lapsus dhf

27
7/18/2019 Lapsus Dhf http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 1/27 1 BAB I PENDAHULUAN Demam Berdarah dengue adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi virus dengue pada manusia sedangkan manifestasi klinis dan infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan demam berdarah dengue. Dengue adalah penyakit daerah tropis dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang umumnya menggigit pada siang hari. Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemis di Indonesia, sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta,  jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998. Penyebab meningkatnya jumlah kasus dan semakin  bertambahnya wilayah terjangkit antara lain karena semakin baiknya transportasi  penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam waktu singkat, adanya  pemukiman-pemukiman baru, penyimpanan-penyimpanan air tradisional masih dipertahankan, perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk yang masih kurang, vector nyamuk terdapat di seluruh pelosok tanah air (kecuali di ketinggian > 1000 m dari permukaan air laut) dan adanya 4 serotype virus yang  bersirkulasi sepanjang tahun. Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni  pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Upload: dewa-ayu-ratna-mahaprawitasari

Post on 02-Mar-2016

97 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 1/27

1

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Berdarah dengue adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit

akibat infeksi virus dengue pada manusia sedangkan manifestasi klinis dan infeksi

virus dengue dapat berupa demam dengue dan demam berdarah dengue. Dengue

adalah penyakit daerah tropis dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti,

nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang umumnya menggigit pada siang hari.

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemis di

Indonesia, sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta,

 jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang

terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar 

terjadi pada tahun 1998. Penyebab meningkatnya jumlah kasus dan semakin

 bertambahnya wilayah terjangkit antara lain karena semakin baiknya transportasi

 penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam waktu singkat, adanya

 pemukiman-pemukiman baru, penyimpanan-penyimpanan air tradisional masih

dipertahankan, perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk yang

masih kurang, vector nyamuk terdapat di seluruh pelosok tanah air (kecuali di

ketinggian > 1000 m dari permukaan air laut) dan adanya 4 serotype virus yang

 bersirkulasi sepanjang tahun.

Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama

kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang

optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan

kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik 

untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni

 pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit,

gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat

dilakukan secara efektif dan efisien.

Page 2: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 2/27

2

BAB II

LAPORAN KASUS

I.  IDENTITAS PASIEN

 Nama : Sdr. B

Jenis kelamin : laki-laki

Umur : 19 tahun

Suku bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : mahasiswa

Status marital : belum menikah

Alamat : jalan srikandi wirobolang

 No register : 13060395

Tanggal masuk : 10 juni 2013 pukul 21.50

II.  ANAMNESA

Keluhan utama :

 panas

Riwayat penyakit sekarang :

 panas sejak 3 hari yang lalu, panas naik turun di sertakan keringat

dingin. Mual dan muntah sejak 3 hari yang lalu, muntah sebanyak ±

5kali. Diare sejak 3 hari yang lalu, konsistensi encer. Pasien juga

mengeluh sakit di ulu hati, nafsu makan menurun. Pasien juga

mengeluhkan pusing berputar dan badan terasa lemas.

Riwayat penyakit dahulu :

Dulu tidak pernah sakit seperti ini. Tidak pernah masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.

Page 3: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 3/27

3

Riwayat social :

Di lingkungan sekitar rumah tiadak ada yang sakit seperti ini.

Riwayat alergi :

Tidak ada alergi obat maupun makanan.

III.  PEMERIKSAAN FISIK 

Keadaan umum : lemah

Kesadaran : compos mentis

Vital sign :

Tekanan darah : 120/80 mmHg

 Nadi : 72 x/menit

RR : 23 x/menit

Suhu : 37,50C

Kepala Leher

a/i/c/d : +/-/-/-

tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax

Pulmo : retraksi otot-otot costa (-)

Gerak nafas simetris

Sonor pada hemithoraks kanan dan kiri

Wheezing -/- , rhonki -/-

Cor : S1 S2 reguler , murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, tidak terlihat penonjolan massa

Page 4: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 4/27

4

Palpasi : nyeri tekan pada adaerah epigastrium, pembesaran hepar 

(-), pembesaran lien (-)

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus normal

Ekstermitas

Superior : Akral hangat, odema (-),uji tourniqet (+), petekie (+)

