soal ujian no 4 artikel maternitas

26
Artikel HASIL PENELITIAN Infeksi TORCH pada Ibu Hamil di RSUP Sanglah Denpasar Kornia Karkata, TGA Suwardewa Lab/SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia ABSTRAK Telah dilakukan pemeriksaan serologis TORCH dengan metode Enzyme Immuno Assay pada ibu hamil dengan usia kehamilan di bawah 20 minggu, yang datang untuk perawatan antenatal di Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah Denpasar. Dari 100 sampel yang diambil secara acak pada bulan Maret s/d Juli 1997 umur ibu termuda 18 tahun dan tertua 40 tahun dengan rata rata 27.07 tahun. Ibu yang hamil pertama 32 orang (32%), kehamilan kedua 47 orang (47%), kehamilan ke tiga 18 orang (18%) dan sisanya kehamilan ke empat 3 orang (3%). Seluruhnya (100%) pernah mengalami infeksi salah satu unsur TORCH dan seluruhnya (100%) tanpa gejala. Untuk toxoplasma IgG positif 21% dan IgM positif 5%. Untuk rubella IgG positif 73% dan IgM positif 1%.Untuk cytomegalovirus IgG

Upload: nanang-firmannu

Post on 04-Sep-2015

58 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

kisi kisi

TRANSCRIPT

Artikel Artikel

HASIL PENELITIAN

Infeksi TORCH pada Ibu Hamil

di RSUP Sanglah Denpasar

Kornia Karkata, TGA Suwardewa

Lab/SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia

ABSTRAK

Telah dilakukan pemeriksaan serologis TORCH dengan metode Enzyme Immuno Assay pada ibu hamil dengan usia kehamilan di bawah 20 minggu, yang datang untuk perawatan antenatal di Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah Denpasar. Dari 100 sampel yang diambil secara acak pada bulan Maret s/d Juli 1997 umur ibu termuda 18 tahun dan tertua 40 tahun dengan rata rata 27.07 tahun. Ibu yang hamil pertama 32 orang (32%), kehamilan kedua 47 orang (47%), kehamilan ke tiga 18 orang (18%) dan sisanya kehamilan ke empat 3 orang (3%). Seluruhnya (100%) pernah mengalami infeksi salah satu unsur TORCH dan seluruhnya (100%) tanpa gejala. Untuk toxoplasma IgG positif 21% dan IgM positif 5%. Untuk rubella IgG positif 73% dan IgM positif 1%.Untuk cytomegalovirus IgG positif 95% dan tak ada IgM positif. Untuk HSV II IgG positif 56% dan IgM positif 21%.

Didapatkan 2% ibu pernah melahirkan anak cacat, 15% pernah mengalami abortus dan 8% pernah mengalami anak mati dalam kandungan. Seluruh ibu hamil tidak termasuk kategori kelompok ekonomi lemah dan 75% mengaku berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kucing, 22% mengaku suka makan sayur mentah dan sangat sedikit (1%) yang suka makan daging mentah atau setengah matang. Data ini menunjukkan perlunya perhatian lebih serius pada infeksi TORCH tanpa gejala pada ibu hamil. Pada penelitian ini belum dapat ditarik kesimpulan tentang hubungan TORCH dengan faktor perilaku sosial.

PENDAHULUAN

Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes Simplex) sudah lama dikenal dan sering dikaitkan dengan hal-hal di atas.(1,2) Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi

agennya, umur kehamilan serta imunitas ibu bersangkutan saat infeksi berlangsung. Infeksi Toxoplasma pada trimester pertama kehamilan dapat mengenai 17% janin dengan akibat abortus, cacat bawaan dan kematian janin dalam kandungan, risiko gangguan perkembangan susunan saraf, serta retardasi mental.

