lapsus mh.doc
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab
Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup
beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata terdapat pelbagai deskripsi mengenai
penyakit ini sangat kabur, apabila dibanding dengan kusta yang kita kenal
sekarang.
Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini
adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae,
mikroorganisma yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf. Karekteristik
penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda cardinal ; lesi kulit hipopigmentasi
ata eritematosa yang disertai hilangya sensasi sensoris/ anestesia, penebalan saraf
perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material biopsy.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai
kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009
telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu
dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun
1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta
dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah
dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan
motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala
tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma
terhadap penyakit kusta Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah
dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab,
pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.1
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 1
M. Leprae menginfeksi sel Schwann dari saraf perifer sehingga
menyebabkan kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. Walaupun terdapat
penurunan prevalensi infeksi M. Leprae pada negara yang endemis setelah
implementasi multidrug therapy, kasus baru yang dideteksi masih tinggi,
menunjukkan adanya transmisi yang aktif.1
Kerentanan terhadap mycobakterium dan gejala klinis bergantung kepada
respon immune penderita. Penderita dengan respon imun yang baik menunjukkan
gejala kearah tipe tuberkuloid sementara penderita dengan sistem imun yang
buruk menunjukkan gejala kearah lepromatosa.1
BAB II
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 2
STATUS PASIEN
2.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. J
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SD
Alamat : Sumbawa
Status perkawinan : Menikah
No. CM :
Tanggal MRS : 24 Februari 2015
2.2. Anamnesis
Keluhan utama
Bercak kemerahan pada muka, tangan, badan dan kaki
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli klinik kulit dan kelamin RSU Kota Mataram mengeluh
sejak 3 minggu yang lalu timbul keluhan bercak kemerahan sebesar uang koin
pada muka, tangan, badan dan kaki. Awalnya pasien mengaku lebih kurang 7
bulan yang lalu pada muka terasa seperti kesemutan tertusuk-tusuk dan panas
yang hilang timbul, tiba-tiba timbul bercak merah seperti benjolan yang
berawal dari muka, kemudian menjalar ke kedua lengan sampai ke kedua
tangan, punggung, dada, dan kedua tungkai. Bercak yang dirasakan pasien juga
disertai dengan nyeri. Selain itu, pasien juga mengeluh gatal-gatal pada tempat
bercak kemerhan, gatal-gatal ini paling sering dirasakan pada muka dan gatal-
gatalnya tidak teratur. Pasien mengatakan, setiap terjadi gatal-gatal muka
semakin membengkak, gatalnya dirasakan lebih kurang 1 jam, gatalnya bisa
dirasakan 10x dalam sehari. demam (-). Keluhan mati rasa, alis dan bulu mata
rontok disangkal oleh pasien. BAB (+) normal, BAK (+) normal.
Riwayat penyakit sebelumnya
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 3
Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga
Terdapat anggota keluarga yang mengalami penyakit kusta juga yaitu saudra
pasien. Saudara pasien sudah meninggal akibat penyakit kusta yang ia alami
Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengalami DM, hipertensi
Riwayat pengobatan
Pasien mengaku sempat berobat ke Puskesmas Alas, tetapi lupa nama obatnya,
pasien juga mengaku ke dokter praktik, tetapi tidak tau nama obatnya.
Riwayat alergi
Pasien menderita Asma, tetapi sejak satu tahun ini tidak pernah kambuh
2.3. Pemeriksaan Fisik
Status Present
KU : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 84 kali per menit
Respirasi : 20 kali per menit
Suhu aksila : 36,5o C
Status General
Kepala : Normochepali
Mata : Anemia (-/-), Ikterus (-/-)
Thorax : Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Distensi (-) , Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, Oedem (-)
Status Dermatologi
Regio generalisata : tampak plakat, makula dan papul ukuran bervariasi
antara diameter 1 cm hingga ukuran 2x4 cm, eritem, batas jelas, berbentuk
bulat, konsistensi lunak, nyeri tekan (-). Pada telinga kanan dan kiri tampak
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 4
adanya penebalan daun telinga. Madarosis dan alopesia pada alis dan bulu
mata (-)
Pemeriksaan Saraf Tepi
Sensorik
a. Sensasi raba : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal
b. Sensasi nyeri : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal.
c. Sensasi suhu : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 5
Motorik
Pada pemeriksaan kekuatan otot dari keempat ekstremitas dalam batas normal.