Inferior : Akral hangat, odema (-),uji tourniqet (+), petekie (+)

IV.  DIAGNOSIS

Demam Berdarah Dengue derajat II

V.  DIAGNOSIS BANDING

1.  Chikungunya haemorragic fever 

2.  Idiopathic thrombocytopenic purpura

3.  Demam tifoid

4.  Malaria

VI.  PENATALAKSANAAN

1.  Non Medikamentosa

• Tirah baring 

• Minum banyak , jenis minuman : air bening, teh manis, sirup, jus

 buah, susu, oralit

• Diet tinggi kalori tinggi protein 

•Observasi tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu, frekuensi pernafasan)

• Awasi perdarahan 

• Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam

Page 5: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 5/27

5

2.  Medikamentosa

• Infus IVFD RL : D5% xx tpm 

• Cefotaxime 2x1gr iv/12 jam 

• Ranitidine 2x1 amp iv/12 jam

• Ondansentron 2x1 amp iv/12 jam 

• Paracetamol 3x500 mg 

• Neurodex 2x1tab 

• Kalnex 3x500 mg 

VII.  PEMERIKSAAN PENUNJANG

DARAH LENGKAP

Hemoglobin 16,3 g/dl 13-16,5 g/dl

Lekosit 4.020 /ul 4.000-11.000 /ul

Trombosit 74.000 /ul 150.000-350.000 /ul

Hematokrit 49% L: 40-54% P : 35-47%

FUNGSI HATI (LFT)

Billirubin direct 0,13 mg/dl ≤0,5 mg/dl 

Billirubin total 0,62 mg/dl ≤1,0 mg/dl 

SGOT 53 U/I ≤31 U/I 

SGPT 51 U/I ≤31 U/I 

FUNGSI GINJAL (RFT)

BUN 10,1 mg/dl 10-20 mg/dl

Creatinin 0,9 mg/dl 0,5-1,7 mg/dl

Uric acid 5,3 mg/dl L : 3-7 ; P : 2-6 mg/dl

Page 6: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 6/27

6

VIII.  SOAP

11 Juni 2013

S : pasien mengeluhkan perut mules, mual (+), muntah (-), pusing (+),

 panas ±4 hari, BAB berwarna hitam, BAK (+)

O : KU : lemah, Kesadaran : composmentis

TD : 110/70 mmHg

 N : 76x/mnt

RR : 20x/mnt

t : 36,80C

Trombosit : 71.000 /cmm

Leukosit : 2.350 /cmm

A : Demam Berdarah Dengue derajat II

P : inf RL

Inj Ranitidin

Inj ondansentron

Inj sohobion

Inj cefotaxim

Inj asam tranexamat

12 Juni 2013

S : pasien mengeluhkan masih pusing, panas pada malam hari, keringat

dingin pada malam hari, mual (-), muntah (-), mimisan 1x, BAB

 berwarna hitam, BAK (+)

O: KU : lemah, kesadaran : composmentis

TD : 110/70 mmHg

 N : 80x/mnt

RR : 20x/mnt

t : 36,60C

 petchie (+), rumpled test (+)

trombosit : 5.000 /cmm

leukosit : 1.790 /cmm

Page 7: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 7/27

7

A: Demam Berdarah Dengue derajat II

P : inf RL

Inj Ranitidin

Inj ondansentron

Inj sohobion

Inj cefotaxim

Inj asam tranexamat

13 Juni 2013

S : pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan.

O : KU : cukup, kesadaran : compos mentis

TD : 110/70 mmHg

 N : 78x/mnt

RR : 18x/mnt

t : 36,40C

 petchie (+), rumpled test (+)

trombosit : 18.000 /cmm

leukosit : 2.700 /cmm

A : Demam Berdarah Dengue derajat II

P : inf RL

Inj Ranitidin

Inj ondansentron

Inj sohobion

Inj cefotaxim

Inj asam tranexamat

14 Juni 2013

S : pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan.