(1-4)Infeksi saat kehamilan trimester berikutnya bisa menyebabkan hidrosefalus dan retinitis.(5)Infeksi rubella erat kaitannya dengan kejadian pertumbuhan bayi terhambat, patent ductus Botalli, stenosis pulmonalis, katarak, retinopati, mikrophthalmi, tuli dan retardasi mental.(6)

Infeksi cytomegalovirus dapat menimbulkan sindrom berat badan lahir rendah, kepala kecil, pengapuran intrakranial, khorioretinitis dan retardasi mental, hepatosplenomegali dan ikterus.(7,8)Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui adanya infeksi ini pada ibu hamil. Diagnosis infeksi TORCH dapat dilakukan dengan berbagai cara: pemeriksaan cairan amnion, menemukan kista di plasenta, isolasi dan inokulasi, polymerase-chain reaction sampai kultur jaringan. (2,8-13) Cara yang lazim dan mudah adalah pemerikasaan serologis. Infeksi TORCH sering subklinis dan diagnosisnya hanya dapat dilakukan secara serologis mengukur kadar antibodi IgM dan IgG. Adanya IgM menyatakan bahwa infeksi masih baru atau masih aktif sedangkan adanya IgG menyatakan bahwa ibu hamil sudah mempunyai kekebalan terhadap infeksi tersebut.(1,2,8,12)Sampai saat penelitian ini dibuat belum ada data prevalensi infeksi TORCH pada ibu-ibu hamil di Indonesia. Sampai saat ini di RSU Sanglah pemeriksaan TORCH pada ibu hamil belum dilakukan secara rutin karena biayanya relatif mahal.

TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui prevalensi infeksi TORCH pada ibu hamil di RSUP Sanglah Denpasar

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian dilakukan secara potong lintang atas ibu-ibu hamil yang datang kontrol ke Poliklinik Hamil RSUP Sanglah pada bulan Maret sampai dengan Juli 1997. Penderita diambil secara consecutive sampling, mencari 100 ibu hamil pertama yang datang secara berurutan yang memenuhi criteria:

sedang hamil dengan umur kehamilan 20 minggu atau di bawahnya

setelah mendapat penjelasan tertulis bersedia ikut dalam

Ibu hamil yang terpilih diwawancarai untuk pengisian data dan setelah pemeriksaan prenatal rutin, diambil darahnya sebanyak 10ml. Sampel darah beku selanjutnya di sentrifuse dan dipisahkan serumnya. Pemeriksaan toxoplasma dilakukan di Prodia Denpasar sedangkan sisanya dikirim ke Prodia Kramat di Jakarta. Bahan serum diperiksa dengan metoda Enzyme Immuno Assay memakai reagen Roche/Zeus dengan alat Cobas Core/Reader 210. Dicari antibodi IgM dan IgG untuk semua unsur TORCH. Data deskriptif diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

HASIL DAN DISKUSI

Dari 100 ibu hamil terpilih yang menjalani pemeriksaan darah dan mengisi kuesioner didapatkan hal-hal sebagai berikut: Umur ibu hamil termuda adalah 18 tahun, tertua 40 tahun dengan rata rata 27.07 tahun. Yang hamil pertama 32%, hamil ke dua 47%, hamil ke tiga 18% dan 3% merupakan kehamilan yang ke empat. Ternyata tak satupun di antara 100 ibu hamil yang diperiksa bebas dari salah satu infeksi TORCH meskipun tidak ada yang menunjukkan gejala klinis infeksi. Ibu hamil yang pernah mengalami infeksi CMV sangat tinggi (95%) dan infeksi terendah oleh Toxoplasma (21%). Sebagian infeksi itu masih aktif yang ditunjukkan oleh IgM yang masih positif. Soesbandoro di RSU Mataram (14) menemukan IgG Toxoplasma positif pada 38.3% dari 225 ibu hamil yang diperiksanya. Lazuardi di RS Dr Sutomo Surabaya(15) menemukan hasil IgG positif 52% untuk Toxoplasma, 73% untuk Rubella, 99% untuk CMV dan hanya 17% untuk HSV II.

