lapsus mh.doc

59
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata terdapat pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibanding dengan kusta yang kita kenal sekarang. Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae, mikroorganisma yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf. Karekteristik penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda cardinal ; lesi kulit hipopigmentasi ata eritematosa yang disertai hilangya sensasi sensoris/ anestesia, penebalan saraf perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material biopsy. Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 1

Upload: muhammad-tamlikha

Post on 24-Dec-2015

41 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus MH.doc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India

kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab

Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup

beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata terdapat pelbagai deskripsi mengenai

penyakit ini sangat kabur, apabila dibanding dengan kusta yang kita kenal

sekarang.

Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini

adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae,

mikroorganisma yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf. Karekteristik

penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda cardinal ; lesi kulit hipopigmentasi

ata eritematosa yang disertai hilangya sensasi sensoris/ anestesia, penebalan saraf

perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material biopsy.

Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai

kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009

telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu

dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun

1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta

dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah

dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan

motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala

tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma

terhadap penyakit kusta Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah

dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab,

pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.1

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 1

Page 2: Lapsus MH.doc

M. Leprae menginfeksi sel Schwann dari saraf perifer sehingga

menyebabkan kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. Walaupun terdapat

penurunan prevalensi infeksi M. Leprae pada negara yang endemis setelah

implementasi multidrug therapy, kasus baru yang dideteksi masih tinggi,

menunjukkan adanya transmisi yang aktif.1

Kerentanan terhadap mycobakterium dan gejala klinis bergantung kepada

respon immune penderita. Penderita dengan respon imun yang baik menunjukkan

gejala kearah tipe tuberkuloid sementara penderita dengan sistem imun yang

buruk menunjukkan gejala kearah lepromatosa.1

BAB II

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 2

Page 3: Lapsus MH.doc

STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. J

Umur : 58 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SD

Alamat : Sumbawa

Status perkawinan : Menikah

No. CM :

Tanggal MRS : 24 Februari 2015

2.2. Anamnesis

Keluhan utama

Bercak kemerahan pada muka, tangan, badan dan kaki

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poli klinik kulit dan kelamin RSU Kota Mataram mengeluh

sejak 3 minggu yang lalu timbul keluhan bercak kemerahan sebesar uang koin

pada muka, tangan, badan dan kaki. Awalnya pasien mengaku lebih kurang 7

bulan yang lalu pada muka terasa seperti kesemutan tertusuk-tusuk dan panas

yang hilang timbul, tiba-tiba timbul bercak merah seperti benjolan yang

berawal dari muka, kemudian menjalar ke kedua lengan sampai ke kedua

tangan, punggung, dada, dan kedua tungkai. Bercak yang dirasakan pasien juga

disertai dengan nyeri. Selain itu, pasien juga mengeluh gatal-gatal pada tempat

bercak kemerhan, gatal-gatal ini paling sering dirasakan pada muka dan gatal-

gatalnya tidak teratur. Pasien mengatakan, setiap terjadi gatal-gatal muka

semakin membengkak, gatalnya dirasakan lebih kurang 1 jam, gatalnya bisa

dirasakan 10x dalam sehari. demam (-). Keluhan mati rasa, alis dan bulu mata

rontok disangkal oleh pasien. BAB (+) normal, BAK (+) normal.

Riwayat penyakit sebelumnya

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 3

Page 4: Lapsus MH.doc

Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya

Riwayat penyakit keluarga

Terdapat anggota keluarga yang mengalami penyakit kusta juga yaitu saudra

pasien. Saudara pasien sudah meninggal akibat penyakit kusta yang ia alami

Riwayat penyakit dahulu

Pasien mengalami DM, hipertensi

Riwayat pengobatan

Pasien mengaku sempat berobat ke Puskesmas Alas, tetapi lupa nama obatnya,

pasien juga mengaku ke dokter praktik, tetapi tidak tau nama obatnya.

