tesis daku

81
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Skizofrenia adalah gangguan mental yang parah, membuat indi yang menderitanya menjadi tidak berdaya. Skizofrenia berupa sindrom yang heterogen, dimana diagnosisnya belum dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium tertentu. Diagnosisnyaditegakkanberdasarkan sekumpulan simtom yang dinyatakan karakteristik untuk skizofrenia. Skizofreni antara masa remaja menengah sampai dewasa muda, lebih sering mengenai laki-laki daripada perempuan, dan laki-laki bila menderita skizofrenia a parah daripada perempuan. 1,2 Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik, dan karena permulaan serangan pada usia muda maka individu dengan skizofrenia menjadi beban keluarga dan memerlukan penanggulangan yang berlangsung lama, dalam usaha agar individu dapat mencapai kembali taraf yang dimili sebelum sakit. 1,2 Karena skizofrenia dimulai lebih dini dalam kehidupan, menyebabkan gangguan signifikan dan yang berlangsung lama, membuat permintaan yang besar akan perawatan rumah sakit, dan memerlukan perawatan klinik yang terus menerus, rehabilitasi, dan pelayanan dukungan, makabiayanya di Amerika Serikat (AS) diperkirakan melebihi biaya dari semua jen kanker. Pada tahun 1990, biaya langsung dan tidak langsung dari skizofreni perkirakan sebesar 33 milyar dolar AS. Fokus perawatan telah berubah sec drastis selama 50 tahun ini, dari perawatan berbasiskan rumah sakit jang panjang menjadi perawatan akut rumah sakit dan pelayanan berbasi 1

Upload: samudra-hadi-santosa

Post on 21-Jul-2015

141 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1 BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Penelitian Skizofrenia adalah gangguan mental yang parah, membuat individu yang menderitanya menjadi tidak berdaya. Skizofrenia berupa sindrom yang heterogen, dimana diagnosisnya belum dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium tertentu. Diagnosisnya ditegakkan berdasarkan sekumpulan simtom yang dinyatakan karakteristik untuk skizofrenia. Skizofrenia dimulai antara masa remaja menengah sampai dewasa muda, lebih sering mengenai laki-laki daripada perempuan, dan laki-laki bila menderita skizofrenia akan lebih parah daripada perempuan.1,2 Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik, dan karena permulaan serangan pada usia muda maka individu dengan skizofrenia menjadi beban keluarga dan memerlukan penanggulangan yang berlangsung lama, dalam usaha agar individu dapat mencapai kembali taraf yang dimilikinya sebelum sakit.1,2 Karena skizofrenia dimulai lebih dini dalam kehidupan, menyebabkan gangguan signifikan dan yang berlangsung lama, membuat permintaan yang besar akan perawatan rumah sakit, dan memerlukan perawatan klinik yang terus menerus, rehabilitasi, dan pelayanan dukungan, maka biayanya di Amerika Serikat (AS) diperkirakan melebihi biaya dari semua jenis penyakit kanker. Pada tahun 1990, biaya langsung dan tidak langsung dari skizofrenia di perkirakan sebesar 33 milyar dolar AS. Fokus perawatan telah berubah secara drastis selama 50 tahun ini, dari perawatan berbasiskan rumah sakit jangka panjang menjadi perawatan akut rumah sakit dan pelayanan berbasiskan

2 komunitas. Pada tahun 1955, hampir 500.000 tempat tidur di rumah sakit di AS di tempati oleh pasien penderita sakit mental, mayoritas pasien dengan diagnosis skizofrenia. Angka tersebut kini kurang dari 250.000 tempat tidur rumah sakit.2 Adanya kemajuan bidang psikofarmakologi, pengobatan skizofrenia telah berkembang dari yang bersifat pengobatan neuroleptik klasikal ke golongan antipsikotik atipikal dan yang bersifat agonis parsial. Pengobatan dalam terapi antipsikotik menunjukkan adanya penurunan yang progresif dalam efek yang merugikan, meningkatkan efisiensi dan kemungkinan cara kerja yang baru, serta presentasi kesembuhan dan/atau perbaikan kemampuan fungsi sosial juga meningkat.3 Obat antipsikotik yang digunakan sebagai terapi pada skizofrenia mempunyai sifat farmakologis yang bervariasi, namun seluruhnya berkapasitas sebagai antagonis pada reseptor dopamin post sinapsis di otak. Obat anti psikotik generasi pertama bersifat seperti neuroleptik karena persamaan efek samping neurologisnya. Generasi kedua atau yang terbaru dari antipsikotik lebih sedikit efek samping neurologisnya dan lebih bersifat sebagai antipsikotik atipikal. 1,2,4 Dari semua antagonis serotonin-dopamin, risperidon merupakan agen antipsikotik yang paling banyak diresepkan oleh psikiater di AS saat ini.5,6 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa risperidon efektif terhadap simtom positif, negatif dan afektif dari skizofrenia, serta dapat ditoleransi lebih baik dan berhubungan dengan insidens simtom ekstrapiramidal yang rendah.7

