skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi...

55
MAKALAH Mata Kuliah Epidemiologi Skrining: Hubungan Penyakit Diare dengan Sanitasi Lingkungan Dosen : Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd.Hyp, S.T., M.Kes Nip. 19780420 200501 2 002 Dan Nova Annisa, Ssi., MS Disusun Oleh : M. Rasyad Suci Handayani Riryn Herdiyanti S. Yuni Safaria Dwi L. H1E114049 H1E114056 H1E114054 H1E114034 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN BANJARBARU 2015

Upload: muhammad-rasyad

Post on 21-Apr-2017

2.298 views

Category:

Environment


2 download

TRANSCRIPT

MAKALAH

Mata Kuliah Epidemiologi

Skrining: Hubungan Penyakit Diare dengan Sanitasi Lingkungan

Dosen :

Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd.Hyp, S.T., M.Kes

Nip. 19780420 200501 2 002

Dan

Nova Annisa, Ssi., MS

Disusun Oleh :

M. Rasyad

Suci Handayani

Riryn Herdiyanti S.

Yuni Safaria Dwi L.

H1E114049

H1E114056

H1E114054

H1E114034

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN

BANJARBARU

2015

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya

makalah yang berjudul “Skrining: Hubungan Penyakit Diare dengan Sanitasi

Lingkungan” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini diajukan sebagai

tugas mata kuliah Epidemeologi. Didalam makalah ini Penulis memaparkan

definis skrining serta contoh pelaksanaan skrining pada kasus-kasus yang

berkaitan dalam teknik lingkungan. Dalam penulisan makalah ini, Penulis

mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis

menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangat sulit

menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, Penulis merasa berkewajiban dan

perlu menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan, kepada yang

terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M. Si, M. Sc selaku rektor Universitas

Lambung Mangkurat.

2. Bapak DR. Ing. Yulian Firmana Arifin, ST. MT selaku Dekan Fakultas

Teknik Universitas Lambung Mangkurat.

3. Bapak Chairul Irawan, ST., MT., Ph.D selaku PD I Dekan Fakultas Teknik

Universitas Lambung Mangkurat.

4. Ibu Maya Amalia, M.Eng selaku PD II Dekan Fakultas Teknik Universitas

Lambung Mangkurat.

5. Bapak Nurhakim, ST. MT selaku PD III Dekan Fakultas Teknik Universitas

Lambung Mangkurat.

6. Bapak Rony Ridwan, ST. MT selaku Kepala Prodi Teknik Lingkungan

Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat.

7. Ibu Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp, ST., M.Kes dan Ibu Nova

Anissa, S.Si. Ms selaku Dosen mata kuliah Epidemiologi.

8. Kedua orang tua dan dan keluarga yang telah mmeberikan doa dan dukungan

dalam pengerjaan makalah ini.

Kami merasa dalam pembuatan makalah ini sangat jauh dari sempurna, sehingga

diharapkan kritik serta saran yang membangun untuk makalah ini. Semoga

makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Banjarbaru, Desember2015

Penulis

ii

DAFTAR SINGKATAN

1. ASI : Air Susu Ibu

2. ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut

3. Vs. : Versus

4. WHO : World Health Organization

5. DPCP : Detectable pre-clinical phase

6. PKU : Fenilketonuria

7. SKRT : Survey Kesehatan Rumah Tangga

8. BAB : Buang Air Besar

9. BB : Berat Badan

10. TB : Tinggi Badan

11. OR : Odds Ratio

12. SAB : Sarana Air Bersih

13. SPAL : Saluran Pembuangan Air Limbah

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rumus kalkulasi validitas…………………………………………….. 5

Tabel 2.2 Validitas Tes Skrining ……………………………………………….. 6

Tabel 2.3 sebaran balita sampel menurut Morbiditas ………………………… 14

Tabel 2.4 Hubungan Kejadian Diare dengan Status Gizi Balita ………….…….15

Tabel 2.5 Gambaran Umum Penelitian Diare di FKM UI th. 2000-2005 ...……20

Tabel 2.6 Faktor Risiko Penyebab Penyakit Diare yang Diteliti .………………22

Tabel 3.1 Data pasien yang menderita diare..…………………………………...29

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skrining deteksi penyakit yang muncul pada populasi yang sehat

