diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

8
Page | 1 Press Release Forum Rasan-rasanRumah Buku tapalbatas Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei Selasa, 7 Mei 2013 Diskusi forum Rasan-rasandalam rangka hari pendidikan (2 Mei) pada 7 Mei 2013 kemarin pada akhirnya memang banyak mendiskusikan tentang Ujian Nasional (UN)sebagaimana arah dari moderator diskusi. Kami tidak bisa menyarikan semuanya, namun di sini kami kemukakan beberapa pokok gagasan yang bisa kami sampaikan berdasarkan pada diskusi yang terjadi. Dalam forum diskusi tersebut ada yang pro UN dengan berbagai argumentasinya dan ada yang kontra. Nah, di sini kami sajikan beberapa argumentasi yang pro UN dan kemudian dijawab melalui komentar dari pihak yang kontra UN. 1. UN sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan Indonesia, tingkat kecerdasan rakyat, jika ditanya sampai di mana kualitas pendidikan Indonesia dibandingkan negara lain. Jawab: (I) Kualitas pendidikan amat naif jika dilihat dari kualitas UN, karena UN hanya menguji analisis kognitif dan asah memori saja. Kualitas pendidikan itu bisa dilihat dari beberapa elemen dasarnya, yaitu: (1) tujuan substansial, (2) guru, (3) fasilitas dan lingkungan belajar, (4) metode dan proses pembelajaran, (5) penilaian dan hasil pendidikan. Dari sisi tujuan substansial bisa dinilai tujuan pendidikan kita apa? Tentu saja tujuannya bukan UN, kalau tujuannya UN maka bubarkan saja sekolah dan ganti dengan Bimbingan Belajar (Bimbel) yang sering menyelenggarakan tryout lulus UN. Dari sisi guru dapat dinilai kualitas pemahamannya mengenai content materi dan kualitas pedagogiknya dalam mendampingi anak-anak belajar. Dari sisi fasilitas dan lingkungan belajar dapat dinilai kelayakan ruang kelas, bangunan, fasilitas, media belajar, dll. Dari sisi metode dan proses pembelajaran dapat dilihat dari kualitas praktik pembelajaran, variasi metode yang digunakan, apakah metode tersebut tepat untuk menunjang tujuan substansial pendidikan atau tidak. Nah, dari sisi penilaian dan hasil pendidikan dapat dilihat dari kualitas riil anak didik itu sendiri, yaitu perubahan cara pandang, pola pikir, menjadi lebih bijaksana, dewasa, dan pada akhirnya bermuara pada perubahan sosial, antara lain kesejahteraan, tidak ada konflik, tawuran, korupsi, dan lainnya. Ini ukuranpaling riil dari keberhasilan pendidikan, UN bukan ukuran riil kualitas pendidikan pada elemen/dimensi penilaian dan hasil pendidikan karena UN sekadar menguji kognitif dengan stress tingkat tinggi. Kalau mau mengukurkualitas anak didik lihatlah perubahan cara berpikir,

Upload: edi-subkhan

Post on 28-Nov-2014

1.298 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

Diskusi forum “Rasan-rasan” dalam rangka hari pendidikan (2 Mei) pada 7 Mei 2013 kemarin pada akhirnya memang banyak mendiskusikan tentang Ujian Nasional (UN)—sebagaimana arah dari moderator diskusi. Kami tidak bisa menyarikan semuanya, namun di sini kami kemukakan beberapa pokok gagasan yang bisa kami sampaikan berdasarkan pada diskusi yang terjadi. Dalam forum diskusi tersebut ada yang pro UN dengan berbagai argumentasinya dan ada yang kontra. Nah, di sini kami sajikan beberapa argumentasi yang pro UN dan kemudian dijawab melalui komentar dari pihak yang kontra UN.

