isi laporan
DESCRIPTION
jvytdtugygyuvfucuvTRANSCRIPT
SKENARIO 2
Bersin - Bersin
Seorang mahasiswi berusia 19 tahun datang ke klinik dengan keluhan bersin-
bersin sejak 2 hari yang lalu. Jika serangan bersin timbul dituturkan hingga >5x
bersin. Sebelum bersin-bersin hidung terasa gatal. Selain gatal juga keluar cairan
yang berwarna jernih dan encer dari hidung serta tidak berbau. Sering kali hidung
terasa tersumbat sehingga membua sulit bernapas. Mata dan langit-langit terasa gatal
dan berair. Pasien memiliki keluhan yang sama sebelumnya dan sering kambuh saat
cuaca dingin. Riwayat alergi diakui jika memakan kacang tanah akan timbul
kemerahan di kulit dan gatal.
1
I. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Hidung
Terdiri atas nasus externus (hidung luar) dan cavum nasi (Snell, 2006).
2. Alergi
Keadaan hipersensitifitas yang diinduksi oleh pajanan terhadap suatu antigen
(allergen) tertentu yang menimbulkan reaksi immunologic berbahaya pada
pajanan berikutnya (Dorland, 2011).
2
II. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi organ yang terkait?
2. Mengapa pasien mengeluh bersin-bersin sejak 2 hari yang lalu?
3. Mengapa pasien merasakan hidungnya tersumbat?
4. Mengapa pasien merasakan mata dan langit-langit gatal dan berair?
5. Apa hubungan keluhan pasien dengan kekambuhan dan cuaca dingin?
6. Apa hubungan riwayat alergi dengan keluhan pasien?
7. Apa saja diagnosis banding yang tepat pada skenario?
1.
3
III. ANALISIS MASALAH
1. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi organ yang terkait?
Anatomi
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke
bawah :
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Dorsum nasi
c. Puncak hidung
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars
transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot – otot tersebut
menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi
eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks
sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada
bagian inferior disebut nares, yang pada bagian superior dibatasi oleh os
frontal, os nasal, os maksila. Sedangkan pada bagian inferior dibatasi oleh
kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor. Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi
eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.
Perdarahan :
a. Arteri nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang
dari A. Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
b. Arteri nasalis posterior (cabang A. Sfenopalatinum, cabang dari A.
Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna)
c. Arteri angularis (cabang dari A. Fasialis)
4
Persarafan :
a. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
b. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
2. Cavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua
ruangan yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior).
Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa
kranial anterior dan fossa kranial media. Batas – batas kavum nasi :
a. Posterior : berhubungan dengan nasofaring
b. Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
c. Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir
horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada
bagian atap. Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum
durum.
d. Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi
dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian
dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars
membranosa = kolumna = kolumela.
e. Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari
tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang
terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah
resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang –
kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian
ini (Snell, 2006).
5
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.
sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale
anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai
pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama – sama arteri.
Persarafan :
a. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus
yaitu N. Etmoidalis anterior
b. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion
pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian
menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.
c. Saraf Parasimpatis
Dipersyarafi oleh N. nasalis posterior inferior dan superior cabang dari
ganglion sphenopalatina. Mempunyai efek untuk sekresi mucus dan
vasodilatasi.
d. Saraf simpatis
Berasal dari ganglion servical superior (Daniel, 2013).
3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan
fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran
udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia
menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna
merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet (Snell, 2006).
6
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum
nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa
mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental
dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium).
Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan
sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan (Snell, 2006).
4. Sinus Paranasal
1. Sinus maxilaris
Merupakan sinus para nasal terbesar
2. Sinus Frontalis
Terletak di tubula externa dan tubula interna osis frontalis
3. Sinus ethmoidalis
Terdiri dari beberapa rongga kecil yaitu cellulae ethmoidalis
4. Sinus spenoidalis
Terdapat pada corpus osis spenoidalis (Snell, 2006).
Histologi
1. Epitel organ pernafasan yang biasa berupa toraks bersilia,
bertingkat palsu, berbeda-beda pada berbagai bagian hidung,
bergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian
pula suhu, dan derajat kelembaban udara. Mukoa pada ujung
anterior konka dan septum sedikit melampaui internum masih
7
dilapisi oleh epitel berlapis torak tanpa silia, lanjutan dari epitel
kulit vestibulum. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel
menjadi toraks bersilia pendek dan agak ireguler. Sel-sel meatus
media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi
memiliki silia yang panjang dan tersusun rapi.
2. Lamina propria dan kelenjar mukosa tipis pada daerah dimana
aliran udara lambat atau lemah. Jumlah kelenjar penghasil secret
dan sel goblet, yaitu sumber dari mucus, sebanding dengan
ketebalan lamina propria.
3. Terdapat dua jenis kelenjar mukosa pada hidung, yakni kelenjar
mukosa respiratori dan olfaktori. Mukosa respiratori berwarna
merah muda sedangkan mukosa olfaktori berwarna kuning
kecoklatan.
4. Silia, struktur mirip rambut, panjangnya sekitar 5-7 mikron,
terletak pada permukaan epitel dan bergerak serempak secara
cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan
kembali tegak secara lambat.
5. Mukosa respiratory :
a. Terdapat pada sebagian besar rongga hidung
b. Terdapat epitel torak berlapis semu dengan silia
c. Mengandung sel goblet
d. Banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid
e. Warna merah muda, selalu basah (ada mukosa blanket)
6. Mukosa olfactorius (penghidu) :
a. Terdapat pada rongga hidung, concha superior, dan 1/3 atas septum
nasi
b. Terdapat epitel berlapis torak tanpa silia, yang mengandung sel
penunjang, sel basal, dan sel reseptor penghidu
c. Berwarna coklat kekuningan
8
d. Akan mengalami vasodilatasi dan konstriksi yang diatur oleh saraf
otonom.
Fisiologi
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama
seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah,
sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung
dengan aliran dari nasofaring (Sherwood, 2011).
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan
cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
b. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
9
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
c. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas (Pearce,
2006).
