pen yak it grave

23
PENYAKIT GRAVES 3 Jun 2 Votes Pendahuluan Penyakit Graves merupakan penyakit kelenjar tiroid yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta - meskipun jarang- disertai dermopati. Selain penyakit Graves, yang merupakan penyebab paling sering, penyebab lain tirotoksikosis ialah struma multinodosa toksik, adenoma toksik, tiroiditis, dan pemberian obat-obatan.(1,2,3) Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme -yang belum diketahui secara pasti- meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone – Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.(1,2) Pengobatan penyakit Graves idealnya ditujukan langsung pada penyebabnya. Tetapi, mengingat dasar penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang belum diketahui pasti penyebabnya, maka pengobatan penyakit Graves dilakukan melalui berbagai pendekatan, yaitu merusak/mengurangi massa kelenjar tiroid, menghambat

Upload: ladyy-avisha-np

Post on 29-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

grave

TRANSCRIPT

Page 1: Pen Yak It Grave

PENYAKIT GRAVES3 Jun       2 Votes

Pendahuluan

Penyakit Graves merupakan penyakit kelenjar tiroid yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta -meskipun jarang- disertai dermopati. Selain penyakit Graves, yang merupakan penyebab paling sering, penyebab lain tirotoksikosis ialah struma multinodosa toksik, adenoma toksik, tiroiditis, dan pemberian obat-obatan.(1,2,3)

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme -yang belum diketahui secara pasti- meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone – Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.(1,2)

Pengobatan penyakit Graves idealnya ditujukan langsung pada penyebabnya. Tetapi, mengingat dasar penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang belum diketahui pasti penyebabnya, maka pengobatan penyakit Graves dilakukan melalui berbagai pendekatan, yaitu merusak/mengurangi massa kelenjar tiroid, menghambat produksi dan pengeluaran hormon tiroid serta mengeliminasi efek hormon tiroid di perifer, sekaligus menekan proses autoimun.(4,5)

Diagnosis

Penyakit Graves mulai dipikirkan apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid difus disertai tanda dan gejala ke arah tirotoksikosis. Untuk memastikan diagnosis, diperlukan pemeriksaan TSH dan T4-bebas dalam darah. Pemeriksaan TSH sangat berguna untuk skrining hipertiroidisme, karena dengan peningkatan sekresi hormon tiroid yang sedikit saja, sudah akan menekan sekresi TSH. Pada stadium awal penyakit Graves, kadang-kadang TSH sudah tertekan tetapi kadar T-4 bebas masih normal. Pada keadaan demikian, pemeriksaan T-3bebas diperlukan untuk memastikan diagnosis T-3 toksikosis.(2) Apabila dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium belum juga dapat menegakkan diagnosis penyakit Graves, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan tes supresi tiroksin.(1)

Page 2: Pen Yak It Grave

Manifestasi Klinis

Penyakit Graves umumnya ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid/ struma difus, disertai tanda dan gejala tirotoksikosis dan seringkali juga disertai oftalmopati (terutama eksoftalmus) dan kadang-kadang dengan dermopati. Manifestasi kardiovaskular pada tirotoksikosis merupakan gejala paling menonjol dan merupakan karakteristik gejala dan tanda tirotoksikosis. (1,2,3)

Gejala tirotoksikosis yang sering ditemukan:

  Hiperaktivitas, iritabilitas

  Palpitasi

  Tidak tahan panas dan keringat berlebih

  Mudah lelah

  Berat badan turun meskipun makan banyak

  Buang air besar lebih sering

  Oligomenore atau amenore dengan libido berkurang

Tanda tirotoksikosis yang sering ditemukan:

Takikardi, fibrilasi atrial Tremor halus, refleks meningkat Kulit hangat dan basah Rambut rontok

Pada pasien dengan usia yang lebih tua, sering tanda dan gejala khas tersebut tidak muncul akibat respons tubuh terhadap peningkatan hormon tiroid menurun. Gejala yang dominan pada usia tua adalah penurunan berat badan, fibrilasi atrial, dan gagal jantung kongestif.(4)

Oftalmopati pada penyakit Graves ditandai dengan adanya edema dan inflamasi otot-otot ekstraokular dan meningkatnya jaringan ikat dan lemak orbita. Peningkatan volume jaringan retrobulber memberikan kontribusi besar terhadap manifestasi klinis oftalmopati Graves.(2)

Mekanisme kelainan mata pada penyakit Graves sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Tetapi mengingat hubungan yang erat antara penyakit Graves dengan oftalmopati, diduga keduanya berasal dari respons autoimun terhadap satu atau lebih antigen di kelenjar tiroid atau orbita. Sebagian peneliti melaporkan bahwa reseptor TSH-lah yang menjadi antigen dari respons autoimun keduanya. Tetapi sebagian yang lain melaporkan adanya antigen lain di orbita yang berperan dalam mekanisme terjadinya oftalmopati, sehingga dikatakan bahwa penyakit Graves dan oftalmopati Graves merupakan penyakit autoimun yang masing-masing berdiri sendiri. Oleh

Page 3: Pen Yak It Grave

karena itu kelainan mata pada penyakit Graves dapat timbul mendahului, atau bersamaan, atau bahkan kemudian setelah penyakit Graves-nya membaik.(1,2)

Pemeriksaan Laboratorium

Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.

Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).(1,2,3)

Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin.

Pengelolaan Penyakit Graves

Terdapat 3 modalitas pengobatan pada penyakit Graves, yaitu obat antitiroid, operasi dan Iodium-131 (131I). Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal, antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respons/reaksi terhadapnya, serta penyakit lain yang menyertainya.(2,5)

I. Obat-obatan

1. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol.(4) Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol..

Mekanisme Kerja

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara

Page 4: Pen Yak It Grave

menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.(3,4)

Dosis

Besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3×100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini, dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal.4 Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat dinaikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.

Efek Samping

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan.3 Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.(3,4)

Evaluasi

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan bikokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.(3,4,5)

Page 5: Pen Yak It Grave

2. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.(4)

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.(4)

3. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.(4)

II. Operasi

Pilihan operasi jenis tiroidektomi subtotal pada penyakit Graves diindikasikan bila struma besar atau dengan struma retrosternal hingga menyebabkan pendesakan, respons terhadap obat antitiroid kurang memadai, atau terdapat efek samping obat.3Sebelum tindakan operasi dilaksanakan, keadaan hipertiroidismenya harus diobati terlebih dulu hingga tercapai eutiroidisme baik klinis maupun biokimia. Iodida inorganik biasanya diberikan selama 7-10 hari sebelum operasi dengan tujuan mengurangi vaskularisasi kelenjar tiroid dan mempermudah prosedur operasi. Di senter yang berpengalaman, angka hipertiroidisme yang teratasi mencapai 98% dengan sedikit komplikasi operasi. Komplikasi hipotiroidisme yang terjadi, terutama disebabkan sedikitnya sisa tiroid yang tertinggal dan adanya antibodi antitiroid.(3,4,5)Angka kekambuhan hipertiroidisme dilaporkan sebanyak 5-15%, sebagian besar dialami kelompok pasien dengan kadar TR-Ab tinggi sebelum operasi dan dengan keterlibatan mata yang serius. Pada kelompok seperti ini sebaiknya dilakukan tiroidektomi total, bukan tiroidektomi subtotal. Pada kelompok yang mengalami kekambuhan pasca tiroidektomi subtotal, pilihan selanjutnya ialah terapi Iodium radioaktif.(2,4)

Page 6: Pen Yak It Grave

III. Iodium Radioaktif

Terapi iodium radioaktif merupakan terapi pilihan pada pasien yang mengalami kekambuhan setelah terapi obat antitiroid jangka panjang dengan problem kardiak, atau pasien Graves yang berat karena kelompok tersebut diperkirakan akan sulit mencapai remisi dengan obat antitiroid. Indikasi lain terapi ini ialah bila terdapat efek samping serius terhadap obat antitiroid, juga pada sebagian besar pasien multinodular-uninodular toksik. Terapi iodium radioaktif dikontraindikasikan pada wanita hamil dan sedang menyusui.(3,4)

Evaluasi pasien dilakukan dengan interval 4-6 minggu selama 3 bulan pertama, dan selanjutnya sesuai dengan keadaan klinis dan biokimia. Bila ingin hamil, sebaiknya ditunda hingga 4 bulan pascaterapi.2 Hipotiroidisme, yang sering merupakan komplikasi terapi iodium radioaktiv, dapat muncul pada 6-12 bulan pertama setelah terapi, tetapi dapat juga muncul setiap saat. Bila hipotiroidisme terjadi, dapat diberikan L-tiroksin dosis titrasi, dengan target kadar FT-4 dan TSH normal. Bila telah tercapai eutiroid yang stabil, evaluasi dapat dilakukan setahun sekali.(5)

Oftalmopati Graves

Meskipun mekanisme hubungan penyakit Graves dengan oftalmopati Graves belum jelas, pengelolaan terhadap tirotoksikosis merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Pada oftalmopati ringan atau sedang, di samping usaha mempertahankan keadaan eutiroidisme, yang juga perlu dilakukan ialah:(2,4)

Hentikan rokok Hindari cahaya yang sangat terang dan debu Tidur dengan posisi kepala terangkat Gunakan artificial tears dan salep mata sederhana pada malam hari Obat diuretik.