TRANSCRIPT

Page 1: Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

Page | 1

Press Release Forum “Rasan-rasan” Rumah Buku tapalbatas

Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei

Selasa, 7 Mei 2013

Diskusi forum “Rasan-rasan” dalam rangka hari pendidikan (2 Mei) pada 7 Mei 2013

kemarin pada akhirnya memang banyak mendiskusikan tentang Ujian Nasional (UN)—

sebagaimana arah dari moderator diskusi. Kami tidak bisa menyarikan semuanya, namun

di sini kami kemukakan beberapa pokok gagasan yang bisa kami sampaikan berdasarkan

pada diskusi yang terjadi. Dalam forum diskusi tersebut ada yang pro UN dengan berbagai

argumentasinya dan ada yang kontra. Nah, di sini kami sajikan beberapa argumentasi

yang pro UN dan kemudian dijawab melalui komentar dari pihak yang kontra UN.

1. UN sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan Indonesia,

tingkat kecerdasan rakyat, jika ditanya sampai di mana kualitas pendidikan

Indonesia dibandingkan negara lain.

Jawab:

(I) Kualitas pendidikan amat naif jika dilihat dari kualitas UN, karena UN

hanya menguji analisis kognitif dan asah memori saja. Kualitas pendidikan

itu bisa dilihat dari beberapa elemen dasarnya, yaitu: (1) tujuan substansial,

(2) guru, (3) fasilitas dan lingkungan belajar, (4) metode dan proses

pembelajaran, (5) penilaian dan hasil pendidikan. Dari sisi “tujuan

substansial” bisa dinilai tujuan pendidikan kita apa? Tentu saja tujuannya

bukan UN, kalau tujuannya UN maka bubarkan saja sekolah dan ganti

dengan Bimbingan Belajar (Bimbel) yang sering menyelenggarakan tryout

lulus UN. Dari sisi “guru” dapat dinilai kualitas pemahamannya mengenai

content materi dan kualitas pedagogiknya dalam mendampingi anak-anak

belajar. Dari sisi “fasilitas dan lingkungan belajar” dapat dinilai kelayakan

ruang kelas, bangunan, fasilitas, media belajar, dll. Dari sisi “metode dan

proses pembelajaran” dapat dilihat dari kualitas praktik pembelajaran,

variasi metode yang digunakan, apakah metode tersebut tepat untuk

menunjang tujuan substansial pendidikan atau tidak. Nah, dari sisi

“penilaian dan hasil pendidikan” dapat dilihat dari kualitas riil anak didik

itu sendiri, yaitu perubahan cara pandang, pola pikir, menjadi lebih

bijaksana, dewasa, dan pada akhirnya bermuara pada perubahan sosial,

antara lain kesejahteraan, tidak ada konflik, tawuran, korupsi, dan lainnya.

Ini “ukuran” paling riil dari keberhasilan pendidikan, UN bukan ukuran riil

kualitas pendidikan pada elemen/dimensi “penilaian dan hasil pendidikan”

karena UN sekadar menguji kognitif dengan stress tingkat tinggi. Kalau

mau “mengukur” kualitas anak didik lihatlah perubahan cara berpikir,

Page 2: Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

Page | 2

kedewasaan, kematangan emosional dan lain-lainnya, dan hal ini tidak ada

di UN, dan beberapa hal ini (cara berpikir, kedewasaan, kebijaksanaan)

jelas sangat berkaitan langsung dengan kehidupan sosial riil anak didik, di

sisi lain UN tidak ada hubungannya dengan kehidupan riil. Dalam

kehidupan riil yang dibutuhkan adalah kemampuan hidup yang mesti

kreatif dan kritis didasari oleh kesadaran, tanggungjawab dll, memecahkan

problem hidup tidak butuh keterampilan mengerjakan soal-soal UN yang

fokus pada hafalan soal yang kira-kira akan keluar di UN. Intinya: segala

kemampuan menyelesaikan soal tingkat tinggi sekalipun dalam UN itu

hanya berguna untuk UN itu sendiri, bukan untuk kehidupan riil di

masyarakat, dan mampu menyelesaikan soal tingkat tinggi sekalipun tidak

ada jaminan anak tersebut mampu menyelesaikan problem ekonomi

keluarga dan masyarakat tempat ia tinggal, juga problem politik, budaya,

agama dan lainnya. Sudah seharusnya keberhasilan pendidikan dilihat dari

apakah anak tersebut riilnya mempraktikkan empati sosial pada kalangan

menengah ke bawah atau tidak, melakukan tawuran atau tidak, korupsi

atau tidak, bukan dari nilai tinggi di atas kertas buah dari mengerjakan UN.

