itu memang jadi bahanpembicaraan ramai kalangan aktivis mahasiswa dan LSM. Memang LSMboleh dibilang menjadi motor dari protes-protes itu, tapi kecenderunganLSM di sana, seperti daerah lainnya, adalah mem-fotokopi apa yangterjadi di Jakarta. Ketika orang Jakarta ramai bicara jender, semua orangdi sana juga omong jender. Kalau orang Jakarta omong masyarakat adat,begitu pula di daerah. Kadang-kadang ini tidak jelas juntrungannya.Kita banyak menemukan LSM yang mengurusi segala macam isu,tergantung apa yang terlihat “seksi” di mata funding-nya. Memang sejarahlahirnya NGO di sana berkaitan dengan funding.

Karena itu saya berpikir tentang jalan lain. Dengan pendekatan LSM,tampaknya gerakan akan sulit berkembang menjadi besar dan sulitdibangun. Salah satu indikasinya adalah gerakan protes petani selamaini belum mendapat respons dari kelompok petani di tempat lain yangmerasakannya sebagai masalah bersama. Saya pikir persoalan ini jugaterjadi di Jawa. Saya belum pernah mendengar ada protes petani di JawaTimur misalnya yang mendapat respons dari petani di Jawa Barat. Masalahitu selalu mengganggu saya, apakah memang betul ada gerakan yangsedang kita bangun? Kelihatannya untuk kepentingan politik gerakan mahasiswa

Page 48: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200046

atau LSM juga berbicara tentang petani, tapi tidak ada upaya serius untuk membangungerakan petani itu sendiri meskipun sudah ada berbagai jaringan dan forum. Didaerah juga ada kecenderungan membangun forum berdasarkan isu yang ada diJakarta saat itu, hampir tidak ada yang membangun sebuah forum berdasarkankebutuhan lokal. Dan sebaliknya ketika kebutuhan lokal muncul, orang di Jakartaseperti ogah-ogahan dengan forum itu karena tidak sama dengan format mereka.Inilah pertanyaan yang selalu mengganggu pikiran saya.

Saya kembali ke munculnya protes massal di Sulawesi Tengah. Waktuitu kami merasa tidak punya dasar yang cukup secara yuridis untukmelakukan pembelaan terhadap petani yang ada di Lindu. Hal itusebetulnya sudah saya alami sebelumnya. Hukum kita sangat tidakmemihak kepada petani. Inilah yang kemudian melatarbelakangimunculnya isu masyarakat adat di Sulawesi Tengah. Sebetulnya lebihsebagai landasan bagi pembelaan, khususnya dengan menggunakanhukum adat. Hukum adat di sini maksudnya adalah hukum rakyat, yaituhukum yang berlaku di kalangan rakyat. Memang sejak awal istilahhukum adat ini punya banyak pengertian dan banyak disalahgunakansehingga yang muncul kemudian adalah distorsi atas pengertian itu,seperti yang terjadi dalam forum teman-teman di AMAN (AliansiMasyarakat Adat Nusantara). Ada bekas raja feodal yagn kemudian bicaratentang hukum kerajaan, padahal awalnya bicara tentang hukum rakyat.

Dengan hukum rakyat ini sebenarnya kita melakukan pembelaandengan perspektif ke depan, yaitu membangun gerakan rakyat, bukanmenghidupkan kembali lembaga-lembaga kerajaan. Dan ini terjadi tidakhanya di Sulawesi Tengah. Saya sempat diundang ke Bali dan melihatpersoalan itu dialami semua daerah. Saya sendiri seperti frustrasi melihatsemua itu. Bagi saya gerakan masyarakat pada dasarnya adalah gerakankebudayaan, di mana kita membangun kembali kekuatan rakyat melaluiapa yang mereka punya, melalui apa yang paling mereka pahami. Adapengalaman di lapangan, ketika masyarakat menyatakan keinginan sepertiitu tapi tidak secara eksplisit. Misalnya di Sulawesi Tengah ada orangPakava, yang tidak menghendaki campur tangan pihak lain ataupemerintah dalam urusan mereka. Misalnya kalau ada perkelahian diantara lalu polisi datang dan menahan orang yang berkelahi, masyarakatakan ramai-ramai datang ke kantor polisi dan mengatakan bahwa itubukan urusan polisi, tapi urusan mereka sebagai orang Pakava. Inilahbentuk protes kebudayaan yang sedang saya kerjakan sekarang.

Sebenarnya sejak di Lindu saya mulai bergerak seperti ini. Kami punyahukum sendiri, punya mekanisme penyelesaian konflik sendiri dan pihaklain tidak perlu mencampuri. Karena itu jargon yang selalu saya kemukakan adalahotonomi rakyat, yaitu rakyat mengurus dirinya sendiri. Negara harus berhenti campur

Page 49: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 47

tangan. Kalau rakyat punya sistem pengelolaan sumber daya alam sendiri, negaraharus berhenti. Tapi sebaliknya kita tidak bisa terima semua hukum adat begitu saja.Harus ada nilai-nilai yang jadi patokan agar tidak terjebak pada kekurangan-kekuranganyang ada selama ini, katakanlah feodalisme atau perkembangan kepemilikan indi-vidual.

Saya bukan peneliti tapi sebagian dari petani yang bekerjasama itusatu suku dengan saya, sehingga saya lebih mudah memahami. Misalnyapersepsi tentang sumber daya alam. Sumber daya alam bagi merekaadalah subyek yang tidak bisa diperlakukan seenaknya. Alam punyahak istirahat dan hak menolak untuk diolah. Mungkin kedengaran agakaneh bagi teman-teman di sini. Tapi di Sulawesi Tengah pemikiran sepertiini masih banyak, begitu pula dengan bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya alam secara bersama-sama. Saya belum berani mengklaim itukepemilikan komunal, tapi ada sistem pengelolaan padi misalnya didaerah Boya [satuan pemukiman terkecil di daerah Pakava – ed], yangmengatur orang harus berladang bersama-sama. Pengalamanmenunjukkan bahwa orang yang tidak ikut tanam, maka tidak akanberhasil. Hal seperti itu yang ingin kita bantu, apalagi kalau cara itukemudian berkonflik dengan negara maupun perusahaan-perusahaanbesar. Itulah pekerjaan saya di sana.

Jadi kalau bicara hukum adat, sebenarnya yang saya maksud adalahhukum rakyat, bukan hukum kerajaan. Dan kalau bicara hukum adatmaksudnya bukan orang lain harus pergi, sebab adat itu tidak statis.Persoalannya sekarang ini banyak orang yang campur tangan dalamurusan adat, mengurus masyarakat adat dan sebagainya, sehingga munculjuga konflik horisontal. Ini yang membuat orang di sana jadi marah,karena banyak orang yang tidak tahu masalah ikut campur, dan akhirnyamenurut saya juga terjadi komodifikasi. Karena yang laku dijualmasyarakat adat, maka orang ramai-ramai bicara tentang itu sampaiakhirnya malah jadi konflik dengan kalangan petani.

Norman Sophan:Saya sebenarnya pendatang dan tertarik pada apa yang dibicarakan.

Saya mengajar di Universitas Mercu Buana dan Universitas Trisakti, disamping saya juga pengusaha. Pembicara mungkin perlu lebih jelasapakah yang diperjuangkan itu petani darat atau petani laut. Menurutsaya yang perlu diperjuangkan itu petani laut. Dia cari ikan denganperalatan tradisional, kapalnya ngambang sampai nyasar ke negara lain,kemudian ditangkap. Ikannya juga tidak dapat. Sedangkan ikan yangdia cari dikeruk oleh kapal dengan pukat harimau.

Saya ingin tahu juga soal pembelaannya. Kalau di Jawa Barat seperti kasus Cimacan,petani dirampas tanahnya oleh pengusaha untuk dijadikan lapangan golf. Itu pernah

Page 50: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200048

dibela oleh Bambang Sulistomo, putranya Bung Tomo, rekan saya itu. Mereka sampaipuasa di sana untuk menuntaskan kasusnya. Ada lagi kasus Tapos, tanah petanidijadikan peternakan. Masalah dengan petani, mereka itu mudah disewor. Sebagaicontoh, mereka disuruh menanam cabe oleh pemerintah dengan iming-iming hargamahal dan seterusnya. Giliran panen harganya anjlok dan tidak menguntungkan.Mereka kemudian dipermainkan oleh tengkulak dan pengusaha. Jadi kalau bicarapembelaan, itu dari sudut mana? Sementara pemegang HPH semena-mena mengambilhasil hutan, petani yang ikut mengambil malah ditangkap. Nah, ini harus kita bela.

Bicara petani, saya ini juga petani, punya tanah di Jonggol. Hanya 100 hektarmemang, tapi dalam pengelolaannya saya sertakan petani semuanya. Coba kalautanah itu dijarah, bukan saya yang marah tapi petani-petani itu. Saya dekat denganpetani. Jadi, saya minta Hedar bisa jelaskan salah satu kasus baru kita bahas, karenasaya bingung mau dibahas dari sebelah mana. Misalnya bisa bicara tentang petanicengkeh yang dipermainkan oleh pengusaha cengkeh. Kemudian kita bisa lihat sudutpembelaannya.

Hedar Laudjeng:Memang saya tidak bicara kasus, karena di Indonesia ini sudah

berlimpah kasusnya. Tapi baiklah kalau memang mau lebih spesifik sayabisa kasih satu contoh nanti. Tapi yang ingin saya katakan sebenarnyabahwa kita perlu lebih banyak hidup bersama petani. LSM yang menyebutdirinya gerakan maupun mahasiswa yang selalu bicara tentang gerakanrakyat harus turun. Tapi sayangnya sangat sedikit yang mau tinggal lama-lama dengan rakyat. Hal lain kita perlu strategi informasi sehinggamasyarakat tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Kita perlu lebihproaktif. Selama ini sebatas bicara saja, tapi belum dijalankan sepertiseharusnya. Kalau hanya bicara kasus seringkali terbatas dalampenanganan kasus saja, dan akhirnya hanya bereaksi terhadap kasus.Ini yang saya sebut hobby kampanye. Basis pengorganisasiannya keciltapi kita kampanye seolah-olah basisnya sudah besar. Karena kebiasaanbegitu akhirnya kita sendiri percaya bahwa ini benar. Jadi, ketika terjadi“protes petani” tetangganya ternyata adem-adem saja.

Soal penanganan kasus, saya ini cenderung menghindari kasus sampaike pengadilan, karena yang jadi cenderung menjadi bintang lapanganadalah lawyer-nya. Petani pilih tidur dan menyerahkan masalahnyakepada lawyer. Barangkali sudah saatnya kita memikirkan kembaligerakan bantuan hukum di Indonesia ini. Saya awalnya juga mulai dari sana, membacabuku-buku yang diterbitkan di Jakarta, dan akhirnya ambil inisiatif untuk membuatbantuan hukum. Tapi setelah bertemu beberapa aktivis di bidang bantuan hukum,yang ditulis di bukunya ternyata tidak bisa jalan. Bantuan hukum akhirnya menjadicara menjinakkan petani itu sendiri. Contohnya kasus di Bohotokong. Itu kasus yangsudah berlangsung lama antara petani dengan perusahaan kebun kelapa. Petani sudah

Page 51: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 49

lama melakukan aksi reclaiming. Saya coba menghindari dan meminta mereka berupayamenempuh jalur legal. Mereka kirim surat sampai ke tingkat presiden segala, tapitidak ada respons sama sekali. Kalau begitu, mengapa kita tidak coba mengadu kepadatetangga sendiri. Akhirnya jalan. Ada beberapa orang ditangkap dan baru dilepasseminggu kemudian oleh pengadilan, tapi reclaiming jalan terus. Dalam kasus itusaya juga tidak memaksakan publikasi, karena menurut saya petani akhirnya cenderungmenggantungkan diri pada media massa. Mereka mulai tidak kreatif membanguninformasi di kalangan sendiri dan desa-desa. Tapi sebaliknya saya tidak mengharamkanpublikasi. Itu juga penting.

Kembali soal Sulawesi Tengah yang tidak jauh berbeda dari daerahlain. Memang benar. Misalnya ada kampung yang tiba-tiba diklaim sebagaihutan oleh pemerintah, dan orang yang tinggal di “hutan” itu dengansendirinya dianggap kriminal. Karena menurut UU Kehutanan,“barangsiapa tinggal di kawasan hutan, dianggap melakukan tindakanpidana”. Di Jawa ini banyak kasus petani kehilangan tanah. Begitu jugadi Sulawesi Tengah. Menurut Sensus Pertanian, tanah yang dikuasaipetani di Sulawesi Tengah makin menurun. Soal lain adalah ekspansikota, semakin banyak tanah dikuasai oleh orang kota. Itu dimulai tahun1970-an. Orang kampung berlomba menanam cengkeh karena saat itusedang ramai di pasaran. Dan ini sangat berkaitan dengan kebijakanpemerintah, yang menghidupkan kembali klaim “tanah negara”. Denganklaim itu pemerintah dengan mudah memberikan tanah kepada siapasaja yang membutuhkan dan mampu membayar izin pengolahan denganongkos itu – dan itu jelas bukan orang kampung yang mampu. Jaditidak ada bedanya dengan politik agraria zaman kolonial yang punyadomeinverklaring. Tidak ada bedanya dengan zaman Belanda, tapi padaOrde Baru ini prakteknya malah jauh lebih jahat. Kalau di zaman Belandaada daerah yang diperintah langsung oleh gubernemen, tapi ada yangtidak diperintah langsung. Di zaman merdeka disebut daerah swapraja.Aturan domeinverklaring itu hanya berlaku pada daerah gubernemen.Di Jawa dan Madura umumnya diperintah langsung, tapi kalau di luarJawa sebagian besar swapraja. Tapi sekarang di luar Jawa aturan itutetap berlaku, dan di situlah Orde Baru lebih jahat dari zaman Belanda. Setelahtahun 1970-an masyarakat baru tahu ada “tanah negara”, dan kaget. “Kok sekarangada tanah negara segala?” Jadi kalau ditanya pokok pembelaannya di mana, saya pikiryang terpenting itu pengakuan hak-hak rakyat, bukan kasus per kasus seperti sekarangini. Kalau cuma kasus per kasus itu sama saja dengan tambal sulam. Karena itu kitaperlu organisasi yang lebih solid.

Memang sudah banyak organisasi yang lahir, tapi mereka cenderungmenyuarakan kepentingan tertentu, termasuk LSM. LSM ini berkaitandengan funding, dan kalau tidak jalan, kan tahu sendiri akibatnya seperti

Page 52: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200050

apa. LSM besar butuh dana besar, LSM daerah juga begitu. Dan di sini terjadi jual-beli kasus. Ada inisiatif rakyat menampung informasi dan memberikan bantuanhukum dengan membuat posko. Saya minta dukungan ke NGO besar di Jakarta danmeminta terbitannya dikirim ke masyarakat,. Sampai sekarang terbitannya masihmenumpuk dengan alasan tidak ada dana pengiriman. Lalu, ke mana semua yangdiomongkan selama ini? Apakah orang di daerah yang harus ikut kita atau kita yangharus mendukung inisiatif itu? Kalau orang harus ikut kita, lebih baik jangan bicaragerakan rakyat. Mari kita bicara gerakan LSM, supaya jelas. Kalau tegas bicara LSMmaka urusan semacam itu sudah merupakan hal biasa.

Ian:Aku dari LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi). Aku

tertarik soal gerakan di Sulawesi Tengah itu, apakah termasuk gerakanatau tidak. Dari statement terakhir tentang pembentukan organisasi yangsolid, sebenarnya masalah sudah terjawab. Kalau bicara penindasan ataupenghisapan oleh rezim, wataknya di mana-mana sama, yaitu rakus.Mereka punya infrastruktur di seluruh daerah dan sudah disusun rapi.Gerakan petani secara nasional atau menyeluruh memang lebih bagus.Dan itu juga usulan LMND. Inilah yang menjadi dasar teman-temanmembuat LMND. Kalau kita bicara perubahan sejati maka itu harusdilakukan secara nasional. Jadi gerakan petani tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Harus menyeluruh dan dalam organisasi yang solid. Persoalannyasekarang, bagaimana kita membentuk organisasi yang solid?

LMND sadar bahwa peubahan di Indonesia sekarang tidak mungkindilakukan oleh mahasiswa, karena mahasiswa adalah kelas parasit yangtidak punya nilai lebih. Dia malah merampok punya orang lain. Yangpaling penting adalah bagaimana mengorganisir masyarakat dengan caraorang yang sadar memberi injeksi kepada yang belum sadar. Propa-ganda secara nasional juga penting, karena itu yang menjadi kelemahankita selama ini. Di daerah-daerah aksi tersumbat oleh media. Contohnya,kalau ada 50 orang di Jakarta yang demo, pasti diberitakan. Tapi di Sulawesi, ribuanpetani berdemo tidak dimuat. Ini merupakan kelemahan dalam distribusi informasi.Jadi kawan-kawan dari media juga mestinya cepat tanggap dengan aksi pergerakanrakyat agar sama-sama maju bareng. Jadi intinya, yang penting adalah pengorganisasianpetani secara nasional.

Hedar Laudjeng:Memang kita perlu organisasi yang solid. Tapi persoalannya, sudah

banyak organisasi yang dibentuk, kenapa sampai sekarang belum jugasolid? Saya pikir karena sejak awal kekuasaan Orde Baru tidak adapendidikan politik. Di kampung-kampung orang bertanya-tanya apa yangsedang terjadi. Ini harus dijawab, dan siapa yang bisa jawab? Sekarangtidak ada yang menjawab dan bagaimana kita bisa membantu rakyat

Page 53: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 51

menjawab pertanyaan itu. Tentunya menjawab ini tidak bisa dalam semalam. Semuaharus diperjelas agar menjadi kongkret berdasarkan apa yang dialami rakyat, dan kitaperlu mengaitkannya dengan persoalan lebih besar. Inilah yang tidak terjadi diSulawesi Selatan. Contohnya dalam pemilu kemarin. Golkar menang telak, termasukdi daerah “dampingan LSM”, sehingga ada anekdot, “LSM pendampingku, Golkarpilihanku.” Apa yang kita lakukan selama ini adalah kegagalan. Semakin banyakorang hidup dari LSM, semakin lama petani menjadi komoditi terus.

Lalu, kenapa yang di daerah tidak menerbitkan sendiri? Ibarat orang mengetikdengan komputer, tentu harus tahu apa programnya agar file-nya tidak error. Nah,anggaplah masyarakat ini sebuah komputer, maka kita harus pahami dulu apa pikiranmasyarakat itu agar kita tidak error dalam memberi penjelasan. Kalau kita tidakmemahami, dan tidak hidup dengan mereka, seolah-olah yang kita jelaskan akhirnyatext-book thinking semua, dan itu hanya membuat masyarakat takut. Apalagi kalaubicara soal reformasi agraria. Itu persoalan riil yang mereka alami. Nah, bagaimana kitamenyampaikan masalah ini? Kalau saya sering mengatakan – mungkin karena kurangbaca – bahwa “siapa kuasai orang banyak, dia kuasai politik. Siapa kuasai tanah, diakuasai ekonomi. Siapa kuasai ekonomi, dia kuasai politik. Siapa kuasai politik, diakuasai orang banyak.” Saya biasanya bicara sebatas itu saja, karena tidak tahu teori-teori besar. Seringkali kita ini terlalu banyak jargon. Padahal yang perlu adalahmenyampaikan dengan bahasa sendiri dan mencoba berbicara dengan apa yang kitadan juga mereka pahami. LSM dan teman-teman mahasiswa juga kebanyakan jar-gon, misalnya “ganyang tujuh setan desa”. Akibatnya bukan semakin banyak teman,tapi orang takut. Saya kira ini kebiasaan lama yang sudah gagal dan membuat orangmarah, bisa-bisa kita disembelih semua. Tapi diulang-ulang lagi. Kenapa tidak bicarayang substansial saja? Di kalangan rakyat ada banyak potensi untuk pendidikanpolitik. Misalnya dalam masyarakat adat, ada konsep “komunalistik”, atau ajaran-ajaran agama misalnya. Jadi yang penting adalah menangkap pikiran lokal danmembangun pergerakan bersama.

John Roosa:Saya hanya ingin tanya, kalau saudara katakan petani maksud apa.

Buruh atau tani yang punya tanah? Kemudian kata “memperjuangkan”,apakah itu untuk merombak segi kepemilikan atau memperjuangkanhak-hak mereka yang dirampas secara hukum? Ini berhubungan denganpenguasaan tanah. Kalau masalah organisasi yang solid, saya pikir mestiada pemimpin yang solid juga.

Hedar Laudjeng:Saya bicara petani tadi maksudnya adalah petani yang tidak punya

tanah atau petani gurem. Soal slogan “tujuh setan desa”, saya pilih tidakbicara soal itu karena hanya menimbulkan perkelahian dan saling bunuh.Jadi saya memilih menciptakan musuh bersama yang lebih besar. Jadikampung bersatu untuk melawan musuh bersama. Itu dulu. Harus ada

Page 54: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200052

pencerahan. Kemudian ada musuh bersama yang lebih besar. Kalau sudah selesai,baru bicara di antara kita. Sekarang ada masalah di mana-mana. Ada orang yangpunya tanah sampai 30 hektar dan ada juga yang tidak punya tanah. Kalau kitaciptakan permusuhan di antara mereka, sebetulnya kita bunuh diri saja, sebabkekuatannya tidak seimbang.

Saya misalnya cenderung memilih local leader di kampung untukpendidikan, meskipun dia punya tanah puluhan hektar. Karena kalaumendidik petani yang tidak punya tanah lebih dulu, maka pengikutnyatidak ada. Berapa puluh tahun yang kita perlukan kalau mendidik yangdi bawah saja? Berapa energi yang dibutuhkan? Jangan-jangan, belumapa-apa sudah dimusuhi pemimpin lokalnya. Jadi saya biasanya tidakmempersoalkan ketimpangan dalam kampung lebih dulu. Sebenarnyapenting juga pencerahan dari atas, dan akhirnya orang yang di atas bisakritis terhadap dirinya sendiri. Itu sebuah proses, dan mungkin setelahitu akan terjadi pembagian tanah secara baik-baik. Pengalaman sejarahmenunjukkan, kalau kita berangkat dari mempersoalkan kepemilikantanah di kampung, maka hasilnya tragis. Menurut saya sekarang bukansaatnya untuk melakukan hal itu.

Kalau omong masalah hama tikus, bagi saya itu persoalan yang ditemuidi mana-mana. Orang semakin tergantung pada obat-obatan dan bibitdari pemerintah yang dimonopoli orang-orang tertentu. Dalam gerakanmasyarakat adat sebetulnya kita berupaya menggali cara-cara lama untukmengatasi hama. Pengalaman saya di Pakava misalnya. Orang di sanahidup dengan ladang berpindah-pindah. Saya tanya, “kenapa harus pindah?” Merekabilang, “tanah ini harus istirahat, kalau tidak bisa kualat.” Saya tanya lagi, “kenapapindahnya jauh?” Dijawab, “kalau dekat dengan ladang semula, maka hama tikusdengan mudah mengikuti. Kita pindah jauh agar kalau panen tidak didului tikus.”Nah, inilah contoh pengendalian hama sendiri.

Norman Sophan:Diskusi ini menarik tapi ngambang. Lebih baik kita bicara bagaimana

membuat sebuah LSM yang betul-betul membela petani. Karena inipersoalannya luas maka harus dibicarakan hubungannya denganDepartemen Pertanian, Badan Pertanahan Nasional, kebijakan dalamnegeri dan sebagainya. Kita mau ambil posisi di mana? Misalnyabagaimana di kotamadya, masyarakat bisa kembali bertani. Lalu petanimana yang akan kita bela? Ada kasus di Lampung, di sebuah kecamatanyang jadi areal kehutanan. Masyarakat di sana mungkin sudah hiduppuluhan tahun di sana, tapi kemudian diusir. Jadi kita harus lihat kebijakankehutanannya seperti apa. Pengalaman selama ini mestinya membuatkita tahu harus membela petani dari sudut mana. Dan salah satu caranyaadalah membuat LSM.

Page 55: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 53

Hedar Laudjeng:Berbicara tentang LSM, masalahnya sekarang LSM sudah banyak sekali.

Apakah masih perlu ditambah lagi? Di Bandung ada KonsorsiumPembaruan Agraria, di YLBHI ada divisi pertanahan dan seterusnya.Pertanyaannya, apakah kita perlu tambah lagi LSM-nya agar banyak danmakin ramai? Kalau menurut saya, kita perlu organisasi lain. Bukan LSMyang diperbanyak tapi organisasi yang punya visi sama, bergerak danbertindak yang sama. Kalau bicara hukum, sudah banyak yang melakukankajian tentang hukum. KPA misalnya sudah menyiapkan rancangan TapMPR untuk reformasi agraria. Ada juga yang sedang menyiapkanrancangan undang-undang tentang sumber daya alam. Saya kira sudahbanyak yang memikirkan itu. Tetapi, apakah itu bisa jalan tanpa dukungandari petani sendiri? Menurut saya, tidak akan jalan. Dukungan petanisangat diperlukan. Dan tidak akan ada dukungan dari petani tanpaorganisasi yang kuat. Saya sudah lama bergerak di bidang hukum dantidak percaya hukum Indonesia. Baik hukumnya sendiri maupunpengadilannya. Karena itu selama beberapa tahun terakhir sayamenghindari pengadilan. Kalau rakyat cukup kuat, reclaim saja tanahnya.

Di Indonesia sekarang di mana-mana terjadi reclaiming oleh petani,tapi masih berdiri sendiri. Menurut saya salah satu persoalannya adalahLSM. Kasarnya, LSM membuat petani bergantung kepada mereka, dankarena itu LSM enggan duduk bersama mempersatukan gerakan. Mungkinsudah pernah dengar istilah-istilah seperti “dewa petani” atau “dewa buruh”. Di luarJawa memang transportasi itu sulit. Dari Sulawesi Tengah ke Manado perlu biayabesar. Tetapi di Jawa transportasi mudah. Nah, kenapa tidak ada gerakan petani se-Jawa? Padahal kalau ada gerakan petani di Jawa yang solid, itu sudah pukulan berat.

Agung Putri:Saya mau lihat persoalan ini lebih jauh lagi, bukan soal siapa

institusinya, akademisi atau apa. Pertanyaannya, gerakan petani itugagasan besarnya apa? Saya membaca beberapa literatur – kebetulankarena memang harus mempelajarinya – tapi setelah mempelajarinyamalah makin bingung karena begitu banyak isu. Artinya masalah itudikemukakan seolah semuanya berdiri sendiri, sehingga tidak tahu lagihubungannya satu sama lain. Misalnya isu perampasan tanah dan hakintelektual itu ada di mana? Sampai sekarang saya belum menemukanpembahasan yang komprehensif. Kemudian saya coba cari-cari sendiridan akhirnya menemukan rumusan yang saya pikir menjadipenyambungnya, yaitu bahwa kita harus mengubah tata ekonomi Indo-nesia menjadi tatanan ekonomi agraria. Tapi saya jadi bertanya-tanyasendiri, apakah ini bukan romantisme ingin kembali ke pertanian. Mudah-mudahan ini cuma bias Jawa, karena memang di luar Jawa pertanian

Page 56: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200054

masih besar. Di Jawa kalau kita bicara pertanian sebagai “sokoguru ekonomi Indone-sia”, saya pikir agak sulit karena semua petani di Jawa ini sudah jadi buruh dan tanahpunya pemodal yang arahnya ke agrobisnis. Kalau sekadar menuntut kembali kepertanian, saya pikir bukan soal yang sulit.

Kebetulan saya baru dua jam lalu kembali dari Bali. Di sana Bank Dunia sedangbikin program living culture, artinya mengembangkan kebudayaan yang hidup dimana petani dengan seluruh gerak-gerik kulturnya, mulai dari mencangkul tanah,akan jadi tontonan turis. Artinya ekonomi agraria ini bisa juga nyambung ke pariwisatadan sebagainya. Nah, jadi masih ada pertanyaan seperti apa sebetulnya gagasan besardalam gerakan petani itu. Sekarang ini belum apa-apa sudah dibuat pengkotakan,buruh beda dengan petani dan seterusnya. Memang dari segi pengorganisasian berbeda,tapi tujuannya sama. Nah, kita belum sampai ke sana tapi sudah ada pengkotak-kotakan. Buat saya ini tragis.

Terakhir, tentang kelas menengah. Kalau memang benar kelasmenengah ini tidak peduli dengan masalah pertanian, itu hanya buktirendahnya moral kelas menengah itu.

Page 57: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 55

Mubarak Awad:Terima kasih, saya gembira berada di sini, begitu pula Nancy, istri

saya. Dan mohon maaf tidak dapat hadir di sini kemarin, karena kamiketinggalan pesawat. Saya seorang Palestina, orang Arab, yang sangattertarik pada masalah non-kekerasan. Seringkali orang bertanya, mengapaseorang Arab – apalagi orang Palestina – seperti saya ini, tertarik padamasalah non-kekerasan. Sebagai orang Palestina saya dan orang-orangsebangsa sudah berjuang selama 52 tahun melawan penguasa Israel.Dalam masa itu saya merasa bahwa perang atau pembunuhan bukanlahjawaban untuk memecahkan masalah.

Kami punya organisasi yang disebut PLO, yang mengabdikan dirinyabagi pembebasan Palestina. Ada yang mengabdi bagi pembebasanPalestina melalui gerakan bersenjata. Saya sendiri belajar di sana, sayalahir di Yerusalem, dan merasa seolah-olah orang Israel harus membunuhsemua orang Palestina, atau orang Palestina harus membunuh semuaorang Israel untuk memecahkan masalah. Karena itu saya merasa harusmulai membangun sebuah lembaga di Yerusalem untuk mempelajari

Gerakan Non-Kekerasan: Pengalaman Timur TengahNarasumber: Mubarak Awad, Ketua Non-Violence International dan penggagas gerakanintifada di Palestina. Moderator: John Roosa. Penerjemah: Hilmar Farid.

4 AGUSTUS 2000

Gerakan non-kekerasan punya sejarah panjang. Di Palestina gerakan inilahyang dianggap paling efektif mengganggu penguasa Israel. Salah satupencetusnya adalah Mubarak Awad, seorang Palestina-Amerika yangmemimpin organisasi Non-Violence International berbasis di Washington,DC. Melalui seorang kawan dari organisasi yang sama, Michael Beer, Dbp.mengundang Mubarak untuk berbagi pengalaman tentang gerakan itu dansekaligus memberi inspirasi pada perjuangan pembebasan di banyak tempat.Berbeda dengan pandangan aktifis pada umumnya bahwa gerakan non-kekerasan identik dengan sikap pasif tidak melawan, Mubarak justruberpendapat bahwa gerakan non-kekerasan merupakan gerakanperlawanan yang bertumpu pada kekuatan diri untuk mengalahkan rasatakut dan kemampuan mengorganisir aksi-aksi kecil besar hasil. Gerakanini memerlukan keyakinan, keberanian, dan kecerdasan melihatkelemahan lawan, bukannya sekedar ketangguhan fisik di lapangan.Kreatifitas untuk membuat penguasa sadar bahwa mereka tidak disukaiadalah kunci keberhasilannya. Seperti yang sering terjadi dalam diskusilain, peserta umumnya mempertanyakan keampuhan taktik non-kekerasanini. Apakah kita tidak berhak mempertahankan diri, dengan kekerasansekali pun, apabila aparat mengancam hidup kita? Ada juga yangberpendapat bahwa dalam memperjuangkan hak-haknya sebetulnya takseorang pun berangkat dengan pikiran akan menggunakan kekerasan.Benturan dengan kekuasaan yang menggunakan kekerasan lah yangakhirnya mengkondisikan orang untuk memilih mengangkat senjata.

Page 58: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200056

masalah non-kekerasan. Saya mulai mempelajari mentalitas orang Arab, mentalitasPalestina. Pertanyaannya, apakah kami orang Arab atau Palestina ini memang sudahsejak lahir punya watak yang keras? Apakah sebagai manusia kami memang dilahirkanbegitu? Saat mulai pengetahuan saya tentang gerakan non-kekerasan masih sangatterbatas. Tapi saya mulai dengan merasakannya, dengan meyakininya, walau belumbanyak yang saya ketahui.

Tapi dalam perspektif religius, sebagai manusia, saya sangat yakin bahwa seseorang– maksudnya siapa saja, tidak peduli laki atau perempuan dan terlepas dari apaagamanya – itu adalah ciptaan Allah. Dan tidak boleh ada orang atau pemerintahyang berwenang membunuh orang lain. Lalu di situ kita mengambil keputusan.Kalau hak-hak kita dirampas dan kita mengalami ketidakadilan, maka apa saja metodeuntuk mendapatkan kembali hak-hak itu. Dan saya merasa bahwa sebagai manusiakita tidak boleh berhenti melawan, kita tidak boleh tinggal diam seandainya adaorang lain yang haknya dirampas. Perjuangan harus terus berlanjut, tapi perjuanganbagi saya itu dengan jalan non-kekerasan.

Saya seorang guru, jadi saya mulai dengan menulis tentang non-kekerasan dan menjelaskan kepada orang Palestina bahwa inilah metodeyang digunakan Gandhi, atau metode yang digunakan banyak oranglainnya, yakni non-kekerasan. Saya mulai menyebarkan bacaan kepadabanyak orang tentang non-kekerasan. Banyak orang yang berpikir sayaini gila dan mengatakan, “tapi lihatlah, orang Israel punya senjata danmereka sangat berkuasa, dan sekarang kamu pikir bisa melawan merekadengan cara begini? Saya tidak yakin itu bisa berhasil.” Jadi pekerjaanpertama adalah mengajar orang Palestina atau membuat mereka pahambahwa dalam perjuangan ini kita tidak hanya aktif setahun atau sebulansekali. Tapi perjuangan itu harus dilakukan setiap hari. Dan setiap or-ang Palestina, tidak peduli berapa usianya, dapat memberikan sesuatubagi perjuangan.

Lalu saya mulai mencari dan menulis tentang 120 jalan bagi orangPalestina untuk berjuang tanpa menggunakan senjata. Misalnya, orangPalestina tidak boleh makan atau minum produk apa pun yang dibuatdi Israel. Kalau anda hidup di bawah pendudukan, anda tidak perlumenaati aturan atau hukum apa pun yang dikeluarkan penguasa. Andatidak perlu bayar pajak. Jangan bayar pajak sama sekali! Orang Israelmemaksa kami menulis dengan huruf Ibrani, yakni bahasa mereka. Nah,kalau anda bangga dengan bahasa anda, yakni bahasa Arab, maka semuayang berasal dari pemerintah dan ditulis dengan huruf Ibrani, tidak perludibuka. Kirim saja kembali kepada pemerintah. Begitulah kira-kira yangsaya katakan.

Orang-orang pertama yang bekerja dengan kami dalam situasi itu adalah kaummuda Palestina yang sangat bergairah tapi masih senang menggunakan senjata. Tugas

Page 59: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 57

kami menggerakkan kaum muda dan mengatakan bahwa kita akan memperoleh hasillebih banyak dengan metode non-kekerasan dan tidak perlu ada yang mati terbunuhatau membunuh. Tentu perlu waktu lama untuk meyakinkan mereka dalam situasiseperti itu. Tapi dalam situasi apa pun, jika anda hidup di bawah pendudukan ataudi bawah kediktatoran… maka yang paling penting untuk mengalahkan penguasaadalah dengan mempersulit pekerjaan mereka. Setiap hari mereka harus merasa tidakditerima oleh kita. Dan kita juga harus membuat mereka membayar mahal untukpendudukan itu. Maksudnya sangat-sangat-sangat mahal. Secara psikologis merekaharus dibuat merasa tidak enak, sehingga mereka tidak bisa bilang bahwa “kamimenduduki tempat itu tapi penduduk merasa senang.” Dan hal yang paling sulitdalam perjuangan non-kekerasan, khususnya antara orang Palestina melawan Israel,adalah bahwa kita harus berbicara dengan orang Israel dan mengatakan kepada mereka,bahwa perbuatan mereka itu salah.

Jadi selama hampir lima tahun kami tak melakukan apa pun kecualimenyelenggarakan pelatihan. Kami mulai tahun 1982, dan akhirnyamemutuskan untuk membuat demonstrasi. Kami tahu bahwa setiappendudukan atau kediktatoran, itu ada karena hidup di atas apa yangdisebut ketakutan. Jadi salah satu tugas pertama jika anda tertarik padaperjuangan, adalah membantu orang yang hidup di bawah penindasanuntuk membuang rasa takut terhadap penguasa. Dan cara terbaik untukmembuang rasa takut itu adalah melalui aksi. Misalnya kami mulai dengan5 atau 10 orang untuk memprotes pendudukan. Dengan bertambahnyajumlah peserta aksi maka kita tidak perlu izin lagi dari penguasa untukmembuat aksi. Dan bukan hanya itu. Kami juga makin tertarik untukmengajak orang Israel yang percaya akan hak asasi manusia ke dalamperjuangan. Akhirnya mereka ikut bergabung dan melakukan protesbersama kami melawan pemerintahnya sendiri.

Seringkali kita melihat masalah secara hitam-putih. Mereka jahat dankitalah yang baik. Berdasarkan pengalaman saya, dalam masyarakat manapun, semakin banyak anda coba berbicara dengan musuh, dengandiktator, polisi atau angkatan bersenjata, maka semakin besarkemungkinan terciptanya pengertian. Saya akan berbicara tentang satuaksi untuk memberi gambaran apa yang saya maksud dengan aksi. DiPalestina ada orang yang disebut pemukim, yaitu orang Israel yang datanguntuk merampas tanah, membangun rumah dan membawa pendudukIsrael. Jumlahnya semakin banyak sehingga akhirnya terbentukpemukiman Israel. Waktu itu ada satu kelompok baru yang datang dan merampastanah kami. Mereka membangun pagar mengelilingi tanah milik orang Palestina.Pemilik tanah itu mendatangi lembaga kami di Yerusalem dan meminta bantuan. Iaminta bantuan agar orang Israel itu tidak merampas tanahnya. Waktu ia datang sayahanya bilang, “Begini saja, seluruh dunia Arab ini tidak akan bisa mengambil kembali

Page 60: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200058

tanah itu. PLO juga tidak bisa. Jadi, apa yang membuatmu berpikir bahwa lembagaini bisa melakukannya?” Lalu dia bilang, “Anda datang ke desa kami bicara tentangkeadilan, gerakan non-kekerasan. Kamu bilang itu lebih hebat dari senjata. Nah,sekarang kami datang untuk bertanya bagaimana caranya mendapatkan tanah kamikembali tanpa senjata.” Saya jawab, “Kalau kamu memang mau mendapat tanahkembali, kita perlu bantuan dari desamu, dari teman-temanmu. Mereka yang inginmelihat tanah itu kembali harus membongkar pagar-pagar yang dipasang orang Israelitu, tapi tidak boleh lempar batu dan tidak boleh pakai senjata.” Lalu saya minta diapergi dan bicara kepada orang desanya. Waktu itu saya pikir dia tidak akan kembali.Tapi dua hari kemudian ia kembali dan bilang, “Kami sudah siap.” Akhirnya kamisemua, ada laki-perempuan, orang muda dan anak-anak, berangkat ke lokasi danmulai membongkar pagar itu. Tapi sebelum membongkar pagar, saya menghubungiwartawan agar datang meliput. Orang Israel dan tentaranya datang dan mulaimenembak di antara kami untuk menakut-nakuti. Tapi kami terus saja membongkarpagar itu. Kalau memang mati saat itu, ya sudah, kami memang sudah bertekadbegitu. Kalau mau ditangkap, silakan saja. Tapi kami tidak akan melempar secuil batupun ke orang Israel itu. Nah, kalau jumlah kita besar dan seluruh dunia tahu apa yangkita lakukan, maka itu sudah termasuk berhasil. Akhirnya militer mengalah danbilang, “Baiklah, ini memang tanah kalian. Ambillah.” Inilah kemenangan pertama.

Kami banyak melakukan aksi seperti itu dan tahun 1988 orang Israel merasa sayamenjadi masalah besar bagi mereka. Saya ditahan berulangkali, tapi pada tahun 1988setelah ditahan selama 40 hari, mereka bilang, “sekarang kamu pergi dari sini.” Sayaakhirnya dideportasi. Saya pergi ke Washington DC dan membuka lembaga baruyang disebut Non-Violence International. Saya pernah bekerja di berbagai belahandunia. Saya bekerja di Birma, Chechnya dan sampai saat ini masih bekerja denganorang Palestina. Kami juga pernah bekerja di Aceh selama kurang lebih enam tahun.Saya juga bekerja dengan pemuda dan anak-anak, dan di Amerika Serikat kami adaprogram untuk menangani remaja bermasalah. Pekerjaan kami bermuara pada pro-gram penanganan anak-anak bermasalah di seluruh dunia. Nancy ini adalahpenanggungjawab program Advocate Youth International. Baiklah, saya akhiri sampaidi sini dan silakan saja kalau mau bertanya sesuatu.

Moderator:Saya kira tidak usah bikin kesimpulan dari ceramah ini. Aku hanya

mau menjelaskan sedikit lagi mengenai perlawanan sehari-hari. Sayakira itu tema yang penting sekali untuk kita di sini. Dan kita harus memikirsoal itu. Mubarak Awad belum bicara banyak karena waktu terbatas,mengenai aktivitas organisasi dia, Non-Violence International. Tapi adaflyer ini di depan sini. Mungkin kita bisa bicara lebih banyak tentangorganisasi dia. Ada pertanyaan? Pasti ada banyak, tapi kalian masih malu-malu… [tertawa]

Razif:

Page 61: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 59

Saya cuma mau tahu bagaimana gerakan non-violence di Palestina sekarang danberapa jumlah penduduk Palestina. Sebab gerakan non-violence ini sangat eratkaitannya dengan massa yang terorganisasi secara baik. Yang kedua, saya ingin tahupada tahun 1982 dikatakan gerakan non-violence ini baru dimulai di Palestina, tapipada saat itu banyak pemimpin PLO yang sangat setuju dengan PLO, salah satunyayang saya ingat Edward Said. Tapi entah kenapa, saya nggak tahu, setelah perjanjianOslo, Edward Said mengecam PLO dan Yasser Arafat. Saya minta penjelasan lebihjauh dari Mubarak Awad.

Mubarak Awad:Penduduk Palestina itu jumlahnya sekitar enam juta jiwa, dan tiga

setengah juta di antaranya, hidup di luar Palestina sebagai pengungsi.Sebenarnya semakin banyak jumlah penduduk, semakin baik itu untukgerakan non-kekerasan. Tapi bukan berarti bahwa dengan pendudukkecil kita tidak dapat melakukan perlawanan. Setiap orang punya hakuntuk melawan, bahkan anak-anak punya hak untuk melawan orangtua mereka, jika orang tua itu melanggar hak-haknya.

Mengenai Edward Said, ia memang pendukung perjuangan Palestina,tapi ia merasa bahwa kesepakatan Oslo tempo hari tidak adil bagi orangPalestina, dan bahwa dalam perundingan para pemimpin Palestina sudahterlalu banyak memberi, tapi menerima terlalu sedikit dari Israel. Ed-ward Said itu teman saya, ia sangat tegar, dan ia merasa bahwa orangPalestina dengan perjuangannya seharusnya mendapat lebih banyakdaripada yang diberikan kesepakatan Oslo.

Irwan Firdaus:Saya ingin tahu tentang perkembangan terakhir setelah pertemuan

kedua di Camp David. Sangat mengkhawatirkan bahwa kebanyakankaum muda Palestina di daerah pendudukan mulai melatih dirimenggunakan senjata. Semua itu hanya menciptakan masalah. Tapiagaknya sampai saat ini di Yerusalem, Tel Aviv dan juga Tepi Barat, suasananya masihtenang. Nah, bagaimana perasaan anda setelah bekerja dua dekade melatih orangtentang non-kekerasan, melihat kaum muda pendukung Al-Fatah melatih dirimenggunakan senjata?

Soal kedua, setelah perundingan kedua di Camp David, kabarnyaArafat akan memproklamirkan kemerdekaan Palestina pada tanggal 13September. Apakah ini memang akan terjadi, dan apa dampaknya bagigerakan anda, bagi kaum muda yang mulai menggunakan senjata danjuga bagi anak-anak yang hidup di kamp pengungsian?

Mubarak Awad:Saya mulai dari pertanyaan pertama tentang kaum muda. Memang

sangat menyedihkan bahwa Otoritas Palestina yang tadinya begitumenentang negosiasi dan metode non-kekerasan sekarang juga

Page 62: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200060

menggunakan metode-metode itu, sebaliknya kaum muda yang awalnyamenggunakan metode non-kekerasan justru mulai angkat senjata. Sayapikir ini terjadi karena kaum muda merasa frustrasi. Mereka tidak punyapekerjaan dan merasa bahwa masa depan mereka tengah dirampassekarang. Tapi tidak semua kaum muda seperti itu. Memang ada beberapayang mulai angkat senjata dan menjadi masalah besar baik bagi orangPalestina maupun Israel, begitu pula untuk proses perdamaian ke depan.

Pertanyaan kedua mengenai Camp David. Saya pikir Arafat sudahbenar dengan tidak mau menyerahkan sebagian dari Yerusalem,khususnya bagian Arab dari Yerusalem. Yerusalem memang bagian dariperjuangan Palestina, tapi ia juga merasa bahwa itu pada saat bersamaanadalah perjuangan rakyat Arab dan dunia Islam, sehingga tidak bisamengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan kedua pihak itu.Tentang negosiasi yang lain-lain, saya pikir ia cukup berhasil khususnyasoal pengungsi, air, batas-batas wilayah dan tentang pemukiman Israel.