3 I.2. Rumusan Masalah Apakah risperidon mempunyai efikasi yang baik dilihat dari parameter Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) pada pasien skizofrenik?

I.3. Hipotesis Risperidon mempunyai efikasi yang baik dilihat dari parameter BPRS pada pasien skizofrenik.

4 BAB II TUJUAN PENELITIAN

II.1. Tujuan Penelitian Tujuan umum Untuk melihat efikasi risperidon pada pasien skizofrenik dengan menggunakan parameter BPRS. Tujuan Khusus Untuk melihat karakteristik demografi pemakaian risperidon pada pasien skizofrenik rawat jalan/inap di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit (RS) Jiwa Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Pempropsu) Medan berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, suku, status perkawinan dan alamat.

II.2. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efikasi pemberian risperidon pada pasien skizofrenik dengan parameter BPRS 2. Dapat digunakan oleh klinikus sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian terapi pada pasien skizofrenik. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penelitian lanjutan sejenis yang lebih luas.

5 BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka tesis ini akan membahas tentang : skizofrenia, BPRS dan Risperidon. III.1. Skizofrenia Skizofrenia adalah suatu gangguan psikotik dengan penyebab yang belum diketahui yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam pikiran, mood, dan perilaku. 8 Gangguan pikiran ditunjukkan dengan penyimpangan dalam menilai realitas, kadang-kadang disertai waham dan halusinasi, disertai dengan kumpulan pikiran yang terpisah-pisah yang mengakibatkan gangguan dalam bicara. Gangguan mood meliputi ambivalen dan inappropriate atau respons afektif yang terbatas. Gangguan perilaku ditandai dengan penarikan diri atau perilaku yang aneh. Ini semua dikarakteristikkan sebagai gejala-gejala positif dan negatif (defisit). Meskipun bukan merupakan suatu gangguan kognitif, skizofrenia sering menyebabkan kerusakan fungsi kognitif (misalnya berpikir konkrit dan gangguan dalam memproses informasi). 8 Skizofrenia adalah masalah kesehatan umum di seluruh dunia yang memerlukan banyak biaya personal dan ekonomi. Skizofrenia menyerang kurang dari 1 persen populasi dunia. Jika gangguan spektrum skizofrenia dimasukkan dalam estimasi prevalensi, maka jumlah orang-orang yang terserang bertambah sekitar 5 persen.1

6 Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), gangguan skizofrenik dibagi atas :9 skizofrenia paranoid skizofrenia hebefrenik skizofrenia katatonik skizofrenia tak terinci (undifferentiated) depresi pasca-skizofrenia skizofrenia residual skizofrenia simpleks skizofrenia lainnya skizofrenia YTT (yang tak tergolongkan).

Pedoman diagnostik skizofrenia berdasarkan PPDGJ III dicantumkan pada lampiran 1. Skizofrenia ditemukan dalam semua masyarakat dan daerah geografis, walaupun data yang sebanding sulit diperoleh, namun insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup adalah sama di seluruh dunia. Ada bukti yang agak lebih besar mengenai skizofrenia pada pria dan wanita, yakni ditemukannya insiden skizofrenia yang lebih besar di daerah-daerah perkotaan dibandingkan di daerah pedesaan. Perbedaan ini sebelumnya dihubungkan dengan fenomena penyimpangan sosial, dimana orang-orang yang terserang atau rentan cenderung kehilangan pekerjaan dan kedudukan sosial dan masuk ke daerah-daerah kemiskinan dan inti kota. Meskipun demikian, studi-studi penelitian terbaru telah menegaskan peningkatan insiden di daerah-daerah perkotaan, dengan risiko relatif untuk skizofrenia yang berhubungan dengan tingkat urbanisasi.1