Kebanyakan (87%) peserta penelitian ini dalam kelompok umur reproduksi sehat (20-35 tahun), sisanya 4% di bawah 20 TORCH terjadi di semua kelompok umur meskipun tidak

diketahui usia saat infeksi itu mulai terjadi. Yang jelas masih ditemukan 5 kasus infeksi Toxoplasma, 1 kasus infeksi Rubella dan 21 kasus infeksi HSV-II yang masih aktif.

Tabel 1 . Distribusi hasil serologi TORCH pada 100 ibu hamil

Jenis Infeksi

IgG (%)

IgM (%)

Toxoplasma 21

5

Rubella 73

1

CMV 95

0

HSV II

56

21

Catatan : terdapat 9 pemeriksaan yang hasilnya "gray zone" ( 4 IgG

Toxoplasma,,2 IgM Toxoplasma, 2 IgG Rubella , 1 IgG CMV), dan dicatat

sebagai hasil negatif karena tidak ada pemeriksaan ulang.

Tabel 2. Hubungan kelompok umur dan frekuensi TORCH

Usia n

Toxoplasma Rubella

CMV

HSV II

IgG IgM

IgG IgM

IgG IgM

IgG IgM

15-19

4

1

1

4

0

4

0

2

1

20-24

25

7

1

17

1

24

0

13

8

25-29

39

10

3

32

0

36

0

21

8

30-34

23

3

0

14

0

23

0

14

4

35-39

8

0

0

5

0

7

0

5

0

40-44

1

0

0

1

0

1

0

1

0

Total

10

21

5

63

1

95

0

56

21

Catatan : hasil lab grayzone pada 9 kasus dinyatakan negatif.

Tabel 3. Kejadian kehamilan dulu dan frekuensi TORCH

Toxoplasma Rubella

CMV

HSV

II

Paritas n

IgG IgM

IgG IgM

IgG IgM

IgG IgM

Primigravida

32

9

3

23

1

31

0

14

8

Eks abortus

15

2

0

13

0

14

0

12

3

Eks cacat

2

0

0

2

0

2

0

0

1

IUFD

8

2

0

4

0

7

0

3

2

Normal

63

7

1

44

0

59

0

38

17

Primigravida

32

9

3

23

1

31

0

14

8

Hubungan infeksi TORCH dengan keluaran kehamilan tidak dapat dianalisis (Tabel 3). Baik yang mempunyai riwayat persalinan bayi normal dan yang mengalami abortus,bayi lahir cacat dan kejadian bayi mati dalam kandungan secara tersebar pernah mengalami salah satu atau lebih infeksi TORCH. Analisis makin sulit karena pengaruh terhadap akhir kehamilan adalah multifaktorial. Soesbandoro (14) menemukan IgG Toxoplasma didapatkan lebih banyak pada ibu yang mengalami abortus, lahir mati dan cacat bawaan meskipun perbedaannya tidak bermakna.

FAKTOR RISIKO INFEKSI TORCH

Berdasarkan kepustakaan, risiko infeksi Toxoplasma akan meningkat pada mereka yang higiene/sanitasinya jelek terutama keadaan rumah, penghasilan keluarga, kontak dengan kucing, dan cara menyiapkan makanan sehari-hari. Adi Priyana (16) menemukan adanya IgG Toxoplasma positif pada 52.5% dari 80 ekor ayam kampung yang ditelitinya. Pada penelitian ini 100% ibu hamil yang diperiksa bukan golongan ekonomi lemah, 75% berhubungan langsung atau tak langsung dengan kucing, 22% suka sayur mentah dan hanya 1% suka makan daging mentah atau setengah matang. Tidak dapat diambil kesimpulan yang dapat menerangkan hubungan sanitasi dengan kejadian infeksi TORCH.