Tentang memproklamirkan Palestina sebagai negara merdeka. Sayatentu akan mendukung proklamasi itu tapi juga sadar bahwa akan banyakkesulitan sesudah itu. Orang Palestina tahu bahwa selama ini duniaArab dan dunia Islam hanya memberikan lip-service saja. Mereka samasekali tidak memberi service yang lain dalam perjuangan ini. Jadi kalaunegara Palestina diproklamirkan, maka akan banyak frustrasi pada keduabelah pihak, maksudnya di pihak Palestina maupun Israel. Dan kitatidak tahu kartu apa yang akan dimainkan Amerika Serikat. AmerikaSerikat memang penting dalam masalah Timur Tengah. Sekitar 80%pejabat pemerintah Amerika Serikat ada di pihak Israel. Jadi kalau AmerikaSerikat bilang “jangan bikin proklamasi”, maka kita tahu bahwa dalamproklamasi itu juga akan menghadapi Amerika Serikat.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dari Amerika Serikat. Istri Clinton,Hillary, sekarang maju dalam pemilihan senat di New York. Ia perlu dukungan darimasyarakat Yahudi di sana. Clinton tidak akan kehilangan apa pun seandainya iamendukung Israel 100% dan melawan orang Palestina. Sekarang ini ada ancamandari Amerika Serikat yang akan memindahkan kedutaan besar untuk Israel dari TelAviv ke Yerusalem. Itu semacam pernyataan kepada dunia bahwa Yerusalem adalahibukota Israel, dan menuntut negara-negara lain mengikuti mereka. Jadi kalau Arafatmengatakan bahwa kita akan memproklamirkan negara Palestina, saya yakin 90%penduduk dunia akan setuju dengan kami. Tapi yang kami perlu justru 10% sisanyaitu, yakni Amerika Serikat.

Moderator:Di sini ada Lennox Hinds juga dari Rutgers University. Ia seorang

dosen hukum dan punya pengalaman luas di Afrika Selatan. Saya maumemintanya membuat komentar tentang gerakan non-kekerasan. Apa

Page 63: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 61

saja pengalamannya dengan gerakan itu dan bagaimana pandangannya. Seperti kitatahu di Namibia dan Afrika Selatan ada gerakan bersenjata, begitu juga di tempat-tempat lain. Nah, apa pentingnya gerakan non-kekerasan ini? Apa konteks yangmembuatnya muncul?

Lennox Hinds:Terima kasih banyak. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima

kasih atas kesempatan ini karena bisa bertemu dengan Mubarak yangpernah saya jumpai limabelas tahun lalu. Saat itu saya sedang berkelilingdi daerah pendudukan dan Israel. Waktu itu kepala saya masih banyakrambutnya dan tidak pakai anting-anting, jadi mungkin dia sudah tidakkenal lagi. Tapi saya terus mengikuti karya-karyanya dan sangatmenghormati kegiatannya, khususnya kegiatan di Palestina. Waktu sayabertemu dengannya gerakan Intifada sedang berkembang pesat.

Saya juga mau berterima kasih kepada Dolorosa karena mengundangsaya ke sini. Semalam saya hadir di pamerannya dan sangat terkesanoleh karya-karyanya. Karya yang lain juga menarik, tapi yang sangatmengesankan itu karya-karya tentang pembebasan perempuan. Ada tigakarya. Satu figur perempuan yang berdiri menantang dengan tanganterlipat, lalu ada lima figur perempuan yang lain. Dan ada patung tujuhperempuan berbaris. Satu di antaranya jelas sedang hamil, dan wajahmereka penuh penderitaan, tapi anda bisa lihat ada semangat solidaritasdan pemberdayaan di sana. Kehadiran saya di Indonesia, di sampingkarena Julia, juga karena Pramoedya. Saya pernah berjumpa dengannyasaat ia berkunjung ke New York menerima sejumlah penghargaan. Sayasangat terkesan padanya, dan saya bertemu dengannya sebagai wakiltetap di PBB dari Perhimpunan Internasional Pengacara Demokratik.Sebagai seorang pengacara internasional, kami berupaya mendirikanpengadilan internasional bagi Soeharto.

Dengan pembukaan seperti itu saya mau menanggapi sedikit masalah yangdibicarakan malam ini. Di samping mengajar hukum saya juga seorang pengacarapraktek. Saya punya pengalaman langsung, setidaknya interaksi dan berpartisipasidengan gerakan perlawanan pasif tanpa kekerasan dalam gerakan hak-hak sipil diAmerika Serikat. Saya bukan seorang pembela atau pun pemimpin gerakan perlawananpasif. Selama era perjuangan hak-hak sipil saya bekerja dengan Kongres untukkesetaraan ras, dan itu semua adalah perlawanan pasif tanpa kekerasan. Tapi sayadengan cepat pindah ke posisi pengacara yang mendampingi orang-orang yangdidakwa melakukan kekerasan untuk perubahan sosial. Saya tidak bermaksudmenyangkal teori dan praktek non-kekerasan, tapi sekadar menjelaskan hubungansaya dengan bermacam-macam gerakan ini. Dalam tigapuluh tahun terakhir sayamenjadi pembela orang-orang yang didakwa melakukan konspirasi menggulingkanpemerintah Amerika Serikat dengan gerakan bersenjata. Salah satu klien saya adalah

Page 64: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200062

Angela Davis dan ada beberapa lainnya. Salah satunya menjadi pelarian di Kuba.Saya pernah membawa petisi ke PBB dari tahanan politik di Amerika Serikat. Merekaini mantan anggota Black Panthers. Saat bertemu Mubarak tahun 1985, saya barumemenangkan kasus membela delapan orang muda yang dituduh berkonspirasimenggulingkan pemerintah Amerika Serikat. Begitulah, sepanjang karir sebagaipengacara saya selalu membela orang-orang yang menggunakan kekerasan untuktujuan politik mereka.

Jadi awalnya saya terlibat dalam gerakan non-kekerasan merebut hak-hak sipil tapi dalam tigapuluh tahun terakhir banyak mendampingielemen-elemen paling radikal dalam masyarakat. Di dunia internasionalsaya bekerja untuk MPLA, SWAPO dan ANC. Saya mendukung PLO danlebih penting lagi mendukung hak memberontak dalam hukuminternasional. Memberontak terhadap penindasan bukan hanya hak tapikewajiban. Tanpa keadilan tidak mungkin ada perdamaian. Sayamendukung garis itu, membelanya, menulis tentang itu, dan akibatnyanama saya masuk dalam file FBI dengan lima kategori: Pertama, ekstrimishitam – saya tidak tahu apakah saya ini ekstrimis atau bukan, tapi sayapikir ini karena mereka menyamakan saya dengan orang-orang yangsaya bela. Jadi ekstrimis, radikal hitam, komunis, simpatisan merah, dansebagainya. Semacam indeks keamanan internasional. Jadi kalau andakebetulan lihat dokumennya, maka terlihat kategorinya seperti itu. Dansetiap kali saya bicara di sebuah tempat, file itu akan ada tambahannya.Dan saya yakin setelah malam ini pun akan ada halaman baru di filemereka [tertawa]. Saya bukan mau menakut-nakuti, tapi sebagai seorangpengacara, anda tahu kerja dinas intelijen. Anda bertemu orang banyak dan berpikirmereka semua mendukung. Tapi tiba-tiba anda akan bertemu salah satu pendukungitu di ruang sidang memberi kesaksian yang memberatkan. Paling anda cuma bisabilang, “Ya, ampun… saya kira…” Nah, begitulah pengalaman saya sebagai pengacara,sebagai aktivis, dan seringkali batas-batas ini menjadi kabur. Maaf kalau saya bicaraterlalu panjang.

Moderator:Baiklah, ada lagi yang mau komentar? Kalau belum saya coba lanjutkan

dulu. Kalau melihat kasus Timor Lorosae, ada gerakan bersenjata disana yang melawan pendudukan, tapi pada saat bersamaan ada gerakanrakyat yang juga melakukan perlawanan sehari-hari. Ada banyak bentukperlawanan non-kekerasan, sama seperti yang dilakukan Mubarak diPalestina. Nah, apakah anda melihat non-kekerasan ini sebagai strategiyang berguna dalam konteks tertentu atau memang sebuah filsafat yangtidak bisa ditawar lagi? Saya hanya ingin tahu, apakah non-kekerasanitu sebuah strategi yang tepat untuk konteks tertentu, dan apakahkekerasan bisa dibenarkan dalam konteks yang lain? Atau apakah anda

Page 65: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 63

percaya bahwa non-kekerasan itu satu-satunya metode yang tepat?Mubarak Awad:Saya pikir ada banyak orang yang yakin bahwa kekerasan akan

membawa keadilan dengan cepat. Dan kalau ada kelompok yang salingbertikai seperti di Birma misalnya, atau ada penguasa militer ataukediktatoran yang menindas rakyatnya sendiri, kerusakan, pembunuhan,kematian dan bencana ekonomi yang ditimbulkan tidak hanyaberlangsung setahun, tapi kadang-kadang bisa sampai lima tahun,sepuluh tahun, bahkan limabelas tahun. Lalu orang akan mengatakan,“untuk apa semua ini?” Orang Palestina juga berpikiran seperti itu.Gerakan baru kaum muda di Palestina sekarang, merasa bahwa orangIsrael tidak akan mundur dari Lebanon Selatan, karena Hizbullahmelakukan perjuangan bersenjata dan kekerasan. Lalu mereka mulaimenghitung berapa orang Israel yang sudah mati, dan akhirnyamemutuskan tidak ada gunanya bertahan di sana. Mereka pergi. Nah,banyak orang Palestina mengatakan, kalau Hizbullah di Lebanon bisabersikap seperti itu, mestinya kita juga bisa berhasil. Jadi semua inimenjadi bagian dari strategi kekerasan. Tapi menurut saya dalam jangkapanjang, jika tidak ada pertumpahan darah kita selalu bisa mendatangimusuh dan berjabatan tangan tanpa harus menunggu terlalu lama. Itulahstrategi non-kekerasan.

Moderator:Okay, ada pertanyaan lagi atau komentar? Saya mau minta kita berpikir

tentang gerakan non-kekerasan di sini, di Indonesia. Kalau gerakan itu bisa dibangun,bentuknya kira-kira apa itu? Kita harus memikir tentang konteks Indonesia. Sayaminta orang untuk komentar mengenai itu. Bukan hanya tanya sama Mubarak Awadmengenai Palestina, tapi juga bikin komentar saja. Pendapat kalian mengenai kekerasanatau non-kekerasan, bagaimana? Ada orang di sini yang suka kekerasan. Kita lihatfilm-film banyak penuh kekerasan. Ada enjoyment di situ, ya. Benar atau tidak? Inimemancing pendapat, ya. Atau non-kekerasan itu bagaimana?

Mubarak Awad:Mungkin ada baiknya Nancy bicara tentang beberapa buku yang

kami bawa, dan juga tentang apa yang kami lakukan di seluruh duniadengan program-program kami. Mungkin teman-teman di sini tertarikdan mau bekerjasama dengan kami.

Nancy:Selama ini saya terus bekerja dengan anak-anak. Sebagian besar ketika

bekerja sebagai pegawai dan guru sekolah. Ketika Mubarak dan sayatinggal di Yerusalem, saya menjadi kepala sekolah untuk anakperempuan. Ada 550 anak perempuan, mulai dari taman kanak-kanaksampai kelas 12. Semuanya anak perempuan Palestina. Sekarang saya

Page 66: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200064

bekerja di Washington DC dan lebih banyak bekerja di belakang komputer, dansalah satu proyek organisasi yang saya kerjakan adalah menerbitkan serial booklettentang kaum muda dan masalah kaum muda secara internasional. Kami sudahmenerbitkan enam buku. Saya bagikan saja agar semuanya bisa melihat [membagikanbuku kepada peserta]. Ada buku tentang serdadu anak, buruh anak, perdaganganseksual anak, tentang anak-anak yang dipenjara, dan kaum muda yang diburu dandibunuh. Satunya lagi buku tentang anak-anak dan HIV/AIDS, cerita tentang merekayang sudah terjangkit dan terpengaruh, lalu anak-anak yang kehilangan orang tuanyakarena AIDS. Buku terakhir dibuat untuk pertemuan Beijing +5 di PBB, mengenaidiskriminasi anak perempuan, antara lain tentang perempuan yang disunat dan jugapembunuhan. Buku-buku ini saya tinggal di sini, tapi kalian juga bisa melihatnyamelalui website. Kami mencoba mendidik masyarakat Amerika Serikat. Kebanyakanorang di sana hanya melihat masalah di lingkungannya sendiri, dan tidak melihatbahwa ada banyak masalah di seluruh dunia, dan bahwa ada banyak hal yang bisakita pelajari dari seluruh dunia. Jadi inilah usaha kami membuat penduduk AmerikaSerikat menjadi bagian dari warga dunia.

Buku tentang serdadu anak sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis,sementara perdagangan seksual anak sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina,dan booklet tentang HIV/AIDS diterjemahkan ke bahasa Vietnam. Ada satu lagibuku yang diterjemahkan ke bahasa Arab, tapi tidak saya bawa sekarang. Dan kamisenang jika ada organisasi di sini yang mau menerjemahkan dan mendistribusikannya.

Nah, ini buku lain lagi. Mubarak selalu membawanya ke mana-mana karenaditulis oleh putrinya sendiri. Buku ini ditulis dan diberi ilustrasi khusus untuk anak-anak yang berbicara tentang hak-hak anak. Buku ini juga bisa dibacakan oleh orangtua untuk anak-anak mereka, tentang hak mempunyai nama, kebangsaan, hak ataspelayanan kesehatan, pendidikan dan seterusnya. Kami menerbitkan buku itu sebagaibagian dari perjuangan di Amerika Serikat. Kebanyakan orang di sana merasa bahwaanak-anak tidak punya hak. Jadi buku ini ditulis khusus untuk orang Amerika Serikat,tapi kelihatannya ada banyak orang di luar Amerika yang juga tertarik akan buku itu.

Razif:Orde Baru itu dibangun oleh mekanisme kekerasan militer. Tapi

setelah Orde Baru itu runtuh, ternyata kekerasan itu tidak berhenti. Halini mungkin sama dengan yang dikatakan oleh Mubarak mengenaiintervensi Amerika, terutama dengan industri bantuannya yang beroperasidi Aceh dan juga beroperasi di Ambon. Industri bantuan ini kalau kitalihat lama-lama seperti bagian dari mekanisme kekerasan itu. Saya pikiritu komentar saya atas pancingannya John.

Alit Ambara:Saya komentar atas pancingannya John juga. Saya kira kekerasan

yang terjadi di Indonesia selama ini telah diromantisasi. Orang berbicaratentang kekerasan selalu merujuk pada ekspresi kebudayaan yang seolah-

Page 67: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 65

olah memang penuh kekerasan, seperti permainan dan sebagainya. Nah, ketika gerakannon-kekerasan ditawarkan di sini, yang terjadi justru sebaliknya. Gerakan non-kekerasan cuma dilihat bentuknya saja, misalnya bagi-bagi bunga, tapi pemikirannyatidak. Memang penting bagi kita untuk belajar tentang mentalitas bangsa. Apa benarmasyarakat ini keras, seperti digambarkan Clifford Geertz ketika bicara tentang Bali?Pemikiran ini rasanya sudah masuk ke dalam kesadaran, sehingga terlihat bahwamasyarakat memang suka kekerasan. Kembali ke gerakan non-kekerasan, saya pikirpemikirannya itulah yang paling penting disebarluaskan, agar kita tidak hanyamengambil bentuknya saja.

Mubarak Awad:Biasanya kita berpikir tentang gerakan non-kekerasan kalau sedang

menghadapi masalah. Sebenarnya sangat penting untuk mulai bekerja,membangun NGO, memperluas jaringan justru saat tidak ada masalah.Kita harus kenal polisi, angkatan bersenjata, orang pemerintah.Berkunjung ke tempat mereka, menulis surat, kenalan dengan anaknya, apa sajalah.Nah, kalau situasi atau masalah itu datang, kita sudah lebih siap karena kenal semuaorang.

Ika:Saya hanya memberikan komentar saja mengenai masalah gerakan

anti-kekerasan ini. Kalau saya pikir di Indonesia sendiri sudah adalembaga-lembaga hak asasi manusia. Tapi saya sendiri melihat badanitu tidak bergerak seperti yang kita inginkan. Seperti sekarang ini,mahasiswa sudah melakukan gerakan non-kekerasan, denganmemberikan bunga di jalan. Tapi saat mahasiswa melakukan itu adajuga yang memasuki gerakan itu dengan kekerasan. Jadi saya rasa susahuntuk mulai melakukan gerakan anti-kekerasan itu. Maka untuk itu sayarasa kita harus mulai bersama-sama, karena dalam hal ini pemerintahsendiri sebenarnya tidak seluruhnya mendukung untuk mengatasi hal-hal semacam itu. Nah, pemerintah sendiri kayaknya diam saja, tidakmemberikan sambutan yang baik untuk gerakan anti-kekerasan ini.Walaupun mereka tahu, mereka diam saja. Jadi bagaimanapun saya rasaagak sulit untuk mengatasi hal semacam itu.

Mubarak Awad:Ini masalah menarik. Memang saat kita melancarkan gerakan non-

kekerasan, kita berharap lawan kita tidak menggunakan kekerasan. Itubagus saja, tapi tidak selamanya benar. Namun, kalau bicara pemerintahIndonesia sekarang, sebenarnya presiden itu [Gus Dur] orang yang tahupersis apa itu gerakan non-kekerasan. Ia tahu apa artinya, ia tahu apakekuatannya, dan ia sering hadir dalam konperensi mengenai non-kekerasan. Dan bukan hanya dia. Waktu ada konperensi di WashingtonDC, saya pikir ada tiga menteri lain yang hadir dan bicara mengenai

Page 68: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200066

non-kekerasan. Jadi sebenarnya ada perhatian dari pihak mereka.Hal lain yang menurut saya penting, kadang kala orang merasa tidak

berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa. Saya tidak setuju karenaseseorang itu bisa melakukan banyak hal. Kalian punya kekuatan didalam diri untuk digunakan. Kalau bertemu mahasiswa, temui danbicaralah. Kalau bertemu anak-anak, temui dan bicaralah. Lalu bikinaksi, sebanyak mungkin. Kalau bertemu orang miskin, sudah jelas merekaperlu bantuan. Kita perlu membentuk kelompok untuk memberikanbantuan. Non-kekerasan bukan hanya perjuangan melawan ketidakadilanpolitik, tapi juga ketidakadilan sosial. Dan dengan begitu kita akanmampu menggalang kekuatan. Pertemuan kita ini juga bagian dari aksiitu, sangat indah. Saya pikir akan baik sekali kalau kalian mulai berpikirtentang sesuatu yang dapat dikerjakan untuk masyarakat, di mana saja.Misalnya 50 orang berkumpul lalu memutuskan bahwa besok setiaporang akan menanam sepuluh pohon atau menanam bunga di pangkalan militer.Kita harus melakukan sesuatu, kita harus mau berkeringat, membuat tangan kotor.Dan itu semua bagian dari gerakan non-kekerasan menurut saya.

Moderator:Saya kira dari penjelasan mengenai gerakan non-kekerasan seperti

itu, jelas sudah ada gerakan non-kekerasan di sini. Ada SIP (Suara IbuPeduli), ada gerakan petani untuk mengambil tanah, dan banyak orangdi Indonesia tidak pakai kekerasan untuk minta keadilan. Mungkin kitaharus pikir lebih mendalam bagaimana kita bisa membangunkan apayang sudah ada di Indonesia, supaya itu bisa lebih canggih. Kita bisamelihat apa yang sudah ada di sini, supaya kita bisa bikin gerakan danideologi gerakan, strategi gerakan yang lebih developed. Itu komentarsaya. Ada komentar lain?

Emigo:Pertanyaan saya singkat saja. Apa yang Mubarak tahu tentang

kekerasan di Indonesia, dan kalau teori anda mau diterapkan di sini,dari mana harus mulai?

Mubarak Awad:Saya tidak tahu banyak tentang Indonesia maupun kekerasan yang

terjadi di sini. Tapi sebenarnya orang Indonesia itu tidak beda jauh dariorang Palestina. Kita semua manusia. Kalau kita berpegang pada prinsipitu, artinya tidak ada orang yang sejak lahir sudah senang kekerasan.Kekerasan biasanya datang pada kita, kita belajar kekerasan dari orangtua, atau masyarakat di sekeliling kita. Tapi sebagai manusia, kita bukanmahluk penuh kekerasan. Jadi tidak peduli kebangsaan atau agamanya.Hal penting menurut saya bagi Indonesia adalah perlunya indidivu berhakuntuk memerintah dirinya, dan juga punya suara dalam pemerintahan.

Page 69: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 67

Dan kalau ini dirampas, maka hasilnya adalah kekerasan di mana-mana. Kita harusmulai dari mana, itu pertanyaan kedua. Pertama, kita punya semua deklarasi hak asasimanusia. Sederhana saja. Lalu kita harus memahami konsep kekuasaan, karena kalauorang sudah berkuasa maka biasanya jadi serakah, korup, menganggap dirinya dewa,memberi perintah seenaknya tapi tidak mau dengar orang lain. Itu bukan hanya disini. Di mana-mana kita melihat itu. Yang perlu kita tangani adalah memastikanbahwa mereka yang bekerja dalam pemerintah memang melayani rakyat, bukanberkuasa atas rakyat.

Moderator:Saya pikir sudah waktunya mengakhiri diskusi. Saya pikir komentar

terakhir dari Mubarak dengan abstraksi filosofis demikian, sudahmerangkum segalanya, dan memberi perspektif yang jelas bagi diskusikita malam ini. Kita masih bisa terus ngobrol seperti biasa. Saya berterima kasihkepada Mubarak Awad dan Nancy yang hadir di tengah kita malam ini, yang sudahberjuang – tanpa kekerasan – untuk bisa datang ke sini [tertawa]. Dan saya juga mauberterima kasih kepada kalian, kepada Nancy dan karyanya di tengah anak-anakuntuk membuat dunia ini menjadi lebih baik. Dan juga kepada Mubarak Awad danpekerjaannya di Non-Violence International. Kalau masih ada yang mau tanya, bisalangsung ke Mubarak. Lennox juga masih ada di sini.

Alit Ambara:Terima kasih kepada Mubarak, Nancy dan Lennox. Juga kepada Fay

yang berjuang menerjemahkan dan kepada Gung Ayu yang mengaturkedatangan Mubarak ke sini.

[tepuk tangan meriah]

Page 70: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp
Page 71: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 69

Moderator:John adalah kandidat doktor antropologi dari Princeton University,

yang sekarang tinggal di Bali. Beberapa waktu lalu bersama AlexEdmonds pernah membuat video dokumenter dengan judul “Satan inParadise” tentang turisme, kelompok-kelompok musik death metal dangegenjekan dan black magic di Bali. Malam ini dia akan bicara tentanggegenjekan yang sangat populer di Bali. Silakan, John.

John MacDougall:Sejak tahun 1995 saya mulai meneliti gegenjekan sebagai sebuah

tradisi, walau tiga tahun terakhir saya lebih banyak bekerja di Lombok.Sebenarnya gegenjekan tidak terlalu tepat disebut tradisi lisan, dan sayaagak kesulitan juga menjelaskan istilah itu. Jadi, mari kita diskusi untuksama-sama mencari definisi yang lebih mewakili. Mohon maaf kalaubahasa Indonesia saya kurang fasih. Saya akan berusaha menerjemahkanpikiran-pikiran yang agak kacau ke dalam bahasa Indonesia yang lebihbersih dan mudah dimengerti.

Semuanya dimulai dari populisme pemuda Bali pada akhir 1990-an.

Gegenjekan di Bali dan Pendekatan AntropologiNarasumber: John MacDougal, Kandidat Doktor Antropologi pada Princeton University,New Jersey, AS. Moderator: Alit Ambara.

14 AGUSTUS 2000

Seperti apa kebudayaan Bali dewasa ini? Brosur dan buku turis masihmenyajikan citra yang hanya menguntungkan industri turisme: sebuahsurga dengan daya magis bagi mereka yang lelah oleh hiruk-pikukkehidupan modern dan ingin mencari jati dirinya. Di tengah gemerlappariwisata yang mulai pudar dan memasuki krisis, ada banyak ekspresikebudayaan lain yang tumbuh di Bali dan tidak diperhatikan sungguh-sungguh oleh para peneliti. Dbp. memilih tema ini setelah 3 orang kawanJKB bertemu dengan John MacDougall di sebuah konperensi Antropologi diDenpasar, Bali, Agustus 2000. Kami melihat penelitian yang dilakukan JohnMacDougall tentang gerak gegenjekan di Bali cukup penting untuk memberigambaran lain tentang kebudayaan Bali. Genjek adalah ekspresi kulturalyang menantang seni adiluhung-pariwisata dan sekaligus mengungkapmasalah-masalah sosial, dari putus cinta, kemiskinan sampai politik OrdeBaru. Di dalam gegenjekan ini John melihat adanya kekuatan baru yangtidak terlihat karena perspektif antropologi yang konvensional-konservatifselama ini. Diskusi ini berlangsung cukup meriah karena Johnmemperdengarkan beberapa contoh musik gegenjekan melalui tape. Selainitu, banyak peserta yang terlibat dalam kegiatan membangun kebudayaanalternatif mencoba mempertajam analisis John dengan mempertanyakanapakah kegiatan kesenian ini mempunyai daya resistensi yang cukup kuatuntuk mendorong perubahan sosial di Bali. John ternyata tidak melihatkesenian ini sebagai upaya perlawanan, tapi lebih sebagai cara untukmelepaskan ketegangan dari tekanan hidup sehari-hari

Page 72: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200070

Hingga sekarang belum ada pendekatan teoretik, fenomenologi atau wacana yangbisa menangkap kesinambungan antara aneka ragam peristiwa budaya dan politikyang memaksa masyarakat Bali, masyarakat Indonesia untuk saling berhadapan.Dibanding masa sebelumnya, di tahun-tahun ini kita menyaksikan pesatnyaperkembangan politik antar partai, mobilitas preman, kehadiran pengungsi dikampung halaman orang atau kepenuhan panca indera akibat media massa. Semuaini telah menarik massa “bersih politik” Bali ke dalam keterpecah-belahan yang sangatsulit dipahami atau pun diteliti. Penelitian standar mengenai Indonesia sayangnyabelum memberi kita bantuan yang berarti. Selama literatur tentang kehidupan diBali memaksa kita untuk menghadapi suara sunyi kebudayaan, sejarah Orde Barudan penelitian yang dilahirkannya. Banyak suara sunyi ini dilestarikan oleh parapeneliti agar dapat melanjutkan studinya dan karirnya di Indonesia.

Seperti kita ketahui, pembicaraan tentang kasta atau pembantaian G-30-S/PKIsering dihadapi dengan muka seram, kebungkaman atau perubahan topik secaramendadak. Penelitian yang sanggup mengungkap kekerasan G 30 S PKI atau kekerasanmiliter Orde Baru menempatkan peneliti pada posisi yang sulit pula. Dia harusmemilih untuk mengekspos atau menutupi kelakuan mayoritas orang Bali dan generasiyang berkuasa hingga kini. Orang-orang ini bukan hanya menjadi pegawai negeri,tapi juga kelian banjar, hansip dan kadang kala kawan. Jadi, kalangan kritis banyakyang mencari ruang sah untuk melemparkan kritik melalui topik “modifikasi budayaBali”. Kami bersandar dengan enak pada kritik dari aliran politik Marxis.

Pada waktu itu tidak muncul kajian sosial mengenai struktur kemiskinan ataumengenai kriminalitas karena topik itu terlalu berbau empirisisme, berbau politikpraktis yang naif, jargon-jargon keaslian, mengenai politik yang asli dan ritual yangasli, politik yang asli bla-bla-bla mensahkan partisipasi oleh semua kalangan, termasukpemerintah. Namun harus diakui fungsi politik keaslian dirumitkan oleh benturanekonomi ritual yang mungkin unik di Bali. Kapitalisme pariwisata Bali ikutmenggiatkan ekonomi pertukaran yang ada dalam ritual Bali, dan dengan cara itumenciptakan “prestasi total”, maksudnya pengeluaran uang secara habis-habisan tapisekaligus penumbalan dan komoditas, ungkapan sosial dan pentas: suatu karnavalpengungkapan keakraban dan pengasingan makna sosial pada hal yang sama. Ritualmegah menjadi trendy dan dilaksanakan tiap tahun dan dikaji baik oleh orang Balimaupun orang asing. Ada juga pemberdayaan philantropic yang menaruh perhatianpada seniman tua seperti Ida Bagus Made Poleng. Made sebagai pakar pelestarian senimembelokkan perhatian peneliti dari apa yang sedang dibelokkan oleh orang Bali.Jika dia membahas konflik kekerasan, ingatannya dan peristiwa-peristiwa politik yanghadir justru tak nampak

Beberapa peneliti mencoba membicarakan makna kebisuan secarabudaya politik dan cara pengutusan kebisuan itu pada hubungan orangBali dengan rezim wacana negara dan wakil lokalnya. MakalahnyaHendrik Gates “Teater Kekejian” dan essay-nya Degung Santikarma “Koh

Page 73: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 71

Ngomong” adalah dua contoh yang baik, membahas sikap populer orang Bali terhadapkekuasaan dan politik dalam era sejarah yang sangat berbeda. Makalah Gatesmenjelaskan penyiksaan pada sekelompok orang politik pada awal tahun 1950-anoleh kelompok politik dominan, yaitu bangsawan dominan di salah satu desa di BaliTengah. Degung Santikarma menjelaskan koh ngomong, suatu ungkapan populeranak muda di Bali. Koh berarti suatu kelesuan dan ngomong berarti bicara, sepertidalam bahasa Indonesia. Tapi koh ngomong itu kemudian menjadi jawaban terhadapwacana-wacana negara. Misalnya begini. Tanah bapak diambil. Lalu saya datang danbilang, “Bagaimana, saya mau beli tanahmu Rp 100 ribu per are.” Lawan bicaramenjawab, “Koh ngomong,” artinya “lesu hati saya bicara”, tapi maksud sesungguhnya“untuk apa saya bicara dengan kamu”. Jadi, diusir begitu saja. Dan itu menurutDegung adalah kebisuan sebagai kekuatan perlawanan. Kedua makalah inimenghindari pendekatan konvensional, dan mencari gema-gema sosial yang ada dalambahasa populer, dengan meneliti ungkapan agama, politik ritual dan psikologis dalamsebuah peristiwa atau masa.

Nah, coba kita lihat masa sekarang. Apa yang diciptakan oleh reformasidan apa yang tersisa dari Orde Baru? Ini mungkin pertanyaan awal danmungkin juga pertanyaan yang terlalu umum. Sekarang, pada awal erareformasi ini, kita dibekali gejala-gejala sosial baru tanpa ke-tunggal-an.Kekuasaan yang heterogen atau aneka ragam telah muncul dan membuatruang dimensi sosial baru, mendorong praktek-praktek yang dulu beradadi bawah tanah ke permukaan, tapi sekaligus memperlihatkan praktek-praktek Orde Baru di balik layar bersama kekuasaan dan sarana untukmenyalurkannya. Bagaimanapun kemegahan negara imajiner Orde Baru,orang tetap mendengarnya dalam hubungan sosial, gaya bahasa danwacana yang menandakan kemodernan. Rezim wacana negara telahmemasuki semua dimensi sosial kehidupan orang Bali, tapi dalam prakteksosial terucap cara yang tidak lazim, atau dalam bahasa jazz yang sengajatak seirama.

Pada akhir masa Orde Baru mulai muncul gaya sosial tandingan diBali, seperti kampanye politik, penentangan upacara-upacara besar yangdilakukan oleh kalangan bangsawan, munculnya pecalang – mungkinsiskamling kalau di Jakarta – dan gegenjekan. Praktek-praktek inimenangkap dan menolak rayuan terselubung dalam wacana negara dengan gayajago-jagoan dan ungkapan yang dirancang untuk mengasingkan kekuatanpengasingan Orde Baru. Jadi dia mengasingkan wacana Orde Baru yang mengasingkandirinya. Alat atau wacananya kelihatan begitu dangkal dan dungu. Dengan gayapentas seperti ini gegenjekan mengisahkan wacana Orde Baru sebagai sesuatu yanghampa, kekanak-kanakan tapi terlalu sungguh-sungguh. Orde Baru dan kecengengankelas menengah Bali muncul pula dalam estetika “ketunggalan negara”, dan di bawahsinar gerakan seperti genjek mulai tampak memuakkan. Mulai timbul rasa muak yang

Page 74: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200072

melegakan. Jadi, bagaimana kita melihat periode ini, di mana yang di bawah tanahberada di atas panggung, di mana bayang-bayang telah berbentuk dan rahasia umummenjadi fakta dan bukti?

Gegenjekan berasal dari bahasa Bali, artinya kurang lebih parodi,tapi tidak ada padanan yang tepat. Genjek tidak ada miripnya denganseni panggung Bali yang sudah distandarisasi untuk industri pariwisataatau pentas lainnya. Dari Karangasem, Jembrana, di pesisir Bali Utara,grup-grup gegenjekan berkumpul dan minum tuak, menyanyikan lagu-lagu yang mengisahkan putusa cinta, gagal mencari pendidikan, reformasidan harapan yang digugurkan penguasa – penguasa ini bisa saja penguasadi Jakarta atau tetangganya sendiri, pendeknya siapa saja. Lagu-lagu itukemudian ditarikan dan disambut yel-yel oleh kelompok laki-laki yangsaling gesek dan sindir. Mereka melingkari ember tua, sambil menarimemegang gelas dan bergilir dari satu penyanyi ke penyanyi lain mengisipanasnya persuasi dengan kenyaman tuak. Nyam itu berarti dingin tapijuga berarti gila. Itulah perasaan yang muncul pada waktu orang minumtuak, mungkin. Saya pernah menjadi nyam juga dan menari yang jauhdari halus. Tarian genjek ini lebih mirip ngibing-nya joged. Dengangerakan dan yel-yel yang menghentak, genjek menangkap danmengucapkan dadakan atau perasaan spontan dan cerdas. Perasaandadakan ini menyalurkan ketegangan dalam persuasi yang digarapbersama teman-teman senasib, biar cuma sesaat.

Setelah bergaul dengan pemuda genjek yang gondrong dan bertatodi pesisir Karangasem, saya dan beberapa teman Bali di Denpasarmencoba membuat film mengenai gegenjekan dan perlawanan populerpada musim kemarau tahun 1997. Tahun itu penting karena menunggangimomentum pasca-pemilu, Golput dan kekerasan khas Orde Baru, yangdimulai dari peristiwa 27 Juli 1996. Di Bali tahun 1996 tidak hanya ditandaimunculnya teror baru, maraknya popularitas PDI-P, tapi juga membukapeluang populerisasi gerakan pemuda dengan yel-yel gaya baru, ataugegenjekan. Dari November sampai Desember 1996, harian Bali Postjadi penuh dengan polemik, di satu sisi elite budaya perkotaan Bali menentangpencemaran tradisi pasca-panen a la pedesaan, yaitu gegenjekan. Pak Wayan Bandem,ketua STSI waktu itu menentangnya dan berharap anak-anak lebih banyak bermainsaja. Seolah mengatakan, “kenapa kalian tidak ke mall saja seperti ABG lainnya?”Jawaban anak muda waktu itu setengah menyindir atau mengejek, “Kami sedangmelestarikan budaya kita.”

Kaset genjek menjadi semakin populer, dijual, diputar dan ditiru hampirdi seluruh Karangasem, Buleleng, dan jalur wisata Bali dari Ubud sampaiKuta. Mereka menyanyikan genjek klasik seperti “Adi Ayu”, lagu yangmenyesali patah hati akibat kawin paksa, atau “Edi Bungsil” – sebenarnya

Page 75: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 73

yang dimaksud Eddy Tansil – “cenik mapecik” anak muda yang mau jadi wartawan.Ada genjek transmigrasi, dan ada juga genjek stress. Lagu-lagu seperti ini ditiru dandipentaskan dengan gaya semi-jagoan baru Bali. Kadang ada improvisasi denganadegan jorok-jorokan. Lagu-lagu dadakan ini juga disusupi gaya setempat. Saya pikirgaya setempat juga muncul sebagai jawaban terhadap tantangan bagi genjek untukmencari yang spontan, dadakan, jadi tidak hanya asal tiru saja. Mungkin bagianteorinya bisa kita bahas nanti.

Dari pengamatan awal ini dengan melihat debat-debat di Bali Postdan pentas yang kami hadiri, ikut genjek serta wawancara denganpenyanyi genjek, banyak pertanyaan yang muncul dan hanya beberapayang sanggup saya jawab. Dari semua pertanyaan ini yang paling sayapikirkan adalah: bagaimana gegenjekan yang merayakan kegagalanmelalui stress dan cinta tidak terwujud atau mimpi menjadi orang kayadi kota itu, mengungkapkan dan menggerakkan birahi sosial-politik danketegangan yang dirasakan oleh pemuda-pemuda Bali pada akhir 1990-an. Gegenjekan sebagai sebuah performance atau gaya pentas adalahgerakan yang nikmat bagi yang menyanyikannya, seperti blues diAmerika. Lagu-lagunya menyanyikan kehampaan atau sesuatu yang tidakia miliki. Kalau di Bali, mungkin karena kedudukannya dalam jajaranstatus masyarakat, penyanyi-penyanyi gegenjekan merindukankeberuntungan. Jadi seolah-olah genjek menjadi nyanyian terhadapkematian, keberhasilan dan pembangunan. Kehampaan ini punya dimensipula dan inilah yang akan saya jelaskan.

Saya menggunakan “dimensi” karena istilah seperti ini menceritakanruang dan juga wacana yang bersifat emosional atau ideologis. Dimensiini mencakup semua unsur. Tapi dalam gema keakraban antara dimensiemosi ruang dan politik penyanyi genjek, kita menemukan pencariandan kepuasan, walaupun kepuasaan sesaat dari kehampaan itu. Jadikoordinat dari kehampaan ini ada dalam lagu-lagu genjek. Kekerasandalam gerakan genjek khususnya bisa ditelusuri pada sejarah praktek-praktek sosialdan mobilitas masyarakat pekerja Bali yang berasal dari Karangasem dan Buleleng.Inilah yang menjelaskan mengapa munculnya pada akhir 1990-an. Sejak meletusGunung Agung pada tahun 1993, penduduk dari wilayah Bali Utara bermigrasiatau pindah ke Bali Selatan mencari pekerjaan kasar, pendidikan atau kehidupanbaru.

Sekarang pada tahun 1990-an kita masuk pasar, kebanyakanpedagangnya bukan dari Karangasem. Pada awal pembangunan besar-besaran Bali Selatan hampir semua tenaga kerja kasar berasal dariKarangasem dan Buleleng, termasuk pembantu rumah tangga, buruhpasar yang berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan cari makanpada kelas menengah Bali yang muncul begitu subur pada tahun 1990-

Page 76: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200074

an. Dari sudut pandang pekerja Karangasem dan Buleleng, migrasi ke Bali Selatan,Denpasar atau Kuta adalah perjalanan jauh. Dalam perjalanan itu sudah terpahatsebuah dimensi ruang yang penuh birahi mendapat keberhasilan, dan juga kegagalankalau akhirnya dia kembali ke desa. Jadi dimensi ini bisa kita lihat dalam wacana lagu-lagu mereka. Sejak tahun 1992 setiap malam Minggu grup-grup gegenjekan tidakhanya kumpul di kampung halaman mereka, tapi juga Kuta, Sanur di mana merekamencari buruh, atau di mana mereka mencari pedagang acung di pinggir pantai. Disana mereka mengumpulkan uang dan pengalaman, lalu menemukan blues baru,suatu warna biru yang dimiliki oleh kebanyakan orang Bali yang tidak ikut menjadikaya karena pariwisata. Saya akan bacakan teks sebuah lagu,

Tidak terfikir oleh kakak ingat akan diri adik sekarangSekarang kita saling ketemu kakak sama adik di pesisirBaru kakak panggil adik datang sambil tersenyum manislalu sama-sama ngaku saling rindu lama tidak bertemu

Semoga saja bli ada jodoh dengan adikMari kawin sama kakak pada saat manis galunganAdik, bingung sekali kakak saat iniKakak mendengar berita akan diminta lagi tiga hari

Yang meminang adalah sepupumuKe sanalah adik melangkah dan jangan lagi menoleh ke mana-m a n aBaik-baik engkau melangkah

Lalu, lagu “Bli Bagus”

Janganlah kamu menyesali, karena sudah jalan saya dijodohkanbapak-ibuTidak ada hal yang perlu saya bicarakan padamuJangan kakak ngambek, saya bukan satu-satunya perempuan dis iniMasih banyak bintang di langit

Lalu, lagu “Sang Primadona”, cerita tentang gadis cantik perawandesa yang punya cita-cita jadi sarjana.

Sebenarnya tidak punya ijazah,pergi ke kota mencari kerja dan menjadi pelayan tokoBanyak orang-orang muda dan tua saling mendahuluitapi malang nasibnya terlunta-lunta lalu sekarang jadipr imadona.

Page 77: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 75

Dalam lagu-lagu tadi saya tidak menjelaskan ada letupan-letupan suarayang justru menjadi jawaban dari dimensi-dimensi yang saya bahas tadi– yang dibicarakan. Banyak suara ini muncul dari peperangan antaraBali dan Lombok, pada waktu penjajahan Bali terhadap Lombok, dimana masyarakat miskin dari pegunungna dibawa ke Lombok, sebagaikawula atau budak, atau jadi orang panggilan yang harus ikut perangdengan raja Karangasem pada waktu itu. Ini beberapa bekas dan gemayang ikut menyumbang makna pada ungkapan pemuda-pemuda Baliyang menyanyikan genjek. Mirip seperti blues di mana laki-laki tidakbertempat tinggal atau tanpa kampung halaman mulai menyanyikankehilangan ideal yang romantis. Lagu pertama mengungkapkan rasarindu, sebuah dialog antara dua pekerja desa yang sama dan tidak bisamengaktualisasikan cintanya karena mereka hanya bisa menikah kalaukembali ke desa mereka pada waktu Galungan, musim klasik untukmenikah bagi orang Bali. Namun masalahnya mereka tidak bisamembiayai upacara sebesar itu, jadi hanya membayangkan betapaindahnya kalau pulang kampung dan menikah. Lagu kedua mengisahkankehilangan cinta karena keluarga perempuan mau menguatkanketurunannya dengan pernikahan dalam keluarga.

Kedua lagu itu lebih bisa dimengerti kalau kita tanya salah satupenyanyi yang tadi saya kutip, teman saya yang namanya Gede. Iamenjelaskan kalau ada orang meninggal di desanya, biasanya perempuanmembawa beras dan bahan masakan dan laki-laki menyusul dengantuak dan sate untuk makemit. Biasanya di Bali sebelum jenazah dibawake kuburan mereka harus berdiam semalam, begadang semalam untukmenjaga jenazah dari leak atau roh-roh yang bisa mengganggunya. Roh-roh ini hanya bisa mengganggu yang ada di sekitarnya dengan memasukiemosi orang yang menjaganya, dengan kemarahan, rasa cepat tersinggung. Temansaya bilang waktu mereka begadang, mereka harus hati-hati agar tidak met. Met ituartinya malas atau bosan. Dan kalau ada orang yang bosan, orang bisa bicara apa saja.Misalnya, “Apa bukan kamu yang kemarin mengganggu kakak saya di sungai?” Nah,untuk menghindari argumen atau pertengkaran seperti itu kita menyanyikan genjek,dan saat itulah kita merasakan persuasi muncul, “saya tidak punya uang, tidak punyapekerjaan, tidak punya masa depan”, dan kita meneriakannya dalam lagu. Kalauorang yang punya massa di rumahnya, kita selalu bisa melihatnya genjek. Dia bernyanyisekuat tenaga dan mencemplungkan diri ke dalam lagunya, ke dalam gerakan genjek-nya seperti yang baru kita dengar. Mereka tidak menggunakan lagu atau lirik khusus.

Jawaban-jawaban Gede itu secara tidak langsung membantu kita melihat dimensiteoretik dari genjek, supaya kita tidak melihat genjek hanya sebagai satu fenomenasastra lisan yang muncul pada akhir Orde Baru. Tapi justru kita melihat bagaimana

Page 78: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200076

dia mengisahkan birahi-birahi baru yang muncul antara masyarakat yang sedangdimobilisasi untuk kebutuhan pasar. Genjek menjadi kebutuhan mereka yang tidakpunya pendidikan, tidak punya pekerjaan. Birahi-birahi yang muncul pada tahun1990-an, saat Bali begitu kaya sementara masih banyak orang miskin terutama diwilayah Karangasem dan Jembrana. Pendekatan-pendekatan yang saya gunakan adalahpendekatan psikologis yang lebih banyak melihat bagaimana birahi harus selalumengambil obyek. Tapi birahi ini sedikit manja, tidak puas dengan obyek ini-itu danbisa mengambil apa saja menjadi obyek dan kapan saja. Birahi itu seperti mengambilkepuasan sebentar dengan membahas apa yang tidak bisa diperoleh, menyanyikanyang tidak bisa diperoleh, seperti perempuan yang diambil dan seperti lagu yangbaru saya ceritakan tadi.

Tapi sebaliknya juga kelihatan seperti mimpi buruk di mana birahiitu tidak dapat disentuh, tapi selalu dicari. Gegenjekan mengilustrasikandimensi-dimensi birahi atau pinggiran-pusat, militer dan sipil, elite dengankelas pekerja. Setelah tahun 1996-97 muncul lagu-lagu baru yangmengisahkan negara, militer, elite yang menolak terwujudnya birahipemuda-pemuda yang mencari kerja dan identitas pada akhir 1990-an.Saya akan bacakan syair lagu “Uya Tibum”:

Setiap sore I Galuh bergegas pergi menjajakan kue menyusuritrotoarBerkeliling gendong anaknya yang masih kecilAnaknya menangis melihat dagang mainanMau beli balon dengan boneka yang berbunyi

Sedang ramai orang berbelanja ada petugas yang datangI Galuh lari anaknya nangis di jalanDagangannya bergeletakan kena tendangPedagang mainan bergenggong tanpa bisa berontak

Pandang-pandang meletus balon semua “dar!”Lacur miskin anak ini, memang miskinKepung tibum dikejar tibumMaaf demi keamanan, kenyamanan dan keindahan

Seperti kita sadari pada akhir 1990-an di Bali banyak pasar senggolatau pasar malam yang ditutup untuk mewujudkan “sapta pesona”. Pasar-pasar dibersihkan untuk pariwisata supaya investor dengan modal besarbisa membuka “pesona” mereka kepada turis yang biasanya suka makandi senggol-senggol seperti itu dan berbelanja di pasar biasa. Jadi karenamereka tidak mendapatkan bisnis, mereka memaksa petugas untukmenutup pasar senggol dan pasar biasa. Saya pikir lagu ini cukup kayamenggambarkan bagaimana masuknya negara menyusup dalam

Page 79: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 77

kehidupan sehari-hari, pada pedagang biasa seperti I Galuh, yang mensimbolkandeflasi ekonominya. Juga deflasi balon yang ditaksir anaknya.