(II) Dalam konteks negara, sering kualitas pendidikan Indonesia

diperbandingkan dengan kualitas pendidikan negara lain dengan mengacu

pada pemeringkatan dari PISA, TIMSS, PIRLS, juga peringkat world class university dari THESS, dll. Faktanya tidak ada hubungan dan relevansi

peringkat-peringkat tersebut dengan perubahan sosial ekonomi,budaya,

dan lainnya jadi lebih baik di masyarakat. Adakah fakta banyaknya juara

olimpiade tingkat dunia bidang akademik (fisika, kimia, biologi,

matematika) yang dicapai anak-anak Indonesia berimbas pada perbaikan

kesejahteraan ekonomi, perdamaian hidup tanpa konflik & kekerasan?

Tidak ada. Anak-anak yang bisa menjawab soal tingkat tinggi dari PISA,

TIMSS, dan PIRLS tidak ada jaminan bisa menyelesaikan problem

masyarakat sekitarnya. Indonesia sebagai bangsa dan negara punya problem

riil yang harus diatasi dan tidak bisa diatasi dengan cara mengejar peringkat

PISA, TIMSS, PIRLS dan lainnya yang dipahami oleh awam sebagai alat

ukur kualitas pendidikan. Dengan demikian yang paling penting & perlu

dilakukan adalah: menjadikan pendidikan Indonesia secara riil & faktual

dapat menyelesaikan problem anak didik, keluarganya, lingkungannya, dan

masyarakatnya, bukan mengejar peringkat PISA, PIRLS, dan TIMSS, bukan

juga mengejar skor nilai tinggi melalui UN. Ada yang berargumen bahwa:

bukannya memang pendidikan tujuannya hanya untuk memberi bekal

pengetahuan dan keterampilan hidup (skill) saja, bukan untuk mengatasi

problem riil di masyarakat. Barulah ketika mereka lulus nanti bisa

berkontribusi dalam mengatasi problem riil dirinya, keluarganya,

masyarakat dan lingkungannya. Argumentasi ini didasari oleh cara pandang

yang melihat pendidikan (terutama sekolah dan kampus) sebagai lembaga

tempat belajar & pencetak tenaga kerja dan warganegara, bukan

Page 3: Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

Page | 3

pendidikan sebagai pusat pengembangan budaya dan transformasi sosial.

Pendidikan yang model korporasi inilah yang menjauhkan anak didik dari

realitas sosial dan sekadar disiapkan untuk mengantisipasi dan menghadapi

masa depan, bukan masa kini. Padahal riil anak didik juga anggota

masyarakat dan ikut menghadapi problem riil kehidupan, fakta pendidikan

formal yang sekadar memberi pengetahuan untuk masa depan setelah lulus

sekolah jelas tidak tepat, karena justru anak didik tidak diberi pengetahuan

dan keterampilan hidup riil untuk kehidupan sehari-hari mereka.

(III) Dus, pendidikan mesti berguna untuk (1) meningkatkan kualitas diri anak

didik (intelektual, emosional, spiritual, perilaku, kedewasaan,

kebijaksanaan) dan (2) mengatasi problem sosial, kultural, ekonomi, politik,

dan lainnya. Tanpa diarahkan ke situ maka pendidikan tidak berguna, tidak

bermanfaat, dan tidak bermakna secara faktual, aktual, dan riil. Jadi,

pendidikan tidak patut dilihat kualitasnya dari skor nilai tinggi UN dan

peringkat-peringkat PIRLS, TIMSS, PISA, dan sejenisnya, karena

menganggap penting dan menjadikan UN dan sejenisnya sebagai ukuran

kualitas dan keberhasilan pendidikan artinya menafikan tujuan akhir

pendidikan, yaitu perubahan diri anak didik dan sosial masyarakat ke arah

yang lebih baik secara faktual, aktual, dan riil. Sekali lagi kalau dipahami

bahwa kualitas pendidikan Indonesia mau ditingkatkan dan caranya adalah

dengan meningkatkan nilai UN menjadi 99 pun, maka itu adalah nilai UN,

bukan nilai dan/atau kualitas seseorang itu seutuhnya yang berguna untuk

hidup, yaitu kebijaksanaan, kedewasaan, intelektualitas, problem solving,

dan lainnya. Oleh karenanya amat naif jika pemerintah terobsesi

meningkatkan kualitas manusia Indonesia namun caranya adalah

meningkatkan skor nilai UN yang tidak berguna untuk kehidupan riil anak

didik di masyarakat. UN lagi-lagi tak berguna.

