isi laporan pl

Upload: dzicky

Post on 13-Oct-2015

64 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

contoh isi

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah (Hadinegoro, et.al, 2005).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK)) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia (Kemenkes RI, 2010).

Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 (Kemenkes RI, 2010).

Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten atau kota pada tahun 2009 (Kemenkes RI, 2010).

Kepadatan nyamuk Aedes aegypti akan meningkat pada waktu musim hujan karena banyak genangan air tempat berkembang biaknya Aedes aegypti. Selain nyamuk Aedes aegypti, penyakit demam berdarah juga dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus, tetapi nyamuk ini kurang berperan dalam penyebaran penyakit demam berdarah karena tempat hidup dan berkembang biak nyamuk Aedes albopictus adalah di kebun atau semak-semak, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia (Hadinegoro, et.al, 2005).

Vektor utama dari penyakit DBD, nyamuk Aedes aegypti, maka kondisi yang mendukung hidup dan berkembang biak vektor dapat menjadi faktor risiko untuk penyakit DBD. Aedes aegypti hidup dan berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah, seperti bak mandi atau wc, minuman burung, air tandon, air tempayan atau gentong, kaleng, ban bekas, dan tempat yang bisa digenangi air. Tempat istirahat yang disukai nyamuk Aedes adalah benda-benda yang tergantung yang ada di dalam rumah, seperti gordyn, kelambu dan baju atau pakaian di kamar yang gelap dan lembab (Hadinegoro, et.al, 2005).1Fakta yang terpapar di atas mampu menarik minat penulis untuk membuat sebuah karya mengenai keterkaitan demam berdarah dengue dan faktor resikonya. Penelitian akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas, yang terletak di kabupaten Banyumas, kecamatan Karanglewas dengan cakupan 6 desa.B. Tujuan

1. Tujuan Umum:

Mahasiswa mampu mengidentifikasi faktor-faktor risiko, rute transmisi, dan pemajanan yang berhubungan dengan terjadinya penyakit (demam berdarah dengue) di wilayah pedesaan. 2. Tujuan Khusus:

a. Mahasiswa mampu mengidentifikasi faktor risiko pada penyakit demam berdarah dengue di kecamatan Karanglewasb. Mahasiswa mampu membuat kuesioner yang sesuai dengan kebutuhan data yang akan diidentifikasic. Mahasiswa mampu melakukan metode pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian, dan pelaporan data secara benar sesuai prinsip-prinsip epidemiologi (statistik deskriptrif)

d. Mahasiwa mampu menjelaskan metode rapid survey sebagi salah satu metode pengumpulan data/informasi dari sebagian populasi yang dianggap mewakili (representatif)e. Mahasiswa mampu melakukan penelitian dengan metode epidemiologi deskriptif. C. Manfaat1. Bagi Mahasiswaa. Memberikan gambaran secara khusus mengenai faktor risiko suatu penyakitb. Memberikan perjalanan suatu penyakit terutama pada teori simpul tigac. Memberikan gambaran secara luas mengenai health care dan health family pada masyarakat2. Bagi Lembaga Perguruan TinggiLembaga dapat menjalin kerjasama dengan puskesmas di banyumas serta dapat mempromosikan keberadaan Akademik di tengah-tengah dunia kerja.3. Bagi PuskesmasPuskesmas dapat menggunakan mahasiswa sebagai salah satu terobosan untuk mempromosikan kesehatan di masyarakat serta mengedukasi masyarakat mengenai penyakit yang dibahas dan puskesmas dapat memperoleh data yang didapat oleh mahasiswa sebagai sumber informasi mengenai kondisi kesehatan di masyarakat.II. ANALISIS SITUASIA. Deskripsi Situasi dan Kondisi Puskesmas Karanglewas dan Wilayah Kerjanya

1. Keadaan GeografiGambar 2.1. Peta Kecamatan Karanglewas (BPS Banyumas, 2012).Kecamatan Karanglewas merupakan salah satu bagian wilayah Kabupaten Banyumas. Kecamatan tersebut memiliki luas wilayah 33 km2 dan terbagi dalam 13 desa yang tersebar dalam wilayah kerja Puskesmas Karanglewas. Desa Sunyalangu merupakan desa terluas mencapai 9,8 km2, sedangkan yang desa terkecil adalah Desa Pasir Lor dengan 0,7 km2. Secara geografis Kecamatan Karanglewas memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut (BPS Banyumas, 2012):

Batas Utara: Kecamatan Kedungbanteng

Batas Selatan: Kecamatan PatikrajaBatas Barat: Kecamatan Cilongok

Batas Timur: Kecamatan Purwokerto Barat.

2. Keadaan Demografi

a. Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk

Kecamatan Karanglewas terdiri atas 13 desa dengan total jumlah penduduk mencapai 61.074. Kepadatan penduduk (per km2) tertinggi terdapat pada Desa Pasir Lor mencapai 4927,78, sementara terendah pada Desa Sunyalangu mencapai 491 (BPS Banyumas, 2012).Tabel 2.1 Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk

b. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

Jumlah penduduk Kecamatan Karanglewas menurut jenis kelamin maka sesuai dengan data didapatkan untuk jenis kelamin laki laki mencapai 30.889 jiwa dan perempuan mencapai 30.185 jiwa. Sedangkan menurut pembagian kelompok umum, pada Kecamatan Karanglewas didapatkan angka tertinggi pada kelompok umur 5 9 tahun yaitu 2770 jiwa dan terendah pada kelompok umur 70 74 tahun yaitu mencapai 757 jiwa (BPS Banyumas, 2012).Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Kecamatan Karanglewas

c. Keadaan Sosial Ekonomi

Keadaan sosial dapat dinilai salah satunya dari jumlah sarana dan prasarana kesehatan. Wilayah Karanglewas memiliki beberapa sarana kesehatan dengan rincian puskesmas non perawatan 1, puskesmas keliling 1, puskesmas pembantu 1, praktik dokter 3, poskesdes 14, posyandu 78 (BPS Banyumas, 2012).

Penduduk Kecamatan Karanglewas sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, dengan rincian mata pencaharian sebagai berikut : petani (5076 orang), buruh tani (4072 orang), buruh industri (1004 orang), industri (359 orang), buruh bangunan (1989 orang), pedagang (3184 orang), angkutan (351 orang), PNS/pensiun (1151 orang), pertambangan (229 orang) dan jasa lainnya (5.891) (BPS Banyumas, 2006).

Tabel 2.3 Jumlah Sarana dan Prasarana KesehatanB. Pencapaian program dan derajat kesehatan1. Perilaku Masyarakat

Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum danpembuangan sampah yang benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa bepergian.1 ari penelitian di Kabupaten Banyumas, diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, kepadatan penduduk, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.

Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin lakilaki, riwayat pernah terkena DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.

Kondisi perilaku masyarakat di Kecamatan Karanglewas terkait penyakit Demam Berdarah dapat dinilai berdasarkan aktifitas fisik yang dilakukan seperti kebiasaan menggantung pakaian, pengunaan jaminan pelayanan kesehatan, dan pemberantasan sarang nyamuk.2. Kesehatan Lingkungan

Kesehatan Lingkungan Adalah hubungan timbal balik antara faktor kesehatan dan faktor lingkungan. Menurut WHO (World Health Organization), kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Menurut HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia (WHO, 2008).Di Indonesia, ruang lingkup kesehatan lingkungan diterangkan dalam Pasal 22 ayat (3) UU No 23 tahun 1992 ruang lingkup kesling ada 8, yaitu :1) Penyehatan Air dan Udara

2) Pengamanan Limbah padat/sampah

3) Pengamanan Limbah cair

4) Pengamanan limbah gas

5) Pengamanan radiasi

6) Pengamanan kebisingan

7) Pengamanan vektor penyakit

8) Penyehatan dan pengamanan lainnya, sepeti keadaan pasca bencana

Masalah kesehatan lingkungan merupakan masalah kompleks yang untuk mengatasinya dibutuhkan integrasi dari berbagai sector terkait. Di Indonesia permasalah dalam kesehatan lingkungan antara lain :

a. Air BersihAir bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatandan dapat langsung diminum. Syarat-syarat Kualitas Air Bersih diantaranya syarat fisik, syarat kimia, dan syarat mikrobiologis. Di beberapa daerah di Kecamatan Karanglewas, masih belum memenuhi ketiga syarat tersebut terutama mikrobiologis ditandai dengan masih banyaknya jentik-jentik yang berpotensi menjadi penyebab Kecamatan ini menjadi endemis Demam Berdarah (Setiyabudi, 2007).

b. Pembuangan Kotoran/TinjaMetode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban dengan syarat sebagai berikut (Soeparman, 2001):

a) Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasib) Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau sumurc) Tidak boleh terkontaminasi air permukaand) Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan laine) Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar ; atau, bila memang benar-benar diperlukan, harus dibatasi seminimal mungkinf) Jamban harus babas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandangg) Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal

c. Kesehatan Pemukiman

Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, pencegahan penularan penyakit antarpenghuni rumah, dan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah. Di lihat dari aspek ini, kesehatan lingkungan di Kecamatan Karanglewas sudah cukup baik ditandai dengan mayoritas rumah warga berupa bangunan permanen yang memenuhi syarat kesehatan pemukiman (Setiyabudi, 2007).

d. Pembuangan Sampah

Teknik pengelolaan sampah yang baik dan benar harus memperhatikan faktor-faktor /unsur Penimbulan sampah, Penyimpanan sampah, Pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali, Pengangkutan, dan Pembuangan. Denganmengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah, kita dapat mengetahui hubungan dan urgensinya masing-masing unsur tersebut agar kita dapat memecahkan masalah-masalah ini secara efisien (Kemenkes, 2003).