Jadi simbol-simbol seperti ini yang sering dinyanyikan dalan gegenjekan. Balonyang ditaksir oleh si anak mewakili pengempesan daya atau kemungkinan untukberhasil para pedagang di Bali pada waktu itu. Setelah Suharto turun tahun 1998gegenjekan mulai mengambil kelokan yang lebih radikal. Gegenjelekan pindah daribanjar ke posko PDI-P. Pada album “Genjek Direformasi, Hidup Mega!” kita mulaimelihat kritik terselubung menjadi lebih jagoan, dalam bentuk pecalang atau pemudabanteng yang punya lawan. Dalam bahasa Bali, “acung” atau menyombongkan diridengan sengaja, dengan tujuan tertentu dan obyek tertentu pula. Seperti lagu “Kali-kali zaman Orba”:

Ini cerita waktu zaman Orbabekas prajurit perang menjadi pejabatpejabat tinggi punya gigi taringpunya gigi, garis tangannya sangatlah berartitanda tangan sekali hasilnya jutaanorang punya uang teman berbisnisdan dari kelas rendah sampai punya Bakrielupa akan sumpah jabatannyapenting uang sogokanrambutnya semakin tipis, dompetnya semakin tebal.

Zamannya sekarang telah berubahzaman reformasi sekarang zaman perubahansalah tidak jujur sekarang dituntut mundurselesai saja ditindih dengan jabatanlebih baik pulang menghitung dosajangan lagi mengarang alasanbiarpun bagai mana semua tahujangan lagi mengulur-ulur waktudiri sudah tidak laku lagiserahkan jabatan fasilitasnya kembalikan

Saudara-saudara semua, rapatkan barisanjangan satu langkah kalian mundurpukul semua gendang untuk mengusir semuabudakala-budakala korupsi dan kolusi ini

Pemuda di Bali usia 17-20 tahun biasanya bertugas mengusirbuthakala-buthakala dalam upacara, seperti mengorbankan hewanuntuk memberi makan kepada buthakala supaya bisa terusir. Dia tidakbisa diusir begitu saja, tapi harus diusir oleh gendang, dan anak mudayang bertato, kekar dan gondrong itu yang mengusirnya. Simbol

Page 80: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200078

buthakala itu kemudian diganti dengan dimensi sosial politik yang sangat umumwaktu itu. Tapi bagaimana kita mengkaji anak muda yang melagukan perasaan danfrustrasi yang mereka rasakan waktu itu? Mungkin ada beberapa tafsiran yang sayapikir membantu kita untuk mengerti apa yang terjadi waktu itu. Saya melihat adapemisahan kelas, tapi ada juga masalah produksi dan konsumsi. Di Bali ada dua caramenyebut kotoran. Kata itu bisa berarti kotoran tapi bisa juga bunga dari uang. Jadikalau gegenjekan, kalau ada teman membuat lingkaran dan menyanyikan genjek merekamengganggap semuanya sama rata, walaupun ada yang dari kasta brahmana danyang lain lebih rendah. Semuanya sama rata, tidak ada tinggi, tidak ada rendah, danitu berarti sama-sama kotornya. Inilah cara untuk menunjukkan keakraban. Lalu,irama genjek itu datang dari mana sebenarnya? Kalau kita melihat laki-laki memotongdaging di banjar, irama pukulan pisau mereka persis seperti gegenjekan, tidak berpatokanpada gamelan Bali. Justru lagu-lagu itu mereka ciptakan secara spontan untukmenghilangkah lelah ketika bekerja bersama-sama, atau istilah Bali-nya, ngayah.

Sebenarnya uraian saya belum habis, tapi waktunya sudah habis. Saya kembalikansaja kepada moderator.

Moderator:Baik tadi kita mendengar pengantar tentang gegenjekan dan juga

mendengar beberapa contohnya. Latar belakang gegenjekan ini dijelaskan oleh Johndari segi psikologi, sebagai usaha kalangan tertentu untuk mengekspresikan kejenuhandan rasa frustrasi. Di samping itu gegenjekan digambarkan sebagai perlawanan terhadapapa yang disebut kebisuan, perlawanan terhadap wacana negara yang dipaksakan.Bali kita tahu digembar-gemborkan begitu kaya, namun kenyataannya banyak sekalikemiskinan. Produk dari situasi ini salah satunya adalah gegenjekan. Kita mulai diskusisaja, bagi yang punya pertanyaan atau komentar, silakan saja.

Peserta:Saya ingin minta penjelasan lebih lanjut dari John tentang hubungan

munculnya gegenjekan dengan politik pariwisata di Bali. Tadi sempatdisinggung tapi belum terlalu jelas. Kedua, saya jadi ingin tahu karenaJohn menyebut dua wilayah, Karangasem di Bali Utara dan Bali Timur,yang setahu saya memang daerah miskin. Di Karangasem banyak pura,tapi beda dengan pura di Bali Selatan. Kalau banyak pura di Karangasemyang jatuh miskin, apakah para pemuda yang lari ke Bali Selatan itu jugaberasal dari kalangan anak agung atau orang pura? Lalu, apakah Johnmelihat ada hubungan antara janger dengan gegenjekan?

John MacDougall:Hubungan antara gegenjekan dan pariwisata sudah mulai ada. Ada

grup gegenjekan yang mulai tampil di pentas dan digaji. Kedua, BaliTimur memang beda dengan Bali Utara, sejarahnya berbeda dan Bali-nya juga beda. Tapi soal kemiskinan di daerah itu, sulit kiranya dibedakan.Banyak orang dari timur pergi ke kota Denpasar dan mengundang

Page 81: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 79

keluarganya. Banyak yang juga pulang ke desa mereka, membangun pura dan rumahbesar. Tapi kalau di Culik, sedikit sekali seperti itu. Jusrtu banyak yang menjadiburuh atau pembantu di Denpasar lalu kembali ke desa untuk menikah dan menetapdi desanya. Biasanya ada proses seorang pemuda mencari uang supaya bisa pulang,membiayai pernikahan lalu menetap di desa.

Soal janger, saya kira memang ada hubungannya kalau melihat apa yang terjadipada genjek ketika mulai diakui oleh kalangan elite Denpasar. Misalnya kemudianmuncul lomba genjek, seperti lomba kesenian yang ada di mana-mana. Dan ini jugabagian dari pengkotakan gegenjekan. Sebelumnya tidak ada gegenjekan yang baku.Biasanya hanya ada penyanyi yang dianggap hebat karena improvisasi dan gayaspontan yang luar biasa. Tapi dengan adanya lomba gegenjekan seperti itu semuakelompok mulai dari Singaraja sampai Denpasar datang dan berlomba, tapi tidakboleh minum! Itu masalah. Jadi dari jam enam sore sampai jam sembilan pagi. Lumayankacau dan tidak terlalu rapi gerakannya. Mereka masuk ke ruangan pakai jangerdengan gerakan monoton yang robotik, lalu duduk dalam lingkaran atau dua barisan.Jadi yang kita lihat adalah tarian janger yang buruk karena laki-laki ini tidak pernahbelajar. Janger mulai diangkat lagi oleh Golkar lima tahun terakhir dan anehnyauntuk kampanye partainya. Dulu ada perlombaan janger antara PNI dan PKI yangsama-sama menggunakan wacana kepartaian dan gerakan robotik. Ada satu kelompokgenjek dari Singaraja yang hebat. Mereka berusaha masuk ke sekat-sekat yang sudahditetapkan juri, padahal sekat-sekat itu sesungguhnya membungkam improvisasimereka. Tapi mereka ikut dan taat pada syarat-syaratnya. Waktu masuk mereka pakaigerakan robot a la janger, gerak menghentak-hentak ke atas. Di satu sisi mengikutigerakan baku tapi sekaligus menyindir dan mengasingkan pengasingan seperti kitabicarakan tadi. Mereka menertawakan juri dan jurinya juga ikut tertawa. Di Balimemang ada kebiasaan raja membayar orang-orang untuk mengejek dan dia harusikut tertawa.

Nah soal puri-puri di Karangasem. Sebenarnya ada banyak puri diBali, ada puri pusat kemudian puri yang digeser dan sejarahnya cukuprumit untuk dijelaskan di sini. Tapi kalau puri Karangasem, yang pastikehilangan rajanya di Lombok. Karangasem menjadi lebih miskin danada sejumlah faktor sosial lain dan agak rumit. Misalnya kaum brahmanadi sana justru ikut partai-partai dari bawahannya dan ada banyakkeganjilan lain yang tidak bisa ditemukan di Bali Selatan. Memang untukdapat jawaban yang lebih memuaskan perlu melihat penelitian lebihlanjut di Karangasem. Soal anak agung yang ikut genjek. Banyak juga,dan memang mereka itu suka minum dan nyanyi. Kehidupan sehari-hari pun tidak banyak aturan, brahmana harus duduk di sebelah utaraatau timur. Mereka tidur bersama-sama yang lain, kecuali kalau upacara.Nah, itu lain lagi peraturan ruangnya. Mereka harus duduk sesuai aturanyang mereka tentukan dan masyarakat sekitarnya.

Page 82: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200080

Norman Sophan:Saya dulu juga menari Bali. Tadi John ceramah soal kegelisahan

masyarakat Bali dalam tembang. Pertanyaan saya, apa yang menyebabkankegelisahan ini? Apakah karena ada nilai-nilai yang hilang dalammasyarakat Bali? Apakah karena nilai budaya yang orisinal sudah tidakbisa didapatkan, karena semua sudah diperjual-belikan? Seperti kita lihatritual juga diperdagangkan dan jadi obyek wisata. Nah, apakah Johnsudah melihat ke sana? Kalau penelitiannya hanya di tahun 1980-ansaja, maka Bali-nya sudah tidak orisinal, tidak seperti Bali tahun 1965 kebawah.

Lalu, apakah John pernah ke Lampung melihat orang-orang Bali yangmerantau atau transmigrasi sebelum Orde Baru? Di Lampung itu adayang namanya kampung Bali, dan kita bisa coba bandingkan kesenian tradisionalBali di sana dengan yang ada di wilayah lain. Semacam studi perbandingan.

John MacDougall:Saya justru ingin mengurai rasa frustrasi dan kejenuhan, soal

pemisahan antara kalangan, kelas elite atau kelas menengah denganorang desa, padahal mereka berasal dari desa yang sama. Tapi ada yangbayar dengan uang, ada yang bayar dengan tenaga kerja. Saya pikir itupemisahan yang sangat mendasar dan sangat masuk akal kalau melihatkesejajaran upacara dan pariwisata yang sama-sama punya ekonomi.Ada ekonomi ritual dan ada ekonomi berdasarkan pertukaran,pengorbanan dan tenaga kerja yang disumbangkan bersamaan. Pentasdi panggung itu bukan wujud kesadaran mereka atas kewajiban ataukesadaran terhadap dewa-dewa dan banjar, tapi untuk mendapatkanuang. Uang itu memotong hubungan yang justru dirayakan kembalidalam gegenjekan. Kalau laki-laki yang ikut genjek pergi ke disko ataunyanyi lagu pop, atau ikut temannya ke tempat ABG kumpul, dia tidakakan diterima lagi oleh teman-temannya yang nyanyi genjek. Saya sempattanya kepada teman-teman di sana, “kenapa kamu segan meninggalkangenjek?” Jawabannya, “ya, karena kalau saya meninggalkan mereka, sayatidak punya apa-apa lagi.” Padahal dari segi kasta, mereka ini berbeda.Jadi ada ikatan yang dibangun dan mengikat.

Soal nilai-nilai yang hilang. Keaslian atau orisinalitas itu saya pikirsesuatu yang baru. Konsep keaslian sendiri modern dan romantis. Adalahpariwisata yang memunculkan dan menggunakan kata tradisi dan keaslianuntuk mengkotak-kotakkan bentuk kesenian atau gerak dalam seni.Memang ada tradisi lain yang hilang karena dilarang. Misalnya di abadke-19 istri raja masih melompat ke perapian dalam upacara ngaben ataupelebon, tapi kemudian dilarang oleh Belanda waktu itu. Ini sejarahnyapanjang dan ceritanya jauh ke belakang, dan saya pikir mungkin ada

Page 83: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 81

lagu gegenjekan yang merindukan praktek sosial semacam itu.Kalau soal Lampung, saya pikir ada banyak orang yang keluar dari

Bali, dari daerah asli mereka, dan menjadi lebih Bali di sana ketimbangwaktu masih tinggal di kampung halaman. Saya misalnya di Amerikatidak pernah makan hamburger, tapi di sini saya selalu cari hamburgerdi mana-mana. Orang yang pergi dari kampung halamannya seringkalipunya kerinduan seperti itu dan banyak citra yang membuat diaberpegang teguh pada kebiasaan keluarganya – sebenarnya kebiasaankeluarga yang dibayangkannya, belum tentu kebiasaan yang nyata ada.Itu terjadi di mana-mana, termasuk di Amerika. Kalau di Indonesia sayatidak tahu persis, tapi saya harap suatu saat bisa pergi ke Lampunguntuk menguji pikiran ini.

Peserta:Pariwisata sekarang tampaknya menjadi jawaban banyak negara

mengatasi krisis, antara lain karena didorong oleh lembaga-lembaga duniaseperti World Bank dan IMF. Bali adalah contoh yang menarik, dan sayapikir wilayah-wilayah pariwisata akan mengikuti jejak Bali ini. Dankekuatan pariwisata ini besar. Seperti ditunjukkan John tadi, gegenjekantidak muncul dari pariwisata tapi akhirnya dilibas juga. Nah, akargegenjekan ini sesungguhnya apa? Apakah karena ada pemuda Bali yangterasing oleh kemajuan ekonomi luar biasa yang dimotori pariwisata inikemudian mendorong munculnya gegenjekan?

Sebenarnya menarik juga kita diskusi tentang Indonesia yang sudahdibuat sedemikian romantis oleh pandangan-pandangan antropologiseperti ini. Berbicara tentang keaslian, identitas dan pandanganantropologis. Saya mau tanya ke John, apakah pandangan antropologiterhadap gegenjekan atau ekspresi budaya seperti itu bisa menjadi acuanuntuk program konservasi atau malah berkaitan dengan pengembanganpariwisata. Saya ingin John menjelaskan persoalan itu. Apakah gegenjekanyang nyleneh bisa juga jadi paket pariwisata?

John MacDougall:Sekarang ini banyak kelompok genjek yang pentas untuk Golkar

atau PDI-P. Terutama setelah gegenjekan dilombakan, dibakukan dandibuat standar-standarnya. Siapa pun sekarang bisa mengolahnya asalpunya uang, atau memanipulasi kecintaan pada partai. Kalau Bank Duniaitu mau melestarikan gegenjekan mereka akan pusing karena sifatspontannya. Dengan gaya dadakan dan gerak serta irama yang tidaklayak disuarakan apalagi direkam, genjek memang lebih cocok danbergema pada kaum pekerja kalau mereka kumpul di banjar. Itu musikyang punya suasana sendiri, seperti penyanyi yang saling menirukan,saling tantang di antara mereka yang punya suara bagus, interaksi dalam

Page 84: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200082

dialog, mengaktualisasikan perasaan dalam gerakan. Misalnya sekarang saya menggerak-gerakkan tangan seperti genjek, orang tidak tahu maksudnya apa. Tapi dalam suasanagenjek, orang bisa tahu bahwa ini gerakan orang marah, karena kita seperti larut dalamfrustrasi.

Sinal:Saya tertarik dengan cerita tentang gegenjekan yang bisa

mempersatukan kasta-kasta di Bali, paling tidak bersatu untuk menari.Kemudian saya lihat genjek ini bisa menggambarkan penindasan danjuga tentang pencarian yang begitu jauh. Nah, saya mau tanya. Ditingkatan seperti apa perlawanan terhadap penindasan yang dialami olehmasyarakat Bali di bawah kapitalisme itu terjadi? Bagaimana orang dariberbagai kasta itu bersatu melawan sistem yang sangat menindas mereka. Saya bukanantropolog, jadi melihatnya lebih dari sisi perlawanan yang muncul.

John MacDougall:Awalnya saya berpikiran seperti Anda, bahwa gegenjekan ini adalah

perlawanan terhadap negara, terhadap bermacam wacana dominan. Jadimirip dengan apa yang dikatakan James Scott mengenai weapons of theweak, perangkat kaum lemah untuk menyiasati sistem. Rakyat punyaprosedur atau cara untuk menghindari kekuasaan, menertawakankekuasaan dan membuat kekuasaan kelihatan konyol dan rendah.Gegenjekan biasa melakukan itu tapi tujuannya bukan untuk perlawanansemacam itu. Mereka tidak melawan seseorang atau melawan tibumyang menggusur tempat pedagang kakilima. Yang mereka sesali misalnyabalon meletus yang membuat anak kecil menangis, jadi soal mencarisesuatu yang hilang. Lalu cerita tentang orang bekerja di Denpasar tapisebelum dapat uang dia sakit dan harus pulang, atau cerita tentang or-ang beli tanah yang akhirnya diserobot investor sehingga terpaksatransmigrasi. Menurut saya ini bukan suatu perlawanan, tapi lebih sebuahungkapan untuk menampung perasaan masing-masing untuk sementaradalam rasa pusing, mabuk atau senang dan bahagia. Setelah itu merekatetap kembali seperti semula.

Soal perbedaan kelas, saya pikir tidak gamblang tampak di Bali. Kitatidak bisa membuat pembedaan antara kelas menindas dan kelas yangditindas dengan mudah. Tidak bisa misalnya dengan memisahkan kelasyang bekerja di banjar dan yang tidak kerja di banjar. Dan saya pikirbanyak orang yang tinggal di kota dan jadi pembesar tidak berpikirbahwa mereka itu menindas dan memang mungkin tidak menindas. Disinilah uang menjadi penting. Uang itu dipakai untuk memisahkanhubungan antara diri mereka dengan kelompok yang mengikat. Dan itudilakukan bukan dengan sengaja. “Saya pakai uang ini untuk memotonghubungan, lalu menjadi penindas,” bukan begitu pola pikirnya. Banyak

Page 85: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 83

orang yang kirim uang ke desa, memotong hubungan itu, justru karena mereka tidakmampu. Ada yang karena memang statusnya sudah merasa tinggi, ada juga yanggengsi untuk kembali. Nah, dalam konteks gengsi dan status ini memang ada unsurkesengajaan memotong hubungan dengan desa. Tapi itu akibat dari akumulasi uangyang memisahkan orang dari tenaga kerja yang mesti dilakukan di banjar. Soalperlawanan, saya kadang berpikir bahwa perlawanan itu kadang-kadang hanyamembuat yang dilawan itu kelihatan makin hebat, padahal sesungguhnya hanyaorang biasa. Kalau kita anggap gegenjekan ini perlawanan, maka negara ini tampaknyaseolah-olah begitu hebat, dan setelah dilawan dengan genjek malah semakin hebat.Saya pikir itu tidak terjadi. Orang genjek melakukannya bersama-sama, dan tidakperlu negara untuk menjadi lebih kuat.

Peserta:Menurut John gegenjekan itu bukan perlawanan tapi semacam pelarian

dari kehidupan sehari-hari. Semacam gerakan meninggalkan dominasinegara, dengan kata lain negara dicuekin. Makanya pakai mabuk segalasehingga gegenjekan sifatnya sementara saja.

Peserta:Saya belum mengerti betul tentang gegenjekan ini, tapi hanya bereaksi

terhadap musik yang diperdengarkan tadi. Menurut saya musik ini kalauditata akan bagus juga dan sangat komersial. Kalau dibuat video-clipmalah jadi komoditi yang laku. Saya ingat ketika Bill Frederick bikinpenelitian tentang dangdut tahun 1982. Kebetulan saya sedang bikinfilmnya Rhoma Irama, “Satria Bergitar”. Di situ diperlihatkan bahwadangdut memang musik pinggiran, tidak mungkin masuk televisi apalagihotel. Orang dangdut merasa tersisih dan berusaha melawan orang popdan rock. Tapi sekarang terbalik, semua televisi maunya dangdut danprosedur kaset bilang yang untung cuma musik dangdut. Kalau BillFrederick bikin penelitian lagi sekarang maka tentu kesimpulannya akanberubah. Dangdut bukan lagi musik pinggiran tapi sudah menjadi musikyang in. Acara “Joged” di RCTI mengemas dangdut sekarang sepertiorkestra.

Saya kembali kepada gegenjekan. Katanya orang PDI-P di banjar-banjar juga banyak yang menyanyikannya waktu itu. Memang waktu ituPDI-P dikejar-kejar, tapi sekarang PDI-P sudah memerintah, berartimenjadi penguasa. Bukan sebagai korban yang menderita, tapi malahmenciptakan penderitaan bagi orang lain. Jadi saya pikir gegenjekan itujuga akan berubah, apalagi kalau ada yang mengelola promosinya.Mungkin John ini yang akan promosi sampai ke Amerika. Andasebenarnya harus membuat perhitungan juga bahwa lima tahun lagimungkin analisis itu sudah tidak sahih lagi. Mungkin genjek yang tadinyapakai tuak, lima tahun lagi sudah pakai Johnnie Walker.

Page 86: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200084

John MacDougall:Ini pertanyaan menarik sekali. Waktu kami membuat film, sebenarnya

bukan hanya gegenjekan yang disorot tapi juga musik undergrounddan death metal. Keduanya jauh sekali dari gegenjekan. Di sana yangpaling penting adalah indylabel, artinya tidak diterbitkan oleh produserbesar tapi membuat label sendiri dan menjualnya melalui pasar bawahtanah. Dan menariknya mereka ini kadang menyanjung setan. Lalu sayabilang, “kalian ini pemuja setan”. Tapi mereka jawab: “Tidak, kami inimasih sembahyang.” Jadi bukan pemuja setan lokal tapi setan global. Merekamemotong kelinci waktu pertunjukan, tapi bukan untuk setan. Itu adalah tandapenghormatan terhadap grup yang sama di Finlandia yang mereka ikuti lewat internet.

Soal PDI-P, saya pikir memang menarik seperti yang Anda sebutkan tadi. Buatsaya gegenjekan itu bukan perlawanan terhadap orang-orang yang bikin masalah dinegeri ini, tapi kalau mau ditinjau dari sudut politik mungkin lebih semacamkonsolidasi masyarakat Bali. Jadi ada unsur penyadarannya juga. Kalau kita lihatteksnya, jelas ada perlawanan terhadap politik praktis di Jakarta: lupa sumpah jabatan,pentingnya uang sogokan, rambut semakin tipis dompet semakin tebal. Lalu adabekas prajurit yang jadi pejabat. Itu jelas perlawanan terhadap negara, lebih tepatnyakebudayaan negara.

Gegenjekan bagi banyak antropolog yang memfokuskan perhatiannyapada komodifikasi budaya, sering lupa pada mobilisasi masyarakat yangterjadi dalam masyarakat. Lupa pada apa yang mereka rasakan danbagaimana cara mengungkapkannya dalam bentuk sehari-hari. Daripendekatan teoretik yang mengikuti perkembangan postmodernismsemua image itu didekonstruksi dan lupa bahwa di baliknya ada semacamgerakan juga. Banyak antropolog hanya melihat perlawanan-perlawananterhadap komodifikasi. Di sini saya tidak menyindir perlawanan tapijustru menyindir para peneliti yang terlalu mencari-cari perlawanan itu,dengan melihat apa yang paling sederhana yaitu apa yang dilakukanorang genjek, apa yang mereka sindir dan apa yang mereka tidak puas,dan dari mana mereka mencari penghidupan dan bagaimanapenghidupan itu membentuk pengungkapan, bahasa. Gerakan tubuhjuga menjadi penting. Memang kalau diterjemahkan ke dalam bahasaIndonesia, kelihatannya dangkal, dan hanya berlaku untuk orangsetempat. Tapi saya sendiri belum puas dengan pemahaman sejauh ini.

Moderator:Baik, karena waktunya sudah habis dan uraiannya juga sudah ditutup

dengan sangat jelas oleh John, maka saya akhiri diskusi ini. Hal menariktadi adalah cara pandang John tentang antropologi yang melihat ekspresibudaya di Bali. John sadar betul bahwa Indonesia, dan khususnya Bali,sudah diromantisasi oleh antropologi, dan berusaha untuk menyiasatinya.

Page 87: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 85

Page 88: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200086

Moderator:Kita mulai saja. Dalam diskusi kali ini kita beruntung dapat narasumber

dari Palu yaitu Bung Gaffar, yang nanti akan memperkenalkan diri sendiri.Tema kita malam ini adalah “Krisis pengungsian di Indonesia dan politikbantuan”, khususnya berdasar pengalaman di Palu. Di samping itu jugaada Fay di sini yang akan menyinggung masalah politik bantuan. Mungkinkita sudah tahu bahwa gelombang pengungsian di Indonesia demikianbesarnya sampai pemerintah sendiri kewalahan atau angkat tangan dankemudian hanya mengharap bantuan dari luar negeri. Nah, hal ini yangmembuat banyak organisasi internasional datang berlomba-lomba dengankonsep dan kepentingannya sendiri-sendiri. Pengalaman di lapanganmencatat bahwa kehadiran organisasi semacam ini justru menciptakankrisis dan konflik baru. Baik konflik di antara organisasi-organisasi itusendiri maupun juga konflik di kalangan pengungsi, karena ada gejalabantuan justru menjadi dukungan logistik bagi mereka yang bertikai.Bantuan itu selanjutnya juga memperpanjang rantai kemiskinan danmelemahkan masyarakat menghadapi krisis. Saya pikir itu saja

Krisis Pengungsian dan Politik Bantuan

25 AGUSTUS 2000

Narasumber: Abdul Gaffar, Kepala RT Kampung Nunu, Palu, Sulawesi Tengah.Moderator: Alit Ambara.

Gelombang kekerasan di seluruh Nusantara selama beberapa tahun terakhirtelah melahirkan kategori baru dalam masyarakat, yakni pengungsi. Namunberbeda dari gambaran umum tentang pengungsi, di Indonesia rakyatdipaksa menjadi pengungsi di atas tanahnya sendiri. Kekerasan negaraadalah salah satu penyebab utama, termasuk dalam konflik-konflik yangdianggap horisontal antarwarga. Di tengah kekacauan muncul industribantuan dengan lembaga-lembaga dan sebagai ujung tombaknya yangsepintas terlihat membantu, tapi setelah diperiksa lebih lanjut seringkalimematikan kreatifitas dan daya tahan masyarakat sendiri. Abdul GaffarKarim, pekerja kemanusiaan dari Palu yang juga ketua RT, membagipengalamannya menangani pengungsi di kotanya. Mereka tidak hanyamengulurkan tangan membantu yang susah tapi juga memikirkan caraefektif untuk membantu para pengungsi bangkit sebagai manusia danmenyelesaikan konflik laten dalam masyarakat. Sebagian peserta yangkebetulan ikut menangani pengungsi di berbagai daerah ikut meramaikandiskusi dengan membagi pengalaman masing-masing. Tidak banyakperdebatan karena umumnya orang setuju dengan apa yang dikatakanPak Gaffar, tapi diskusi itu membantu orang melihat persoalan denganjelas dan rinci, terutama mengenai watak industri bantuan yang sepintasnampak seperti “malaikat”, tapi dalam kenyataan sangat bermasalah.

Page 89: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 87

pengantarnya, dan kita langsung ke Bung Gaffar.Abdul Gaffar:Terima kasih. Sebelumnya saya memperkenalkan diri. Nama saya

Abdul Gaffar Karim, asal Palu. Saya dari sebuah kelompok swadayalokal di Palu yang menangani pengungsi asal Poso. Kita tahu bahwapada awal Mei 2000 terjadi kerusuhan di sana dan masyarakatnya eksoduske berbagai tempat. Di hampir seluruh Sulawesi sekarang ada pengungsidari Poso, termasuk di Sulawesi Tengah. Untuk kotamadya Palu dankabupaten Donggala, jumlah pengungsinya sekitar 10.000 jiwa. Merekaditangani oleh pemerintah, tapi ada juga yang ditangani oleh masyarakatsendiri. Kalau yang ditangani pemerintah tempatnya ada dua, di gedungolahraga dan stadion Sulawesi Tengah. Sementara yang ditanganimasyarakat tersebar di empat kecamatan kotamadya Palu. Kalau dikecamatan Palu Barat, jumlahnya ada sekitar 18 kelurahan.

Yang bisa saya sampaikan kepada bapak dan ibu di sini adalahpenanganan pengungsi oleh masyarakat di kelurahan Nunu. Di sanaada sekitar 320 pengungsi dewasa, anak-anak dan perempuan. Latarbelakang penanganan swadaya ini adalah petaka kemanusiaan dikabupaten Poso yang telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kemanusiaankita. Masyarakat secara spontan ikut berperan menangani pengungsi.Masyarakat Nunu sendiri beranggapan bahwa pengungsi adalah tamuyang perlu mendapat bantuan moral dan spiritual. Semua elemenmasyarakat terlibat di sini. Sebelum ada eksodur besar-besaran, kamidari warga kelurahan Nunu sudah sepakat untuk menanggulangi.Pikirannya, jangan sampai kerusuhan ini merebak ke kotamadya Palu.Kita coba mempelajari sebab terjadinya kerusuhan dan kesimpulanpertemuan-pertemuan kami bahwa sebenarnya kerusuhan Poso ini bukanmasalah SARA atau agama, tapi perebutan kekuasaan. Jadi ada elite sipildan militer yang bermain di sini. Dengan latar belakang ini kami mulaimembentuk panitia, disebut Panitia Peduli Pasca Kerusuhan.

Gelombang pengungsi pertama datang awal Juni 2000. Kita mulaidengan pertemuan-pertemuan kecil di lingkup RT masing-masing, disetiap kelurahan. Di kelurahan Nunu ada sekitar 27 RT dan enam RW.Nah, tokoh dari masing-masing RT, maksudnya ketua RT dan parapembantunya serta tokoh masyarakat, tokoh agama dan perempuan kitaundang untuk membicarakan masalah pengungsi ini. Diskusi berkembangmenjawab pertanyaan bagaimana mengatasi pengungsi yang ada di sini.Dari mana kita mulai, bagaimana caranya? Itulah pertanyaan-pertanyaanyang harus kita jawab. Kita juga berusaha menepis isyu yang kencangberedar di Palu sendiri, seperti selebaran gelap dan sebagainya. Adaselebaran yang katanya diterbitkan di Salatiga. Kalau selebaran di

Page 90: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200088

kalangan Islam isinya menjelek-jelekkan orang Kristen. Lalu di kelurahan Mahesayang mayoritas penduduknya beragama Kristen, dibuang selebaran yang menjelek-jelekkan orang Islam. Tapi syukurlah, warga kelihatannya mulai sadar dan tidakterpancing dengan isyu murahan yang dibuang oleh orang-orang tidakbertanggungjawab.

Dalam kepengurusan juga ada beberapa pembina dari tokohmasyarakat. Di Palu kami melibatkan bupati Donggala. Beliau ini berasaldari kelurahan Nunu, jadi kami angkat sebagai pembina tapi dalamkapasitas sebagai tokoh masyarakat. Lalu ada imam masjid di kelurahan,Pak Kamaluddin, yang kami angkat sebagai penasehat. Ada teman-temanyang beragama Buddha, Pak Rudi Chandra, lalu dari kalangan Kristenada John Mela. Semuanya kita angkat sebagai pembina. Kami juga libatkantokoh perempuan dalam kepengurusan.

Kemudian ada peran keluarga-keluarga di sini. Setelah rapat disepakatibahwa warga wajib menyumbang satu liter beras setiap minggu danuang tunai Rp 500 setiap bulan. Itu sumbangan wajib. Sumbangansukarela bisa berupa beras, susu untuk balita, dan pakaian yang masihlayak. Itu yang kemudian dikumpulkan di satu posko yang sudah diatursebelumnya. Setelah terkumpul ada divisi yang bertugasmendistribusikan, namanya divisi distribusi. Ada juga semacam timrelawan yang terdiri dari ibu-ibu di setiap RT. Jadi di setiap RT itu adalima relawan perempuan, tinggal dikalikan 27 jadinya ada 135 relawanibu-ibu yang setiap minggu membagikan bantuan warga ke pengungsi.Itu berlangsung selama satu bulan. Selanjutnya adalah langkahpemberdayaan pengungsi itu.

Setelah kami data ternyata pengungsi itu kebanyakan petani. Kaumibu juga punya keahlian menjahit dan membuat kerajinan tangan bolatakraw. Ada juga yang membuat kerajinan dari kayu ebony atau kayuhitam. Petani kami bantu agar bisa menanam sayur, dan ada yangbekerjasama dengan warga mengolah kebun sayur, menanam tanamanjangka pendek atau holtikultura. Perempuan yang punya keahlianmenjahit kemudian diberi tempat strategis yang mudah dijangkaukonsumen. Kalau di Palu itu kita tempat di Pasar Inpres Manonda,sebenarnya pasar terbesar di Palu Barat. Di situlah mereka bekerjamenjahit. Para petani biasanya disebar di setiap RT yang warganya jugapetani sayur. Di situlah kita mulai membuat kripik pisang, ubi dan lain-lain. Kalau ada yang sakit kita coba lobby ke rumah sakit dan memasukkanmereka ke sana.

Nah, untuk anak-anak sekolah – mulai dari TK sampai SMA – kitamenghubungi sekolah-sekolah terdekat dengan tempat pengungsian.Jadi mulai dari TK sampai SMA kita coba tangani ditambah pendidikan

Page 91: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 89

alternatif. Untuk ibu-ibu setiap malam Jumat – khususnya yang beragama Islam –ada ceramah agama, sementara yang Kristen kalau hari Minggu ada sekolah minggu.

Baik, mungkin itu dulu yang bisa disampaikan.Moderator:Terima kasih. Kita bisa lanjutkan dengan diskusi yang intensif, karena

sebelum acara dimulai sudah ada permintaan dari Manado agar hasilnyacepat-cepat dikirim.

Sentot:Saya pikir ada yang dilewatkan Pak Gaffar tadi soal kelurahan Nunu.

Kelurahan ini kalau di Jakarta mungkin seperti Manggarai yang kerjanyaberkelahi terus. Jadi kalau ada maling masuk ke daerah itu, polisi nggakberani masuk karena pasti akan dihajar habis-habisan. Jadi tidak adaistilah benar atau salah, pokoknya yang masuk ke sana akandipertahankan. Nah, ketika meledak kerusuhan Poso, provokasi di sanajuga luar biasa seperti terlihat dari cerita tentang selebaran itu. Parapemuda, sekalipun nggak taat-taat banget beragamanya, ketikadiprovokasi langsung ambil pedang dan sebagainya.

Ada juga orang yang kemudian termakan provokasi, lalu bilang “oke,kita berangkat perang jihad.” Tapi sebelum berangkat mereka mau latihanbela diri dulu. Jadi mereka kumpul dan dikatakan pendaftarannya adadi kelurahan Nunu. Jadi seluruh pemuda mendaftar ke sana. Dan ketikasampai di sana sudah ada satu-dua orang yang belajar senjata rakitan.Tapi ada juga yang memberikan informasi tentang apa yangsesungguhnya terjadi di Poso sehingga akhirnya pemuda mulai berpikir.“Oh, berarti kita mati konyol kalau berangkat ke sana.” Akhirnya semangatjihad tadi langsung dibelokkan oleh Pak Gaffar dan beberapa tokohmasyarakat, untuk mengurus pengungsi. Pak Gaffar sebagai ketua RTkemudian menggunakan posisinya untuk mengambil prakarsa tersebut.Dia menekan tokoh-tokoh masyarakat lain untuk membuat panitia itu.Saya pikir ini juga penting untuk ditambahkan, yakni bagaimana bersikapterhadap provokasi yang luar biasa. Bagaimana mengolah semangatkekerasan menjadi non-kekerasan.

Moderator:Saya kira perlu juga diceritakan tentang mekanisme RT. Terlihat dari

uraian tadi bahwa pengorganisasian masyarakat sangat epnting. Tapisaya kurang tahu seperti apa sistem RT di sana, mungkin lebih kuat dariapa yang kita kenal di Jakarta ini. Atau memang ada sesuatu yang khasdari wilayah Nunu itu?

Abdul Gaffar:Kalau dibilang khas, mungkin pemilihan RT itulah. Di sana kita

praktekkan demokrasi langsung. Jadi masyarakat memilih langsung ketua RT-nya.

Page 92: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200090

Orang menentukan kriterianya sendiri dan melihat calon-calonnya langsung. Kedua,soal kelurahan Nunu yang memang punya karakter berbeda. Masyarakat di sanasangat solider dari dulu sampai sekarang. Apa yang dikatakan Sentot memang benaradanya. Di zaman Permesta banyak orang Tionghoa yang mengungsi ke kelurahankita. Dan kalau sudah mengungsi ke sana orang luar tidak akan pernah ganggu. Itujelas aman. Di desa Nunu memang persatuannya kuat. Tidak peduli salah atau benar,dipertahankan dulu. Tidak sembarang orang bisa bikin keributan di sini. Jadi misalnyakalau ada orang Nunu yang keluar bikin ribut, orang luar jangan coba-coba langsungmasuk ke Nunu. Warga pasti akan membela dulu. Maksudnya bukan membela yangsalah tentunya, tapi jangan bikin ramai-ramai. Warga harus tahu kenapa orang kitasampai dicari-cari, begitulah.

Di kalangan perempuan pun begitu. Sayang sekali Erliny tidak adamalam ini, saya banyak keliling ke lapangan dengan dia. Untuk bikinpertemuan kita tidak perlu bikin surat, tapi cukup diumumkan lewatgereja atau vihara, kemudian masjid. Kita umumkan akan ada diskusidengan Tim Relawan dari Jakarta, semua orang kumpul. Di sekolah-sekolah pun begitu. Ibu-ibu, bapak-bapak dan anak muda akan datang.

Moderator:Uraiannya menarik sekali, jadi ada kaitannya dengan demokrasi dan

pengorganisasian masyarakat. Silakan kalau ada kawan yang punyapertanyaan. O ya, sebelum itu. Apakah dalam pengorganisasian itu,masyarakat Nunu pernah didatangi organisasi kemanusiaan dari luaryang misalnya menawarkan uang atau bagaimana?

Abdul Gaffar:Ya, ada juga yang datang dari Oxfam kalau tidak salah. Ada tiga

orang yang datang, dua dari Jogja dan satunya lagi dari Bangladesh.Mereka tawarkan kepada panitia untuk kerjasama soal sanitasi. Tapianehnya Oxfam ini malah meminta apa yang sudah dikerjakan masyarakatdengan swadaya lokal ini, harus dihentikan. Sebagai ketua panitia sayabilang, “kalau begitu, lebih baik nggak usah. Masyarakat masih bisamengatasi ini.” Sayang sekali kalau tatanan yang sudah bagus beginidiubah lagi hanya karena mengikuti kemauan Oxfam. Saya sampaikanjuga soal ini kepada warga, dan jelas-jelas ditolak. Ada juga partai politikyang masuk seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan. Merekadatang untuk merekrut pasukan jihad katanya [tertawa]. Lho, ini lebihsusah lagi. Kita saja sudah susah-payah meredam anak-anak muda yangpunya semangat jihad, malah datang lagi orang menambah-nambahmasalah. Saya secara tegas menolak permintaan itu. Lalu mereka datanglagi untuk minta data-data pengungsi. Saya tolak juga karena pengungsi di sanabukan hanya orang Islam tapi ada juga yang Kristen. Mungkin mereka mau mintadata untuk bikin provokasi lagi, saya kurang tahu.

Page 93: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 91

Moderator:Memang masalah pengungsi sekarang kelihatannya menjadi prioritas

bagi banyak LSM internasional. Mereka terlibat mengurus pengungsi diKosovo, Timor Lorosae dan tempat-tempat lain. Anehnya yang merekabuat itu semacam refugees haven yang malah mengisolasi pengungsidari masyarakat sekitar, semacam kamp begitulah. Sehingga pengungsikemudian lepas dari persoalan negara atau tempat asalnya. Ini kita lihatterjadi di Australia dan beberapa negeri maju lainnya. Apa yangdiceritakan Bung Gaffar sangat menarik, karena pengungsi justru diurusoleh masyarakat sendiri. Di Jakarta juga ada “usaha masyarakat”, misalnyapengumpulan dana melalui media massa, kantong kemanusiaan dansebagainya. Tapi semua itu sebatas karitatif, tidak ada unsurpengorganisasian rakyat di sana.

Agung Putri:Saya ingin tahu rencana selanjutnya dari Bung Gaffar dan teman-

teman di sana seperti apa? Apakah terbayang bahwa pengungsi akantinggal lama di sana? Lalu, apakah ada masalah khusus yang munculkarena bagaimanapun orang-orang itu tercerabut dari tempat asalnya?Lalu, kira-kira antisipasinya seperti apa dan rencana ke depan sepertiapa? Sekarang sudah berlangsung satu bulan dan mestinya Bung Gaffarsudah bikin semacam evaluasi atau refleksi atas kegiatannya selama ini.Saya ingin tahu bagaimana bayangan teman-teman di sana tentanghubungan pengungsi dan masyarakat selanjutnya.

Abdul Gaffar:Keadaan di Poso sekarang parah sekali. Semua infrastrukturnya

hancur. Rumah-rumah habis dibakar dan tempat kerja seperti ladangdan sebagainya, tanamannya habis dibabat. Sebenarnya pengungsi inginkembali tapi syaratnya Poso harus betul-betul aman dan infrastrukturharus dibangun kembali. Dengan keadaan Poso seperti itu mungkinwaktu yang diperlukan agak lama. Memang ada efek negatif untuk wargasendiri, tapi banyak juga positifnya. Efek negatif misalnya ceritapengalaman pengungsi yang bisa membuat orang terhasut begitulah.Tapi kami dari panitia sudah bisa mengenali orang-orang yang seringmembakar kemarahan seperti itu. Yang penting kita meyakinkan anak-anak muda di kampung yang bersemangat jihad untuk tidak melakukankekerasan. Itulah masalahnya. Tapi secara umum saya pikir yang lebihkuat justru hubungan harmonis antara pengungsi dan warga. Misalnyapengungsi yang rata-rata berasal dari Jawa punya keahlian kemudianmembantu warga dan sebaliknya. Jadi ada pertukaran ketrampilan begitulah.

Hal lain di kelurahan Nunu itu anak muda hidupnya “malam dijadikan siang,siang dijadikan malam”. Nah, setelah ada pengungsi ada perubahan juga. Anak-anak

Page 94: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200092

muda melihat pengungsi rajin kerja semuanya dan juga banyak dapat duit. Pelan-pelan ada perubahan pola pikir di kalangan muda di sana. Begitu juga untuk ibu-ibunya. Ada banyak ketrampilan yang dimiliki dan terjadi saling tukar informasi.Mereka mulai tahu caranya bikin keripik buah, padahal tadinya hanya tahu bikinkeripik dari ubi kayu. Jadi banyak ilmu baru yang mereka dapatkan dari hubunganitu.

Dari segi keamanan, pengungsi dengan sadar ikut dengan wargasetempat melakukan ronda. Di setiap RT ada pos ronda simpatik yangtidak akan mengganggu orang-orang yang lewat. Kalau sudah lewatjam satu malam, kita pagari dan secara selektif kita tanyai tamu-tamuyang lewat. Masalahnya memang karena di Palu sudah banyak provokatoryang jalan. Di Al-Khairat misalnya ada orang yang sengaja datangmengirim makanan yang dicampur racun. Untung saja satpam di situteliti, kue itu dilemparkan ke ayam dan ternyata ayam itu mati semua.Itulah alasannya mengapa kami membuat ronda-ronda semacam itu. Disamping itu kita juga merahasiakan titik-titik pemukiman pengungsi dikelurahan agar tidak mudah diganggu oleh orang lain.

Oey Hay Djoen:Saya pikir ada baiknya kalau Gaffar ini bisa mengidentifikasi sumber

konflik di Poso. Saya pikir itu perlu betul-betul dibuat sebab sampaisekarang tulisan yang ada tidak pernah bicara tentang sumber konfliknya.Jadi semua ini seakan-akan hanya “konflik horisontal”, antara rakyatdengan rakyat. Padahal kalau dengar keterangan tadi kan, jelassumbernya bukan rakyat dengan rakyat. Jadi supaya kita ini jelas bahwayang terjadi sekarang bukanlah konflik horisontal. Dan kekuasaan inisenang sekali kalau kita berpikir ini konflik horisontal. Rakyat salingbunuh dan mereka bisa lolos. Kedua, saya pikir ada beberapa hal yangbisa dikembangkan di masa mendatang, misalnya untuk keamanan danpembangunan ekonominya. Sekarang pengungsi sudah bersamapenduduk sipil dan mengurus diri sendiri. Saya kira ini perlu betul-betul ditangani sehingga ketika pengungsi kembali juga bisa tetapmengurus diri-sendiri. Bukan hanya dalam bidang ekonomi ya, tapi jugasampai pada keamanan. Ini kan sebetulnya jawaban bagi masalah dinegeri kita ini, yaitu rakyat mengurus dirinya sendiri. Dan itu harusdirebut, tidak bisa kita tunggu jatuh dari atas. Nah, kalau bisa tolongdisiapkan bahan lalu kita cari media yang bisa menjadikan pengalamanitu sebagai pengetahuan umum. Sederhana saja, tentang bagaimanapenduduk Palu membantu pengungsi bukan hanya dengan semangat charity, tapimembuat pengungsi bisa mengurus diri sendiri. Saya kira ini penting sekali.