2. Kalau memang kualitas pendidikan di Indonesia dilihat dari tiadanya

pengangguran, tidak adanya konflik, korupsi, kemampuan produksi pengetahuan,

terampil merakit mobil, dan lainnya, bukankah adanya pengangguran itu terjadi

karena mereka tidak terstandar pengetahuannya, dan UN membuat standarisasi

pengetahuan yang nantinya pengetahuan itu menjadi bekal anak didik berkarya

dan bekerja yang baik dan berkualitas.

Jawab: memang seseorang bisa bekerja dengan baik dan berkualitas, mampu

mengatasi problem diri, keluarga, masyarakat berkaitan dengan ekonomi, sosial,

budaya, dan lainnya harus dengan terlebih dahulu punya bekal pengetahuan dan

keterampilan hidup yang memadai. Namun jika mendasarkan pada UN jelas tidak

tepat. Mengapa? Karena dalam UN yang dipelajari adalah soal-soal di atas kertas,

bahkan dalam persiapan UN sekadar di-drill and practice soal-soal yang kira-kira

akan keluar ketika UN saja, dalam UN tidak dinilai secara riil, faktual, dan aktual

mengenai implementasi/aplikasi ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup anak

Page 4: Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

Page | 4

didik, padahal soal pengangguran, keterampilan merakit mobil, tidak terlibat

konflik sosial dan justru mencoba mencegah atau mengatasi konflik dan lainnya

adalah dimensi implementasi/praktik/aplikasi pengetahuan dan keterampilan

hidup. UN jelas-jelas tidak menilai implementasi riil dari pengetahuan dan

keterampilan hidup anak didik, tapi sekadar ujian memori dan kognitif di atas

kertas saja. Dengan demikian UN tidak dapat jadi bekal bagi anak didik untuk

secara riil mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan hidup mereka.

Seandainya orang seluruh Indonesia dapat distandarisasi kemampuan pengetahuan

dan keterampilan hidup mereka melalui UN, maka dengan karakteristik UN yang

“menguji” di atas kertas (bukan “menilai” implementasi riil kemampuan anak

didik), UN tidak dapat menjadi alat untuk menjadikan anak-anak didik dapat

mengimpelmentasikan pengetahuan dan keterampilan hidup mereka secara

faktual, aktual, dan riil. Bukankah mestinya yang mesti dilakukan adalah: melihat

langsung implementasi/aplikasi/praktik pengetahuan dan keterampilan hidup anak

didik? Dan ini bisa dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menggunakan metode

belajar proyek sosial, produksi suatu metode atau alat tertentu, portofolio, dan

sejenisnya, bukan melalui UN. Dus, lagi-lagi tidak ada jaminan anak punya

pengetahuan dan keterampilan hidup tingkat tinggi dalam penilaian versi UN akan

otomatis dapat mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan hidupnya di

masyarakat atau dalam kehidupan sehari-harinya. Sudah seharusnya langsung saja

agar punya daya kemandirian dan kreativitas untuk bekerja (tidak jadi

pengangguran) ya dilihat secara riil aktivitas kemandirian dan kreativitasnya

secara aktual melalui proyek sosial wirausaha dan sejenisnya, demikian agar dapat

berpartisipasi mencegah konflik juga dapat dilihat langsung dari model

pembelajaran sosial tertentu, soal agar tidak korupsi juga demikian. UN lagi-lagi

tak berguna.

3. Negara harus punya standarisasi yang jelas pendidikannya dan warganya. Dilihat

dari standar kelulusan yang terus naik, jadi kualitas manusia Indonesia lulusan

pendidikan formal makin baik kualitasnya seiring meningkatnya standar kelulusan

via UN.