KESIMPULAN

1. Dari 100 ibu hamil yang diteliti, tak satupun terbebas dari salah satu infeksi TORCH.

2. .Besaran infeksi TORCH pada ibu hamil: 95% oleh Cytomegalovirus, 73% oleh Rubella, 56% oleh HSV II dan 21% oleh Toxoplasma.

3. Infeksi masih aktif didapatkan : 21% oleh HSV II, 5% oleh Toxoplasma, 1% oleh Rubella

KEPUSTAKAAN

1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD (eds). Williams Obstetrics. Ch. 56: Infections.: 1461-80.

2. .Chandra G. Toxoplasma gondii: Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Medika 2001; XXVII(5 ): 297-304.

3. Chiodo-F, Venucchi-G, Mori-F, Attard-L, Ricchi-E. Infective diseases during pregnancy and their teratogenic effects. Ann-Ist-Super-Sanita. 1993;29(1):57-67

4. Isada NB, Paar DP, Gossman JH, Staus SE. Torch infections diagnosis in the molecular age. J.Reprod.Med. 1992;37(6):499-507

5. Suzumori K, Iida,T, Adachi R, Okada S, Yagami Y. Prenatal diagnosis of rubella infection by fetal blood sampling. Asia-Oceania J.Obstet.Gynaecol. 1991;17(2): 113-7

6. LamyME, Mulongo KN, Gadisseux JF. et al. Prenatal diagnosis of fetal cytomegalovirus infection. Am.J.Obstet.Gynecol.1992;166 No.1(Part 1):. 91-4.

7. Hohlfeld P, Vial Y, Maillard-Brignon C, Vaudaux B, Fawer CL. Cytomegalovirus fetal infection: Prenatal Diagnosis. Obstet Gynecol 1991; 78 : 615 ,.

8. Hohlfeld P, Daffos F, Costa JM, Thulliez P, Forestier F, Vidaud M. Prenatal diagnosis of congenital toxoplasmosis with a polymerase chain-chain reaction test on amniotic fluid. N Engl J Med 1994; 331:695

9. Lisawati S, Srisasi G, Taniawati S. Berbagai aspek diagnosis toksoplasmosis dengan menggunakan polymerase chain reaction. Maj Kedokt Indon 1998;:48(7):270-5.

10. Gumilar E. Toksoplasmosis kongenital : kontribusi kultur inokulasi cairan ketuban dalam diagnostik prenatal. MOGI Supl. Juli 1999:25.

11. Srisasi Gandahusada.Diagnosis prenatal toksoplasmosis kongenital dan pencegahannya. Maj Kedokt Indon 1999;49(1):15-8.

12. Srisasi Gandahusada. Diagnosis laboratoris toxoplasma. Maj Kedokt Indon 1999;:49 (6 ).

13. Soesbandoro SDA, Soewignyo S, Gerudug E et al. Infeksi toksoplasma pada ibu ibu hamil di RSU Mataram. MOGI , Supp. I , Juli 1996 , 15.

14. Lazuardi T, Joewono HT, Abadi A. Gambaran serologi IgM dan IgG anti TORCH pada ibu hamil 100.000 koloni satu spesies bakteri per ml urin yang dikultur dari sampel midstream. Kejadiannya pada ibu hamil 2-7 %.(9) Bakteri yang tersering dapat diisolasi adalah Escherichia coli. Kehamilan sendiri tidak meningkatkan kejadian bakteriuri tanpa gejala, akan tetapi pielonefritis akut terjadi pada 20-40% ibu hamil dengan bakteriuri tanpa gejala yang tidak diobati. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kejadian PKB lebih banyak pada ibu dengan bakteriuri dibandingkan dengan pada ibu hamil tanpa bakteriuri. Sekitar 40-80% komplikasi kehamilan yang disebabkan oleh pielonefritis akut dapat dicegah dengan mengobati bakteriuri tanpa gejala; oleh karena itu mengobati bakteriuri tanpa gejala dapat menurunkan risiko PKB. Penyebab lain bakteriuri adalah Streptokokus Grup Beta (GBS) yang sering berhubungan dengan kolonisasi GBS di daerah urogenital. The Center for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan agar ibu hamil dengan bakteriuri GBS diterapi pada saat diagnosis untuk mengurangi kemungkinan PKB dan pada saat persalinan untuk mencegah infeksi GBS pada neonatus. Setelah pengobatan selesai, biakan urin harus diulang untuk meyakinkan eradikasi GBS; jika masih positif berarti tergolong bakteriuri persistent atau recurrent. Untuk ini diberi pengobatan supresif 100 mg nitrofurantoin per hari p.o. sampai bayi lahir.(10)