Pada oftalmopati berat, ditandai dengan memberatnya diplopia dan keratitis ekspose atau neuropati optika, perlu pengobatan tambahan: (2,4)

Glukokortikoid (prednison 40-80 mg/hari, dosis diturunkan bertahap, paling tidak selama 3 bulan)

Radioterapi (dosis 20 Gy, diberikan dalam 10 kali dosis 2 Gy) Operasi dekompresi orbita Obat-obatan (eksperimental) imunosupresi seperti azatioprin atau siklosporin

Penyakit Graves dengan Kehamilan

Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit,

Page 7: Pen Yak It Grave

dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.

Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang -dengan mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman.(2,3,4)

Remisi

Angka keberhasilan remisi dipengaruhi beberapa hal, antara lain lamanya pengobatan, kadar TSH dan kadar antibodi terhadap reseptor TSH. Dianjurkan lama pengobatan dengan obat antitiroid berkisar antara 1-2 tahun. Dahulu, usaha untuk meningkatkan angka remisi dilakukan dengan menambah hormon L-tiroksin. Dasarnya, obat antitiroid mempunyai efek imunosupresif dan dengan kombinasi L-tiroksin maka dosis obat antitiroid dapat dimaksimalkan. Tetapi dari beberapa penelitian klinis berikutnya, seperti dilaporkan Edmonds CJ dan Tellez M, tidak terdapat perbedaan bermakna antara obat kombinasi dengan obat tunggal.(3,6)

Bila remisi telah tercapai, pengobatan dapat dihentikan, tetapi evaluasi tetap harus diteruskan. Pada tahun pertama, evaluasi dilakukan tiap 3 bulan, karena kekambuhan biasanya terjadi pada periode tersebut. Kemudian evaluasi dapat dilakukan tiap 1 tahun. Dalam evaluasi tersebut, parameter yang diperiksa ialah tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium TSH dan FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis).

Bila terjadi kekambuhan, pilihan pengobatan selanjutnya adalah 131I atau operasi. Obat antitiroid dapat dicoba lagi bila pasien menolak atau terdapat kontraindikasi pengobatan iodium radioaktif atau operasi. Angka kekambuhan dipengaruhi oleh kadar TSH yang selalu rendah atau tak terdeteksi untuk jangka panjang walaupun keadaan eutiroid telah tercapai, atau adanya kadar antibodi reseptor TSH yang tinggi.(4,5)

Penutup

Berbagai faktor perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis pengobatan penyakit Graves, antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respons/reaksi terhadapnya, serta penyakit lain yang menyertainya.

Dan, mengingat penyakit Graves merupakan penyakit autoimun yang tidak dapat diketahui secara pasti kapan remisi tercapai, dan membutuhkan penekanan proses autoimun secara terus menerus, maka pengelolaan penyakit ini memerlukan evaluasi teratur dan kerjasama dokter dengan pasien, -termasuk ketaatan pasien minum obat-, sehingga tujuan pengobatan dapat dicapai.

Page 8: Pen Yak It Grave

Manifestasi klinik oftalmopati Graves juga dapat dibedakan menurut kelasnya, yaitu:

Kelas ITanda paling sering pada kelainan ini ialah retraksi palpebra superior (Dalrymple’s sign). Selain Dalrymple’s sign, akibat retraksi palpebra superior sering ditemukan juga fenomena lid lag atau von Graefe’s sign.

Perlu diingat bahwa pada keadaan retraksi palpebra yang mencolok, mata akan tampak melotot dan gambaran demikian sering disalahtafsirkan sebagai eksoftalmus.

Kelas IIKelainan yang menyolok ialah kelainan jaringan lunak, baik palpebra, konjungtiva, maupun kelenjar lakrimal. Keluhan-keluhan yang biasa ditemukan ialah lakrimasi berlebihan, perasaan berpasir pada mata, fotofobia, rasa penuh pada palpebra atau pada seluruh mata. Tanda yang paling sering dijumpai ialah edema palpebra superior khususnya di bagian temporal sehingga menyerupai palpebra petinju, edema dan injeksi konjungtiva, kemosis, dan pembengkakan kelenjar lakrimal.

Kelas IIITanda yang penting ialah eksoftalmus atau proptosis. Untuk mengetahui adanya proptosis dan untuk menyingkirkan salah tafsir dengan mata melotot akibat retraksi palbepra superior, sebaiknya diukur dengan eksoftalmometer. Di dalam kepustakaan Barat disebut proptosis apabila penonjolan bola mata > 22 mm, atau perbedaan antara kedua mata > 2 mm walaupun penonjolan tidak mencapai 22 mm. Pada orang Indonesia, penonjolan bola mata yang mencapai 18 mm sudah dianggap eksoftalmus.