(orang sehat ditambah orang yang sakit yang tidak terdiagnosis) ........................ 3

Gambar 1Kondisi sungai di belakang rumah warga………………………….....40

Gambar 2Kondisi pinggiran sungai saat musim kemarau…………………........40

Gambar 3Kondisi air sungai yang keruh dan berbau………...……………….....41

Gambar 4Kondisi pinggir sungai………………………………………………….....41

Gambar 5 Saat melakuakan survey lokasi desa guntung paikat…...……….....42

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................i

DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................ii

DAFTAR TABEL ............................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iv

DAFTAR ISI ....................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ..............................................................................1

1.2. Rumusan Masalah .........................................................................2

1.3. Tujuan ...........................................................................................2

1.4. Manfaat .........................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis ............................................................................3

Skrining.........................................................................................3

2.2 Tinjauan Empiris ............................................................................6

Skrining Diare ...............................................................................8

Tujuan Skrining .............................................................................11

Pengertian Diare ............................................................................15

Pelaksanaan Skrining.....................................................................22

BAB III Metodologi Penelitan

3.1 Rencana Penelitian ........................................................................33

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................33

3.3 Desain Penelitian ...........................................................................33

3.4 Variabel Penelitian ........................................................................33

3.5 Objek Penelitian ..........................................................................33

3.6 Instrumen Penelitian ......................................................................34

3.7 Teknik Analisa Data ......................................................................34

3.8 Jadwal Kegiatan ............................................................................34

BAB IV Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil ..............................................................................................35

4.2 Pembahasan...................................................................................36

vi

BAB V PENTUP

5.1 Kesimpulan ...................................................................................38

5.2 Saran .............................................................................................38

CONTOH SOAL ..............................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................41

INDEKS ...........................................................................................................48

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Definisi epidemiologi yang paling akhir di kemukakan oleh Last (1988)

adalah ilmu tentang distribusi dan determinan-determinan dan keadaan atau

kejadian yang berhubungan dengan kesehatan di dalam populasi tertentu, serta

penerapannya untuk mengendalikan masalah masalah kesehatan. Dari bagian

epidemiologi ada yang disebut penjaringan penyakit. Penjaringan

penyakit/Skrining adalah penemuan panyakit secara aktif pada orang-orang yang

tanpa gejala dan nampaknya sehat. Tes skrining, menurut pembatasan yang

diberikan, tidaklah dimaksudkan sebagai diagnostik,tanda-tanda positif atau

mencurigakan bagi yang menderita penyakit hendaknya diberi

perawatan/pengobatan setelah diagnosa dipastikan.

Makalah kali ini akan membahas tentang skrining pada penyakit diare di

wilayah Banjarbaru. Diare merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh

sanitasi lingkungan yang kurang baik, menurut Priyanto (2008) pada kualitas fisik

air bersih, kepemilikan jamban (pembuangan kotoran) serta penyediaan air

minum, maka pokok pembahasan ini erat kaitannya dengan teknik lingkungan.

Sehingga dipilihlah bahasan tentang skrining diare.

Skrining diare merupakan suatu usaha untuk mencari dan menemukan

penderita penyakit diare yang tampak gejala klinis melalui suatu tes/ pemeriksaan,

yang secara singkat dan sederhana sehingga dapat memisahkan mereka yang sehat

dari mereka yang kemungkinan besar menderita penyakit diare, yang selanjutnya

diproses melalui diagnosis dan pengobatan. Uji skrining diperlukan sebagai uji

penyaringan awal penderita penyakit diare di wilayah Banjarbaru.