e. Serangga dan Binatang Pengganggu

Serangga sebagai reservoir (habitat dansuvival)bibit penyakit yang kemudian disebut sebagai vektor misalnya : pinjal tikus untuk penyakit pes/sampar, Nyamuk Anopheles sp untuk penyakit Malaria, Nyamuk Aedes sp untuk Demam Berdarah Dengue (DBD), Nyamuk Culex sp untuk Penyakit Kaki Gajah/Filariasis. Penanggulangan/ pencegahan dari penyakit tersebut diantaranya dengan merancang rumah/tempat pengelolaan makanan denganrat proff(rapat tikus), Kelambu yang dicelupkan dengan pestisida untuk mencegah gigitan Nyamuk Anopheles sp, Gerakan 3 M (menguras mengubur dan menutup) tempat penampungan air untuk mencegah penyakit DBD, Penggunaan kasa pada lubang angin di rumah atau dengan pestisida untuk mencegah penyakit kaki gajah dan usaha-usaha sanitasi (setiyabudi, 2007).Binatang pengganggu yang dapat menularkan penyakit misalnya anjing dapat menularkan penyakit rabies/anjing gila. Kecoa dan lalat dapat menjadi perantara perpindahan bibit penyakit ke makanan sehingga menimbulakan diare. Tikus dapat menyebabkan Leptospirosis dari kencing yang dikeluarkannya yang telah terinfeksi bakteri penyebab (setiyabudi, 2007).3. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan yang diselengarakan oleh Puskesmas Karanglewas dilakukan secara menyeluruh atau holistic. Mulai dari promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitative. Pelayanan promotif yang dilakukan oleh Puskesmas Karanglewas dilakukan dengan cara penyuluhan-penyuluhan ke berbagai sasaran di 13 desa yang berada di bawah naungan Puskesmas Karanglewas. Pelayanan promotif dan preventif yang dilakukan oleh puskesmas antara lain (BPS Banyumas, 2013) :a. Penyuluhan tentang kesehatan bayi dan balita

Penyuluhan ini dilakukan oleh pihak puskesmas secara rutin mengikuti jadwal masing-masing posyandu di setiap desa.b. Pelacakan

Kegiatan pelacakan dilakukan puskesmas bila terjadi suspek sebuak penyakit yang kemungkinan bisa menjadi KLB di kecamatan dengan menggunakan penelitian epidemiologi yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyuluhan yang berhubungan dengan penyakit yang bersangkutan.Sedangkan pelayanan yang dilaksanakan guna kuratif selain pengobatan yang biasa dilakukan adalah (BPS Banyumas, 2013):a. Klinik Sanitasi

b. Klinik ini digunakan bila keadaan sanitasilah yang menjadi penyebab penyakit yang diderita. Sepeti contohnya adalah diare maka dibutuhkan klinik sanitasi untuk mendukung kegiatan kuratif secara medikamentosa

c. Pojok Gizi

d. Pojok gizi digunakan saat pasien merasa perlu terjadi perbaikan status gizi atau juga bisa dilakukan setelah dirujuk oleh dokter yang bersangkutan

e. Konseling untuk TB

Konseling yang khusus untuk TB sengaja dilakukan karena memang kasus TB di Kecamatan Cilongok termasuk masih banyak

f. Rawat Inap

Selain kegiatan promotif, preventif, dan kuratif puskesmas juga melakukan beberapa kegiatan rehabilitative di unit rawat inap yang tersedia

4. Derajat Kesehatan Mayarakat

Derajat Kesehatan Masyarakat merupakan gambaran kemampuan/ kinerja petugas kesehatan untuk mencapai indikatorkesehatan, kemampuan SKPD dalam merencanakan, melaksanakan, mengendalikan program/kegiatan sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan mengacu pada beberapa indikator yaitu umur harapan hidup, angka kematian, dan status gizi (Dinkes Indragiri Hilir, 2013). Derajat kesehatan masyarakat yang optimal adalah tingkat kondisi kesehatan yang tinggi dan mungkin dicapai pada suatu saat yang sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus (Dinkes Banyumas, 2013). Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152 menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya. Penyakit DBD merupakan masalah kesehatan di Indonesia karena incidence ratenya yang terus meningkat dan penyebarannya semakin luas. Berdasarkan data di atas, Pemerintah Indonesia terus berusaha memperbaiki program pemberantasan DBD. Program tersebut bertujuan untuk mengurangi penyebarluasan wilayah yang terjangkit DBD, mengurangi jumlah penderita DBD, dan menurunkan angka kematian akibat DBD (Maria, 2013).Strategi pemberantasan DBD lebih ditekankan pada upaya preventif, yaitu melaksanakan penyemprotan massal sebelum musim penularan penyakit di daerah endemis DBD. Selain itu digalakkan juga kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media. Pada kenyataannya, tidak mudah memberantas DBD karena terdapat berbagai hambatan dalam pelaksanaanya. Akibatnya strategi pemberantasan DBD tidak terlaksana dengan baik sehingga setiap tahunnya Indonesia terus dibayangi kejadian luar biasa (KLB) DBD (Sungkar, 2007).

Pada tahun 2006 Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus dengue terbanyak di Asia Tenggara yaitu sebanyak 106.425 pasien (57%) dengan 1132 kematian, atau 70% dari jumlah seluruh yang meninggal di Asia Tenggara. Tahun 2007 dilaporkan terjadi 140.000 kasus DBD dengan angka kematian 1380 (CFR 0,98 %).Tahun 2008 terdapat 137.469 kasus (IR = 59,02/100.000) dengan angka kematian 1187 (CFR 0,86%). Tahun 2009 terdapat 154.855 kasus dengan angka kematian 1.38 (CFR 0,89%). Tahun 2010 terdapat 156.086 kasus (IR = 65,70/100.000) dengan angka kematian 1.358 (CFR 0,87%). Tahun 2011 kasus DBD menurun cukup jauh yaitu menjadi 49.868 kasus (IR = 21/100.000) dan CFR 0,80% (Ditjen PP & PL,2010).

Banyumas masih berjuang untuk memberantas Demam Berdarah Dengue (DBD). Pasalnya hingga sekarang ada 35 desa dari 330 desa di Banyumas yang merupakan desa endemis DBD. Banyaknya desa endemis demam berdarah, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas menghimbau untuk melakukan PSN agar tidak terjadi lonjakan kasus yang diperkirakan terjadi April 2014. Data menyebutkan 35 desa endemis demam berdarah yakni Wangon, Sidabowa, Kedungwringin, Ajibarang Wetan, Lesmana, Karangsari, Karanglewas Kidul, Pengebatan, Rejasari, Kober, Kedungwuluh, Mersi, Arcawinangun, Sokanegara, Kranji, Purwokerto Lor, Teluk, Berkoh, Purwokerto Kulon, Tanjung, Karangpucung, Bancarkembar, Purwonegoro, Bobosan, Sumampir, Grendeng, Karangwangkal, Krangrau, Sokaraja Kulon, Tambaksari, Dukuhwaluh, Bojongsari, Pliken, Ledug dan Purwosari (Dinkes Banyumas, 2013).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Banyumas, dari 35 desa tersebut bernaung dalam 16 puskesmas yakni Wangon I, Patikraja, Ajibarang I, Ajibarang II, Cilongok I, Karanglewas, Purwokerto Barat, Purwokerto Timur I, Purwokerto Timur II, Purwokerto Selatan, Purwokerto Utara I, Purwokerto Utara II, Sokaraja I, Kembaran I, Kembaran II, dan Baturaden I (Dinkes Banyumas, 2013).

Untuk saat ini, perkembangan penggunaan teknologi pengendalian DBD secara nasional, seperti pengembangan vaksin DBD, sedang dilakukan tahap uji coba ke tengah masyarakat. Disamping itu juga, beberapa penelitian tentang obat (herbal) untuk mempercepat kenaikan trombosit dan melakukan kajian distribusi serotype virus dengue dilakukan di beberapa daerah endemis di seluruh Indonesia (Ditjen PP & PL, 2011).

Pemerintah Indonesia perlu membentuk sistem tersebut untuk memberikan peringatan dini bagi masyarakat setiap tahunnya sebelum terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) DBD sehingga masyarakat dapat mengantisipasinya. Sistem ini dapat memanfaatkan media elektronik sebagai sarana sosialisasi. Isi sosialisasi mencakup gejala khas DBD yaitu demam tinggi, perdarahan terutama di kulit, serta apa yang harus dilakukan terhadap penderita DBD. Sosialisasi juga perlu mencakup upaya pemberantasan DBD yang efektif dan efisien seperti PSN dan upaya perlindungan diri seperti pemasangan kelambu pada saat anak tidur siang, kawat kasa pada lubang ventilasi udara dan memakai penolak nyamuk (Sungkar, 2007).

Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Singapura, penelitian mengenai pengendalian vektor DBD di Indonesia masih tertinggal karena keterbatasan dana. Peningkatan anggaran untuk menunjang penelitian terhadap virus dengue maupun nyamuk Aedes aegypti dapat mendorong keberhasilan pemberantasan DBD. Pemberantasan DBD tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat namun perlu dilakukan terus menerus sehingga kemungkinan terjadinya KLB atau peningkatan jumlah penderita DBD dapat dihindari (Sungkar, 2007).