7 Skizofrenia juga terlihat cenderung lebih berat di negara-negara maju dibandingkan negara-negara berkembang. Daerah-daerah geografik terkadang penting dalam etiologi penyakit. Sebagai contoh, sebuah populasi yang terisolasi di Skandinavia Utara, terlihat memiliki kumpulan genetik yang diperberat untuk kerentanan skizofrenia, mungkin dibawa generasi sebelumnya oleh dua keluarga yang berimigrasi.1 Di AS, prevalensi skizofrenia seumur hidup kira-kira 1%, ini berarti bahwa kemungkinan 1 diantara 100 orang akan menjadi skizofrenia selama kehidupannya. Puncak serangan antara usia 15-55 tahun (50% kasus terjadi sebelum usia 25 tahun). Serangan dibawah usia 10 tahun (skizofrenia onset dini) atau setelah usia 45 tahun (skizofrenia onset lanjut) adalah jarang.4 Perjalanan klasik dari skizofrenia adalah salah satu dari eksaserbasi dan remisi. Setelah episode psikotik yang pertama, pasien secara bertahap menyembuh dan kemudian relatif berfungsi dengan normal selama waktu yang panjang. Pasien biasanya relaps, dan pola dari penyakit selama lima tahun pertama setelah diagnosis secara umum mengindikasikan perjalanan penyakit pasien. Perburukan yang lebih lanjut dari fungsi dasar pasien mengikuti setiap relaps dari psikosis. Kegagalan untuk kembali berfungsi setelah setiap relaps adalah perbedaan yang besar antara skizofrenia dan gangguan mood. Kadang-kadang, depresi postpsikotik yang diamati secara klinis mengikuti episode psikotik dan kerapuhan pasien skizofrenia terhadap stres biasanya bersifat seumur hidup. Gejala positif cenderung menjadi berkurang seiring dengan waktu, tetapi gejala defisit atau negatif yang mengganggu secara sosial dapat meningkat keparahannya. Walaupun sekitar sepertiga dari pasien skizofrenia mempunyai eksistensi sosial yang marginal atau terintegrasi, kebanyakan mempunyai kehidupan yang dikarakteristikkan oleh

8 ketidakpunyaan tujuan, tidak ada aktivitas dan rawat inap yang berulang dan pada daerah perkotaan, gelandangan dan kemiskinan.2 Pengobatan skizofrenia bersifat multidimensional, terdiri dari terapi somatik [(farmakoterapi dan Electro Convulsive Therapy (ECT)] dan terapi psikososial (psikoterapi individual, terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga dan terapi kelompok). Farmakoterapi dengan antipsikotik merupakan dasar pengobatan skizofrenia. Secara umum antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu antipsikotik tipikal (antagonis reseptor dopamin) dan antipsikotik atipikal (antagonis serotonin-dopamin). Pemilihan antipsikotik umumnya berdasarkan pada efikasi dan keamanannya.2 Saat ini, karena efikasi dan profil efek sampingnya yang menguntungkan, antipsikotik atipikal sering digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan skizofrenia.10 Pengobatan skizofrenia dengan antipsikotik dibagi atas 3 fase, yaitu pengobatan fase akut, pengobatan fase stabilisasi dan pengobatan fase stabil / fase pemeliharaan.11 1. Pengobatan Fase Akut Fase akut skizofrenia umumnya ditandai oleh simtom psikotik yang memerlukan penanganan klinis segera. Fase akut skizofrenia dapat muncul sebagai episode pertama atau suatu relaps/eksaserbasi akut dari episodeepisode multipel.12,13 Tujuan pengobatan fase akut adalah untuk mencegah kerusakan (harm), mengendalikan perilaku yang mengganggu, mengurangi keparahan psikosis dan gejala-gejala terkait (misalnya agitasi, agresi, simtom negatif, simtom afektif), menentukan dan mengatasi faktor-faktor yang memicu timbulnya episode akut, memberi suatu efek yang cepat dalam mengembalikan pasien ke tingkat fungsional terbaik, mengembangkan suatu ikatan antara pasien dengan keluarga, merumuskan rencana pengobatan jangka pendek dan

