lapsus uveitis
DESCRIPTION
uvetisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Uvea adalah organ yang terdiri dari beberapa kompartemen mata yang berperan besar
dalam vaskularisasi bola mata. Terdiri atas iris, badan silier dan koroid. Uveitis didefinisikan
sebagai inflamasi yang terjadi pada uvea. Meskipun demikian sekarang istilah uveitis
digunakan untuk menggambarkan berbagai bentuk inflamasi intraokular yang tidak hanya
pada uvea tetapi juga struktur yang ada didekatnya, baik karena proses infeksi, trauma,
neoplasma, maupun autoimun.1,2
Secara anatomis uvea merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh
kornea dan sklera, juga merupakan lapisan yang memasok darah ke retina. Perdarahan uvea
dibagi antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2 buah arteri siliar posterior longus yang
masuk menembus sklera ditemporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah
arteri siliar anterior yang terdapat 2 pada setiap otot superior, medial, inferior serta pada otot
rektus lateral. Arteri siliar anterior posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri
sirkulari mayor pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari 15 – 20 arteri
siliar posterior brevis yang menembus sklera disekitar tempat masuk saraf optik. 1
Secara anatomis, uveitis dibagi menjadi empat yaitu uveitis anterior, uveitis
intermediet, uveitis posterior dan panuveitis. Uveitis anterior adalah peradangan yang
mengenai iris (iritis) dan jaringan badan siliar (iridosiklitis) biasanya bersifat unilateral
dengan onset akut.
Uveitis merupakan penyebab 10-15% kebutaan di negara berkembang. Di dunia
diperkirakan terdapat 15 kasus baru uveitis per 100.000 populasi per tahun, atau 38.000 kasus
baru per tahun dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Sekitar 50%
pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik terkait. Pada beberapa Negara seperti
Amerika Serikat, Israel, India, Belanda dan Inggris insiden uveitis banyak terjadi pada usia
20-50 tahun dengan puncaknya adalah decade ke tiga. Setelah usia 70 tahun, angka kejadian
uveitis mulai berkurang.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. I
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa BanyuBiru
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status perkawinan : Menikah
Bangsa/suku : Indonesia/ Jawa
Tanggal diperiksa : 22 juni 2014
Keluhan Utama
Penglihatan kedua mata terasa kabur
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Ambarawa dengan keluhan penglihatan terasa kabur
pada kedua mata sejak ± 1 tahun yang lalu. Keluhan pandangan kabur timbul perlahan
awalnya tidak mengganggu, namun lama kelamaan mengganggu penglihatan jarak dekat.
Pasien lebih senang membaca agak dijauhkan meskipun saat melihat jauh agak buram. Pasien
juga mengaku kegiatan haria membaca Koran terganggu sehingga harus agak dijauhkan dan
mengernyitkan mata agar lebih jelas saat membaca. Pasien juga mengeluh mata pedas,
nrocos, cepat lelah atau pegal.
Pasien mengaku baru pertama kali berobat ke poli mata. Pasien pernah menggunakan
kacamata sebelumnya, namun pasien lupa dengan ukuran kacamata nya tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mempunyai keluhan/sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat trauma pada mata (-)
Riwayat alergi (-)
2
Riwayat penyakit Hipertensi (-)
Riwayat penyakit DM (-)
Riwayat operasi mata (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama dengan pasien.
Riwayat Pengobatan
Selama sakit, pasien memakai obat tetes mata (INSTO) yang dibeli sendiri oleh pasien.
Setelah obat ini dipakai, keluhan dirasakan masih menetap
Riwayat Kebiasaan
Pasien sering menggosok mata (-), kemasukan benda asing (-).