Jawab: ini jenis pertanyaan yang relatif sama dengan pertanyaan sebelumnya,

yakni masih melihat UN tepat sebagai tolok ukur keberhasilan dan mutu

pendidikan, padahal jelas—sebagaimana argumentasi sebelumnya—UN tidak

dapat jadi ukuran kualitas pendidikan secara esensial dan substansial. Kalau

mengikuti logika UN sebagai alat standarisasi kualitas pendidikan, maka: UN

dijadikan alat ukur kualitas pendidikan dan sekaligus alat ukur kualitas manusia,

padahal pendidikan berbeda dari manusia. Mekanisme dan sistem penilaian

(assessment) adalah bagian dari pendidikan, penilaian dikatakan berkualitas jika

dan hanya jika ia tepat (appropriate) untuk menilai sesuai dengan tujuan

pendidikan yang juga tepat, ketika tujuan pendidikan adalah perubahan cara

pandang dan kualitas orang jadi lebih dewasa, bijaksana, religius, dan juga

perubahan sosial, maka UN jelas tidak tepat karena UN hanya menilai kognitif dan

Page 5: Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

Page | 5

asah memori disertai stress. Dengan demikian, ketika seorang anak didik lulus UN

artinya ia lulus ujian kemampuan kognitif di atas kertas dengan didahului asah

memori terus-terusan, jadi ketika standar kelulusan dinaikkan dan dikatakan itu

meningkatkan kualitas manusia Indonesia, maka yang dimaksud adalah naiknya

kemampuan analisis kognitif di atas kertas dari manusia Indonesia, bukan kualitas

implementasi pengetahuan dan keterampilan hidup secara aktual, faktual, dan riil.

Inikah kualitas manusia Indonesia yang diinginkan? Tentu saja tidak bukan? Kalau

ingin meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang sungguh-sungguh dan serius,

ya tinggal pendidikan dan pembelajaran serta penilaian difokuskan pada bukan

hanya penguasaan pengetahuan saja, tapi pada implementasi riilnya di dalam

sekolah dan masyarakat luas. UN lagi-lagi tak berguna.

4. UN menjadi motivasi guru untuk “greget” mengajar dan siswa belajar, apalagi

menjelang detik-detik UN.

Jawab: memang sudah semestinya guru dan siswa punya greget untuk belajar, tapi

yang terjadi ketika ada UN adalah greget latihan (training) soal-soal prediksi yang

kira-kira akan keluar diujikan dalam UN, bukan belajar (learning) pengetahuan

dan keterampilan hidup secara sungguh-sungguh, serius, dan betulan. Dalam

dunia pendidikan jelas ada perbedaan antara “latihan” (training) dan “belajar”

(learning), dan jelas pendidikan persekolahan formal modern dari jenjang

pendidikan dasar hingga menengah bukanlah lembaga pelatihan, melainkan

tempat belajar serius pengetahuan dan keterampilan hidup. Apakah latihan

dengan metode drill & practice soal-soal itu disebut sebagai belajar? Tentu tidak.

Apakah tepat gairah “belajar” melalui metode drill & practice menjadi ukuran

antusiasme belajar pengetahuan dan keterampilan hidup yang sungguh-sungguh,

serius, dan betulan? Tentu saja tidak. Lebih dari itu justru perlu dipertanyakan—

untuk konteks problem pendidikan lain—mengapa anak didik dan guru tidak

antusias belajar? Bisa jadi karena memang substansi kurikulum selama ini tidak

menyentuh kebutuhan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh anak-anak di

sekolah. Baru ketika UN jadi persoalan/problem hidup (karena jadi penentu lulus

& tidak lulus anak didik), maka ia dianggap penting. Ini pekerjaan rumah lain yang

harus dituntaskan dan nanti kaitannya dengan problem Kurikulum 2013, yaitu

relevansi pengetahuan dan keterampilan hidup yang dipelajari di sekolah selama

ini yang tidak banyak menyentuh kebutuhan dan persoalan hidup yang dihadapi

oleh anak-anak. UN lagi-lagi tak berguna.

5. Siswa stress karena tidak siap dan tidak dimotivasi oleh para guru, guru hanya

“yang penting saya sudah mengajar”. Media saja yang “lebay” membesar-besarkan

kesulitan UN.