Pembesaran saraf
Saraf Tepi Hasil Pemeriksaan
N. Aurikularis Magnus Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)
N. Ulnaris Pembesaran d/s (+/-), Nyeri (+/-)
N. Tibialis Posterior Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)
N. Peroneus Lateralis Komunis
Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)
2.4. Diagnosa Banding
Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan Reaksi Tipe II
Lesi macular : Vitiligo, P. vesikolor, P. alba
Lesi meninggi : granuloma annular, psoriasis
Lesi nodular: Penyakit von reckhlinghause
2.5. Pemeriksaan BTA
Pengambilan sampel dilakukan pada lesi aurikula, lengan dan tungkai, pada hari
rabu tanggal 25 Februari 2015. Pada pemeriksaan didapatkan hasil :
BI (Bakteri Index) : +3
MI (Morfologi Index) : 80 %
2.6. Diagnosa Kerja
Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan Reaksi Tipe I
2.7. Rencana Terapi
Pemberian MDT untuk Kusta Multibasilar di Puskesmas :
Rifampisin 600 mg setiap bulan yang diminum di depan petugas kesehatan.
Dapsone 100 mg setiap hari
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 6
Klofazimin 300 mg setiap bulan yang diminum di depan petugas kesehatan dan
kemudian dilanjutkan dengan 50 mg/hari diminum di rumah.
Prednisone peroral dimulai dengan dosis 1 mg/kg/hari single dose pada pagi
hari setelah sarapan. Setelah reaksi dapat dikontrol, prednisolone kemudian di
tapering hingga dosis 20 mg/ hari, kemudian tappering selanjutnya hingga
5mg/ hari.
2.8. Edukasi
Pengobatan penyakit kusta ini berlangsung lama, kurang lebih selama 2-3
tahun.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis di Puskesmas setiap
bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan di RSUP NTB. Saat
pemeriksaan diperhatikan pula adanya tanda-tanda reaksi kusta.
Penyakit kusta ini dapat ditularkan secara inhalasi sehingga pasien disarankan
untuk selalu menggunakan masker.
Apabila muncul tanda-tanda perubahan sensibilitas dan kekuatan otot, segera
kembali untuk memeriksakan diri ke dokter. Contohnya berupa luka atau lepuh
yang tidak terasa sakit dan mati rasa pada tangan atau kaki. Juga jika terdapat
gangguan pada aktivitas sehari-hari, seperti memasang kancing baju,
memegang pulpen, mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan. Adanya
kelainan pada mata berupa penglihatan kabur, kesulitan membuka dan menutup
mata, serta alis dan bulu mata menjadi rontok.
Perhatikan pula adanya tanda-tanda kelainan pada saraf perifer, seperti clawing
hand, penebalan pada daun telinga, pembesaran saraf di leher, serta claw toes
dan foot drop.
Penderita dijelaskan bahwa dirinya mengalami reaksi kusta dan diberikan obat
prednisone untuk mengobati reaksinya. Perlu diingat bahwa pemberian
prednison harus di bawah pengawasan dokter Puskesmas karna prednison bisa
menyebabkan efek samping yang serius. Oleh karena itu penderita harus
mematuhi aturan pemberian prednison. Tidak boleh dihentikan tiba-tiba karena
dapat menyebabkan rebound phenomena (demam, nyeri otot, nyeri sendi,
malaise). Sementara efek samping pemakaian jangka panjang adalah gangguan
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 7
cairan dan elektrolit, hiperglikemi, mudah infeksi, perdarahan atau perforasi
pada penderita tukak lambung, osteoporosis, cushing syndrome, moon face,
obesitas sentral, jerawat, pertumbuhan rambut berlebihan, timbunan lemak
supraklavikuler.
2.9. Prognosis
Qua ad Vitam : dubia
Qua ad Sanationam : dubia ad bonam
Qua ad Kosmetikam : dubia ad bonam
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi2
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
3.2. Epidemiologi2
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai
tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk
Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini
tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan
adanya reservoir diluar manusia . Belum ditemukan medium artifisial ,
mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. Leprae . Sebagai sumber infeksi
hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar
manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per gram jaringan,
penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan penderita yang
mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel
rambut, kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum
dapat mengandung banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus
respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi
pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang
dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 9
13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat
pada kelompok umur anatar 25-35 tahun.