9 panjang serta menghubungkan pasien dengan pasca perawatan (aftercare) yang tepat dalam masyarakat.11 Pengobatan fase akut dengan farmakoterapi diusulkan untuk dimulai segera karena psikosis akut berhubungan dengan distres emosional, gangguan pada kehidupan pasien dan risiko besar terhadap perilaku berbahaya pada diri, orang lain dan benda milik.11 Fase akut umumnya berlangsung selama 4-8 minggu.12,13 Pengobatan fase akut sering tetapi tidak selalu harus berhubungan dengan hospitalisasi.11 Pada farmakoterapi terhadap skizofrenia, kriteria perbaikan

(improvement) atau respons terapi adalah penurunan nilai keseluruhan BPRS sebesar 20% atau lebih.14,15 Sedangkan kriteria remisi adalah penurunan nilai keseluruhan BPRS sebesar 50% dibandingkan dengan nilai keseluruhan BPRS awal,15 dan tidak terdapat item psikotik BPRS yang bernilai > 3.14 2. Pengobatan Fase Stabilisasi Pada fase ini simtom akut sudah dapat dikendalikan tetapi pasien masih mempunyai risiko relaps jika pengobatan dihentikan atau dosis obat diturunkan terlalu dini atau pasien berhadapan dengan stres yang berlebihan.12 Tujuan pengobatan fase stabilisasi adalah untuk mengurangi stres pada pasien, memberi dukungan dalam meminimalkan kemungkinan relaps, memperkuat adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat, memfasilitasi

kelanjutan pengurangan simtom, konsolidasi remisi dan mempercepat proses kesembuhan (recovery).11 Bila pasien telah mencapai suatu respons terapeutik yang adekuat dengan efek samping atau toksisitas minimal dengan suatu regimen medikasi khusus, pemberian obat tersebut harus dipertahankan selama minimal 6 bulan dengan dosis yang sama seperti pengobatan fase akut.10-12 Penurunan dosis atau penghentian obat yang terlalu dini akan memicu

10 terjadinya relaps dalam waktu relatif singkat,10,11 biasanya 1 bulan setelah penghentian obat.16 Setelah 6 bulan, dosis obat dapat diturunkan perlahanlahan sampai ditemukan dosis efektif terendah (dosis pemeliharaan). Dengan mencapai dosis pemeliharaan, pasien memasuki fase stabil / fase

pemeliharaan.2 3. Pengobatan Fase Stabil / Fase Pemeliharaan Tujuan pengobatan fase stabil adalah untuk mempertahankan remisi atau kontrol simtom, meminimalkan risiko dan konsekuensi relaps serta mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan. Begitu seorang pasien mencapai fase stabil, seorang klinisi harus membuat suatu rencana pengelolaan jangka panjang, yang meminimalkan efek samping dan risiko relaps.11 Menentukan dosis medikasi antipsikotik selama fase stabil adalah sulit karena tidak terdapat strategi yang dapat diandalkan (reliable) dalam menentukan dosis efektif minimum untuk mencegah relaps.11 Untuk beberapa pasien, medikasi antipsikotik secara aktif menekan simtom psikotik, tetapi bila pengobatan dihentikan atau dosis obat dikurangi secara bermakna, maka segera terjadi pemburukan pada pasien ini. Pada keadaan demikian, dosis pemeliharaan dapat dititrasi berdasarkan simtom mereka.10 Dosis

pemeliharaan ini dipertahankan selama 1 tahun sampai seumur hidup, tergantung pada episode skizofrenia pasien, umumnya dipertahankan selama 1-2 tahun untuk episode pertama, 5 tahun untuk episode kedua dan seumur hidup untuk episode ketiga atau lebih.2,17 Setelah itu pengurangan dosis harian dapat dilakukan setiap 6-12 bulan.2 Tanpa pengobatan pemeliharaan, sebanyak 60-70% pasien mengalami relaps dalam waktu 1 tahun, dan hampir 90% pasien mengalami relaps dalam waktu 2 tahun.11