Abdul Gaffar:Ya, memang proses seperti itu, Pak. Dari 320 pengungsi sekarang ini

Page 95: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 93

hanya sisa 24 orang yang rutin dibantu pangan dan sandangnya. Masalahnya merekaini adalah petani coklat yang tidak bisa menanam sayur setelah sampai di tempatpengungsian. Nah, untungnya tempat mereka tinggal sekarang ini adalah pengrajinbola takraw, jadi akhirnya mereka mulai belajar menganyam bola takraw. Kalau petanilainnya kita bantu membuat bedengan. Itu cuma soal waktu saja.

Soal identifikasi sumber konflik. Kami di sana bekerjasama dengan teman-temanLSM. Kebetulan ada LSM Bantaya yang kantornya di kelurahan Nunu. Merekayang membantu warga mengidentifikasi sumber konflik tadi. Jadi ada yang menanganipengungsi, ada yang bikin investigasi tentang penyebab kerusuhan. Sudah adapembagian tugas begitulah. Sebenarnya Bung Dedy yang juga diundang malam initapi tidak bisa datang yang menangani. Saya sendiri tahu juga sedikit-sedikit, dankalau diperlukan saya bisa cerita juga.

Moderator:Kemarin saya dapat e-mail dari Manado yang minta hasil diskusi

dikirim ke sana, karena kawan-kawan itu juga sedang kebanjiranpengungsi. Mereka juga tahu bahwa ini bisa jadi lahan atau proyekgarapan banyak LSM serta pemerintah daerah. Nah, hasil diskusi malamini akan kita kirim ke sana juga agar kawan-kawan itu bisa menyusunstrategi lebih baik menghadapi masalah yang ada. Mungkin ada gunanyapengalaman di Palu diterapkan di Manado. Baiklah, saya persilakanteman-teman yang punya pertanyaan atau komentar.

Rusdi Marpaung:Saya hanya ingin tahu keadaan terakhir konflik di sana seperti apa?Abdul Gaffar:Di Poso masih terus ada pertikaian dan masyarakat masih mengungsi.

Di sana ada kelompok merah dan kelompok putih. Belakangan sayadengar keadaannya mulai tenang, tapi saya pikir itu ketenangan yangsemu. Maksudnya semu karena sementara ini ada aparat TNI dan Polridi sana. Mungkin jumlah aparat ini lebih banyak daripada orang yangsebenarnya bertikai. Sebelum berangkat ke sini saya dengar bahwamasyarakat asal Poso mulai dipaksa kembali, karena katanya sudah adaTNI dan Polri. Sayangnya saya belum sempat diskusikan masalah tersebutdengan warga Nunu.

Fay:Ya, saya tidak bicara tentang Palu, tapi soal krisis pengungsi secara umum yang

terjadi di seluruh Nusantara. Pengungsian itu sebenarnya salah satu cara pendudukmenghindari masalah. Kalau ada keributan orang cepat berkesimpulan, “lebih baikmengungsi dan menunggu keadaan aman”. Orang yang bersikap begini semakinbanyak jumlahnya, dan kita nggak bisa bicara pengungsi seperti misalnya dalambencana alam. Diurus sebulan, daerahnya tenang, lalu kembali lagi. Kita lihat sekarang

Page 96: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200094

kekerasan terus-menerus terjadi dan orang juga terus-menerus mengungsi. Hal iniantara lain karena seperti yang diceritakan tadi, pengungsi juga didatangi partai danorganisasi yang mau memperluas konflik.

Dari catatan-catatan tentang Palu ini, kebetulan saya baca juga soal Aceh dan lihatsendiri pengalaman Timor Lorosae, nampaknya ada kaitan antara krisis pengungsianini dengan krisis yang lebih luas. Tapi orang cenderung ambil jalan pintas untukmencari penyelesaian. Saya ingat persis waktu Mei 1998 di Jakarta, orang bereaksimembentuk pertahanan swadaya seperti yang dibuat Bung Gaffar dan teman-temandi Palu. Tapi ada juga yang cari gampang, misalnya dengan menyewa marinir, Kostraddan aparat lainnya. Sepertinya nggak ada inisiatif dari warga untuk bikin sesuatu.Nah, itu bukan jalan keluar.

Kembali soal krisis pengungsian dan krisis yang lebih luas. Saya pikirkarena kondisi ekonomi yang buruk, semakin banyak orang yang akanterseret dalam kekerasan berkelanjutan ini. Di Maluku misalnya kekerasanmenciptakan persoalan luar biasa dalam kehidupan ekonomi. Orangtidak mudah menyelesaikan masalahnya dengan damai-damai begitusaja. Dan akibatnya akan banyak orang yang terpaksa masuk dalamkonflik. Mereka yang punya duit cukup katakanlah, mungkin bisamenghindar dan menunggu situasi reda. Mereka baru ribut kalaukekerasan sudah masuk pekarangannya sendiri. Nah, sekarang ini dalamsituasi krisis ekonomi banyak orang yang sudah nggak punya pekaranganlagi. Artinya setiap konflik akan langsung terasa di badan dan memaksadia untuk terlibat. Tidak ada lagi “zona aman” tempat dia bisa berlindung.Kalau kita percaya data statistik bahwa 40 juta orang hidup di bawahgaris kemiskinan, maka inilah jumlah orang yang potensial terlibat dalamkonflik. Sedikit saja gangguan, bisa meledak. Sikap kelas menengah“ya, terserahlah mau bunuh-bunuhan, asal jangan di daerah gue”, nggakberlaku buat mereka. Karena mereka nggak punya daerah. Jarak antarabadan dan masalah itu begitu tipis.

Hal lain yang menurut saya penting adalah apa yang terjadi setelahorang mengungsi. Apa yang terjadi misalnya pada pemilikan tanah diPoso setelah ditinggalkan sebagian besar penduduknya? Saya ingin dengar cerita soalini dari Bung Gaffar. Perubahan semacam apa yang terjadi setelah orang itu pergi danapa yang akan terjadi kalau mereka kembali. Di Timor Lorosae ini perkara besar. Kitaingat ada sekitar 200.000 orang yang mengungsi. Sebagian sudah kembali dan mulaitimbul soal dalam penguasaan tanah. Orang yang pro-kemerdekaan pulang mengklaimtanah milik keluarga yang dicurigai pro-integrasi. Padahal tanah orang pro-integrasiitu sudah dititipkan ke keluarga lain yang pro-kemerdekaan. Akhirnya ribut satusama lain. Dan ini adalah sumber konflik baru.

Menurut saya kita perlu lihat proses lebih besar yang menata kembali susunanmasyarakat setelah konflik. Pertanyaannya tentu saja, siapa yang melakukan penataan?

Page 97: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 95

Jawaban gampangnya, ya tentu saja mereka yang punya kemampuan menata semuaitu, alias modal. Di Maluku ini sudah terjadi. Bank Dunia sudah bikin rencana untukmenata kembali Maluku yang hancur-hancuran. Rencana kerjanya sangat lengkap.Di Timor Lorosae begitu juga adanya. Ada banyak proyek pembangunan infrastrukturyang disub-kontrakkan ke perusahaan-perusahaan. Ini bukan sesuatu yang khas atauunik. Pembangunan kembali Kosovo dan Bosnia waktu itu juga diperebutkanperusahaan-perusahaan Inggris dan Jerman. Perusahaan Jerman ngotot sekali karenakalah tender sewaktu membangun kembali kawasan Teluk yang porak-poranda akibatperang. Semua proyek rekonstruksi dipegang oleh perusahaan Inggris dan Amerika.

Dalam konteks itu, bantuan justru bersifat mematikan. Apa yang dikerjakan olehBung Gaffar dan diharapkan oleh Oom Oey justru dirusak dengan proyek-proyekbantuan yang bekerjasama dengan industri rekonstruksi tadi. Pola pikir proyek bantuanitu sederhana saja. Ada orang lapar, kasih beras. Ada orang sakit, kasih obat. Setahunsaja orang hidup seperti itu tentu akan jadi tergantung. Dan itulah kuncinya,menciptakan ketergantungan baru. Kita bisa lihat ini terjadi sampai hal-hal yangsangat teknis. Memang sulit posisi kita kadang-kadang. Tidak mau membantudianggap keterlaluan, tapi kalau membantu malah menciptakan ketergantungan.Tapi mau tidak mau kita harus kritis. Timor Lorosae dari segi pertanian menurut sayasudah dijajah kembali. Republik belum berdiri tapi penjajahan kembali di bidangpertanian sudah dimulai. Selama berbulan-bulan rakyat diberi bibit-bibit sekali tanam.Sama sekali tidak ada usaha mengembalikan kekuatan menciptakan bibit lokal. Artinyaapa? Untuk selanjutnya petani akan terus mengimpor bibit baru karena hasil panentidak akan menghasilkan bibit baru. Jadi, bayangan tentang pertanian mandiri itusudah hapus. Mereka akan tergantung terus pada modal yang memberikan bibit-bibit sekali tanam itu.

Di Maluku situasinya sama saja, begitu juga di Aceh. Proyek-proyekbantuan ini semacam Kuda Troya bagi industri rekonstruksi dan jugaperusahaan multinasional lainnya untuk menguasai kembali daerah-daerah yang mereka “bantu”. Contoh obat mungkin paling mudah dilihat.Pengungsi ditaruh di kamp dan terus makan obat yang disediakan proyekbantuan. Di satu sisi memang membantu orang sakit, tapi di sisi lain inibisnis luar biasa gede untuk industri obat. Kalau kita hitunglah pengungsidi Indonesia sekarang – kalau kita percaya hitung-hitungan yang dibuatUNHCR – ada sekitar 500.000 orang. Hitung saja setiap kepala perluaspirin satu per minggu. Artinya setengah juta tablet aspirin per minggu.Itu baru sakit pusing, belum diare dan lainnya. Silakan dihitung sendiri.

Tapi logika ini jangan kita balik dan bilang bahwa konflik sengajadiciptakan karena ada kepentingan modal. Tidak instrumentalistik sepertiitu, saya kira. Tapi yang jelas dominasi modal dalam kehidupan kitasudah luar biasa sehingga tidak bisa mengatasi krisis apa pun sendirian.Kurang lebih begitulah. Apalagi kalau proses rekonstruksinya dikuasai

Page 98: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200096

oleh modal. Jelas mereka tidak akan membiarkan masyarakat merekonstruksikekuatannya sendiri yang bisa menjadi lawan di masa mendatang. Pasti rekonstruksidisesuaikan dengan keperluan jangka panjang dari modal.

Nah, kalau bicara tentang apa alternatifnya, saya pikir apa yang dikerjakan BungGaffar sudah merupakan jawaban yang tepat. Artinya, bagaimana masyarakat mampumengurus diri sendiri. Dan kuncinya memang pengorganisasian serta keputusanyang dibuat secara demokratik dalam masyarakat. Hanya dengan begitu orang akanmerasa bahwa ini memang tugas atau kewajiban bersama, bukan semata-mata karenakasihan melihat pengungsi. Warga kelurahan Nunu sudah melampaui kerangka charityatau sinterklas-isme. Sudah jauh melampaui itu, dari praktek bertolak ke perumusan.Cerita pengalaman itu menurut saya sudah merupakan pelajaran berharga buat teman-teman yang menangani pengungsi.

Terakhir soal media. Saya pikir kita mesti hati-hati. Kelas menengah ini kan cepatsekali merasa kasihan. “Wah, kasihan pengungsinya banyak sekali. Ayo kita tolong”.Mereka lupa bahwa rasa kasihan ini dibuat oleh media. Media menciptakan gambaranhoror luar biasa, sementara di tempat pengungsiannya biasa-biasa saja. Saya jugapernah tinggal di tempat pengungsian dan tahu bahwa situasinya tidaklah seburukyang diceritakan. Ya memang orang susah makan tapi bukan tidak berdaya samasekali. Gambaran horor sering membuat orang berpikir bahwa rakyat pengungsi itutidak berdaya dan harus ditolong. Padahal yang diperlukan pengungsi itu sekadarpertolongan agar mereka bisa bangkit mengurus diri sendiri. Coba bayangkan kalaupengungsi ditaruh di kamp militer, dijaga Brimob dan sebagainya, keluar-masukharus izin, makan selalu disuapi, sakit langsung disuntik. Itu kan jadinya sepertiternak saja. Dan memang ada juga orang atau lembaga yang menjadikan pengungsiseperti ternak miliknya, yang dibawa ke pasar proyek bantuan. Jelas dalam situasiseperti itu pengungsi yang tadinya punya kekuatan jadi amblas semuanya.

Bagi saya sederhana saja, hentikan konfliknya, pastikan keamanan – artinya militerdan polisi yang bikin gara-gara harus ditangkap atau ditarik – maka penangananpengungsi akan jauh lebih mudah. Kita lihat penjelasan Bung Gaffar tadi soalkeamanan. Ternyata rakyat mampu bikin keamanan swadaya. Ini inspirasi bagi kitasebetulnya, dan menjadi bentuk kongkret dari tuntutan menghapus struktur teritorialKodam sampai Koramil. Selama ini kan tuntutan “cabut Dwifungsi” itu abstrak,nggak jelas maunya apa. Nah, inilah yang saya pikir menjadi bentuk kongkretnya,keamanan swadaya dari masyarakat sendiri. Inilah bukti bahwa rakyat sebenarnyabisa, nggak perlu panggil tentara kalau cuma urusan berkelahi di kampung. Jadisemacam bukti nyata dari tuntutan menghapus militerisme.

Dolorosa Sinaga:Saya hanya ingin menyambung pertanyaan Agung Putri soal antisipasi

itu. Kalau kita lihat masalah pengungsi muncul karena ada konflik. Tapikonflik sudah berkembang sedemikian rupa, dan seperti diceritakanBung Fay, orang semakin mudah terseret ke dalamnya. Rekonstruksi

Page 99: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 97

dan penanganan justru menciptakan ketergantungan, dan konflik akan terusberlanjut. Nah, bagaimana kira-kira caranya menghentikan konflik itu? Apakahmemang semua pertikaian bisa diselesaikan sendiri oleh masyarakat tanpa campurtangan pihak lain, atau bagaimana?

Abdul Gaffar:Ya, dan sebenarnya masyarakat memang sedang menuju ke sana.

Kerusuhan Poso misalnya, bisa disebut kerusuhan dadakan. Tidak jelasujung-pangkalnya tapi menimbulkan eksodus besar-besaran. Infrastrukturrusak dan sebagainya. Nah, pengungsi yang datang kita tanya “apa yangsebenarnya menjadi penyebab kerusuhan?” Rata-rata menjawab tidaktahu apa persoalannya. Tiba-tiba saja mereka diserang orang denganpakaian ninja begitu. Sementara itu pemerintah terus bilang, “Poso ituaman. Ibu-ibu, bapak-bapak, nggak usah ngungsi”. Tapi malam harinyadiserang dan tidak tahu siapa pelakunya. Setelah keluar rumah merekadibakar dan banyak juga yang mati dibantai. Nah, ini menimbulkantekanan psikologis. Kalau kita mulai dengan menyelesaikan konfliknyalebih dulu, mungkin agak susah. Rakyat saja tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi,apalagi kita dari luar? Saya pikir yang paling penting menciptakan ketenangan bagiorang, membuat mereka bisa berpikir jernih, lalu mengambil langkah selanjutnya.Dari situlah kita bisa bicara soal kembali ke tempat asal dan penanggulangan masalahpengungsi baik dari segi ekonomi maupun kejiwaan.

Moderator:Ada hal menarik, soal apa yang terjadi dan dilakukan setelah

pengungsian. Fay tadi bicara tentang rekonstruksi dan modal. Bahwabantuan justru mematikan pemberdayaan. Pengalaman yang disampaikanBung Gaffar menjadi menarik, bahwa masyarakat ternyata mampumemberdayakan diri sendiri. Dalam konteks pengungsi, penangananseperti itu jauh lebih baik daripada menaruh pengungsi di kamp-kamp.Kita bisa juga diskusikan soal lain, seperti masalah media, lembagabantuan yang masuk ke daerah konflik.

Abdul Gaffar:Memang banyak lembaga bantuan yang masuk ke Palu. Mereka

kerjasama dengan pemerintah daerah, dan sudah perjanjian yang kalautidak salah ditandatangani empat gubernur se-Sulawesi di Manado. Tapikami nggak pusing. Kita tahu bahwa mereka cuma bikin proyek denganalasan kemanusiaan tapi duitnya masuk kantong semua. Bagi sayasederhana saja. Saya ini warga dan bekerja membantu warga yang lain.Kita sendiri bisa mengatasi masalah yang dihadapi. Kalau ada lembagalain, silakan, selama tidak mengganggu kerjasama yang ada. Nah, tadisaya sebutkan kalau di Nunu sempat ada lembaga Oxfam itu. Tapi kitatolak. Begitu juga dengan partai-partai, karena visi dan misinya berbeda.

Page 100: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 200098

Soal media. Ada beberapa media yang mengangkat yang kita kerjakan di Nunu.Paling intensif itu suratkabar Tadulako. Ini suratkabar kampus. Kalau suratkabar lainseperti Mercusuar itu juga bicara tentang korban, tapi kayaknya tidak netral juga.Mercusuar ini diterbitkan oleh yayasan milik Muhammadiyah, artinya pendirinyakebanyakan orang Muhammadiyah. Nah, mereka lebih banyak ekspos korban-korbanyang Muslim. Kita pikir ini nggak imbang. Sebenarnya ada banyak orang Kristenyang jadi korban tapi tidak diberitakan. Di samping itu ada beberapa teman dariWALHI di sana yang banyak memberikan informasi mengenai korban di Poso. Kitajuga dapat data dari pengungsi.

Moderator:Jadi media ini bisa jadi alat untuk mengatasi krisis tapi sekaligus juga

untuk mendorong konflik. Ada juga yang menjadikannya lahan sepertidiceritakan Bung Gaffar tadi. Apa ada pertanyaan lain di sekitar itu?

Fay:Sebelum ke sana saya nyambung sedikit tentang apakah konflik harus diselesaikan

dulu sebelum kita menangani pengungsi. Saya pikir penanganan pengungsi menjadipenting. Kita mesti ingat bahwa orang yang mengungsi itu tiba-tiba saja berubahstatusnya. Apa pun yang dia kerjakan sebelumnya, petani, guru, pengusaha atauapalah, kalau sudah masuk ke kamp pengungsian statusnya sama saja, tidak punyapekerjaan. Di samping itu mereka juga tidak pernah tahu pasti kapan bisa kembali.Jadi ada situasi vakum begitulah. Nah, kalau nggak dikasih pekerjaan, nggak adakegiatan apa pun, tentu mudah sekali diajak atau dihasut untuk masuk lebih jauhdalam konflik. Maluku saya pikir adalah contoh yang jelas. Konflik berkembangbegitu cepat karena ada situasi vakum. Jadi saya pikir memang betul kalau pengungsiharus ditangani dulu karena bagaimanapun tempat pengungsian itu menjadi lahanmeluas dan berkembangnya konflik.

Kalau soal penyelesaian konflik, ya jelas harus diselesaikan. Cuma masalahnya kitaharus tahu bentuk konfliknya seperti apa. Jangan-jangan yang dimengerti masyarakatsebagai konflik dan konflik sesungguhnya itu lain. Di Palu kita lihat ada persoalanbupati. Nah, buat saya kalau calon-calon bupati itu mau pukul-pukulan berebutjabatan, silakan saja. Selesaikanlah sana, tapi jangan seret masyarakat. Persoalannyakonflik elite ini kadang dibungus sedemikian rupa sehingga yang keluar itu seolah-olah konflik horisontal. Saya pikir jawaban atas soal ini adalah mengorganisir pengungsidan masyarakat yang terkena dampak konflik untuk suatu saat sama-sama bilangkepada para petinggi yang celaka itu, “kalau kalian mau ribut, ributlah! Tapi janganbawa perkara Islam-Kristen, asli-pendatang dan sebagainya!” Mungkin selanjutnyabisa sampai menghapus jabatan yang diributkan, karena toh masyarakat bisa mengurusdiri sendiri. Jadi jawabannya menurut saya akan datang dari masyarakat sendiri, dariwarga sendiri.

Memang ada konflik yang tidak dapat diselesaikan tanpa perubahan

Page 101: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 99

mendasar. Dan itu menurut saya tidak perlu dihindari, tapi justru menjadi tantanganbagi kita untuk membangun institusi demokratik di mana konflik semacam itu dapatditangani. Ini yang sekarang nggak ada. Sehingga konflik apa pun tidak adapenyelesaiannya. Tidak ada lembaga yang mampu. Pengadilan jelas nggak mampu,kita semua tahu kualitasnya seperti apa, sampai ke Mahkamah Agung sekalipun.Sementara ini belum ada lembaga yang mampu memberi jawaban. Kelanjutan dariapa yang dikerjakan kawan-kawan di Palu menurut saya akan sampai ke sana,memikirkan lembaga-lembaga demokratik baru yang bisa menangani masalah tanahmisalnya. Di Timor Lorosae sekarang mulai tumbuh. Ini luar biasa sebenarnya, tapiPBB tidak mendukung. Pikirannya memang nggak sampai ke sana. Pikirannya sepertiOrde Baru saja, ada poteni sekian kerahkan tenaga sekian, modal sekian, jadi proyek.Nanti setelah beberapa tahun akan take-off. Nggak ada bedanya dari rezim Soeharto,Gus Dur dan lain-lainya. Pikirannya lurus begitu saja. Tidak ada diskusi warga tentangbagaimana sebaiknya menata kembali masyarakat yang porak-poranda. Padahal yangpenting justru melibatkan semua orang, perempuan, Islam-Kristen, guru-murid,terserah mau dilihat dari segi apa pun, yang penting penataan kembali itu memangmenjamin keamanan dan kelangsungan hidup yang lebih baik.

Rekonstruksi yang ada sekarang praktis lebih banyak menciptakan kemungkinankonflik atau kekerasan baru. Banyak dana yang disediakan untuk beras tapi nggakada langkah untuk mengontrol senjata misalnya. Padahal itu yang jadi soal. Peluru,senjata, mobilisasi kekerasan dibiarkan berlanjut terus. Semuanya dibiarkan lepas tapimakanan dipasok terus. Itu sama saja dengan memberi logistik kepada orang yangmau tempur. Dan inilah yang terjadi di Maluku menurut saya. Beras disalurkanmelalui kekuatan-kekuatan yang ada, entah Laskar Jihad, Laskar Kristus, dansebagainya. Nah, itu kan kembali ke situasi perang zaman dulu. Siapa yang peganglogistik banyak dialah yang bisa bertahan perang. Dan memang itu yang terjadi.Orang mengambil jatah beras kan sama saja seperti prajurit antre makanan. Denganmudah pimpinan laskar itu bilang, “kami bisa dapat beras lima liter, tapi harus ikutlatihan. Sepuluh liter kalau bisa ajak sepupu dan seterusnya.” Jadi nggak heran kalaukonflik terus berlanjut.

Saya pikir di tengah kesulitan seperti sekarang kita mesti mulai bekerja dari pinggir-pinggir persoalan lalu bergerak ke tengah. Saya tidak tahu juga apa dengan beginimasalahnya bisa selesai. Tapi paling tidak kalau melihat pengalaman Palu, rasanyalebih menjanjikan ketimbang datang ke tengah situasi konflik, kumpulkan laskar-laskar terus bicara tentang resolusi konflik. Apalagi pakai pendekatan dialog antaragama, sudah terbukti nggak jalan itu. Wong masalahnya bukan agama, disuruhdialog antar agama.

Sentot:Saya tertarik pertanyaan dari Dolorosa tadi. Mana yang lebih penting,

mengurus pengungsi atau menyelesaikan konflik. Saya mulai daripengalaman jalan ke Manado beberapa waktu lalu. Ternyata pengungsi,

Page 102: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000100

baik yang datang dari Ternate atau Maluku, itu seperti bom waktu. Artinya potensialuntuk meledak menyebarkan konflik lebih luas. Di pelabuhan Bitung sekarang adasekitar 16.000 pengungsi. Dalam konteks ekonomi setempat, itu artinya buruh murah.Kesempatan orang bekerja di sana semakin sulit. Pemerintah daerah ketemu denganKedubes Amerika, British Council dan nggak tahu siapa lagi, bikin agreement.Pengungsi dibikin jadi proyek baru. Orang lagi nongkrong tiba-tiba petugas bantuandatang, “mau kerja, ya?” Kasih duit tiga juta. Sementara orang setempat nggak pernahdapat kesempatan seperti itu. Akhirnya muncul kecemburuan antara penduduklokal dengan pengungsi.

Lalu persoalan bantuan. Manado itu kalau nggak salah sudah berhasilmencapai swasembada beras. Ada Amurang, Tondano dan Tanawangko.Tapi anehnya beras untuk pengungsi datangnya dari luar Manado. Bisadibayangkan, ada sekitar 30.000 pengungsi yang dapat beras, berlebihanmalah. Akhirnya dijual lagi oleh mereka dengan harga murah agar bisamembeli keperluan lain seperti pakaian, uang sekolah dan sebagainya.Nah, efeknya harga beras kemudian jatuh dan petani terpaksa jual berasmurah. Anak-anak pengungsi juga dipekerjakan di toko-toko yang jualcengkeh karena upahnya lebih murah. Mereka yang semula kerja disana akhirnya nganggur. Jadi kecemberuan seperti ini – saya tidakmengatakan ini sengaja direkayasa atau bagaimana – tapi jelas merupakanbom waktu. Kedatangan pengungsi ini jadi masalah tersendiri lepas darikonspirasi atau apalah yang menjadi latar belakang konflik semula. Jadisoal mana yang harus diselesaikan lebih dulu, memang sulit dijawab.Tapi yang pasti kita perlu pertimbangkan situasi kongkret yang adasekarang.

Agung Putri:Saya hanya mau share sedikit saja. Tadi sore saya sempat ngobrol

agak panjang dengan teman yang aktif mengorganisir petani di Padang.Ceritanya sangat menarik. Awalnya saya tanya, “kenapa di Padang tidakada gerakan mahasiswa yang kuat?” Aktivitas hak asasi manusia dandemokratisasi juga tidak besar seperti di Aceh misalnya. Dari pertanyaanitu kita ngobrol soal kehidupan masyarakat pada umumnya di SumateraBarat. Menurut dia di Padang itu konflik tanah sebetulnya sangat banyak.Tapi masyarakat di sana, terutama elite dan aparatnya, pandai sekalimenyelesaikan dengan cara negosiasi dan surat-menyurat. Nyaris tidakada konflik yang keras sampai harus pukul-pukulan, merampas tanahdan sebagainya. Akhirnya aktivis di sana juga bilang kepada petani agarjangan sampai negosiasi karena pasti kalah. Begitu pandainya kalanganelite dan aparat bicara, menggunakan tradisi musyawarah, sehingga selalumenang. Itu menarik karena sebenarnya ada konflik mendalam tapi selaludiselesaikan dengan negosiasi. Jadi semua dibuat hitam di atas putih.

Page 103: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 101

Jadi petani, entah di tingkat nagari atau mana saja, punya surat. Entah adil atautidak, tapi semuanya hitam di atas putih. Saya pikir kok ini advanced sekali, ya. Jadipenguasa punya bermacam-macam cara mengontrol kekuasaannya. Tidak selalu harusdengan kekerasan.

Itu contoh dari Padang, dan bisa menjelaskan mengapa tidak munculgerakan mahasiswa atau gerakan demokrasi seperti di tempat lain. Tidakada ruang untuk kampanye-kampanye atau aksi pembelaan petani. Buatmereka berpolitik artinya masuk partai. Dan memang kesulitanmengorganisir petani secara independen. Ada petani pintar sedikitlangsung diambil oleh partai-partai. Mereka sebelumnya dilatih oleh LSMtapi akhirnya milih masuk partai karena dianggap kemajuan. Sementarabuat LSM-nya, “wah, kamu kok meninggalkan masyarakat”. Tapi itulah,menurut petani berpolitik itu harus masuk partai. Jadi ada model-modelpenyelesaian dari atas yang ternyata berpengaruh terhadap cara orangmembangun kekuatan di bawah.

Saya nggak tahu soal Palu, tapi mungkin Bung Gaffar bisa cerita soalmembangun kekuatan bersama rakyat. Apakah itu respons terhadap carapenguasa menangani masalah selama ini atau bagaimana? Apakah teman-teman mulai bergerak setelah melihat penguasa tidak menangani masalahdengan benar, sehingga melihat perlunya cara-cara lain?

Abdul Gaffar:Saya pikir ada benarnya. Kita memang kecewa dengan apa yang

dilakukan Pemda di sana. Bisa dibayangkan tempat penampunganpengungsi pemerintah itu kecil sekali tapi harus menampung banyaksekali orang. Petani yang mengungsi ke sana hanya hidup dari bantuanberas dan lauk. Padahal mereka perlu lahan untuk bekerja. Nah, inisalah satu faktor yang membuat warga berpikir bagaimana caranyamengeluarkan petani dari sana sehingga bisa kembali bekerja. Kemudianmasalah perempuan dan anak-anak sama saja. Anak-anak yang ditampungdi sana tidak bisa sekolah karena jaraknya snagat jauh. Setiap hari merekacuma dapat uang Rp 1.500 untuk semua keperluan, jadi jelas tidak bisabersekolah. Jadi akhirnya kita duduk bareng dengan pengungsi danbicara. Kita kembalikan kepada sesama warga dan bicara tentang jalankeluar. Akhirnya ada pemikiran yang muncul dan ramai-ramai kitakerjakan.

Kalau soal tanah situasinya agak lain. Di kelurahan Nunu masihbanyak lahan yang kosong, atau istilahnya, lahan tidur. Ya, daripadatidur terus lebih baik dibangunkan, dan yang bertugas membangunkanya pengungsi itu. Dan ini semua disepakati warga. Ada juga warga yangmenyerahkan lahannya cuma-cuma kepada pengungsi selama tinggal disana untuk digarap.

Page 104: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000102

Dedi:Saya ingin tanya sejauh mana pengungsi di tempat Bung Gaffar tahu

tentang situasi daerah asalnya. Artinya informasi yang obyektif tentusaja. Misalnya kalau tentara dan polisi bilang “aman”, apakah langsung percaya atauada informasi lain yang mereka baca?

Abdul Gaffar:Sebenarnya ada banyak sumber informasi, dan menariknya pengungsi

bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Misalnyakoran Mercusuar itu bikin laporan tentang desa Tokorondo. Setelahbaca mereka bilang, “wah, ini nggak benar.” Kalau soal media dari kitasendiri, saya pikir perlu tapi bukan dalam bentuk tulisan. Yang pentingadalah bagaimana pengungsi itu bisa berhubungan dengan warga. Jadisetiap bulan kita sepakati bikin pertemuan warga. Jadi masyarakat punyadua akses. Pertama membaca suratkabar atau media lokal tapi jugapertemuan untuk sharing. Nah, ini berjalan seiring. Jadi ada hubungantimbal-balik yang saling mendukung, kita bisa menekan gejolak-gejolakyang timbul dan kadang ditimbul-timbulkan oleh media.

Peserta:Dari keterangan tadi kelihatannya bahwa pengungsi itu bukan hanya

orang Islam, tapi juga ada Kristen. Dan mereka mendapat pelayananyang sama di tempat pengungsian. Lalu bagaimana sikap pengungsi itusendiri? Tadi kan dikatakan mereka tidak apa yang sesungguhnya menjadisumber konflik. Mereka cuma korban yang kemudian mengungsi. Nah,sekarang ada pengungsi yang Kristen, dan ada yang Islam. Bagaimanasikap mereka satu sama lain? Dan bagaimana cara berkembangnyakesadaran padahal provokasi masih jalan terus melalui koran dansebagainya.

Abdul Gaffar:Soal kesadaran itu kita tangani lewat pertemuan-pertemuan rutin.

Bukan cuma warga yang hadir tapi pengungsi juga. Kita tidak tahu agamayang mereka anut, tapi yang penting dikumpulkan. Lalu ada teman-teman, seperti Bung Hedar dari Bantaya, memberikan semacampencerahan, penjelasan tentang kondisi kerusuhan dan sebab-sebabnya.Kemudian tokoh-tokoh mengambil kesimpulan sendiri. Memang adajuga yang terjebak ke arah lain. Mereka bilang bahwa di Islam jugabanyak orang kafir, di Kristen dan Buddha juga ada orang kafir, sehinggakesimpulannya orang kafir inilah yang berbuat. Tapi paling tidakpengungsi menyadari bahwa mereka ini korban dan bahwa agama yangmereka anut tidak pernah mengajarkan kekerasan. Apalagi terhadapmanusia. Dalam pertemuan itu juga hadir tokoh Buddha dan Hindusetempat, walau tidak banyak bicara. Tapi mereka memberikan

Page 105: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 103

pandangan tentang keyakinan yang dianut. Itu sejauh ini yang saya pikir cara palingtepat untuk menghindari konflik.

Amiruddin:Saya kebetulan pernah beberapa kali ke Aceh. Di sana pengungsian agak lain

masalahnya. Tidak terbuka seperti di tempat lain. Dan ada masalah serius. Misalnyaorang dari Aceh Utara masuk ke Tenggara, dari Barat masuk ke Selatan. Orang yangwilayahnya didatangi biasanya marah, “kalian yang bikin konflik kenapa datang kesini.” Nah, jadi mulai bertengkar di situ. Ada daerah yang bahkan menolak datangnyapengungsi. Sehingga ribut di antara warga sendiri. Ada juga yang mulai berpikirbahwa masalah ini sebenarnya antara orang Lhokseumawe, Pidie dan Aceh Besar.Tapi bagi orang Gayo di Tenggara dan Selatan, itu bukan masalah. Mereka nggakmau merdeka, jadi menolak berurusan dengan pengungsi. Saya pikir cara-cara dariBung Gaffar sangat penting untuk menangani masalah pengungsi di Aceh.

Masalah bantuan-bantuan itu juga. Saya bertemu teman-teman dari MalukuUtara. Mereka cerita bantuan itu banyak sekali waktu itu. Dari Saudi Arabia sajakirim duit ke Al-Fatah dalam jumlah banyak. Akhirnya jatuh ke tangan Laskar Jihad.Di sisi lain ada uang dari Belanda yang dikirim ke gereja Maranatha. Akhirnya jadibekal untuk perang-perangan. Saya juga sempat bilang, “lebih baik tidak dikasihbantuan saja. Kalau nggak ada bantuan kan nggak jadi perang.” Tapi teman-temanitu malah marah. Saya coba jelaskan bahwa bantuan itu ternyata hanyamemperpanjang energi orang untuk perang. Dan orang saling bertikai karena memangbantuannya ada terus. Sekarang malah ada spesialis yang kerjanya cari bantuan kemana-mana. Mereka datang ke kedutaan, ke mana-mana sajalah. Ini juga perlu kitapelajari betul sehingga tidak terjebak ke dalam bantuan yang katanya untukkemanusiaan, tapi buntutnya malah melahirkan soal. Di Maluku saya lihat sepertiitu.

Di Aceh bantuan juga bisa membuat orang saling bertengkar.Contohnya ketika Gus Dur kasih duit ke Aceh. Untuk menampung duitdibuat yayasan namanya Aswajana. Kalau orang Aceh bilangnya, “asliJawa”. Pimpinannya itu jadi semacam boss kecil di Aceh. Kalau adaorang datang minta duit dia bilang, “perlu berapa?” Tinggal bikin pro-posal atau bicara saja dikasih duit ratusan ribu sampai sejuta. Semuadikasih. Akhirnya bertengkar sendiri dan dia dipanggil DPR. Dia cumabilang, “lho yang pakai duitnya kalian semua, kok jadinya malah ribut?”Nah, inilah masalah di Aceh. Pengungsi akhirnya dikonsentrasikan disatu tempat dan jadi lahan tawar-menawar dengan Jakarta untuk dapatuang. Memang luar biasa. Saya sendiri terima banyak sekali surat tentangpersoalan seperti ini.

Ada juga lembaga di Aceh yang hanya mau bantu perempuan.Pengungsi begitu banyak dia nggak mau, kecuali kalau ada kaitannya

Page 106: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000104

dengan perempuan. Akhirnya teman-teman ada juga yang terpaksa bikin proyekkhusus soal itu. Akhirnya bertengkar lagi. Jadi saya pikir yang disampaikan BungGaffar itu penting sekali, masukan yang baik sekali bagi kita. Nanti kalau ketemuteman-teman dari Aceh atau Ambon saya bisa ngobrol soal ini.

Moderator:Apa ada komentar lain? Atau Bung Gaffat sendiri mau tambahkan

sesuatu? Kalau tidak ada mike akan saya matikan seperti biasa… oh, adasatu lagi.

Peserta:Apakah dalam penyelesaian konflik di Palu masyarakat adat

dilibatkan?Abdul Gaffar:Kalau penanganan adat secara langsung tidak. Tapi kebetulan YBH

Bantaya yang membantu kita banyak berkiprah di bidang masyarakatadat. Kita juga mendengar uraian dari Bung Hedar tentang bagaimanamasyarakat adat menyelesaikan persoalan mereka. Jadi tidak secaralangsung tapi peranannya ada. Lebih banyak karena YBH Bantaya bekerjapendampingan masyarakat adat dan direkturnya juga bicara banyak soalitu dalam penanganan kasus tanah dan sebagainya.

Moderator:Baik, saya tidak akan merangkum tapi menyinggung apa yang telah

kita diskusikan malam ini. Bahwa krisis pengungsian di Indonesia inibukan sekadar cerita tentang eksodus orang atau berpindahnya orangdari tempat asalnya, tapi ada banyak masalah baru yang terkait. Kawan-kawan di Palu sudah cukup efektif menjawab masalah pengungsian inimelalui pengorganisasian masyarakat, dan saya kira hasil diskusinya jugabisa segera dikirim ke Manado. Mudah-mudahan kawan di Manado bisamengikuti apa yang sudah dilakukan Bung Gaffar, dan kita bisa bergeraklebih jauh bukan hanya mengurus pengungsian tapi sampai pada fasemasyarakat mengurus diri sendiri. Terima kasih kepada Bung Gaffardan Fay. [tepuk tangan].

Page 107: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 105

Page 108: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000106

Moderator:Baik, saya akan membuka diskusinya dan saya lihat sudah cukup

aman dan tertib – walau pun nggak ada Kopkamtib. Nah, diskusi iniagak beda dari biasanya karena biasanya kita ada satu atau dua pembicarasetelah itu kita bisa memberikan komentar atau semacam tanya jawab.Kali ini tidak ada pembicaranya. Ada dua alasan sebetulnya. Pertama,sulit mencari orang yang bisa mengulas ini secara komprehensif, artinyamenyeluruh. Dan alasan kedua yang sebetulnya berkaitan dengan yangpertama, bahwa tiap orang yang ada di sini juga punya pengetahuandan pengalamannya masing-masing. Dan kita pikir akan jauh lebihberharga kalau semuanya berbicara, artinya memberikan apa yang merekatahu agar bisa memperkaya pengetahuan masing-masing yang adasekarang.

Saya akan membuka dengan semacam pengantar. Mungkin angkatanyang lebih muda belum pernah dengar tentang peristiwa pembunuhanmassal yang biasa disebut “pembunuhan massal ‘1965”. Sebetulnyapembunuhan itu tidak berhenti tahun 1965, tapi terus berlanjut sampai

Pembantaian 1965Moderator: Hilmar Farid. Materi Film: Indonesia’s Kiling Field, SBS Australia.

13 SEPTEMBER 2000

Walau sudah puluhan tahun berlalu, peristiwa kekerasan 1965-66 masihmenghantui kehidupan banyak orang sampai hari ini. Jika klaimkeanggotaan PKI dapat dipercaya, maka boleh dibilang satu dari sepuluhorang di Indonesia dengan satu atau lain cara menjadi korban, saksi atausetidaknya berhubungan dengan peristiwa itu. Diskusi tentang peristiwaini menjadi bagian dari gerakan sejarah lisan yang dikerjakan Tim RelawanKemanusiaan (TRK) dan Jaringan Kerja Budaya (JKB). Dbp. kali ini tidakmenampilkan pembicara, dan semua orang boleh berpendapat danberpandangan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan dan dipikirkan.Kebiasaan saling hujat yang mendominasi diskusi tentang peristiwa tersebutselama ini tidak membawa kita bergerak maju. Dalam diskusi ini hadirsekitar 150 orang dari berbagai kalangan, mulai dari bekas tapol/napol,aktifis mahasiswa dari bermacam organisasi, seniman, pekerjakemanusiaan, ibu rumah tangga, sampai guru SMA dan murid-muridnya.Perdebatan hangat terjadi ketika sejumlah pengunjung, terutama generasimuda, mempersoalkan sikap para korban langsung peristiwa 65 yangcenderung melihat penderitaan mereka jauh lebih berat daripada korban-korban pelanggaran HAM lainnya. Para korban bercerita panjang lebartentang pedihnya kehidupan mereka dan menuntut pemerintah untukbertanggung-jawab, tapi mereka seakan tidak terlalu peduli dengan parakorban kekerasan di Aceh, Papua, Tanjung Priok, Lampung, dst. Kawan-kawan muda ini berpendapat bahwa tanpa kesatuan langkah di kalangankorban, tidak akan mungkin mereka mampu mendesakkan tuntutannyaberdasarkan kasus-kasus tertentu saja.

Page 109: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 107

tahun 1968, dan 1973 juga di Purwodadi masih terjadi. Jadi, satu rangkaian yangsangat panjang. Diduga korban yang jatuh dalam rangkaian peristiwa itu antara 78ribu - itu angka yang disebutkan fact finding commission yang anggotanya antara lainOei Tjoe Tat (almarhum) - sampai 3 juta orang. Angka terakhir adalah pengakuandari Jenderal Sarwo Edhie (almarhum). Soal angka ini memang menjadi perdebatanbesar, tapi dalam diskusi ini kita ingin mengajak bergerak melampaui angka-angka.Karena ada semacam prinsip bahwa satu orang pun sudah terlalu banyak kalaumenyangkut pembunuhan karena alasan-alasan politik, alasan keyakinan danseterusnya.

Nah, ada pertanyaan mendasar yang saya pikir hidup di kita semua,yaitu mengapa peristiwa yang begitu besar bisa seperti hilang dari ingatankolektif kita? Mungkin masing-masing orang pernah mendengar mungkinjuga melihat. Tetapi, secara publik peristiwa ini seperti hilang. Tidakbisa kita temukan misalnya kisah-kisah yang merujuk kepada pengalamanitu. Nah, ini menjadi suatu pertanyaan besar mengapa itu bisa terjadi?Belakangan ini ada beberapa tulisan yang muncul, satu buku dan satudisertasi. Satu buku ditulis oleh Hermawan Sulistyo, dengan judul PaluArit Di Ladang Tebu, yang sebenarnya juga disertasi pada universitas diAmerika. Terus ada disertasi dari Iwan Gardono Sujatmiko, yang jugamembahas pembunuhan itu dengan membuat perbandingan Jawa Timurdan Bali. Di luar negeri beberapa tulisan sudah, sebetulnya dari tahun60-an, mencoba mengulas dan berusaha memahami, kenapapembunuhan yang begitu masif itu mungkin terjadi.

Sebetulnya kalau mau melihat tulisan-tulisan yang muncul, keteranganyang diberikan ini masih sangat terbatas. Kalau mau main-main angkaatau persentase, boleh dibilang hanya 5-10% yang kita tahu tentang apayang sesungguhnya terjadi. Bahkan sampai sekarang masih ada orangbilang pembunuhan itu hanya terjadi di Jawa dan Bali. Saya sendiri tahubahwa itu terjadi di Flores dan masing-masing di sini tahu bahwapembunuhan itu terjadi juga di tempat-tempat lain. Nah, cerita-ceritatentang itu bisa kita sumbangkan dalam forum ini, dan saya yakin jugamasih banyak sekali cerita lain yang akan muncul dari sini. Cerita tentangkejahatan Nazi dalam Perang Dunia kedua sampai hari ini masih beredar.Sekarang pun bukti-bukti baru tentang pembunuhan massal di sini mulaibermunculan, ada banyak sekali keterangan baru, cerita dan pengalamanyang selama ini dipendam atau lebih tepatnya ditindas.

Batas-batas lain yang ingin saya tawarkan dalam diskusi ini, kita tidakmendiskusikan peristiwa penculikan para Jenderal tanggal 30 September.Alasannya sederhana, karena sudah banyak keterangan mengenaikejadian itu dan bisa dibaca di tempat-tempat lain. Saya justru mengajakberbicara khusus tentang pembunuhan yang terjadi sesudah peristiwa itu. Tapi, ini

Page 110: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000108

hanya tawaran yang terbuka untuk dikomentari.Catatan lain yang saya ingin sampaikan untuk membuka diskusi ini

berangkat dari film ini sendiri. Ada beberapa keterangan menarik daripara pelaku yang mengatakan bahwa pembunuhan itu memang massaldan terorganisir. Artinya ini melawan anggapan bahwa yang terjadi saatitu semacam amuk massa yang tidak terkontrol atau tidak terkendali.Saya pikir menarik menggarisbawahi pernyataan Pak Hasjim, paman dariAbdurrachman Wahid, bahwa memang sudah dipersiapkan sebelumperistiwa itu terjadi. Banser sengaja dibentuk untuk menghadapi PemudaRakyat dan dilatih oleh militer. Bahkan untuk itu, dia bilang “kita pakaireferensi Mein Kampf-nya Hitler.” Ini keterangan-keterangan menariksaya pikir untuk didiskusikan lebih lanjut.