Kelas IVKelainan mata kelas IV didasarkan pada terjadinya kelainan otot mata eksternal. Otot mata yang paling sering terganggu ialah m.rectus inferior. Diduga kelainan otot mata eksternal disebabkan oleh proses radang sehingga mengurangi elastisitas otot dan mengakibatkan terjadinya fibrosis. Ini merupakan alasan mengapa terapi dengan prednison harus segera dimulai.

Kelas VDitandai dengan kelainan pada kornea, yaitu kornea kering, keratitis, ulserasi, sampai perforasi. Kelainan kornea disebabkan oleh trias gejala yaitu retraksi palpebra superior, tidak dapat mengangkat bola mata, dan eksoftalmus.1

Kelas VIDitandai oleh keikutsertaan saraf optik berupa edema papil, papilitis, dan neuritis retrobulbar.

Page 9: Pen Yak It Grave

RINGKASAN         Walaupun oftalmopati Graves sering ditemukan bersamaan dengan penyakit Graves, sampai saat ini patogenesis oftalmopati  belum jelas benar. Bukti - bukti menunjukkan bahwa efek respons imun pada oftalmopati berbeda dari pada penyakit Graves. Berbagai kelainan mata dapat terjadi, dari yang paling ringan sampai yang berat. Kelainan-kelainan tersebut oleh American Thyroid Association diklasifikasikan dalam enam kelas yang ditulis secara singkat sebagai NO SPECS.     Kelainan mata kelas II – IV disebut juga bentuk infiltratif yang perlu dikenal dengan baik, oleh karena kelainan mata ini dapat cepat memburuk sehingga pengobatan intensif perlu segera diberikan. Eksoftalmus perlu diukur, selain untuk memastikan, juga untuk pengamatan lanjut apakah membaik atau memburuk setelah mendapat terapi. Retraksi palpebra superior, oftalmoplegi dan eksoftalmus merupakan penyebab terjadinya kelainan kornea. Edema papil dengan penurunan visus berat sebagai tanda kelainan saraf optik, merupakan gambaran klasik kelas VI.    Penatalaksanaan terdiri atas penatalaksnaan untuk hipertiroidisme dan khusus untuk oftalmopati. Penatalaksanaan untuk oftalmopati terdiri atas medikamentosa, iradiasi retrobulber, dan  tindakan pembedahan. Kortikosteroid masih merupakan pilihan pertama. Beberapa obat imunosupresif lainnya

SUMMARY   

    Although ophthalmopathy occurs most frequently in patients with active Graves’ disease until now the pathogenesis is not yet clearly understood. The overall evidence favors separate immune response defect for opththalmopathy which may vary from mild to a very severe one. These eye changes were classified in to six classes known as an abridge form NO SPECS by the American Thyroid Association.    In class I Dalrymple’s sign is the characteristic ocular sign. Eye changes from class II to VI, the infiltrative form, must be recognized by the doctor, since in these classes the eye changes may progressively worsen and intensive treatment may be required. Exophthalmos must measured to confirm the true exophthalmos, besides for follow up purpose. The triad of upper lid retraction, inability to elevate the eyes and exophthalmos leads to corneal lesions. Edema of the papil together with severe visual loss are the classical signs of class VI.    Until now ophthalmopathy represents the major outstanding problem in Graves’ disease. Not only the pathogenesis is still obscure, the treatment

PENDAHULUAN

   Robert Graves pada tahun 1835 pertama kali melaporkan tiga penderita dengan palpitasi, struma dan adanya eksoftalmus (1). Adanya kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting, oleh karena hampir seratus persen, khususnya pada penderita dewasa muda adalah penderita penyakit Graves.  Istilah oftalmopati mempunyai arti yang luas yaitu mencakup semua kelainan mata yang dapat menyertai hipertiroidisme. Beberapa istilah dapat dijumpai dalam kepustakaan sehubungan dengan oftalmopati pada hipertiroidisme seperti oftalmopati tiroid, oftalmopati Graves, penyakit mata tiroid, dan akhir-akhir ini  digunakan juga nama oftalmopati terkait tiroid (thyroid associated ophthalmopathy). Istilah oftalmopati Graves

Page 10: Pen Yak It Grave

lebih sering dipakai oleh karena sebagian dari oftalmopati ditemukan pada penderita Graves. Hanya sebagian kecil saja dapat dijumpai pada hipertiroidisme non – Graves dan pada tiroiditis Hashimoto    Sebagian besar dari penderita Graves akan mengunjungi ahli penyakit dalam oleh karena keluhan – keluhan kardiovaskular, sebagian lain ke ahli bedah atau ahli THT oleh karena benjolan di leher yang jelas dan sebagian kecil mengunjungi ahli mata akibat kelainan mata khususnya eksoftalmus. Mengingat sebagian besar penderita Graves akan mengunjungi ahli penyakit dalam, khususnya mereka yang berkecimpung di bidang endokrinologi, sudah selayaknya apabila oftalmopati Graves harus dikenal, dari bentuk yang paling ringan sampai yang terberat. Makalah ini khususnya membahas  gambaran  klinis, klasifikasi, dan penatalaksanaan.