Secara umum tingkat kesehatan masyarakat di Kabupaten Banyumas dapat terlihat dari angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh sanitasi buruk seperti ditunjukkan melalui angka kesakitan diare, demam berdarah dan malaria. Angka kesakitan yang terjadi di Kabupaten Banyumas adalah sebagaimana data dibawah ini :Tabel 3.1. Penyakit berbasis lingkungan per Kecamatan Tahun 2010 (Dinkes Banyumas, 2010).NoKecamatanMalariaDBDDiare

1Lumbir17909

2Wangon0121.009

3Jatilawang09161

4Rawalo2101.943

5Kebasen26426

6Kemranjen74696

7Sumpiuh621.529

8Tambak521.244

9Somagede13325

10Kalibagor013759

11Banyumas05959

12Patikraja1151.023

13Purwojati021.779

14Ajibarang4203.204

15Gumelar015642

16Pekucen091.192

17Cilongok4131.358

18Karanglewas437961

19Kedungbanteng1251.989

20Baturaden1121.602

21Sumbang0111.696

22Kembaran0751.619

23Sokaraja130961

24Pwt Selatan01231.430

25Pwt Barat2931.191

26Pwt Timur048558

27Pwt Utara050988

Jumlah4265133.191

Gambar 2.2 Tabel Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan KaranglewasIII. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH

A. Daftar permasalahan kesehatan yang ada

Tabel 3.1. Permasalahan Kesehatan Berdasarkan Program Kesehatan

No.PermasalahanBesaran (Persentase)

1.AngkaKematianBayi18/1000 (1,8%)

2.AngkaKematianIbu2/1000 (0,2%)

3.Malaria0,16/10000 (0,0016%)

4.TB Paru3/10000 (0,03%)

5.DBD5/10000 (0,05%)

6.Status Gizi Kurang10,57%

7.Hipertensi0,28%

Tabel 3.2. Permasalahan Kesehatan Berdasarkan Gangguan Kesehatan

No.ProgramBesaran (Persentase)

1.ISPA2,49%

2.Gastritis1,28%

3.Dermatitis Alergi0,9%

4.Myalgia0,73%

5.Hipertensi0,71%

Berdasarkan data gambaran umum yang terdapat pada bab dua dan data pencapaian program kesehatan yang terdapat pada bab tiga, serta data permasalahan kesehatan tersebut di atas, langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah penyusunan prioritas masalah, yaitu:Komponen A : Besarnya MasalahTabel 3.3. Besarnya Masalah Besarnya masalah

(jumlah populasi yang terkena)Skor

25%10

10 24,9%8

1 9,9%6

0,1 0,9%4

< 0,1%2

Komponen B : Keseriusan MasalahTabel 3.4. Keseriusan Masalah

UrgencySkorSeveritySkorCostSkor

Very Urgent10Very Severe10Very Costly10

Urgent8Severe8Costly8

Some Urgent6Moderate6Moderate Cost6

Little Urgent4Minimal4Minimal Cost4

Not Urgent2None2No Cost2

Komponen C : Tersedianya solusi yang terbukti efektif untuk mencegah masalah kesehatan.Tabel 3.5. Keefektifan Solusi dan Pencegahan MasalahKeefektifanSkor

Sangatefektif (80 100%)10

Efektif (60 80%)8

Cukupefektif (40 60%)6

Kurangefektif (20 40%)4

Tidakefektif (0 20%)2

Komponen D : PEARL

Jawaban ya dan tidak, ya diberikan skor 1, tidak diberikan skor 0 (nol).

P :Propiety : kesesuaian program dengan masalah.

E : Economic : apakah secara ekonomi bermanfaat.

A : Acceptability: apakah bisa diterima masyarakat.

R : Resources: Adakah sumber daya untuk menyelesaikan masalah.

L: Legality: Tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada.Tabel 3.6. Hasil prioritas masalah berdasarkan metode Hanlon.

MasalahABCDNPDNPTPrioritas

USCRata rata

Angka Kematian Bayi410101010618484IV

Angka Kematian Ibu410101010618484IV

Malaria210888,678185,385,3III

TB Paru210688818080V

DBD210888,678185,385,3III

Balita dengan gizi kurang88667,3101153153I

Hipertensi48667,3101113113II

NPD (Nilai Prioritas Dasar) = (A+B) C

NPT (Nilai Prioritas Total) = [(A+B)C] x D

Dari hasilmetode Hanlon yang telah dilakukan didapatkan hasil urutan prioritas masalah adalah sebagai berikut:

1. Balita dengan gizi kurang

2. Hipertensi

3. Malaria dan DBD

B. Permasalahan terpilih dan dasar pemilihannya

Berdasarkan hasil metode Hanlon di atas, prioritas masalah utama adalah balita dengan gizi kurang. Akan tetapi, kelompok kami memilih kasus DBD karena di wilayah kecamatan Karang Lewas merupakan wilayah endemik DBD dan banyak masyarakat yang menderita DBD dalam kurun waktu 1 tahun.IV. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan (Anggraeni, 2010).B. EtiologiDemam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.

Terdapat 4 serotip virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat serotip ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus (Djunaedi, 2006).C. Vektor penularanNyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut berperan dalam penularan (Chahaya, 2003).1. Morfologi

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :a. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk yang lain. Mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki (Djunaedi, 2006).b. Pupa (kepompong)

Pupa atau kepompong berbentuk seperti Koma. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibandingkan larva (jentik)nya. Pupa nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain (Djunaedi, 2006).c. Larva (jentik)

Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva

1) Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.

2) Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm.

3) Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.

4) Larva instar IV berukuran paling besar 5mm.

Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat air buatan seperti pada potongan bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah daun, kaleng kosong, pot bunga, botol pecah, tangki air, talang atap, tempolong atau bokor, kolam air mancur, tempat minum kuda, ban bekas, serta barang-barang lainnya yang berisi air yang tidak berhubungan langsung dengan tanah. Larva sering berada di dasar container, posisi istirahat pada permukaan air membentuk sudut 45 derajat, sedangkan posisi kepala berada di bawah (Djunaedi, 2006).d. Telur

Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval yang mengapung satu persatu pda permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding penampungan air, Aedes aegypti betina bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam pada tempat-tempat yang berair sedikit, jernih, terlindung dari sinar matahari langsung, dan biasanya berada di dalam dan dekat rumah. Telur tersebut diletakkan satu persatu atau berderet pada dinding tempat air, di atas permukaan air, pada waktu istirahat membentuk sudut dengan permukaan air (Soegijanto, 2006).2. Lingkungan hidup

Nyamuk Aedes aegypti seperti nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna yaitu telur jentik kepompong nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur terendam air. Telur dapat bertahan hingga kurang lebih selama 2-3 bulan apabila tidak terendam air, dan apabila musim penghujan tiba dan kontainer menampung air, maka telur akan terendam kembali dan akan menetas menjadi jentik. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Djunaedi, 2006).Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan ke tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak terbang nyamuk betina biasanya 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya angin atau terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh (Soegijanto, 2006).3. Variasi musiman

Pada musim hujan tempat perkembangbiakan Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas. Selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue (Suhendro, 2009).4. Tempat perkembangbiakan

Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti ialah pada tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah (Soedarmo, 2008).

Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut (Suhendro, 2009):

a. Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan lain-lain.

b. Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang biasa menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti: tempat minum hewan peliharaan (ayam, burung, dan lain-lain), barang bekas (kaleng, botol, ban, pecahan gelas, dan lain-lain), vas bunga, perangkap semut, penampung air dispenser, dan lain-lain.

c. Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lain-lain.

D. EpidemiologiPenyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aides aegypti ini masih menjadi salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia karena angka kematian penderitanya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD yang semula terjadi setiap 5 tahun, kini semakin sering terjadi (Gama, 2010). Tahun 2004, kasus DBD menjadi KLB di 12 provinsi dengan jumlah penderita 79462 orang dan 957 diantaranya meninggal (Gama, 2010). Data sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 57% dari total kasus di Asia Tenggara, diikuti oleh Thailand 23%, kemudian Srilangka, Myanmar, dan India masing-masing 6% (WHO, 2007). Awal tahun 2007, kembali terjadi KLB di 11 provinsi di Indonesia. Jumlah kasus DBD 2007 hingga Juli 2007 tercatat sebanyak 102175 kasus dengan jumlah kematian mencapai 1098 jiwa (Gama, 2010).Di Jawa Tengah, sejak diketemukannya kejadian pada tahun 1969 sebanyak 3 kejadian sampai dengan tahun 1995 terus mengalami peningkatan berfluktuatif. Puncak kejadian terjadi pada tahun 1995 : 9628 orang ( IR : 3,27 per 10.000 penduduk) dengan kematian : 240 orang (CFR : 2,4 ). Sedangkan untuk tahun 1996 sampai dengan bulan Agustus telah dilaporkan sebanyak : 2.891 penderita (IR : 0,98 per 10.000 penduduk) dengan kematian : 79 penderita (CFR : 2,73). Kejadian tersebut tersebar di 35 Dati II dengan 567 desa endemis. Pada tahun 2002 jumlah kejadian sebanyak 6.483, angka kesakitan 1.95 per 10.000 penduduk, jumlah kematian 102 orang dengan angka kematian 1.5 %. Sedangkan pada tahun 2006 jumlah kejadian sebanyak 9670. Angka kesakitan 2,61 per 10.000 penduduk. Jumlah kematian sebanyak 206 orang dengan angka kematian 2.28 % (Dinkes Jateng, 1998).Jumlah kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Banyumas pada 5 (lima) tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Hasil pendataan dari instansi terkait jumlah kejadian DBD adalah sebagai berikut (4): 72 orang (th 2002) IR 0,69 per 10.000 penduduk, 97 orang (th 2003) IR 0,80 per 10.000 penduduk, 175 orang (th 2004) IR 1,22 per 10.000 penduduk dan 135 orang (th 2005) IR 0, 87 per 10.000 penduduk, 329 orang (2006 ) IR 1, 87 per 10.000 penduduk. Peningkatan kejadian terjadi di wilayah ibukota Kabupaten (wilayah perkotaan), pada th. 2006 kejadianya cukup tinggi, dari 329 kejadian sebanyak 114 kejadian terjadi di kota Purwokerto (Dinkes Banyumas, 2005).Dari 4 (empat) Kecamatan yang termasuk dalam wilayah kota Purwokerto data dari tahun 2004, 2005, dan 2006 dapat dilihat dari 27 Kelurahan yang ada 16 Kelurahan masuk dalam katagori endemis, sedangkan 11 Kelurahan lainya masuk dalam katagori sporadis dan Kecamatan Purwokerto Timur menempati urutan pertama dari banyaknya kejadian Demam Berdarah Dengue. Dari 6 (enam) Kelurahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Purwokerto Timur 4 (empat) Kelurahan masuk dalam katagori Kelurahan endemis dan 2 (dua) Kelurahan sporadis. Kecamatan Purwokerto Selatan dari 7 Kelurahan yang ada, 5 (lima) diantaranya masuk dalam katagori endemis 2 (dua) sporadis. Kecamatan Purwokerto Utara dari 7 (tujuh) Kelurahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan tersebut 4 (empat) masuk dalam katagori desa endemis, sedangkan (tiga) masuk dalam katagori sporadis, disusul kemudian Kecamatan Purwokerto Barat dari 7 (tujuh) Kelurahan yang masuk dalam katagori endemis sebanyak 4 (empat) Kelurahan sedangkan 3 (tiga) Kelurahan masuk dalam katagori sporadis (Teguh, 2007).E. Penularan1. Mekanisme penularan

Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk kedalam kelompok arthropod borne diseases. Virus dengue berukuran 35-45 nm. Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk (Handayani, 2007).

Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang infeksius (WHO, 2012).

Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa inkubasi instrinsik). Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu setelah menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya (Ginanjar, 2008).

Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat menularkan virus dengue (Soegijanto, 2006).Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00 dan sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiple biter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi (Ginanjar, 2008).

2. Tempat potensial bagi penularan DBD

Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah (Djunaedi, 2006):

a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis)

b. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat-tempat umum itu antara lain :

1) Sekolah Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD. 2) Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya:

Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue. 3) Tempat umum lainnya seperti : Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-lain.

c. Pemukiman baru di pinggiran kota

Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi awal.F. Faktor resikoBeberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD dan dalam penularan DBD pada manusia adalah (Sari, 2005) :1) Kepadatan penduduk, lebih padat lebih mudah untuk terjadi penularan DBD, oleh karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter.

2) Mobilitas penduduk, memudakan penularan dari suatu tempat ke tempat lain.

3) Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan bangunan akan mempengaruhi penularan. Bila di suatu rumah ada nyamuk penularnya maka akan menularkan penyakit di orang yang tinggal di rumah tersebut, di rumah sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-orang yang berkunjung kerumah itu.

4) Pendidikan, akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan.

5) Penghasilan, akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat ke puskesmas atau rumah sakit.

6) Mata pencaharian, mempengaruhi penghasilan

7) Sikap hidup, kalau rajin dan senang akan kebersihan dan cepat tanggap dalam masalah akan mengurangi resiko ketularan penyakit.

8) Perkumpulan yang ada, bisa digunakan untuk sarana PKM

9) Golongan umur, akan memperngaruhi penularan penyakit. Lebih banyak golongan umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk sakit DBD lebih besar.

10) Suku bangsa, tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masing-masing, hal ini juga mempengaruhi penularan DBD.

11)Kerentanan terhadap penyakit, tiap individu mempunyai kerentanan tertentu terhadap penyakit, kekuatan dalam tubuhnya tidak sama dalam menghadapi suatu penyakit, ada yang mudah kena penyakit, ada yang tahan terhadap penyakit.

Sedangkan faktor yang dianggap dapat memicu kejadian DBD adalah :

1) Lingkungan. Perubahan suhu, kelembaban nisbi, dan curah hujan mengakibatkan nyamuk lebih sering bertelur sehingga vektor penular penyakit bertambah dan virus dengue berkembang lebih ganas. Siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat sehingga jumlah populasi akan cepat sekali naik. Keberadaan penampungan air artifisial/ kontainer seperti bak mandi, vas bunga, drum, kaleng bekas, dan lain-lain akan memperbanyak tempat bertelur nyamuk. Penelitian oleh Ririh dan Anny (2005) tentang Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis Surabaya menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban, tipe kontainer, dan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.

2) Perilaku. Kurangnya perhatian sebagian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan tempat tinggal, sehingga terjadi genangan air yang menyebabkan berkembangnya nyamuk. Kurang baik perilaku masyarakat terhadap PSN (mengubur, menutup penampungan air), urbanisasi yang cepat, transportasi yang makin baik, mobilitas manusia antar daerah, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan, dan kebiasaan berada di dalam rumah pada waktu siang hari.Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor risiko kejadian DBD. Di Thailand, kelompok umur terbanyak terkena DBD adalah 5 - 9 tahun. Di Burma, kelompok umur rentan terkena DBD adalah 4 6 tahun. Di Indonesia pada awal terjadinya epidemik, kelompok umur antara 5 9 tahun lebih banyak terserang DBD. Ada kecenderungan peningkatan kasus pada kelompok umur lebih dari 15 tahun antara tahun 1993-1998 (Djunaedi, 2006). Tahun 1996 2000, infeksi dengue banyak menyerang kelompok umur 5 9 tahun, 10 14 tahun, dan 15 44 tahun (Soegijanto, 2006). Hasil penelitian Dardjito (2008), menunjukkan bahwa kelompok umur < 12 tahun berisiko 19,056 kali terkena DBD dibandingkan kelompok umur 12 tahun. Hasil pemantauan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa 66% penderita DBD di Kota Yogyakarta terjadi pada anak-anak dengan usia kurang dari 15 tahun. Kelompok umur tersebut atau lebih tepatnya adalah anak-anak, lebih rentan terkena DBD karena faktor daya tahan tubuh yang masih rendah (Dinkes Kota Yogyakarta, 2010), dan aktivitas rutin sehari-hari yang rata-rata berada di dalam gedung atau ruang sekolah, mobilitas tinggi dan banyak bertemu dengan orang lain atau teman lain di sekolah atau tempat bermain. Kelompok umur < 12 tahun memiliki daya tahan tubuh yang masih rendah dibandingkan kelompok umur yang lebih tua, sedangkan aktivitasnya sering bermain atau sekolah, dimana selama beberapa jam atau bahkan hampir seharian berada di dalam kondisi dan waktu yang meningkatkan risiko terkena gigitan nyamuk penular DBD bahkan multibiting (WHO, 2009) yang juga dapat meningkatkan risiko terkena infeksi sekunder sehingga meningkatkan risiko terkena DBD. Penelitian SB. Halstead (1969, disitasi oleh Elisa, 2011) menunjukkan bahwa anak-anak rentan mengalami DBD pada infeksi sekunder tapi dengan tipe virus yang berbeda. Pada anak-anak di bawah umur 12 tahun kekebalan humoral dengan jenis antibodi yang fungsinya lebih lemah daripada antibodi kekebalan seluler masih dominan. Di samping itu, sekolah merupakan salah satu tempat-tempat umum yang berisiko terjadi penularan DBD. Sekolah menjadi tempat berkumpulnya banyak orang dari berbagai tempat (Depkes, 2002).Secara statistik, faktor lingkungan berupa vegetasi (jumlah, tinggi, rimbunan, dan luas tanaman penutup lahan), kondisi tempat potensial perkembangbiakan, rumah (tipe dan jarak antara rumah), tidak berhubungan secara bermakna dengan kejadian DBD. Akan tetapi, jika dilihat pada besar OR, hasil menunjukkan bahwa OR antar kategori menunjukkan keadaan yang serupa dengan hasil penelitian lain. Jumlah tanaman 2 buah dalam satu rumah berisiko 2,500 kali terkena DBD dibandingkan rumah dengan jumlah tanaman satu buah atau tidak memiliki tanaman. Rumah yang memiliki jumlah tanaman sama dengan atau lebih dari 3 buah, risikonya sebesar 1,667 untuk terkena DBD dibandingkan dengan rumah yang tidak ada tanamannya atau hanya satu buah tanaman. Tinggi tanaman 1-2 m memiliki risiko paling besar (OR = 2,400) diantara tinggi tanaman yang lain. Rimbunan sinambung merata berisiko 1,083 kali terkena DBD dibandingkan yang rimbunannya jarang. Besar risiko ini lebih tinggi dibandingkan besar risiko rimbunan tak sinambung. Hasil survei ekologi di Central Lao PDR, Thailand yang dilakukan oleh Tsuda (2000) menunjukkan terdapat perbedaan jumlah pohon dan tinggi pohon antara daerah yang kepadatan vektornya tinggi (CI) dan jenis spesies nyamuk penularnya dominan adalah A. aegypti, dibandingkan daerah lainnya. Di daerah dengan kepadatan vektor tinggi, rata-rata jumlah pohon dan rata-rata persentase luas vegetasi penutup lahan lebih banyak atau lebih besar dan rata-rata tinggi pohon lebih rendah. Rumah dengan vegetasi tidak banyak (2 buah pohon) dan tinggi antara 1-2 m memiliki kontribusi terhadap perkembangbiakan nyamuk penular DBD. Hal ini berkaitan dengan ekologi dan biologi nyamuk. Suhu, kelembaban, cahaya berperan dalam mendukung perkembangbiakan dan kesukaannya untuk dapat hidup (Santoso, 1997). Sedikit berbeda pada variabel luas tanaman penutup lahan. Penelitian Tsuda (2000) secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa luas tanaman penutup lahan juga memiliki kontribusi terhadap perkembangbiakan nyamuk vektor.Tanaman penutup lahan yang keberadaannya lebih dekat dengan habitat nyamuk, jika terlalu banyak dan luas pertumbuhannya, menimbulkan kondisi yang kurang mendukung bagi perkembangbiakan nyamuk. Iklim mikro yang sesuai sangat diperlukan bagi perkembangbiakan nyamuk. Kelembaban kurang dari 60%, umur nyamuk akan menjadi pendek sehingga tidak cukup untuk siklus pertumbuhan virus dalam tubuh nyamuk (Depkes, 2004). Tetapi pada kelembaban relatif tinggi atau jenuh uap air (RH 100%), serangga atau telurmya mungkin terendam atau terinfeksi patogen dengan lebih cepat (Busnia, 2006). Hasil penelitian Octaviana (2007) menunjukkan bahwa daerah endemis memiliki kondisi fisik rumah yang lebih baik daripada wilayah sporadis yang dominan kondisi rumahnya buruk. Hasil penelitian Getis et.al (2003, disitasi oleh Octaviana, 2007) menunjukkan bahwa nyamuk Aedes dewasa lebih banyak ditemukan pada pemukiman dengan rumah berjarak 30 m. Mengenai kepadatan hunian, hasil penelitian Rahayu (2010) menunjukkan tidak berhubungan dengan kejadian DBD. Meskipun kepadatan hunian tinggi tidak berarti risiko tertular DBD tinggi. Anggota keluarga tidak selalu memiliki kebiasaan dan kondisi kerja yang sama. Ada anggota keluarga yang lebih sering berada di rumah setiap harinya dan ada yang lebih sering berada di luar rumah atau bekerja di luar atau bersekolah. Dengan demikian risiko tertular DBD dapat berbeda-beda.G. Penatalaksanaan

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter danperawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dankoloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan (Zein, 2004).

Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dantidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik (Depkes RI, 2005).

Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dankegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan Fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dangangguan hemostasis (WHO, 2013).

Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunanjumlah trombosit sampai 50.000/pl

6. Tiga hari setelah syok teratasi

7. Nafsu makan membaik

Gambar 4.3 Tatalaksana Kasus Demam Berdarah Dengue (Depkes RI, 2005).H. Pencegahan

Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah yaitu Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :

1. Lingkungan. Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh : menguras bak mandi / penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengubur kaleng-kaleng dan ban-ban bekas, menutup dengan rapat bak penampungan air, dan mengganti/menguras vas bunga / tempat minum burung seminggu sekali.2. Biologi. Yaitu berupa intervensi yang dilakukan dengan memanfaatkan musuhmusuh (predator) nyamuk yang ada di alam seperti ikan pemakan jentik (ikan cupang, dll), dan bakteri.3. Kimiawi. Yaitu berupa pengendalian vektor dengan bahan kimia, baik bahan kimia sebagai racun, bahan penghambat pertumbuhan, dan sebagai hormon. Penggunaan bahan kimia untuk pengendalian vektor harus mempertimbangkan kerentanan terhadap pestisida, bisa diterima masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme lain. Caranya adalah: a. pengasapan/fogging, b. memberi bubuk abate pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong, vas bunga, kolam, dan lain-lain.4. Terpadu. Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara yang dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program maupun lintas sektoral dan peran serta masyarakat. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat (Ditjen P2MPL, 2000).

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

Berdasarkan praktek lapangan yang kami lakukan di 13 desa cakupan wilayah kerja Puskesmas Karanglewas, didapatkan total 43 responden. Rincian daftar responden dan rekap data terlampir. Sedangkan jumlah responden per desa, yaitu:

1. Desa Babakan

: 3 Responden2. Desa Jipang

: 1 Responden3. Desa Karanggude Kulon : 6 Responden4. Desa Karangkemiri : 1 Responden5. Desa Karanglewas Kidul : 3 Responden6. Desa Kediri

: 2 Responden7. Desa Pangebatan

: 2 Responden8. Desa Pasir Kulon

: 9 Responden9. Desa Pasir Lor

: 5 Responden10. Desa Pasir Wetan : 6 Responden11. Desa Singasari

: 3 Responden12. Desa Sunyalangu

: 1 Responden13. Desa Tamansari

: 1 RespondenData awal yang diberikan Puskesmas yaitu 44, tetapi karena ada satu orang yang pindah akhirnya didapat total data 43 tersebut. Sehingga masih memenuhi standar minimal data survey.B. Hasil1. Data Responden

Data responden terlampir.

2. Persebaran Responden

a. Berdasarkan umur responden

Gambar 5.1. Usia penderita DBD di kecamatan Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran usia penderita pada kasus penyakit Demam berdarah dengue paling besar pada usia 31-40 tahun sebesar 44,19 % (Gambar 5.1).

b. Berdasarkan pendidikan terakhir responden

Gambar 5.2. Tingkat pendidikan terakhir penderita DBD di kecamatan Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran status pendidikan terakhir pada kasus penyakit DBD paling besar adalah pada kelompok lulusan Sekolah dasar sebesar 41,86% (Gambar 5.2).

c. Berdasarkan status kerja responden

Gambar 5.3. Status pekerjaan penderita DBD di kecamatan Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran status Status Pekerjaan pada kasus penyakit DBD paling besar adalah pada kelompok ibu rumah tangga sebesar 27,9% dan yang paling rendah pada pelajar sebesar 4,65% (Gambar 5.3).3. Risiko Responden

a. Berdasarkan pengetahuan responden tentang adanya penyakit

Gambar 5.4. Grafik faktor risiko ketidaktahuan mengenai DBD pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini kami menemukan bahwa 60,47% responden yang pernah menderita DBD memiliki pengetahuan yang baik mengenai DBD itu sendiri sedangkan untuk yang kurang mengerti mengenai DBD sebesar 39,53% (Gambar 5.4).

b. Berdasarkan pengetahuan responden tentang penyebab penyakit

Gambar 5.5. Grafik faktor risiko ketidaktahuan penyebab DBD pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini kami menemukan bahwa 60,47% responden yang pernah menderita DBD memiliki pengetahuan yang baik mengenai penyebab DBD itu sendiri sedangkan untuk yang kurang mengerti mengenai penyebab DBD sebesar 39,53% (Gambar 5.5).

c. Berdasarkan pengetahuan responden tentang gejala penyakit

Gambar 5.6. Grafik faktor risiko ketidaktahuan mengenai gejala DBD pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini sebesar 86,05% responden yang pernah menderita DBD memiliki pengetahuan yang baik mengenai gejala DBD itu sendiri sedangkan untuk yang kurang mengerti mengenai gejala DBD sebesar 13,95% (Gambar 5.6). d. Berdasarkan pengetahuan responden tentang cara penularan penyakit

Gambar 5.7. Grafik faktor risiko ketidaktahuan mengenai cara penularan DBD pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini sebesar 61,63% responden yang pernah menderita DBD memiliki pengetahuan yang baik mengenai cara penularan DBD itu sendiri sedangkan untuk yang kurang mengerti mengenai cara penularan DBD sebesar 38,37% (Gambar 5.7).

e. Berdasarkan pengetahuan responden tentang cara pencegahan penyakit

Gambar 5.8. Grafik faktor risiko ketidaktahuan mengenai pencegahan DBD pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini kami menemukan 76,75% responden yang pernah menderita DBD memiliki pengetahuan yang baik mengenai pencegahan DBD itu sendiri sedangkan untuk yang kurang mengerti mengenai pencegahan DBD sebesar 23,25% (Gambar 5.8).

4. Faktor Risiko Penampungan Air

a. Berdasarkan adanya tempat penampungan air

Gambar 5.9. Grafik faktor risiko keberadaan tempat penampungan air di rumah penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini sebesar 74,42% responden yang pernah menderita DBD memiliki tempat penampungan air sedangkan 25,58% penderita DBD tidak memiliki penampungan air (Gambar 5.9).

b. Berdasarkan adanya kondisi tempat penampungan air

Gambar 5.10. Grafik faktor risiko kondisi tempat penampungan air pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.Pada penelitian ini sebesar 72,09% responden yang pernah menderita DBD memiliki kondisi tempat penampungan air yang tidak ditutup rapat dan sebesar 27,91% tidak memiliki tempat penampungan air yang tidak bia ditutup rapat (Gambar 5.10).

c. Berdasarkan kebersihan tempat penampungan air

Gambar 5.11. Grafik faktor risiko jarang menguras penampungan air pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini sebesar 67,42% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan menguras tempat penampungan air yang dikuras seminggu sekali dan 32,56% menguras lebih dari satu seminggu sekali (Gambar 5.11).

5. Faktor Risiko Sampah Rumah Tangga

a. Berdasarkan adanya tempat sampah didalam rumah

Gambar 5.12. Grafik faktor risiko adanya tempat sampah di dalam rumah pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Sebesar 86,05% responden yang pernah menderita DBD pada penelitin ini memiliki tempat sampah di sekitar dan di dalam rumah dan sebesar 13,95% tidak memiliki tempat sampah di dalam rumah (Gambar 5.12).

b. Berdasarkan kebersihan tempat sampah didalam rumah dan di lingkungan sekitar

Gambar 5.13. Grafik faktor risiko sampah yang tidak dikelompokkan pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Sebesar 62,8% responden yang pernah menderita DBD pada penelitian ini memiliki memisah sampah organik dan anorganik dan sebesar 37,2% tidak melakukannya (Gambar 5.13).

c. Berdasarkan ada / tidaknya petugas kebersihan pengelola sampah

Gambar 5.14 Grafik faktor risiko ketiadaan petugas pengelola sampah pada lingkungan tempat tinggal penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini sebesar 97,67% responden yang pernah menderita DBD pada lingkungan sekitarnya tidak terdapat petugas pengelola sampah rumah tangga dan sampah lingkungan dan sebesar 2,33% sisanya memiliki petugas pengelola sampah (Gambar 5.14).

d. Berdasarkan cara pengelolaan sampah

Gambar 5.15. Grafik faktor risiko pengelolaan sampah mandiri pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini sebesar 95,35% responden yang pernah menderita DBD mengelola sampah secara mandiri dan sebesar 4,65% mengelola sampah secara bersama-sama di lingkungannya (Gambar 5.15).

6. Faktor Risiko Kebiasaan Menggantung Pakaian

a. Berdasarkan kebiasaan keluarga mencuci pakaian

Gambar 5.16. Grafik faktor risiko kebiasaan menunda mencuci pakaian pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini sebesar 39,53% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan tidak mencuci pakaian secara langsung tetapi menggantungnya di kamar dan sebesar 60,47% sisanya langsung mencuci pakaiannya (Gambar 5.16).

b. Berdasarkan kebiasaan menggantung pakaian

Gambar 5.17. Grafik faktor risiko menggantung pakaian pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Sebesar 65,12% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan menggantung pakaian yang telah digunakan dan sebesar 34,88% tidak memiliki kebiasaan menggantung pakaian (Gambar 5.17).

7. Faktor Risiko Barang Bekas

a. Berdasarkan ada atau tidaknya barang bekas di lingkungan sekitar rumah

Gambar 5.18. Grafik faktor risiko menyimpan barang bekas di lingkungan sekitar rumah pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini angka terbesar 41,87% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan menyimpan barang bekas di lingkungan sekitar rumah dan hanya 11,62% responden sering dan kadang-kadang menyimpan barang bekas di rumah (Gambar 5.18).

b. Berdasarkan kebiasaan mengubur atau membersihkan barang bekas

Gambar 5.19. Grafik faktor risiko tidak mengubur dan tidak membersihkan barang bekas pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini angka terbesar 69,77% responden yang pernah menderita DBD tidak memiliki kebiasaan mengubur dan membersihkan barang bekas di lingkungan sekitar rumah bahkan hanya seringkali ditumpuk saja disekitar rumah (Gambar 5.19).

8. Faktor Risiko Kebiasaan Memakai Kelambu

a. Berdasarkan kebiasaan keluarga pada pagi hari atau siang hari

Gambar 5.20. Grafik faktor risiko kebiasaan tidur siang pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini angka terbesar 44,19% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan tidak tidur siang di rumah dan hanya 4,65% responden kadang-kadang memiliki kebiasaan tidur siang di rumah (Gambar 5.20).

b. Berdasarkan kebiasaan tidur menggunakan kelambu

Gambar 5.21. Grafik faktor risiko kebiasaan tidur tidak menggunakan kelambu pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini angka terbesar 56% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan tidur menggunakan kelambu dan hanya 44% responden tidak memakai menggunakan kelambu (Gambar 5.21).