Data Nasional Depkes menyebutkan setiap tahunnya di Indonesia 100.000

balita meninggal dunia karena diare. Itu artinya setiap hari ada 273 balita yang

meninggal dunia dengan sia-sia. Diare merupakan penyebab kematian no. 4 pada

semua umur dalam kelompok penyakit menular sebesar 13,2%. Sedangkan

proporsi penyebab kematian diare pada umur 39 hari-11 bulan sebesar 31,4% dan

pada umur 1-5 tahun sebesar 25,2% dan merupakan penyebab kematian nomor

2

satu. Sehingga penting untuk diteliti hubungan sanitasi dengan penyakit diare

melalui metode skrining. Diharapkan makalah ini mampu memberikan

pengetahuan yang bermanfaat dan berguna untuk yang membaca terutama adik-

adik tingkat agar lebih dapat memahami epidemiologi skrining teknik lingkungan

dan dapat membedakannya dengan skrining-skrining lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud skrining?

b. Bagaimanacarauji skrining pada penyakit diare secara umum?

c. Apa penyebab penyakit diare?

d. Bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan penyakit diare?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui definisi dari skrining.

b. Mengetahui uji skrining pada penyakit diare secara umum.

c. Mengetahui penyebab penyakit diare.

d. Mengetahui cara pencegahan dan penanggulangan penyakit diare.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini, yaitu :

1. Bagi Universitas Lambung Mangkurat, Fakultas Teknik, Prodi Lingkungan

Menambah kepustakaan dan wawasan keilmuan dalam bidang epidemiologi

tentang Skrining khususnya penyakit diare

2. Bagi Peneliti

Menambahpengetahuandanpemahamantentangcara skrining pada penyaakit

diare

3

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak

menunjukkan gejala dengan tujuan mengelompokkan mereka kedalam kelompok

yang mungkin menderita penyakit tertentu.Skrining merupakan deteksi dini

penyakit, bukan merupakan alat diagnostic. Bila hasil skrining positif , akan

diikuti uji diagnosa atau prosedur untuk memastikan adanya penyakit.

Gambar 2.1 Skrining deteksi penyakit yang muncul pada populasi yang sehat

(orang sehat ditambah orang yang sakit yang tidak terdiagnosis).

4

Tujuan skrining untuk mendapatkan keadaan penyakit dalam keadaan dini

untuk memperbaiki prognosis, karena pengobatan dilakukan sebelum penyakit

mempunyai manifestasi klinis. Program skrining sangat dibutuhkan karena adanya

isu yang mendasari:

1. Penemuan gejala penyakit secara dini akan lebih baik dibandingkan dengan

dalam waktu yang lama (deteksi dini vs. lead time)

2. Pencegahan sebelum terjadinya penyakit akan lebih baik dibandingkan dengan

sudah terjadinya penyakit (keuntungan vs. risiko)

3. Pencegahan membutuhkan biaya yang lebih ringan (efesiensi vs. biaya)

Evaluasi yang matang perlu dilakukan sebelum skrining masal dilakukan.

Jenis penyakit yang tepat untuk skrining:

1. Penyakit serius. Alasan mengapa penyakit serius merupakan penyakit yang

tepat dalam program skrining adalah:

a. Cost-effective

b. Biaya skrining harus sesuai dengan hilangnya konsekuensi kesehatan

c. Aspek etik, konsekuensi tidak terdiagnosis, dan pengobatan dini harus lebih

menguntungkan daripada akibat yang didapat dari prosedur skrining.

d. Menyelamatkan hidup (misalanya: kanker paru, kanker serviks)

2. Pengobatan sebelum gejala muncul (fase preklinik) harus lebih menguntungkan

dalam pengertian mortalitas dan morbiditas dibandingkan setelah gejala

muncul. Kegiatan skrining yang dilakukan harus memperhatikan tahap mana

yang lebih menghasilkan manfaat baik dari segi materi dan material.

Pengobatan pada fase prekilink terdeteksi (detectable pre-clinical phase,

DPCP) lebih baik sebelum gejala muncul. Misalnya, pada kasus kanker serviks

DPCP panjang sampai dengan 10 tahun , dengan uji skrining Papanicolaou

smear akan lebih efektif atau kanker DPCP pendek , skrining tidak efektif.