2. Mengapa pasien mengeluh bersin-bersin sejak 2 hari yang lalu?
Mekanisme Bersin
Allergen masuk makrofag atau monosit berperan sebagai sel penyaji
(Antigen presenting cell APC) akan menangkap yang menempel di permukaan
10
mukosa hidung antigen akan membentuk fragmen pendek peptida
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida
MHC kelas II (Major Histo Compatibility Complex) dipresentesikan pada
sel T helper atau Th 0 APC melepaskan sitokin (IL 1) mengaktifkan Th 0
Th 1 menjadi Th 2 Th 2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL
5, dan IL 13 IL 3 dan IL 4 dapat diikat oleh reseptor di permukaan sel
limfosit B, dan menjadi aktif memproduksi IgE disirkulasi darah akan
masuk ke jaringan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit dan
basofil (sel mediator). Tahap tersebut merupakan proses sensitisasi.
Jika mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama
kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil terlepasnya mediator kimia,
(seperti histamin, leukotrien, bradikinin) merangsang reseptor H1 pada
ujung saraf vidianus menimbulkan rasa gatal dan bersin-bersin (Arsyad,
2007).
3. Mengapa pasien merasakan hidungnya tersumbat?
Alergen diinhalasi & partikel alergen tertumpuk di mukosa hidung yang
kemudian berdifusi pada jaringan hidung
↓
Sel Antigen Presenting Cell akan menangkap alergen yang menempel tersebut
↓
Antigen akan bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu kompleks
molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
↓
Kompleks molekul ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0)
↓
Th 0 akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th 1 dan
Th 2
↓
11
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL 13
dan lainnya
↓
IL4 dan IL3 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
B menjadi aktif dan memproduksi IgE
↓
IgE yang bersikulasi dalam darah ini akan terikat dengan sel mast dan basofil
( sel mediator)
↓
Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut
↓
REAKSI ALERGI FASE CEPAT
Terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya.Mediator yang berperanan : histamin, tiptase,
leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin
↓
Mediator-mediator menyebabkan keluarnya plasma dan pembuluh darah &
dilatasi dari anastomosis arteriovenula hidung
↓
Edema , berkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis
berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung
↓
Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan
hipersekresi dan permebialitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore
↓
REAKSI ALERGI FASE LAMBAT
Terjadi setelah 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi disebabkan oleh mediator
yang dihasilkan oleh fase cepat bereaksi terhadap sel endotel postkapiler yang
menghasilkan suatu Vaskular Cell Adhesion Molecule (VCAM)
↓
12
VCAM menyebabkan sel leukosit spt eosinofil menempel pada sel endotel
↓
Faktor kemotaktik spt IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast,
limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung
↓
Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain spt
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO)
↓
Gejala hiperaktifitas dan hiperresponsif hidung
↓
Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan
hidung
(Adams, 1997)
4. Mengapa pasien merasakan mata dan langit-langit gatal dan berair?
Alergen↓
Mediator histamine keluar gatal↓
Edem mukosa↓
Injeksi konjungtiva↓
Mata kering↓
Respon simpatis dan parasimpatis sebagai feedback (-)↓
Banyak keluar air dari mata (Soepardi, 2010)
5. Apa hubungan keluhan pasien dengan kekambuhan dan cuaca dingin?
13
Karena suatu alergi muncul karena adanya alergen. Salah satunya adalah jika
cuaca dingin, maka dapat memunculkan suatu alergen pada seseorang sehingga
pasien merasa alergi. Berdasarkan cara masknya, alergen dapat dibagi atas:
a. Alergen ingestan: masuk ke saluran cerna, berupa makanan seperti susu,
daging sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang-kacangan.
b. Alergen inhalan: masuk bersama dengan udara pernapasan, seperti tungau
debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur.
c. Alergen injektan : masuk melalui suntikan atau tusukan, seperti penisilin
dan sengatan lebah
d. Alergen kontaktan: masuk melalui kulit atau jaringan mukosa seperti bahan
kosmetik dan perhiasan (Irawati, 2008).
6. Apa hubungan riwayat alergi dengan keluhan pasien?
a. Mekanisme alergi
Alergi terjadi pada tubuh akibat keluarnya mediator mediator yang muncul
akibat rangsangan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Allergen yang baru
pertama kali masuk akan mebuat tubuh mengeluarkan antibody sehingga
keuarlah igE sampai ke mediator alergi seperti histamine, heparin, typtase.
Akan tetapi munculnya allergen untuk pertama kali tidak akan
menimbulkan gejala klinis. Kontak kedua dengan allergen baru akan
menimbulkan gejala klinis. Hal ini terjadi karena tubuh dapat mendeteksi
lagi allergen yang pernah masuk karena tubuh memiliki memory cell.
(Martini, 2006)
b. Peran mediator
Setiap mediator yang muncul akan menimbulkan gejala klinis yang
berbeda-beda bagi tubuh. Berikut macam-macam mediator sekaligus gejala
klinisnya:
1. Performed mediator di granula sitoplasma (histamine) meingkatkan
permeabilitas vascular dan kontraksi otot polos dan pembuluh darah
2. Lipid Mediator
14
- Prostaglandin vasodilatasi dan bronkokonstriksi
- Leukotrien sekresi muku sdan pningkatan pemeabilitas seuler
3. Sitokin
- IL,3, IL-4, IL-5 proliferasi sel mast, inflamasi lambat (Martini,
2006).
7. Apa saja diagnosis banding yang tepat pada skenario?
3. Rhinitis
4. Sinusitis
5. Polip Nasi
15
Mahasiswa , 19 tahun
Klinik
Keluhan utama :-Bersin bersin > 5 x / hari-Hidung terasa gatal-Rinore-Hidung tersumbat-Mata merah dan terasa gatal-Lakrimasi
Riwayat alergi
Memakan kacang, kulit
akan merah dan gatal
Kebiasaaan
Gejala kambuh saat cuaca dingin
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE 1Alergen Ig- E Mediator Histamin
DIAGNOSIS BANDINGRhinitis alergi akutSinusitisPolip nasii
IV. MENYUSUN PENJELASAN MASALAH SECARA SISTEMATIKA
16
V. SASARAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang rhinitis alergi.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang rhinitis vasomotor.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang rhinitis infeksi.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang rhinitis sika.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang rhinitis sekunder.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang sinusitis.
7. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang polip nasi.
8. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang antihistamin dan dekongestan.
9. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kortikosteroid dan antikolinergik.
10. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kandungan pada kacang tanah yang
menyebabkan alergi.
VI. BELAJAR MANDIRI
17
VII. MENGUJI INFORMASI BARU
1. Rhinitis Alergi
A. Pengertian
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001,
rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.
B. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya
(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis
alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih
dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit,
rinitis alergi dibagi menjadi:
a. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain
yang mengganggu.
18
b. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas (Adams, 1997).
C. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya.Faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler,
1997).Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa
dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi
lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen.Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko
untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur,
suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu
yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang dan perubahan cuaca.Berdasarkan cara masuknya allergen
dibagi atas:
a. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta
jamur.
b. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
c. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
19
d. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
D. Patofisiologi
Alergan masuk hidung(sensitisasi)makrofag/ monosit akan tangkap
alergan tersebutbentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan
molekul HLA kelas IIjadi peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex)lepaskan IL1 aktifkan Th0aktifkan Th1 +
(Th2)hasilkan IL3, IL4, IL5, IL13 IL4+IL13 menempel di sel limfosit
jadi limfositnya aktifIgEmasuk ke sirkulasi darahmasuk ke
jaringandi ikat oleh reseptor IgEHasilkan mediator yang
tersensitisasijika mukosa tersensitisasi terpapar alergan samaIgE akan
ikat alergan tersebutpecahnya sel mastosit dan basofilbentuk mediator
kimia terutama histamin, leukotrin, prostaglandin, bradikinin,
sitokin(RAFC). Histamin rangsang sel H1 di saraf vidianusgatal di
hidung+bersin, histamin juga akibatkan kelenjar mukosa dan sel goblet
hipersekresi+permeabilitas kapiler meningkatrinore, fase RAFC akan
memuncak sampai 6-8 jam, Kalaw RAFLbertambahnya sel inflamasi,
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
sitokinada dalam sekret hidung (Adams, 1997).
E. Gejala Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang.Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5
kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga
sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga
terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring (Harmadji, 1993).
20
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa.Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja.Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan
pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala
seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata
gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata
merah serta berair maka dinyatakan positif (Irawati, 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga
allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-
gosok oleh punggung tangan (allergic salute).Pada pemeriksaan
rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak.Perlu juga
dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan
21
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti
sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent
Assay Test).Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap.Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In Vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekatannya (Harmadji, 1993).
G. Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1,
yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
22
dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral.Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif).Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik.Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau tropikal.Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya
rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil
diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik
topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi
rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor.
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau
troklor asetat.
b. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.
Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung
lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.
H. Komplikasi
1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous
glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih
23
eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,
dan metaplasia skuamosa.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih
sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis
dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan
akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Irawati,
2008).
2. Rhinitis Vasomotor
A. Definisi
Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat.
B. Etiologi
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
2. Neuropeptida
3. Nitrik oksida
4. Trauma
C. Patofisiologi
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari chorda spinalis segmen Th 1-2,
menginervasi PD mukosa dan sebagian kelenjar.
Serabut simpatis
Melepaskan Ko Transmitter noradrenalin & neuropeptida Y
24
Vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju
ganglion sfenopalatina dan membentuk n. Vidianus, menginervasi PD
dan terutama kelenjar eksokrin.
Parasimpatis
Pelepasan Ko Transmitter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptida
Peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi
2. Neuropeptida
Meningkat rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung
Peningkatan pelepasan neuropeptida, ex. Substance P & Calcitonin
gene – related protein
Peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar
3. Nitrik oksida
Kadar NO tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung
Kerusakan atau nekrosis epitel
Rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub epitel
Peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks
vaskuler dan kelenjar mukosa hidung
25
4. Trauma
Rinitis Vasomotor dapat merupakan komplikasi jangkan panjang dari
trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan atau neuropeptida.
D. Gejala Klinis
1. Sama seperti rinitis alergi
2. Yang dominan hidung tersumbat
E. Penegakan Diagnosis
1. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
Tampak edema mukosa hidung, concha berwarna merah gelap atau
merah tua, tapi dapat pula pucat. Permukaan concha dapat licin atau
berbenjol-benjol (hipertrofi), pada rongga hidung terdapat sekret
mukoid.
2. Pemeriksaan laboraturium
Eosinofilia pada skeret hidung, tes cukit kulit -, kadar IgE spesifik
tidak meningkat.
F. Penatalaksanaan
1. Menghindari stimulus atau faktor pencetus
2. Pengobatan simtomatis :
- obat-obatan dekongestan oral
- Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis
- Kauterisasi concha hipertrofi dengan larutan AgNo3 25% atau
triklor asetat pekat
- Kortikosteroid topikal 100-200 mcg
- Pada kasus rinore yang berat dapat ditambahkan antikolinergik
topikal (ipratropium bromida).
3. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi
parsial concha inferior
4. Neurektomi n. Vidianus
26
G. Prognosis
Pengobatan golongan obstruksi lebih baik dari pada golongan rinore (Arsyad, 2007).
3. Rhinitis Sika
A. Definisi
Merupakan salah satu yang termasuk ke dalam rinitis kronis. Disebut juga
penyakit “dry nose”. Penyakit ini jarang ditemukan.
B. Etiologi
1. Lingkungan ( berdebu, panas, kering)
2. Orang usia lanjut
3. Anemia
4. Pengguna alkohol
5. Gizi buruk
C. Manifestasi Klinis
1. Pilek hidung tersumbat
2. Iritasi
3. Rasa kering di hidung
4. Epitaksis (kadang-kadang)
5. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior : membran mukosa kering,
mungkin ditemukan pseudomembran.
D. Pencegahan
Melembabkan hidung dengan minum dalam jumlah yang cukup tiap
harinya. Perawatan mukosa dan menghambat terjadinya infeksi yang lebih
lanjut.