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin ,
daerah tropis dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah.
Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial
ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap
infeksi M. Leprae yang mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan
lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik
yang berbeda.
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun 85% di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang
terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun
penyakit ini masih merupakan problem kesehatan masyarakat di 55 negara atau
wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara , dan 82% nya di 5 negara
yaitu Brazil, India , Indonesia , Myanmar dan Nigeria. Jumlah kasus kusta di
seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar
negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009
tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus
baru tahun 2008 baru tercatat 249.0007.Di Indonesia,distribusi tidak merata, yang
tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada
tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73.
3.3. Etiologi2,3
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga
dibiakkan dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-
8Um x 0.5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 10
Gambar : Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen
3.4. Patogenesis2,4,5
Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering
adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan
melalui kontak langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan
klasik. Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M.
Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Pengaruh M. Leprae
terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.
Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak
gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa.
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari
otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah
melakukan fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada
SIS. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi
yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteliod yang
berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel . Apabila SIS rendah
atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 11
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama
kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah
satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang
diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui
beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95%
individu yang terinfeksi oleh M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau
minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal,
maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel
imunokompeten oleh stimulasi antigan M. Leprae.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan
kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan
plak. Kelainan saraf dapat simetris.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua
kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila
infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya
menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering
dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya asimetris.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 12
Gambar : Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan spesifik
Gambar : Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik
Sel Schwann(SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M. leprae
sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat.
Pengikatan M. leprae ke SS menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi
aksonal. Telah ditunjukkan bahwa M. leprae dapat menyerang SS melalui ikatan
spesifik protein laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas
utama pada permukaan M.leprae., mengikat laminin-2, yang menjelaskan
kecenderungan bakteri untuk saraf perifer . Identifikasi M. leprae- SC reseptor
yang ditaget,iaitu dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam
degenerasi saraf awal . Mycobacterium leprae induced demyelination adalah hasil
dari ligasi bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 / 2 aktivasi,
dan sinyal MAP kinase berikutnya dan proliferasi.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 13
Gambar : Mekanisme delayed type hypersensitivity yang diduga berkaitan dengan adanya lesi pada kulit sebagai reaksi terhadap lepromin
3.5. Klasifikasi2,5,6
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
TI: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
LI: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa
100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran,
berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran
50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah
tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL.Zona
spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 14
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB
Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL,BL dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan
pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan .
Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negetif pada
pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi Ridley-
Jopling. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL
atau apapun klasifikasi klinisnya degan BTA positif , harus diobati dengan
rejimen MDT-MB.
Kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil kulit
hapusan. Dalam klasifikasi berdasarkan apusan kulit, pasien menunjukkan apusan
negatif yang dikelompokkan sebagai paucibacillary kusta (PB), sementara mereka
yang menunjukkan apusan positif di situs manapun dikelompokkan sebagai
memiliki kusta multibasiler (MB).Namun, dalam praktiknya, sebagian besar
program menggunakan kriteria klinis untuk mengklasifikasikan dan menentukan
rejimen pengobatan yang tepat untuk setiap pasien, terutama mengingat tidak-
tersediaan layanan apusan kulit. Sistem klasifikasi klinis untuk tujuan pengobatan
meliputi penggunaan jumlah lesi kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk
pengelompokan pasien kusta multibasiler ke (MB) dan paucibacillary (PB) kusta.
