kernikterus fix[1]

Upload: rahmat

Post on 06-Jan-2016

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kernikterus

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUANA. Latar BelakangEnsefalopati bilirubin atau kernikterus merupakan komplikasi ikterus neonatorum non fisiologis sebagai akibat efek toksik bilirubin tak terkonjugasi terhadap susunan syaraf pusat (SSP) yang dapat mengakibatkan kematian ataupun apabila bertahan hidup menimbulkan gejala sisa yang berat.10Kernikterus adalah istilah lain dari ensefaopati bilirubin yang berarti yellow kern titik-titik warna kuning yang terjadi mengenai sebagian besar struktur SSP, yang ditemukan pada autopsi bayi yang meninggal karena ensefalopati bilirubin. Kernikterus lebih sering terjadi pada bayi kurang bulan (BKB) dan pada bayi cukup bulan (BCB) kadar bilirubinnya sangat tinggi.5Ikterus neonatorum adalah pewarnaan kuningpada kulit, mukosa akibat peninggian kadar bilirubin di dalam serum/ darah. Secara klinis Nampak pada daerah muka bilamana kadar bilirubin serum mencapai 5-7 mg/dl.9Sebagian besar neonates mengalami ikterus neonatorum fisiologis pada BCB sekitar 60%-70% sedangkan pada BKB leebih tinggi.4 Sebagian nesar kejadian ikterus neonatorum bersifat fisiologis, namun yang non fisiologis harus diwaspadai sebab dapat menimbulkan komplikasi yang berat baikgejala sisa bagi yang hidup maupun yang fatal jika pengobatan terlambat.10Madan dkk (2010) mengatakan bahwa ensefalopati bilirubin merupakan manifestasi klinis dari efek toksis bilirubin di SSP, sedangkan istilah kernikterus didefinisikan sebagai suatu perubahan neuropatologi yang ditandai deposisi pigmen pada beberapa daerah di otak terutama ganglion basalis, pons, dan cerebellum.Menurut Spinger (2009), kern ikterus merupakan diagnosis patologi anatomi. Angka kematian akibat kernikterus 3,75%, angka morbiditas (termasuk gejala sisa) 86%. Madan dkk. (2010) melaporkan akngka kematian akibat kernikterus tinggi (50%), sisanya yang hidup akan mengalami morbiditas jangka panjang akibat kerusakan SSP berupa palsy cerebral, khoreoathetosis, tuli sensori frekuensi tinggi, dan mental retardasi.Sampai sekarang kerinkterus sering terjadi tetapi sebagian besar masih bias dicegah/ dihindarai apabila petugas kesehatan (paramedic, dokter) yang terlibat dalam penanganan neonatus mengikuti dan melaksanakan petunjuk tatalaksanan ikterus neonatorum. 11.B. Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah mengetahui tentang definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis kernikterus di bidang ilmu kesehatan anak.II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiKerinkterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek/ tak terkonjugasi dalam sel otak. Kernikterus ialah kerusakan otak akibat perlekatan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus, hipokampus, dan nucleus pada dasar ventrikel IV.3B. EpidemiologiKernikterus terjadi di semua bagian dunia akan tetapi yang berhubungan akibat dari defisiensi enzim G6PD adalah lenih banyak daripada penyebab lain. Jumlah tersebut enurun pada decade 1970 dan 1980, selanjutnya pada dekade 1990 dan 2000 menigkat lagi. Keadaan tersebut kemungkinan berhubungan dengan BCB pulangkan lebih dini, sehingga follow up BCBkurang terutama bayi dengan risiko kecil/ rendah.8Untuk beberapa tahun terakhir dokter anak mempertimbangkan bahwa mereka meningkatkan kemampuan