EPIDEMIOLOGI      Sudah dapat dipastikan bahwa walaupun oftalmopati sering dijumpai bersamaan dengan penyakit Graves, defek respons imun pada oftalmopati berbeda dengan penyakit Graves. Sasaran respon imun pada oftalmopati ialah otot ekstra-orbital dan mungkin kelenjar lakrimal., sedang TSI pada penyakit Graves ialah sel-sel folikel tiroid (1,2). Sampai saat ini masih merupakan pertanyaan apakah oftalmopati merupakan bagian dari penyaki Graves, ataukah keduanya merupakan dua keadaan yang terpisah tetapi sering ditemukan bersamaan dengan tingkat berat yang berbeda (2).   Manifestasi klinis dari oftalmopati Graves disebabkan oleh karena bertambahnya jaringan otot ekstra-okuler dan  jaringan lemak  retrobulber. Bertambahnya volum jaringan retrobulber  akan meningkatkan tekanan retrobulber, yang apabila terlalu meningkat akan mendorong bola mata kedepan dan terjadilah eksoftalmus. Pada pemeriksaan fisik, sekitar 50% dari penderita penyakit Graves disertai dengan berbagai tingkat kelainan mata atau oftalmopati (3,4). Dengan pemeriksaan ultrasonografi atau          CT - scan ternyata bahwa sekitar 98% pada penderita penyakit Graves ditemukan penebalan otot mata ekstra-okuler (5,6). Oleh karena itu prevalensi oftalmopati Graves sangat tergantung cara kita melakukan penelitian, dengan atau tanpa alat bantu.    Tidak ada korelasi antara beratnya kelainan mata dan tingkat kelainan fungsi tiroid (2). Bahkan sekitar 10-20% penderita dengan oftalmopati yang jelas, dijumpai pada mereka tanpa tanda hipertiroidisme klinis maupun laboratorium (7). Dari 127 penderita dengan kelainan mata yang dilaporkan oleh Wiersinga 77% ditemukan pada penyakit hipertiroidisme Graves, 20% pada keadaan eutiroidisme, bahkan 2% pada hipotiroidisme. Dari jumlah penderita tersebut, dilihat hubungan manifestasi klinik oftalmopati dan kejadian hipertiroidisme, tampak bahwa 39,4% oftalmopati ditemukan bersamaan dengan hipertiriodisme, 19,6% kelainan mata mendahului hipertiroidisme, dan 41,0% kelainan mata ditemukan setelah adanya hipertiroidisme (8). Walaupun oftalmopati Graves dapat ditemukan pada semua umur, tetapi oftalmopati berat lebih sering ditemukan pada umur tua.    Beberapa keadaan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit oftalmopati Graves yaitu:    -  Perlangsungan hipertiroidisme yang berat dan lama      -  Pengobatan dengan I 131 dapat memperburuk oftalmopati yang sudah ada    -  Merokok        Penelitian kahir-kahir ini membuktian bahwa merokok merupakan salah satu prediktor penting        

Page 11: Pen Yak It Grave

        bukan hanya terhadap perjalanan oftalmopati tetapi juga terhadap respons obat immunomodulator.         Dari suatu penelitian sekitar 70% dari mereka yang merokok mengalami respons buruk baik

        dengan terapi glukokortikoid  maupun radioterapi.     -   Pengobatan  kelainan mata yang terlambat atau tidak tepat     -   Mereka dengan titer TsH yang tinggi    -   Polimorphism genetik (CTLA-4 A/G)    -   Anatomi orbita yang sempitDIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