Jawab: Nah, ini berarti problem kualitas guru yang memang perlu diatasi. Kalau

soal memotivasi siswa yang dianggap akan dapat mengurangi stress, itu bisa jadi

memang dapat mengurangi stress, namun tetap tidak dapat jadi argumentasi

Page 6: Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

Page | 6

pembenar bahwa UN itu tepat dilaksanakan. Soal media juga tidak terlalu terkait

dengan substansi UN, karena bagi media seringkali berlaku agadium “bad news is good news”. UN lagi-lagi tak berguna.

6. Generasi sekarang kok “rempong” (atau “kempong), menghadapi UN saja takut,

padahal dalam kehidupan penuh dengan ujian, hidup ini keras, butuh mental baja,

khan sudah jadi tradisi bahwa sekolah ya pasti ada ujiannya, kenapa kok sekarang

pada stress, dulu-dulu tidak ada yang stress, intinya: generasi sekarang manja, dan

memang butuh dikerasi sedikit agar kuat mentalitasnya.

Jawab: Ya, memang dalam kehidupan tidak mungkin kita tidak berhadapan

dengan tekanan yang seringkali membuat kita jadi stress atau tertekan. Namun

layakkah anak didik di sekolah stress untuk sesuatu yang tidak ada gunanya (yaitu

UN) alias mubazir? Tentu saja tidak. Mengapa tidak hadapkan saja anak didik

dengan pengalaman belajar riil (learning by doing) menghadapi masalah riil

melalui metode proyek sosial di masyarakat dan sejenisnya, yang dengan begitu

mereka akan secara riil mengalami “stress” untuk hal-hal yang riil dan berguna,

yaitu realitas kehidupan faktual dan aktual (bukan soal kognitif di atas kertas,

bukan UN yang tidak ada korelasinya dengan realitas kehidupan faktual dan

aktual). Cara menempa menjadi generasi yang kuat mentalnya, bagus perilakunya,

tegas sikapnya, dan lainnya adalah dengan menggunakan pembelajaran

kontekstual, berbasis masalah (problem-solving), berbasis proyek sosial, dan

sejenisnya yang jelas merupakan bagian dari persoalan hidup sosial riil, bukan UN

yang sejatinya tidak ada gunanya dan mubazir tersebut. UN lagi-lagi tak berguna.

7. UN sudah jadi tradisi, jadi harus dilaksanakan, mudharat-nya karena UN untuk

kelulusan, jadi jangan dijadikan untuk penentu kelulusan, jadi UN untuk

pemetaan pendidikan di Indonesia saja sebagai dasar perbaikan kualitas

pendidikan. Atau kalau tidak begitu, UN dibuat gampang saja soal-soalnya (standar

minimal), jadi UN adalah alat ukur minimal anak didik.

Jawab: Sebuah tradisi bukan berarti mesti diikuti secara membuta, tradisi tidak

selalu baik dan tepat, oleh karena itu ketika analisis teoretis dan empiris mendapati

bahwa UN tidak tepat maka tiada pilihan lain kecuali meniadakan UN dalam

sistem pendidikan formal modern di Indonesia. Kalaupun UN dijadikan sebagai

cara untuk memetakan pendidikan di Indonesia, maka yang didapat adalah “peta

buta”, yaitu peta mengenai kemampuan kognitif anak-anak saja, bukan peta

kemampuan anak didik secara substansial. Pun UN sejatinya merupakan hasil

aktivitas drill & practice, juga peran serta banyak Bimbel penyelenggaran les

private dan tryout UN, jadi sekali lagi UN juga tidak dapat dijadikan alat untuk

pemetaan pendidikan, ada variabel latihan soal-soal prediksi UN, ada juga peran

lembaga Bimbel di situ, belum lagi ditambah kecurangan sistematis dan sejenisnya.

Usul UN hanya jadi alat ukur minimal juga tidak tepat, karena begitu banyaknya

Page 7: Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

Page | 7

dana yang dikeluarkan kok ternyata hanya untuk sebuah alat ukur minimal, jelas

tidak relevan.

8. Kurikulum yang sedang dirancang sekarang adalah kurikulum yang membekali

anak didik dengan pengetahuan dan keterampilan hidup untuk hidup di masa

depan, katakanlah generasi 2045?