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )
PB MB1. Lesi kulit
(makula datar, papul yang meninggi, nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/eritema
- Distribusi tidak simetris
- Hilangnya sensasi jelas
- > 5 lesi
- Distribusi lebih
simetris
- Hilangnya sensasi
kurang jelas
2. Kerusakan saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan
- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang
saraf
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 15
otot yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB)
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL)
Mid Borderline (BB)
Lesi
Bentuk Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Makula
Plakat
Papul
Plakat
Dome-shape (kubah)
Punched-out
Jumlah Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat
Sukar dihitung, masih ada kulit sehat
Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Sekret hidung
Banyak (ada globus) Biasanya negative Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB)Karakteristik Tuberkuloid
(TT)Borderline Tuberculoid (BT)
Indeterminate (I)
Lesi
Tipe Makula ; makula dibatasi infiltrat
Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat saja
Hanya Infiltrat
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 16
Jumlah Satu atau dapat beberapa
Beberapa atau satu dengan lesi satelit
Satu atau beberapa
Distribusi Terlokalisasi & asimetris
Asimetris Bervariasi
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak jelas
BTA
lesi kulit Hampir selalu negatif
Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negatif
3.6. Gambaran Klinis2,7
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrat saja , atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip
penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat membantu penentuan diagnosis,
meskipun tidak selalu jelas. Hal ini mudah dilakukan dengan menggunakan jarum
terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan
kedua cara tersebut barulah pengujian terhadapa rasa suhu, yaitu panas dan dingin
dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Dehidrasi diperhatikan di daerah lesi yang
dapat jelas dan dapat pula tidak, dipertegas dengan menggunakan pensil tinta
(tanda Gunawan). Cara mengoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal.
Diperhatikan juga ada atau tidak alopesia di daerah lesi.
Pada pemeriksaan saraf perifer diperhatikan apakah ada pembesaran,
konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan
perlu diperiksa yaitu, N. Fasialis, N. Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus,
N. Radialis, N. Tibialis posterior dan N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso,
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 17
kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh sedangkan bagi tipe tuberkuloid ,
kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikut tempat lesinya.
Deformitas pada kusta , dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder.
Deformitas primer sebagai akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai
reaksi terhadap M. Leprae , yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya,
yaitu kulit, mukosa respiratorius bagian atas, tulang-tulang jari dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umunya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama kerana keruskaan saraf.
Gejala kerusakan saraf:
N. ulnaris - anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis
- clawing kelingking dan jari manis
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial
N. medianus - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari,
telunjuk dan jari tengah
- tidak masuk aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari
tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis
lateral
N. radialis - anestesia dorsum manus serta ujung
proksimal jari telunjuk
- tangan gantung (wrist drop)
- tak mampu ekstensi jari-jari atau
pergelangan tangan
N. poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral
dan dorsum pedis
- kaki gantung (foot drop)
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 18
- kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior - anestesia telapak kaki
- claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps
arkus pedis
N. Fasialis - cabang zigomatik dan temporal
menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengatupkan bibir
N. Trigeminus - anestesia kulit wajah, kornea dan
konjugtiva mata
Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang
dapat membuat paralisis N. Orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-
bagian mata lainnya. Secarra sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri ata kelenjar
keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomestia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus
seminiferus testis.
Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,
sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni :
a) Lesi kulit yang anestesi ,
b) Penebalan saraf perifer,
c) Ditemukannya M. Leprae sebagai bakteriologis positif.
Masa inkubasinya 40 hari– 40 tahun (rata-rata 3 – 5 tahun). Onset
terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 19
saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat
adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa
makula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan
kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan
kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi
ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya
adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas
dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan
dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas
yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang
dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut.
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang
asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan
sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi
berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan
sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia
(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba).
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrate saja, atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip
penyakit lain, ada tidaknya anestesi sangat membantu penentuan diagnosis,
meskipun tidak selalu jelas
3.7. Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
a. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih
mampu melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas.
Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plak, dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi
yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 20
Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang
adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi
menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi
dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit
atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.
Gambar : Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular
Gambar :Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 21
Gambar :Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular
inkomplit dengan papul satelit
b. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,merupakan tipe yang paling tidak stabil,
disebut juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan
lepromatous. Terdiri dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang
tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi
bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas.. Pada tipe ini terjadi
anestesia dan berkurangnya keringat.
Gambar : Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy
c. Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya
sedikit drngan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi
bentuknya. Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 22
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL,
jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris,
permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada
stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi
khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada
stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk facies
leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and glove
anesthesia.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 23
Gambar Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL dengan Reaksi Tipe I Page 24
d. Pemeriksaan saraf tepi
N. auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf
yang terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat
terlihat pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas
persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka
akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan
kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di
atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi
ulnaris dan merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan
dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
N. Peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di
sebelah lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana
atau tidak. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat,
lunak, dan nyeri atau tidaknya.