   Diagnosis oftalmopati Graves pada umumnya mudah dilakukan apabila ditemukan bersamaan dengan adanya hipertiroidisme. Akan menjadi kesulitan apabila kelainan mata ditemukan pada seseorang tanpa adanya gejala klinis hipertiroidisme, dan akan lebih sulit lagi apabila kelainana mata hanya unilateral, dan  hasil pemeriksaan laboratorium fungsi tiroid dalam batas normal. Walaupun kelainan mata umumnya disebabkan oleh penyakit tiroid, perlu diingat juga penyebab lainnya seperti tumor belakang mata. Pada keadaan demikian pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan CT-scan mata akan membantu apabila ditemukan adanya penebalan otot mata.ekstra-okuler. Pemeriksaan yang baru seperti OctreoScan – cara scintigrafi dengan menggunakan radiolabel octreotide -  pada oftalmopati Graves  baru dikembangkan dengan  tujuan  untuk  menentukan jenis pengobatan bahkan untuk memprediksi keberhasilan pengobatan masih dalam taraf penelitian.       Pada tahun 1960 Dr. Sidney C. Werner, seorang internis-endokrinologis, pertama-tama memperkenalkan klasifikasi kelainan mata pada penyakit Graves yang terdiri atas dua kelas yaitu oftalmopati non-infiltratif dan infiltratif. Bentuk infiltratif untuk jenis kelainan mata yang berat sedang non-infiltratif untuk kelainan mata yang ringan. Klasifikasi ini kurang memuaskan oleh karena bentuk yng berat sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang paling berat seperti oftalmopati maligna yang membutuhkan tindakan pengobatan segera. Oleh karena itu pada tahun 1969 kembali Werner membuat klasifikasi yang lebih terinci. Klasifikasi ini kemudian dikenal sebagai klasifikasi kelainan mata tiroid dari Werner. Oleh karena kemudian  diakui oleh American Thyroid Association (ATA) maka dikenal juga sebagai klasifikasi kelainan mata dari ATA (tabel 1 ).

Tabel 1. Abridged classification of eye changes of Graves’ disease (Modified 1977)

Class0 No physical signs or symptomsI Only signs, no symptoms (signs limited to upper eyelid retraction, stare, and eyelid lag)II Soft-tissue involvement (symptoms and signs)III ProptosisIV Extraocular muscle involvementV Sight loss (optic nerve involvement)

Each class usually, but not necessary includes the involvement indicated in the preceding class

Page 12: Pen Yak It Grave

   Klasifikasi Werner ATA terdiri atas dua bagian yaitu bentuk singkatan (abridged classifiacation) dan bentuk terinci (detailed classification). Bentuk singkatan disebut juga bentuk â€NO SPECS†yang merupakan singkatan dari setiap huruf pertama dari tiap kelas. Selain � �singkatan ini mudah diingat, juga dapat sangat membantu dalam klasifikasi oleh karena NO ( N = no, O = only) menunjukkan kelas  â€nol†dan kelas I yang tidak berbahaya atau bentuk non-� �infiltratif sedang SPECS bentuk infiltratif yaitu kelas II – IV.  Pada tahun 1977 ATA diketuai oleh Werner sendiri yang melakukan modifikasi pada klasifikasi 1969. Pada klasifikasi 1969 kelas I atau â€only signs†termasuk di dalamnya ialah proptosis atau eksoftalmos tanpa � �keluhan. Pada klasifikasi 1977 proptosis dengan ataupun tanpa keluhan dimasukkan ke kelas III (9) (tabel 2). Klasifikasi ini sampai saat ini dipakai oleh para internis / endokrinologis maupun oftalmologis. 

Tabel 2. Detailed classification of eye changes of Graves’ disease (Modified 1977)

Class Grade Suggestion for grading0 No physical signs or symptomsI Only SignsII Soft-tissue involvement with  symptoms and signs o Absent a Minimal b Moderate c MarkedIII Proptosis 3 mm or more in excess of upper normal limit, with or without symptoms o Absenta 3-4 mm increase over upper normalb 5-7 mm increasec 8 or more mm increase IV Extraocular muscle involvement, usually with diplopia, other symptoms and other signs   o Absent  a Limitation of motion, at extreme gaze  b Evident restriction of motion  c Fixation of globe or globes V Corneal involvement (primarity due to lagophthlmos)  o Absent  a Stippling or cornea  b Ulceration  c Clouding, necrosis, perforation VI Sight lost caused by optic nerve involvement  o Absent  a Disc pallor or choking, or visual field defect acuity 20/20 to 20/60  b Same, acuity 20/70 to 20/200  c Blindness (failure to perceive light), acuity less than 20/200

   Dari hasil pengamatan kami, bentuk yang paling sering ditemukan adalah kelas I dan II. Dari 90 penderita Graves hipertiroidisme yang belum mendapat pengobatan, Wiersinga (10) melaporkan kelainan mata yang terbanyak adalah kelas II dan IV (tabel 3). Perlu berhati-hati

Page 13: Pen Yak It Grave

dalam menafsirkan adanya proptosis (eksoftalmos), sebab mata yang melotot sering dsianggap proptosis, pada hal proptosis menunjukkan penonjolan bola mata. Sebaiknya digunakan alat eksoftamometer untuk menentukan adanya proptosis.