9. Faktor Risiko Kebiasaan Memakai Lotion Anti Nyamuk

a. Berdasarkan kebiasaan memakai lotion anti nyamuk saat tidur (pagi/siang hari)

Gambar 5.22. Grafik faktor risiko kebiasaan tidak memakai lotion anti nyamuk pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

b. Berdasarkan kebiasaan memakai lotion anti nyamuk saat keluar rumah(pagi/sianghari).

Gambar 5.23. Grafik faktor risiko tidak memakai lotion saat keluar rumah pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.Pada hasil pengamatan sebesar 88% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan tidak menggunakan lotion anti nyamuk saat keluar rumah dan 12% responden tidak menggunakan lotion anti nyamuk saat keluar rumah (Gambar 5.23).10. Faktor Risiko PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk)

a. Berdasarkan adanya kegiatan fogging

Gambar 5.24. Grafik faktor risiko tidak dilakukannya fogging di lingkungan penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Pada penelitian ini angka terbesar 42% responden yang pernah menderita DBD pada daerah sekitar rumahnya tidak dilakukan fogging dan 30% responden mengaku tindakan fogging dilakukan kadang-kadang dan hanya 28% responden yang lingkungannya sering di fogging terutama ketika terjadi penyebaran DBD yang meningkat dilingkungannya (Gambar 5.24).b. Berdasarkan ada atau tidaknya penyuluhan mengenai pemberantasan sarang nyamuk

Gambar 5.25. Grafik faktor risiko tidak adanya penyuluhan pemberantasan nyamuk di lingkungan penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013. Sebesar 49% responden yang pernah menderita DBD tidak pernah mendapatkan penyuluhan mengenai pemberantasan sarang nyamuk dan 28% responden mengaku penyuluhan pemberantasan sarang nyamuk dilakukan kadang-kadang dan hanya 24% responden yang lingkungannya sering memperoleh penyuluhan pemberantasan sarang nyamuk (Gambar 5.25).

c. Berdasarkan ada atau tidaknya petugas pengecekan jentik nyamuk

Gambar 5.26. Grafik faktor risiko tidak adanyanya petugas PSN di lingkungan penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.

Sebesar 63% responden yang pernah menderita DBD mengaku tidak ada petugas pemeriksa jentik nyamuk di lingkungannya dan 22% responden mengaku petugas sarang nyamuk mlakukan pemeriksaan kadang-kadang dan hanya 24% responden yang lingkungannya sering diperiksa oleh petugas pemeriksa jentik nyamuk (Gambar 5.26).d. Berdasarkan ada atau tidaknya pemberian bubuk abate secara gratis

Gambar 5.27. Grafik faktor risiko tidak adanya pembagian bubuk abate oleh pemerintah di lingkungan penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.Sebesar 74% responden yang pernah menderita DBD tidak pernah menerima pembagian abate gratis oleh pemerintah, 14% responden mengaku kadang-kadang memperoleh abate gratis dan hanya 12% responden yang lingkungannya sering memperoleh abate gratis (Gambar 5.27).

e. Berdasarkan ada atau tidaknya pemberian bubuk abate pada tempat penampungan air

Gambar 5.28. Grafik faktor risiko tidak memberikan bubuk abate pada penambungan air pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.Pada penelitian ditemukan 83% penderita demam berdarah dengue tinggal di lingkungan rumah yang tidak padat, sedangkan pada 17% lainnya tinggal di lingkungan rumah yang padat. Kepadatan populasi berhubungan dengan ketersediaan air bersih. Semakin padat penduduk di wilayah tersebut, semakin kurang ketersediaan air bersih di wilayah tersebut, dan begitu pula sebaliknya. Bila kebutuhan air bersih tidak tersedia, maka salah satunya dapat menyebabkan penyakit demam berdarah dengue di wilayah tersebut, sebab penyakit demam berdarah dengue ini sangat berhubungan erat dengan sanitasi air di lingkungan tersebut (Depkes RI, 2000) (Gambar 5.28).

11. Faktor Risiko Pemeliharaan Ikan Pemakan Jentik

a. Berdasarkan ada atau tidaknya kebiasaan memelihara ikan di tempat penampungan air

Gambar 5.29. Grafik faktor risiko kebiasaan tidak memelihara ikan pemakan jentik pada penampungan air pada penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas Tahun 2013.Pada penelitian di beberapa desa di kecamatan Karanglewas ditemukan 58% warga tidak memelihara ikan pemakan jentik di tempat penampungan air, sedangkan 42% lainnya memelihara ikan di tempat penampungan air. Jenis ikan yang dipelihara paling banyak adalah ikan mas. Selain di bak mandi, di lingkungan sekitar rumah terdapat beberapa kolam yang berisi ikan lele (Gambar 5.29).C. PembahasanHasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor risiko kejadian DBD. Di Thailand, kelompok umur terbanyak terkena DBD adalah 5 - 9 tahun. Di Burma, kelompok umur rentan terkena DBD adalah 4 6 tahun. Di Indonesia pada awal terjadinya epidemik, kelompok umur antara 5 9 tahun lebih banyak terserang DBD. Ada kecenderungan peningkatan kasus pada kelompok umur lebih dari 15 tahun antara tahun 1993-1998 (Djunaedi, 2006). Tahun 1996 2000, infeksi dengue banyak menyerang kelompok umur 5 9 tahun, 10 14 tahun, dan 15 44 tahun (Soegijanto, 2006).

Kelompok umur muda memiliki daya tahan tubuh yang masih rendah dibandingkan kelompok umur yang lebih tua, sedangkan aktivitasnya sering bermain atau sekolah, dimana selama beberapa jam atau bahkan hampir seharian berada di dalam kondisi dan waktu yang meningkatkan risiko terkena gigitan nyamuk penular DBD bahkan multibiting dan juga pada usia sekitar 31-40 tahun menjadi rentan DBD ketika pekerjaan yang dilakukan di dalam ruangan terutama rumah seperti ibu rumah tangga (WHO, 2009)Penyakit DBD bersifat endemis, sampai saat ini penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan yang cukup serius untuk diwaspadai, karena sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian pada banyak orang terutama anak-anak. Pendidkan merupakan salah satu faktor resiko yang berpengaruh secaaar tidak langsung terhadap kejadian DBD. Pengetahuan dan kesadaran yang tidak baik mampu memicu terjadinya daerah endemis DBD (Aryanti, 2012).Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di suatu wilayah seperti tingkat pengetahuan menjadi salah satu faktor mengenai pencegahan dan pemberantasan DBD. Ketika pengetahuan tentang DBD rendah maka yang terjadi adalah kemungkinan angka kejadian terjadinya DBD akan semakin meningkat. (RSPI SS, 2007).Jumlah kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Banyumas pada 5 (lima) tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Hasil pendataan dari instansi terkait jumlah kejadian DBD adalah sebagai berikut: 72 orang (tahun 2002) IR 0,69 per 10.000 penduduk, 97 orang (tahun 2003) IR 0,80 per 10.000 penduduk, 175 orang (tahun 2004) IR 1,22 per 10.000 penduduk dan 135 orang (th 2005) IR 0, 87 per 10.000 penduduk, 329 orang (tahun 2006) IR 1, 87 per 10.000 penduduk. Peningkatan kejadianterjadi di wilayah ibukota Kabupaten (wilayah perkotaan), pada th. 2006 kejadianya cukup tinggi, dari 329 kejadian sebanyak 114 kejadian terjadi di kota Purwokerto (Dinkes Banymas, 2006). Adapun kejadian penyakit DBD sangat berkaitan dengan faktor kerentanan host dan kondisi lingkungan yang sesuai untuk berkembangnya agen dan vektor. Faktor risiko DBD dipaparkan sebagai berikut (Dardjito, et al., 2008):1. UmurPada awal terjadinya wabah di suatu negara distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang digolongkan dalamgolongan umur dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak adalah anak dengan umur 5-11 tahun. Dari kejadian kasus DBD di Purwokerto.Timur rata-rata umur < 12 tahun lebih banyak di bandingkan dengan umur > 12 tahun, ini didukung oleh kebiasaan masyarakat bahwa anak-anak kebanyakan aktivitasnya berada di dalam rumah, sehingga kemungkinan kontak dengan nyamuk Aedes aegypti lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa muda maupun orang tua kebanyakan aktivitasnya di luar rumah.2. Tempat penampungan air

Ditjen PPM & PLP Depkes, menyatakann bahwa tempat perkembangbiakkan utama jentik Aedes aegypti pada tempat-tempat penampungan air di dalam atau di luar rumah atau sekitar rumah, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perkembangbiakkan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana dan tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 1999).3. Tanaman di sekitar rumahSalah satu jenis tempat perkembangbiakkan nyamuk Aedes aegypti yaitu tempat penampungan air alamiah seperti, lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, potongan bambu dan Iain-lain.10'11 Besarnya risiko kejadian DBD pada kelompok yang di rumahnya terdapat tanaman 2,667 kali lebih besar dibandingkan responden yang di sekitar rumahnya tidak terdapat tanaman. Tanaman yang tumbuh dan terdapat di sekitar rumah dapat menjadi tempat tertampungnya air secara alamiah, sehingga dapat menjadi tempat perkembangbiakkan nyamuk Aedes aegypti. Lingkungan biologik yang mendukung perkembangbiakkan nyamuk penular penyakit DBD adalah adanya tanaman bias yang berisi air dan tanaman pekarangan/sekitar rumah di samping dapat menampung air secara alami dapat pula mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah, sehingga menjadi tempat yang disenangi oleh nyanmk. Aedes egypti untuk istirahat.4. Kebiasaan tidur siang

Waktu menggigit nyamuk Aedes aegypti lebih banyak pada siang hari daripada malam hari, yaitu antara jam 08.00 - 12.00 dan jam 15.00-17.00 dan banyak menggigit di dalam rumah dari pada di luar rumah.5. Kebiasaan gantung pakaian