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Frekuensi pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,30C
Status lokalis
Kepala : tidak ada kelainan
Telinga : tidak ada kelainan
Mulut : tidak ada kelainan
Leher : tidak ada kelainan
Paru-paru : dalam batas normal
Jantung : dalam batas normal
Ekstremitas : tidak ada kelainan
3
Status Oftalmologis
OD OS
Palpebra Edema (-), hiperemi (-),
benjolan (-), ptosis (-),
entropion (-), ektropion
(-),pseudoptosis (-), trikiasis
(-), xantelasma (-)
Edema (-), hiperemi (-),
benjolan (-), ptosis (-),
entropion (-), ektropion
(-),pseudoptosis (-), trikiasis
(-), xantelasma (-)
Konjungtiva Perdarahan (-), injeksi
konjungtiva (-), injeksi siliar
(-), secret (-), jaringan
fibrovaskuler (-)
Perdarahan (-), injeksi
konjungtiva (-), injeksi siliar
(-), secret (-), jaringan
fibrovaskuler (-)
Kornea Jernih, abrasi (-), sikatrik (-),
keratik presipitat (-),
infiltrate (-), ulkus (-), arkus
senilis (-), pericorneal
vascular injeksi (-)
Keruh (-), abrasi (-), sikatrik
(-), keratik presipitat (-),
infiltrate (-), ulkus (-), arkus
senilis (-), pericorneal
vascular injeksi (-)
Chamber Okuli
Anterior
Kedalaman (N), hifema (-),
hipopion (-), flare (-)
Kedalaman (N), hifema (-),
hipopion (-), flare (-)
Iris/pupil Bulat, diameter 3 mm, reflex
cahaya (+)
Bulat, diameter 3 mm, reflex
cahaya (+)
Lensa Jernih, dislokasi lensa (-),
afakia (-), pseudoafakia (-)
Jernih, dislokasi lensa (-),
afakia (-), pseudoafakia (-)
Visus 6/30 6/20
Gerakan bola mata Bebas ke segala arah, nyeri
gerak (-)
Bebas ke segala arah, nyeri
gerak (-)
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
4
Pemeriksaan Refraksi
OD : S +1.00 C -0.50 A 95
OS : S +0.75 C -0.50 A 100
Visus Koreksi
OD : S +0.75 = 6/12
OS : S +0.50 = 6/12
ADD +2.25
Diagnosis Kerja
ODS Hipermetropi Presbiopi
Penatalaksanaan
Resep kacamata sesuai koreksi
Prognosis
Dubia ad bonam
5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 ANATOMI UVEA :
Uvea atau traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang
terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid.2
Gambar 3.1. Anatomi Mata
1. Iris
Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari badan siliar ke depan
(anterior). Di bagian tengah iris terdapat lubang yang disebut pupil yang berfungsi untuk
mengatur besarnya sinar yang masuk mata. Permukaan iris warnanya sangat bervariasi
dan mempunyai lekukan-lekukan kecil terutama sekitar pupil yang disebut kripte. Pada
iris terdapat 2 macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu : Musculus dilatator pupil
yang berfungsi untuk melebarkan pupil dan Musculus sfingter pupil yang berfungsi
untuk mengecilkan pupil. Kedua otot tersebut memelihara ketegangan iris sehingga tetap
tergelar datar. Dalam keadaan normal, pupil kanan dan kiri kira-kira sama besarnya,
6
keadaan ini disebut isokoria. Apabila ukuran pupil kanan dan kiri tidak sama besar,
keadaan ini disebut anisokoria. Iris menipis di dekat perlekatannya dengan badan siliar
dan menebal di dekat pupil.2,3
Pembuluh darah di sekeliling pupil disebut sirkulus minor dan yang berada dekat
badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasoiliar cabang dari
saraf cranial III yang bersifat simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk miosis.3
2. Corpus Siliar
Korpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem eksresi
dibelakang limbus. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid
terdiri atas otot-otot siliar dan prosesus siliaris. Otot-otot siliar berfungsi untuk
akomodasi.4
Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah dalam dari tempat tepi kornea
melekat di sklera. Badan siliar merupakan bagian uvea yang terletak antara iris dan
koroid. Badan siliar menghasilkan humor akuos. Humor akuos ini sangat menentukan
tekanan bola mata (tekanan intraokular = TIO). Humor akuos mengalir melalui kamera
okuli posterior ke kamera okuli anterior melalui pupil, kemudian ke angulus
iridokornealis, kemudian melewait trabekulum meshwork menuju canalis Schlemm,
selanjutnya menuju kanalis kolektor masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke
jantung.3
Gambar 3.2 Aliran Aquous Humor
7
Gambar 3.3. Anatomi dan aliran aquos humor
3. Koroid
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina (di sebelah
dalam) dan sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk yang tepi depannya
berada di cincin badan siliar. Koroid adalah jaringan vascular yang terdiri atas anyaman
pembuluh darah. Retina tidak menempati (overlapping) seluruh koroid, tetapi berhenti
beberapa millimeter sebelum badan siliar. Bagian koroid yang tidak terselubungi retina
disebut pars plana.2,3
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang berasal dari
arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris
iris yang terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan
arteri siliaris posterior longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior
longus dan brevis.1
Fungsi dari uvea antara lain : Regulasi sinar ke retina,Imunologi (bagian yang
berperan dalam hal ini adalah khoroid), Produksi akuos humor oleh korpus siliaris, dan
sebagai nutrisi.4
III.2 UVEITIS
III.2.1 DEFINISI
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis
yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid yang disebabkan oleh
infeksi, trauma, neoplasia, atau proses autoimun.4,5
III.2.2 KLASIFIKASI
8
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis
yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Klasifikasi uveitis
dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara anatomis, klinis,
etiologis, dan patologis. Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral,
biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus
penyebabnya tidak diketahui.5
Gambar 3.4 Uveitis
1. Klasifikasi berdasarkan Anatomis 6
a) Uveitis anterior
Merupakan inflamasi yang terjadi terutama pada iris dan korpus siliaris atau
disebut juga dengan iridosiklitis.
b) Uveitis intermediet
Merupakan inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer yang disertai
dengan peradangan vitreous.
c) Uveitis posterior
Merupakan inflamasi yang mengenai retina atau koroid.
d) Panuveitis
Merupakan inflamasi yang mengenai seluruh lapisan uvea.
2.
Klasifikasi berdasarkan Klinis7
9
a) Uveitis akut
Uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan bersifat
simptomatik.
b) Uveitis kronik
Uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai berbulan-bulan
atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik.
3. Klasifikasi berdasarkan Etiologi6
a) Uveitis infeksius
Uveitis yang disebabkan oleh infeksi virus, parasit, dan bakteri.
b) Uveitis non-infeksius
Uveitis yang disebabkan oleh kelainan imunologi atau autoimun.
4. Klasifikasi berdasarkan patologis5
a) Uveitis non-granulomatosa
Infiltrat dominan limfosit pada koroid.
b) Uveitis granulomatosa
Infiltrat dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus
III.3 UVEITIS ANTERIOR
III.3.1 DEFINISI
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar
(pars plicata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata,
kornea dan sklera. Peradangan pada uvea dapat mengenai hanya pada iris yang
disebut iritis atau mengenai badan siliar yang di sebut siklitis. Biasanya iritis akan
disertai dengan siklitis yang disebut iridosiklitis atau uveitis anterior.4
III.3.2 KLASIFIKASI
Menurut klinisnya uveitis anterior dibedakan dalam uveitis anterior akut
yaitu uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan bersifat
simptomatik dan uveitis anterior kronik uveitis yang berlangsung selama > 6
minggu bahkan sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun, seringkali onset
tidak jelas dan bersifat asimtomatik. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak
diketahui.6
10
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-
granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Penyakit peradangan traktus
uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia
pertengahan. Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior
traktus uvealis ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan
terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak
dan sedikit mononuklear. Uveitis granulomatosa yaitu adanya invasi mikroba
aktif ke jaringan oleh bakteri. Dapat mengenai uvea bagian anterior maupun
posterior. Infiltrat dominan sel limfosit, adanya aggregasi makrofag dan sel-sel
raksasa multinukleus. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau
hipopion di kamera okuli anterior.2,3,4
Tabel 1. Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa
Non- Granulomatosa Granulomatosa
Onset
Nyeri
Fotofobia
Penglihatan Kabur
Merah Sirkumneal
Keratic precipitates
Pupil
Sinekia posterior
Noduli iris
Lokasi
Perjalanan penyakit
Kekambuhan
Akut
Nyata
Nyata
Sedang
Nyata
Putih halus
Kecil dan tak teratur
Kadang-kadang
Tidak ada
Uvea anterior
Akut
Sering
Tersembunyi
Tidak ada atau ringan
Ringan
Nyata
Ringan
Kelabu besar
(“mutton fat”)
Kecil dan tak teratur
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Uvea anterior,
posterior,difus
Kronik
Kadang-kadang
III.3.3 ETIOLOGI
Penyebab eksogen seperti trauma uvea atau invasi mikroorganisme atau
agen lain dari luar. Secara endogen dapat disebabkan idiopatik, autoimun,
11
keganasan, mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya
infeksi tuberkulosis, herper simpleks.5 Etiologi uveitis dibagi dalam :
Berdasarkan spesifitas penyebab :
1. Penyebab spesifik (infeksi) Disebabkan oleh virus, bakteri, fungi, ataupun
parasit yang spesifik.
2. Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme atau antigen
yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi antigen antibodi dengan
predileksi pada traktus uvea.
Berdasarkan asalnya:
1. Eksogen : Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma, operasi intraokuler,
ataupun iatrogenik.
2. Endogen : disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan, mikroorganisme atau
agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya infeksi tuberkulosis, herpes
simpleks.
III.3.4 PATOFISIOLOGI
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung
suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya
mengikuti suatu trauma tembus okuli, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi
sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang
menginfeksi jaringan tubuh diluar mata.6
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari
dalam (antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba
yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah
proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas. Radang
iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga
terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-
partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).3
12
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang berupa pus di dalam COA yang disebut hipopion, ataupun migrasi
eritrosit ke dalam COA, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang
berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada
endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic
precipitate, yaitu :6,7
1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen
yang difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
2. Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat
pada jenis non granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses peradangan akan
berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan
fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian
anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang
disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil,
yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,
disebut oklusio pupil.4
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular
oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata
belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata
belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans
(iris bombe). Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan
akhirnya terjadi glaukoma sekunder. 6
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa yang
menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila
peradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif
berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan
kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan
kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).5
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera
ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang
13
semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi
akibat trauma tembus, terutama yang mengenai badan silier.3
III.3.5 MANIFESTASI KLINIS
Keluhan pasien dengan uveitis anterior adalah mata sakit, mata merah,
fotofobia, penglihatan turun ringan dengan mata berair. Keluhan sukar melihat
dekat pada pasien uveitis dapat terjadi akibat ikut meradangnya otot-otot
akomodasi. Dari pemeriksaan mata dapat ditemukan tanda antara lain :
Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar limbus, dan
keratic precipitate. Pada pemeriksaan slit lamp dapat terlihat flare di bilik mata
depan dan bila terjadi inflamasi berat dapat terlihat hifema atau hipopion. Iris
edema dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans. Dapat pula
dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia anterior. Pupil kecil akibat peradangan otot
sfingter pupil dan terdapatnya edema iris. Lensa keruh terutama bila telah terjadi
katarak komplikata. Tekanan intra okuler meningkat, bila telah terjadi glaukoma
sekunder. Pada proses akut dapat terjadi miopisi akibat rangsangan badan siliar
dan edema lensa. Pada uveitis non-granulomatosa dapat terlihat presipitat halus
pada dataran belakang kornea. Pada uveitis granulomatosa dapat terlihat
presipitat besar atau mutton fat noduli Koeppe (penimbunan sel pada tepi pupil)
atau noduli Busacca (penimbunan sel pada permukaan iris).1,2,3
III.4 UVEITIS INTERMEDIATE
Uveitis intermediate disebut juga uveitis perifer atau pars planitis adalah
peradangan intraokular terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet yang
terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet biasanya bilateral
dan cenderung mengenai pasien remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih
banyak yang terkena dibandingkan wanita. Gejala- gejala yang khas meliputi
floaters dan penglihatan kabur. Nyeri, fotofobia dan mata merah biasanya tidak
ada atau hanya sedikit. Temuan pemeriksaan yang menyolok adalah vitritis
seringkali disertai dengan kondensat vitreus yang melayang bebas seperti bola
salju (snowballs) atau menyelimuti pars plana dan corpus ciliare seperti gundukan
salju (snow-banking). Peradangan bilik mata depan minimal tetapi jika sangat
14
jelas peradangan ini lebih tepat disebut panuveitis. Penyebab uveitis intermediate
tidak diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis dan multipel
sklerosis berperan pada 10-20% kasus. Komplikasi uveitis intermediate yang
tersering adalah edema makula kistoid, vaskulitis retina dan neovaskularisasi
pada diskus optikus.5,6
III.5 UVEITIS POSTERIOR
Uveitis posterior adalah peradangan yang mengenai uvea bagian posterior
yang meliputi retinitis, koroiditis, vaskulitis retina dan papilitis yang bisa terjadi
sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Gejala yang timbul adalah floaters,
kehilangan lapang pandang atau scotoma, penurunan tajam penglihatan.