Manifestasi klinis tiap kelas

   Mengenal kelainan mata pada tiap kelas tidaklah terlalu sulit. Dengan sedikit latihan ditambah dengan peralatan eksoftamometer Hertel, pemeriksaan ketajaman penglihatan dan funduskopi maka semua kelainan mata pada tiap kelas dapat didiagnosis. Khususnya mengenai eksoftalmus atau proptosis harus dilakukan pengukuran untuk mengetahui dengan pasti

Tabel 3. Realtive frequency of the clinical manifestations of GO classified according to the SPECS system in 90 consecutive untreated patients (Wiersinga et al, 1980)

 NO SPECS classification of eye change    Class  Frequency

 No physical signs or symptoms                   class 0    Only signs (limited to upper lid retraction, stare and lid lag) class 1

 Soft tissue involvement (swollen eyelids, chemosis etc)  class 2  90 % Proptosis 3 mm or more in excess of upper normal limit*  class 3  30 % Extra – ocular muscle involvement (usually with diplopia)  class 4  60 % Corneal involvement        class 5  9 % Sight loss (due to optic nerve involvement)    class 6  34 %  

*nilai normal atas adalah  20 mm pada  ras Caucasia, 18 mm pada ras Cinae, dan 22 mm pada kulit hitam10

1. Kelas I    Karena tidak ada keluhan maka sering lebih cepat diketahui oleh orang lain atau dokter dari pada si penderita sendiri. Tanda paling sering pada kelainan ini ialah retraksi palpebra superior atau disebut tanda Dalrymple. Pada orang normal apabila mata melihat lurus ke depan maka palpebra superior akan  melintas diatas baian atas  limbus (antara jam 10 – 14), sehingga bagian atas sklera akan tidak terlihat. Menurut pengalaman kami tanda Dalrymple ini sering tidak simetris antara kedua mata, satu mata biasanya lebih menonjol. Selain tanda Dalrymple, akibat retraksi palpebra superior sering ditemukan juga fenomena â€lid lag†atau tanda von � �Graefe. Perlu kiranya diingat bahwa pada keadaan retraksi palpebra yang mencolok, mata akan tampak melotot (stare) dan gambaran demikian sering disalahtafsirkan sebagai eksoftalmus, suatu penilaian yang salah.

2. Kelas II    Pada kelainan kelas II, yang mencolok ialah keikutsertaan kelainan jaringan lunak baik palpebra, konjunktiva maupun kelenjar lakrimal. Keluhan-keluhan yang biasa ditemukan ialah lakrimasi berlebihan, perasaan berpasir pada mata, fotofobi, rasa penuh pada palpebra atau pada seluruh mata. Keluhan-keluhan ini bisa sangat ringan sehingga pada anamnesis harus ditanyakan dengan baik. Tanda yang paling sering kita jumpai ialah edema pada palpebra superior,

Page 14: Pen Yak It Grave

khususnya pada bagain temporal sehingga menyerupai palpebra petinju. Edema dan injeksi pembuluh darah pada konjunktiva sampai kemosis, dan kelenjar lakrimal yang membengkak.

3. Kelas III     Tanda penting pada kelas III ialah eksoftalmus atau proptosis. Untuk mengetahui adanya proptosis dan untuk menyingkirkan salah tafsir dengan mata melotot akibat retraksi palbepra superior (stare gaze atau apparent exophthalmus), sebaiknya diukur dengan eksoftalmometer. Di dalam kepustakaan Barat disebut proptosis apabila penonjolan bola mata > 22 mm, atau perbedaan antara kedua mata > 2 mm, walaupun penonjolan tidak mencapai 22 mm, misalnya mata kanan 20 mm, mata kiri 17 mm (11,12). Pengalaman kami pada orang Indonesia, termasuk keturunan Tionghoa, pada keadaan normal tidak pernah melebihi 18 mm. Oleh karena itu di klinik kami > 18 mm dianggap eksoftalmus.

4. Kelas IV        Kelainann mata kelas IV didasarkan pada terjadinya kelainan otot mata eksterna. Otot mata yang paling sering terganggu ialah otot mata rektus inferior, sehingga yang ditemukan ialah hambatan pada melihat keatas dan ke lateral (11). Diduga kelainan otot mata eksterna disebabkan oleh proses radang sehingga mengurangi elastisitas otot. Apabila tidak segera diobati dapat terjadi fibrosis, ini merupakan alasan mengapa prednison harus segera dimulai (13).

5. Kelas V        Kelainan mata kelas ini ditandai oleh kelainan pada kornea berupa kornea kering, keratitis dan ulserasi, sampai perforasi. Kelainan kornea disebabkan oleh trias retraksi palpebra superior, tidak dapat mengangkat bola mata dan eksoftalmus.

6. Kelas VI    Kelainan mata kelas VI ditandai oleh keikutsertaan saraf optik, berupa edema papil, papilitis, neuritis retrobulbar.