11 Salah satu strategi menurunkan dosis antipsikotik yang cukup aman untuk mengurangi relaps pada fase stabil (menuju penghentian medikasi antipsikotik) adalah dengan cara medikasi intermiten, di mana antipsikotik hanya diberikan bila pasien memerlukannya. Strategi ini mengharuskan pasien dan

keluarganya untuk mau dan mampu mengenal gejala dan tanda eksaserbasi awal dari suatu relaps (misalnya ansietas, iritabilitas, gangguan tidur, tingkah laku aneh, ide paranoid/referensi, gangguan persepsi). Bila hal tersebut dijumpai, medikasi antipsikotik harus mulai diberikan kembali untuk periode tertentu, biasanya 1-3 bulan. Walaupun pendekatan ini tidak diindikasikan untuk sebagian besar pasien karena terbukti dapat meningkatkan kejadian rehospitalisasi, pendekatan terapi ini aman dan efektif untuk beberapa pasien.2,12,13 Banyak studi melaporkan bahwa terapi intermiten kurang efektif dalam mengurangi kejadian relaps dibandingkan dengan pemberian dosis pemeliharaan terus menerus.18

III.2. Brief Psychiatric Rating Scale BPRS dikembangkan pada akhir tahun 1960-an sebagai suatu skala singkat untuk mengukur keparahan simtom psikiatrik. Diantara skala untuk menilai keadaan skizofrenik, BPRS merupakan skala yang paling sering digunakan.19 BPRS merupakan suatu skala Likert (skala terkategorisasi) dengan 18 nomor (item), dimana setiap nomor dibagi atas 7 kategori (tidak ada, sangat ringan, ringan, sedang, sedang-berat, berat dan sangat berat). Setiap kategori diberi nilai 1-7 dengan rentang nilai keseluruhan 18-126.20 BPRS bukan merupakan suatu skala diagnostik, tetapi suatu skala untuk menilai gambaran klinis aktual dari pasien (keparahan psikopatologi) selama pengobatan, yang menunjukkan kapan suatu pengobatan diperlukan dan

12 kapan suatu pengobatan dapat dihentikan.19,20 Karena penilaian meliputi pengamatan dan laporan gejala pasien, maka BPRS dapat digunakan untuk menilai pasien dengan hendaya sangat berat.20 Walaupun BPRS juga meliputi simtom-simtom depresif (nomor 1, 2, 5, 6, 9 dan 13), skala ini pada dasarnya dikembangkan untuk menilai keadaan skizofrenik. Bila BPRS digunakan untuk menilai keadaan skizofrenik, maka kedua belas nomor skizofrenik harus dihitung semuanya.19 Lembaran penilaian BPRS dicantumkan pada lampiran 2.

III.3. Risperidon Pada tahun 1981, Janssen Pharmaceuticals mengembangkan

setoperone, suatu antagonis 5-HT2 dengan antagonis dopamin-2 (D2) yang lemah, yang menunjukkan efek antipsikotik dan efikasi terhadap simtom negatif pada suatu percobaan terbuka. Janssen Pharmaceuticals juga mensintesis suatu antagonis 5-HT2A memperlihatkan dan 5-HT2C yang selektif, yaitu ritanserin, yang efek samping ekstrapiramidal ketika

pengurangan

dikombinasikan dengan haloperidol pada studi terhadap tikus. Dalam percobaan placebo-kontrol pada pasien dengan skizofrenia kronis,

penambahan ritanserin kepada neuroleptika konvensional memperlihatkan perbaikan simtom negatif dan efek samping ekstrapiramidal. Menyimpulkan bahwa antagonisme 5-HT2 mungkin memperbaiki efikasi dari antagonis D2, khususnya untuk simtom negatif dan mengurangi efek samping

ekstrapiramidal, tetapi tidak cukup efektif sebagai terapi tunggal, maka Janssen dan kawan-kawan (1988) mengembangkan risperidon, yang

mengkombinasikan blokade 5-HT2A dan D2 yang poten.5

13 Setelah karakterisasi praklinis yang luas (Janssen dan kawan-kawan 1988), risperidon yang pertama sekali dipelajari dalam percobaan klinis pada tahun 1986, mendapat persetujuan dari Food And Drug Administration (FDA) Amerika Serikat (AS) pada tahun 1994 untuk dipasarkan di AS.5 Risperidon merupakan antipsikotik kedua yang memperoleh persetujuan FDA AS untuk pengobatan skizofrenia setelah klozapin pada tahun 1990.21 Dengan berjalannya waktu, risperidon menjadi tersedia dan menjangkau para klinisi. Keberadaan teori kombinasi blokade 5-HT2A dan D2 serta bukti dari