E. Penatalaksanaan
1. Diberikan obat-obatan lokal (Irigasi rongga hidung depan dengan NaCl
(9%))
2. Terapi simptomatis
3. Salep hidung, termasuk gliserol efek melembabkan dan proteksi
hidung dari kehilangan air.
27
4. Pengangkatan membran mukosa.
F. Prognosis
Baik tanpa adanya pemberat (Adams, 1997).
4. Rhinitis Infeksi
A. Definisi
Rhinitis adalah terjadinya proses inflamasi mukosa hidung yang dapat
disebabkan oleh infeksi, alergi atau iritasi, dan secara klinis didefinisikan
oleh beberapa gejala umum dari nasaldischarge, gatal, bersin, hidung
tersumbat dan kongesti. Rhinitis infeksi dimana proses inflamasi
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab infeksi yang terdiri dari virus,
bakteri non spesifik, bakteri spesifik dan jamur.
B. Epidemologi
Data mengenai epidemiologi rhinitis infeksi sangat terbatas bila
dibandingkan dengan rhinitis jenis laiinya, terutama rhinitis alergi. Namun,
berdasarkan CDC, common cold merupakan alasan utama anak-anak tidak
masuk sekolah dan orang dewasa kehilangan pekerjaan. Setiap tahunnya di
Amerika serikat, terdapat jutaan kasus common cold. Orang dewasa
memiliki rata-rata 2 – 3 kali pilek per tahun dan pada anak-anak 6 – 10 kali
per tahun.Wanita, khususnya usia 20 – 30 tahun, menderita pilek lebih
daripada pria. National Institute of Allergy and Infectious Disease
menghubungkan kemungkinan ini pada angka kejadian yang tinggi dari
kontak dengan anak kecil. Orang dengan usia lebih dari 60 tahun memiliki
kurang dari satu pilek per tahun. Rhinovirus menyebabkan sekitar 30% -
35% dari semua common cold pada dewasa, dan lebih aktif pada awal
musim gugur, musim semi dan musim panas. Ilmuwan percaya,
Coronavirus menyebabkan presentase besar dari semua common cold pada
dewasa, yang paling sering terjadi pada musim dingin dan awal musim
semi.(6) Rhinitis virus dapat menjadi predisposisi infeksi bakteri yang dapat
berakibat pada hilangnya akitivitas silia mukosa hidung. Rhinitis dapat
28
dikelola gejalanya, tetapi jika kondisi yang sama berlanjut lebih dari
seminggu kemudian ditambah infeksi bakteri maka antibiotik harus
diresepkan. Sekitar 0,5% - 2% dari infeksi virus pada traktus respiratorius
bagian atas akan berkembang menjadi infeksi bakteri akut.
C. Patofisiologi
Virus menyebabkan infeksi dengan mengatasi sistem pertahanan tubuh
yang kompleks. Pertahanan tubuh pada lini pertama yaitu mukus,
diproduksi oleh membran pada hidung dan tenggorokan. Mukus
menangkap material yang kita hirup: serbuk sari, debu, bakteri dan virus.
Ketika virus penetrasi di mukus and masuk sel, hal ini menyebabkan
perintah pada mesin pembuatan protein untuk memproduksi virus baru,
yang pada gilirannya, akan menyerang sekitar sel.(9)
Setelah masa inkubasi 24 – 72 jam, sebagian besar pasien mengalami nyeri
tenggorokan atau gatal yang diikuti dengan obstruksi hidung, rhinorrhea
dan bersin.(10) Obstruksi hidung disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah
akibat proses inflamasi, dan edema juga akan memperberat terjadinya
obstruksi. Sedangkan rhinorrhea terjadi oleh eksudasi serum dan sekresi
dari mukus karena adanya stimulasi kolinergik (Corwin, 2000).
Gambar 1. Pathogenesis gejala yang terkait dengan Common cold
29
D. Klasifikasi
1. Rhinitis akut
a. Rhinitis simpleks (pilek, salesma, common cold, coryza)
b. Rhinitis influenza
c. Rinitis eksimatosa.
2. Rhinitis kronis
a. Rhinitis hipertrofi
b. Rhinitis Sicca
c. Rhinitis spesifik :
- Rhinitis Difteri
- Rhinitis Atrofi
- Rinitis Sifilis
- Rhinitis Tuberkulosa
- Rhinitis akibat Jamur.
1. Rhinitis akut
a. Rhinitis simpleks
Definisi
Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan
pada manusia. Mengingat frekuensi dan fakta bahwa penyakit ini tidak
memberi kekebalan post infeksi. Rhinitis simpleks ini sering disebut
sebagai selesma, common cold dan flu.
Etiologi
Beberapa jenis virus dan yang paling penting adalah rhinovirus. Virus-
virus lainnya adalah myxovirus, virus coxsackie dan virus ECHO.
Infeksi ini ditularkan melalui jalur udara (droplet infection). Paparan
dingin dan faktor lingkungan lainnya dapat meningkatkan kerentanan
host terhadap infeksi. Masa inkubasi 3 – 7 hari.
Manifestasi klinis
30
Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat
tidak adanya kekebalan, atau menurunnya daya tahan tubuh
(kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun, dan lain-lain.
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan
rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul
bersin berulang-ulang, hidung tersumbat dan ingus encer, yang
biasanya disertai demam dan nyeri kepala.(4) Stadium pertama biasanya
terbatas 3 – 5 hari. Sekret hidung mula-mula encer dan banyak,
kemudian menjadi mukoid, lebih kental dan lengket. Hal ini
dikarenakan virus merusak sistem transportasi mukosiliar, yang
menghambat sekresi pembersihan normal. Dengan nasal discharge
yang melimpah, perubahan inflamasi sering melibatkan vestibulum
nasi. Kerusakan epitel akibat virus menyebabkan kolonisasi bakteri,
yang mengubah konsistensi yang jelas dari nasal discharge. Hal ini
mengakibatkan sekret menjadi mukopurulen (gambar 2). Gejala lokal
dan sistemik biasanya akan reda dalam waktu sekitar seminggu.
Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik ditemukan mukosa hidung tampak merah,
membengkak dan ditutupi sekret yang mudah diamati intranasal. Bila
terjadi infeksi sekunder dari bakteri, ingus menjadi mukopurulen
Gambar 2. Gambaran Rhinitis akut
31
Terapi
Tidak ada terapi spesifik untuk rhinitis simpleks, selain istirahat dan
pemberian obat-obat simptomatis, seperti analgetika, antipiretika dan
obat dekongestan.(4) Terapi terdiri dari tindakan suportif untuk
meredakan obstruksi hidung dan mencegah sinusitis dan sekuele
lainnya dengan penggunaan dekongestan tetes hidung. Obat tetes
hidung harus digunakan tidak lebih lama daripada waktu yang benar-
benar diperlukan (umumnya tidak lebih dari 1 minggu karena resiko
takiplaksis) dengan rebound pembengkakan dari mukosa hidung.
Antibiotik mungkin juga akan diresepkan pada pasien dengan
superinfeksi bakteri atau keterlibatan sinus paranasal
b. Rinitis Influenza
Rhinitis influenza disebabkan karena virus influenza A, B, C. Tanda
dan gejalanya hampir sama dengan common cold, hanya saja lebih
sering terjadi infeksi sekunder bakteri
c. Rinitis Eksimatosa
Rhinitis ini disebabkan oleh virus morbili, varicea dan pertusis,
gejalanya sama seperti rhinitis simplek tetapi didahului eksantematous
sekitar 2-3 hari.
d. Rinitis Bakteri Akut
Infeksi bakteri akut disebabkan karena bakteri yang tidak spessifik.
dibagi menjadi 2:
1. Rinitis bakteri Primer
- Tampak pada anak dan biasanya terjadi akibat infeksi
pneumococcus, streptococcus, atau staphylococcus
- Gejalanya mirip rinitis virus, hanya saja yang khas:
Terdapat membran putih keabu-abuan yang lengket di rongga
hidung, yang jika diangkat bisa membuat perdarahan
2. Rinitis bakteri sekunder
- Merupakan akibat dari infesksi bakteri pada rinitis viral akut
32
2. Rhinitis Kronis
a. Rhinitis Jamur
Dapat terjadi bersama dengan Sinusitis dan bersifat invasif atau non-
invasif. Rhinitis jamur non-invasif dapat menyerupai Rinolit dengan
inflamasi mukosa yang lebih berat. Rinolit ini sebenarnya adalah
gumpalan jamur (fungus ball). Biasanya tidak terjadi destruksi
kartilago dan tulang.
Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina
propria. Jika terjadi invasi jamur pada submukosa dapat
mengakibatkan perforasi septum atau hidung pelana. Jamur sebagai
penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan
sediaan langsung atau kultur jamur, misalnya Aspergillus, Candida,
Histoplasma, Fussarium dan Mucor.
Diagnosis
Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen,
mungkin terlihat ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan
jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black eschar).
Terapi
Untuk rhinitis jamur non-invasif, terapinya adalah mengangkat seluruh
gumpalan jamur. Pemberian obat jamur sistemik maupun topical tidak
diperlukan. Terapi untuk rhinitis jamur invasif adalah mengeradikasi
agen penyebabnya dengan pemberian anti jamur oral dan topikal. Cuci
hidung dan pembersihan hidung secara rutin dilakukan untuk
mengangkat krusta. Untuk infeksi jamur invasif, kadang-kadang
diperlukan debridement seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat.
Kalau jaringan nekrotik sangat luas, dapat terjadi destruksi yang
memerlukan tindakan rekonstruksi.
b. Rinitis Bakteri Kronik
Etiologi
33
Corynebacterium diphteriae, dapat terjadi primer pada hidung atau
sekunder dari tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan akut atau
kronik. Dugaan adanya Rhinitis Difteri harus dipikirkan pada penderita
dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap.
Gejala klinis
- Demam
- Toksemia
- Limfadenitis
- paralisis otot pernapasan
- ingus yang bercampur darah
- pseudomembran putih yang mudah berdarah
- krusta coklat di nares anterior dan rongga hidung.
- dalam keadaan kronik, masih dapat menulari.
Diagnosis
- ingus bercampur darah
- pseudomembran putih yang mudah berdarah di konka inferior dan
sekitarnya
- krusta coklat di nares dan cavum nasi
- Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret
hidung
Terapi
- Sebagai terapi diberikan ADS, penisilin lokal dan intramuskuler
- Pasien harus diisolasi sampai hasil pemeriksaan kuman negatif.
5. Rhinitis Sekunder
A. Rinitis Difteri
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
Gambaran Klinis
34
Gejala rinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis,
sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang
mudah berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi.
Sedangkan rinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan.
Terapi
Terapi rinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal
dan intramuskuler.
B. Rinitis Sifilis
Etiologi
Penyebab rinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.
Gambaran klinis
Gejala rinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rinitis akut
lainnya. Hanya pada rinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan
pada rinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang dapat
mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang dihasilkan merupakan sekret
mukopurulen yang berbau.
Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.
C. Rinitis Tuberkulosa
Etiologi
Penyebab rinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.
Gambaran Klinis
Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang
mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk
noduler atau ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat
mengakibatkan perforasi.(3)
Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.
D. Rinitis Lepra
Etiologi
35
Rinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
Gambaran Klinis
Gangguan hidung terjadi pada 97% penderita lepra. Gejala yang timbul
diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan produksi sekret
yang sangat infeksius Deformitas dapat terjadi karena adanya destruksi
tulang dan kartilago hidung.
Terapi
Pengobatan rinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin dan
clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.
6. Sinusitis
A. Definisi
Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada
membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme
drainase normal.
B. Etiologi
- Bakteri
Streptococcus pneumonia, Alpha dan Beta Streptococcus
haemolitycus, Staphylococcus aureus, Haemophyllus influenza
- Virus
- Fungi
C. Epidemologi
- Di laporkan terdapat > 31 juta kasus sinusitis di Amerika
- Penyakit kronik paling sering
- 20 % menyerang pasien usia > 65 tahun
D. Patofisiologi
Adanya infeksi oleh alergen ex : bakteri, menyebabkan terjadinya replikasi
bakteri serta terjadi disfungsi siliar pada sinus paranasal ( sinus frontalis,
sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, sinus maxillaris), adanya infeksi
tersebut menyebabkan terjadinya produksi mukus yang berlebih, serta
36
adanya obstruksi dari muara sinus paranasal, sehingga mukus terjebak di
dalam sinus.