Di film itu ada adegan wawancara dengan seseorang di Bali yangbekerja di perkebunan, dan dia diminta oleh perusahaan untukmembersihkan perkebunan itu dari PKI. Siapa yang menjadi PKI? Ya,perkebunan yang tahu, tinggal kasih daftarnya nanti orang ini yangmengerjakan dan ia mengaku membunuh sekurangnya 25 orang. Jadipembunuhan massal itu ternyata lebih dari sekadar reaksi spontan sepertiyang selama ini diceritakan dalam buku resmi, tapi sangat terkait denganmasalah-masalah lain seperti tanah, masalah keadilan di pabrik danseterusnya. Itu yang sangat mempengaruhi perkembangan atau peristiwapembunuhan itu.

Catatan terakhir menyangkut istilah “kudeta”. G-30-S/PKI resminyaadalah sebuah kudeta. Sementara kalau melihat keterangan JenderalMursyid dan Kemal Idris, kudeta itu terjadi setelah peristiwa G-30-S ituatau sering disebut “kudeta kedua” yang dilakukan oleh Soeharto.

Inilah beberapa poin yang saya lontarkan. Memang tugas yang anehmenjadi moderator tetapi tidak ada pembicaranya. Jadi saya minta bantuanteman-teman untuk memberikan komentar atau pendapat, pandangan.Mungkin selama 30 menit ke depan kita bisa saling melontarkanpandangan. Nanti saya coba antu dengan membuat rumusan setelah itubeberapa poin akan kita diskusikan lebih mendalam. Itu tawaran darisaya, dan saya persilakan sekarang kalau langsung ada yang mau bicara.

Norman Sophan:Assalaamualaikum warahmatullah wabarakatuh. Pertama saya

menaruh hormat kepada generasi terdahulu, yang menyaksikan secaralangsung. Karena saya ini generasi baru. Jadi yang saya lihat di film initadi, saya melihat dari sisi apa dulu? Kalau dari sisi HAM ya jelasmelanggar. Saya melihat ini film tidak ada bedanya dengan negara-negaralain. Karena pada waktu itu ada dua kekuatan besar, ideologi komunisdan ideologi liberal. Ini yang kita lihat rebutan terhadap negara-negara berkembang.

Page 111: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 109

Pada waktu G-30-S/PKI itu kalau nggak salah saya masih SD kelas satu, kelasdua. Ingat sekali saya setiap rumah disuruh gali lubang. Saya nggak tahu untuk apa.Nah ini, ini masa lalu. Kalau saya melihat, betapa gobloknya bangsa-bangsa negaraberkembang. Pada waktu itu negara RRC dan Uni Soviet yang ideologi komunisnyabegitu hebat melawan kelompok Eropa dan Amerika. Ini dua kekuatan besar yangmerebut bangsa-bangsa yang terjajah. Kalau kita lihat, kita ini jadi kelinci percobaan,jadi boneka. Menurut referensi yang saya baca katanya kalau Indonesia bisa ditaklukkankomunisnya maka minimal Asia Pasifik akan komunis semua. Maka berlomba-lombalah Amerika, mungkin support duit, sponsor apa dan segala macam. Mungkinsaya salah persepsi. Terima kasih.

Peserta:Saya seorang bekas guru di Jawa Timur, guru Sekolah Teknik

Menengah. Mungkin kalau kita bicara tentang pengalaman atau korbanorang bosan mendengarkan. Tapi kalau generasi muda menghendakisupaya diungkap secara gamblang apa yang terjadi, maka kewajibankami orang-orang tua ini untuk menyampaikan kepada mereka, bahwainilah pengalaman kami pada saat-saat menjelang ’65 itu.

Kalau dilihat dari jumlah korban memang Jawa Timur paling banyakdan terutama terjadi di antara para guru. Guru-guru SD yang di desa-desa itu hampir semuanya terbunuh. Dan ini merupakan satu kenyataan,sebab pada umumnya guru-guru di desa ini adalah pembawa pikiranbaru, pembawa pikiran modern di desanya, sehingga bertentangandengan tradisi yang ada di dalam desa itu sendiri. Oleh karena itu padasaat terjadinya peristiwa itu orang yang merasa diganggu oleh pikiran-pikiran maju para guru itu lalu bangkit pikirannya untuk mengadakanpembunuhan. Dan ini terjadi sedemikian rupa, sehingga para guru palingbanyak terbunuh di Jawa Timur, terutama guru-guru SD sampai kepadaguru-guru SMP, guru-guru Sekolah Teknik. Kami adalah salah seorangpengurus Persatuan Guru Teknik di Jawa Timur. Waktu itu memangrekan-rekan kami guru-guru teknik banyak yang terbunuh juga diMagetan, di Blitar, mereka itu begitu dibunuh dimasukan ke sumur,atau diluweng sehingga keluarganya tidak tahu kemana anaknya atausuaminya itu pergi.

Jelas bahwa generasi muda harus tahu tentang itu. Karena anak-anak saya sendiri misalnya, menganggap bahwa saya atau kami, sesuaidengan indoktrinasi dari sekolah waktu itu, adalah musuh-musuh mereka.Ini suatu kenyataan. Banyak kawan-kawan yang pulang dari penjaradikucilkan oleh keluarganya. Dan ini banyak sekali sehingga mereka menganggapkedatangan para tahanan dari penjara akan menambah beban keluarga itu sendiri.

Pertentangan yang terjadi pada waktu itu adalah pertentangan antara kami orang-orang tua jangan sampai sekarang ini berimbas kepada generasi muda kita. Oleh

Page 112: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000110

karena itu, kami menyerukan adanya rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini tentu saja mustiberdasarkan pikiran Presiden Soekarno waktu itu, bahwa harus dihimpun kekuatanrevolusi untuk memenangkan revolusi. Jadi [kalau] rekonsiliasi yang secara vulgarditerapkan tentu saja akan merupakan rekonsiliasi yang tidak menguntungkan bagirevolusi itu sendiri atau reformasi total yang diinginkan oleh mahasiswa kita.

Hario Kecik:Saya ini tentara dulu, saya bukan dari KNIL, dan bukan dari PETA,

dan bukan dari Heiho, tapi saya masuk tentara ini karena mahasiswayang ingin berontak. Jadi, jiwa berontak ini saya bawa di dalamperjuangan. Sebetulnya nggak tinggi ideologi saya, cuma ingin nembakilondo, gitu aja.

Terus saya jadi panglima, di situ saya ingat dengan keadaan masyarakatyang kongkret. Di situ saya belajar adanya partai-partai yang kerja ditengah-tengah rakyat, dan ada problem-problem yang kebanyakan -karena negara kita ini agraria - mengenai tanah. Tanah, nah ini yangpenting.Jadi waktu saya panglima, itu sebetulnya sekolah untuk saya.Karena saya memikirkan perkara bagaimana rakyat ini? Di situ, orangharus dikombinasikan dengan tanah. Itu diinterpretasi oleh orang-orangatasan itu, yang nggak senang tentu saja, sebagai pikiran kiri. Memangitu pikiran kiri, kalau pikiran kanan, ndak bisa begitu. Rakyat harusdieksploitasi di dalam perusahaan-perusahaan, di dalam perkebunan-perkebunan.

Tapi saya mempunyai ide rakyat ini harus transmigrasi, harusmempunyai tanah sendiri, harus produksi. Ini sudah betentangan denganperusahaan minyak yang ada di daerah saya itu. Ya, ngerti sendiriperusahaan minyak dalam rangka kapitalisme itu apa? Jadi, setelah melihatini dan sebelumnya melihat ini, yang kita cari itu causality, hubungannya,itu. Di mana? Yaitu di tanah, masalah tanah, dan masalah kekuatan yangdipakai kaum kapitalis itu untuk menjalankan niatnya yang umum untukdijalankan di negara-negara berkembang itu. Apa itu? Tentara pada saatitu.Jadi film ini hanya menunjukkan highlight dari perjuangan rakyatyang pada saat itu kalah, dibunuh, jutaan dibunuh. Tapi perjuangannyatetap. Ini kaum muda harus mengerti. Ndak perlu kita jelaskan, merekangerti sendiri.

Moderator:Terima kasih Pak Haryo, saya sebetulnya mau stop. Tapi pembukaannya dia

bilang, “Saya ini tentara”, jadi saya segan juga nyetopnya. Ini dari tadi anak mudadibilang harus begini-begitu. Saya mau nyambung sedikit karena sudah ada tigaorang yang bilang anak muda harus begini, harus begitu. Jadi mau kasih kesempatananak muda dululah untuk mengemukakan pikirannya. Silakan.

Martin Aleida:

Page 113: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 111

Pada salah seorang teman saudara Fay, saya pernah bertanya, apakah yang diskusiini ditranskrip atau tidak? Atau dibiarkan saja sebagai rekaman? Sebab saya kira inikesempatan yang baik untuk memulai kebiasaan untuk menulis. Misalnya banyakhal yang buat saya sendiri baru, misalnya mengenai peristiwa Madiun. Prammengatakan bahwa itu adalah upaya untuk membiarkan Jawa Barat diambil olehBelanda. Tapi ini kan tidak pernah tertulis. Tidak ada yang tulis. Dan saksi-saksisejarah, kecuali Putu Oka, tidak pernah ada yang menulis. Tidak ada. Hanya satu duayang menulis dari peristiwa yang begitu dahsyat.

Dan saya kira juga forum kita ini kurang terbuka. Saya pernahmengusulkan supaya Hermawan Sulistyo diajak bicara. Sebab saya kira,dia adalah seorang sarjana sejarah - saya kira sejarah politik - yang pertamadan paling luas membuat satu studi mengenai pembunuhan yangterkonsentrasi di Kediri dan Jombang. Saya kira dia orang pertama yangsebagai seorang sarjana begitu jujur. Saya kira kalau difilmkan hasilwawancara dia, tidak kalah dahsyat daripada yang dikerjakan rekan-rekan kita dari Australia.

Saudara Alex dari kelompok kita ini apriori bahwa Hermawan Sulistyopada kesimpulannya tidak mau mengatakan bahwa G-30-S itu adalahgrand strategy Angkatan Darat. Tapi jangan begitu, dong. Sebab kalaukita lihat kesimpulan tulisan saudara Hermawan Sulistyo, dia denganjelas mengatakan bahwa tentara itu kasarannya membiarkan ataumendorong orang untuk membunuh. Saya kira ini sudah satu sikapyang sangat maju sebagai seorang sarjana sejarah politik.

Saya ingin tekankan bahwa siapa yang mengalami peristiwa-peristiwabesar dalam sejarah kita mau ditulis, dan saya kira kewajiban saudaraFay, tentu sebagai seorang sejarawan, menulis dengan komprehensif.

Ilham Aidit:Film itu sangat berhubungan secara emosional dengan saya. Waktu

umur saya 6 tahun, saya baru mulai bisa membaca beberapa kata menjadikalimat terpanjang. Saya baca di dinding besar dengan tulisan dari catmerah, “Bubarkan PKI, gantung Aidit, Subandrio anjing Peking.” Sayapikir kenapa begitu banyak yang ingin menggantung ayah saya? Saat itusaya sadar, sejak umur 6 tahun, hidup saya akan sulit. Sejak itu saya selalu berpikirsebetulnya apa yang terjadi saat itu? Dan betulkah ayah saya bersalah?

Ini sekedar sharing saja bagaimana rasanya menjadi seorang anak komunis, anakPKI. Waktu saya SD, saya hanya tahu bahwa ayah saya pemberontak. Dan sulit buatsaya untuk mengatasi masalah itu, karena kata “memberontak” punya konotasi sangatburuk. Dan saya tidak cukup tahu bagaimana harus mengatasi itu.

Ketika saya SMP, saya termasuk anak yang sering berkelahi. Karena dibilang”anak Aidit”. Hampir tiap hari saya berkelahi hanya karena orang bilang anak PKI.Kemudian waktu kelas 3 SMP saya ingat sekali ada seorang anak memanggil saya

Page 114: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000112

“anak PKI”. Saat itu saya tiba-tiba merasa tidak harus berurusan fisik dengan dia. Sayabetul-betul ingin tanya, “Apa yang kamu ketahui tentang PKI?” Dia jawab waktuitu, masih ingat sekali, “PKI itu orang dengan dengan topi caping dan selalu punyapalu dan arit di bajunya. Palu untuk membenturkan kepala orang dan arit untukmelibas leher orang.” Biasanya saya tonjok orang itu langsung, perkara saya kalah ituurusan belakangan. Tapi saat itu sedih, sedih sekali, karena saya pikir orang seusia sayaseperti dia - namanya Rono - saya masih ingat sekali, banyak sekali dan semua berpikirseperti itu. Saat itu saya merasa bahwa hidup saya akan semakin sulit. Paling tidak,tidak semudah orang lainlah, kira-kira begitu.

Waktu itu saya menangis. Umur saya 15 tahun dan itu menangisyang kedua kali setelah saya ditinggal orang tua saya. Itu menangispertama kali agak serius. Guru sejarah saya waktu melihat kejadian itubilang, “Kamu kembali ke tempat duduk kamu dan nanti setelah selesaisekolah kamu ketemu saya.” Setelah selesai sekolah saya ketemu beliaudan dia bilang cuma satu, “Kalau energi kamu, tenaga kamu, semuapikiran kamu habis untuk melayani seperti itu , kau pasti sering tidaknaik kelas, bahkan kamu sering keluar sekolah. Jadi lebih baik kamutidak pikir tentang itu, kamu konsentrasi penuh pada pelajaran kamu,dan kamu harus naik kelas tiap tahunnya.” Dan itu cukup melegakansaya, jadi selama SMA saya pegang kata-kata guru itu, dan sangatmembantu.

Ini saya sharing saja, sedikit perjalanan hidup saya supaya mungkinAnda bisa tahu bagaimana rasanya sebagai seorang anak yang dibilang“anak PKI”. SMA saya lewati sedikit lebih mudah, karena hanya kata-kata dari guru SMP saya yang mengatakan, “Jangan buang energi kamuuntuk melayani ocehan semacam itu.” Nah, waktu SMA pikiran yangsangat mengganggu saya itu sebetulnya hanya dua, “Apakah ayah sayamemang bersalah? Apakah ayah saya memang seorang penjahat? Ataukedua, apa sebetulnya yang waktu itu terjadi?” Karena versi yang ada cuma satu. Dansaya sudah hafal sekali versi itu. Ketika SMA saya sudah mendapatkan beberapa versilain, tapi sangat sepotong-sepotong.

Ketika saya mahasiswa, saya kebetulan agak dekat dengan Brouwer,dan saya banyak diskusi soal peristiwa yang lalu untuk saya ketahui.Dan Brouwer tanya, “Kenapa kamu ingin tahu?” Saya bilang, “Saya sangatperlu tahu siapa ayah saya. Apakah dia seorang penjahat, ataukah diaseorang yang baik, apakah dia seorang yang dikhianati, dicurangi dansebagainya, buat saya penting.” Kedua, saya ingin tahu persis sebetulnyaapa yang terjadi waktu itu? Dan beberapa data sudah saya dapat sedikitdemi sedikit. Kemudian ada sedikit pengalaman juga ketika saya satuhari, karena saya sering mendaki gunung dan melakukan operasi SAR.Saya berkumpul dengan teman-teman dan ada seorang pendaki gunung

Page 115: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 113

lewat dengan caping dan golok di pinggangnya. Kemudian satu orang nyeletuk,“PKI pisan eh”. Saat itu saya kaget karena saya melihat sampai seumur itu pun, sebayasaya pun, berpikir bahwa PKI seperti itu.

Kemudian saya panggil dia dan saya bilang, “Kenapa Anda bilang ituseperti PKI?” Dia cerita banyak tentang apa yang dia tahu tentang PKI,tentang komunis dan sebagainya. Dan itu mengejutkan buat saya karenasaya anggap itu adalah pikiran umum orang sebaya mereka. Dia ceritabahwa syarat menjadi anggota PKI adalah mampu dan tega untukmembantai kepala, tangan dan sebagainya. Itu adalah hal mengejutkanbuat saya, karena ternyata frame itu sudah sangat kuat di benak banyakorang sebaya saya. Saya sekedar ingin sharing kepada teman-teman,bagaimana korban itu, dan saya termasuk orang yang beruntung, karenaakhirnya saya mendapatkan pendidikan yang baik, dan orang-orangberani memelihara saya, mengasuh saya.

Tapi sebenarnya saya ingin katakan korban itu bukan hanya merekayang menjadi korban. Tetapi orang-orang yang tidak menjadi korbanseperti anak dan cucunya juga sebetulnya melewati hidupnya dengansangat sulit. Saya termasuk yang sangat beruntung, akhirnya saya bisasurvive seperti sekarang. Tapi saya bisa bayangkan mereka-mereka yangtiba-tiba orang tuanya hilang, tanahnya diambil oleh pihak militer,kemudian hilang segala-galanya.

Sebetulnya yang saya harapkan waktu saya diundang oleh kawansaya untuk hadir di sini, kita berdiskusi soal bagaimana kita bisamencegah ini supaya tidak terulang lagi. Karena cukup sering kita katakanbahwa hal ini tidak harus terulang lagi, tetapi akhirnya dengan mudahdan sangat mudah itu bisa terulang seperti yang kemarin-kemarin ini.Jadi lucunya kita seperti sangat sadar bahwa ini tidak boleh terulang,tetapi dengan sangat mudah terulang. Itu sebenarnya agak mengerikankarena ternyata - mungkin saya terlalu lancang - tapi kita punya naluri kebinatanganyang buas sekali, dan dalam waktu singkat menjadi sangat liar. Itu bisa kita lihatdalam peristiwa Mei, dan peristiwa yang baru lalu. Sebetulnya itu saja yang inginsaya sharing dengan kawan-kawan. Ya, mungkin membicarakan tentang bagaimanaini tidak terulang, itu mungkin lebih penting karena toh kita harus berjalan ke depan.

Bakri (Pakorba):Tadi dikemukakan bahwa masalah pembunuhan massal, kekejaman

dan sebagainya hanya terjadi di Pulau Jawa dan Bali. Saya kira itu kurangtepat juga karena di setiap bidang tanah di Nusantara ini, ada mayat-mayat itu. Cuma sekarang belum jelas mau diapakan. Masalahpembunuhan massal itu sudah sejak lama hilang dari udara, yang adarekonsiliasi. Rekonsiliasi untuk apa? Ini juga ndak jelas.

Nah, yang akan saya sampaikan ini hanya sekelumit fakta. Bahwa di

Page 116: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000114

pantai barat pulau Sumatra, kabupaten Pesisir Selatan, ada mayat lebih kurang 300orang. Empat puluh delapan di antaranya kuburan massal yang saya sudah pernahke tempat itu, dan di atasnya sekarang kebetulan ada tugu yang dibuat. Tidak tuguperingatan, tapi tugu tanda Bakorstanal. Angkatan Laut punya main itu. Letaknya disebuah lereng di laut. Nah di laut itu pula, di depan kuburan itu, Komandan Kodimyang membunuh ini tenggelam. Barangkali itu kata orang kehadiran Illahi.

Dari 300 orang itu, 48 namanya jelas, si pembunuhnya jelas, yang cukur rambutnyadiambil dari penjara polisi juga jelas, dokter yang disuruh nyuntik apa isi suntikannyatidak tahu, cuma sebelum mereka dibawa ke tempat itu disuntik lebih dulu. Tempatitu kira-kira 18 kilometer selatan kabupaten Pariaman. Di satu tempat namanya bukitPulai. Karena itu bukit, jalan lalu lintas yang dari selatan dan dari utara distop. Jadiitu betul-betul pembunuhan official, pembunuhan resmi oleh karena di daerah itutidak ada konflik horisontal. Daerah itu adalah daerah nelayan, petani, petaninyapunya tanah. Di situ tidak ada problem agraria, malah tanahya sampai sekarangbanyak yang kosong. Buruhnya juga tidak banyak, kecuali buruh listrik dan guru,pedagang, itulah isi kabupaten itu.

Di situ ada 300 mayat, tapi di tempat kuburan itu ada 48 yang jelas datanyasemua. Nah, cuma mau diapain ini data? Apakah ada suatu forum yang bisamenyelesaikan masalah ini? Baru-baru ini kalau saya nggak salah ada Tap MPR NomorVIII ayat 18 atau 28 itu, yang menyatakan bahwa tidak bisa dituntut. Kalau begituini jatuh di bawah masalah impunity. Tanpa ada sanksi, dan sampai sekarang tidakada satu pun lembaga yang memberikan solusi. Memang kita dengar ada rekonsiliasiseperti disebut tadi, rekonsiliasi nasional dan sebagainya, yang rencana undang-undangnya sering dibuat, tapi juga ndak jelas. Dan barang kali juga dibuat oleh elit-elit yang mustinya bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Barangkali, ya. Karenamereka yang menjadi korban atau keluarga yang menjadi korban pembunuhan initidak terwakili di dalam pembentukan rencana-rencana itu.

Jadi inilah masalah yang saya kemukakan kepada saudara-saudara. Dan tentuyang 300 saya sebut ini hanya sebagian kecil dari yang disebut oleh Cribb dariMonash University, katanya ada tiga juta. Cuma yang kecil ini, ada 48 yang sangateksak sekali dan kalau riset barangkali di sampingnya banyak lagi kuburan-kuburanlain. Nah ini mau diapakan? Adakah forum untuk membicarakan ini? Dan kalautidak, apakah ini kita jadikan cerita sejarah? Apakah ada suatu bentuk keadilan dansebagainya? Penanggungjawab sudah jelas, ini yang mengambil semua tentara. Bahkandi suatu tempat, Air Haji, namanya Nurhayati. Yang mau ditangkap ayahnya, diaumur 18 tahun, tentara mau datang katanya, “Jangan ayah saya mau diambil, bunuhsaya dulu.” Itu Nurhayati langsung dimasukan dalam karung dilempar ke satu batang[sungai/kali, ed.], lupa saya nama batang Air Haji itu, tapi masih sempat setelah matidi dalam karung itu diambil oleh keluarganya. Nah ini, ini banyak sekali yang terjadibegitu. Mau diapakan fakta ini?

Peserta:

Page 117: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 115

Saya ulangi pembicaraan saya di gedung Dewan Pers tempo hari waktu meluruskanpembicaraan Bu Carmel Budiardjo tentang G-30-S/PKI yang di Eropa dan Amerikadianggap konflik horisontal. Bahkan secara vulgar dikatakan seakan-akan perangsaudara. Itu semata-mata hanya istilah untuk menghalalkan pembunuhan-pembunuhan itu. Saya bantah, dan diterima oleh Bu Carmel Budiardjo. Itu skenariokonspirasi internasional dengan oknum-oknum pengkhianat - kalau Bung Karnobilang oknum-oknum tidak benar - diusahakan adanya konflik horisontal. Tapi ituhanya terjadi, beberapa bulan setelah G-30-S... sebetulnya Gestok karena itu sudahSubuh, itu Gerakan Satu Oktober.

Obyektif, maaf ya, saya ini lawman, sebenarnya ndak pernah ngertipolitik. Enam dua masuk perguruan, saya langsung masuk bidangkepolisian, cuma kok terus jadi korban politik. Jadi mau nggak mauharus tahu politik, orang nggak tahu politik itu ternyata jadi korban.Satu almamater dengan Pak Haryo, sama-sama di RTM dulu. Sampai hariini nggak jelas salah saya itu apa?

Nah, tentang film tadi, saya sebagai lawman lebih banyak melihatdari aspek hukum. Ada dua pemilahan, yaitu bahwa ada semacam konflikhorisontal, tapi yang terlibat adalah organisasi pemuda agama tertentu,yang berhasil diprovokasi oleh RPKAD. Saya tegaskan RPKAD! Itu terjadidi Jawa Tengah, Jawa Timur, kebetulan baru-baru Bung Karno membentuk TimPencari Fakta, saya mendampingi Pak Oei Tjoe Tat keliling Jawa Tengah, Jawa Timur.Jadi saya sebenarnya ingin mencocokkan apa yang saya lihat dan yang di film. Dankalau film itu luar biasa itu, bagaimana nyolongnya ngerekam, ngerangkainya itu.Tapi yang jelas, yang lebih penting adalah untuk membuktikan kejahatan-kejahatanpolitik Orba, Orde Bandit.

Secara kriminologis, pembunuhan-pembunuhan masal yangdikesankan konflik horisontal itu hanya terjadi Oktober, November,Desember, Januari. Awal Februari kami keliling, masih ada secara sporadis.Tapi, yang lebih jahat adalah pasca Supersemar, yang lebih besarjumlahnya karena dilakukan oleh penyelenggara negara. Dibunuh olehangkatan-angkatan bersenjata tertentu, atas perintah panglima tertentuyang sekarang masih pada hidup! Kita bisa membuktikan!

Pembunuhan yang terjadi pasca Gestok, sampai bulan Januari, danpembunuhan yang pasca Supersemar itu jelas pembunuhan-pembunuhansistematik. Tiap malam di semua daerah oleh kesatuan, pembunuhanresmi karena dilakukan oleh penyelenggara negara atas perintah-perintahjenderal tertentu oleh kesatuan-kesatuan tertentu. Ini yang perludiungkap, lebih dari Hitler.

Oleh karena itu, menyambut ajakan pimpinan nasional, berangkatdari minta maaf terjadinya peristiwa G-30-S. Cuma kita masih bingung,Gus Dur minta maaf dalam kapasitas apa? Sebagai siapa? Dan minta

Page 118: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000116

maaf kepada siapa? Dan minta dari hal apa? Tidak jelas. Tapi, sudah didahului denganseruan rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini apa? Apalagi belum-belum sudah merujuk AfrikaSelatan. Lain! Rekonsiliasi nasional mana mungkin bisa efektif, mana mungkin inisiatifdari penyelenggara negara. Memang memberi harapan, karena diucapkan oleh seorangpimpinan nasional yang sekarang jadi presiden. Tapi, operasionalnya mana?

Kita berseru sudah lama supaya dibentuk Komisi Kebenaran, kok nggak adasambutan sampai hari ini? Terus terang saja, kami yang korban nggak butuh rekonsiliasi.Yang berkepentingan rekonsiliasi ini siapa? Yang berbuat kan? Kalau kami menurutemosi, utang nyowo bayar nyowo, utang wirang bayar wirang! Apalagi sudah satuturunan lho, kalau nuruti emosi. Tapi alhamdullilah menuruti hadis Nabi, “Dendamitu tidak baik”. Oleh karena itulah kami telah merasa menjalani kesabaran revolusionerselama 35 tahun. Sampai kapan lagi kita harus menunggu? Ini pertanyaan kita kepadabapak-bapak ibu sekalian, dan kepada terutama korban-korban Orba. Kemarin diDewan Pers saya bilang, “Rekonsiliasi itu bisa terjadi manakala ada pengakuan bersalahdulu dari pelaku. Rehabilitasi dong kami. Kalau ganti rugi sih wallahualam deh,negara kayak begini mampu ganti rugi dari mana?” Kami direhabilitasi sajalah,bentuknya terserah. Nah, untuk itu bentuk dong Komisi Kebenaran. Hai, Gus Dur!Bentuk Komisi Kebenaran!

Jadi, menurut saya harus dipilah antara pembunuhan-pembunuhanyang terjadi sebelum Supersemar, dan sesudah Supersemar. Dan ini selaluberulang. Kemarin Mei 98 kan jelas kelihatan sekali, bahwa akandimunculkan Joko Tingkir modern, Prabowo. Diciptakan anarkisme,chaos. Penyelenggara negara nggak mau mengendalikan. Itu satu alasanmiliter untuk mengambil alih kekuasaan. Terus mengeluarkan keadaandarurat perang. Seenaknya dia. Itulah yang terjadi ’65. Enam lima ituadalah ulangan peristiwa Demak. Bagaimana Joko Tingkir merebut tahtadari Raden Trenggono. Dan sebenarnya peristiwa Demak itu, juga ulangandari peristiwa Singosari. Bagaimana Ken Arok merebut tahta TunggulAmetung?

Tentang ini kepustakaan kita sudah diboyong semua ke Leiden. Inilahyang dimaksud Bung Karno dulu. “Jas Merah” diucapkan Bung Karnosebagai wujud pribadi yang tahu sebelum kejadian, weruh sedurungiwinarah, 17 Agustus ’65 Bung Karno mengatakan, “Jangan sekali-kalimenghilangkan sejarah.” Eh, satu setengah bulan kemudian terjadi ’65.Saya hanya mengacu apa yang pernah dikatakan oleh Bung Karno. Satu,terjadinya G-30-S adalah lihainya super cacing; dua, keblingernyapimpinan PKI; tiga, adanya oknum-oknum yang tidak benar, kalau sayalebih vulgar adanya oknum-oknum pengkhianat. Yang menarik adalahlihainya super cacing. Super cacing yang mana? Itu ada konspirasiinternasional, itu yang perlu dipahami. Bukan [hanya] CIA Amerika. CIAjelas, sejak Republik kita proklamasi diobok-obok terus, suatu ketika

Page 119: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 117

57-58 Republik kita tinggal Jawa Timur sama Bali. Tapi Alhamdullilah Soekarno danAhmad Yani, kembali mempersatukan republik lumpuh.

Maksud saya cerita ini adalah kita tidak usah pesimis, kita tidak usahkecil hati menghadapi gonjang-ganjing ancaman klise, disintegrasinasional, disintegrasi bangsa dan sebagainya. Kita pernah lebih jeleksebetulnya, asal kita sebagai anak bangsa bermoto, “Karmane fatekalasetimapelesu kita cana,” kata Bung Karno. Mari kita laksanakan tugassuci kita sebagai anak bangsa, tanpa menghitung-hitung untung ruginya.

Moderator:Terimakasih, Pak. Sebelum nyambung, ini masalah arah diskusi. Saya

catat sekurangnya ada lima poin yang mungkin bisa kita perdalam disini. Pertama, pembunuhan massal yang kita lihat bukan yang pertamadan ternyata juga bukan yang terakhir. Tadi dipertanyakan apakah diamerupakan bagian konflik yang lebih besar, ya ada persoalan Amerikaitu, ada persoalan negara industri maju dan seterusnya.

Soal yang kedua, adalah bahwa pembunuhan ini ternyata terkait, kalau menurutpenuturan tadi terutama masalah tanah mungkin bisa diperluas jadi soal sumberdaya alam, ya. Kalau Pak Hario menyinggung masalah tambang minyak dan sebetulnyaada beberapa masalah lain juga. Seperti kalau kita lihat nggak ada urusannya Nurhayatidengan apa yang dibuat G-30-S atau apapun, tetapi kemudian dia juga menjadikorban.

Persoalan ketiga, perlunya penyelidikan lebih lanjut. Tadi berulangkali disebut bahwa bahan-bahan banyak di perpustakaan di luar negeriternyata, yang mungkin mempersulit proses penyelidikan. Nah, sayajuga mau angkat ini sebagai sebuah persoalan, karena bahan terbanyakmasih di sini. Justru banyak cerita-cerita belum tergali, belum sama sekaliterdengar, ya lebih banyak di sini dari pada di luar negeri.

Terus yang keempat, persoalan korban. Saya pikir sangat menarikcerita saudara Ilham tadi, bahwa orang mungkin membayangkan angkasaja. Kita bisa berdebat dengan mudah soal sejuta atau 3 juga atau beraparatus ribu. Tapi mendengar cerita dari satu saja korban itu ternyata luarbiasa. Keterangan yang kita peroleh dan saya pikir mungkin ada yanglain yang mau menyambung dengan cerita-cerita lain di sekitar masalahkorban ini.

Dan yang terakhir pertanyaan yang paling mendesak kayaknya: kalausudah terkumpul, daftar, data atau apapun itu mau diapakan? Dan iniberkaitan dengan begitu banyak tawaran. Ada tawaran rekonsiliasi daripemerintah, tapi ada juga anggapan bahwa rekonsiliasi ini nggak adagunanya. Jadi diskusi di sekitar itu akan menarik. Nah, saya silakansiapa yang mau melanjutkan?

Sunar no :

Page 120: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000118

Saya dari Kodrat (Komite Pemberdayaan Rakyat).Yang lebih saya sorot di siniadalah kedudukan Bung Karno. Bung Karno mengatakan, “Di dunia ini ada duakekuatan saja, yaitu the new emerging forces dan old established forces.” Ini menyebabkankapitalisme takut akan pikiran Bung Karno. Sebab kekuatan golongan sosialisme danrakyat tertindas di dunia yang anti imperialisme disatukan untuk melawan kapitaslimeimperialisme. Buktinya beberapa kali Bung Karno dicoba untuk dibunuh.

Jadi jelas bahwa faktor Bung Karno juga menentukan kekuatankapitalisme-imperalisme untuk mengadakan peristiwa Gestok. Saya kiraini yang tadi belum disoroti. Bung Karno dianggap lebih berbahaya daripada Khruschev. Kalau Khruschev sudah jelas dari pihak sosialisme,tapi Bung Karno membawa golongan sosialis dan rakyat bekas jajahananti kapitaslime-imperalisme.

Saya kira perlu dimengerti sekarang ini di mana-mana di duniadibangkitkan suatu pertentangan untuk pergolakan-pergolakan, ini adalah usahakapitalisme-imperialisme itu sendiri. Sebab dengan adanya pertentangan antara sesamabangsa, pihak republikan di Amerika yang menghasilkan senjata akan laku.

Gustaf Dupe:Terimakasih. Kalau bicara lembaga, saya dari KPTN, Komite

Pembebasan Tapol/Napol. Tadi beberapa kali disebut konflik horisontalpada G-30-S. Saya ingin ini diluruskan, apa memang ada? Jangan sampaikita terjebak pada istilah-istilah itu. Yang ada adalah orang yang PKIatau dianggap PKI dibantai tanpa melawan. Malah yang di Bali ada ayahdari teman saya dengan teman-temannya - saya nggak tahu apa yanglima orang tadi di film itu - mereka dibawa lantas suruh gali kuburnyasendiri. Kemudian berdiri di tepi tiang, lantas diminta mereka itumenyampaikan pesan terakhir. Mereka sampai terakhir nggak yakinbahwa akan mati begitu gampang. Jadi nggak ada pesan, tapi didorhabis.

Saya pikir ada hal-hal sangat penting dari film tadi yang saya lihatperlu disosialisasikan. Ada kesaksian-kesaksian nyata dari para pelaku.Khususnya yang saya lihat itu Kyai Yusuf dari pesantren Tebu Irengsama Pak Kemal Idris. Saya kira pengakuan-pengakuan mereka itu orangnggak tahu. Itu entah bagaimana caranya disosialisasikan, itu sangatpenting.

Lantas korban-korban itu masih sangat banyak yang ’65, yang Aceh,yang Lampung, yang Papua, yang Timtim. Nah, setelah sekarang Soehartosebagai rezim itu secara formal nggak ada, menurut saya kekuasaannyamasih ada. Tapi masing-masing kategori korban ini celakanya terus merasabahwa hanya dia sendiri yang korban. Lantas dia memperjuangkankepentingannya sendiri tanpa melihat kebersamaan sebagai kepentingankorban dari satu rezim. Dan yang repot lagi bagi kita - korban-korban

Page 121: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 119

’65 - kelompok-kelompok korban yang lain tidak mendukung perjuangan korban-korban ’65. Nah, sekarang tinggal sendiri mau ndak mau.

Barangkali itu pentingnya kesaksian-kesaksian para pelakudisosialisasikan. Bisa diubah opini itu dengan kesaksisan-kesaksiandemikian dan kita harapkan bisa digali lagi kesaksian-kesaksian lain.Kenyataannya sekarang, indoktrinasinya adalah bahwa PKI itu ateis,ateis itu anti agama. Jadi, kita yang beragama harus bikin pasukan untukhantam PKI atau yang memperjuangkan hak-hak PKI. Perjuangan kitaliku-likunya banyak. Kita harus mengenal liku-liku itu sehingga masuknyajuga tidak membenturkan kepala sendiri.

Billy:Kebetulan saya datang dari Palembang. Saya ingin bertanya kepada

bapak-bapak yang duluan lahir waktu ’65. Mungkin bapak-bapak bisamenceritakan bagaimana konspirasi saat itu. Maksudnya bukan konspirasiyang luas sekali, tapi lebih mendetil. Misalnya kalau pun ada keterlibatantentara di sana, bagaimana cara dia main, selain dari film yang telah kitaputarkan. Memang itu salah satu bukti atau fakta. Semakin banyak datamungkin akan mendukung fakta-fakta yang lebih banyak lagi. Mungkinbisa diceritakan, bagaimana mainnya, kalaupun tentara main. Kalau punkonflik horisontal, bagaimana dalam konflik ini bisa terjadi pembantaianmassal seperti itu?

Ruth Indiah Rahayu:Maaf, tanpa mengurangi hormat saya, saya merasa malam ini kok

forumnya jadi sekali lagi forum katarsis sebagaimana juga saya dengardi semua forum yang menggelar kasus ’65.

Saya ingin dengar cerita dari teman-teman kita yang muda, sepertiRinto dari Tim Relawan dan kawan-kawannya, yang sudah mulaimelakukan penelitian dengan pendekatan oral history dan mereka telahbertemu para korban. Alangkah baiknya orang seperti Rinto dan kawan-kawan yang muda ini, yang tidak tahu apapun tentang ’65, menceritakanpendapat mereka setelah bertemu para korban? Karena kami lihat Rintodan kawan-kawan sempat shock ketika ketemu dengan ibu-ibu yangtidak pernah dikenal dalam catatan sejarah dimanapun termasuk ’65.

Coba kita dengarkan, biarkanlah yang muda ini belajar berpidato.Bapak-bapak dulu juga banyak kesempatan berpidato, sehingga biaryang muda mengalami katarsis malam ini.

Rinto:Sebenarnya saya tadi juga sempat pesimis, karena pembicaraanya

justru lebih banyak penekanan ke intrik-intrik politik sebelum dan ketikaperistiwa itu terjadi. Saya yang lahir di tahun 70-an, di Orde Baru, besardi Orde Baru juga, sama seperti teman-teman lain yang seusia dengansaya itu. Wajar kalau kita nggak ngeh dengan suara korban itu. Tapi

Page 122: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000120

kenapa justru yang di sini seperti melupakan itu? Saya awalnya nggak ngeh ketikaberhadapan dengan korban. Mereka menceritakan misalnya karena dia cantik, masukpenjara itu, dihamili oleh komandan sampai punya anak di kamp. Ketika diinterogasikomandan itu menanyakan, “Dengan siapa kamu berbuat?” Nah, kenapa dalamdalam pelajaran maupun di masyarakat pun, nggak pernah tertuang pengalaman-pengalaman korban seperti ini?

Dan kemarin juga ketika saya main di Purwodadi, saya sempat ketemudengan seorang bapak yang sempat dibuang di Pulau Buru. Dia punyaseorang isteri dan dua orang anak. Dia menceritakan bagaimana ketikabaru beberapa hari dia ditangkap, tiap malam isterinya digumuli, malamini oleh Banser, besok malamnya lagi oleh Pak Lurah, besok malamnyalagi Dandim, besoknya lagi Mas Kopral, Mas Sersan, akhirnya meninggal.Teror-teror seperti ini. Dan menyakitkan lagi ormas pemuda waktu itu,datang katanya minta kerokan dengan isterinya itu kemudian masukkamar. Ketika datang dia membawa pedang yang berlumur darah denganbaju pun berlumur darah, habis menjagal orang-orang yang dituduhkiri.

Saya pernah juga ketemu seorang ibu di daerah Rembang. Dulusuaminya seorang guru dan dia sendiri anggota Gerwani yangmembangun pemberantasan buta huruf di daerahnya. Sayamembayangkan tahun 2000 saja daerah yang ditempati ibu itu sulitdijangkau, apa lagi tahun ’65. Kok bisa dituduh terlibat G-30-S? Janganlagi Jakarta, kota Semarang saja dia ndak tahu, kok dituduh terlibat dandatang ke Jakarta? Ini bagaimana? Ini nggak pernah diceritakan dalamsejarah dan sampai sekarang masyarakat nggak ngeh. Tahunya PKI itulayak dibunuh, layak dibantai, layak dipenjarakan, layak dibuang.

Terus terang saya shock ketika mendengarkan ini, karena saya nggakpernah membayangkan. Saya mendampingi korban Mei waktu itu, ketika’98. Saya pikir ini mungkin batas terakhir penderitaan orang, bagaimanaayahnya dibakar hidup-hidup di plaza atau di mall. Ketika seorangTionghoa diperkosa ramai-ramai. Saya pikir ini penderitaan terakhir yangpaling tinggi yang dihadapi oleh manusia. Tapi ketika saya menghadapikorban, rupanya masih lebih banyak.

Seorang ibu mencari suaminya ketika ditangkap di tahun ’65 sampaitahun ’99. Bagaimana ini bisa terjadi? Ketika mencari misalnya, dia harusmenumpang truk dari Rembang ke Semarang, dari Semarang kemalamantidur di emperan toko. Pulang buang barang, cari lagi suaminya keSurabaya itupun tanpa hasil. Bahkan dia juga sampai ke dukun-dukun.Kalau dengar ada dukun yang tersohor dan bisa menangani beberapamasalah, maka dia didatangi sekalipun harus jual tanah dan jual rumah.Ketika dia membuka usaha jahit, dia mendapat order 16 potong pakaiantetangganya. Kemudian suatu malam dia kecurian setelah pulang dari

Page 123: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 121

pencarian suaminya dari Pekalongan. Dia mendapati mesin jahitnya hilang, pakaianorderan yang sudah jadi juga hilang. Nah, dia menemukan KTP yang diduga milikpencuri, dia lapor polisi. Polisi bukannya mencari atau mengusut atau menolong dia,malah memukul dia. Ini kan nggak pernah tercatat.

Kita selalu tekun dan semangat membicarakan intrik-intrik politik perang danperistiwa itu, tapi kita nggak ngeh, nggak sadar, banyak orang yang menderita. MungkinPak Ilham lebih beruntung sekalipun bapaknya tokoh PKI. Tapi orang di daerahnggak ngerti apa-apa. Sekolah dibatasi. Saya pernah ketemu seorang anak yang nggaktahu apa-apa, ketika ujian SD, dia dipanggil gurunya. Gurunya menanyakan, “Kamuanak PKI?” Teman-temannya mengerjakan soal, dia dipukuli sama gurunya, dia nggaklulus.

Marco Kusumawijaya:Saya menyambung tiga pembicara terakhir dengan Ilham tadi juga,

yaitu membawa persoalan pada sisi personal. Saya merasa sangat prihatin,karena pertanyaan Ilham tadi, apa yang bisa menjamin hal itu tidakterjadi lagi?

Dan kritik rekan terhadap pidato - dengan segala hormat - bapak-bapak kita mengenai hal-hal yang sifatnya sangat struktural dan intrik,adalah bahwa kita hampir-hampir melupakan bagaimanapun korbanadalah individu-individu, dan pelaku-pelaku itu adalah individu-individuyang mempunyai tanggung jawab otonomi sebagai manusia yang tidakbisa dibenarkan atau pun dilempar kepada hal-hal yang bersifat skenariobesar, atau hal-hal yang bersifat intrik, seolah-olah mereka ini bagiandari suatu mesin yang besar dan karena itu tidak mempunyai tanggungjawab otonomi pribadi. Jangan lupa korban adalah pribadi-pribadi, pelakujuga adalah pribadi-pribadi.

Pada saat kopral tadi tidur dengan isteri yang suaminya ditangkap,pada saat itu dia mengambil keputusan secara otonom, dan itu tidakada kaitan ideologi apapun. Dia adalah manusia, dan dia harusbertanggungjawab sebagai pribadi, sebagai manusia. Saya rasa inipertanyaan Ilham bagaimana lalu kita ke depan? Karena tentu tidak sayasangkal bahwa harus ada perubahan-perubahan struktural, harus adaperubahan-perubahan politik dan lain sebagainya. Tetapi, karena iniberulang-ulang terjadi, apakah kita tidak ingin bertanya apa gunanyaperubahan-perubahan struktural itu kalau tidak ada perubahan yangterjadi pada tiap-tiap individu? Karena itu saya melihat masa depan itusangat memerlukan aksi atau rencana yang mengenai masing-masingorang sebagai manusia.

Saya ingin mengatakan bahwa ada tanggung jawab individu masing-masing di situ. Itu penting dan tidak bisa dilupakan. Kita tidak bisamengkritik ortodoksi kapitalisme dengan ortodoksi lain yang berupa

Page 124: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000122

marxisme sekalipun. Karena ortodoksi itulah yang menghilangkan manusia sebagaiindividu.

Yanti :Dari tadi kita tampaknya bicara bahwa orang-orang yang ditiadakan

pada tahun ’65 itu adalah korban, ibu-ibu yang kehilangan suaminyaadalah korban, anak-anak yang kehilangan bapak dan orang tuanyaadalah korban. Tapi satu hal yang tidak kita sadari pada malam ini bahwaternyata kita pun yang ada pada jaman ini adalah korban. Kenapa sayabilang seperti itu? Karena kita menjadi korban dari sebuah sejarah yangdibutakan, sejarah yang digelapkan oleh Orde Baru. Tidak hanya pada kasus 1965,Tanjung Priok, Aceh… apa saja kasus di Indonesia mengakibatkan seluruh rakyatIndonesia menjadi korban sejarah yang dibutakan tadi.

Dan beranjak dari pemikiran bahwa kita menjadi korban adalah suatu pemicuyang kuat untuk melakukan perubahan di masa depan. Apabila kita sama-samamerasa sebagai korban kita akan sama-sama memperjuangkan keadilan itu. Kalau kitatak ingin ini terulang, yang harus kita lakukan adalah kita sebagai korban bersama-sama berjuang melakukan perubahan terhadap sejarah yang dibutakan itu dan kembalimembuka semua kasus-kasus yang ada. Saya pikir semua generasi yang masih muda-muda, yang kecil-kecil itu adalah jiwa korban. Maka kita baru akan bisa sama-samamenggalang kekuatan untuk melakukan perubahan di Indonesia ini.

Jansen:Saya dari Medan. Mendengar cerita-cerita tadi dari awalnya orasi-

orasi bapak-bapak tadi itu membuat saya kembali teringat basisnya petanidi situ. Teman-teman yang BTI dan yang di-BTI-kan itu cukup banyakkayaknya di sana. Jadi kalau dibilang Jawa dan Bali, ternyata di sekitarSumatera banyak. Seperti Bandar Betsy dan lain-lainnya itu termasukjuga beberapa kabupaten di sana mempunyai basis ini.