O : KU : cukup, kesadaran : composmentis

TD : 120/80 mmHg

 N : 78x/mnt

Page 8: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 8/27

8

RR : 22x/mnt

t : 36,50C

 petchie (+), rumpled test (+)

trombosit : 53.000 /cmm

leukosit : 5.150 /cmm

A : Demam Berdarah Dengue derajat II

P : inf RL

Inj Ranitidin

Inj ondansentron

Inj sohobion

Inj cefotaxim

Inj asam tranexamat

15 Juni 2013

S : pasien mengatakan BAB berwarna hitam, panas (-), mual (-),

muntah (-), pusing (-)

O : KU : cukup, kesadaran : compos mentis

TD : 110/70 mmHg

 N : 82x/mnt

RR : 20x/mnt

t : 36,30C

 petchie (+), rumpled test (+)

trombosit : 89.000 /cmm

leukosit : 14.150 /cmm

A : Demam Berdarah Dengue derajat II

P : inf RL

Inj Ranitidin

Inj ondansentron

Inj sohobion

Inj cefotaxim

Inj asam tranexamat

Page 9: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 9/27

9

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang

disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD

adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.

Gambar 2.1. Spektrum klinis infeksi virus dengue

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (Gambar 

2.1.):

1.  Demam tidak terdiferensiasi

2.  Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,

ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri

retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau

uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau

ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD

 pada lokasi dan waktu yang sama

3.  DBD (dengan atau tanpa renjatan).

Page 10: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 10/27

10

2.2. Etiologi

Virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus

(Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae

dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN – 1, DEN – 2, DEN – 3, DEN – 4.

Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di

 beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan dan

 bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN  –  3 merupakan serotype yang

dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang

 berat.

Gambar 2.2. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue

2.3. Patogenesis dan Patofisiologi

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus

dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan

kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes

albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga

menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk 

Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia

yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur 

 berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum

dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali

virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut

Page 11: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 11/27

11

akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus

memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum

menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat

terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2

hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel

hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel

manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan

 protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya

tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya

tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat

menimbulkan kematian.

Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan

masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD

adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau

hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung

 bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus

dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita

DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus

lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi

yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama

makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh

tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu

 proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel

mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi

mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas

 pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary

heterologous infection dapat dilihat pada gambar 2.3. yang dirumuskan oleh

Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang

Page 12: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 12/27

12

 berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi

dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit

dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,

replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan

akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan

terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang

selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan

C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding

 pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang

ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang

sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma

ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar 

natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok 

yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,

yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna

mencegah kematian.

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus

 binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus

mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.

Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan

 peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai

 potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai

kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut

didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

Page 13: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 13/27

13

Gambar 2.3. Patofisiologi terjadinya syok pada DBD

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi

selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit

dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh

darah (gambar 2.4.). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada

DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di

 phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan

trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi

trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet

faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi

intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen

degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Page 14: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 14/27

14

Gambar 2.4. Patofisiologi perdarahan pada DBD

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga

walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,

aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi

aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang

dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD

diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID),

kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,

 perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

Page 15: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 15/27

15

2.4. Manifestasi Klinis

  Demam

Demam tinggi yang mendadak, terus  –  menerus berlangsung

selama 2  –  7 hari, naik turun (demam bifasik). Kadang  –  kadang suhu

tubuh sangat tinggi sampai 40 oC dan dapat terjadi kejang demam. Akhir 

fase demam merupakan fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada

saat fase demam sudah mulai menurun hati – hati karena fase tersebut

sebagai awal kejadian syok, biasanya pada hari ketiga dari demam.

  Tanda-tanda perdarahan

Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah

vaskulopati, trombositopenia, gangguan fungsi trombosit serta koagulasi

intravaskuler yang menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah

 perdarahan bawah kulit seperti ptekia, purpura, ekimosis dan perdarahan

konjungtiva. Ptekia merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan.

Muncul pada hari pertama demam tetepai dapat pula dijumpai pada hari ke

3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu, epitaksis, perdarahan gusi, melena

dan hematemesis.

  Hepatomegali

Pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit

 bervariasi dari hanya sekedar diraba sampai 2 – 4 cm di bawah arcus costa

kanan. Derajat hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya penyakit,

namun nyeri tekan pada daerah tepi hepar berhubungan dengan adanya

 perdarahan.