PENATALAKSANAAN   

   Penatalaksanaan  oftalmopati Graves terdiri atas penatalaksanaan untuk hipertiroidisme sendiri yang mutlak harus dilakukan dan penatalaksanaan terhadap kelainan mata / oftalmopati. Penatalaksanaan oftalmopati terdiri atas pengobatan medis, operasi, dan penyinaran. 1.  Pengobatan medis     Pada keadaan yang ringan bisa menunggu sampai keadaan eutiroid tercapai, dimana pada  sebagian besar penderita akan mengalami perbaikan, walaupun tidak merupakan perbaikan total. Pada kasus yang berat kortikosteroid masih merupakan pilihan pertama baik oral, suntikkan intravena (metylprednisolon), suntikkan  periorbital triamcinolon (14). Beberapa obat imunosupresif juga telah dicoba pada kasus berat seperti cyclosporin, azathioprin, siklofosfamid. Cyclosporin digunakan bersamaan dengan kortikosteroid diberikan sebagai pencegahan memburuknya oftalmopati pada penderita yang akan mendapat pengotan I131 telah dilaporkan lebih unggul dibandingkan dengan pemberian kortiksteroid tunggal saja. Somatostatin analog ocreotid telah dicoba  pada kasus oftalmopati yang  agak berat, tetapi hasilnya kurang memuaskan (15). Pada tabel 4 dapat dilihat jenis obat imunosupresif dan tingkat keberhasilan (16)

Page 15: Pen Yak It Grave

Tabel  4. Manfaat dan efek samping obat  immunosuppresif pada pengobatan oftalmopati Grvaes

   Immunosuppresif   Manfaat Efek samping    Catatan*

    Glucocoticoids   ++  ++     Jangka lama    Cyclodparine A   +  +                RCT, aplikasi erbatas    Intravenous immunoglobulin +  +     RCT, sangat mahal    Azathioprine   -  -     RCT, tidak diindikasikan          Ciamexone    -  -     RCT, tidak dinindikasikan    Cyclophosphamide   +  +                RCT, belum ada    Subcutaneous octreotide  +  +     Data terbatas, dan mahal

RCT = Randomized Clinical Trial

2.  Radiasi       Iradiasi retrobulber (tidak boleh pada penderita diabetes melitus) sering diakukan pada penderita oftalmopati Graves yang aktif dengan protrusis yang berat.3.  Operasi      Berbagai jenis operasi yang dilakukan pada penderita dengan oftalmopati Graves. Dekompresi orbital khusus untuk proptosis berat, operasi otot mata untuk memperbaiki adanya diplopia, dan operasi kelopak mata  untuk kepentingan kosmetik4.  Lain-lain     Beberapa tindakan pencegahan perlu dilakukan agar oftalmopati  tidak menjadi lebih. Mereka yang merokok sebaiknya dihentikan, oleh karena merokok ternyata dapat memperburuk adanya oftalmopati. Pada mereka dengan proptosis sebaiknya kornea harus diproteksi misalnya dengan kaca mata, atau cairan tetes mata khusus agar kornea selalu basah (artificial tears).

PENATALAKSANAAN TERPADU

   Kemana penderita harus dirujuk, selalau merupakan pertanyaan bagi dokter  yang menerima penderita dengan hipertiroidisme Graves disertai oftalmopati, internist ataukah dokter mata? Sebaiknya ada suatu klinik terpadu (seperti di luar negeri) dimana duduk bersama internis/endokrinologis, spesialis mata, radioterapis, dan ahli kedokteran nuklir. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dengan berbagai efek samping apalagi  harus jangka lama dengan sendirinya memerlukan pengawasan oleh internist. Demikian juga dengan pemberian imunosupresif yang juga mempunyai efek samping. Memutuskan untuk dilakukan tindakan bedah pada oftalmopati maligna harus ditentukan oleh dokter spesialis mata. Iradiasi retrobulber perlu pertimbangan seorang radioterapis, dan pemberian I131 pada penderita hipertiroidisme dengan  oftalmopati harus mendapat pertimbangan seorang ahli kedoketran nuklir untuk mencegah memburuknya oftalmopati. Oftalmopati Graves adalah suatu keadaan yang meresahkan oleh karena sering tidak memberikan kepuasan pada penderita baik dari sisi penyakitnya maupun dari sisi kosmetik. Oleh karena itu penatalaksanaan terpadu oleh dokter yang khusus ahli dalam bidang ini sangat dibutuhkan.     .

telah dicoba dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan kortikosteroid. Sampai saat ini oftalmopati masih merupakan masalah penting pada penyakit Graves. Bukan

Page 16: Pen Yak It Grave

hanya patogenesis yang belum jelas, pengobatan pun sering tidak memuaskan. Diagnosis dini serta penanganan cepat dapat mencegah kelainan mata yang lebih buruk.

is often unsatisfactory. Early diagnosis and therapy may prevent the eye changes to become worse.