Jawab: kalau kurikulum untuk mengatasi dan bekal hidup di masa depan, maka

persoalan yang ada sekarang dan dihadapi serta dialami riil oleh anak didik tidak

diatasi, dan anak didik tidak diberi pengetahuan dan keterampilan hidup yang

justru teramat mendesak dibutuhkan untuk hidup di masa sekarang, bukan masa

depan. Anak didik jelas hidup di masa sekarang, bukan di masa depan. Dengan

demikian teramat penting sekali anak didik sekarang dibekali pengetahuan dan

keterampilan hidup untuk dapat menjawab persoalan hidup sekarang ini,

sedangkan untuk “masa depan” bekalnya adalah kemampuan learning how to learn, karena begitu cepatnya perubahan terjadi dan tidak ada yang bisa

memprediksi masa depan dengan tepat.

Dua dasar utama pertimbangan penolakan UN:

1. Hal penting yang dibutuhkan oleh Indonesia sekarang ini adalah generasi

pemberani yang produktif, kreatif, dan kritis. Nah, karakteristik UN bukanlah

mengarahkan anak didik menjadi produsen pengetahuan, melainkan sekadar

konsumen dan penghafal pengetahuan saja. Kalau ingin menghasilkan generasi

produsen pengetahuan tinggal merubah metode dan pendekatan belajarnya serta

evaluasinya saja, yakni dengan berbasis proyek, problem solving, dan sejenisnya.

Sekadar contoh, kalau pengetahuan Bahasa Indonesia, maka bentuk produksi

pengetahuan paling sederhana adalah: anak didik harus dapat membuat naskah

pidato dan dapat juga berpidato dengan baik dan lancar, dapat membuat surat,

iklan, cerita pendek, puisi, kalau perlu novel—bagi yang minat & bakat di sastra.

Hal ini tidak ada di UN, karena UN kalaupun soal novel justru diuji-uji mengenai

“teori-teori novel”, bukan memproduksi sesuatu, lagi-lagi karena sekadar memilih

satu di antara beberapa jawaban baku, dengan demikian tidak ada juga ruang

untuk kreativitas anak didik. Demikian juga untuk bidang keilmuan dan

keterampilan hidup lainnya.

2. Anak didik punya bakat & minat yang berbeda, bagaimana mungkin bakatnya

berbeda, minatnya berbeda, kok diuji dengan satu alat ukur yang sama, yaitu UN.

Hal ini sama saja analoginya dengan meminta seekor ikan yang bakat, minat, &

kehidupannya di air, hingga sudah pasti ia lihai berenang, menyelam, kok hendak

diuji dengan cara memanjat pohon yang cocok dengan si monyet yang memang

bakat, minat, & kehidupannya ya memanjat pohon? Saya berbakat & minat sepak

bola kok diuji matematika, saya suka matematika kok diuji cara menggiring bola

dan memasukkannya ke gawang lawan? Saya berbakat dan minat main bola basket

kok alat ukur untuk mengatakan saya bisa dibilang cerdas adalah bahasa Indonesia,

Page 8: Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

Page | 8

matematika, dan bahasa Inggris? Kalau begitu caranya, maka hanya anak-anak

yang berbakat & minat bidang akademik saja yang dilabeli sebagai cerdas, dan ini

tiada lain adalah bukti arogansi dunia akademik atas bidang aktivitas kehidupan

lainnya yang non-akademik (praktisi misalnya). Sudah seharusnya alat evaluasi

dan ujian disesuaikan dengan bakat & minat anak didik. Ingat prinsip dasarnya:

bahwa mekanisme dan sistem penilaian harus dapat ikut menunjang tujuan

pendidikan dan pembelajaran, dan tiada lain tujuan pendidikan secara substansial

kecuali memfasilitasi pengembangan bakat & minat anak dan diarahkan juga

untuk transformasi sosial di masyarakat.

Demikian hasil diskusi forum “Rasan-rasan” tanggal 7 Mei 2013 di Rumah Buku

tapalbatas (Sekaran, Gunungpati, Semarang). Tentu saja di seluruh penjuru Indonesia ada

banyak pakar & ahli pendidikan, oleh karena itu sudilah kiranya turut berkomentar

mengenai dokumen release ini dari sari diskusi yang telah kami lakukan. Terima kasih.

Rumah Buku tapalbatas