Kita cerita tadi kembali, solusinya apa sih setelah kita tahu bahwasejarah mengakibatkan korban yang begitu banyak. Awal dari kita mulaiterjun ke basis, terus kita melihat bahwa mereka sangat antipati dansangat apatis. Mereka nggak punya arti lagi. Bahwa kawan-kawan korban’65 ini tidak mempunyai hak apa-apa lagi terhadap haknya dulu.

Nah, setelah kita mulai mendengar cerita-cerita yang seperti bapak-bapak ceritakan tadi, bagaimana pengalaman dia dipenjara, bagaimanapengalaman pembantaian-pembantaian itu. Itu sebenarnya tidak mampulagi harus berbuat apa? Kebetulan ada bisa beberapa referensi bisa kitadiskusikan bersama-sama, termasuk juga novelnya Pak Putu MerajutHarkat itu. Sehingga kita bisa meresapi sebenarnya yang paling merana,yang paling sakit, yang paling merasakan ekses dari sebuah kejadianyang sangat memakan banyak korban itu adalah korban yangditinggalkan. Antara lain anak-anak korban PKI tadi, ketika dia mencari

Page 125: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 123

makan menjual kue-kue, bukan malah kuenya laku, malah kuenya dipijak-pijak,”Oh kue PKI! Kue PKI!” gitu. Nah, ketika seorang ibu ingin menyekolahkan anaknyadengan berharap bisa menanami tanah-tanah yang dulu ditinggali oleh suaminya,tanahnya dirampok oleh tentara. Itu yang kita lihat kejadian-kejadian di Sumatra.

Kalau kita membongkar sejarah dan membangun opini bahwa sejarah yang selamaini diutarakan itu salah dan kita putar balikkan kembali 180 derajat itu naif sekali,kalau kita tidak mulai dari gerakan-gerakan awal. Kita coba sosialisasikan ke kawan-kawan, setelah melihat dan merasakan cerita-cerita mereka, kita berupaya bagaimanamereka bisa hidup layak sebagai manusia yang seperti kita. Seperti saya yang tidakmerasakan ataupun bukan korban kejadian ’65 ini berupaya untuk menyadarkanmereka bahwa sebenarnya kejadian-kejadian yang diutarakan melalui buku-bukusejarah dan propaganda-propaganda yang dilakukan itu 100% salah. Itu suatu carayang mungkin kita sampaikan kepada mereka, untuk mengingatkan mereka kembalibahwa mereka sebenarnya tidak bersalah, minimal sebatas itu awalnya.

Terus mereka tertantang untuk mengetahui lebih dalam. Sebenarnya apa sihyang bisa kami perbuat? Nah, kita semakin larut dalam permasalahan-permasalahanmereka. Sampai kita menawarkan bagaimana mereka supaya bisa berkumpul kembali,terus bersama-sama kembali menyadari bahwa tanah yang dulu ditinggalkan suaminyaitu adalah tanah mereka, sehingga mereka harus bisa bersama-sama meminta tanahnyakembali.

Terus mereka mendengar kata organisasi itu sangat takut. Itu membuatkita tertantang untuk sama-sama menyadarkan mereka. Bahwa merekasama-sama punya hak untuk hidup, dan sama-sama bisa menikmatikehidupan. Itu yang kita lakukan, minimal kita sudah sampaikan kepadamereka, dan mereka sekarang sudah mampu membangun organisasinyasendiri dan mereka sekarang sedang berjuang untuk merebut tanahnyakembali.

Putu Oka Sukanta:Saya melihat permasalahan ’65 ini dari sisi yang agak berbeda.

Mungkin latar belakang kepengarangan saya yang menyebabkan itu.Ada bangunan kejiwaan yang rusak akibat peristiwa ’65. Saya kasihcontoh begini. Ada seorang anak yang ayahnya dibunuh pada tahun’65. Dia studi di Amerika kemudian menikah dengan orang Amerika,sudah sangat jauh dengan kampung kelahirannya, dimana beberapaorang dibunuh. Kemudian dia kembali ke Bali dan dia mempunyaiseorang anak dari perkawinannya itu. Ketika anak itu lahir, dia angkatanak itu dan dia bicara, “Hai kau anak PKI, apakah kamu akan dibunuhjuga seperti kakekmu?” Jadi ada satu bangunan kejiwaan yang rusakpada setiap individu.

Saya lihat dalam konteks ini, selain dari korban yang sudah terbunuh,selain dari orang yang pernah ditahan, ada sisa lain yang sangat banyak

Page 126: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000124

merasakan akibat ini. Dan jiwanya rusak, goyang. Sorry, saya tidak menyebutkanrusak, tapi goyang. Dan mereka - saya tidak pernah menyebut korban - merekasurvivor. Orang yang bertahan hidup. Saya bukan korban, saya survivor. Saya seorangyang bertahan untuk hidup dalam situasi yang bagaimanapun juga. Bagaimanamisalnya kalau penelitian yang lebih jauh lagi bisa menyentuh hal-hal yang ini? Danini yang lebih mampu berbicara, goyangnya kejiwaan orang yang sejak kecil sampaidewasa, sampai sudah berumahtangga, dia tetap goyang sebagai manusia.

Yang kedua masalah rekonsiliasi. Saya kok nggak percaya ada rekonsiliasi. Bagaimanabisa direkonsiliasi, instruksi Menteri Dalam Negeri tahun ’81 sampai sekarang belumdicabut. Artinya, mana mungkin ada rekonsiliasi [kalau] yang satu sebagai obyek,dan yang satu subyek. Selama itu tidak dicabut, saya harap tidak berpikir tentangrekonsiliasi.

Sulami:Saya sangat tersentuh laporannya Nak Rinto. Hasil penelitiannya boleh

dikata cerita yang sangat menyedihkan. Memang kalau ke daerah, ketemumereka yang pernah di Plantungan, yang pernah di penjara-penjara, ituhanya cerita tentang kesedihan. Dan cerita-cerita demikianlah justrusekarang ini yang kami kumpulkan. Kami dari YPKP (Yayasan PenelitianKorban Pembunuhan tahun 65-66), dan banyak sekali terdapat rekaman-rekaman yang sudah disalin sehingga tinggal publikasi. Dan cerita-ceritamacam itu tidak hanya di Jawa. Di Bali lebih menyedihkan dan diSumatera Utara lebih menyedihkan lagi.

Kami pernah kedatangan teman-teman dari Sumatera Utara, tengahdikumpulkan tulisan-tulisan mereka yang tidak jadi mati, yang sediamenjadi saksi-saksi hidup. Dan saksi-saksi itu ada di daerah-daerah manasaja, dan siap untuk mengadakan kesaksian kapan pun. Mereka itu inginsekali perkaranya segera dituntaskan melalui pengadilan.

Kami dari YPKP sudah mempunyai jaringan kerja di daerah-daerahdan telah menemukan bukti-bukti otentik, tinggal penggarapannya. Danitu cukup nanti untuk menjadi bukti suatu perkara. Ini sudah kamibicarakan dengan lain-lain organisasi-organisasi para lawyer, baik dariKontras, maupun PBHI, ELSAM, dan Bu Nursjahbani Katjasungkana.Mereka selalu mau membantu apabila sudah disiapkan materinya. Jadikami sangat menyambut pertemuan malam ini. Kami merasa senang.Ternyata meskipun malam, tidak ngantuk, dan tidak merasa capai. Mudah-mudahan demikian karena ini semua menyangkut diri kita sendiri,kewajiban kita sendiri yang harus di selesaikan. Seperti film yang barukita tonton sebetulnya kami sendiri belum melihat selengkap ini, barusepotong-sepotong di Jogja.

Dibuatnya film itu, masih pemerintahan Habibie, bulan Juni tahun1998, dan masih sembunyi-sembunyi. Ya, bayangkan saja kalau wartawan

Page 127: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 125

Australia itu mau mencari data ke hutan tidak mungkin bisa disembunyikan sedangkanalatnya besar-besar. Tapi, atas usaha bersama dan kami dibantu oleh temen-temenPRD, usaha itu dapat berhasil. Tapi esoknya kami diusir dari Blora, oleh Kodimsetempat. Tetapi pembuatan film telah terjadi seperti yang kita lihat malam ini.

Santo (Kodrat):Kalau melihat film tadi, seakan-akan kita terus bernapas dalam lumpur.

Kita bisa mengubah bangsa ini, saya rasa kita harus bersatu. Untuk bersatukita harus mempunyai keberanian moral. Kita harus berani berkorban,supaya kita jangan jadi korban lagi. Kita harus berani mensosialisasikanseperti Kemal Idris, dia harus bicara di depan, kita ajak gitu, supaya diasadar, dia mau bertobat berbuat yang nggak benar itu. Kita sadarkankita mempunyai kedekatan, mungkin sama Kemal Idris. Bagaimanabangsa kita supaya berubah wajahnya, jangan kebenaran itu tertindasterus.

FX Harsono:Saya hanya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya, yang

barangkali bisa menjelaskan apa memang betul pada tahun ’65 terjadikonflik horisontal. Juga barangkali bisa sedikit menjawab bagaimanamiliter pada waktu itu berperan. Waktu tahun ’65, saya adalah muridSMA di Blitar. Sebelum tahun ’65, saya senang sekali melihat 17 Agustuskarena di sana ada alun-alun untuk - istilah kita show of force - partai-partai politik ini memakai drum band dan macam-macam. Ada Fatayat,ada Ansor, dan ada NU. Yang paling besar massanya pada waktu ituadalah PKI, kemudian NU, Ansor, Fatayat dan sebagainya.

Nah, sebagai anak-anak pada waktu itu saya hanya melihat suatuyang menyenangkan sekali. Saya tidak mempunyai kesadaran politikpada waktu itu. Tapi, setelah tahun ’65 saya baru sadar bahwa rupanyamemang pada tahun ’65 itu militer memanfaatkan persaingan politikyang terjadi sebelumnya untuk membantai PKI. PKI dianggap sebagaipartai yang paling kuat dan yang paling dimusuhi, terutama oleh parapemilik-pemilik tanah besar di desa-desa karena PKI pada waktu itumempunyai program land reform.

Sampai beberapa hari setelah Oktober atau 30 September saya tidaktahu apa-apa. Mungkin sekitar tiga atau empat hari setelah itu baruperistiwa di Blitar terjadi. Kebetulan sekali empat rumah dari rumahsaya itu kantor Pemuda Rakyat. Dan celakanya semua orang di rumahsaya pergi semua. Bapak saya tidak ada, adik-adik saya semua sekolah,dan saya sendiri yang disuruh menjaga rumah. Saya hanya bisa melihatdari celah-celah jeruji atau pintu angin, apa yang terjadi pada waktu itu.Saya tidak tahu itu massa dari mana, mereka menyerbu dan inginmembakar kantor Pemuda Rakyat yang dekat dari rumah saya. Itu kalau terjadi betul-

Page 128: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000126

betul, pasti rumah saya terbakar. Tetapi kemudian dilarang oleh polisi kalau nggaksalah.

Kemudian tidak ada perlawanan sama sekali, meskipun saya tahupersis di seberang jalan rumah saya adalah basis dari PKI dan PemudaRakyat. Mereka hanya keluar dari gang-gang dan membawa pentungantetapi mereka disuruh kembali lagi. Saya sangat ketakutan karena sayasendiri pada waktu itu. Dan celakanya sekali mereka melemparkanfotonya Aidit. Itu kena pintu rumah saya, saya sangat kaget dan lari kebelakang sembunyi. Itu trauma sekali buat saya.

Setelah beberapa hari, saya lihat banyak sekali orang-orang dari Ansoryang membawa pedang, tapi mereka menyembunyikan pedang itu. Yangsaya tahu persis mereka membawa rotan yang kurang lebih garistengahnya satu inci atau dua senti. Mereka mengatakan bahwa rotan inisudah ‘diisi’. Mereka kebanyakan bukan dari Blitar tapi dari derah Bangil,Jombang, Jember dan seterusnya. Daerah sana memang basis Ansor.Mereka disuruh mengamankan Blitar. Pada waktu itu saya tahu persismemang tidak ada perlawanan. Jadi kalau dikatakan konflik horisontalsebetulnya kalau menurut saya nggak. Memang yang terjadi adalahpembantaian.

Ketika itu semua organisasi kepemudaan di luar PKI dan onderbouw-nya memang dikoordinir oleh Kodim, Koramil. Kita diminta untukmenjaga tawanan, tahanan, di daerah Blitar Selatan. Saya waktu itu aktifdi organisasi sekolah Katholik. Kemudian saya tahu persis bahwa tigaorang sahabat saya ikut dan ternyata mereka di sana itu memang disuruhmembunuh. Jadi mereka memang ditugaskan oleh militer yangmengkoordinir untuk membunuh, dikasih jatah satu orang membunuhsatu orang. Waktu itu kawan saya, setelah dua minggu di daerah BlitarSelatan ingatannya hilang. Ya kembali, tetapi dengan mata yang sorotmata yang sudah tidak jelas kemudian dia ngoceh ke sana kemari.Pakaiannya penuh dengan bercak-bercak darah, dan saya tahu persisbahwa dia sudah mulai tidak waras. Itu saya temui pada beberapa orangyang saya kenal.

Nah, setelah tahun ’65 kemudian ada peristiwa Blitar Selatan, sayatidak tahu persis tahun ’68 mungkin. Saya sebagai anggota organisasisiswa Katholik kemudian ikut yang namanya KAPPI (Kesatuan AksiPemuda Pelajar Indonesia). Dan kemudian saya diperkenalkan denganPak Witarmin, pada waktu itu dia yang mengepalai operasi Blitar Slatanyang disebut operasi Trisula. Memang betul bahwa operasi di BlitarSelatan itu betul-betul dilaksanakan oleh militer secara sistematis. Tetapi,sebelumnya memang betul bahwa organisasi kepemudaan di luar PartaiKomunis oleh militer direkayasa untuk membunuh, untuk menghabiskan semua

Page 129: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 127

yang dianggap anggota PKI. Yang namanya nyawa pada waktu itu sama sekali tidakberharga. Salah satu pembunuh itu besoknya datang dan hanya meminta maaf.

Di daerah Blitar banyak sekali guru-guru yang dibunuh. Ada satu daerah diBlitar namanya Kampung Meduran, di sana memang orang Madura semua. KampungMeduran itu isinya cuma dua: Ansor dan PKI (Pemuda Rakyat atau PKI lah). Jadimereka saling membunuh. Dan kemudian ada satu orang pekerja Jawatan KeretaApi, yang dicari dan dibunuh. Tetapi ternyata salah bunuh, yang dibunuh adalahguru. Dan kemudian besoknya dia cuma minta maaf, begitu aja.

Sebagai anak pada waktu itu, saya merasakan ada suatu trauma, seperti yangdikatakan Pak Putu Oka. Meskipun saya tidak terlibat, tetapi sebagai keturunanCina, merasakan ada semacam trauma. Karena Baperki pada waktu itu sebagai salahsatu organisasi - meskipun saya bukan Baperki dan saya tidak sekolah di sekolahBaperki - tetapi etnis Cina itu sudah melekat dengan Komunis. Sehingga kemudian,ingat sekali ketika itu semua orang Cina di Blitar dikumpulkan di satu gedung bioskopnamanya gedung bioskop Dipoyono. Kemudian dilakukan briefing, dan di situdikatakan bahwa orang-orang Tionghoa di sini harus membantu pemerintah terutamamiliter dengan memberikan dana. Dan saya ingat sekali bahwa semenjak itu orang-orang Cina di Blitar, itu berhak untuk, istilahnya diperas. Misalnya mobilnya bisadipinjam berapa hari dengan alasan untuk melakukan operasi, meskipun itu tidak.Kemudian mereka bisa dimintai dana berapa saja untuk operasi, tapi sebetulnya kitajuga tidak tahu. Pada akhirnya ada semacam persepsi dari kelompok Cina di Blitar:kalau ingin selamat dan kalau bisnis kita ingin selamat, maka kita harus menyumbangkepada Kodim. Nah, itu persepsi ini terus berjalan sampai sekarang tentunya.

Setelah itu kemudian trauma ini bertambah dengan adanya Gunung Keludmeletus. Wah, itu betul-betul… sebagai remaja pada waktu itu saya merasakan setiapsore setelah matahari terbenam, ada semacam ketakuktan yang luar biasa pada sayasehingga saya tidak berani di rumah sendirian dan selalu harus pergi ke rumah teman,kadan-kadang tidur di rumah teman.

Kalau Pak Putu tadi mengatakan bahwa rusaknya jiwa pada korban atau padakeluarga korban, saya rasa bukan hanya mereka, tapi juga masyarakat dimana situasimemang sangat kuat sekali. Sering sekali saya melihat mayat tergeletak di perempatan,seperti ada satu orang pemain bass drum dari Pemuda Rakyat namanya Ping AtionAn. Dia dibunuh di perempatan, mayatnya ditaruh di perempatan dan selama duahari tidak satu orang pun yang berani mengambil mayat itu. Keluarganya sendiripunnggak berani. Sampai kemudian membusuk dan diambil oleh Kodim, dikubur dimana saya nggak tahu.

Nah, peristiwa-peristiwa seperti itu memang memberikan trauma,setidak-tidaknya kepada anak yang berkembang pada waktu itu. Dankalau tadi Marco mengatakan bahwa pada akhirnya berkaitan denganindividu, menurut saya memang betul bagaimana sebetulnya sekarangini pun kekerasan terjadi di mana-mana di Indonesia. Semenjak itu sampai

Page 130: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000128

sekarang saya selalu melihat kekerasan-kekerasan dari satu peristiwa ke peristiwa lain,dari satu jaman ke jaman lain, hanya dengan motif yang berbeda-beda. Tetapi sayamerasakan bahwa ada semacam… selalu ada rasa tidak aman yang menghantui kitasebagai anak pada waktu itu. Terutama saya sudah berhadapan dengan imigrasi atauyang menanyakan, “Kamu keturunan Tionghoa, ya?” Wah, langsung keringat dinginsaya keluar, karena ada saja yang dipertanyakan. Dan, terkahir ketika sayamemperpanjang paspor saya masih dipungli karena ada satu surat yang tidak lengkapdi daerah sana dan itu selalu terjadi pada saya. Sehingga trauma itu rasanya selalumelekat pada anak-anak yang mengalami permasalahan di daerah yang memangsituasinya cukup keras dan rawan pada saat itu.

Moderator:Saya akhiri sampai di sini diskusi ini, dan saya tidak mau menyiksa

saudara-saudara lagi dengan keterangan yang lebih panjang. Tapi sayaterpaksa juga membuat semacam catatan dari apa yang kita diskusikan.Saya pikir lontaran-lontaran dari semua orang, baik itu berupa komentar,pidato maupun pertanyaan, mengingatkan kita bahwa kita hidup selamaini atau terbentuk melalui semacam perjalanan sejarah kekerasan. Baikitu yang terjadi pada zaman kolonial, sekarang dan - mudah-mudahantidak - di masa mendatang. Kita mencatat juga bahwa proses yang panjangini menghasilkan tumbuhnya masyarakat korban. Tadi Mbak Yanti bilangbahwa kita semua ini sesungguhnya korban dan punya dendamkemarahan kolektif yang bergenerasi. Sejarah kekerasan ini juga terkaitdengan banyak masalah. Mulai dari tanah, orang bikin pertambangandan seterusnya. Dan menjelaskan juga kepada kita bahwa ini bahwa inibukan sesuatu yang terjadi spontan di luar kontrol, tapi memang sesuatuyang sistematis, walaupun kita tidak menyentuh yang sistematis itu.

Bagian kedua yang saya catat bahwa ada pertanyaan besar bagaimanakita keluar dari situasi ini atau mau kita apakan yang kita tahu sekarang?Kelihatan juga bahwa perubahan atau solusi itu ternyata nggak cukupdengan niat baik, karena kita berbicara tentang sistem. Kita musti berpikirtentang solusi yang sistematis dan di sini tentunya tujuannya - kalaudengar pembicaraan tadi baik yang pakai ide yang basi, maupun yang mutakhir - itusuatu sistem yang menjamin sejarah kekerasan tidak terulang.

Ada beberapa poin lain di dalam proses solusi yang disinggung, soal rehabilitasi,kompensasi, ada masalah peradilan, dan rekonsiliasi yang menarik. Karena semuaorang berbicara menolak rekonsiliasi, saya pikir poinnya cukup jelas, bahwa rekonsiliasihanya mungkin kalau berpijak pada kebenaran dan keadilan. Nah, semua juga yangbicara kelihatannya sadar bahwa ini suatu proses yang panjang dan di dalam prosesyang panjang ada beberapa hal yang kayaknya perlu diperhatikan.

Pertama saya catat kita mesti lebih banyak mendengarkan suara korban. Kalausaya kasih catatan tambahan pribadi mungkin kaum perempuan, karena malam ini

Page 131: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 129

kaum perempuan hanya tiga orang yang berbicara. Rata-rata yang laki banyakpidatonya. Sementara suara korban kayaknya bukan hanya pidato ya, tetapi banyakyang lain. Nah, dengan suara korban ini kita bisa juga bisa menyelami sisi personal,baik dari sisi korban maupun pelaku. Selanjutnya adalah bagaimana kita membukakasus-kasus yang ada sebagai langkah, dan kemudian memikirkan publikasinya.Bukunya Putu Oka diterbitkan sebagai semacam catatan terhadap apa yang dia lihat,dan apa yang dia alami dan masih ada beberapa publikasi lain. Saya juga dapat bukudari Martin tadi.

Kedua, pengetahuan kita ternyata masih sangat terbatas, dan kitaboleh dibilang sama-sama beruntung bisa ketemu di sini. Tapi mayoritasorang kurang beruntung, karena nggak bisa datang malam ini dan ikutmendengarkan. Kita punya banyak sekali potongan-potongan cerita tapikesempatan untuk menukar cerita, pengetahuan dan pengalaman inimungkin perlu diperbanyak. Saya mau pinjam ungkapan dari seorangteman di Bali, kebetulan korban dan juga mengalami semua peristiwaini, bagaimana kita memulai atau membuat sebuah gerakan tutur: yaitumenceritakan kembali dan menghidupkan kembali, bukan kenanganjeleknya tentang peristiwa ini, tapi apa saja yang mungkin dipelajarisehingga membentuk semacam ingatan atau pengetahuan bersama yangmenuju kepada keberanian kolektif. Keberanian kolektif tentunya agartidak perlu takut lagi bikin film, agar lebih bebas menuliskan apa yangperlu ditulis dan seterusnya.

Nah, begitu catatan dari saya, saya berharap bahwa kita semua bisamengambil sesuatu dari sini. Yang jelek boleh titip sama saya, kalauyang bagus-bagus dan berguna silahkan bawa pulang, tapi jangan lupadisampaikan kepada yang lain.

Sekian dari saya, selamat malam. Assalaamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.

Page 132: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000130

Page 133: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 131

Moderator:Selamat malam dan selamat ketemu lagi. Sebenarnya banyak sekali

usulan yang masuk ke koordinator, tapi pilihan akhirnya jatuh pada CheGuevara, yang tidak asing lagi bagi kebanyakan aktivis. Dalamdemonstrasi teman-teman sering terlihat membawa icon Che, entahberupa bendera, emblem dan lainnya. Kita belum tahu apakah Che inidipahami sebatas icon saja, sebagai seorang yang romantis ataurevolusioner. Pemahaman kita bisa berbeda-beda, dan malam ini kitabuka bagi siapa saja yang merasa kenal dengan dan paham tentang CheGuevara, untuk berbicara. Di sini ada John dan Fay, yang diharapkanbisa membantu kita lebih mengenal Che.

Judul diskusinya adalah “Antara Cimeng, Kaos Oblong dan Revolusi”.Artinya elo mau ngomong apa pun boleh. Sekitar revolusi atau ada bau-baunya Che Guevara, saking bingungnya koordinator memberi judulkarena begitu banyak fenomena yang terlihat sekarang. Saya silakanjuga para hadirin yang mau menyumbangkan pengetahuannya tentangChe Guevara, bercerita tentang perkenalannya dengan Che, dan

Che Guevara: Antara Kaos Oblong, Cimeng dan RevolusiNarasumber: Hilmar Farid dan John Roosa. Moderator: Alit Ambara.

12 OKTOBER 2000

Ide untuk mengangkat tema ini timbul ketika dilihat semakin banyak aktifismahasiswa yang menghadiri Dbp. Sejak maraknya aksi-aksi jalanan CheGuevara menjadi sosok yang paling banyak menghiasi kaos oblong, posterdan bendera demonstrasi mahasiswa. Bahkan ada sebuah mikrolet diJakarta yang menempelkan poster wajah Che sampai menutup bagiantengah kaca belakang dan di bawahnya tertulis “Anak Bangsa”. Boleh jadianak si pemilik mikrolet aktifis mahasiswa! Apapun alasan orang untukkagum terhadapnya, cukup jelas bahwa Che lebih dikenal sebagai imagekegagahan belaka. Pemikiran dan praktek perjuangannya sangat jarangdibahas. Dunia bisnis sekarang menggunakan image-nya untuk menjualalkohol, rokok dan garmen, dan kaum muda menyambutnya tanpa sadarbahwa ia menentang komersialisasi. Beragamnya pemahaman pesertatentang Che sendiri dan gerakan pembebasan yang diwakilinya membuatdiskusi ini melebar kemana-mana, sampai ke masalah pilihanmenggunakan kekerasan atau tidak dalam memperjuangkan hak-hak dasarmanusia. Yang juga cukup banyak memperoleh perhatian dari kalanganaktifis mahasiswa adalah bagaimana komersialisasi image Che sebenarnyalebih banyak menghalangi daripada mendorong tumbuhnya pemahamantentang gerakan pembebasan secara umum. Karena pada akhirnya banyakmahasiswa yang merasa sudah berjuang hanya dengan mengenakan t-shirt bergambar Che, atau mengenakan baret a la Che, saja. Usulan yangmuncul di luar diskusi kemudian adalah agar buku-buku tentang Che dangerakan pembebasan di belahan dunia lain yang sudah diterjemahkandidiskusikan lebih serius di kalangan aktifis.

Page 134: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000132

sebagainya.Hilmar Farid (Fay):Biasanya kalau saya yang duduk di sini, itu artinya panitia sudah

mulai panik karena tak ada lagi orang yang dikorbankan untuk DiskusiBulan Purnama.

Che Guevara memang sosok yang menarik, karena gambarnya jauhlebih dikenal daripada pikirannya. Ini agak berbeda dengan, sebutlahPramoedya di Indonesia, yang juga sering jadi coverboy, tapi pikirannyajuga dikenal luas. Kalau Che, orang lebih kenal gambarnya – gambarsilhouette yang khas dengan pandangan menerawang ke depan –daripada pikirannya. Dia menjadi lebih populer setelah meninggalketimbang waktu masih hidup dan bergerilya untuk menumbangkankediktatoran, mendirikan negara sosialis. Dan populer bukan hanya bagiorang yang mendukung ide-idenya, tapi juga di kalangan yang bertolakbelakang pikirannya. Misalnya tahun 1997 ada kasus ketika juru potretyang mengabadikan gambar Che yang legendaris itu menuntut sebuahperusahaan iklan, karena perusahaan iklan itu menggunakan image Cheuntuk iklan minuman Vodka. Ada dua masalah. Pertama, digunakannyasosok Che dalam iklan, untuk menjual barang dagangan, yang jelasditentang olehnya. Kedua, barang yang dijual itu adalah minuman keras,dan kita tahu bahwa Che Guevara tidak minum alkohol.

Che selama ini menjadi simbol perlawanan. Di Amerika, anak mudayang menentang perang Vietnam pada tahun 1960-an mengusunggambarnya, dan seruan-seruannya dipasang di kamar tidur, disablon diatas kaos oblong, dan seterusnya. Di Jakarta, teman-teman banyak yangpakai kaos bergambar Che, dan bahkan benderanya pun dibawa dalamdemonstrasi menjadi simbol perlawanan. Dalam kasus iklan di atas,menjadi menarik karena bagaimana mungkin orang yang revolusionerseperti Che bisa mendapat tempat di kalangan, sebutlah borjuasi atauelit yang menjadi lawannya? Penjelasannya tidak lain karena Che Guevarakemudian dilepaskan dari konteks sejarahnya. Orang bisa berbicaratentnag Che tapi tidak menyinggung revolusi Kuba. Che kemudian dilihatsemata-mata sebagai sosok yang begitu agung dan dikenal tinggimoralnya, manusia dengan komitmen tak terkalahkan yang tidak bergeserdari prinsip dan seterusnya. Ini semacam gambaran grotesque tentangpahlawan dalam masyarakat borjuis. Padahal kalau kita kenal denganChe sebagai manusia, kisah hidupnya jauh sekali dari citra yang selamaini dilekatkan oleh orang. Begitu banyak yang dia lakukan semasa hidup,sampai Sartre menyebutnya “manusia yang paling lengkap di zamankita”.

Che tidak revolusioner sejak lahir, melainkan melalui proses yang

Page 135: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 133

panjang. Dan tidak semua yang dia lakukan dan alami sesuai dengan image yang kitakenal sekarang. Misalnya saja ketika muda dia senang sekali mengganggu perempuan.Sampai pada satu titik dia mulai menyadari bahwa apa yang dia lakukan terhadapperempuan itu keliru. Perkembangan ini penting untuk memahami pikiran dia juga.Dalam biografi yang ditulis John Lee Anderson ada cerita begini. Suatu saat Chepergi ke kedai minuman, dan dilayani oleh seorang perempuan Indian. Seperti biasaia dan teman-temannya mengganggu perempuan ini, yang kemudian melawan danakhirnya terjadi keributan. Polisi datang dan perempuan itu kalah. Di sini Che melihatbahwa apa yang dia lakukan selama ini sebenarnya adalah bagian dari penindasan.Dan juga bukti bahwa kultur macho itu bukan sesuatu yang alamiah dalam darahmanusia Latin, tapi bagian dari kultur mestizo di alam penindasan kolonial. Dalamkasus di atas, jelas Che dan teman-temannya yang bersalah. Tapi mereka dimenangkanoleh polisi, karena mereka mestizo dan laki-laki, dan perempuan itu kalah semata-mata karena Indian dan perempuan.

Dari hal-hal seperti ini ia mengembangkan pikiran tentang bagaimana penindasanmungkin terjadi. Banyak sekali pengalaman kecil yang membentuk kehidupannya,dan kita mesti ingat bahwa sosok revolusioner yang kita kenal sekarang sebenarnyapunya perjalanan hidup yang jauh dari mulus. Cita-cita awalnya adalah menjadidokter, dan hidup biasa seperti orang lain, tapi kemudian berakhir mati mengenaskandi Bolivia karena membantu pembebasan rakyatnya dari penindasan. Saya tidak akancerita lebih detail lagi, karena mungkin teman-teman sudah banyak tahu. Tapi adabeberapa poin yang saya mau angkat.

Pertama, soal gerakan. Che Guevara awalnya membayangkan bahwaperubahan bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang sangat kuatdan punya komitmen tinggi, punya ideologi dan kesadaran yang tinggi.Kelompok seperti itu disebutnya foco (inti), yaitu kumpulan orang terpilihyang sangat militan – “unsur termaju” kalau mengikuti istilah teman-teman di sini – dan akan membawa perubahan. Lalu rakyat tempatnyadi mana? Ya, hanya ikut saja. Dalam perjalanannya bergerilya seringsekali dia terbentur karena perkara ini. Seperti waktu ia pertama mendaratdi Kuba untuk menghancurkan kediktatoran Batista. Dalam hagiografitentang Che, kisahnya begitu heroik dan hebat, tapi sebetulnya kelompokfoco itu mendarat di tempat yang salah dan seluruh rencanapenyerangannya gagal. Dengan kata lain pikiran dia yang kita kenallewat buku-buku itu sebenarnya adalah produk pergulatannya dalamrevolusi Kuba. Di dalam revolusi itulah pikiran-pikiran terpentingnyalahir, termasuk pikirannya tentang perang gerilya. Artinya bukanmelahirkan teori baru bergerak, tapi membangun teori dari pengalaman berjuang.

Khusus soal teori gerilya atau teori perang itu datang kemudian, bukan sejakawal. Pada awalnya perjalanan gerilya dia adalah kisah kegagalan melulu. Pada awalnyaChe dan kawan-kawannya masuk ke Kuba untuk bergabung dalam joint action.

Page 136: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000134

Tapi mereka terlambat mendarat karena salah satu orang di kapal itu, yang kerjanyamelihat ke daratan, jatuh ke laut, sehingga kapalnya terpaksa putar balik, dan akhirnyamendarat satu mil dari tempat tujuan semula. Dan tempat pendaratan itu di rawa-rawa. Che marah-marah, dan banyak anak buahnya yang tidak sampai di tujuan. Jadiseluruh penyerangan yang digambarkan begitu heroik sebetulnya gagal. Nah, sayapikir penting buat kita untuk melihat pengalaman orang seperti Che Guevara atau“pahlawan” apa pun dengan cerita-cerita nyata di balik penggambaran yang dahsyattentang mereka.

Soal lain, Che Guevara biasanya dikaitkan dengan moralitas, dengankomitmen perjuangan dan sebagainya, tapi sedikit sekali orang yangberbicara tentang pemikiran ekonomi dia. Nanti John bisa cerita lebihpanjang soal itu. Kita ingat bahwa setelah episode gerilya itu selesai,Fidel Castro jadi pemimpin, dan Che diangkat menjadi menteri dangubernur bank sentral kalau saya tidak salah. Tugasnya adalah mengurusekonomi Kuba. Hal ini tidak banyak dibahas menurut saya, padahalluar biasa penting. Ide-idenya luar biasa radikal sampai banyak orangmenyebutnya terlalu radikal, kekiri-kirian atau leftist. Seorang pejabatKuba bilang, pikiran Che sebenarnya berlaku untuk masa depan bukanuntuk masa sekarang. Misalnya ketika dia coba mengubah sistempenghitungan dalam ekonomi – yang biasa kita sebut akuntansi. Diacoba menyusun sendiri penghitungan keuangan negara yang sama sekaliberbeda dan sebagai kritik terhadap sistem penghitungan yang digunakandalam masyarakat borjuis, menurut dia. Konsep itu disebut budgetaryfinance system yang melihat ekonomi negara seperti sebuah unit usahatunggal. Tidak ada lagi unit-unit usaha atau perusahaan yang berdirisendiri dengan sistem akuntasi sendiri, karena segala sesuatu disedotke pusat, dan direncanakan serta diatur dari sana. Ini seperti sistemperencanaan teratur yang sangat radikal. Semua perhitungan untung-rugi dan sebagainya, yang lazim kita temui dalam perhitungan ekonomiborjuis, ditinggalkan. Segala sesuatu digodok di lembaga perencanaanpusat, dan kebutuhan masyarakat dihitung dalam satu account. Ide inimemang tidak pernah dipakai di Kuba sendiri. Che sendiri mengakuibahwa untuk menerapkan ide itu diperlukan tingkat kesadaran berbeda,sebuah kesadaran yang lebih tinggi, yang dirumuskannya dalam tulisan“Sosialisme dan Manusia di Kuba”. Di situ dia bicara tentang harus lahirnyaorang-orang dengan kualitas baru, kesadaran dan keyakinan tinggi bahwa kita mampuhidup bersama secara kolektif dan komunal. Saya pikir apa yang dia katakan – terlepasdari kita setuju atau tidak – adalah bayangan tentang masyarakat masa depan. Sekarangkita di Indonesia sulit membayangkan masa depan negeri. Jangankan soal ekonomimasa depan, masalah wilayah saja kita tidak bisa jamin bahwa republik ini dalambeberapa tahun mendatang masih akan sama bentuknya seperti yang ada sekarang.

Page 137: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 135

Baru-baru saja muncul propinsi Banten, besok mungkin ada propinsi lain, dan GusDur sudah bilang cita-citanya ada 50 propinsi selama ia menjabat sebagai presiden.

Jadi, bayangan tentang masa depan ini menurut saya penting sebagai sumberinsipirasi dan pikiran tentang perubahan. Membayangkan perubahan dalam ekonomi,perubahan dalam tatanan masyarakat secara menyeluruh, dan Che melakukan semuaitu dengan konsisten. Dia coba merumuskan mulai sistem keuangan, mekanismeuntuk menerapkannya, sampai pada konsep kerja sukarela, dan sebagainya. Dia cobamenerapkan prinsip “bekerja sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan”dengan merumuskan kerja sukarela yang total. Dia membentuk brigade-brigade kerjayang bisa dikirim ke mana saja untuk mengerjakan apa saja, mulai dari menyelesaikanpersoalan nyamuk di kampung, persoalan panen tebu dan seterusnya. Soal tebumisalnya ada perhitungan bahwa panen akan anjlok jika tidak dikerjakan maksimal.Maka dihitung berapa besar kebutuhan tenaga, lalu dikirim sejumlah brigade untukbekerja sukarela. Memang tidak semuanya berjalan mulus seperti yang diharapkan,tapi ini adalah ide-ide yang saya pikir jauh lebih penting dibicarakan ketimbangmisalnya Che Guevara sebagai simbol perjuangan. Apalagi kalau cuma berhenti padakekaguman sesaat. Simbol boleh jadi penting, tapi yang penting diingat bahwa dibalik simbol itu banyak pikiran yang sebenarnya perlu digali lagi.

Hal lain yang penting adalah pikiran Che Guevara mengenai susunan masyarakat,yang berkaitan juga dengan ekonomi. Di sini Che tidak hanya berbicara mengenaiKuba, tapi tentang benua. Revolusi harus bersifat kontinental, yang kemudianditerjemahkan dengan ekspor gerilyawan atau foco ke beberapa negara, seperti Kongo,Argentina dan Bolivia. Setelah Che meninggal proyek ini diteruskan dengan mengirimfoco ke Angola, dan menjadi pelopor revolusi di banyak daerah. Dalam pemikiran dia,Dunia Ketiga dan rakyat tertindas itu tidak bisa merdeka di satu tempat karena salingtergantung dan terkait. Ini aspek yang menarik dari Che menurut saya, karena laindari rezim-rezim yang menyebut dirinya komunis pada tahun 1960-an atau 1970-an. Uni Soviet misalnya tetap berhubungan dengan Orde Baru di Indonesia. Urusandagang tetap jalan. Bagi Che, hubungan semacam itu tidak haram, tapi perludipertanyakan apakah sudah imbang, apakah hubungan itu adil? Di foruminternasional seperti sidang PBB dia selalu membuat merah telinga para pejabatnegara industri maju, terutama Amerika Serikat, dengan berbicara keras bahwa revolusiharus dituntaskan dan seterusnya.

Sayangnya pikiran semacam ini jarang kita diskusikan, dan yang lebihpopuler di kalangan anak muda adalah sosoknya yang berani dan im-age heroik yang menurut saya diputus dari konteks revolusi Kuba yangmelahirkan dia. Padahal yang perlu kita pelajari adalah apa yangsebetulnya membuat orang seperti Che itu ada. Kalau melihat Che sebagaiorang berani, seorang santo yang agung dan hebat, kita mungkinmengabaikan kenyataan bahwa ia lahir dari sebuah proses revolusi dimana banyak orang yang terlibat, banyak kekuatan yang ikut

Page 138: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000136

mempengaruhi pemikiran dan perbuatannya. Saya lebih baik berhenti di sini dulu.John Roosa:Saya lihat di toko buku di Indonesia sekarang ada banyak buku

tentang Che Guevara. Mungkin ada lima atau enam buku, dan sayaberharap mahasiswa, pelajar dan publik Indonesia bisa belajar tentangChe Guevara dan mengenalinya bukan sebagai sebagai icon tetapi sebagaipemikir dan aktivis. Saya pikir kita bisa belajar banyak dari pengalamanChe Guevara dan pengalaman revolusi Kuba. Tapi kita juga harus sadar,karena banyak hal yang tidak relevan dan situasinya sangat berbeda diKuba atau di Amerika Latin. Nah, kita harus memutuskan apa yangrelevan, kenapa kita belajar mengenai Che Guevara dan kenapa bukantentang orang lain. Dan menentukan apa yang penting dalam tulisandan kehidupan Che? Saya tidak mau menjawab pertanyaan itu langsung,karena itu pertanyaan untuk kita semua.

Mungkin ada orang yang mau bilang bahwa Che tidak relevan bagikita. Saya baru lihat di MKB ada iklan “senjata tak selesaikan masalah”.Che Guevara tidak setuju dengan itu, dan kalau dia di sini, dia pastiakan memaki kita. Ini satu soal besar, apakah perjuangan bersenjatamasih bisa berjalan sekarang sebagai strategi revolusioner. Fay sudahmenjelaskan bahwa rencana Che Guevara untuk bikin revolusi di luarKuba itu gagal. Setahu saya ada empat kasus. Sewaktu Che di Kuba diamelatih gerilya, memberi senjata dan uang, lalu juga mengirim gerilyadari Kuba ke negara lain. Ada juga orang lokal yang dilatih, misalnyaorang Peru datang ke Kuba, lalu kembali ke Peru untuk revolusi. Dalamkeempat kasus itu dia gagal. Setelah mundur dari posisinya di Kuba, diake Kongo untuk ekspedisi, dan juga gagal. Kemudian ke Bolivia, dangagal juga. Nah, kita harus belajar kenapa dia enam kali gagal, danakhirnya mati karena kegagalan itu dibunuh oleh orang CIA di Bolivia bersama orangKuba. Saya kira kita harus sadar bahwa perjuangan bersenjata tergantung kepadaperjuangan yang lebih luas. Perjuangan bersenjata sendiri tidak bisa bikin revolusi,dan kita harus sadar ada banyak perjuangan lain yang tidak bersenjata tapi petning,bahkan mungkin lebih penting. Waktu Uni Soviet mengirim senjata nuklir ke Kuba,Che juga mau pakai senjata itu. Dia mau launch senjata itu ke Amerika dan bilangbegitu kepada wartawan. Che begitu semangat untuk melawan Amerika dengansenjata apa saja, termasuk senjata nuklir.

Sekarang ini di Amerika Latin, Afrika dan Asia ada banyak pasukanbersenjata. Di Aceh ada GAM, dan di Afrika yang berkuasa itu semuatentara, ada kelompok-kelompok kecil yang bersenjata. Dan saya kiradi Afrika sekarang dan di tempat lain di dunia mungkin yang lebihpenting bukan menambah senjata atau bikin kelompok gerilya baru,tapi membuat gerakan non-kekerasan. Masalah sekarang justru karena

Page 139: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 137

terlalu banyak orang yang punya senjata. Waktu Che ke Kongo untuk membantumembuat pasukan gerilya, baru ada satu kelompok. Tapi sekarang Kongo hampirtidak ada lagi sebagai negara karena banyak kelompok kecil yang bersenjata dan salingperang. Di Kongo sekarang mungkin ada sepuluh pasukan gerilya, dan kalau kitabikin gerilya baru jelas tidak bisa bikin apa-apa. Di Amerika Latin kita lihat ada gerilyaseperti Shining Path (Jalan Terang) yang berideologi Maois. Che juga diangkat sebagaiorang Maois, yang berpikir bahwa petani akan bikin revolusi, bukan buruh. Petanibersenjata. Tapi ada banyak pasukan gerilya di Amerika Latin seperti Shining Pathyang menurut saya reaksioner. Mereka juga melawan orang kiri yang lain, membunuhorang sipil. Jadi kita harus hati-hati, karena ada gerilya yang bicara dengan retorikaMarxis, Leninis, atau Maois. Tapi itu bukan berarti mereka progresif.

Ada contoh lain di Meksiko, yaitu kelompok Zapatista. Saya kira mereka progresifdan juga bergerilya. Dan dalam konteks itu ternyata strategi gerilya sangat cocok.Tapi strategi mereka berbeda dari Che Guevara, karena strategi mereka bukan untukmengambil kekuasaan negara seperti pasukan gerilya di Kuba, tapi hanya untukmembantu semua orang Meksiko membuat gerakannya sendiri. Zapatista hanya adadi Chiapas, di salah satu propinsi Meksiko, dan mereka bikin revolusi di situ. Lalumereka bilang “kita berharap semua orang lain di Meksiko melawan danmemberontak”. Itu lain dari Che, dan Zapatista belajar dari pengalaman Che danpengalaman revolusi Kuba. Semua rencana Che untuk ekspor revolusi di luar Kubaternyata gagal. Ada satu perkecualian mungkin, yakni revolusi Nikaragua yang menang20 tahun setelah perlawanan gerilya dimulai. Tapi mereka menang bukan hanyakarena ada gerilya di situ, tapi juga karena ada gerakan yang lebih luas. Dan adakontak antara gerilya dan masyarakat sipil. Artinya masyarakat sipil juga bikin revolusi,bukan hanya ikut pasukan gerilya. Di El Salvador dan Guatemala ada gerilya yangtidak menang, tapi mereka bisa memaksa negara untuk mulai negosiasi dengan merekauntuk membuat negara baru. Saya tidak bisa bilang strategi Che untuk perlawananbersenjata itu salah, tapi kita harus hati-hati. Saya kira dalam situasi Indoneisa, yangpaling sekarang adalah bagaimana mengurangi konflik bersenjata, bukanmenambahnya dengan yang baru.

Sampai sekarang saya hanya berbicara tentang strategi gerilya, tetapisebenarnya ada juga soal ekonomi. Waktu Che jadi menteri perindustriandan presiden Bank Kuba, dia sebenarnya tidak tahu apa-apa tentangekonomi. Ceritanya dalam sebuah rapat Fidel bertanya kepada peserta“apakah ada economista (ekonom) di sini?” Lalu Che angkat tangan,“Saya!” Semua orang rapat heran dan bilang, “kamu tidak tahu apa-apamengenai ekonomi”. Che menjawab, “Oh, economista, saya kira yangditanya tadi apa ada komunista (komunis) di sini.” [hadirin tertawa]Memang pengangkatan dia menjadi presiden Bank Kuba itu tidak jelas.Mungkin hanya karena dia bisa kerja keras dan sabar untuk duduk lama.