VAGINOSIS BAKTERIAL

(BV-Bacterial vaginosis)(11-18)Suatu keadaan karakteristik yang ditandai oleh perubahan ekosistem vagina, yang ditunjukkan dengan berkurangnya Laktobasili, sedangkan beberapa bakteri fakultatif anaerob bertambah dengan mencolok yakni Mobiluncus species, Prevotella species, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum. Kejadiannya pada ibu hamil sekitar 15-20%(13) keadaan ini merupakan faktor risiko persalinan kurang bulan spontan, ketuban pecah dini serta infeksi pasca salin/pasca operasi. Sekitar 15-40% penderita BV tidak menunjukkan gejala klinis, selebihnya mengeluhkan keluarnya duh tubuh vagina berbau amis. Untuk praktisi klinik, diagnosis ditegakkan dengan kriteria Amsel, yakni apabila ada tiga dari empat kriteria di bawah ini :

1. Cairan vagina homogen, putih keabuan atau seperti susu.

2. Clue cells (terdapat pada > 20% epitel sel vagina pada pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 400x).

3. pH vagina >4.5

4. Bau amis sebelum atau setelah penambahan 10% KOH.

Di Indonesia, kejadian BV dalam kehamilan lebih tinggi dari penyakit infeksi dalam kehamilan lainnya (bakteriuri tanpa gejala, N. gonorrhoeae, C.trachomatis dan T. vaginalis) dan keberadaannya meningkatkan kejadian ketuban pecah dini/KPD dan persalinan kurang bulan/PKB. Secara teoritis pengobatan BV sangat potensial dapat menurunkan kejadian KPD dan PKB.(18) Pengobatan BV telah banyak dilakukan. McGregor memakai krim klindamisin. Metronidazol oral terbukti menurunkan kejadian PKB dari 39% menjadi 18% (Morales, dikutip oleh McGregor, 2000). Hauth (1995) memakai metronidazol oral digabung dengan eritromisin, berhasil menurunkan kejadian PKB. Penelitian berikutnya yang memakai klindamisin oral dan metronidazol oral membuktikan penurunan kejadian PKB, tetapi Joesoef di Indonesia mendapatkan angka kejadian BBLR sedikit meningkat di kelompok terapi (dibanding plasebo).

INFEKSI TRICHOMONAS VAGINALIS

Infeksi protozoa ini merupakan PMS yang banyak ditemukan, namun dapat diobati dengan baik. Kejadiannya pada ibu hamil di Australia berkisar sebanyak 25%, di Indonesia tidak ditemukan data. Diagnosis ditegakkan pada saat Pap's smear rutin wanita hamil atau dengan preparat basah pada ibu hamil dengan keluhan. Trikomoniasis dalam kehamilan dapat menyebabkan bayi terinfeksi saat persalinan dan dapat menyebabkan demam pada masa neonatal. Cochrane review menyatakan dampak trikomoniasis terhadap hasil kehamilan, baik berupa KPD atau PKB belum jelas. Gejala yang timbul berupa duh vaginal berwarna hijau kekuningan, berbau busuk, gatal, dan nyeri saat berkemih atau saat bersanggama. Pengobatan metronidazol pada ibu hamil tanpa gejala, gagal menurunkan angka kejadian PKB. Hal ini menggaris bawahi perlunya pengobatan trikomoniasis sebelum kehamilan. Metronidazol cukup efektif, dosis tunggal biasanya diberikan hanya pada kehamilan trimester 2 atau 3. Efektifitas pengobatan akan meningkat jika pasangan seksual juga diobati.