life saving terhadap BBL dan kehamilan lebih dini, yang menghasilkan ketidakmampuan mengatasi morbiditas dalam kelangsungan hidupnya. Tampaknya sebagai penyebabnya adalah multifaktorial.8Di Amerika, ikterus neonatorum cenderung meningkat. Sebagian esar neonates pada mingu pertama terjadinya peningkatan bilirubin indirek. Kejadian ikterus neonatorum meningkat pada BBL di Asia Timur, Indian Amerika dan Yunani.8C. Klasifikasi1. Stadium 1 Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang. 2. Stadium 2 Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas. 3. Stadium 3 Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu. 4. Stadium 4 Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata ke atas, displasia mental.1D. Faktor RisikoJohnson Brown (2009) mengatakan bahwa faktor-faktor risiko ensefalopati bilirubin/ kernikterus diantaranya adalah prematuritas, penyakit hemolitik terutama rhesus, ABO, defisiensi enzim G6PD, galaktosemia sindroma Crigler-Najjar, sepsis neonatorum.8 Menurut Hansen (2004) sebagai faktor risiko ikterus neonatorum baik fisiologis maupun non fisiologis berhubungan dengan keadaan tertera berikut ini:1. Ras. Kejadian bilirubin ensefalopati tinggi pada bayi di Asia Timur dan Amerika Indian, daripada Amerika Afrika.2. Geografi. Kejadian lebih tinggi pada bayi dan ibu yang tinggal di daerah pegunungan tinggi.3. Faktor genetik dan famili. Saudara kandung yang menderita ikterus neonatorum, mutasi gen (gen UDPGT): Gilbert syndrome, dan homozygot/ heterozygot defisiensi G6PD.4. Nutrisi. Kejadian meningkat pada bayi yang diberikan ASI.5. Faktor ibu. Kejadian meningkat pada bayi dari ibu yang menderita diabetes mellitus (DM), ibu pengguna obat-obatan.6. BKB, BBLR. Bayi kurang bulan dan berat bayi lahir rendahAmerican Academic of Pediatric (AAP) 2004 mengelompokkan faktor risiko menjadi 3 kelompok:1. Risiko mayora. kadar TSB/TCB pada zona / daerah risiko tinggi (fig.2)b. ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.c. uji antiglobulin direk positif, penyakit hemolitik lain (defisiensi G6PD), peningkatan ETCO.d. usia kehamilan 35-36 minggu.e. saudara sebelumnya mendapat terapi sama.f. sefalhematom atau memar hebatg. ASI eksklusif, terutama bila perawatan tak baik dan terjadi penurunan berat badan.h. Ras Asia Timur2. Risiko minora. kadar TSB atau TCB pada area highinter- mediate risk.b. usia kehamilan 37-38 minggu.c. observasi ikterus sebelum pulang.d. saudara kandung sebelumnya ikterus.e. bayi makrosomia dari ibu DM.f. Usia ibu = 25 tahun.g. Bayi laki-laki.3. Faktor risiko yang menurun (rendah):Faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya risiko ikterus yang bermakna:a. TSB/TCB pada tingkat area zona low risk b. Kehamilan = 41 minggu.c. PASI/formulad. Ras kulit hitame. Pulang dari RS setelah usia 3 hari.Pada umumnya ikterus terjadi pada minggu pertama kehidupan, hal ini berhubungan dengan beberapa faktor:71. Peningkatan produksi bilirubin sebagai akibat turn over cell darah merah yang lebih tinggi dan penurunan rentang masa hidup eritrosit2. Penurunan ekskresi bilirubin sebagai akibat penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik. Pada umumnya ekskresi bilirubin membaik setelah usai 1 minggu.Keadaan-keadaan yang memperberat ensefalopati bilirubin adalah asidosis, obat-obatan yang melepas ikatan albumin bilirubin (sulfonamide), hipoalbumin, hipoglikemia, dan hipotermia.