Menurut penelitian Widyana kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah mempunyai risiko terkena penyakit DBD 4,8 kali daripada yang mempunyai kebiasaan tidak menggantung pakaian. Penelitian Thomas Suroso, Ali Imran Umar, yang menyebutkan tempat istirahat yang disukai oleh nyamuk Aedes aegypti yaitu: benda-benda yang tergantung yang ada di dalam rumah, seperti gorden; kelambu dan baju/pakaian di kamar yang gelap dan lembab. WHO Regional Publication SEARO No. 29, menyebutkan: nyamuk Aedes aegypti lebih menyukai beristirahat di tempat yang gelap, lembab, tempat tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk tempat tidur, kloset, kamar mandi dan dapur. Walaupun jarang juga ditemukan di luar rumah di tanaman atau tempat terlindung lainnya. Tempat beritirahat di dalam rumah adalah di bawah perabotan, bendabenda yang tergantung seperti baju/pakaian, tirai dan dinding. Ketidaksesuaian hasil penelitian dengan hasil peneltian yang telah ada dapat dikarenakan faktor-faktor lain turut menentukan diantarannya walaupun pakaian bergelantungan tetapi adanya penggunaan obat nyamuk menjadikan populasi nyamuk menjadi sedikit yang pada gilirannya memperkecil kemampuan untuk menyebarkan penyakit DBD.6. Kebiasaan menggunakan obat nyamuk

Metode perlindungan diri digunakan oleh individu atau kelompok kecil pada masyarakat untuk melindungi diri mereka sendiri dari gigitan nyamuk dengan cara mencegah antara tubuh manusia dengan nyamuk, dimana peralatan kecil, mudah dibawa dan sederhana dalam penggunaannya. Salah satunya yaitu obat nyamuk. Berdasarkan jurnal Media Litbang, terlihat bahwa untuk kelompok kasus jumlah responden yang mempunyai kebiasaan menggunakan obat nyamuk 30 responden (60%), sedangkan untuk kelompok kontrol sebanyak 21 responden (42%). Dari analisis statistik didapatkan nilai OR sebesar 2,071 dan (95% CI:0,933-4,597). Hal ini berarti bahwa besarnya risiko kejadian DBD belum tentu karena tidak menggunakan obat nyamuk.7. Cuaca

Dari data-data penderita klinis DBD/DSS 1975 1981 yang dilaporkan di Indonesia diperoleh bahwa musim penularan demam berdarah pada umumnya terjadi pada awal musim hujan permulaan tahun dan akhir tahun). Hal ini dikarenakan pada musim hujan vektor penyakit demam berdarah populasinya meningkat dengan bertambah banyaknya sarangsarang nyamuk diluar rumah sebagai akibat sanitasi lingkungan yang kurang bersih, sedang pada musim kemarau Ae. aegypti bersarang di bejana-bejana yang selalu terisi air seperti bak mandi, tempayan, drum dan penampungan air.Tabel 5.1. Rekapitulasi faktor risiko yang paling berpengaruh dalam kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas tahun 2013.NoFaktor RisikoBerisikoTidak Berisiko

1Ada/ tidaknya petugas kebersihan pengelola sampah97,67%2,33%

2Cara pengelolaan sampah95,35%4,65%

3Ada atau tidaknya pemberian bubuk abate secara gratis88%12%

4Ada atau tidaknya pemberian bubuk abate pada tempat penampungan air88%12%

5Kebiasaan memakai lotion anti nyamuk saat keluar rumah (pagi/sianghari)88%12%

6Adanya tempat sampah didalam rumah86,05%13,95%

7Ada atau tidaknya petugas pengecekan jentik nyamuk86%14%

8Ada atau tidaknya penyuluhan mengenai pemberantasan sarang nyamuk76%24%

9Adanya tempat penampungan air

74,42%25,58%

10Kondisi tempat penampungan air72,09%27,91%

11Adanya kegiatan fogging70%30%

12Kebiasaan mengubur atau membersihkan barang bekas69,77%39,54%

13Kebiasaan menggantung pakaian65,12%34,88%

14Ada atau tidaknya kebiasaan memelihara ikan di tempat penampungan air58%42%

15Kebiasaan memakai lotion anti nyamuk saat tidur (pagi/siang hari)51%49%

16Kebiasaan keluarga pada pagi hari atau siang hari44,19%4,56%

17Kebiasaan keluarga pada pagi hari atau siang hari44,19%4,56%

18Kebiasaan tidur menggunakan kelambu44%56%

19Kebiasaan keluarga mencuci pakaian39,53%60,47%

20Pengetahuan responden tentang adanya penyakit39,53%60,47%

21Pengetahuan responden tentang penyebab penyakit39,53%60,47%

22Pengetahuan responden tentang cara penularan penyakit38,37%61,63%

23Kebersihan tempat sampah didalam rumah dan di lingkungan sekitar37,20%62,80%

24Kebersihan tempat penampungan air32,56%67,42%

25Pengetahuan responden tentang cara pencegahan penyakit23,25%76,75%

26Pengetahuan responden tentang gejala penyakit13,95%86,05%

VI. KESIMPULAN DAN SARANA. KesimpulanBerdasarkan pengamatan kami pada responden di wilayah kerja Puskesmas Karang Lewas, didapatkan faktor risiko yang memiliki kecenderungan kaitan dengan demam berdarah dengue, yaitu :1. Tempat penampungan air

Sebagian besar penderita DBD memiliki tempat penampungan air yaitu sebanyak 74,42% dari seluruh responden. Kondisi tempat penampungan air, 72,09% responden yang pernah menderita DBD memiliki kondisi tempat penampungan air yang tidak ditutup rapat. Kebiasaan menguras tempat penampungan air, 67,42% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan menguras tempat penampungan air yang dikuras seminggu sekali dan 32,56% menguras lebih dari satu seminggu sekali.

2. Tempat sampah

Sebagian besar penderita DBD pada penelitian ini memiliki tempat sampah di sekitar dan di dalam rumah yaitu sebesar 86,05%. Petugas pengelola sampah, 97,67% responden yang pernah menderita DBD pada lingkungan sekitarnya tidak terdapat petugas pengelola sampah rumah tangga dan sampah lingkungan. Pengelolaan sampah, 95,35% responden yang pernah menderita DBD mengelola sampah secara mandiri.

3. Menggantung pakaian

Sebagian besar penderita DBD memiliki kebiasaan menggantung pakaian yang telah digunakan sebesar 65,12%.

4. Barang bekas

Sebanyak 41,87% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan menyimpan barang bekas di lingkungan sekitar rumah dan hanya 11,62% responden sering dan kadang-kadang menyimpan barang bekas di rumah. Kebiasaan mengubur dan membersihkan barang bekas, angka terbesar 69,77% responden yang pernah menderita DBD tidak memiliki kebiasaan mengubur dan membersihkan barang bekas di lingkungan sekitar rumah bahkan hanya seringkali ditumpuk saja disekitar rumah.

5. Kebiasaan memakai kelambu dan lotion anti nyamuk

Sebanyak 56% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan tidur menggunakan kelambu dan sebanyak 88% responden yang pernah menderita DBD memiliki kebiasaan tidak menggunakan lotion anti nyamuk saat keluar rumah.

6. Fogging

Angka terbesar yang didapatkan adalah 42% responden yang pernah menderita DBD pada daerah sekitar rumahnya tidak dilakukan fogging dan 30% responden mengaku tindakan fogging dilakukan kadang-kadang dan hanya 28% responden yang lingkungannya sering di fogging terutama ketika terjadi penyebaran DBD yang meningkat dilingkungannya.

7. Penyuluhan dan petugas pemeriksa jentik

Sebesar 49% responden yang pernah menderita DBD tidak pernah mendapatkan penyuluhan mengenai pemberantasan sarang nyamuk dan sebesar 63% responden yang pernah menderita DBD mengaku tidak ada petugas pemeriksa jentik nyamuk di lingkungannya.

8. Memelihara ikan pemakan jentik

Didapatkan sebesar 58% warga tidak memelihara ikan pemakan jentik di tempat penampungan air.B. Saran1. Masyarakat dapat menjaga kebersihan rumah dan lingkungan 2. Puskesmas memberi penyuluhan (edukasi) kepada Masyarakat yang belum mengerti mengenai DBD dan melakukan pemantauan secara komprehensif

3. Puskesmas rutin melakukan pemantauan jentik-jentik di lingkungan masyarakat dan rumah warga sebagai pencegahan DBD

4. Pembagian bubuk ABATE secara gratis dan merata harus dikoordinasikan oleh puskesmas

5. Masyarakat dapat mencegah DBD bersama puskesmas agar tidak selalu menjadi daerah endemis DBD.DAFTAR PUSTAKAAnggraeni Dini Siti. 2010. Stop Demam Berdarah Dengue. Bogor : Bogor Publishing.

Busnia, M. 2006. Entomologi. Yogyakarta: Andalas University Press.Chahaya I, 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia. Medan : USU Digital Library.

Dardjito, E., Yuniarno, S., Wibowo, C., Saptaprasetya DL, A., Dwiyanti, H. 2008. Beberapa Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Banyumas. Media Litbang Kesehatan, Vol XVIII No.3 (126-136).

Depkes. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Jakarta: Depkes RI.Depkes. 2002. Pedoman Survai Entomologi Demam Berdarah Dengue. Cetakan kedua. Jakarta: Depkes RI.Dinkes Kota Yogyakarta. 2010. Pemantauan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Kota Yogyakarta (sampai Tribulan II Tahun 2010) [Internet]. Available at : (Diakses pada 27 Desember 2013).Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. 2005. Profil Kesehatan Banyumas dalam Teguh Widiyanto: Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Purwokerto JawaTengah 2007. Semarang: UNDIP.

Ditjen P2M&PLP. 2001. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.Djunaedi, D. 2006. Demam Berdarah Dengue (DBD). Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.

Elisa, P. 2010. Kekebalan Cegah Demam Berdarah. Available at: (Diakses tanggal 29 Desember 2013).Gama, T.A. and Betty, R.F. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian DBD di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Surakarta: Eksplanasi, Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober.

Ginanjar. 2008. Demam Berdarah, a survival quide, Cet. 1., Yogyakarta: PT Benteng Pustaka.

Handayani, K. 2007. Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Tangerang. Jurnal Ekologi Kesehatan, Volume 6 No. 1.