percobaan-percobaan yang terdaftar, yang menunjukkan pengurangan efek samping ekstrapiramidal dan efikasi yang lebih besar dibandingkan dengan haloperidol dosis tinggi, menghasilkan antusiasme dari para klinisi di AS terhadap antagonis serotonin-dopamin, dan saat ini risperidon merupakan agen antipsikotik yang paling banyak diresepkan di AS.5 Risperidon memiliki metabolit aktif, yaitu 9-hidroksi-risperidon (9hydroxy-risperidone), yang mempunyai aktivitas farmakologik yang sama dengan senyawa induk.5,7 Sebagai konsekuensinya, efek klinis dari obat mungkin dihasilkan dari kombinasi konsentrasi risperidon dan metabolit aktifnya. Setelah pemberian peroral, waktu paruh eliminasi dari risperidon adalah sekitar 3 jam pada extensive metabolizer (ditemui pada sekitar 90% orang kulit putih dan sekitar 99% orang Asia)5 dan sekitar 20 jam pada poor metabolizer. Waktu paruh eliminasi dari 9-hidroksi-risperidon adalah sekitar 21 jam pada extensive metabolizer dan sekitar 30 jam pada poor metabolizer.6 Karena waktu paruh eliminasi yang panjang dari risperidon dan metabolit aktifnya, maka risperidon dapat diberikan dalam dosis sekali maupun dua kali sehari.2 Konsentrasi plasma dari risperidon dan 9-hidroksi-risperidon adalah proporsional terhadap dosis.7 Konsentrasi steady state dari risperidon tercapai

14 dalam sekitar 1 hari pada extensive metabolizer dan sekitar 5 hari pada poor metabolizer. Konsentrasi steady state dari 9-hidroksi-risperidon tercapai dalam sekitar 5-6 hari pada extensive metabolizer.11 Risperidon memiliki afinitas sangat tinggi terhadap reseptor 5-HT2A dan afinitas yang sedang tingginya terhadap reseptor D2, histamin-1 (H1) dan adrenergik 1 dan 2.2,5,21 Secara in vitro, afinitas risperidon terhadap reseptor 5-HT2A kira-kira 10-20 kali lebih kuat daripada terhadap reseptor D2. Secara in vivo, pengikatan terhadap reseptor D2 dari striatal tikus terjadi pada dosis 10 kali lebih tinggi daripada untuk pengikatan terhadap reseptor 5-HT2A. Afinitas risperidon terhadap reseptor 5-HT2A lebih kuat 100 kali daripada terhadap subtipe reseptor serotonin yang lain. Metabolit aktif risperidon, 9-hidroksirisperidon (9-hydroxy-risperidone), memiliki profil afinitas reseptor yang sama.5 Afinitas risperidon terhadap reseptor 5-HT2A kira-kira 20 kali lebih kuat daripada afinitas klozapin dan 170 kali lebih kuat daripada afinitas haloperidol. Afinitas risperidon terhadap reseptor D2 kira-kira 50 kali lebih kuat daripada afinitas klozapin dan kira-kira 20-50% dari afinitas haloperidol. Afinitas risperidon dan 9-hidroksi-risperidon terhadap reseptor D1 dan D4 adalah sama dengan afinitas klozapin dan haloperidol.5 Risperidon pada dasarnya tidak memiliki afinitas terhadap reseptor muskarinik asetilkolin dan memiliki afinitas sedang terhadap reseptor H1, sedangkan 9-hidroksi-risperidon memiliki afinitas minimal terhadap reseptor H1.5 Dibandingkan dengan agen lain, risperidon memiliki afinitas yang relatif tinggi terhadap reseptor adrenergik 2, yang pada dasarnya lebih kuat daripada afinitas klozapin ataupun antipsikotik konvensional yang lain. Afinitas risperidon