SERVISITIS GONOROIKA

Neisseria gonorrhoeae dapat ditransmisikan dari ibu ke bayi pada saat persalinan, mengakibatkan oftalmia gonokokal atau infeksi sistemik pada neonatus. Servisitis N.gonorrhoeae juga meningkatkan kejadian PKB meskipun tidak ada penelitian plasebo-kontrol (karena melanggar etik). Keadaan ini juga dapat meningkatkan kejadian endometritis dan sepsis pasca salin. Gejala servisitis gonoroika mirip klamidiasis (sering tanpa gejala), juga gejala sisanya; servisitis gonoroika lebih sering bergejala daripada klamidiasis. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan apus serviks (diplokokus intraseluler) dan kultur atau PCR (Polymerase chain reaction). Tes resistensi/uji kepekaan antibiotika dilakukan bersamaan dengan pengambilan apus serviks. Pengobatan gabungan amoksisilin dengan probenesid unggul dibandingkan dengan spektinomisin (OR 2.40, 95%CI 0.71-8.12), juga jika dibandingkan dengan seftriakson (OR 2.40, 95%CI 0.71-8.12); tetapi seftriakson unggul dibandingkan dengan cefixime (OR 1.22, 95%CI 0.16-9.04). Penelitian ini dilakukan pada 346 ibu hamil. Antibiotik yang diberikan hendaknya juga dapat meliputi pengobatan untuk klamidia, karena sering terjadi ko-infeksi.

INFEKSI CHLAMYDIA TRACHOMATIS

Infeksi Chlamydia trachomatis (PMS) biasanya tidak bergejala, dapat menyebabkan servisitis, endometritis dan radang panggul dengan gejala sisa faktor tuba (infertilitas atau kehamilan ektopik). Diagnosis ditegakkan dengan PCR (Polymerase chain reaction) DNA probe assay atau uji cepat dengan immunofluorescence dan enzyme immunoassay langsung (dapat dilakukan sendiri dengan apus serviks). Pengobatan dengan amoksisilin sama efektifnya dengan eritromisin, bahkan lebih dapat ditolerir. Klindamisin dan azithromisin hanya digunakan bila amoksisilin atau eritromisin tidak dapat diberikan. Pengobatan mutakhir adalah dengan azitromisin. Uji klinik membuktikan bahwa dosis tunggal per oral preparat ini setara efektifitasnya dengan doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama tujuh hari; keduanya dapat mencapai keberhasilan terapi 95%. Azitromisin juga efektif untuk non specific urethritis pada ibu hamil. Pengobatan yang tidak sempurna menyebabkan radang panggul pasca salin, nyeri panggul kronis, infertilitas dan kehamilan ektopik. Pemberian antibiotika dalam kehamilan umumnya ditujukan untuk prevensi morbiditas dan mortalitas perinatal pada ibu dan janin. Pada ancaman persalinan kurang bulan (PKB) harus dicari kemungkinan penyebab infeksi. Tabel 2 menunjukkan antibiotika yang dianjurkan oleh CDC.

Tabel 2 . Jenis antibiotika yang direkomendasikan dalam kehamilan

Jenis infeksi

Jenis antibiotika Pasangan

seksual

Asymptomatic

bacteriuria

Amoksisilin 250 mg p.o. 3 kali

sehari, selama 3 sampai 7 hari; atau

Nitrofurantoin 100 mg p.o. 2 kali

sehari, selama 3 sampai 7 hari;

atau

Cephalexin 250 mg p.o. 4 kali

sehari selama 3 sampai 7 hari.