Sedangkan pada koroiditis aktif pada makula atau papillomacular bundle
menyebabkan kehilangan penglihatan sentral dan dapat terjadi ablasio retina. 4
III.6 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan atau
memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi
penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu
diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi
yang tidak diharapkan. Adapun terapi uveitis dapat dikelompokkan menjadi :7
Terapi non spesifik :
1. Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat pemberian
midriatikum.
2. Kompres hangat
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang, sekaligus untuk
meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih cepat.
3. Midritikum/ sikloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan silier relaks,
sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan. Selain itu,
midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun
melepaskan sinekia yang telah ada.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
15
a. Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
b. Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
c. Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
4. Anti inflamasi
Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid, dengan dosis
sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %. Bila
radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler : :
a. Dexamethasone phosphate 4 mg (1 ml)
b. Prednisolone succinate 25 mg (1 ml)
c. Triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml)
d. Methylprednisolone acetate 20 mg
Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik Prednisone oral mulai 80 mg
per hari sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari.
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali.
Pada pemberian kortikosteroid, perlu diwaspadai komplikasi-komplikasi
yang mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada penggunaan lokal selama
lebih dari dua minggu, dan komplikasi lain pada penggunaan sistemik.
Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis
anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka obat
yang sering diberikan berupa antibiotik, yaitu :
Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid.
Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali.
Walaupun diberikan terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti disebutkan
diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang terjadi adalah sama tanpa
memandang penyebabnya.
Terapi terhadap komplikasi
16
1. Sinekia posterior dan anterior
Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior dan sinekia anterior,
perlu diberikan midriatikum, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
2. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis
anterior. Terapi yang harus diberikan antara lain:
Terapi konservatif :
Timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam
Acetazolamide 250 mg tiap 6 jam
Terapi bedah:
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih tetap tinggi.
a. Sudut tertutup : iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah terjadi
perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior Synechia atau PAS)
dilakukan bedah filtrasi.
b. Sudut terbuka : bedah filtrasi.
3. Katarak komplikata
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis. Terapi yang
diperlukan adalah pembedahan, yang disesuaikan dengan keadaan dan jenis
katarak serta kemampuan ahli bedah.
III.7 KOMPLIKASI
Komplikasi dari uveitis dapat berupa :7
a. Glaucoma, peninggian tekanan bola mata
Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga mengakibatkan
hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke bilik anterior. Penumpukan
cairan ini bersama-sama dengan sel radang mengakibatkan tertutupnya jalur dari
out flow aquos humor sehigga terjadi glaucoma. Untuk mencegahnya dapat
diberikan midriatika.
b. Katarak
Kelainan polus anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan penggunaan
terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat mengakibatkan gangguan
17
metabolism lensa sehingga menimbulkan katarak. Operasi katarak pada mata
yang uveitis lebih komplek lebih sering menimbulkan komplikasi post operasi
jika tidak dikelola dengan baik. Sehingga dibutuhkan perhatian jangka panjang
terhadap pre dan post operasi. Operasi dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas
inflamasi. Penelitian menunjukan bahwa fakoemulsifikasi dengan penanaman
IOL pada bilik posterior dapat memperbaiki visualisasi dan memiliki toleransi
yang baik pada banyak mata dengan uveitis.
c. Sinekia posterior à perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior
akibat sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas.
d. Sinekia anterior à perlekatan iris dengan endotel kornea akibat sel-sel radang,
fibrin, dan fibroblas.
e. Seklusio pupil à perlekatan pada bagian tepi pupil
f. Oklusio pupil à seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang
g. Endoftalmitis à peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di
dalamnya dengan abses di dalam badan kaca akibat dari peradangan yang meluas.
h. Panoftalmitis à peradangan pada seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul
tenon sehingga bola mata merupakan rongga.