15 terhadap reseptor adrenergik 1 adalah sebanding dengan afinitas

klorpromazin dan kira-kira 5-10 kali lebih kuat daripada afinitas klozapin.5 Diantara antipsikotik atipikal, risperidon merupakan agen antipsikotik yang paling banyak diresepkan oleh psikiater di AS saat ini.5,6 Ketika risperidon pertama sekali diperkenalkan di pasaran Amerika Serikat, diusulkan pemberian risperidon dengan dosis 1 mg 2 kali sehari pada hari pertama dan 2 mg 2 kali sehari pada hari kedua serta 3 mg 2 kali sehari pada hari ketiga. Bagaimanapun, pengalaman klinis menunjukkan bahwa titrasi ini terlalu cepat untuk beberapa pasien. Sebagai konsekuensinya, harus diawasi toleransi pasien terhadap efek samping risperidon (misalnya sedasi, sinkope dan hipotensi ortostatik) dan titrasi baru dilakukan bila efek samping dapat ditolerir secara klinis oleh pasien.6 Pada praktik klinis saat ini, dosis rerata harian risperidon yang diperlukan menurun dan laju titrasi ke rentang dosis 4-6 mg sehari menjadi lebih lambat.22 Umumnya pasien dapat mengembangkan toleransi terhadap efek samping jika titrasi dosis risperidon dilakukan cukup bertahap.2 Dosis rerata risperidon untuk pengobatan pasien skizofrenik di AS saat ini adalah 4 mg sehari.22 Dosis awal risperidon umumnya 1-2 mg sekali sehari pada malam hari. Kemudian dosis dapat dinaikkan secara bertahap, bila dapat ditoleransi, dengan penambahan 1 mg per dosis setiap 2 atau 3 hari, sampai mencapai dosis target sebesar 3-6 mg sehari.2,21 Berdasarkan pengalaman, diusulkan bahwa dosis target yang mula-mula direkomendasikan sebesar 6 mg sehari adalah tidak diperlukan, dan bahwa paling sedikit 70% pasien dapat diobati secara optimal dengan dosis 3 mg sehari atau kurang, serta sekitar 90% pasien dapat diobati secara optimal dengan dosis di bawah 6 mg sehari.6 Pada permulaan, risperidon diberikan dengan dosis 2 kali sehari, tetapi beberapa

16 studi telah memperlihatkan efikasi yang sama tanpa peningkatan efek samping yang bermakna dengan dosis sekali sehari. Hal ini disebabkan oleh waktu paruh yang panjang dari metabolit aktifnya.2,6,21 Survei pasca pemasaran menunjukkan bahwa dosis rerata risperidon untuk pengobatan pasien skizofrenik adalah 4,7 mg sehari. Dosis sebesar 1-16 mg sehari telah diuji, tetapi tidak terdapat keuntungan terapeutik yang dapat ditentukan untuk dosis di atas 6 mg sehari, dimana dosis yang lebih tinggi dihubungkan dengan peningkatan efek samping.2 Efikasi terapeutik risperidon pada penderita skizofrenik telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian yang terkontrol di seluruh dunia. Data-data tersebut dapat dikombinasikan dengan menggunakan teknik meta analitik untuk melihat efikasi dari risperidon dibandingkan dengan anti psikotik generasi pertama. Pada kebanyakan obat, hubungan antara dosis dan respons diperlihatkan melalui kurva sigmoidal klasik. Dengan demikian, semakin meningkat dosis (atau plasma level) mencapai ambang batas dan garis atas kurva, semakin meningkat pula responsnya. Sekali dosis yang cukup tinggi diperoleh untuk menghasilkan respons klinik yang maksimal, kurva dosis respons kemudian mendatar.23 Insidens Extra Piramidal Syndrom (EPS) pada penggunaan risperidon adalah terkait dosis.24 Dosis risperidon di atas 6 mg sehari dihubungkan dengan insidens EPS yang lebih tinggi.2 Pada dosis di bawah 6 mg sehari, risperidon menghasilkan EPS yang sebanding dengan plasebo, 2,6 tetapi reaksi distonik telah dijumpai pada dosis 4-16 mg sehari.2 Pada dosis 10 mg sehari atau lebih, risperidon menghasilkan EPS yang sebanding dengan haloperidol.22 Efek antipsikotik dari antagonis serotonin-dopamin umumnya muncul dalam 2 minggu pertama pengobatan, walaupun pasien yang parah mungkin