3. Prevalens penyakit preklinik harus tinggi pada populasi yang diskrining.

Kegiatan skrining sangat bermanfaat bila kejadian dimasyarakat sering

dijumpai dan dapat terdeteksidengan cepat sehingga kegiatan ini dengan biaya

program skriningyang murah dapat dideteksi kasus yang terjadi dimasyarakat.

Skrining terbatas dapat dilaksanakan dengan baik. Misalnya, deteksi kanker

5

payudara untuk wanita yang punya riwayat keluarga atau kanker kandung

kemih pada pekerja yang terpapar.

Ada beberapa penyakit yang baik untuk diskrining diantaranya:

1. Hipertensi , alasannya:

a. Hipertensi adalah kondisi serius dengan mortalitas tinggi dan selalu

terdokumentasi

b. Pengobatan dini akan menurunkan mortalitas dan morbiditas

c. Prevalensi hipertensi tinggi di populasi (20%)

2. PKU (fenilketonuria), alasannya:

a. PKU adalah penyakit yang jarang terjadi

b. Bayi lahir tanpa ada finilalanin hidroksilase sehingga terjadi akumulasi

fenilalanin yang mengakibatkan retardasi mental.

c. Kejadiannya 1 diantara 15000 kelahiran.

d. Skrining PKU akurat, murah , dan sederhna (dapat dilakukan pada seluruh

bayi)

Dalam melakukan tes skrining, agar mencapai tujuan yang diinginkan

hendaknya berpedoman pada kriteria dibawah ini:

1. Harus tersedia

2. Tidak mahal

3. Mudah dilakukan

4. Mengakibatkan ketidaknyamanan

5. Valid, reliable dan dapat digandakan

Validitas tes skrining adalah kemampuan dari tes skrining dalam mengukur

sesuatu yang seharusnya diukur, berikut adalah rumus dari validitas skrining:

Tabel 2.1 Rumus kalkulasi validitas

Rumus Kalkulasi Validitas

Sensitivitas = probabilitas (t+/d+)=a/a+c

Spesifisitas = probabilitas (t-/d-)=d/b+d

Predictive Value (+) = probabilitas (d+/t+)=a/a+b

Predictive Value (-) = probabilitas (d-/t-)=d/c+d

Prevalensi Penyakit =(a+c)/(a+b+c+d)

Prevalensi penyakit yang =(a+b)/(a+b+c+d)

muncul dari tes positif

Akurasi tes =(a+d)/(a+b+c+d)

6

Tabel 2.2 Validitas Tes Skrining

2.2 Tinjauan Empiris

Diare merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah

masyarakat utama di Indonesia.Ini ditunjukkan dengan tingginya angka kesakitan

dan kematian yang disebabkan oleh diare, khususnya pada bayi dan anak balita.

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT 2004), angka

kesakitan diare pada semua golongan umur saat ini adalah 280/1000 penduduk,

pada golongan balita episode diare adalah 1,5 kali pertahun. Sedangkan angka

kesakitan bila diproyeksikan pada penduduk Indonesia tiap tahunnya terdapat

112.000 kematian pada semua golongan umur (54/1000 penduduk) pada balita

terjadi 55.000 kematian (2.5/1000 balita). Hal ini disebabkan antara lain masih

rendahnya penduduk yang memanfaatkan jamban dan air bersih serta tatalaksana

diare di rumah tangga dan masyarakat.

Diare hingga saat ini, masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan

dan kematian hampir diseluruh daerah geografis didunia. Semua kelompok usia

bisa diserang oleh diare, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi

terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Di Negara berkembang, anak-anak

menderita diare lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini yang menjadi penyebab

kematian sebasar 15-34% dari semua penyebab kematian.