N. Tibialis Posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua
tangan, meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah
tumit. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak,
dan nyeri atau tidaknya.
e. Pemeriksaan fungsi saraf
Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan
ke kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang
sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung
dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali
dilakukan dengan mata pasien tertutup.
- Rasa nyeri
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 25
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien.
Setelah disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian
tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau
tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas
dan air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan
sehat secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau
dingin.
Tes otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi
pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis, yaitu :
- Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
- Tes Pilokarpin
- Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus,
n.radialis, dan n. peroneus
2. Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang
ditandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.
Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse
sensitive atau relapse resistent.
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman
yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat,
baik dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder.
Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati
dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT,
disebut juga resisten primer.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 26
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON.
Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama – tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif
berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut
karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP).
1. Indeks bakteri (BI)
1+ 1-10 dalam 100 LP
2+ 1-10 dalam 10 LP
3+ 1-10 dalam 1 LP
4+ 11-100 dalam 1 LP
5+ 101-1000 dalam 1 LP
6+ >1000 dalam 1 LP
2. Indeks morfologi (MI)
jumlah bakteri utuh x 100%jumlah semuanya
b. Pemerriksaan Histopatologi
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 27
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Apabila SIS nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan
dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur
tersebut.
c. Pemeriksaan Serologi
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak
jelas.Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 28
Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).
d. Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan
prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk
menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin
dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4
minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi
dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M.
Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada
tuberkolosis.
4. Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan
suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody
(humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi
terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat
perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe
2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.
Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed
hypersensitivity reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular
(reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV.
Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy
bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun
selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat
perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian,
sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal. Pada
kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena
paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan
pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 29
karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus
yang tidak mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua
bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi
daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh
lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu
yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi
eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi
infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak
perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.
Reaksi tipe 2
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu
reaksi hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-
antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe
lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai
Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih
eritematus, mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-
macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama
di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul
di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang berambut,
aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri,
pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan
malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf,
mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe.
5. Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak
atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri.
Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang
berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan
cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan
akhirnya terbentuk jaringan parut.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 30
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi
endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae
di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL
namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah.
3.8. Penatalaksanaan2,3,5,6
Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan
untuk mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT)
untuk kusta baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk ,
mencegah dan mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat
pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan
antara lain: efek teraptik obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan
penerapannya.
a. DDS atau Dapsone
Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan
obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson, diamino
difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat
pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic
acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek
samping dari dapson adalah anemia hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia
perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia,
methemoglobinemia, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.
b. Lamprene atau Clofazimin
Merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja
dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis sebagai
antikusta ialah 50mg setiap hari atau 100mg selang sehari , atau 3x100mg setiap
minggu. Bersifat antiinflamasi dan dapat dipakai untuk pengobatan ENL dengan dosis
200-300mg/hari, namun awitan kerja timbul seteah 2-3 minggu. Efek sampingnya
adalah warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera sehingga mirip
ikterus. Hal ini disebabkan zat warna klofazimin yang dideposit terutama pada sel
system retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Efek samping hanya terjadi pada dosis
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 31
tinggi berupa gangguan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen, nausea, diare, anokresia
dan vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.
c.Rifampicin
Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Dosisnya ialah 10mg/kg berat badan; diberikan setiap
hari atau setiap bulan. Efek sampingnya adalah hepatotoksik,nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.
d. Ofloksasin
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium
Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan
dalam 22 dosis akan membunuh kuman Myocobacterium leprae hidup sebesar
99.99%. Efek sampingnya adalah mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya,
berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness,
nervousness dan halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan
menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.
e.Minosiklin
Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari
klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan
susunan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak
dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.
f. Klaritromicin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare
yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.
Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat
bakterioskopis harus negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan
dilanjutkan sampai bakterioskopis negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan
secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan .
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 32
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap
33egative dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control
(RFC).
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan
lesi 2-5 buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar
pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa
pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan
pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian
monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja
langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak
Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati
dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf
diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 33
Tabel : Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
(5-14 th)
300 mg 200 mg 50 mg
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-
9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu
berhenti minum obat.