Riwayat alergi

Pasien menderita Asma, tetapi sejak satu tahun ini tidak pernah kambuh

2.3. Pemeriksaan Fisik

Status Present

KU : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Nadi : 84 kali per menit

Respirasi : 20 kali per menit

Suhu aksila : 36,5o C

Status General

Kepala : Normochepali

Mata : Anemia (-/-), Ikterus (-/-)

Thorax : Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)

Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen : Distensi (-) , Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat, Oedem (-)

Status Dermatologi

Regio generalisata : tampak plakat, makula dan papul ukuran bervariasi

antara diameter 1 cm hingga ukuran 2x4 cm, eritem, batas jelas, berbentuk

bulat, konsistensi lunak, nyeri tekan (-). Pada telinga kanan dan kiri tampak

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 4

Page 5: Lapsus MH.doc

adanya penebalan daun telinga. Madarosis dan alopesia pada alis dan bulu

mata (-)

Pemeriksaan Saraf Tepi

Sensorik

a. Sensasi raba : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal

b. Sensasi nyeri : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal.

c. Sensasi suhu : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 5

Page 6: Lapsus MH.doc

Motorik

Pada pemeriksaan kekuatan otot dari keempat ekstremitas dalam batas normal.

Pembesaran saraf

Saraf Tepi Hasil Pemeriksaan

N. Aurikularis Magnus Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)

N. Ulnaris Pembesaran d/s (+/-), Nyeri (+/-)

N. Tibialis Posterior Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)

N. Peroneus Lateralis Komunis

Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)

2.4. Diagnosa Banding

Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan Reaksi Tipe II

Lesi macular : Vitiligo, P. vesikolor, P. alba

Lesi meninggi : granuloma annular, psoriasis

Lesi nodular: Penyakit von reckhlinghause

2.5. Pemeriksaan BTA

Pengambilan sampel dilakukan pada lesi aurikula, lengan dan tungkai, pada hari

rabu tanggal 25 Februari 2015. Pada pemeriksaan didapatkan hasil :

BI (Bakteri Index) : +3

MI (Morfologi Index) : 80 %

2.6. Diagnosa Kerja

Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan Reaksi Tipe I

2.7. Rencana Terapi

Pemberian MDT untuk Kusta Multibasilar di Puskesmas :

Rifampisin 600 mg setiap bulan yang diminum di depan petugas kesehatan.

Dapsone 100 mg setiap hari

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 6

Page 7: Lapsus MH.doc

Klofazimin 300 mg setiap bulan yang diminum di depan petugas kesehatan dan

kemudian dilanjutkan dengan 50 mg/hari diminum di rumah.

Prednisone peroral dimulai dengan dosis 1 mg/kg/hari single dose pada pagi

hari setelah sarapan. Setelah reaksi dapat dikontrol, prednisolone kemudian di

tapering hingga dosis 20 mg/ hari, kemudian tappering selanjutnya hingga

5mg/ hari.

2.8. Edukasi

Pengobatan penyakit kusta ini berlangsung lama, kurang lebih selama 2-3

tahun.

Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis di Puskesmas setiap

bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan di RSUP NTB. Saat

pemeriksaan diperhatikan pula adanya tanda-tanda reaksi kusta.

Penyakit kusta ini dapat ditularkan secara inhalasi sehingga pasien disarankan

untuk selalu menggunakan masker.

Apabila muncul tanda-tanda perubahan sensibilitas dan kekuatan otot, segera

kembali untuk memeriksakan diri ke dokter. Contohnya berupa luka atau lepuh

yang tidak terasa sakit dan mati rasa pada tangan atau kaki. Juga jika terdapat

gangguan pada aktivitas sehari-hari, seperti memasang kancing baju,

memegang pulpen, mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan. Adanya

kelainan pada mata berupa penglihatan kabur, kesulitan membuka dan menutup

mata, serta alis dan bulu mata menjadi rontok.

Perhatikan pula adanya tanda-tanda kelainan pada saraf perifer, seperti clawing

hand, penebalan pada daun telinga, pembesaran saraf di leher, serta claw toes

dan foot drop.

Penderita dijelaskan bahwa dirinya mengalami reaksi kusta dan diberikan obat

prednisone untuk mengobati reaksinya. Perlu diingat bahwa pemberian

prednison harus di bawah pengawasan dokter Puskesmas karna prednison bisa

menyebabkan efek samping yang serius. Oleh karena itu penderita harus

mematuhi aturan pemberian prednison. Tidak boleh dihentikan tiba-tiba karena

dapat menyebabkan rebound phenomena (demam, nyeri otot, nyeri sendi,

malaise). Sementara efek samping pemakaian jangka panjang adalah gangguan

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 7

Page 8: Lapsus MH.doc

cairan dan elektrolit, hiperglikemi, mudah infeksi, perdarahan atau perforasi

pada penderita tukak lambung, osteoporosis, cushing syndrome, moon face,

obesitas sentral, jerawat, pertumbuhan rambut berlebihan, timbunan lemak

supraklavikuler.