Hal ini menyebabkan balita mudah terserang penyakit diare adalah perilaku

hidup masyarakat yang kurang baik dan sanitasi lingkungan yang buruk. Diare

dapat berakibat fatal apabila tidak ditangani secara serius karena tubuh balita

sebagian besar terdiri dari air dan daging, sehingga bila terjadi diare sangat mudah

dehidrasi.

Hasil Skrining

Tes

Status Penyakit

Total

Sakit Tidak Sakit

Positif A b a+b

Negatif C d c+d

Total a+c b+d a+b+c+d

7

Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak

memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekuranagan sarana

kebersihan, pembuangan tinja yang tidak hygienis, kebersihan perorangan dan

lingkungan yang jelek, serta penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak

semestinya.

Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi

faktor pendorong terjadinya diare, terdiri dari faktor agent, penjamu, lingkungan

dan perilaku. Faktor penjamu yang menyebabkan meningkatnya kerentanan

terhadap diare, diantaranya tidak memberikan air susu Ibu selama 2 tahun, kurang

gizi, penyakit campak dan imunodefisiensi. Faktor lingkungan yang paling

dominan yaitu sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja, kedua faktor

ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor

lingkunagan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta terakumulasi dengan

perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka penularan diare sangat dengan

mudah dapat terjadi.

Menurut catatan WHO tahun 2007, penyakit diare membunuh dua juta anak

di dunia setiap tahun. Sedangkan di Indonesia, angka kematian bayi dan anak di

bawah lima tahun hampir sepertiganya disebabkan oleh penyakit diare. Penyakit

diare di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

utama, hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan diare yang

menimbulkan banyak kematian terutama pada anak.Angka kesakitan diare di

Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat.

Beragamnya konsep budaya terkait dengan penyakit diare termasuk upaya

pencegahan dan pengobatan yang dipilih masyarakat dapat disebabkan oleh

banyak faktor. Pengetahuan, sikap dan persepsi masyarakat terhadap penyakit dan

sarana pelayanan yang tersedia, latar belakang sosial ekonomi dan budaya serta

ketersediaan pelayanan kesehatan akan mempengaruhi tindakan pencegahan dan

pengobatan terhadap penyakit tersebut. Selain itu, keterjangkauan sarana

pelayanan kesehatan oleh masyarakat, tingkat kegawatan penyakit dan

pengalaman pengobatan sebelumnya baik atas dasar pengalaman sendiri maupun

orang lain turut mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan untuk

mencegah dan mengobati penyakit.

8

Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek/cair bahkan dapat

berupa air saja yangfrekuensinya lebih dari 3 kali atau lebih dalam sehari.Diare

merupakan gangguankesehatan yang cukup sering diderita oleh anak-anak selain

infeksi saluran pernapasan atas.Penanggulangan diare dapat dilakukan oleh ibu

dengan cara tetap memberikan ASI danmemberikan larutan gula garam. Jika bayi

sudah dikenalkan dengan MP-ASI, maka dapat diberimakanan padat gizi sedikit-

sedikit tidak merangsang, tetapi sering.Bayi yang menderita diare tidak boleh

dipuasakan. Praktek cuci tangan tiap melakukan pekerjaan terkait makanan atau

menyusui danminum air yang telah dimasak, merupakan bentuk praktek

perawatan bayi yang dapat mencegahterjadi diare, termasuk usaha mencegah

makanan dari gangguan lalat dan kontaminasi lain.

Perilaku benar dalam BAB bila BAB di jamban yaitu 71,1 % dan perilaku

benar dalam cuci tangan bila cuci tangan pakai sabun sebelum makan, sebelum

menyiapkan makanan, setelah buang air besar, dan setelah menceboki bayi/anak,

dan setelah memegang unggas/binatang yaitu 23,2 % . Di dunia, sebanyak 6 juta

anak meninggal setiap tahun karena diare, sebagian kematian tersebut terjadi di

negara berkembang. Menurut WHO, di negara berkembang pada tahun2003

diperkirakan 1,87 juta anak balita meninggal karena diare, 8 dari 10 kematian

tersebut pada umur< 2 tahun. Rata-rata anak usia< 3 tahun di negara berkembang

mengalami episode diare 3 kali dalam setahun.