E. PatogenesisSawar darah otak (blood brain barrier) adalah suatu lapisan yang terdiri dari pembuluh darah kapiler yang mempunyai sel endotel dengan tight junction khas yang berfungsi membatasi serta mengatur pergerakan molekul antara darah dan SSP. Pada kondisi sawar darah otak normal yang dapat menembus barier ini adalah bilirubin indirek bebas (yang tidak terikat albumin). Pada kondisi abnormal adanya brain injury (trauma serebral) diperberat keadaan hipoksemia, acidemia, hiperkapnia, hipoalbumin, bilirubin yang terikat pun dapat melewati/menembus sawar darah otak. (Gambar 1).12

Gambar 1. Patogenesis ensefalopati bilirubin/ kernikterusMekanisme Bilirubin masuk ke dalam susunan Syaraf Pusat (SSP)

1. Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik

Bilirubin indirek yang bebas bersifat lipofilik dapat menembus sawar darah otak dan masuk ke sel neuronotak, selanjutnya terjadi presipitasi dalam membrane sel saraf. Keadaan asidosis, hipoalbuminemia akan meningkatkan jumlah bilirubin bebas ke dalam jaringan otak.

2. Bilirubin indirek dalam bentuk monoamnion

Bilirubin indirek dalam plasma berkaitan dengan albumin dalam bentuk di anion setelah disosiasi denga 2 ion H (hydrogen). Suasana asam bilirubin indirek cenderung membentuk mono anion (bilirubin acid) serta menyebabkan penurunan afinitas albumin bilirubu=in indirek. Pada bentuk tersebut akan meningkatkan presipitasi di dalam jaringan serta dapat menembus sawar otak.3. Kerusakan sawar otak

Kadar P-glikoprotein (P-gp) adalah suatu substrat dalam sawar darah otak yang dapat membatasi masuknya bilirubin ke dalam SSP. Pada kerusakan sawar otak, zat tersebut mengalami penurunan sehingga bilirubin indirek bebas dapat menembus sawar otak yang mengakibatkan presipitasi bilirubin indirek di dalam SSP.12 Dampak Toksik Bilirubin terhadap Sel Syaraf

Berdasarkan temuan histologi dan biofisika penelitian Madan (2005), mekanisme toksisitas bilirubin terhadap sel saraf adalah sebagai berikut:

1. Bilirubin masuk ke dalam sel-sel neuron sehingga menyebabkan2. Gangguan neurotransmisi merupakan tahap awal dan toksisitasn bilirubin yang bersifat reversible pada aktivitas auditory brain stem responses.3. Mekanisme penting terhadap toksisitas bilirubin adalah menghambat enzim fosforilase sinapsis 1 dan reseptor non channel N-methyl-D-aspartate yang berfungsi untuk pelepasan neurotransmitter4. Penumpukan bilirubin akan menimbulkan perubahan potensial membrane dan potensial aksi yang akan mempengaruhi transmisi neurotransmitter sinaps.5. Hal yang esensial pada pathogenesis ensefalopati bilirubin dan ireversibel adalah kerukan mitokondria sebagai akibat dari presipitasi bilirubin acid dalam membrane fosfolipid, sehingga menyebabkan disfungsi mitokondria (lihat tabel 1 dan Gambar 2).Tabel 1. Patofiologi efek toksis bilirubin11Lokasi uptake bilirubinEfek pada sel syarafDampak (durasi)

Agregasi bilirubin indirekMenurunkan potensial aksiReversibel (sementara)

pada sel syaraf terminalMenurunkan konduksi

auditory brain stem

Bilirubin indirek terikatGangguan transfer zat,Sementara, dapat dicegah

pada komponen selsintesis neurotransmiter,dengan equivalen albumin

fungsi mitokondria

Retrograde uptake bilirubinDisfungsi dan kematianPermanen

indirek oleh sel syarafsel syaraf pada sindrom

klinis akut

Piknosis dan gliosis sel syaraf,Gejala sisaPermanen

pigmentasi bilirubin indirek

pada area lesi

Gambar 2. Autopsi ensefalopati bilirubinF. Manifestasi KlinisEnsefalopati bilirubin adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh kelainan/ kerusakan susuan saraf pusat akibat toksisitas bilirubin.6 Ensefalopati bilirubin terjadi sebagai akibat kadar total serum bilirubin melebihi infantile neuroprotective defenses yang menyebabkan kerusakan sel saraf pusat terutama di daerah ganglia basalis, korteks serebri, saraf pendengaran serebral dan perifer, hippocampus, diensefalon, nucleus subthalamicus, batang otak (mid brain), cerebellum, pons, batang otak untuk fungsi okulomotor dan respirasi, neurohormonal serta regulasi elektrolit.10

Johnson & Brown (2009) dan Hansen (2004) mengatakan bahwa gambaran klasik kernikterus timbul bila kadar bilirubin total serum antara 26-50 mg/dl. Watchko (2005) dengan cut off point bilirubin serum >30 mg/dl. Sedangkan Maisel (2005) menulis apabila bilirubin darah mencapai 25-30 mg/dl. Kepekaan SSP terhadap toksisitas bilirubin bervariasi dipengaruhi oleh jenis/ tipe sel, maturitas SSP, metabolism SSP. Pada SSP yang sedang dalam proses diferensiasi cenderung lebih rentan terhadap bilirubin, hal ini terjadi pada BKB.9

Manifestasi klinis ensefalopati bilirubin terdiri dari 2 tahapan sesuai dengan proses perjalanan penyakit. Fase akut yang diikuti ensefalopati bilirubin akut dan fase kronis yaitu ensefalopati bilirubin kronis yang disebut juga kernikterus.41. Ensefalopati bilirubin akut

a. Fase awal (early phase)

Timbulnya beberapa hari pertama kehidupan. Klinis BBL tampak ikterus berat (lenih dari kremer 3). Terjadi penurunan kesadaran, letargi, reflek hisap lemah dan hipotonia. Terapi dini dan tepat akan memberikan prognosis lebih baik.b. Fase intermediate (intermediate phase)