Tabel : Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hr diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum di
rumah
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan
setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama
5 tahun
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 34
Tabel :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
Rifampicin Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hari diminum
di rumah
300 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
diminum di depan
petugas
50 mg/hari diminum
di rumah
150 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah
Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas an, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS
sehingga hanya bisa mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama
6 bulan dan lagi selama 8 bulan.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 35
3.9. Pengobatan Reaksi Kusta
a. Pengobatan ENL
Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan
dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan pada
penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila terdapat
perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu dapat
diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan jika perlu dirawat inap. Thalidomide
merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai efek teratogenik. Pada saat ini ,
obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat di Indonesia. Klofazimin dengan dosis
200-300mg/ hari dapat dipakai untuk pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai
untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid.
b. Pengobatan reaksi raversal
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid, yang
dosisnya disesuaikan dengan berat ringan neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-
60 mg per hari dan kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena
neuritis akut harus direhatkan . Analgetik dan sedative kalau diperlukan dapat
diberikan . Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang
atau tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan
berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan
kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip
pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari,
dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat
anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan
dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan
2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 36
oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita
(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering
off) setelah terjadi respon maksimal.
Gambar : Regimen MDT
3.10. Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan pengobatan MDT yang
cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang
disertai gangguan saraf serat memulai pengobatan kusta dengan kortikosteroid sesegera
mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana,
misalnya memakai sepatu untuk melindngi kaki yang telah terkena , memakai sarung
tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk
melindnginya. Perawatan kulit sehari-hari juga diajar. Hal ini dimulai dengan
memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam,
disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO
Technical Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita
kusta.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 37
Tabel : Klasifikasi Cacat
Cacat pada kaki dan tangan
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas atau
kecacatan yang terlihat.
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan
penglihatan
Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang
berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter)
Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter)
3.11. Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 38
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. M. leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di
Norwegia, bakteri ini berukuran 3-8 µm x 0,2-0,5 µm, bersifat tahan asam, berbentuk
batang, tidak bergerak dan berspora, serta merupakan bakteri Gram positif. M. leprae
dapat berkembang biak dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit, namun hingga saat
ini belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.
Pada kasus ini, diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan baal pada
daerah wajah, tangan, dada, punggung dan kaki. Pasien dicurigai menderita penyakit
kusta karena kusta dapat menyebabkan kelainan kulit dan saraf tepi, yang
mengakibatkan terjadinya keluhan rasa baal, bahkan mati rasa pada daerah yang
diinervasi oleh saraf yang diserang kuman M. lepra.
Pada pemeriksaan dermatologi tampak nodul, ukuran bervariasi antara
diameter 1 cm hingga ukuran 2x4 cm, eritem, batas jelas, berbentuk bulat, konsistensi
lunak, immobile. Kemudian pada pemeriksaan sistem saraf tepi dengan pemeriksaan
funsi sensorik pada rasa raba, nyeri dan suhu ditemukan hipostesi didalam lesi, tidak
dikulit normal dan terjadi pembesaran saraf pada nerves ulnaris dextra pada lengan
kanan. Pada pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan BTA ditemukan bakteri index
+3 dan morfologi index 80%.
Adanya gejala keterlibatan saraf dengan gangguan sesibilitas, munculnya
nodul eritem dan pemeriksaan BTA dengan hasil positif maka diagnosis kerja
sementara adalah Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan cacat
tingkat 1.
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 39
DAFTAR PUSTAKA
1. Smith D.S. Leprosy. Available at http://emedicine.medscape.com/article/220455-
overview#a0104 Accessed on 17th November 2013.
2. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88
3. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.
http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/ 12 Oktober 2013.
4. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67
5. WHO. Leprosy elimination: classification of leprosy.
http://www.who.int/lep/classification/en/index.html. Akses pada 12 Oktober 2013.
6. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease. Available at
http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm. Accessed on
16th November 2013.
7. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html
8. Willacy Hayley. Update Apr 20, 2010. Available at :
http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm
9. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall
10. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124-
126
Laporan Kasus Morbus Hansen tipe BL (dengan Reaksi Tipe I Page 40