Pengobatan rutin

pasangan seksual

tidak dianjurkan

Neisseria

gonorrhoeae

Ceftriaxone 125 mg i.m. dosis

tunggal; atau

Cefixime 400 mg p.o. dosis

tunggal; atau

Erythromycin basa 500 mg 3 kali

sehari, selama 7 hari; atau

Azithromycin 1 gram p.o. dosis

tunggal.

Rujuk pasangan

seksual untuk diag-

nosis dan terapi

Bacterial

vaginosis

Clindamycin 300 mg p.o. 2 kali

sehari selama 7 hari; atau

Metronidazole 250 mg 3 kali

sehari selama 7 hari; atau

Metronidazole spt tsb diatas;

ditambah Erythromycin base 333

mg p.o. 3 kali sehari selama 14

hari.

Pengobatan rutin

pasangan seksual

tidak dianjurkan

Chlamydia

trachomatis

Erytrhromycin base 500 mg p.o. 4

kali sehari selama 7 hari; atau

Amoxycillin 500 mg p.o. 3 kali

sehari selama 7 hari; atau

Azythromycin 1 gram p.o. dosis

tunggal

Rujuk pasangan

seksual untuk diag-

nosis dan terapi

Trichomonas

vaginalis

Metronidazole 2 gram p.o. dosis

tunggal (tidak dianjurkan pada

trimester pertama); atau

Metronidazole 500 mg p.o. 2 kali

sehari selama 7 hari.

Pasangan seksual

harus diobati

Pada kehamilan Chlamydia menyebabkan amnionitis dan endometritis postpartum . Transmisi dari ibu ke anak dapat terjadi saat persalinan dan dapat menyebabkan oftalmia dan/atau pneumonitis pada neonatus. Selain infeksi genital, infeksi maternal seperti tifoid, pielonefritis, apendisitis, pneumoni atau infeksi lain dengan demam tinggi dapat menyebabkan PKB terutama karena toksin mikro-organismenya.

KESIMPULAN

Persalinan kurang bulan (PKB) merupakan masalah obstetri; sampai saat ini belum ada cara pencegahan atau pengobatan yang efektif. Penelitian menunjukkan hubungan kejadian PKB dengan infeksi, terutama infeksi urogenital pada ibu hamil. Uji klinis tidak menunjukkan manfaat nyata pemberian antibiotika rutin pada PKB tanpa ketuban pecah dini; kecuali untuk eradikasi Streptokokus grup B, vaginosis bakterial dan penyakit menular seksual lainnya. Oleh karena itu pemeriksaan infeksi urogenital pada ibu hamil perlu dilakukan secara rutin.

KEPUSTAKAAN

1. Romero R, Suplelveda W, Baumann P et al. The preterm labor syndrome: biochemical, cytologic, immunologic, pathologic, microbiologic, and clinical evidence that preterm labor is a heterogeneous disease. Am J Obstet Gynecol 1993, 168:288.

2. Gibbs R, Eschenbach D. Use of antibiotics to prevent preterm birth. Am J Obstet Gynecol 1997, 177:37580.

3. Mertz HL, Ernest JM..Antibiotics and Preterm Labor. Current Women's Health Reports 2001, 1:206.

4. Mazor M, Chaim W, Maymon E et al. The role of antibiotic therapy in the prevention of prematurity. Clin Perinatol 1998, 25:65985.

5. Hay PE, Lamont RF, Taylor-Robinson D, Morgan DJ, Ison C, Pearson J. Abnormal bacterial colonisation of the genital tract and subsequent preterm delivery and late miscarriage. BMJ 1994; 308:295-8.

6. Mercer B, Miodovnik M, Thurnau G et al. Antibiotic therapy for reduction of infant morbidity after preterm premature rupture of the membranes. JAMA 1997, 278:989.