  Syok 

Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis

menghilang setelah demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan

 pada denyut nadi dan tekanan darah, akral teraba dingin disertai dengan

kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi,

sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau

sementara. Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi

 buruk setelah beberapa hari demam pada saat atau beberapa saat setelah

Page 16: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 16/27

16

suhu turun, antara 3 – 7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba

dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar 

mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil sampai tidak teraba.

2.5. Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,

 jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif 

disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia

umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi

dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya

gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,

Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah

albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui

 pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara

tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi

virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu

yang lama (lebih dari 1 – 2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena

keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler 

dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse

transcriptionpolymerase  chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR 

memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan

isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami

kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan

yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan

mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai

hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.

Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi

sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.

Page 17: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 17/27

17

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)

dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada

hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat

ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi

dengan USG.

2.6. Diagnosis 

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua

hal ini terpenuhi:

1.  Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik 

2.  Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif,

 petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan

melena

3.  Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm3)

4.  Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:

  Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan

 jenis kelamin.

  Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

  Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,

hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:

  Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

 perdarahan adalah uji torniquet.

  Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan

 perdarahan lain.

  Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,

sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.

  Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Page 18: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 18/27

Page 19: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 19/27

19

2.8. Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.

Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran

 plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.

Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah

 pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan

terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak 

demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan

cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada

kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai

apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap

kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun

asites yang masif perlu selalu diwaspadai.

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada

trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang

cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran

cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol,

serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin

ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko

terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan

DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini

terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:

1.  Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 2.6).

2.  Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 

2.7).

3.  Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 

2.8).

4.  Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.

5.  Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 2.9).

Page 20: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 20/27

20

Gambar 2.6. Penanganan tersangka DBD tanpa syok  

Gambar 2.7. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat 

Page 21: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 21/27

21

Gambar 2.8. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

Page 22: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 22/27

22

Gambar 2.9. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Page 23: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 23/27

23

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan

khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis

cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.

Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang

intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan

salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid

sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,

kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang

sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan

lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu

sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan

efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan

kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan

hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam

 pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan

menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat

sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular)

dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu

 jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke

dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa

keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga

terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan

dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa

keunggulan yaitu pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi

volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih

lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan

oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa

kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko

anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid

Page 24: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 24/27

24

terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:

hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom

renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi

hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada

kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan

 penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di

Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.

Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya

kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan

 berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan

rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma.

Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg,

adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma

yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam.

Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil

adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar 

hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih

 berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau

masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis

 pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi

hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau

tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil

secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil

(lihat protokol pada gambar 2.8 dan 2.9). Pada kondisi di mana terapi cairan telah

diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan

kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan

terjadinya perdarahan internal.

Page 25: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 25/27

25

2.9. Prognosis 

Dubia ad bonam

2.10. Pencegahan

Memutuskan rantai penularan dengan cara :

1.  Menggunakan insektisida

  Malathion (adultisida) dengan pengasapan

  Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan air 

 bersih.

2.  Tanpa insektisida

  Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih minimal

1x seminggu.

  Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.

  Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-

 botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk 

 bersarang.

Page 26: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 26/27

26

BAB IV

KESIMPULAN

1.  Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak dan

dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya

memburuk pada hari kedua.

2.  Virus Dengue tergolong dalam grup Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN 3

merupakan serotip yang paling banyak.

3.  Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti.

4.  Gejala utama demam berdarah dengue (DBD) adalah demam, pendarahan,

hepatomegali dan syok.

5.  Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua

criteria klinis ditambah trombositopenia dan peningkatan hematokrit cukup

untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue.

6.  Penatalaksanaan demam berdarah dengue bersifat simtomatik yaitu mengobati

gejala penyerta dan suportif yaitu mengganti cairan yang hilang.

7.  Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan

akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu

diperhatikan adalah jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik 

secara klinis maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.

Page 27: Lapsus Dhf

7/18/2019 Lapsus Dhf

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-dhf-56d6e2a758b0c 27/27

DAFTAR PUSTAKA

Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue:an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6

World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue

haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17

World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue

shock syndrome in the context of the integrated management of childhood

illness. Department of Child and Adolescent Health and Development.

WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan LingkunganDepartemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan

lingkungan. Jakarta, 2007

Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana

 pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34

Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:

Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4.

Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9

Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik 

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat

Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8

Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di

Indonesia. Depkes RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004