E. Klasifikasi Sinusitis Bakteri
- Sinusitis bakterial akut : infeksi sampai 4 minggu, gejala hilang total
- Sinusitis bakterial subakut : infeksi antara 4 sampai 12 minggu
- Sinusitis bakterial kronik : infeksi lebih dari 12 minggu
F. Manifestasi Klinis
- Gejala progressive 2 – 3 hari
- Kongesti nasal
- Nyeri pada daerah sekitar wajah / lokal
- Pusing
- Batuk
- Malaise
- Wajah tampak bengkak
G. Penegakan Diagnosis
- Pemeriksaan apusan : Untuk mengetahui jenis sel bakteri, virus
maupun jamur sebagai alergen.
- Pemeriksaan transluminasi : Untuk mengetahui adanya reflex
transluminasi cahaya, apabila semakin redup cahaya maka
menandakan adanya kumpulan sekret mukopurulen pada sinus.
- Radiography
H. Penatalaksanaan
Lini pertama terapi antibiotik sinusitis
- Treatment berdurasi 10 – 14 hari
- Amoxicilin 500 mg per oral 8 jam per hari
- Augmentin 500 mg per oral 8 jam per hari
- Trimethropin / sulfamethoxazole
- Azithromicyn 500 mg per oral kemudian di lanjut 250 mg per oral 4
jam per hari (Adams, 1997).
37
7. Polip Nasi
A. Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung.
Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat,
lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang
sudah lama dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah –
merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip kebanyakan berasal
dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang
berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang,
muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.
B. Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau
reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip
hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa
infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan
dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan
mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam
rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan
interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai
ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang
dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip mungkin
merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.
38
C. Patofisiologi
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan
terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses
terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan
turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga
terbentuk polip. Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang
lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam
jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah
submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler
dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur
bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid.
Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini
terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering
dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada
rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di
Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat
sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus
membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.
D. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di
hidung. Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat
keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala
hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka
sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala
dan rinore. Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah
bersin dan iritasi di hidung. Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali
harus dibedakan dari konka hidung yang menyerupai polip (konka
polipoid). Perbedaan antara polip dan konka polipoid ialah :
Polip :
39
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.
E. Diagnosis Banding
Polip didiagnosabandingkan dengan konka polipoid, yang ciri – cirinya
sebagai berikut :
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan
polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang
juga harus hati – hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik,
maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi
dan dengan penyakit jantung lainnya.
F. Penatalaksanaan
1. Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :
a. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10
hari, kemudian dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).
b. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau
prednisolon 0,5 cc, tiap 5 – 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
c. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid,
merupakan obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama
atau sebagai lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Efek
sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman.
40
2. Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip
(polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila
terdapat sinusitis, perlu dilakukan drenase sinus. Oleh karena itu
sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk
melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu,
pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus
dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh
dilupakan. Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar
polip setelah pemberian dekongestan dan anestesi lokal. Pada kasus
polip yang berulang – ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi
oleh karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi
ada dua cara, yakni intranasal dan ekstranasal (Ballenger, 1991).
8. Antihistamin dan Dekongestan
A. Antihistamin
a. Histamin
Bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel pada
permukaan membran mukosa
Terdapat 3 jenis reseptor histamin H1, H2, dan H3.
Letak reseptor : H1 dan H2 terletak di pascasinaptik
H3 terletak di prasinaptik
Reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan
permeabilitas PD, dan sekresi mukus.
Reseptor H2 menyebabkan sekresi asam lambung
Reseptor H3 sbg penghambat umpan balik berbagai sistem organ
Histamin mempengaruhi banyak proses faal dan patologik
sehingga diperlukan obat untuk mengantagoniskan efek histamin
Antihistamin
41
Bekerja secara kompetitif dengan menghambat reseptor histamin
H1, H2 atau H3.
Penggolongan:
- Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)
- Antihistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)
- Antihistamin Penghambat Reseptor H3 (AH3)
b. Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)
Farmakodinamik
Antagonis histamin : menghambat efek histamin pada PD,
bronkus, dan otot polos lainnya.
Otot polos: menghambat kerja histamin pada otot polos usus dan
bronkus.
Permeabilitas kapiler: menghambat permeabilitas kapiler dan
edema akibat histamin.
Reaksi anafilaksis dan alergi:
Kelenjar eksokrin: efek histamin terhadap sekresi cairan lambung
tidak dapat dihambat oleh AH1
Farmakokinetik
AH 1 diabsorpsi dengan baik
Efeknya timbul setelah 15-30 menit pemberian oral
Waktu paruh generasi I dosis tunggal : 4-6 jam
Waktu paruh generasi II > panjang dari geenerasi II
Tempat utama Biotransformasi AH2 adalah Hati
Diekskresi melalui urin setelah 24 jam dalam bentuk metabolitnya
Indikasi
Untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi:
- Dapat menghilangkan bersin, rinore, dan gatal pda mata,
hidung, dan tenggorokan.
- Efekrif terhadap alergi yang disebabkan debu, tetapi kurang
efektif bila jumlah banyak dan kontak lama. Karena AH1
42
tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi
(penyebab gangguan alergi)
Mencegah/mengobati mabuk perjalanan
Efek samping
Paling sering : sedasi
AH1 generasi II > sedikit efek sedatifnya dibanding generasi I
Berhubungan dengan efek sentral: vertigo, tinitus, lelah, penat,
penglihatan kabur, insomnia.
Efek lain: nafsu makan <<, mual, muntah, mulut kering, palpitasi,
sakit kepala.
Intoksikasi
Pada Dewasa, manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada
permulaan, eksitasi, akhirnya depresi SSP.