Merupakan lanjutan dari fase awal, tindakan terapi transfuse tukar emergensi dapat mengembalikan perubahan susunan saraf pusat dengan cepat. Fase ini ditandai stupor yang moderat/sedang, ireversibel, hipertonia dengan retrocollis otot-otot leher serta opistotonus otot-otot punggung, panas, tangis mlengking (high-pitched cry) yang berlanjut berubah menjadi mengantuk dan hipotonia. c. Fase lanjut (advanced phase)

Fase ini terjadi pada BBL setelah usia 1 minggu kehidupan yang ditandai dengan retrocollis dan opistotonus yang lebih berat, tangisnya melengking, tak mau minum/menetek, apnea, panas, stupor dalam sampai koma, kaang-kadang kejang dan meninggal. Dalam fase ini kemungkinan kerusakan SSP irreversibel/ menetap.2. Ensefalopati bilirubin kronis (chronic bilirubin encephalopathy/ Kernicterus)Ensefalopati bilirubin kronis disebut juga kernikterus. Perjalanan penyakit berlangsung lamban setelah bentuk akut terjadi awal tahun pertama kehidupan. Secara klinis dibedakan dalam 2 fase. Fase awal terjadi dalam tahun pertama kehidupan dengan gejala klinis hipotonia, hiperefleksi, keterlambatan perkembangan motorik milestone dan timbulnya reflex tonik leher. Fase setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan ekstrapiramidal, gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual minor dapat tejadi.

a. Gangguan ekstrapiramidal, koreoathetosis merupakan kelainan umum yang Nampak. Ekstremitas atas biasanya lebih berat daripada ekstremitas bawah. Keadaan tersebut gisebabkan adanya kerusakan pada ganglia basalis yang mana merupakan gambaran klasik/khas dari ensefalopati bilirubin kronis.

b. Gangguan penglihatan, gerakan bola mata terganggu, paralisis dari upward gaze. Kelainan tersebut sebagai akibat dari kerusakan nucleus nervus kranialis di batang otak.

c. Gangguan pendengaran, kelainan pendengaran merupakan kelainan yang menetap dan paling berat ditemukan, tuli pendengaran terhadap frekuensi tinggi, baik derajat ringan sampai berat. Kelainan ini disebabkan kerusakan nucleus kokhlearis di batang otak serta nervus auditorius yang sangat peka terhadap toksisitas bilirubin indirek walaupun pada kadar yang relatife rendah. Tampak secara klinis keterlambatan perkembangan bicara, oleh sebab itu pemeriksaan fungsi pendengaran harus dilakukan secepat mungkin pada bayi berisiko tinggi terhadap ensefalopati bilirubin kronis.

d. Gangguan pada gigi, dapat dijumpai adanya dysplasia dental-enamel setelah usia bayi bulan ke-9.

e. Gangguan/ defek kognitif, pada kernikterus tidak mencolok atetosis atau korea dengan defek pendengaran yang terjadi dapat memberika impresi salah dari gangguan mental (mental retardasi).

G. DiagnosisSecara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Tanda-tanda dan gejala-gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut2. Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau disfungsi otak minimal yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai anak masuk sekolah.3Neuropatologi Kernikterus

Kernikterus adalah diagnosis patologgis hasil autopsy pada kasus ensefalopati bilirubin yang meninggal, yaitu pewarnaan kuning pada struktur saraf yang mengenai sebagian besar jaringan otak meliputi ganglia basalis (globus palidus dan nucleus subthalamik) hippocampus, geniculate bodies, nucleus saraf cranial (vestibulokoklearis, okulomotorius, dan fasialis) nucleus cerebralis, serebelum.3H. Diagnosis banding1. Sepsis2. Asfiksia3. Hipoglikemia I. PenatalaksanaanTatalaksana umum meliputi, hidrasi pemberian cairan sesuai dengan berat badan dan usia postnatal, obat-obatan (fenobarbital, in-protoporphyrin), dan pemberian albumin sebelum dilakukan transfusi tukar.

Fototerapi

Terapi terhadap ancaman ensefalopati bilirubin adalah fototerapi (intensif), apabila tidak memenuhi criteria/ indikasi fototerapi (Tabel 2 dan tabel 3).Tabel 2. Indikasi fototerapi berdasarkan TSB (WHO)Usia (Hari) mg/dlBCB sehat mol/dL Bayi faktor risiko* mg/dl mol/dl

1 Kuning terlihat pada bagian tubuh manapun

21526013220

31831016270

=42034017290

* faktor risiko meliputi bayi kecil (