BAB IV
PEMBAHASAN
18
Uveitis merupakan peradangan pada daerah uvea, dimana jaringan uvea ini terdiri
atas iris, badan siliar dan koroid. Secara anatomis, uveitis dibagi menjadi empat yaitu
uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior dan panuveitis. Uveitis anterior
adalah peradangan yang mengenai iris (iritis) dan jaringan badan siliar (iridosiklitis)
biasanya bersifat unilateral dengan onset akut.
Penyebab uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik (idiopatik iridosiklitis),
penyakit yang berhubungan dengan vaskulitis/arthritis (HLA-B27 iridosiklitis, juvenile
rheumatoid arthitis, ankylosing spondilitis, reiter syndrome, inflammatory bowel
disease), penyakit infeksi (Herpes simpleks keratouveitis, Herpes zoster keratouveitis),
penyakit neoplasma (leukemia/lymphoma) dan penyebab lain (Fuchs heterochromic
iridocyclitis, traumatic iridocyclitis, glaucomatocyclitis crisis).
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi, hal ini sesuai dengan keluhan pasien yaitu
hanya satu mata yang terjadi uveitis yaitu mata kiri. Sel-sel radang yang terdiri dari
limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang
yang menempel pada permukaan endotel kornea. Apabila prespitat keratik ini besar
disebut mutton fat.
Klasifikasi uveitis anterior dibagi menjadi uveitis non-granulomatosa dan
granulomatosa. Nongranulomatosa akut disertai rasa nyeri, fotofobia, penglihatan
buram, keratik presipitat kecil dan pupil mengecil. Sedangkan granulomatosa akut tidak
nyeri, fotofobia ringan, buram, keratik presipitat besar (mutton fat), benjolan Koeppe
atau benjolan Busacca. Pada pasien ini tergolong kelompok yang non granulomatosa.
Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pada penderita uveitis anterior adalah
nyeri, fotofobia, lakrimasi dan penglihatan kabur. Sesuai dengan anamnesis, pasien
19
memiliki keluhan fotofobia, lakrimasi dan penglihatan kabur. Fotofobia disebabkan
spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif terhadap cahaya. Lakrimasi
disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan
fotofobia.
Pada keluhan kabur, derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat
atau hilang timbul, tergantung penyebab, seperti: pengendapan fibrin, edema kornea,
kekeruhan akuos dan badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin dan bisa
juga disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kalsifikasi kornea.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus umumnya normal atau berkurang
sedikit, konjungtiva bulbi hiperemis, injeksi konjungtiva dan injeksi siliar, serta kornea
keruh karena udem dan keratik presipitat. Gambaran hiperemi merupakan hiperemi
pembuluh darah siliar sekitar limbus, berwarna ungu merupakan tanda patognomonik
dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas sampai pembuluh darah konjungtiva.
Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis. Hiperemi sekitar kornea
disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal
dapat difusi ke pembuluh darah badan siliar. Pupil membesar karena pasien
menggunakan obat tropin
Pada pasien ini terdapat penurunan tekanan bola mata dengan hasil pemeriksaan
menggunakan tonometri Schiotz adalah 4,0 mmHg, hal ini disebabkan adanya
gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar menyebabkan
tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel radang dapat
berkumpul di sudut camera okuli anterior sehingga terjadi penutupan kanal schlemm
sehingga terjadi glukoma sekunder. Keratik presipitat terjadi karena pengendapan sel
radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuoshumor,
gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian
20
tengah dan bawah dan juga difus. Keratik presipitat dapat dibedakan jadi baru dan lama
: baru bundar dan berwarna putih. lama mengkerut, berpigmen, lebih jernih Jenis sel :
lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan. Limfosit
kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas tegas, putih.