43
AH1 generasi I
B. Dekongestan
Golongan simpatomimetik/beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa
hidung untuk vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan
memperbaiki pernafasan. Dekongestan dibagi atas dua jenis yaitu:
1. Dekongestan sistemik
Diberikan secara oral, meskipun efeknya tidak secepat topikal tapi
kelebihannya tidak mengiritasi hidung.
Obat-obat yang dapat digolongan sebagai dekongestan sistemik
antara lain :
- Fenilpropanolamin
Efek : menimbulkan kontriksi PD mukosa hidung, sehingga
dapat meningkatkan tekanan darah dan stimulasi jantung
- Fenilefrin
- Efedrin
- Pseudoefedrin
Vasokonstriksi pembuluh darah mukosa dan menurunkan kongesti
hidung
Kontra Indikasi: hipertensi, pasca infark miokard, hipertiroid
44
AH1 Generasi II
menstimulasi secara langsung reseptor Alpha 1 adrenergik yang
terdapat pada pembuluh darah mukosa saluran pernafasan bagian
atas yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi.
Fenilpropanolamina
- Dewasa:maksimal15mgpertakaran3-4kali sehari
- Anak-anak6-12tahun:maksimal7,5 mg per- takaran3-4x 1
Fenilefrin
- Dewasa: 10mg,3kalisehari
- Anak-anak 6–12tahun: 5mg, 3x1
Pseudoefedrin
- Dewasa: 60 mg, 3 –4 kali sehari
- Anak-anak2-5 tahun: 15 mg, 3 -4 kali sehari
- 6-12 tahun: 30 mg, 3 -4 kali sehari
Efedrin
- Dewasa: 25 –30 mg, setiap3 –4 jam
- Anak-anak: sehari3 mg/kg beratbadan, dibagidalam4 –6
dosisyang sama
2. Dekongestan Topikal
Terutama berguna untuk rhinis akut karena tempat kerjanya lebih
selektif . Bentuk sedian untuk dekongestan topikal barupa inheler, tetes
hidung atau semprot hidung.
45
Vasokonstriksi pembuluh darah mukosa, menurunkan peradangan
dan sumbatan pada hidung
Penggunaan dekongestan topikal dilakukan pada pagi dan
menjelang tidur malam, dan tidak boleh lebih dari 2 kali dalam 24
jam.
Efek samping
- Rebound congestion
- Irregular heartbeat
- Headeache
- Dizzines
- Tremor
9. Kortikosteroid & Antikolinergik
A. Kortikosteroid
• Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan
di bagiankorteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yangdilepaskan oleh kelenjar hipofisis,
atau atas angiotensin II
• Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi,
mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap
reseptor, dan ikatan protein.
• sintetis sama dengan kortikosteroid alami
• Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan
ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal
• Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma,
yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin.
• Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan
globulin pengikatnya; kortisol mempunyai afinitas tinggi sedangkan
46
metabolit yang terkonjugasi dengan asam glukuronat dan aldosteron
afinitasnya rendah.
• Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat
yang sangatsensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan
oleh kortisol dalam sirkulasidan glukokortikoid eksogen (sintetis)
• Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mgkortisol setiap hari
tanpa adanya stres
• kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik.
Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis
alergi
• Sediaan nasal yang mengandung kortikosteroid (beklometason,
betametason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason dan
triamsinolon) mempunyai peranan penting dalam pencegahan dan
pengobatan rinitis alergi
• Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat
dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast
dan basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan
pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan
eosinofil, menekan ekspresi GMCSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin,
kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga
menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis
eosinofil 1.
B. Antikolinergik:
• Kadar puncak triheksifedinil, prosiklidin, dan biperiden tercapai
setelah 1-2 jam. Masa paruh eliminasi terminl antara 10 dan 12 jam.
• Sebenarnya untuk pemberian 2x sehari sudah mencukupi
• Obat-obat antikolinergik membuat relaksasi pernafasan dengan
menghambat reseptor-reseptor muskarinik M2 dan M3 pada otot polos
saluran pernafasan. Pelepasan asetilkolin dari saraf-saraf parasimpatis
meningkat sewaktu eksaserbasi asma dan intubasi endotrakea.
47
• Asetilkolin berperan dalam bronkospasme. Atropin sulfat, beladona,
dan skopolamin efektif untuk mencegah bronkospame oleh metakolin,
tetapi tidak untuk bronkospasme oleh histamin.
• Pada mulanya pemakaian aerosol atropin sangat terbatas oleh karena
efek samping seperti peninggian viskositas dan menurunnya jumlah
sputum, orofaring jadi kering, denyut jantung meningkat, sedasi, dan
gangguan visus. Tetapi dengan preparat baru (ipratropium bromide)
yang dapat mengurangi efek samping tersebut maka obat ini mulai
banyak lagi dipakai, terutama untuk orang dewasa yang menderita
asma intrinsik atau asma bronkitis yang bronkospasmenya dipengaruhi
oleh asetilkolin.
10. Kandungan pada kacang tanah yang menyebabkan alergi
Kacang tanah adalah salah satu penyebab alergi makanan yang paling
umum, Reaksi alergi bisa terjadi ketika sistem kekebalan tubuh kita bereaksi
negatif terhadap alergen yang ada dalam makanan. Kacang tanah kaya dengan
lemak, mengandungi protein yang tinggi, zat besi, vitamin E dan kalsium,
vitamin B kompleks dan Fosforus, vitamin A dan K, lesitin, kolin dan kalsium.
Kandungan protein dalam kacang tanah adalah jauh lebih tinggi dari daging dan
telur. Kacang tanah juga mengandung arkinin yang dapat merangsang tubuh
untuk memproduksi nitrogen monoksida yang berfungsi untuk melawan bakteri
tuberkulosis. Meningkatnya angka kejadian alergi selama 20 tahun terakhir
dapat menimbulkan masalah bagi dunia kesehatan. Alergi ditimbulkan karena
perubahan reaksi tubuh (menjadi rentan) terhadap suatu bahan yang ada dalam
lingkungan hidup kita sehari-hari. Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau
respon pertahanan tubuh yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang
sebenarnya tidak berbahaya. Ada berbagai cara alergen masuk ke dalam tubuh
yaitu melalui saluran pernafasan (alergen inhalatif/alergi hirup), alergen kontak,
melalui suntikan atau sengatan, dan alergi makanan. Alergi makanan
merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh reaksi IgE terhadap bahan (zat
48
kimia)makanan Kejadian alergi makanan dipengaruhi oleh genetik,umur, jenis
kelamin, pola makan, jenis makanan awal, jenis makanan, dan faktor
lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Oehling et al. dalam
Prawirohartono pada 400 anak umur 3-12 tahun didapatkan data bahwa 60%
penderita alergi makanan adalah perempuan dan 40% laki-laki. Penelitian ini
merupakan analisis terhadap data sekunder dari Poli Alergi Imunologi RSCM.