2.9. Prognosis

Qua ad Vitam : dubia

Qua ad Sanationam : dubia ad bonam

Qua ad Kosmetikam : dubia ad bonam

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 8

Page 9: Lapsus MH.doc

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi2

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai

afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian

dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

3.2. Epidemiologi2

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai

tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang

terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk

Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini

tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman

penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik

yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan

adanya reservoir diluar manusia . Belum ditemukan medium artifisial ,

mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. Leprae . Sebagai sumber infeksi

hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar

manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per gram jaringan,

penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan penderita yang

mengandung 107 basil per gram jaringan.

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel

rambut, kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum

dapat mengandung banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus

respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi

pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang

dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 9

Page 10: Lapsus MH.doc

13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat

pada kelompok umur anatar 25-35 tahun.

Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin ,

daerah tropis dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah.

Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial

ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap

infeksi M. Leprae yang mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan

lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik

yang berbeda.

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah

menurun 85% di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang

terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun

penyakit ini masih merupakan problem kesehatan masyarakat di 55 negara atau

wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara , dan 82% nya di 5 negara

yaitu Brazil, India , Indonesia , Myanmar dan Nigeria. Jumlah kasus kusta di

seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar

negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009

tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus

baru tahun 2008 baru tercatat 249.0007.Di Indonesia,distribusi tidak merata, yang

tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada

tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73.

3.3. Etiologi2,3

Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh

G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga

dibiakkan dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-

8Um x 0.5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 10

Page 11: Lapsus MH.doc

Gambar : Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen

3.4. Patogenesis2,4,5

Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui

dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering

adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan

melalui kontak langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan

klasik. Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M.

Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Pengaruh M. Leprae

terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.

Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala

klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung

kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak

gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran

lepromatosa.

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada

yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari

otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah

melakukan fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada

SIS. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae.

Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik

dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi

yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteliod yang

berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel . Apabila SIS rendah

atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 11

Page 12: Lapsus MH.doc

didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow

atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama

kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah

satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang

diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui

beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95%

individu yang terinfeksi oleh M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau

minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal,

maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel

imunokompeten oleh stimulasi antigan M. Leprae.

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat

bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan

kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan

plak. Kelainan saraf dapat simetris.

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,

sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua

kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak

bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila

infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid

akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya

menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering

dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya asimetris.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 12

Page 13: Lapsus MH.doc

Gambar : Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan spesifik

Gambar : Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik

Sel Schwann(SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M. leprae

sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat.

Pengikatan M. leprae ke SS menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi

aksonal. Telah ditunjukkan bahwa M. leprae dapat menyerang SS melalui ikatan

spesifik protein laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas

utama pada permukaan M.leprae., mengikat laminin-2, yang menjelaskan

kecenderungan bakteri untuk saraf perifer . Identifikasi M. leprae- SC reseptor

yang ditaget,iaitu dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam

degenerasi saraf awal . Mycobacterium leprae induced demyelination adalah hasil

dari ligasi bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 / 2 aktivasi,

dan sinyal MAP kinase berikutnya dan proliferasi.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 13

Page 14: Lapsus MH.doc

Gambar : Mekanisme delayed type hypersensitivity yang diduga berkaitan dengan adanya lesi pada kulit sebagai reaksi terhadap lepromin

3.5. Klasifikasi2,5,6

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada

penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:

TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

TI: tuberkuloid indefinite

BT: borderline tuberculoid

BB: mid borderline bentuk yang labil

BL: borderline lepromatous

LI: lepromatosa indefinite

LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe

tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin

berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa

100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran,

berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran

50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,

sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah

tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL.Zona

spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 14

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

Page 15: Lapsus MH.doc

Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan

pausibasilar (PB). Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL,BL dan BB pada

klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan

pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.

Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan .

Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negetif pada

pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi Ridley-

Jopling. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL

atau apapun klasifikasi klinisnya degan BTA positif , harus diobati dengan

rejimen MDT-MB.

Kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil kulit

hapusan. Dalam klasifikasi berdasarkan apusan kulit, pasien menunjukkan apusan

negatif yang dikelompokkan sebagai paucibacillary kusta (PB), sementara mereka

yang menunjukkan apusan positif di situs manapun dikelompokkan sebagai

memiliki kusta multibasiler (MB).Namun, dalam praktiknya, sebagian besar

program menggunakan kriteria klinis untuk mengklasifikasikan dan menentukan

rejimen pengobatan yang tepat untuk setiap pasien, terutama mengingat tidak-

tersediaan layanan apusan kulit. Sistem klasifikasi klinis untuk tujuan pengobatan

meliputi penggunaan jumlah lesi kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk

pengelompokan pasien kusta multibasiler ke (MB) dan paucibacillary (PB) kusta.

Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )

PB MB1. Lesi kulit

(makula datar, papul yang meninggi, nodus)

- 1-5 lesi

- Hipopigmentasi/eritema

- Distribusi tidak simetris

- Hilangnya sensasi jelas

- > 5 lesi

- Distribusi lebih

simetris

- Hilangnya sensasi

kurang jelas

2. Kerusakan saraf

(menyebabkan

hilangnya

sensasi/kelemahan

- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang

saraf

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 15

Page 16: Lapsus MH.doc

otot yang dipersarafi

oleh saraf yang

terkena)

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB)

Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL)

Mid Borderline (BB)

Lesi

         Bentuk Makula

Infiltrat difus

Papul

Nodus

Makula

Plakat

Papul

Plakat

Dome-shape (kubah)

Punched-out

         Jumlah Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

         Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

         Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat

         Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

         Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas

BTA

         Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

         Sekret hidung

Banyak (ada globus) Biasanya negative Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB)Karakteristik Tuberkuloid

(TT)Borderline Tuberculoid (BT)

Indeterminate (I)

Lesi

         Tipe Makula ; makula dibatasi infiltrat

Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat saja

Hanya Infiltrat

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 16

Page 17: Lapsus MH.doc

         Jumlah Satu atau dapat beberapa

Beberapa atau satu dengan lesi satelit

Satu atau beberapa

         Distribusi Terlokalisasi & asimetris

Asimetris Bervariasi

         Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak berkilat

         Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat tidak jelas

         Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak jelas

BTA

         lesi kulit Hampir selalu negatif

Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negatif

3.6. Gambaran Klinis2,7

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya

berbentuk makula saja, infiltrat saja , atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip

penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat membantu penentuan diagnosis,

meskipun tidak selalu jelas. Hal ini mudah dilakukan dengan menggunakan jarum

terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan

kedua cara tersebut barulah pengujian terhadapa rasa suhu, yaitu panas dan dingin

dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Dehidrasi diperhatikan di daerah lesi yang

dapat jelas dan dapat pula tidak, dipertegas dengan menggunakan pensil tinta

(tanda Gunawan). Cara mengoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal.

Diperhatikan juga ada atau tidak alopesia di daerah lesi.

Pada pemeriksaan saraf perifer diperhatikan apakah ada pembesaran,

konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan

perlu diperiksa yaitu, N. Fasialis, N. Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus,

N. Radialis, N. Tibialis posterior dan N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso,

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 17

Page 18: Lapsus MH.doc

kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh sedangkan bagi tipe tuberkuloid ,

kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikut tempat lesinya.

Deformitas pada kusta , dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder.

Deformitas primer sebagai akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai

reaksi terhadap M. Leprae , yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya,

yaitu kulit, mukosa respiratorius bagian atas, tulang-tulang jari dan wajah.

Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umunya deformitas

diakibatkan keduanya, tetapi terutama kerana keruskaan saraf.

Gejala kerusakan saraf:

N. ulnaris - anestesia pada ujung jari anterior

kelingking dan jari manis

- clawing kelingking dan jari manis

- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta

kedua otot lumbrikalis medial

N. medianus - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari,

telunjuk dan jari tengah

- tidak masuk aduksi ibu jari

- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari

tengah

- ibu jari kontraktur

- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis

lateral

N. radialis - anestesia dorsum manus serta ujung

proksimal jari telunjuk

- tangan gantung (wrist drop)

- tak mampu ekstensi jari-jari atau

pergelangan tangan

N. poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral

dan dorsum pedis

- kaki gantung (foot drop)

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 18

Page 19: Lapsus MH.doc

- kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior - anestesia telapak kaki

- claw toes

- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps

arkus pedis

N. Fasialis - cabang zigomatik dan temporal

menyebabkan lagoftalmus

- cabang bukal, mandibular dan servikal

menyebabkan kehilangan ekspresi wajah

dan kegagalan mengatupkan bibir

N. Trigeminus - anestesia kulit wajah, kornea dan

konjugtiva mata

Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer

mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak

jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang

dapat membuat paralisis N. Orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,

mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-

bagian mata lainnya. Secarra sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat

menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri ata kelenjar

keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan

alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomestia akibat gangguan

keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus

seminiferus testis.

Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,

sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni :

a) Lesi kulit yang anestesi ,

b) Penebalan saraf perifer,

c) Ditemukannya M. Leprae sebagai bakteriologis positif.

Masa inkubasinya 40 hari– 40 tahun (rata-rata 3 – 5 tahun). Onset

terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 19

Page 20: Lapsus MH.doc

saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat

adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa

makula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan

kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan

kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi

ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya

adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas

dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan

dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas

yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang

dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut.

Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang

asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan

sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi

berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan

sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia

(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba).

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya

berbentuk makula saja, infiltrate saja, atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip

penyakit lain, ada tidaknya anestesi sangat membantu penentuan diagnosis,

meskipun tidak selalu jelas

3.7. Diagnosis

1. Pemeriksaan Fisik

a. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)

Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih

mampu melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas.

Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat

berupa makula atau plak, dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang

regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi

yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 20

Page 21: Lapsus MH.doc

Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang

adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi

menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi

dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit

atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.

Gambar : Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar :Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 21

Page 22: Lapsus MH.doc

Gambar :Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular

inkomplit dengan papul satelit

b. Borderline Leprosy

Pada tipe BB borderline,merupakan tipe yang paling tidak stabil,

disebut juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan

lepromatous. Terdiri dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang

tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi

bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas.. Pada tipe ini terjadi

anestesia dan berkurangnya keringat.

Gambar : Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy

c. Lepromatous Leprosy

Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya

sedikit drngan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi

bentuknya. Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti

punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 22

Page 23: Lapsus MH.doc

hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat

muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL,

jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris,

permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada

stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi

Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi

khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada

stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk facies

leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and glove

anesthesia.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 23

Page 24: Lapsus MH.doc

Gambar Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 24

Page 25: Lapsus MH.doc

d. Pemeriksaan saraf tepi

N. auricularis magnus

Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf

yang terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat

terlihat pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas

persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka

akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan

kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

N. Ulnaris

Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di

atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi

ulnaris dan merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan

dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

N. Peroneus lateralis

Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di

sebelah lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana

atau tidak. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat,

lunak, dan nyeri atau tidaknya.

N. Tibialis Posterior

Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua

tangan, meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah

tumit. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak,

dan nyeri atau tidaknya.

e. Pemeriksaan fungsi saraf

Tes sensorik

Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

- Rasa raba

Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan

ke kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang

sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung

dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali

dilakukan dengan mata pasien tertutup.

- Rasa nyeri

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 25

Page 26: Lapsus MH.doc

Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien.

Setelah disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian

tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau

tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.

- Suhu

Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas

dan air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan

sehat secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau

dingin.

Tes otonom

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi

pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes

anhidrosis, yaitu :

- Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)

- Tes Pilokarpin

- Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus,

n.radialis, dan n. peroneus

2. Kusta Histoid

Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang

ditandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.

Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse

sensitive atau relapse resistent.

Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan

pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman

yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat,

baik dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder.

Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan

pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati

dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT,

disebut juga resisten primer.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 26

Page 27: Lapsus MH.doc

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaaan bakterioskopik

Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan

pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan

mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON.

Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang

tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama – tama harus

ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah

terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat

diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu

kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif

berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping

telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut

karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada

sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0

sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan

pandang (LP).

1. Indeks bakteri (BI)

1+ 1-10 dalam 100 LP

2+ 1-10 dalam 10 LP

3+ 1-10 dalam 1 LP

4+ 11-100 dalam 1 LP

5+ 101-1000 dalam 1 LP

6+ >1000 dalam 1 LP

2. Indeks morfologi (MI)

jumlah bakteri utuh x 100%jumlah semuanya

b. Pemerriksaan Histopatologi

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 27

Page 28: Lapsus MH.doc

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah

ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit.