Hadinegoro, Sri Rezeki H. dan Hindra Irawan Satari. 2005. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Topik Utama Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI.

Octaviana, D. 2007. Faktor Risiko Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Wilayah Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada..

Rahayu, M. 2010. Studi Kohort Kejadian Penyakit DBD di Wilayah Kecamatan Sawahan Kota Surabaya Tahun 2010. Tesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. RSPI SS. Available at : (Diakses pada 26 Desember 2013).

Soedarmo, S. S. P., Garna, H. H., Satari HI. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.

Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press.

Suhendro, dkk. 2009. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Santoso, L. 1997. Pengantar Entomologi Kesehatan Masyarakat. Jilid II. Semarang: UNDIP.Sari, Cut,I,N. 2005. Pengaruh LingkunganTerhadap Perkembangan Penyakit Malaria dan Demam Berdarah Dengue. Available at: (Diakses pada Desember 2013).

Siregar, A. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan DBD di Indonesia. Available at: (Diakses Desember 2013).

Teguh Widiyanto. 2007. Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Purwokerto JawaTengah. Semarang: UNDIP.

Tsuda, Y., Kobayashi, J., Nambanya, S., Miyagi, I., Toma, T., Phompida, S. & Manivang, K. 2002. An Ecological Survai of Dengue Vector Mosquitos in Central Lao PDR. Southeast Asian J Trop Med Public Heatlh, 33 (1), Maret, hal. 63-67.World Health Organization. 2009. Dengue : Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. Geneva : WHO.World Health Organization. 1999. Regional Guidelines on Dengue/DHF Prevention and Control (Regional Publication 29/1999) : Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Available at : (Diakses tanggal 28 Desember 2013).World Health Organization. 2007. Situation Update of Dengue in SEA Region. Available at: (Diakses pada 27 Desember 2013).LAMPIRAN

A. Daftar Responden

No. Nama RespondenJKUsiaBBTBPekerjaan Alamat

1AULIAP1135130PELAJARPasir kulon RT 02/ RW 05, Karanglewas

2LATIFAHP3370WIRASWASTAPasir kulon RT 01/ RW 01, Karanglewas

3ENI HIDAYATIP3650154IBU RTPasir kulon RT 01/ RW 01, Karanglewas

4M. SAMSIL4370160LURAHPasir kulon RT 01/ RW 02, Karanglewas

5ALIF ARIFINL2359173SGM MOROPasir kulon RT 03/ RW 04, Karanglewas

6WAIMAHP314560IBU RTPasir kulon Rt 01/ RW 05, Karanglewas

7ERNI SUSANTIP3647155WIRASWASTAPasir kulon RT 02/ RW 03, Karanglewas

8ILHAM BAGUSL2280177SOPIRJalan Balai Desa RT 01/ RW 04, Karanglewas

9ARINA JUNAEDIL2260162SWASTAKarang Gude RT 04/ RW 03, Karanglewas

10DISAML6153150PENSIUNKarang Gude RT 06/ RW 01, Karanglewas

11RASIWANL4567158BURUH Karang Gude RT 06/ RW 01, Karanglewas

12INDRI PRIYATNIP3367158PEGAWAI Karang Gude RT 07/ RW 01, Karanglewas

13DARTOL3465160PEDAGANGKarang Gude RT 02/ RW 02, Karanglewas

14WARDI M ESAL3453157PEDAGANGKarang Gude RT 03/ RW 01, Karanglewas

15ANA FEOKINAN EP4350160BIDANKedung waluh RT 02/ RW 08, Karanglewas

16TEGUHL2155175KARYAWAN SWASTAKediri RT 04/ RW 05, Karanglewas

17NINAP3656145SWASTAKediri RT 03/ RW 05, Karanglewas

18SUSIP3675155DAGANGKaranglewas kidul RT 02/ RW 06, Karanglewas

19RETNO ALBIROP5060162GURUKaranglewas kidul RT 03/ RW 02, Karanglewas

20SITI KHAMDIYAHP4953150DAGANGKaranglewas kidul RT 04/ RW 03, Karanglewas

21Rian SusantiP3067158Ibu Rumah TanggaPasir kulon Rt 01/ RW 05, Karanglewas

22Siti SolikhahP3665160Ibu Rumah TanggaPasir wetan RT 02/ RW 03, Karanglewas

23UsriyahP6053157Ibu Rumah TanggaPekuncen Pasir wetan RT 02/ RW 03, Karanglewas

24KartoL4068166Buruh TaniPasir wetan RT 03/ RW 03, Karanglewas

25Umi Sri MulyantiP2543150Ibu Rumah TanggaPasir wetan RT 04/ RW 02, Karanglewas

26MintarsihP4755150PNSPasir wetan RT 02/ RW 02, Karanglewas

27Amad SugionoL5060160WiraswastaPasir wetan RT 03/ RW 03, Karanglewas

28RATEMP4254150BURUHSunyalangu RT 01/ RW 06, Karanglewas

29RADIYANIP3755170IRTTamansari RT 01/ RW 01, Karanglewas

30SURYANIP4064167IRTPangebatan RT 04/ RW 05, Karanglewas

31DARYATIP4545158BURUHPangebatan RT 03/ RW 01 Karanglewas

32DARYOTOL3860175SUPIRJipang RT 01/ RW 04 Karanglewas

33TRI SUSANTIP3248165IRTBabakan RT 03/ RW 02, Karanglewas

34ARIFINL5374163GURU SDBabakan RT 03/ RW 02, Karanglewas

35ROHMAWATIP3765150IRTSingasari RT 02/ RW 01, Karanglewas

36SHOBURI NOORL7368155GURUBabakan RT 03/ RW 02, Karanglewas

37TITI ANDARIP4075163IRTSingasari RT 02/ RW 01, Karanglewas

38RISTI FERLINAP1860155PELAJARSingasari RT 02/ RW 01, Karanglewas

39BEJO WALUYOL3365160PEDAGANGPasir lor RT 01/ RW 02, Karanglewas

40WAWAN RIYANTOL3770172PERANGKAT DESAJalan Kertawibawa no. 3 RT 01/ RW 05, Karanglewas

41TARSIKINL4049162BURUHPasir lor RT 03/ RW 03, Karanglewas

42SUWARNIP6560163IBU RTPasir lor RT 03/ RW 03, Karanglewas

43NYANA L4894163STAF UPKPasir lor RT 06/ RW 04, Karanglewas

B. Dokumentasi

Gambar 36. Anggota kelompok 11 praktek lapangan puskesmas karanglewas

Gambar 37. Tumpukan kayu dan barang bekas di rumah penduduk

Gambar 38. Sumur di salah satu rumah penduduk.C. Kuisioner

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANKampus Unsoed RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Jl. Gumbreg No. 1

( (0281) 641522 Fax (0281) 635208 Purwokerto 53123

LEMBAR PERSETUJUANDalam rangka mengetahui berbagai hal terkait penyakit Demam Berdarah di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas, maka saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama

:

Alamat

:

Dengan penuh kesadaran menyatakan bersedia untuk menjadi responden guna pengumpulan data mengenai berbagai hal terkait penyakit Demam Berdarah di wilayah kerja Puskesmas Karanglewas.

Purwokerto, Desember 2013

()DAFTAR PERTANYAAN

Pewawancara

Hari / tanggal wawancara

IDENTITAS SAMPEL

Nama Responden :

Jenis Kelamin

:

Usia

:

BB/TB

:

Alamat

:

Pekerjaan

:No telepon

: Pendidikan Terakhir

1. Tidak Lulus SD

2. Lulus SMA/sederajat

3. Lulus SD/ sederajat

4. Lulus SMP/sederajat

5. Akademi/PT

Status Perkawinan:

1. Menikah

3. Cerai

2. Belum Menikah

4. Janda atau duda

Peghasilan

:

1. < Rp. 500.000

2. Rp. 500.000,00 Rp. 1.000.0003. Rp. 1.000.000,00- Rp. 3.000.0004. > Rp. 3.000.000,00 DAFTAR KUISIONER DBD

NOPernyataanYa Tidak

Pertanyaan Dasar

1Apakah anda tahu mengenai penyakit Demam Berdarah ?

2Apakah anda mengetahui penyebab penyakit Demam Berdarah?

3Apakah anda mengetahui gejala penyakit Demam Berdarah?

a. Demam timbul mendadak 39-400 C

b. Timbul ptechiae

c. Perdarahan

d. Hepatomegali

e. Kegagalan sirkulasi

4Menurut anda apakah penyakit Demam Berdarah dapat menular?

5Apakah anda mengetahui cara penularan penyakit Demam Berdarah?

6Menurut anda apakah penyakit Demam Berdarah dapat dicegah (3M dan disebutkan)?

Penampungan AIr

7Apakah anda memiliki tempat penampungan air untuk kebutuhan air sehari-hari?

8Apakah tempat penampungan air anda biasa ditutup rapat?

9Apakah tempat penempungan air anda disikat dan menggunakan sabun?

10Apakah tempat penempungan air anda dikuras maksimal seminggu sekali?

Sampah Rumah Tangga

11Apakah anda memiliki tempat sampah didalam rumah ?

12Apakah anda selalu membuang sampah hasil rumah tangga pada tempatnya (sebutkan organik dan anorganik)?

13Jika sampah telah penuh, apakah ada petugas kebersihan yang mengelola ?

14Bagaimana cara pengelolaan sampah (dibakar, ditimbun dll)

Kebiasaan Menggantung Pakaian

15Apakah anda atau keluarga anda setelah memakai pakaian langsung dicuci?

16 Apakah anda sekeluarga biasa menggantung pakaian?

17 Apakah dalam waktu yang lama pakaian tersebut digantung?

Barang BekasYaSeringKadangTidak

18Apakah di Lingkungan rumah anda terdapat barang/ kaleng bekas?

19Bila ya, apakah selalu dibersihkan?

20Apakah barang bekas tersebut dikubur?

Kebiasaan Memakai KelambuSelaluSeringKadangTidak

21Apakah anda atau keluarga biasa tidur pada pagi atau siang hari?

22Apakah setiap anda tidur selalu memakai kelambu?

23Apakah kondisi kelambu masih baik?

Kebiasaan Memakai Lotion Anti Nyamuk

24

Apakah anda biasa memakai lotion anti nyamuk pada