Dari 208 orang yang berkunjung ke Poli Alergi Imunologi RSCM tahun 2007
terdapat 102 orang (49%) yang sensitif terhadap alergi terhadap makanan.
Responden dengan kategori dewasa lebih banyak yang sensitif terhadap alergen
makanan, yaitu sebesar 72 orang (70,6%) dibandingkan anak-anak, yaitu 30
orang (29,4%). Hal ini dapat terjadi karena kejadian alergi makanan
dipengaruhi juga oleh faktor fisik seperti kelelahan dan aktivitas berlebih serta
faktor emosi seperti kecemasan, sedih, stres atau ketakutan. Faktor-faktor
tersebut lebih banyak dialami oleh orang dewasa.
Reaksi alergi terjadi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang keliru
percaya bahwa sesuatu yang berbahaya, seperti kacang. Sistem kekebalan tubuh
merespon dengan menciptakan antibodi spesifik untuk protein dalam makanan
itu. Antibodi ini yang disebut imunoglobulin E (IgE) –yang dirancang untuk
melawan "penyerbu" protein. Antibodi IgE memicu pelepasan bahan kimia ke
dalam tubuh.Salah satunya adalah histamin. Pelepasan histamin dapat
mempengaruhi sistem pernapasan seseorang, saluran pencernaan, kulit, dan
sistem kardiovaskular, yang menyebabkan gejala alergi seperti sesak nafas,
muntah sakit perut,,gatal-gatal gatal, dan bengkak (Harsono, 2008).
49
KESIMPULAN
Pada skenario 2 tutorial sesi ini diketahui bahwa seorang mahasiswi berusia
19 tahun datang ke klinik dengan keluhan bersin bersin sejak 2 hari yang lalu. Bersin
disertai rasa gatal dan keluar cairan berwarna jernih, encer keluar dari hidung.
Seringkali hidung terasa tersumbat dan mata terasa gatal serta sering mengeluarkan
air mata.
Pada rongga hidung di lindungi oleh epitle thorax bertingkat bersel goblet,
sistem ini akan mengeluarkan mukus yang apabila terdapat sentisisasi fakor alergen.
Pada kontak pertama dengan alergen / tahap sentitisasi, makrofag berperan sebagai
APC ( Antigen Presenting Cell ) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung, kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti IL – 1
dan di ikat oleh sel limfosit B. Aktifnya sel limfosit B akan memproduksi Ig-E bila
mukosa yang terpapar alergen ke dua kalinya maka Ig-E akan mengikat alergen dan
terjadi degranulasi mastosit dan basofil serta akan terlepas mediator inflammasi
seperti Histamin, adanya mediator histamin akan menyebabkan timbulnya respon
aferen menuju pusat batuk dan bersin di medulla oblongata, sehingga terjadi bersin.
Peran histamin, menyebabkan adanya rasa gatal di langit langit hidung, serta
terdapatnya ductus nasolacrimalis menyebabkan reaksi tambahan dimana glandula
lacrymalis mengeluarkan produksinya yaitu lakrima / air mata sehingga terjadi
lakrimasi, mata merah juga disebabkan karena adanya peran histamin sebagai
vasodilator sehingga melebarkan pembuluh darah di mata.
Penyakit yang di derita oleh mahasisiwi ini merupakan tanda dan gejala dari
rhinitis akut yang disebabkan oleh adanya alergi. Hal ini diperkuat oleh adanya
kebiasaan alergi penderita pada kacang yang menyebabkan kulit eritema dan gatal.
50
SARAN
Hambatan
1. Mahasiswa kurang kritis dalam berfikir dan mengutarakan pendapat dari
informasi yang didapatkannya menjadi infromasi yang lengkap dan terperinci
sehingga terkadang tutor masih harus memancing agar tujuan pembelajaran
tutorial dapat tercapai dengan baik.
2. Ada beberapa mahasiswa yang kurang aktif mengemukakan pendapatnya dan
mencari referensi yang terbaru.
3. Mahasiswa kurang kreatif dalam menyampaikan informasi melalui
powerpoint sehingga terasa membosankan.
Harapan
1. Mahasiswa dapat lebih kritis dalam menggali informasi.
2. Mahasiswa dapat lebih aktif dalam mengemukakan pendapatnya dan dalam
mencari referensi yang terbaru sehingga ilmu yang didapatkan juga sesuai
perkembangan zaman.
3. Mahasiswa harus kreatif dalam membuat powerpoint agar tutorial tidak
membosankan.
51
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. Boies : Buku Ajar Penyakit THT (Boeis Fundamentals of
Otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta : EGC.
Arsyad, Efiaty dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi 6. Jakarta: FK UI.
Ballenger, John Jacob. 1991. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea &
Febiger 14th edition. Philadelphia.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan “Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Telnga” . 2012.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Daniel S. Wibowo. 2013. Anatomi Fungsional Elementer dan Penyakit yang
Menyertainya. Jakarta : Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia.
Dorland, W. A. Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT.Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit
Tinggi.
Harsono A, Anang E. 2008. Alergi Makanan. Jakarta : EGC.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N. 2008. Alergi Hidung dalam Buku AjarIlmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam.
Jakarta: FKUI,.
Martini. F.H . 2006. Fundamental of Anatomy and Phsichology. Seventh Edition. San
Fransisco: Pearson.
52
Pearce, E.C. 2006. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: Gramedia.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC
Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaith. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung dan Tenggorok edisi IV cetakan I. Jakarta: FK UI.
53