7. King J, Flenady V. Antibiotics for preterm labor with intact membranes. In:A comprehensive review of all clinical trials to date examining the use of antibiotics in patients with preterm labor and intact membranes. The Cochrane Database of Systematic Reviews.Oxford: The Cochrane Library; 2001.

8. Romero R, Oyarzun E, Mazor M, Sirtori M, Hobbins, JC, Bracken M. Meta-analysis of the relationship between asymptomatic bacteriuria and preterm delivery/low birth weight. Obstet Gynecol 1989;73:576-82.

9. Kinningham RB. Asymptomatic bacteriuria in pregnancy. Am Fam Physician 1993;47:1232-8.

10. Patterson TF, Andriole VT. Detection, significance, and therapy of bacteriuria in pregnancy. Update in the managed health care era. Infect Dis Clin North Am 1997;11:593-608.

11. Eschenbach DA, Hillier S, Critchlow C, Stevens C, DeRouen T,Holmes KK. Diagnosis and clinical manifestations of bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1988;158:819-28.

12. Spiegel CA. Bacterial vaginosis. Clin Microbiol Rev 1991;4:485-502.

13. Eschenbach DA, Gravett MG, Chen KC, Hoyme UB, Holmes KK. Bacterial vaginosis during pregnancy: an association with prematurity and postpartum complications. Scand J Urol Nephrol Suppl 1984;86:213-22.

14. Eschenbach DA. Bacterial vaginosis and anaerobes in obstetric gynecologic infection. Clin Infect Dis 1993;16 Suppl 4:S282-7.

15. McGregor JA, French JI. Bacterial vaginosis in pregnancy. Obstet Gynecol Surv 2000;55:S1-19.

16. Ugwumadu AH. Bacterial vaginosis in pregnancy. Curr Opin Obstet Gynecol 2002;14:115-18.

17. Gibbs RS. Chorioamnionitis and bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1993;169:460-62.

18. Joesoef MR, Hillier SL, Wiknjosastro G, Sumampouw H et al. Intravaginal clindamycin treatment for bacterial vaginosis: effects on preterm delivery and low birth weight. Am. J. Obstetr. Gynecol. 1995;173:1527-31.

19. Klebanoff MA, Carey JC, Hauth JC, et al. Failure of metronidazole to prevent preterm delivery among pregnant women with asymptomatic Trichomonas vaginalis infection. N Engl J Med 2001; 345: 487-93.

20. Glmezoglu AM. Interventions for trichomoniasis in pregnancy. The Cochrane Database of Systematic Reviews 2002, Issue 3. Art. No.: CD000220. DOI: 10.1002/14651858.CD000220.

21. Centers for Disease Control and Prevention. 1998 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 1998; 47(No. RR-1): 20-26, 52-74, 88-94

22. Brocklehurst P. Antibiotics for gonorrhoea in pregnancy. The Cochrane Database of Systematic Reviews 2002, Issue 2. Art. No.: CD000098. DOI: 10.1002/14651858.CD000098

23. Sawhney MPS, Batra RB. Chlamydia trachomatis seropositivity during pregnancy. Indian J Dermatol Venereol Leprol November-December 2003; 69 Issue 6,394-95.

24. Ostergaard L, Andersen B, Moller JK, Olesen F. Home sampling versus conventional swab sampling for screening of Chlamydia rachomatis in women: a cluster-randomized 1-year follow-up study. Clin Infect Dis 2000; 31: 951-57.

25. Brocklehurst P, Rooney G. Interventions for treating genital chlamydia trachomatis infection in pregnancy. The Cochrane Database of ystematic Reviews 1998, Issue 4. Art. No.: CD000054. DOI: 10.1002/14651858.CD000054.

26. Martin DH, Mroczkowski TF, Dalu ZA et al. A controlled trial of a single dose of azithromycin for the treatment of chlamydial urethritis and cervicitis. The Azithromycin for Chlamydial Infections Study Group. N Engl J Med 1992; 327: 21-925.