Apabila SIS nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae.

Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses

imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan

dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk

menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat

berubah menjadi sel datia Langhans.

Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit

yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan

dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak

dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan

dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau

sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan

non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (

subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis

yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan

banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur

tersebut.

c. Pemeriksaan Serologi

Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang

terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik

terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan

antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak

spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga

dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis

kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak

jelas.Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 28

Page 29: Lapsus MH.doc

Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)

dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).

d. Tes Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan

prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk

menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin

dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.

Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4

minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi

dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M.

Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada

tuberkolosis.

4. Reaksi kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan

penyakit yang sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan

suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody

(humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi

terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat

perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang

memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe

2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.

Reaksi tipe 1

Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed

hypersensitivity reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular

(reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV.

Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy

bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun

selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat

perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian,

sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal. Pada

kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena

paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan

pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 29

Page 30: Lapsus MH.doc

karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus

yang tidak mendapat pengobatan.

Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua

bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi

daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh

lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu

yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi

eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi

infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak

perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.

Reaksi tipe 2

Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu

reaksi hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-

antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe

lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai

Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih

eritematus, mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-

macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama

di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul

di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang berambut,

aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri,

pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan

malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf,

mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe.

5. Fenomena Lucio

Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi

pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak

atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri.

Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang

berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan

cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan

akhirnya terbentuk jaringan parut.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 30

Page 31: Lapsus MH.doc

Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik

dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi

endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae

di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL

namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan

komplemen di dalam dinding pembuluh darah.

3.8. Penatalaksanaan2,3,5,6

Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan

untuk mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT)

untuk kusta baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk ,

mencegah dan mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat

pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan

antara lain: efek teraptik obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan

penerapannya.

a. DDS atau Dapsone

Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan

obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson, diamino

difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat

pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic

acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek

samping dari dapson adalah anemia hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia

perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia,

methemoglobinemia, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.

b. Lamprene atau Clofazimin

Merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja

dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis sebagai

antikusta ialah 50mg setiap hari atau 100mg selang sehari , atau 3x100mg setiap

minggu. Bersifat antiinflamasi dan dapat dipakai untuk pengobatan ENL dengan dosis

200-300mg/hari, namun awitan kerja timbul seteah 2-3 minggu. Efek sampingnya

adalah warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera sehingga mirip

ikterus. Hal ini disebabkan zat warna klofazimin yang dideposit terutama pada sel

system retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Efek samping hanya terjadi pada dosis

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 31

Page 32: Lapsus MH.doc

tinggi berupa gangguan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen, nausea, diare, anokresia

dan vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.

c.Rifampicin

Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja

dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan

berikatan pada subunit beta. Dosisnya ialah 10mg/kg berat badan; diberikan setiap

hari atau setiap bulan. Efek sampingnya adalah hepatotoksik,nefrotoksik, gejala

gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.

d. Ofloksasin

Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium

Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan

dalam 22 dosis akan membunuh kuman Myocobacterium leprae hidup sebesar

99.99%. Efek sampingnya adalah mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya,

berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness,

nervousness dan halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan

menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.

e.Minosiklin

Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari

klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek

sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan

hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan

susunan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak

dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.

f. Klaritromicin

Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal

terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta

lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari

dan lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare

yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.

Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat

bakterioskopis harus negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan

dilanjutkan sampai bakterioskopis negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan

secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan .

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 32

Page 33: Lapsus MH.doc

Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).

Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan

bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap

33egative dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control

(RFC).

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita

kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan

lesi 2-5 buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar

pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa

pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan

pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.

Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah

dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan

MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi

ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian

monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal

diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja

langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak

Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati

dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf

diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 33

Page 34: Lapsus MH.doc

Tabel : Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut

WHO/DEPKES RI

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa

(50-70 kg)

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 th)

300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-

9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu

berhenti minum obat.

Tabel : Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hr diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

50 mg/hari diminum di

rumah

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa

diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan

RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan

setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama

5 tahun

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 34

Page 35: Lapsus MH.doc

Tabel :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari diminum

di rumah

300 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dgn 50

mg/hari diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari diminum

di rumah

150 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dg 50 mg

selang sehari

diminum di rumah

Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas an, WHO

Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.

Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS

sehingga hanya bisa mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan

menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama

6 bulan dan lagi selama 8 bulan.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 35

Page 36: Lapsus MH.doc

3.9. Pengobatan Reaksi Kusta

a. Pengobatan ENL

Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan

dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan pada

penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila terdapat

perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu dapat

diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan jika perlu dirawat inap. Thalidomide

merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai efek teratogenik. Pada saat ini ,

obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat di Indonesia. Klofazimin dengan dosis

200-300mg/ hari dapat dipakai untuk pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai

untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid.

b. Pengobatan reaksi raversal

Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid, yang

dosisnya disesuaikan dengan berat ringan neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-

60 mg per hari dan kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena

neuritis akut harus direhatkan . Analgetik dan sedative kalau diperlukan dapat

diberikan . Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang

atau tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.

Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan

berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan

kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip

pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan

sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak

diubah.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan

obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari,

dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan

sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat

anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti

reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan

dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan

2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 36

Page 37: Lapsus MH.doc

oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita

(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan

prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik

walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering

off) setelah terjadi respon maksimal.

Gambar : Regimen MDT

3.10. Pencegahan Cacat

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities

(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan pengobatan MDT yang

cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang

disertai gangguan saraf serat memulai pengobatan kusta dengan kortikosteroid sesegera

mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana,

misalnya memakai sepatu untuk melindngi kaki yang telah terkena , memakai sarung

tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk

melindnginya. Perawatan kulit sehari-hari juga diajar. Hal ini dimulai dengan

memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam,

disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.

WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO

Technical Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita

kusta.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 37

Page 38: Lapsus MH.doc

Tabel : Klasifikasi Cacat

Cacat pada kaki dan tangan

Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas atau

kecacatan yang terlihat.

Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan atau deformitas yang

terlihat.

Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan

penglihatan

Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang

berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter)

Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter)

3.11. Prognosis

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan

bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat

mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 38

Page 39: Lapsus MH.doc

BAB IV

KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen

merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae. M. leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di

Norwegia, bakteri ini berukuran 3-8 µm x 0,2-0,5 µm, bersifat tahan asam, berbentuk

batang, tidak bergerak dan berspora, serta merupakan bakteri Gram positif. M. leprae

dapat berkembang biak dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit, namun hingga saat

ini belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.

Pada kasus ini, diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan baal pada

daerah wajah, tangan, dada, punggung dan kaki. Pasien dicurigai menderita penyakit

kusta karena kusta dapat menyebabkan kelainan kulit dan saraf tepi, yang

mengakibatkan terjadinya keluhan rasa baal, bahkan mati rasa pada daerah yang

diinervasi oleh saraf yang diserang kuman M. lepra.

Pada pemeriksaan dermatologi tampak nodul, ukuran bervariasi antara

diameter 1 cm hingga ukuran 2x4 cm, eritem, batas jelas, berbentuk bulat, konsistensi

lunak, immobile. Kemudian pada pemeriksaan sistem saraf tepi dengan pemeriksaan

funsi sensorik pada rasa raba, nyeri dan suhu ditemukan hipostesi didalam lesi, tidak

dikulit normal dan terjadi pembesaran saraf pada nerves ulnaris dextra pada lengan

kanan. Pada pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan BTA ditemukan bakteri index

+3 dan morfologi index 80%.

Adanya gejala keterlibatan saraf dengan gangguan sesibilitas, munculnya

nodul eritem dan pemeriksaan BTA dengan hasil positif maka diagnosis kerja

sementara adalah Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan cacat

tingkat 1.

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 39

Page 40: Lapsus MH.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Smith D.S. Leprosy. Available at http://emedicine.medscape.com/article/220455-

overview#a0104 Accessed on 17th November 2013.

2. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:

Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua.

Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88

3. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.

http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/ 12 Oktober 2013.

4. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000.

Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67

5. WHO. Leprosy elimination: classification of leprosy.

http://www.who.int/lep/classification/en/index.html. Akses pada 12 Oktober 2013.

6. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease. Available at

http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm. Accessed on

16th November 2013.

7. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:

http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html

8. Willacy Hayley. Update Apr 20, 2010. Available at :

http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm

9. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall

10. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124-

126

Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 40