17 memerlukan waktu sampai 6 minggu pengobatan untuk memperoleh respons yang menguntungkan. Efektifitas penuh umumnya dicapai dalam 4-6 minggu pengobatan. Keuntungan risperidon umumnya terlihat dalam 4 minggu pengobatan.2 Lama terapi adalah sama seperti pengaturan pada penggunaan antipsikotik konvensional.21 Jika pasien menghentikan risperidon untuk periode waktu lebih dari 36 jam, maka pemberian risperidon harus dimulai kembali sesuai jadwal titrasi permulaan.2 Risperidon merupakan pilihan yang tepat untuk pasien yang gagal berespons terhadap antipsikotik konvensional. Pada studi yang dilakukan di AS, pasien skizofrenik yang telah dirawat inap di rumah sakit paling sedikit 6 bulan sebelum studi, cenderung memperlihatkan keuntungan lebih besar dengan risperidon dibandingkan dengan haloperidol. Keadaan ini mengusulkan bahwa risperidon mungkin efektif untuk beberapa pasien yang resisten terhadap pengobatan atau yang kurang berespons terhadap antipsikotik konvensional. 21 Pada perbandingan langsung dengan klozapin dosis sedang (300-400 mg sehari), risperidon dengan dosis 4-8 mg sehari adalah sama efektif, dengan lebih sedikit efek samping seperti somnolens, baik pada pasien skizofrenik akut maupun yang resisten terhadap pengobatan.2 Karena efikasi dan keamanannya, risperidon beralasan dijadikan sebagai medikasi lini pertama untuk pengobatan fase akut skizofrenia, dengan dosis efektif harian sebesar 4-6 mg sehari.2 Menurut Expert Consensus

Guidelines for the Treatment of Schizophrenia 2003, dosis risperidon pada fase pemeliharaan skizofrenia adalah 2-4,5 mg sehari untuk pasien episode pertama dan 3,5-5,5 mg sehari untuk pasien dengan episode multipel.17

18 Banyak pasien menunjukkan respons yang optimal dengan dosis risperidon yang dianjurkan (2-6mg sehari).21 Peuskens tahun 1995 pada penelitiannya selama 8 minggu pada 1.362 pasien skizofrenik dengan memakai Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) menunjukkan respons risperidon pada dosis 4-8 mg sehari.5

19 BAB IV KERANGKA KONSEP

Pasien Skizofrenik

BPRS Pre treatment

BPRS minggu ke-1

BPRS minggu ke-2 BPRS minggu ke-4 BPRS minggu ke-6 Hasil BPRS minggu ke-8

20 BAB V METODE PENELITIAN

V.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan praeksperimen One Group Pretest-Posttest Open Trial 24, selama 8 minggu untuk melihat efikasi risperidon memakai BPRS dengan periode waktu penelitian 1 April 2009 sampai dengan 30 Juni 2009 di BLUD RS Jiwa Pempropsu.

V.2. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat : BLUD Rumah Sakit Jiwa Pempropsu 2. Waktu : 1 April 2009 30 Juni 2009

V.3. Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian 1. Populasi penelitian Populasi penelitian ini adalah pasien skizofrenik rawat jalan/inap di BLUD RS Jiwa Pempropsu Medan. 2. Sampel penelitian Sampel penelitian adalah 30 pasien skizofrenik dari populasi penelilitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

V.4. Kriteria Inklusi dan Eklusi 1. Kriteria Inklusi adalah : penderita skizofrenik berdasarkan PPDGJ III 9 berumur 15-55 tahun pertama sekali kontak dengan peneliti

21 kooperatif dan dapat diwawancarai pasien rawat inap/jalan Psikiatri BLUD RS Jiwa Pempropsu bersedia ikut dalam penelitian ini.

2. Kriteria Ekslusi adalah : hipersensitif terhadap risperidon mempunyai komorbiditas gangguan psikiatri lainnya ibu hamil ataupun yang sedang menyusui sedang menggunakan obat antipsikotik 50% dibandingkan dengan nilai keseluruhan BPRS awal dan nilai BPRS untuk semua item psikotik 50% dibandingkan dengan nilai keseluruhan BPRS awal15 dan nilai BPRS untuk semua item psikotik 50% dibandingkan dengan nilai keseluruhan BPRS awal Nilai semua item psikotik BPRS < 3

BAB VII

26 HASIL PENELITIAN

Sebanyak 30 pasien skizofrenik rawat jalan/inap di BLUD RS Jiwa Pempropsu Medan, yang dipilih secara consecutive sampling, diikutsertakan dalam penelitian ini. Karakteristik demografik dari sampel penelitian

digambarkan pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, suku, status perkawinan dan alamat.Karakteristik demografik sample Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Kelompok usia (tahun) 15-