Ukuran dan jumlah sel : halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut,
retinitis/koroiditis, uveitis intermedia.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin untuk mencari
kemungkinan penyebab terjadinya uveitis. Akan tetapi hasil pemeriksaan darah rutin
pasien adalah dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dinilai
adalah Angiotensin converting enzyme (ACE), Antinuclear antibody (ANA) testing,
Complete blood count (CBC), Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),
Erythrocyte sedimentation rate (ESR), Human leukocyte antigen - B27 (HLA-B27)
typing. Jika sudah ditemukan penyebabnya, pasien dapat kita konsul ke bagian lain
untuk diterapi penyebabnya.
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini adalah Cendo tropin tetes mata
mengandung atropine sulfat yang merupakan kelompok midriatik siklopegik. Semua
sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan menghambat
neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis
anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu: mengurangi nyeri karena imobilisasi
iris, mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat
meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder,
menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.
Xitrol 6 x 1 tts/hari adalah obat tetes mata yang mengandung kombinasi
kortikosteroid dan antibiotic. Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan secepatnya
diberikan. Tujuan penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan uveitis anterior adalah
21
mengurangi peradangan, yaitu mengurangi produksi eksudat, menstabilkan membran
sel, menghambat penglepasan lysozym oleh granulosit, dan menekan sirkulasi limposit.
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea
sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus
obat topikal akan tergantung pada konsentrasi dan frekuensi pemberian, jenis
kortikosteroid, jenis pelarut yang dipakai, bentuk larutan.
Konsentrasi dan frekuensi pemberian, makin tinggi konsentrasi obat dan makin
sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya.
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason,
betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat
medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada
palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan
bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena
bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan
terlebih dahulu sebelum dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan
komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis
pupil, pseudoptosis dan lain-lain.
Prednisone oral (Metilprednisolon) dipergunakan pada uveitis anterior yang
dengan penggunaan steroid topical hanya berespon sedikit. Penghambat prostaglandin,
NSAIDs ( biasanya aspirin dan ibuprofen ) dapat mengurangi peradangan yang terjadi.
Sebagai catatan, NSAIDs dipergunakan untuk mengurang peradangan yang
dihubungkan dengan cystoids macular edema yang menyertai uveitis anterior.
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan
perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal
22
antara 12 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang
sehari(alternatingsingle dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal
selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis
diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu.
Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik adalah Uveitis posterior, Uveitis
bilateral, Edema macula, Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter). Pemakaian
kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang tidak
diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak
lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain.
Diagnosis banding pada kasus ini adalah konjungtivitis, dimana pada
konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada sekret mata dan
umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris. Keratitis atau
keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan fotofobia.
Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster dapat
menyertai uveitis anterior sebenarnya. Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia
posterior, dan korneanya beruap.
Kebanyakan kasus uveitis anterior berespon baik jika dapat didiagnosis secara
awal dan diberi pengobatan. uveitis anterior mungkin berulang, terutama jika ada
penyebab sistemiknya. Karena baik para klinisi dan pasien harus lebih waspada
terhadap tanda dan mengobati dengan segera. Prognosis visual pada iritis kebanyak
akan pulih dengan baik, tanp adanya katarak, glaucoma atau posterior uveitis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta : ”Anatomi dan Fisiologi mata” dalam ”Ilmu Penyakit Mata”. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, Edisi 3, 2008. Hal 1-12
2. Hartono. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. UGM. Yogyakarta. 2007
23
3. Riordan Paul – Eva et al : ”Anatomi dan Embriologi Mata” dalam : Riordan Paul –
Eva, et al : ”Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum”. Jakarta : EGC, edisi 17, 2009
4. Vaughan, Dale. General Ophtalmology (terjemahan), Edisi 14. Jakarta: Widya
Medika, 2000.
5. Ilyas, S, Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta : 2004
6. Department of Ophthalmology and Visual Sciences, The Chinese University of Hong
Kong Sept 2002. www.afv.org.hk/Uveitis/uveitis_3.jpg
7. Wijaya,Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang. Universitas Diponegoro.
8. PDSMI. Ilmu Penyakit Mata. PDSMI
24