Kalau kita membaca tulisannya mengenai ekonomi sekarang, ada

Page 140: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000138

banyak aspek yang bagus sekali, karena Che berpikir tentang bagaimana memajukanKuba yang tadinya adalah negara dengan ekonomi terbelakang. Waktu itu ekonomiKuba sepenuhnya bergantung kepada tebu. Kuba waktu itu seperti sebuahperkebunan tebu, hampir semua tanah yang ada dipakai untuk tebu dan produksigula yang dijual ke Amerika. Separuh dari produksinya itu Amerika yang beli. Hanyaitu saja ekonomi Kuba. Selain itu ada turisme, dan Kuba juga bikin cerutu. Diakemudian berpikir bagaimana caranya mengubah ekonomi Kuba sehingga ada industri,bagaimana membuat ekonomi agar bisa membantu semua orang, agar orang bisabekerja dan punya standar hidup yang cukup. Kalau kita baca tulisannya dalamsituasi sekarang ada beberapa hal yang tidak relevan. Tapi ada banyak yang pentingdalam tulisan dia. Pertama, bahwa kita harus melawan negara-negara imperialis. Padatahun 1960-an tidak banyak negara Amerika Latin yang mendukung Kuba, karenadi negara itu ada diktator, tentara atau elit-elit yang mau bikin deal sendiri denganAmerika. Revolusi Kuba dan kebijakannya itu lain, karena pemerintahnya mau bikinekonomi yang baik untuk semua orang. Sementara negara lain tidak peduli, sepertipemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak peduli kalau ada banyak orangmati kelaparan, kalau ada orang yang kerja keras tanpa gaji cukup. Elit Indonesiamelihat orang lain seperti binatang saja. Itu benar, termasuk pemerintah yang berkuasasekarang, “orang reformis” yang bikin deal sendiri dengan IMF. Jelas bahwa Indonesiatidak perlu membayar hutang lama dari rezim Soeharto, tapi pemerintah sekarangnyatanya mau bayar. Kalau kita membaca tulisan Che dalam konteks ini, kita bisabilang bahwa Che memang hebat.

Ada cerita waktu Che ke Indonesia setelah revolusi Kuba. Kira-kira tahun 1960atau 1961. Dia diajak ke istana dan presiden Soekarno dengan bangga membawanyakeliling istana, menunjukkan lukisan mahal. Akhirnya Che bosan, karena tidak pedulidengan kekayaan Soekarno. Dia bilang, “Mana cewek Rusia yang dikasih olehpemerintah Rusia. Dia itu milikmu yang paling berharga?” Che rupanya dengarbahwa Soekarno punya simpanan baru dari Rusia. Tapi untungnya semua itu tidakditerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan presiden Soekarno tidak tahu apayang dikatakannya dalam bahasa Spanyol. Tapi itulah Che, yang tidak bisa empathydan tidak mau memahami Soekarno. Karena kalau menurut dia orang revolusioneritu harus punya perspektif lain.

Baiklah, saya mau tahu orang Indonesia sendiri berpikir apa tentangChe, karena kalau saya keluar rumah selalu lihat kaos bergambar Che dimana-mana. Setiap orang kelihatannya punya, tiap mahasiswa dan pelajarpunya, bahkan ibu-ibunya juga.

Moderator:Baik, itu tadi uraian dari John dan Fay, yang cukup luas. Ada satu hal

yang menarik, yaitu soal konteks dan simbol, artinya sejauh mana simbolitu dipahami dalam konteksnya. Apakah benar kita mengangkat Chehanya sebagai icon saja, tanpa tahu bahwa dia punya gagasan brilyan

Page 141: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 139

dan revolusioner. Pertanyaannya, sejauh mana masyarakat Indonesia – kita semua –memahami Che? Kenapa semua orang sekarnag memakai kaos oblong bergambarChe Guevara, aksi turun ke jalan juga membawa bendera dengan gambar Che,emblem juga bergambar Che. Jadi sebelum ditanya, John dan Fay melontarkanpertanyaan lebih dulu kepada hadirin, supaya hadirin bisa menjawab dulu. Silakanpara hadirin. Kita hadir di sini bukan hanya sebagai pendengar, tapi juga sebagaipembicara. Apakah benar yang diceritakan tadi soal sisi gelap Che yang dulu jugasuka main-main dengan perempuan. Mungkin ada teman yang suka mengibarkanbendera Che yang tersinggung…

Sigit:Di kalangan mahasiswa keterkenalan Che tidak dapat dilepaskan

dari keberhasilan group dari Amerika yang bernama Rage Against theMachine. Saya sendiri tidak sepakat dengan kelompok itu, karena sudahterkooptasi dan menjadi komoditi pasar. Dan ini bukan kesalahan CheGuevara atau kesalahan Rage Against the Machine. Mereka sendiri bilangChe ditampilkan karena sudah menjadi milik dunia. Kesalahannya, kelompok itubermain di tatanan mainstream industri rekaman yang sangat dominan.Konsekuensinya, ketika figur Che Guevara itu diterima oleh audience atau publik,yang diterima itu hanya sebatas image saja. Hanya macho dan heroismenya yangditerima, sementara seluruh perjuangan dan pemikiran dia justru kabur. Tapi di sisilain kita lihat bahwa Rage Against the Machine pada tahun 1995-98 ikut di hutan-hutan Meksiko dengan orang Zapatista. Dalam beberapa event dia melakukankonperensi pers dan menyatakan bahwa 50% penghasilan kelompoknya diserahkanuntuk mendukung perjuangan Zapatista.

Aku pikir Che Guevara kemudian hanya diterima heroisme dan ma-cho-nya saja, terutama karena permainan industri musik mainsream yangdikuasai kapitalisme global. Amerika kelihatannya ingin menebus dosakemanusiaan mereka dan memberi kesan setuju dengan demokratisasidan bahkan ide-ide sosialisme dan komunisme, seolah punya punyakomitmen dengan perjuangan rakyat tertindas. Nah, di Indonesia selamaini tidak pernah ada gerakan yang mau meluruskan dan menjelaskanChe itu sebenarnya siapa, apa gagasannya. Kita yang tahu pun kadangterdiam, dan akibatnya semakin banyak orang menyukai Che sebagaifigur macho dan heroik. Nah, aku lemparkan ke kawan-kawan yangada di sini, bagaimana sikap kita setelah kita mendengar penjelasan soalChe. Industri musik jelas menjadikan figur Che hanya sebagai komoditidi pasar, dan sayangnya tidak ada pembelaan. Ini sama halnya ketikakita bicara soal Ska misalnya. Ska itu sangat berkomitmen padapergerakan working class, tapi kenapa Ska di sini hanya ditangkapcentilnya saja, hanya bicara cinta saja. Sementara kawan-kawan yangkatanya punya komitmen kuat pada kultur Ska juga diam saja.

Page 142: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000140

Kembali lagi ke Che Guevara, ini sama saja halnya. Bagaimana kita membuatpelurusan dan mengimbangi gambaran yang sudah dijadikan komoditi olehkapitalisme global. Kalau Che hanya ditangkap dari segi petualangan, main motor,atau tingkah lakunya yang sedikit hedonis, aku pikir kawan-kawan mahasiswa yangsangat fanatik pada Rage Against the Machine dan menyukai Che Guevara pun akanmentok pada tataran macho, heroisme dan hedonismenya saja. Sekali lagipertanyaannya, bagaimana sikap kita sebenarnya?

Oey:Pada tahun 1960 kebetulan saya pernah menerjemahkan buku Che

Guevara, yaitu Perang Gerilya yang memang salah satu buku terpentingdari dia. Karena di dalam buku ini dia esperti menjadi Mao Zedong-nyadunia Barat. Karya ini penting karena perang gerilya di Tiongkok dasarteori dan sebagainya itu tidak ada di Kuba. Semua tindakan militer a lagerilya itu gagal. Sedangkan kalau di Timur, karena lahirnya dari bawah, dari kaumtani dan bukan dari atas yang membentuk grup-grup khusus begitu, lain lagi hasilnya.Ini memang perbedaan yang sangat mencolok.

Kedua, soal Che Guevara yang kita terima citranya sekarang, sebagaiorang tampan, heroik dan flamboyan juga. Tampilan ini sangat menarikbuat anak-anak muda. Itu wajar saja. Tinggal sekarang membicarakanisinya juga. Soal ekonomi, memang bukan Che Guevara orangnya. Samaseperti Raul Castro yang tahu-tahu jadi menteri pertahanan. Itu semacamkeberanian Kuba untuk tidak terikat pada norma lama. Sebenarnya adateoretikus revolusi Kuba itu. Bukan Fidel Castro atau Che Guevara, tapiCarlos Cienfuegos, yang hilang dalam penerbangan ke luar negeri. Diainilah tokoh utama dari revolusi Kuba.

Perang Gerilya itu memang buku yang menarik, secara rincimenjelaskan apa saja yang dilakukan kalau orang mau menempuh peranggerilya, sampai membuat bom molotov segala. Kalau di sini kan orangbikin bom molotov, cuma botol diisi bensin, dinyalakan lalu dilempar.Padahal bukan begitu. Bom molotov juga memakai bahan kimia dansebagainya agar bisa meledak. Tidak perlu dinyalakan segala. Kalaudilemparkan, membentur sesuatu, lalu meledak. Kalau di sini saya pikirkita agak primitif juga.

Hal lain yang saya anggap serius, adalah pemahaman Che Guevarabahwa revolusi tidak bisa menang hanya di satu tempat. Ini bau-baunyapermanent revolution, bahwa revolusi itu harus sekaligus di semua negeri,baru bisa dijamin menang. Ini penting, sebab kenyataannya revolusiRusia yang tahun 1930-an kemudian diluncurkan sebagai “sosialisme disatu negeri” ternyata sekarang juga gagal. Apakah ini ada hubungannyadengan teori revolusi permanen itu?

Lantas, masalah ekspor revolusi. Kita tahu bahwa itu gagal karena

Page 143: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 141

tidak bisa memaksakan suatu negeri untuk ikut satu pola saja, sementara kondisinyabegitu berbeda. Tapi yang menarik buat saya adalah soal internasionalismenya. CheGuevara ini seorang internasionalis, dan konsekuen dengan itu. Dia bersedia mati dinegeri orang dan bukan negerinya sendiri, dan dia buktikan juga. Kepahlawananseperti ini punya daya tarik sendiri.

Buku Perang Gerilya itu lebih jauh ternyata punya hubungan juga dengan Indo-nesia. Teman-teman tentunya ingat tahun 1968 itu kan ada gerakan di Blitar Selatan.Idenya bukan dari Che Guevara, tapi dari Vietnam. Memang mau perang goa,membangun basis-basis di goa yang bertempat di Blitar Selatan. Kita tahu bahwa inijuga gagal, setelah dioperasi pagar betis semua habis. Belakangan dari Tiongkok jugadikatakan bahwa gerakan itu hanyalah advonturisme. Nah, saya jadi ingat salah satubagian dari buku Che yang menyatakan begini, “menentukan basis tempat kitabergerak tidak boleh di areal yang bisa dicapai oleh angkutan umum, yang berada dijarak jangkauan kekuasaan resmi.” Jadi harus di luar jangkauan itu. Kalau BlitarSelatan itu lain, itu sentralnya lalu lintas, jadi sebentar saja dipagar betis sudah habis.

Moderator:Ada dua hal menarik yang disampaikan oleh Oey dan Sigit dari Tar-

ing Padi. Sigit masih meragukan apakah teman-teman sekarang benarmemahami gagasan Che Guevara. Ini pertanyaan sama yang dilontarkanFay sebenarnya, sejauh mana sebenarnya kita memahami konteks yangmelahirkan Che?

Agung Putri:Kita malam ini dibawa oleh romantisme tentang Che sambil melihat

Indonesia. Saya sendiri tidak tahu apakah Che memang luar biasa ataumenjadi luar biasa justru setelah dia mati. Artinya, apakah memang adasesuatu dalam dirinya yang begitu lain, atau justru sejarah yang membuatdia menjadi lain, atau mungkin juga kedua-duanya. Kalau dilihat latarbelakangnya, Che ini orang biasa saja. Ia anak dari keluarga middleclass, anak seorang kaya Spanyol yang di Argentina waktu itu dianggapsebagai warga kelas satu. Sejak kecil terkena penyakit asma sehinggaharus pindah ke daerah pegunungan yang elit, mendapat perawatandan ketenangan. Saya pikir bukan masa kecil seperti itu tidak memberinyasifat berani. Tapi saya pikir dari pengalaman itu dia menjadi dingin,karena sejak kecil berjuang melawan penyakitnya sendiri. Kedua, sayapikir dia orang yang sangat suka membaca dan menulis. Pengetahuannyaluar biasa banyak. Saat bergerilya dia juga membawa koleksi bukunyamenyeberangi lautan menuju Kuba. Jadi, sebenarnya dia bukan orangyang berani, tapi semata-mata terlatih untuk berpikir karena sangat kuatmembaca dan mampu menulis. Saat ia dan rombongannya menuju Kuba,dia satu-satunya orang yang mengerti teori, jauh di atas Fidel Castrosendiri.

Page 144: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000142

Kedua, dia ini juga seorang dokter dan menjadi sangat dingin terhadap luka dankekerasan. Di satu sisi dia memang humanis, baik karena pengalaman maupunpengalamannya, tapi sebagai dokter dia memang luar biasa dingin. Kita bisa lihat iniketika membaca buku hariannya. Di situ dengan ringan dia melukiskan otak yangkeluar dari tempurung temannya sendiri, yang ia tembak dengan pistol karenaberkhianat. Dia menjelaskannya dengan bahasa kedokteran yang dingin, denganmelukiskan gejaga-gejala kedokteran setelah ditembak. Nah, kita bisa saja menafsirkanini sebagai tindakan berani, orang yang konsisten dan sebagainya. Tapi saya melihatnyalebih sebagai orang yang dingin karena ilmunya, yang melihat gejala kematian itudari segi ilmu. Memang ada juga tulisannya yang romantis dan lebih banyak beredar,seperti pidato-pidatonya dan tulisan dia mengenai manusia dan sebagainya. Tapikalau lihat buku hariannya kita seperti menemui orang yang sangat kering, intelektualyang tidak punya sisi kemanusiaan. Begitulah, saya hanya menambahkan sedikit saja.

Anom:Seorang ahli Amerika Latin, James Petras, pernah menulis dalam

bukunya Latin America in the Time of Cholera tentang kemundurankaum intelektual di Kuba. Di situ dijelaskan bahwa pada tahun 1990-anrevolusi Kuba mengalami berbagai kemunduran, dan ada kebutuhanuntuk membangkitkan kembali semangat pemuda Kuba denganmemunculkan icon Che. Ini diperkuat dengan peringatan kematian Chedan dikembalikannya kerangka Che dari Bolivia ke Kuba. Dari segi medis,ada penyakit yang berkembang di Kuba saat itu, yakni kegemukan ataukubisitas, karena hidup keenakan. Komite Sentral Partai Komunis Kubakemudian berusaha membangkitkan kembali semangat revolusioneruntuk membangun sosialisme di Kuba. Tahun 1997 kematian Chediperingati besar-besaran, Fidel Castro berpidato di PBB dan dari sanaicon Che punya menyebar luas. Sebelumnya ada periode kosong, ditahun 1980-an di mana icon Che tidak muncul. Tapi tahun 1997 itu FidelCastro sendiri berpidato, “jadilah pemuda progresif seperti Che”. Nah,di Indonesia realitasnya berbeda. Di sini saya lihat tidak jelas kaitankemunculan icon Che dengan situasinya. Memang kita harus mempelajaridedikasi Che pada perjuangan seperti yang diungkapkan. Ada konteksyang harus dipelajari, bukan sekadar melihatnya sebagai orang berani,heroik… [suara peserta lain: “mahasiswa sekarang juga berani”]Persoalannya, mahasiswa sekarang tidak menyimpulkan aktivitas merekasendiri. Sederhana saja masalahnya. Che yang saya kenal melalui bukunyaJohn Lee Anderson, adalah orang yang menulis semua pengalaman dankegiatannya dalam buku harian. Sebuah buku kecil yang selalu dibawa.Di situ dia menulis apa saja. Mau perang, menulis. Setelah perang,menulis. Jadi tergila-gila menulis dan membaca. Dari situ diamenyimpulkan pengalamannya dan membuat teori, misalnya teori gerilya.

Page 145: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 143

Dengan menulis dia membaca kembali sejarahnya sendiri dalam melakukanperlawanan.

Dalam sejarah revolusi Kuba, Che sebenarnya mulai terlibat dalamperjuangan bersenjata kedua, setelah penyerbuan barak Moncada yanggagal. Fidel Castro ditahan setelah penyerbuan itu, lalu dibebaskan danpergi ke Meksiko. Ia kemudian bertemu Che, berdiskusi dan cobamengulangi gerakan bersenjata. Revolusi Kuba memang unik, dan pilihanperjuangan bersenjata dilakukan karena gerakan massa tidak berkembang. Kuba adalahnegara pulau yang kecil dan jumlah massa juga sangat kecil. Gerakan massanya tidakberkembang, sementara tingkat represi begitu tinggi. Nah, perjuangan bersenjatadipilih karena melihat perkembangan masyarakat seperti itu. Lenin sendiri ketikamemutuskan untuk angkat senjata menghadapi kesulitan bukan main. Pertanyaannya,apakah gerakan bersenjata merupakan tuntutan demokratik atau tidak? Dalam sebuahfilm karya Sergei Eisenstein, Battleship Ptomkin, kebetulan saya masih punyadokumentasinya, itu film tanpa suara, diceritakan bahwa perlawanan bersenjata diRusia dimulai dari sebuah kapal, oleh kelasi-kelasi yang tidak terima karena dagingjatah mereka setiap hari sudah ada ulatnya (belatung). Itu sangat sederhana. Kemudianada salah satu kelasi yang meninggal karena daging itu, dan kemudian membangkitkanperlawanan masyarakat di pantai Odesa. Perlawanan itu dipukul secara represif olehmiliter, dan membuat masyarakat bingung: “kenapa perlawanan damai kok dipukuldengan senjata, dibunuh?” Di sini slogan “senjata untuk rakyat” menjadi tuntutanrakyat, sebuah tuntutan yang sangat logis. Jadi, gerakan bersenjata itu juga tidak bisadipaksakan. Kalau masih ada ruang dialog yang lebih besar untuk kedua pihak, yakita kembangkan gerakan massa. Nah, begitulah pendapat saya, agar kita tidak melihatChe sebatas gantengnya saja.

Hendrik:Tadi sudah disampaikan oleh koordinator bahwa kita berbicara

tentang Che Guevara. Fay dan John sudah memperkenalkan beberapapemikirannya, dan menekankan bahwa kalau kita bicara tentang diamaka tidak bisa dilepaskan dari pikiran-pikirannya. Kalau memang Cheditampilkan sebagai idola atau tokoh, maka kita harus memahami betulpikiran-pikiran dia, jadi tidak mengidolakannya secara membabi-buta.Tadi diuraikan bahwa Che membentuk foco, yang menjadi pelaksanarevolusi. Sebuah kelompok inti yang berkomitmen tinggi dan bertugasmenjalankan revolusi. Saya pikir Che dalam hal itu benar, tapi tidakmutlak benar. Setiap perubahan pasti punya syarat-syarat. Ada syaratpenentu dan ada syarat pembantu. Syarat penentu di sini menurut sayaadalah kondisi masyarakat itu sendiri. Sementara foco atau kelompokinti ini perannya adalah sebagai faktor subyektif, yang sangat diperlukan.Memang seandainya syarat penentu itu sudah memenuhi untukperubahan tapi kelompok inti itu tidak ada, maka perubahan tidak akan

Page 146: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000144

berjalan. Sebagai contoh kita bisa melihat kondisi masyarakat Indonesia sekarang.Menurut saya kita sekarang sedang menghadapi perubahan, tapi kelompok inti yangmenempati posisi sebagai pimpinan ini belum tercipta.

Lalu pikiran yang dikemukakan oleh Fay tadi, mengenai prinsip “kerja sesuaikemampuan, dan menerima sesuai kebutuhan”. Saya lihat prinsip itu sekarangdijalankan di negara-negara yang menganut paham komunis, tapi tidak berhasil aliasgagal. Di Cina sekarang ini diadopsi pula sistem kapitalis yang dulu dikecam habis-habisan. Kenapa? Karena pada prinsip “bekerja sesuai kemampuan dan menerimasesuai kebutuhan” pada periode tertentu memang bisa merangsang semangat, solidaritaspun tinggi. Tapi tidak bisa bertahan seterusnya, karena orang akhirnya akan berpikir“rajin atau malas, kok sama saja?” Akhirnya ditempuh sistem kapitalis itu.

Saya melihat ini dalam kaitannya dengan Che Guevara sebagai seorang tokoh.Menurut saya, dia – seperti juga tokoh-tokoh lainnya – berhasil dalam periode tertentu,dalam situasi tertentu. Tapi tidak berarti bahwa seluruh policy atau pikiran-pikirandia itu mutlak berlaku untuk segala zaman dan segala situasi. Situasi yang berbedamenuntut buah pikiran baru, tahun yang berbeda menuntut kita meneliti kembalikondisi yang ada. Dari situ kita menciptakan, katakanlah, teori baru untuk menghadapimasalah. Jadi apa yang benar diterapkan di Kuba, belum tentu benar jika diterapkandi sini. Apa yang benar di Rusia, juga belum tentu benar diterapkan di sini.

Mengenai kata-kata Che Guevara bahwa perubahan hanya bisa dilakukan dengansenjata, dalam konteks tertentu, saya pikir benar. Tapi itu juga tidak berlaku mutlak,karena ada situasi yang jika kita paksakan bersenjata, justru akan buyar semuanya.Contohnya, bagaimana mungkin kita merdeka kalau tidak angkat senjata melawanBelanda. Tapi dalam kondisi lain, cara-cara semacam itu tidak populer dan tidaksesuai dengan kondisi masyarakatnya. Jadi, yang penting itu memahami kondisimasyarakat. Zaman dulu ada usaha menyontek cara-cara yang dilakukan Cina dalammenempuh revolusi, padahal kondisi Cina dan Indonesia sangat berbeda. Kaum tanidi Cina memang menderita sangat hebat, sehingga kalau angkat bedil mereka merasatidak kehilangan apa-apa kecuali belenggu penindasannya sendiri. Sementara petanidi Indonesia masih bisa makan kenyang tiga kali sehari dan masih punya harapan.Dan untuk diajak menderita itu saya kira pada umumnya tidak akan mau.

Hilmar Farid (Fay):Saya pikir Xanana Gusmão adalah tokoh menarik untuk dibandingkan

dengan Che. Sejak tahun 1983 Falintil (Angkatan Bersenjata PembebasanNasional Timor Lorosae) menyadari bahwa mereka tidak akan menangmelawan Indonesia secara militer. Tapi kenapa gerakan bersenjata itutetap dipertahankan? Alasannya, tidak lain seperti yang dibilang Hendriktadi, bahwa perjuangan itu perlu simbol, sebuah pernyataan “kita masih ada danmasih berjuang”. Sejak tahun 1983 tidak pernah ada lagi latihan militer bagi pemudayang direkrut, tidak ada lagi latihan menembak dan seterusnya. Nah, kalau kita lihatFalintil sekarang, mungkin kita bingung, “mengapa berani melawan tentara Indone-

Page 147: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 145

sia?” Usia para pemimpinnya sudah cukup tua, tapi mereka tetap pegang senjata danbertahan dengan kondisi yang serba kekurangan. Saya pikir simbol itu memangpenting dan pahlawan itu memang perlu. Tapi yang perlu kita tahu adalah apa yangada di balik simbol dan tokoh itu. Maksudnya ketika melihat simbol bahwa perjuanganmasih ada, kita perlu tahu apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh perjuangan. Nah,dalam hal ini yang dilakukan Xanana waktu itu memang luar biasa. Dia praktismengubah seluruh strategi Falintil, tidak lagi berjuang dengan harapan bisa menangsecara militer, apalagi setelah tahun 1983 basis-basis pertahanannya di desadihancurkan oleh militer. Basis perjuangannya justru ia pindah ke kota, di pemukimanpenduduk, membangun gerakan klandestin. Penguasa kerepotan karena susahmembedakan perlawanan dari rakyatnya. Seperti sering dikatakan Xanana sendiri,“rakyat itu sendiri adalah perlawanan”. Dia sering main-main juga, katanya “jangantanya siapa yang berjuang di negeri kami, karena setiap napas itu adalah perjuangan.Bahkan ikan-ikan di laut pun mendukung perjuangan kami.” Memang industriperikanan di Timor Lorosae masa pendudukan Indonesia itu memble.

Jadi, buat saya penting untuk memahami apa yang ada di balik cerita-cerita besartentang para pahlawan dan simbol. Di balik semua itu banyak sekali pekerjaan penting,dan ini yang saya pikir hal penting untuk dipelajari. Bersenjata atau tidak, menurutsaya, masalah pilihan strategis saja. Sepanjang pengetahuan saya tidak ada gerilyayang mampu bertahan selama bertahun-tahun tanpa basis pendukung sipil, tanpagerakan rakyat atau gerakan massa. Kita lihat saja FSLN di Nikaragua, FarabundoMarti di El Salvador dan sebagainya. Tidak mungkin mereka hidup tanpa gerakanperempuan, pendidikan popular dan lain-lainnya. Contoh yang paling baik adalahVietnam. Ketika semua yang ada di atas tanah itu dibabat habis oleh Amerika, merekapindah ke bawah tanah, dalam arti sesungguhnya berjuang di bawah permukaantanah. Ini juga merupakan usaha yang menurut saya tidak main-main. Ho Chi Minhjuga sadar bahwa dia tidak mungkin bertahan hidup hanya mengandalkan senjata.Pikiran yang sama ada pada Che ketika dia pertama kali terjun dalam perjuanganbersenjata dan menemui banyak kegagalan. Tadinya dia pikir perjuangannya akanmulus, turun dari kapal lalu bergabung dengan Gerakan 26 Juli, naik ke SierraMaestra, turun ke Havana, dan menang. Tapi baru saja turun kapal, bertemu seorangpetani yang ia pikir pendukung. Tapi rupanya justru si petani ini yang melaporkan “siArgentina gila” itu ke tentara. Dari pengalaman itu Che belajar bahwa gerakannyatidak mungkin hidup kalau tidak kenal petani.

Proses belajar ini yang menurut saya sangat penting, karena tidakada jalan mulus menuju perubahan. Terlepas dari pilihan bersenjata,tidak bersenjata atau strategi lainnya. Memang perjuangan itu sesuatuyang kompleks, tapi terlalu sering dianggap sederhana. Sering kitamendengar seloroh “sudahlah, masalahnya sudah jelas. Pada pokoknyakita harus begini, begini…” Dan selalu lupa bahwa di samping “yangpokok” itu masih banyak masalah lain. Itulah pelajaran paling berharga

Page 148: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000146

yang saya tangkap dari pengalaman gerakan-gerakan semacam itu. Soal bersenjatadan tidak bersenjata, saya pikir kita mesti lihat lagi, apakah keduanya memangsenantiasa bertentangan? Apakah memang itu pilihan yang harus dibuat seperti kitamemilih baju? Kalau sudah pakai yang satu tidak lagi bisa pakai yang lain? Atausebaliknya pilihan itu sangat fleksibel dan berkait? Hal-hal seperti inilah yang perlukita diskusikan lebih lanjut.

John Roosa:Menurut saya ironis sekali bahwa Che kemudian menjadi icon, karena

dia sendiri mau mengorbankan dirinya sebagai manusia atau individu.Dia tidak mau lagi menjadi individu dan catatan harian dia penuh denganpikiran seperti itu. Dia maju jadi “kita-individu”, atau mau jadi manusiakolektif. Tapi justru setelah dia mati ada kultus. Memang sebagai orang,Che itu luar biasa dan banyak orang pun mengakuinya. Jadi, saya kirakita justru mengkhianatinya kalau memuji dia sebagai individu, karenajustru itulah yang tidak dia inginkan.

Ayu Ratih:Tadi Sigit di awal diskusi bertanya, bagaimana Che ini tidak sekadar

menjadi icon. Saya juga tidak tahu caranya, tapi kita bisa belajar daricara yang dipakai oleh Zapatista di Chiapas, Meksiko. SubcommandanteMarcos secara sadar melihat pengarus pengkultusan Che, sehingga iamembuat keputusan bersama dalam gerakan Zapatista untuk menutupwajah mereka. Dia sendiri bukan commandante, tapi subcommandante.Komandannya adalah rakyat. Dia sendiri sulit ditemui. Wartawan yangmau menemuinya harus bertemu dengan sekian lapis rakyat dan kadang-kadang setelah seminggu penuh baru bisa bertemu danmewawancarainya. Begitu juga dalam pertemuan-pertemuan dipegunungan Chiapas setiap musim panas. Ada ribuan orang, wartawandan lainnya, datang karena ingin melihat Subcommandante Marcos, tapidia tidak muncul-muncul. Memang datang sebentar naik kuda pada hariterakhir, lalu menghilang lagi. Dia memang sangat sadar akan pengaruhmedia, dan mengatur strategi untuk kampanye tanpa terperangkap ke dalampengkultusan individu. Sampai sekarang orang hanya bisa menebak-nebak sepertiapa sesungguhnya wajah Marcos. Setiap kali ada barisan berkuda yang memakaipenutup muka, orang tidak bisa membedakan satu dari yang lain. Nah, ini saya pikiradalah tindakan kongkret untuk mewujudkan apa yang dibayangkan Che tentangmeleburnya individu dalam gerakan kolektif.

Moderator:Saya tidak bisa menyimpulkan diskusi tadi, paling tidak kita

menyinggung Che sebagai icon, sebagai tokoh, dan juga mengeksplorasipemikiran yang ditekuni dan dipraktekkannya. Mudah-mudahan ini bisamenjadi insiprasi bagi kerja kita selanjutnya, artinya bagaimana

Page 149: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 147

menghindari agar gerakan sosial tidak menjadi sesuatu yang terpaku pada tokoh danindividu. Ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kekuatan pasar. Tadi ada teman-temanyang punya gagasan mengembangkan produksi kaset independen dari pasar. Pikiranitu relevan dengan pikiran-pikiran Che Guevara yaitu tidak mau kompromi.Masalahnya bagaimana caranya kita tidak berhenti di tingkat jargon saja, tapimerumuskan apa yang bisa kita lakukan bersama-sama untuk mengembangkanpemikirannya.

Page 150: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp
Page 151: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 149

Moderator:Ketika merumuskan tema ini muncul beberapa pertanyaan, misalnya

“dari mana datangnya militansi atau sikap tidak toleran dari sebagiankalangan Islam belakangan ini?” Sebagai contoh kita bisa lihat munculnyakelompok-kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI), Gerakan PemudaKa’bah atau Laskar Jihad. Apakah kelompok-kelompok seperti ini adalahbagian dari gerakan Islam di Indonesia. Kalau memang benar, dari manaakarnya? Atau jangan-jangan agak berlebihan jika kita menyebutnyasebagai gerakan Islam, karena kemunculannya lebih terkait dengankondisi sekarang ketimbang sejarah Islam sendiri. Ambil contoh FPI.Kita lihat psikologi pemimpinnya yang pulang ke Indonesia danmembentuk semacam polisi susila yang kerjanya mengobrak-abriktempat-tempat seperti klab malam, pub dan sebagainya. Lalu Jafar UmarThalib dari Laskar Jihad. Dia pernah belajar di pesantren Gontor, tidak

Naiknya Fasisme yang Mengatasnamakan IslamNarasumber: Ulil Abshar Abdala, Lakpesdam NU. Moderator: Hawe Setiawan.

13 DESEMBER 2000

Selama beberapa tahun terakhir masyarakat menyaksikan munculnyakelompok-kelompok politik Islam yang menggunakan kekerasan untukmencapai tujuannya. Mereka giat mengobrak-abrik warung penjualminuman beralkohol, café dan tempat hiburan lainnya. Pada 1999 merekabahkan menduduki kantor Gubernur DKI menuntut penutupan tempat-tempat semacam itu. Belakangan malah meningkat dan mengancam akanmelakukan sweeping terhadap penduduk asing di seluruh Indonesia.Beberapa di antaranya juga gencar terlibat dalam konflik berdarah diAmbon, Poso dan sebagainya. Ulil Abshor Abdalla, seorang intelektual mudaNU, melihat ini sebagai ancaman bangkitnya fasisme yang berjubah agama.Baginya kelompok-kelompok tersebut tidak mewakili ajaran Islam, tapijustru menampilkan citra buruk agama Islam. Diskusi ini berlangsungcukup hangat karena sebagian orang menganggap gerakan ini sebagaigerakan fundamentalis yang sangat membahayakan kehidupan demokrasidi negeri ini sehingga perlu diciptakan hukum-hukum yang bisa mencegahgerakan ini berkembang lebih jauh. Sebagian lagi melihat seandainyagerakan ini tidak melakukan kekerasan dalam usahanya menegakkanajaran Islam, tidak ada masalah. Bukan fundamentalisme nya yang perluditakuti, tetapi pemaksaan kehendak dengan kekerasan. Hal lain yang jugadisinggung adalah selama ini fundamentalisme hampir selalu dikaitkandengan Islam, padahal agama-agama lain pun punya kecenderunganfundamentalis, seperti kelompok Hindu chauvinist yang berkuasa di Indiaatau kelompok Kristen Evangelist di Amerika. Merupakan tantangantersendiri bagi kelompok-kelompok Islam progresif untuk menunjukkanbahwa Islam tidak identik dengan fundamentalisme, apalagi kekerasan.

Page 152: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000150

selesai lalu pindah ke Pakistan dan belajar di sana. Ia bergabung dengan Hekmatyar diAfghanistan dan akhirnya pulang ke Indonesia membawa pikiran tentang perangagama.

Malam ini kita berbicara tentang persoalan-persoalan ini, dan lebihjauh coba mencari akar dari gerakan-gerakan semacam ini dalam sejarahIndonesia. Juga melihat apakah memang ada rujukan teologis yangmereka gunakan.

Ulil Abshar Abdala:Assalamualaikum wr wb, selamat malam dan salam sejahtera buat

teman-teman. Tema yang akan kita diskusikan pada malam hari ini terusterang menjadi keprihatinan saya sejak setahun terakhir ini. Saya lihatkeprihatinan ini belum di-share oleh banyak orang dan tampaknya adasemacam kelengahan terhadap munculnya sebuah trend baru di dalamgerakan Islam yang cenderung menggunakan kekerasan. Bahkansejumlah organisasi Islam yang resmi seperti Nahdlatul Ulama,Muhammadiyah maupun Persis dan lembaga-lembaga lain yang sudahmapan, cenderung mengabaikan perkembangan baru.

Dugaan saya organisasi-organisasi Islam ini sudah terlalu mapan dantidak lagi sensitif terhadap perkembangan baru dan dinamika yang lahirdalam masyarakat Islam sendiri. Saya hanya khawatir suatu ketika kitamenyaksikan ledakan gerakan yang tidak mungkin lagi dikendalikan,karena sejak awal kita tidak pernah membicarakan hal ini secara publikdan tidak melakukan semacam pengendalian terhadap gerakan ini.

Sebelum membicarakan tema ini saya ingin memberikan satu-duapengantar kecil beberapa hal berkaitan dengan Islam. Pertama, yangdisebut Islam tidak selamanya sekadar sebuah agama. Selain ajaran agamaIslam juga merupakan fakta sosial, dan sebagai fakta sosial Islam munculdalam berbagai ekspresi yang tidak seragam sesuai dengan konteks sosialyang berbeda-beda. Kedua, di dalam Islam itu tidak ada yang disebutlembaga tafsir resmi. Kalau pun ada yang berupaya membuatnya, makalembaga tafsir ini tidak mempunyai kekuatan yang memadai untukmemaksakan tafsir ini secara monolitik kepada seluruh anggotamasyarakat. Selalu ada berbagai lembaga, tidak ada satu lembaga yangsecara otoritatif berhasil melakukan imposisi ajaran terhadap pemelukagama Islam. Ketiga, ada kesepakatan di antara berbagai penafsir bahwaIslam itu sebagai teks selalu atau pasti tunggal, tetapi sebagai kenyataansehari-hari – ketika ditafsirkan oleh para pemeluknya – maka Islam iniakan berbunyi beragam. Jadi teks Islam yang diajarkan di dalam Al Qur’andan hadist adalah teks yang diam. Nah, agar teks ini berbunyi, makaharus ada manusia yang membunyikannya. Karena manusia berbeda-beda maka bunyi teks ini tentu tidak akan pernah seragam.

Page 153: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 151

Tidak adanya otoritas tunggal untuk menentukan dan menyeragamkan jenis-jenis tafsir, mengandung aspek positif dan negatif. Positif karena berarti ada ruangyang bebas untuk semua orang Islam melakukan penafsiran. Tapi negatif karenaseperti yang sudah kita alami sekarang, ada semacam kekacauan karena tidak adaotoritas yang berwibawa untuk melakukan kontrol “terhadap penafsiran yangberkembang”. Nah, di dalam konteks masyarakat urban seperti Jakarta, situasi kacauini berkembang. Indikator yang sangat awam misalnya kita lihat kutipan uang yangdilakukan di pinggir-pinggir jalan. Di sisi lain kita temukan juga supply juru dakwahyang mendalami Islam dengan baik sangat kurang jumlahnya. Mereka yang belajar diIAIN itu lebih suka di sektor swasta, non-agama atau birokrasi pemerintah tapi dipos-pos yang non-agama pula. Lapangan yang ditinggalkan oleh orang-orang inilahyang kemudian diduduki oleh juru dakwah liar, yang tumbuh begitu cepat. Merekaini sebetulnya lahir mendadak tanpa proses pendidikan yang memadai, denganmembaca sejumlah literatur, menghapal satu-dua ayat dan hadist, kutipan daribeberapa ulama, dan dengan kecakapan orasi mereka bisa ditahbiskan menjadi jurudakwah yang diundang ke mana-mana. Menurut saya gejala ini adalah salah satuyang bertanggung jawab terhadap timbulnya “Islam liar” yang berkembang danberkecambah di berbagai tempat.

Nah, menurut saya ini salah satu akibat negatif karena tidak ada kontrol yangberwibawa, karena pada akhirnya Islam yang ditafsirkan vulgar oleh para juru dakwahliar ini. Mereka kemudian mempermainkan sentimen massa dan memori massa yangtidak pernah dikritik secara serius. Memori umat Islam sebetulnya adalah memoriyang bertahan berabad-abad tapi tidak pernah dianalisis dan dikritik dari perspektifhistoris dan sosiologis secara memadai, sehingga mudah dimobilisasi oleh para jurudakwah liar ini. Keadaan inilah yang menurut saya yang menjadi latar sosiologis darimunculnya satu gerakan seperti FPI.

Sekarang saya akan masuk kepada tema kita malam ini, mengenainaiknya kekuatan fasisme berdasarkan Islam. Saya ingin mengulasbeberapa penjelasan yang dikemukakan oleh beberapa orang. Pertama,penjelasan politis. Kita sering dengar kemunculan FPI dan Laskar Jihadini sebetulnya merupakan kelanjutan dari pertarungan elit yang mencobamenggunakan agama sebagai daerah lahan baru untuk bermain danmenggunakan nama Islam sebagai alat untuk bargaining politik.Penjelasan ini juga digunakan oleh Gus Dur ketika berbicara tentanggerakan seperti FPI. Kemarin malam saya mendengar sendiri dari GusDur bahwa FPI ini, “sebetulnya kelompok yang digunakan oleh orang-orang yang tidak suka dengan saya”. Dia mengatakan bahwa perusakantempat-tempat hiburan itu dilkaukan karena di situlah orang asing berkumpul.Kemang misalnya adalah daerah expatriate dan kalau diganggu mereka akan bilangkepada wartawan bahwa Indonesia tidak tenang, tidak cocok untuk investasi danakhirnya proyek pemulihan ekonomi tidak akan berhasil, sehingga pemerintahan

Page 154: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000152

Gus Dur akan menjadi tidak legitimate. Saya pikir Gus Dur salah dan ada banyakdetail analisisnya yang menurut saya tidak tepat. FPI tidak hanya melakukan perusakandi daerah Kemang tapi juga di tempat-tempat lain. Tapi pesan dari penjelasan iniadalah bahwa kemunculan kelompok-kelompok militan itu adalah bagian daripermainan politik elit untuk melakukan delegitimasi atas pemerintahan sekarang.

Kedua, penjelasan ekonomi. Kita juga sering dengar ada hubungan yang salingmenguntungkan antara kelompok-kelompok ini dengan aparat keamanan. Misalnyaada berita yang mengatakan bahwa tempat-tempat yang diserbu atau dirazia olehkelompok-kelompok ini adalah tempat-tempat yang biasanya tidak memberikansetoran yang cukup pada pihak keamanan. Pihak keamanan menggunakan kelompokini untuk melakukan debt-collecting (menagih utang), kira-kira begitu. Sebagianpenjelasan ini mungkin benar, tapi saya tidak puas.

Ketiga, penjelasan kultural yang sudah pernah saya kemukakan dalamberbagai forum. Orang-orang yang memimpin gerakan semacam ituumumnya adalah elit yang masih muda usiana, antara 40-50 tahun, berasaldari daerah perkotaan, pendidikan cukup tinggi, dan memperolehpendidikan di atas rata-rata. Mereka pernah kuliah dan menguasaiterminologi modern untuk melakukan analisis perkembangan masyarakat.Menariknya, mereka ini banyak orang Arab yang menganggap dirinyaketurunan Nabi. Dalam tradisi Betawi disebut habib. Habib Rizieqmisalnya mengaku diri sebagai keturunan Nabi. Nah, menurut saya or-ang-orang ini sebetulnya berupaya memperoleh peran baru dalam transisipolitik. Selama ini Islam selalu direpresentasikan secara intelektualmaupun dalam aksi politik, oleh orang-orang Jawa, kemudian SumatraBarat, sedikit Bugis dan Makassar. Tokoh-tokoh Islam di Jakarta ini jarangsekali memperoleh perhatian. Nah, di masa perubahan rezim Soehartoke Habibie kemudian ke Gus Dur, kelompok ini menggunakan Islamuntuk memobilisasi kekuatan massa. Mereka melakukan ini untukmencari perhatian karena selama ini tidak pernah diperhatikan dan dimasa transisi semuanya serba mungkin. Dengan metode kekerasan yangvulgar mereka dengan mudah menciptakan semacam histeria, lalu semuaorang menyorotkan kamera ke kelompok ini, dan untuk itu merekamemang berhasil. Beberapa tokohnya kemudian dekat dengan Kapolda.Kita tahu di Jakarta ini ada beberapa tokoh Arab yang berusaha merebutkesempatan dan berkompetisi satu sama lain untuk memperoleh popularitas. Bukanhanya Habib Rizieq, tapi ada juga Habib Idrus yang kemudian menjadi tokoh PPP.Kalau kita mengikuti retorika dalam pengajiannya, kita akan mendengar radikalismeyang agak vulgar, joke-joke kasar. Dan itulah yang disenangi masyarakat Jakarta yangstruktur pengetahuan Islamnya sangat berbeda dengan orang-orang di Jawa. DiJakarta struktur pengetahuan Islam dibentuk melalui pengajian umum yang sangatdangkal, sementara kalau di Jawa struktur pengetahuannya dibentuk melalui pengajian

Page 155: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 153

yang sifatnya private, terbatas dan sangat mendalam, sehingga tidak mudahdipermainkan oleh tokoh-tokoh yang mencari popularitas semacam ini.

Penjelasan keempat yang saya ajukan bertolak dari ketidapuasan atas penjelasanyang sepenuhnya politik, ekonomi dan kultural tadi. Kemunculan kelompok inibukan sekadar urusan uang, pengaruh politik atau persoalan elit yang mencarikedudukan di masa transisi. Bagi saya ada sesuatu yang lebih serius dari itu. Sayaingin share pemahaman saya ini kepada teman-teman, karena khawatir kalau kitaterus tidak peduli tiba-tiba akan menyaksikan gejala yang tidak mungkin lagidikendalikan. Penjelasan ini terarah pada ideologi di dalam kelompok-kelompok ini,yakni adanya keyakinan yang diperjuangkan, meskipun di dalam perjuangan itu adakepentingan yang campur-aduk baik dari pihak elit maupun massanya. Tapi secarakeseluruhan kelompok-kelompok ini didasari suatu keyakinan yang entah karenasokongan politik atau uang dari tokoh tertentu, bisa tetap bertahan.

Saya baru saja membaca buku diterbitkan FPI, semacam pamflet kecil mengenaiperjuangan menegakkan syariat Islam di Indonesia melalui Piagam Jakarta. Bukunyamungkin baru terbit beberapa bulan lalu. Secara kasar buku ini ingin mengatakanbahwa FPI perjuangannya bukan hanya menghancurkan botol bir di Kemang atauMargonda. Itu hanya entry point yang kecil sifatnya. Tujuan akhirnya adalah penegakansyariat Islam di Indonesia. Ini menurut saya jauh lebih serius ketimbang persoalankepentingan tokoh-tokoh atau massa yang karena kebutuhan menyambung hidupterlibat dalam gerakan itu. Di sini menurut saya pemerintah kita lengah, dan sayapunya feeling bahwa Gus Dur rupanya lupa bahwa kelompok-kelompok ini disetirbukan hanya oleh motif politik dan ekonomi tapi juga ideologi.

Pada tahun 1990-an, beberapa bulan setelah berdirinya ICMI, Gus Dur pernahmengirim surat pribadi kepada Soeharto yang mengingatkan bahwa gejalafundamentalisme seperti di Afghanistan akan terulang di Indonesia. Surat itukemudian menimbulkan kontroversi karena beberapa pengamat menganggapnyaberlebihan. Menurut saya apa yang dikatakan Gus Dur di dalam surat itu sebagianbenar, tapi kenapa ketika memerintah sekarang ini Gus Dur justru mengabaikangejala yang secara naluriah dia rasakan pada awal tahun 1990-an? Kenapa kekhawatiranitu tidak muncul dalam benak dia, dan justru mencoba meremehkannya semata-mata sebagai upaya musuh untuk mendongkelnya. Bagi saya pikiran seperti ituterlalu simplistik. Oleh karena kelompok-kelompok ini punya landasan serius, landasanideologis, maka menurut saya ada ancaman yang serius pula. Proposal Gus Duruntuk menerapkan syariat Islam di Aceh bagi saya merupakan preseden yang kurangbaik karena dengan begitu kelompok-kelompok Islam iin melihat bahwa dengan satuatau lain cara di Indonesia ini dimungkinkan legislasi syariat Islam. Saya bertemudengan sejumlah teman-teman di partai politik, dan bahkan di kalangan praktisihukum seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara. Saya berdiskusi soal ini dan merekasepertinya meremehkan keseriusan masalah dan mengatakan bahwa “apa salahnyaorang mengajukan syariat Islam sebagai pilihan untuk mengatur masalah publik? Itu

Page 156: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000154

kan hak, dan wajar saja jika ada anggota masyarakat yang mengajukannya.” Dalambahasanya Abdul Hakim ini adalah judicial choice. Orang-orang partai juga lain lagisikapnya. Mereka bilang syariat Islam itu kan sekadar retorika. Orang yang menuntutitu dianggapnya seperti anak kecil yang menangis dan diam kalau dikasih permen.Jadi, mereka menganggap seolah-olah tuntutan itu tidak mengandung esensi, tapisekadar simbol, dan kalau simbol sudah diberikan maka mereka yang menuntutnyasudah senang, meskipun tidak mendapat isinya.

Saya memandang masalahnya bukan hanya itu. Di Indonesia kita mengabaikanperkembangan baru yang terjadi di Asia Tenggara. Teman-teman aktivis Islam di sinisemakin condong ke Malaysia sebagai model yang paling mungkin ditiru. Munculnyapartai seperti PAS di Malaysia atau kelompok-kelompok Islam yang masif di sana,menjadi model yang sangat disukai karena secara geografis dekat dengan kita danyang kedua, seperti ditunjukkan oleh PAS, ternyata bisa memperjuangkan cita-citasyariat Islam secara “demokratis”. Nah, yang dilupakan oleh banyak orang adalah titikdan lubang dalam syariat islam itu sendiri. Ini tidak pernah diperhatikan secaramemadai dan orang-orang memperjuangkannya di Indonesia maupun negeri lainbiasanya mengabaikan pemberlakuan syariat Islam dalam kenyataan. Studi-studi yangdilakukan oleh kaum feminis di berbagai negara yang memberlakukan syariat Islammenunjukkan bahwa kelompok yang paling dirugikan adalah kaum perempuan.Misalnya dalam kasus perkosaan yang sering terjadi di Pakistan. Studi yang dilakukanoleh Rifat Hassan membuktikan bahwa kasus-kasus itu sulit dibawa ke pengadilansyariat, karena prosedur KUHAP-nya sangat sulit dipenuhi korban. Seperti kita tahudalam syariat Islam, korban perkosaan harus mengajukan empat orang saksi yangsemuanya laki-laki, yang melihat langsung perkosaan itu. Saya pikir, kecuali dalampertunjukan strip tease, ini tidak mungkin terjadi. Dan ini semua menimbulkan efekyang negatif sekali dalam masyarakat. Di Sudan juga sama. Hukum Islam di sinimenimbulkan masalah dengan minoritas Kristen. Sekalipun dikatakan hanya berlakubagi orang Islam, tapi efeknya banyak sekali terhadap orang non-muslim. Penerapansyariat Islam karena itu mungkin seperti membeli kucing dalam karung, kita tidaktahu warna, suara dan segala macamnya. Tapi ketika bicara tentang syariat Islam kitamenganggapnya sebagai ide yang mudah saja, tanpa sadar adanya berbagai arus,aliran dan peanfsiran yang seluruhnya tidak seragam dan bahkan bertentangan satusama lain.

Enforcement hukum syariat itu tidak mudah. Sekarang DepartemenAgama membuat eksperimen dengan kompilasi hukum Islam – yangsudah dimulai sejak zaman Soeharto – tapi nyata banyak kesulitannya.Masalah-masalah hukum perdata seperti warisan, perkawinan danperceraian itu tidak mudah dipraktekkan, karena kompilasi hukum Is-lam yang digunakan hanyalah pendapat sejumlah ulama yang berbeda-beda, dan kita tahu di dalam Islam itu ada berbagai mazhab dan aliranpikiran. Aliran yang diresmikan ada empat, tapi kenyataannya jauh lebih

Page 157: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 155

banyak dari itu, artinya ada perbedaan pandangan yang cukup besar. Nah, enforce-ment dalam hukum mengandaikan adanya keseragaman, karena tidak mungkin hukummemiliki penafsiran ganda. Nah, inilah yang tidak dipikirkan oleh mereka yang selaluberbicara tentang penegakan syariat Islam. Mereka sebenarnya tidak berpikir tentangsyariat Islam, dengan kata lain tidak pernah ada kritik mendasar sehingga beberapahal krusial yang tadi disebutkan tidak lagi menjadi beban.

Saya sendiri berpendapat, kalau seandainya syariat Islam ini sudahmengalami dekonstruksi yang mendasar, boleh jadi retorika yangberkaitan dengan syariat itu tidak bermasalah. Tapi justru di sinilahmasalahnya. Syariat Islam tidak pernah mengalami itu semua, dan sampaisekarang ide tentang syariat Islam itu hanya dipikirkan besarannya saja.Di sinilah kemudian timbul bahaya fasisme. Menurut saya, kemungkinanmunculnya fasisme dari Islam itu justru dari pikiran yang memaksakansatu tafsir syariat yang hanya dilihat besarannya saja tanpa melihatdetailnya. Jadi syariat itu seperti ideologi totaliter yang mencakup semuasegi. Retorika yang sering diungkapkan oleh orang-orang pengusungsyariat ini adalah “syariat Islam itu mencakup semua segi kehidupan”,dan itu menurut saya jelas-jelas totaliter. Karena kalau semua segi itudiatur dengan aturan Islam, maka hasilnya persis seperti yang dikehendakiOrde Baru dengan Pancasila. Orang ingin dijadikan manusia seutuhnya, denganpengertian manusia yang sempurna seperti superman. Menurut orang Islam sendiri,Islam itu mengatur orang mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, atau dengankata lain bersifat besaran. Kita bisa mengartikannya secara positif, bahwa Islam itukomprehensif, tapi di sisi lain juga berbahaya karena kata-kata semacam inimembolehkan Islam masuk ke dalam semua segi kehidupan baik yang bersifat publikmaupun privat. Kalau tidak ada kontrol terhadap syariat Islam, dengan sendirinyaakan timbul totalitarianisme, dan terus terang kalau kita baca tulisan-tulisan yangmenjadi rujukan dari kelompok seperti ini, maka kita lihat wataknya sebetulnyatotaliter sekali. Inilah yang bisa saya sampaikan sebagai pengantar diskusi.

Qodari:Nama saya Qodari dari ISAI. Saya punya concern yang sama dengan

Mas Ulil, dan coba melihatnya dalam perspektif yang lebih luas. Sayakira sejak tahun 1998, dengan terbukanya struktur kesempatan politikkekuatan Islam politik ramai-ramai berebut kesempatan berkuasa.Pertama melalui jalur demokratis atau pemilihan umum. Kita ingatawalnya ada puluhan partai politik Islam yagn berdiri, termasuk sebuahgerakan sosial Islam yang kemudian menjadi Partai Keadilan. Kebetulansaya mengamati partai ini cukup lama. Sebenarnya mereka tidak siapmenjadi partai tapi karena melihat peluang berkuasa melalui pemilu,mereka memutuskan menjadi partai. Ada dua alasan mengapa merekamengambil kesempatan itu. Pertama, ingin menunjukkan ke lingkungan

Page 158: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000156

Islam domestik bahwa mereka mendapat simpati dari kalangan Islam. Kalau merekameraih suara banyak dalam pemilu, maka itu menjadi legitimasi. Dan itu sekaligusmenunjukkan ke luar negeri bahwa Islam bisa berkuasa dengan jalur demokratis.Nah, celakanya mereka meraih suara yang relatif kecil. Kalau tidak salah semua partaiIslam hanya meraih 84 suara di DPR, dan itu tidak sampai 18 persen. Memang adaprestasinya yang mengejutkan seperti ketika PAN membuat improvisasi danmembentuk Poros Tengah, lalu menggolkan Gus Dur. Celakanya Gus Dur ternyatatidak bisa menerima titipan agenda Islam politik, malah usulannya adalah mencabutTap 25/MPRS/1966, membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Nah, kemudiansaya mau melihat keberadaan varian Islam politik yang kedua, yang sedang kitabicarakan di sini yaitu kelompok radikal Islam seperti FPI, Laskar Jihad, GerakanPemuda Ka’bah dan lainnya. Saya tidak tahu persis apakah ada semacam perjanjiandiam-diam antara kelompok pertama dan kedua, atau tidak ada hubungan samasekali. Atau mungkin ada hubungan afiliatif, patronase atau lainnya? Tetapi mengacukepada pernyataan Mas Ulil yang terakhir, saya setuju bahwa sebetulnya dari sekianbanyak motif, maka ideologi yang paling menonjol. Kita lihat keinginan PPP, PBBdan beberapa partai Islam lain untuk kembali memasukkan tujuh kata Piagam Jakartadalam amandemen UUD 1945. Saya kira paling tidak ada kesamaan agenda. Nah,kita harus teliti apa betul ada kolaborasi atau apa pun namanya antara varian Islampolitik yang pertama – yang menempuh jalur demokrasi – dengan mereka yangmenggunakan jalur ekstra parlementer?

Di samping itu faktor kepentingan militer juga penting diperhatikan.Setidaknya fraksi-fraksi tertetnu dalam militer punya hubungan dengankelompok Islam politik yang kedua ini. Karena kelompok ini punyamotif ideologis yang sangat kental maka dengan mudah seseorang ataumiliter datang membawa uang dan senjata, dan membiarkan merekabergerak sendiri. Mereka itu tidak terdeteksi lagi jejaknya.

Lili Sinaga:Saya baru pertama hadir di diskusi ini, dan juga pertama kali bicara.

Saya dari International Crisis Group (ICG), jadi makanan saya sehari-hari itu violence, bacaan tentang Timor Timur, Papua, Aceh danseterusnya. Saya memandang masalah ini dari segi kekerasan, bukanIslam-nya. Setan itu pada dasarnya ada di mana-mana, di Islam ada setan,di Kristen juga ada setan, di Buddha ada dan Hindu juga ada. Jadi tidakusah mengatasnamakan agama. Saya benci sama orang Islam yangmenggunakan kekerasan, dan juga orang kepada Kristen yang berbuatjahat. Mereka yang menolak cinta Tuhan itulah yang akan masuk neraka.

Ulil Abshar Abdala:Dari komentar kedua timbul pertanyaan, jangan-jangan memang ada

bibit totalitarianisme dalam Islam. Terus komentar yang pertama, apabetul ada kaitan antara kelompok radikal dengan mereka yang bergerak

Page 159: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 157

di partai dan mengangkat Piagam Jakarta.Saya mulai dari yang kedua. Sebetulnya kecenderungan agama

menjadi totaliter adalah kecenderungan yang baru berkembang di dalamabad 20 dan sebetulnya berkaitan dengan watak kekuasaan danbagaimana kontrol kekuasaan itu makin dipercanggih melalui teknik-teknik modern. Berbeda dengan kerajaan yang hanya kuat di pusat tapilemah di pinggiran, negara modern itu betul-betul omnipresent: ada dipusat maupun pinggiran, karena teknik kontrolnya sudah dipercanggih.Misalnya saja dengan mengembangkan satu ideologi, yang disusunsedemikian rupa dan disebarkan kepada anggota masyarakat, sehinggamasyarakat merasa menjadi bagian dari satu negara-bangsa. Denganpengertian tunggal ini kemudian kontrol dari pemerintahan pusat bisadilakukan dengan efektif, sekalipun masyarakat itu tinggal berjauhanseperti di Irian Jaya atau Aceh. Tumbuhnya totalitarianisme dalammasyarakat modern dalam kaitannya dengan agama, berhubungan dengan watakini. Di dalam Islam, Said Quttub – salah seorang ideolog penting dari gerakan ikhwanulmuslimin yang menjadi model gerakan modern Islam militan di berbagai negara –menulis tentang Islam sebagai ideologi itu persis seperti penulis modern tentangideologi, katakanlah Marx atau para manggala BP-7. Ideologi di sini adalah suatukonstruksi pikiran tentang manusia sempurna, warga negara yang taat dan patuh,dan memenuhi citra ideal yang diinginkan oleh negara itu. Pikiran ini kemudiandisosialisasikan ke seluruh penduduk dan dengan kontrol negara akhirnya menjadisangat totaliter. Tulisan seperti itu tidak akan pernah kita temukan dalam Islam klasik.Citra islam sebagai ideologi yang totaliter itu tidak ada sama sekali, karena dalam Islamklasik yang konteksnya adalah negara kerajaan, teknik kontrolnya masih sangatsederhana. Artinya orang yang ada di pinggir kekuasaan biasanya sulit dikontrol olehnegara, sehingga bisa mengembangkan pikiran-pikiran yang berbeda sama sekali.

Kalau kita melihat kerajaan-kerajaan Islam di Baghdad, Istambul atau Cordova,maka akan terlihat hubungan aneh antara Islam resmi yang dikembangkan olehulama kerajaan dengan semacam buku standar mengenai Islam, dengan mereka yangada di pinggiran dan mengembangkan jenis tafsir yang berbeda sama sekali. Dalamsejarah Islam ini disebut tradisi heterodoksi atau Islam yang “menyimpang” dariajaran resmi. Itu berkembang pesat di pinggiran, misalyna tradisi Islam di Asia Kecil,seperti di daerah-daerah yang dulu pernah menjadi bagian dari Uni Soviet, atau diBaghdad. Di sana berkembang trandisi yang berbeda sama sekali dengan tradisi Islamyang berkembang di pusat.

Ada seorang penulis yang banyak dipuji orang, Bob Hefner,mengatakan dalam bukunya yang terakhir, Civil Islam, bahwa tradisimasyarakat Islam itu tidak pernah totaliter. Tradisinya selalu poliarchy.Itu bisa kita lihat bukan saja di lingkungan masyarakat Melayu tapi jugadi lingkungan masyarakat Timur Tengah. Jadi di dalam Islam itu, terutama

Page 160: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000158

tradisi Sunni – sekte terbesar dalam Islam – secara tradisi kekuasaan itu menyebarsifatnya dan lembaga yang mempunyai otoritas tertinggi untuk menentukan tafsiritu tidak ada.. Jadi tidak ada bakat totalitarianisme. Orang yang membaca khazanahIslam klasik itu sulit menemukan gagasan mengenai totalitarianisme. Itu sebabnyasaya katakan kemunculannya baru mungkin terjadi pada abad ke-20 ketika ada idemengenai negara modern. Dan jangan lupa Said Quttub, ideolog penting ikhwanulmuslimin itu pernah belajar di Amerika Serikat dua tahun. Dengan kata lain, fasismeIslam itu adalah anak kandung masyarakat modern bukan anak kandung tradisidamai dalam Islam klasik sebetulnya. Oleh karena itu saya katakan bahayanya kelompokseperti FPI ini karena mereka coba mengkonstruksi Islam begitu rupa dengan memilahtradisi Islam klasik yang sesuai dengan pikiran mereka untuk membentuk semacammasyarakat tunggal. Mereka ini menganggap diri secara moral lebih bersih darikelompok lain dan punya otoritas moral yang memadai untuk memaksakan pikirannyakepada orang lain. Itu kan asal-usulnya totalitarianisme. Ada kelas yang secara moralmempunyai kedudukan lebih tinggi dan berhak untuk memaksakan moralitasnyakepada orang lain dan membenci kelompok-kelompok yang berbeda dengan dirinya.Inilah bahayanya.

Soal yang kedua. Memang ada perbedaan antara Islam politikparlementer dan yang radikal, tapi perbedaan itu terlalu penting. FPI,Laskar Jihad maupun Partai Keadilan sama-sama memperjuangkan syariatIslam. Apakah itu dilakukan secara parlementer dan damai atau tidak,bagi saya idenya sama saja: syariat Islam yang monolitik dengan tafsirtunggal. Mereka tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa dalamsyariat Islam itu ada banyak penafsiran. Jadi ketika mereka bicara tentangsyariat Islam, sudah tidak ada perdebatan lagi. Saya tidak tahu persisnyakarena tidak melakukan penelitian empiris, tapi berdasarkan bacaan sayaterhadap retorika mereka, dan juga tulisan-tulisannya, saya punya kesanbahwa baik orang dari Partai Keadilan maupun FPI itu sekalipun memilikiperbedaan ritual – ada yang shalat tarawih 20 raka’at, ada yang 8 raka’atdan seterusnya – sebenarnya punya gagasan yang sama, yaitu pengaturanpublik atau negara berdasarkan syariat yang ditafsirkan menurut pikiranmereka sendiri. Bagi saya, syariat Islam itu sendiri tidak apa-apa, asaldibuka kemungkinan menafsirkannya. Mungkin sama seperti Orde Baru.Pancasila sendiri tidak ada masalah, tapi Pancasila sebagai ideologitertutup, tidak bisa. Kalau terbuka tentu tidak masalah, karena selalubisa kita diskusikan, tapi kalau tertutup dia pasti akan menjadi tempattumbuhnya bibit-bibit fasisme.

John Roosa:Saya mau kembali ke soal bagaimana kita menganalisis FPI dan artinya

dalam sistem politik. Saya setuju FPI punya tujuan lebih luas dari sekadarmenghancurkan diskotek. Itu hanya permulaan dalam gerakan mereka.

Page 161: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 159

Kampanye anti-maksiat dipakai untuk mendapat perhatian dari publik dan setelahberhasil mereka bisa maju terus sampai mendapatkan syariat sebagai hukum Indone-sia. Mungkin juga agenda mereka lebih luas lagi. Saya tidak setuju dengan orang yangbilang tidak usah peduli dengan FPI, karena itu kelompok kecil dan Islam di Indone-sia itu sangat liberal dan berbeda, seperti yang diangkat dalam Tempo minggu ini.Salah kalau kita mengatakan bahwa semua kelompok itu ekstrem kanan dan tidakakan berhasil di Indonesia. Dulu di Timur Tengah sekitar 30-40 tahun lalu orangjuga bilang ideologi yang paling kuat adalah nasionalisme Arab, tapi sekarang ternyataIslam fundamental yang muncul dan menjadi sangat populer. Mungkin dalam generasiyang lalu semua orang bilang tidak usah peduli pada Moslem Brotherhood atauIslam kanan, karena tradisi kita lain. Tapi itu tidak benar. Kelompok kecil bisa munculatau berkembang seperti fasis di Eropa. Waktu mulai kelompoknya kecil sekali, tapiakhirnya bisa mengambil kekuasaan negara.

Kelompok ekstrem seperti itu juga bisa mengambil kekuasaan negarakalau mendapat dukungan dari elit politik, atau kalau situasi krisis.Sekarang ini di Indonesia ada krisis besar dan wajar saja kalau adakelompok kecil yang muncul dan bilang kami punya kunci untukmenyelesaikan semua ini dengan syariat. Mereka bisa berkembang dansaya khawatir ada fraksi dalam militer Indonesia yang melihat Islamsebagai legitimasi mereka karena memang militer tidak punya legitimasiyang kuat lagi. Mungkin juga sudah ada beberapa perwira atau fraksiyang mau pakai Laskar Jihad dan FPI. Kalau benar begitu, maka bahayakelompok semacam ini tentu lebih besar lagi.

Saya kira kita bisa lihat situasi di India juga. Ada kelompok kecil disana, yaitu Hindu kanan. Mereka bisa muncul karena ada krisis legitimasinegara. Kebijakan ekonomi India itu neoliberal dan negara tidak punyalegitimasi lagi karena bangkrut. Negara menyerang kepentingan publikdengan kebijakan neoliberal, kemiskinan jadi lebih besar, dan dalamsituasi seperti itu negara bisa memakai agama sebagai legitimasi. Di In-dia juga orang bilang bahwa Hindu kanan tidak akan berhasil, tapinyatanya berhasil. Komentar terakhir, kelompok fasis atau kelompokkanan yang mau naik biasanya pakai dua wajah. Satu wajah keras sepertiFPI, dan satunya wajah yang lebih manis, seperti bikin klinik untuk caridukungan dari rakyat biasa. Mungkin di sini Islam kanan mbelummenciptakan wajah seperti itu.

Hari:Saya dari LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan). Diskusi ini

sangat menarik, dan saya punya banyak pertanyaan sebenarnya. Pertama,apakah Islam radikal seperti ini adalah fenomena elit atau fenomenamassa? Saya hal ini perlu diperjelas untuk melihat ke depan. Saya awalnyajuga ragu kelompok ini karena kecil tapi sangat vokal dan mungkin juga

Page 162: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000160

mahir menggunakan media massa sehingga terkesan besar. Kalau kelompok inidianggap sebagai sebuah fenomena massa, kita perlu bertanya apakah ada jaminankesetiaan dari para pengikutnya terhadap para pemimpin? Tadi misalnya Ulilmenguraikan beberapa perspektif untuk menjelaskan kelompok ini. Kalau dariperspektif ekonomi, apakah ada jaminan massa pendukung mereka akan bertahan?Artinya, berapa lama kelompok-kelompok yang membiayai Islam politik ini punyakekuatan?

Saya membayangkan kemunculan kelompok ini sebagai pertemuandari berbagai kepentingan. Ada kepentingan ekonomi, politik danmacam-macam itu. Nah, dari sini awalnya terbayang semuanya mungkinpersinggungan sementara saja, tapi mungkin bisa juga lebih panjang.Lalu kalau ke belakang lagi, kita lihat kenapa munculnya kelompok-kelompok seperti itu, saya dengan penjelasan cukup komprehensif dariUlil. Bagaimana misalnya kita menjelaskan kelompok ini jika diletakkandalam konteks lebih global? Jangan-jangan kelompok seperti ini sedangmengalami kehilangan identitas dalam dunia modern sehingga kembalike akar-akar konstituen mereka dan memilih agama untuk melakukannya.Kemudian kaitan kelompok-kelompok ini dengan komunitas Islam yanglain. Dalam tingkat negara, apakah ada dukungan terhadap kelompok-kelompok ini dari OKI (Organisasi Konperensi Islam) misalnya? Apakahada dukungan semacam itu? Lantas seberapa besar sebetulnya jaringanitu. Misalnya bagaimana menjelaskan kemunculan mereka di Solo?

Beberapa hari lalu saya kebetulan naik taksi dan ngobrol dengansupirnya, terus sampai pada omongan tentang kelompok-kelompok ini.Supir itu bilang bahwa kelompok semacam ini penting dan perlu adauntuk menjaga agar pada bulan puasa orang tidak datang ke café atautempat hiburan lainnya. Saya menyela, kalau orangnya memangberpegang pada agama, tentunya tidak akan pergi. Jadi tidak adaperlunya. Saya jadi bertanya-tanya apakah kelompok seperti ini bisamenjadi besar atau tidak, dan kalau besar, seberapa besar? Apakah adapersoalan kehilangan identitas, dan kalau ya, mengapa larinya ke agama?Kenapa tidak ke persoalan kehidupan sehari-hari seperti etika sosialmisalnya.

Ulil Abshar Abdala:Ada dua hal yang ingin saya tanggapi. Pertama soal wajah manis dan

wajah keras dari Islam politik ini, atau tepatnya Islam radikal. Sebetulnyadi Indonesia dua wajah itu sudah ada. Kelompok yang radikal itu bukanhanya memberi identitas jelas kepada anggota, tapi juga memilikisemacam asuransi sosial bagi anggotanya. Mereka memiliki jaringan bisnisretail yang cukup baik, mulai dari toko buku, garmen, kebutuhan barangsehari-hari, dan bahkan mini market di sejumlah tempat di Jakarta. Mereka

Page 163: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 161

juga mengelola bisnis kecil-kecilan seperti home industry dan memberikan securitysecara ekonomi kepada anggotanya. Misalnya kalau ada anggota yang sakit merekaakan tanggung bersama-sama. Di negara yang sistem asuransinya sangat bobrok sepertiIndonesia, kelompok seperti ini jelas memberikan keamanan alternatif. Dengan menjadianggota orang bisa mendapat tunjangan sosial yang preminya hanya aqidah saja,bukan uang. Jadi ada wajah manis ke dalam kepada anggotanya, dan wajah keraskeluar, yaitu untuk melakukan serangan terhadap kelompok-kelompok yang dianggapberbeda dengan mereka. Kelompok lain ini lebih sering di dalam Islam sendirisebetulnya, yaitu orang-orang yang dianggap Islam-nya kurang. Di mana-manabegitulah adanya.

Di sini ada masalah kedua. Organisasi Islam yang sudah mapan di Indonesiaumumnya tidak sensitif dengan kebutuhan umatnya. Jadi persoalan ketidakadilanyang sangat nyata di tingkat massa akar rumput itu tidak pernah ditangani secaramemadai oleh gerakan-gerakan besar. Gerakan Islam yang sudah mapan ini makinelitis, makin bersifat politik dan menjauhi massanya sendiri. Sementara kelompok-kelompok itu menawarkan alternatif yang nyata dan berkaitan dengan problem sehari-hari orang Islam di tingkat bawah. Meskipun orang-orang Islam ini hanya dipakaioleh “elit gerakan alternatif ” itu dan kebutuhan mereka tidak sungguh-sungguhditangani, sekurangnya secara retorika mereka mengangkat persoalan kemiskinan,solidaritas dan kemaksiatan yang di dalam memori kolektif orang Islam itu sangatpenting. Orang NU dan Muhammadiyah misalnya, tidak peduli pada persoalandrugs yang begitu meluas di Jakarta. Sementara dalam kehidupan nyata masyarakatyang motif ke-Islam-annya sangat tipis itu pun merasakannya sebagai masalah. Nah,yang menangani justru kelompok kecil seperti FPI.

Kritik saya terhadap NU dan Muhammadiyah adalah merekamelupakan semua ini. Kalau penangannya dilakukan oleh gerakan Is-lam yang mapan ini jalannya mungkin bukan kekerasan, karena sayaberpendapat bahwa bagaimanapun ruang publik harus ada regulasi,tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada semua orang untukmemperebutkannya. Nah, inilah yang sering dilupakan orang, bahwakemunculan FPI adalah bagian dari kompetisi antara berbagai kelompokdalam masyarakat untuk mengatur ruang publik berdasarkan suatunorma. Contohnya di Jakarta, sebagai kota yang sangat ilustratif. Ruangpubliknya disusun berdasar motif yang sangat tidak sensitif terhadapkebutuhan orang kecil, dan sangat bias pada kepentingan pengusahabesar. Motif kebutuhan ekonomi jauh lebih menentukan dalam mengaturtempat-tempat umum di Jakarta. Nah, sementara kepentingan orang-orang kecil tidak pernah diperhatikan sehingga menimbulkan perasaandiperlakukan tidak adil. Perasaan ketidakadilan itulah yang kemudianmenimbulkan reaksi semacam FPI, apalagi karena tidak pernahmendapatkan saluran demokratis. Kemunculan FPI kalau mau dibaca

Page 164: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000162

secara positif bagi saya adalah kritik terhadap Islam yang mapan dan tidak sensitifterhadap ketidakadilan yang berkembang di masyarakat. Dan sekaligus kritik terhadappolitik pengaturan ruang publik yang meminggirkan orang kecil. Itu kalau dilihatsecara positif.

Saya pikir aspek ini tetap perlu dilihat karena bagaimanapun FPI danLaskar Jihad ini tidak bisa dibaca semata-mata sebagai kelanjutankepentingan elit yang tidak berkaitan dengan persoalan nyata dalammasyarakat. Jadi saya punya tesis bahwa elit itu tidak memobilisasi massa.Kalau di dalam massa itu tidak ada kondisi yang memungkinkanmobilisasi, entah itu simbol yang di-share oleh massa atau memang adamasalah nyata yang dihadapi oleh masyarakat sehingga masalah inidengan mudah diangkat oleh elit, maka mobilisasi sulit terjadi. Menurutsaya masalah yang dihadapi oleh orang-orang kecil ini adalahketidakadilan, tingginya biaya hidup yang susah dijangkau orang kecilsehingga kelompok-kelompok Islam ini mudah sekali masuk untukmemperoleh dukungan.

Masalah kedua yang diangkat oleh Hari, apakah ini gerakan massaatau gerakan elit. Saya pikir dua-duanya benar. Tadi saya katakan elittidak bisa menggunakan massa kalau memang massanya tidak maudigunakan. Pertanyaannya, kenapa orang Islam liberal seperti Cak Nuratau lainnya, tidak bisa mempunyai pengikut yang banyak seperti FPI.Kalau persoalannya adalah elit menggunakan massa tentunya Cak Nurakan mudah menggunakan massa. Memang elit ini mengerti betulpsikologi massa, mengerti simbol yang berkembang dalam masyarakatdan mengerti perasaannya. Jadi menurut saya itu adalah gerakan elitdan massa sekaligus. Justru itu saya setuju dengan yang dikatakan tadi,bahwa gerakan-gerakan ini pertama memang kecil tapi militan. Sebagianbesar umat Islam di Indonesia memang toleran tapi diam. Kalau orangkecil yang terus ngomong, militan ini atau itu, tapi kemudian tidakmemperoleh tanggapan dari mayoritas Islam yang toleran tapi diam ini,maka saya khawatir kelompok-kelompok ini akan bisa melakukan sweep-ing untuk meraih dukungan dari orang yang semula tidak peduli ataubahkan benci.

Kaitannya dengan konteks global. Saya berkali-kali ditanya apakahada kaitan gerakan ini dengan Taliban di Afghanistan atau dengan Osamabin Laden. Terus terang saya tidak bisa jawab. Tapi ada satu hal yangbisa dikatakan mengenai pertanyaan ini. Gejala ini memang tidak unikterjadi di Indonesia saja, tapi sebuah gejala global. Dan saya kira kitatidak mungkin lagi menjelaskan gerakan ini dengan konsep standar OrdeBaru, bahwa ini semata sempalan. Menurut saya dalam situasi dengankomunikasi seperti sekarang, kita tidak bisa lagi menganggap FPI itu

Page 165: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 163

lebih rendah dari NU atau sebaliknya NU lebih rendah dari FPI. Laskar Jihad misalnyapunya homepage yang luar biasa dan di-update dengan rutin, mungkin lebih rutindari JKB malah [tertawa]… Dan lebih baik dari NU yang tidak punya homepagesama sekali. Kalau Muhammadiyah punya homepage tapi updating-nya sekali setahun.Nah, sekarang dalam situasi seperti ini, siapa yang lebih unggul? Laskar Jihad yangpunya homepage dan bisa diakses seluruh dunia dengan baik sekali, atau NU yangtidak punya sama sekali walau anggotanya banyak. Apakah masih relevan berbicaratentang pusat gerakan Islam dalam situasi semacam ini? Saya kira tidak bisa lagi. Kitatidak bisa menjelaskan kehadiran kelompok seperti ini dalam perspektif kelompoksempalan seperti yang dilakukan semasa Orde Baru. Jadi sekarang ini, semua kelompokbisa berebut pengaruh dengan bebas, tanpa halangan. Tidak ada lagi kelompokmainstream atau sempalan lagi dengan kemudahan komunikasi semacam itu. Sayatidak mau underestimate, jadi harus bertanding betul. Saya sebagai pemeluk Islamyang katakanlah liberal, saya menganggap ini tantangan serius. Terlepas dari adanyadukungan finansial dari Djadja Suparman, tidak terlalu penting. Yang pasti kelompokini mempunyai kedudukan setara dengan kita-kita untuk mencapai pengaruh politik.

Dino:Saya dari KONTRAS. Saya mau menyambung kekhawatiran mas Ulil

soal makin eksisnya kelompok Islam radikal. Jangan-jangan kita terlambatuntuk mengantisipasi. Salah satu kasus yang paling jelas adalah Ambon,di mana negara tidak berdaya melihat ribuan Laskar Jihad datang kesana. Saya takut ketika Gus Dur menawarkan syariat Islam diberlakukandi Aceh, karena itu juga akan dituntut oleh orang-orang yang sekarangini secara ilegal telah memberlakukan hukum Islam di sana.

Saya hanya ingin menegaskan bahwa sementara kita di sini masihberharap-harap cemas, orang di daerah sudah merasakan akibatnya.Lihatlah, mahasiswa diserang FPI, kelompok pro-demokrasi diserangLaskar Jihad yang berafiliasi dengan kelompok yang namanya GAM diYogyakarta baru-baru ini. Saya melihat orang di Jakarta masih sibukberteori sementara orang di daerah itu sangat ketakutan atnara hidupdan mati. Kebetulan saya orang Islam dari Ambon dan saya terpaksaharus angkat kaki dari Ambon karena menolak konsep jihad dan praktek-praktek yang mereka lakukan lewat tulisan saya di koran lokal. Orangdi Jakarta tidak serius melihat masalah ini, apalagi elit-elit politiknya.Begitu pula organisasi Islam yang mapan kemudian “mengikuti” gerakanIslam radikal ini. Saya bekas anggota Banser-NU tapi kemudian keluar,karena setelah Gus Dur berkuasa saya melihat Banser hanya dipakaiuntuk melawan orang-orang yang tidak senang dengannya. Saya pikir Mas Ulilsebagai orang yang dekat dengan NU bisa menerangkan soal ini.

Kemudian soal link-link gerakan radikal ini dengan dunia internasional. Sayamelihat sendiri ketika Laskar Jihad belum datang ke Ambon ada sejumlah orang dari

Page 166: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000164

Afghanistan, Pakistan dan Aljazair datang ke Ambon dan merekrut anak-anak mudayang ingin masuk Laskar Jihad. Dan jangan lupa sejumlah orang sekarang sedangdilatih di Moro dan Afghanistan, senjata mereka pun di-supply dari sana. Saya pikirgerakan-gerakan itu tidak berdiri sendiri seperti dikatakan Mas Ulil tadi.

Agung Putri:Saya melihat persoalannya agak berbeda dari Ulil, yang nampaknya

begitu khawatir dengan kelompok ini. Saya justru mempertanyakan partai-partai besar itu. Saya sependapat dengan Abdul Hakim – bukan karenadia direktur di kantor saya – dengan pikirannya tentang freedom of asso-ciation. Secara prinsip memang boleh saja. Persoalannya sekarang,mengapa dia bisa tumbuh besar. Selama ini kita hanya melihat adanyadukungan militer, dunia internasional dan dana dari mana-mana, tapibagi saya yang paling penting di sini adalah sikap dari partai-partai besaritu sendiri. Di Jerman, Nazi bisa berkuasa justru karena partai ataupemerintahan “demokratik” menjadi oportunis, dan tidak bisa mengambilsikap. Kalau mau belajar dari pengalaman Indonesia. Di masapemerintahan Soekarno, Masyumi bersaing keras dengan NU. Tapi ketikaterjadi pembantaian 1965 ada suara yang sama: melawan atheisme. Nah,di situlah partai-partai besar itu berubah. Saya sendiri tidak takut denganIslam yang “radikal”, tapi justru khawatir melihat partai besar sepertiPDI-P. Bagi mereka, apa sulitnya mengakomodasi syariat Islam, selamaitu bisa menyelamatkan posisinya. Dalam situasi genting dan memaksadia memilih, partai itu mungkin akan bersekutu dengan mereka.

Dalam partai besar besar kemungkinannya tidak ada pikiran tunggal,melainkan ada faksi kiri dan kanan, sebutlah begitu. Saya pikir Ulil masihberharap bahwa organisasi Islam yang mapan ini punya nilai tunggaltersendiri. Tapi bagi saya itu semua bisa berubah. Saya perlu tanggapanUlil soal ini.

Pertanyaan lain yang berkaitan dengan itu, mengapa partai-partaibesar dan organisasi Islam yang mapan tidak bersuara. Negara seolahtidak berdaya ketika FPI menduduki kantor gubernur DKI, menuntuttempat hiburan malam dan seterusnya. Saya ingin tahu apa yang mestidilakukan, karena penegak hukum tidak bisa diharapkan.

Coen Pontoh:Menurut saya basis dari fasisme ini paling tidak ada dua. Pertama,

demokrasi itu sendiri dan kedua, kenyataan bahwa demokrasi itu belum terkonsolidasikarena ditimpa krisis ekonomi yang dahsyat. Dalam iklim demokrasi kita tidak bisamelarang siapa pun untuk menyampaikan pendapat, itu memang sudah menjadidiktum demokrasi: “saya berbeda pendapat dengan anda, tapi saya akan menjadiorang yang akan membela anda ketika anda dilarang berpendapat.” Tapi sikap inibelum terkonsolidasi karena adanya krisis yang dahsyat.

Page 167: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 165

Dalam situasi seperti ini saya kira kita tidak bisa mengharapkan pertolongan atauupaya dari negara. Negara sendiri jelas tidak bredaya, begitu pula partai-partai besar.Saya mengkritik Gungtri dan Benny yang mengharapkan satu partai politik, entahitu PDI-P atau NU, atau kelompok agama mayoritas untuk bersuara. Menurut sayajustru kita kelompok pro-demokrasi yang tidak sensitif dengan persoalan seperti ini.Kita masih sibuk dengan agenda masing-masing, tidak punya prioritas mengkonsolidasidemokrasi. KONTRAS misalnya sibuk dengan kekerasan, ICW sibuk dengan korupsi,tapi elit memanfaatkan itu semua sehingga muncul apa yang dikatakan oleh EmmyHafild, bahwa LSM bingung menghadapi dilema: mengkritik Gus Dur akandigunakan oleh parlemen untuk menjatuhkan dia, mengkritik parlemen maka akandigunakan oleh Gus Dur untuk menjatuhkannya. Kebuntuan ini menurut sayamuncul karena kelompok pro-demokrasi belum terkonsolidasi dengan baik, sehinggadalam situasi yang terbuka seperti ini dan krisis ekonomi, rakyat lebih senang dengantawaran yang emosional sifatnya.

Dalam hal ini saya setuju dengan Mas Ulil. Kita harus melakukankonsolidasi kelompok pro-demokrasi. Tentu bukan dengan membentukLaskar Café, atau gerakan pro-café, tapi kita menyusun prioritas agenda-agenda kita. Kalau kita mengkritik Gus Dur tanpa agenda yang jelas danasyik dengan gerakan-gerakan kita sendiri, akan repot.

Ulil Abshar Abdala:Saya senang dengan komentar dari Coen. Tapi saya tambahkan kritik

pada kelompok pro-demokrasi, yang entah dengan sengaja atau tidakmengabaikan pentingnya faktor agama dalam proses transisi. Entah inibertolak dari asumsi “sekuler” di dalam gerakan-gerakannya, sehinggamenganggap agama itu fenomena palsu saja – atau sesuatu yang tidakpenting – atau sekadar gejala lanjutan dari faktor yang lebih genuinemisalnya atau elit politik atau perebutan sumber daya ekonomi atausumber daya lain, tapi yang pasti gejala agama ini dianggap sesuatuyang pinggiran. Kedua, pengabaian gejala yang bersumber dari agamaini mungkin juga karena ada perasaan minder, karena kelompok-kelompok pro-demokrasi merasa tidak sama kedudukannya secara moral.Ada anggapan bahwa kelompok-kelompok Islam politik itu lebih sucidari yang “sekuler” misalnya, sehingga kita tidak bisa berhadapan dengan mereka. DiYogya misalnya – kita tahu itu kamp-nya Laskar Jihad – teman-teman LBH, AJI danmedia lainnya takut menyinggung mereka. Pertama, takut karena kalau menyinggungakan diserbu, dan kedua ada anggapan bahwa yang mengurus mereka ini seharusnyaorganisasi yang sama-sama Islam seperti NU dan Muhammadiyah dengan alasan“lebih otoritatif ketimbang kita yang tidak tahu agama”. Jadi ada semacam ketakutansecara moral, seolah-olah kedudukannya lebih rendah.

Saya kira sudah saatnya sekarang mereka harus dihadapi dengansungguh-sungguh oleh kelompok pro-demokarsi yang selama ini

Page 168: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000166

mengabaikan mereka. Dan ini sebagai bagian dari proses pendidikan kepada publik.Yang dipertanyakan harus langsung issue-nya, bukan lagi menganalisis sesuatu yangdiluar issue-nya. Persoalan elit yang memanfaatkan massa menurut saya adalah soalkedua, yang pertama harus dipersoalkan adalah issue-nya itu sendiri: misalnyamengenai serangan FPI ke tempat hiburan, yang perlu diangkat ke publik: apakahorang memang tidak boleh mengkonsumsi bir? Apakah Jakarta ini harus disusunberdasarkan suatu ide tertentu yang bersumber pada Islam, dan harus dibersihkandari itu semua? Menurut saya itu harus dipersoalkan, karena dengan begitu masyarakatakan memperoleh alternatif pikiran.

Masalah lain, soal syariat Islam itu. Baik aktivis Islam sendiri maupunnon-Islam tidak pernah mempersoalkan, apakah syariat Islam masih layakditerapkan di zaman modern ini? Saya sendiri belajar syariat Islambertahun-tahun karena saya sendiri mahasiswa syariah. Tapi sayaberpandangan bahwa syariat Islam itu tidak seluruhnya relevan diterapkansekarang. Ada beberapa hal – mungkin banyak sekali – yang harus dikritikbahkan dibuang sama sekali. Orang tidak berani mengatakan ini terusterang, jadi publik hanya mendengar syariat Islam tanpa peneranganlebih lanjut. Menurut saya kalau sungguh-sungguh mau menghadapikelompok Islam politik ini, maka yang betul-betul harus dipersoalkanjustru adalah issue-nya sendiri. Di Jakarta ini banyak sekali orang yangbaru masuk Islam – the new converts istilahnya – yang kadang-kadanglebih Islam dari orang yang sudah lebih lama Islam-nya, seperti saya ini.Mereka tidak pernah mendapat gagasan yang detail tentang apa itu Is-lam sebenarnya, jadi tidak bisa diajak diskusi.

Terus pertanyaannya Gungtri yang tidak takut sama gerakan itu.Kemarin saya diskusi dengan Abdul Hakim dan saya sebetulnya jengkel,karena dia sok liberal. Maksud saya, semua orang boleh berpendapatsesuai dengan yang mereka yang pikir. Tapi saya tidak tahu apakah iniberlaku di dalam demokrasi yang menurut Coen tadi belumterkonsolidasi? Apakah orang fasis bisa mengatakan, “hak kami untukberpandangan fasis”? Apakah benar argumen yang mau menghancurkandemokrasi bisa diterima dalam demokrasi yang belum terkonsolidasi?Atau kembali kepada pertanyaan klasik dalam diktum demokrasi: apakahdalam demokrasi kita membolehkan orang-orang yang tidakmenghendaki demokrasi itu sendiri? Ini pertanyaan rumit: apakah kitabisa hidup dengan orang yang tidak membiarkan kita hidup? Kalau adaorang yang berpendapat bahwa orang seperti saya ini harus dibunuh,apakah saya kemudian bisa mentolerirnya? Saya cenderung mengatakan,tidak! Dalam pengertian begini, harus ada aturan terhadap kelompoksemacam itu, harus ada hukum yang mengatur.

Saya kira tidak ada jaminan bahwa kelompok-kelompok ini tidak

Page 169: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Diskusibulanpurnama.[Dbp.] 167

akan besar. Jadi persis pertanyaan Gungtri tadi, persoalannya adalah melihat“bagaimana dia bisa menjadi besar?” Saya menjawab begini. Pertama, ruang demokrasimemang belum terkonsolidasi. Kedua, tidak ada aturan yang mengekang gerakansemacam itu. Di sini partai-partai besar menjadi tidak begitu penting. Memang benar,ada partai oportunis yang sekadar mencari popularitas kemudian mengakomodasigerakan semacam itu. Di Malaysia ini sudah terjadi ketika PAS muncul sebagaialternatif, UMNO langsung menampilkan diri sebagai partai yang tidak kurangIslam-nya. Akhirnya mereka berebut menjadi yang paling suci, paling Islami, lebihekstrem dan seterusnya. dan karena kalah ekstrem, UMNO pun kalah dari PASdalam pemilu terakhir, dan memacunya menjadi lebih ekstrem lagi. Bisa saja halseperti itu terjadi di Indonesia, tapi persoalannya saya pikir bukan pada partaimelainkan ruang demokrasi yang menurut saya masih rentan sehingga kelompok-kelompok itu bisa berkembang dengan leluasa.

Oey:Kenyataan bahwa gerakan itu memiliki ruang hidup saya anggap

penting sekali, apakah dengan berdagang kecil-kecilan atau memberikankesejahteraan sosial. Kita mesti ingat bahwa yang terjadi di sini adalahkesempatan merebut ketimpangan sosial, keterbelakangan sosial,keterpinggiran sosial dan sebagainya. Lalu, soal nasionalisme. Saya pikiryang dibesarkan di sini adalah kemurnian ras, kemurnian agama. Danitu dilakukan dengan simbol-simbol yang tipikal. Kalau fasisme di Jermandan Italia menggunakan bendera-bendera besar dan seragam, di sinijuga menggunakan seragam putih-putih. Itu memang untuk memperkuatidentitas mereka.

Moderator:Diskusi ini hanya sampai pukul 10 malam. Kalau mau dilanjutkan

silakan, setelah forum ini secara resmi ditutup. Saya tidak menyimpulkankarena memang tidak mampu dan juga tidak perlu saya kira. Tapi kitaakan pulang membawa agenda menghadapi kecenderungan fasisme dansemoga saja kita menjadi lebih sensitif. Wassalam.

Page 170: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000168

Page 171: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

169

Page 172: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp

170

Page 173: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp
Page 174: Buku Kumpulan Diskusi 2000 Dbp