Data Nasional Depkes menyebutkan setiap tahunnya di Indonesia 100.000

balita meninggal dunia karena diare. Itu artinya setiap hari ada 273 balita yang

meninggal dunia dengan sia-sia, sama dengan 11 jiwa meninggal setiap jamnya

atau 1 jiwa meninggal setiap 5,5 menit akibat diare. Diare merupakan penyebab

kematian no. 4 pada semua umur dalam kelompok penyakit menularsebesar

13,2%. Sedangkan proporsi penyebab kematian diare pada umur 39 hari-11 bulan

sebesar31,4% dan pada umur 1-5 tahun sebesar 25,2% dan merupakan penyebab

kematian nomor satu.

Survey Morbiditas dan tata laksana penderita diare dari 40 Puskesmas di 10

Propinsi Sumatera Utara, Jogjakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara

Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara dengan hasil antara lain angka

9

kesakitan diare semua golongan umur meningkat dari 28/100 tahun 1996 menjadi

1,28 kali kali/balita/tahun.

Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare di antaranya faktor

lingkungan, gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan perilaku

masyarakat. Penularan penyakit diare terjadi melalui kontaminasi tangan, alat

makan serta melalui makanan oleh kuman penyebab yang terdapat dalam tinja

penderita, kebiasaan hidup yang tidak mengikuti kaidah kebersihan akan

meningkatkan resiko kejadian penyakit diare. Sedangkan kesehatan lingkungan,

penyediaan air bersih dan pemanfaatan jamban keluarga yang tidak saniter dapat

berperan mendukung kehidupan dan penyebaran kuman penyebab diare.

Kebijakan teknis dalam pemberantasan penyakit diare adalah tata laksana

kasus diare yang tepat dan efektif melalui upaya rehidrasi oral dengan oralit dan

cairan rumah tangga, meneruskan makanan sedikit demi sedikit tapi berulang-

ulang selama diare dan makanan ekstra sesudah diare. ASI juga diteruskan, cairan

intravena hanya untuk dehidrasi berat. Salah satu prioritas utama pemerintah

dalam pengembangan pemberantasan penyakit diare adalah meningkatkan

efektifitas penatalaksanaan diare pada anak balita, termasuk upaya rehidrasi oral.

Kematian akibat diare akut sering disebabkan oleh kehilangan banyak cairan dan

garam yang sering disebut dehidrasi. Kebijakan program pemberantasan diare

merupakan tatalaksana kasus diare yang efektif dan efisien di sarana kesehatan

dan mempunyai potensi besar untuk mempercepat penyembuhan.Oleh karena itu

peranan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan terhadap balita penderita diare

akut sesuai standar sangat diharapkan.

Berdasarkan urutan sepuluh penyakit terbanyak di Kabupaten Magetan tahun

2006 penyakit diare menduduki peringkat ke-8 dari seluruh jumlah kunjungan

puskesmas dan urutan ke-2 untuk penyakit menular dan belum pernah dilakukan

evaluasi tentang kualitas tatalaksana diare oleh petugas kesehatan.

Dengan melihat masih tingginya angka kesakitan diare yang terjadi pada bayi

dan balita khususnya di Kabupaten Magetan, perlu dilakukan penelitian tentang

penatalaksanaan diare akut yang dilakukan oleh petugas kesehatan Puskesmas di

Kabupaten Magetan guna mendapatkan data dasar untuk evaluasi terhadap

10

program pemberantasan diare yang dilaksanakan dan untuk menentukan

intervensi program pemberantasan diare selanjutnya.

Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan utama masyarakat

Indonesia.Kejadian diare erat sekali hubungannya dengan status gizi/kebiasaan

makan dan perilaku dalam menjaga kebersihan diri/lingkungan. Dari diagram 1.2,

dapat dilihat bahwa hamper seluruh responden (91,2%) sudah melakukan upaya

pencegahan yang baik terhadap kejadian diare.Menurut Ditjend PPM dan PL

(2002) setelah berusia enam bulan, bayi memang membutuhkan makanan

pendamping ASI untuk mendukung pertumbuhannya dan memberikan makanan

pendamping ASI merupakan salah satu cara pencegahan terhadap diare apabila

diberikan setelah anak berumur empat sampai enam bulan. Namun jika makanan

tambahan ini diberikan sebelum usia empat bulan, justru akan membahayakan

bayi. Darihasil penelitian, rata-rata responden tetap memberikan ASI atau susu

formula sesuai dengan kondisi tubuh balita.Kebersihan makanan juga sangat perlu

diperhatikan. Mulaidari penyiapan bahan makanan dan alat masak sampai dengan

penyajian. Rata-rata responden menggunakan air bersih yang mengalir untuk

mencuci bahan makanan serta alat masak. Termasuk mencuci dot yang dipakai

oleh balita dan merebusnya dengan air bersih minimal 2 kali sehari. Selain itu

yang paling penting diperhatikan adalah penyajian makanan untuk balita.

Penyajian makanan disarankan untuk ditutup agar menghindari kontaminasi dari

lalat, debu ataupun mikroorganisme. Penyediaan air bersih juga termasuk hal yang

penting dalam mencegah diare. Air bersih sangat diperlukan untuk kehidupan

manusia. Bukan hanya untuk keperluan pekerjaan domestic rumah tangga, tetapi

yang sangat penting adalah untuk minum. Rata-rata responden menggunakan air

bersih untuk keperluan minum,dan memasaknya hingga mendidih. Selain itu, rata-

rata responden menggunakan kemasan air yang bermerek untuk keperluan minum

sehari-hari di keluarga.

Disamping itu Menurut Ditjend PPM dan PL tahun 2002, kebiasaan yang

paling penting untuk mencegah penularan diare adalah mencuci tangan

menggunakan sabun terutama sesudah buang air besar,sesudah membuang tinja

anak, sebelum makan, sebelum dan sesudah menyiapkan makanan,dan sebelum

menyuapi anak. Praktek mencuci tangan pakai sabun dapat mengurangi insiden

11

diare sebanyak 42-47%, manfaat cuci tangan 41% menghilangkan bau dan 49%

menghilangkan kotoran. Rata-rata responden sudah melakukan dan membiasakan

cuci tangan pada seluruh anggota keluarga sebelum dan sesudah makan, sesudah

buang air besar dan sebelum dan sesudah menyiapkan makanan.

Menurut penelitian dibeberapa negara membuktikan bahwa upaya

penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko

terhadap penyakit diare. Kebersihan jamban harus selalu dijaga. Jika tidak ada

jamban,jangan biarkan balita pergi sendiri membuang air besar. Lalu kotoran

ditutupi dengan tanah dan jangan biarkan balita menyentuh tanah tersebut. Rata-

rata responden sudah melakukan hal pencegahan ini dengan baik. Imunisasi

campak merupakan cara yang efektif untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas

yang berhubungan dengan diare. Rata responden telah melakukan imunisasi

campak sesuai dengan jadwal pemberian.

Pada kasus lain seperti Scabies, “Prevalensi Scabies pada pemeriksaan fisik

kulit terhadap 338 orang santri Ponpes di Kabupaten Lamongan menunjukkan

bahwa prevalensi penyakit Scabies adalah 64,20%. Prevalensi Scabies ini jauh

lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi penyakit Scabies di negara sedang

berkembang yang hanya 6-27% saja ataupun prevalensi penyakit Scabies di

Indonesia sebesar 4,60 -12,95% saja. Sedangkan prevalensi penyakit Scabies

diantara para santri di Kabupaten Lamongan lebih sedikit rendah kalau

dibandingkan dengan prevalensi penyakit Scabies disebuah Ponpes di Jakarta

yang mencapai 78,70% atau di Ponpes Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sebesar

66,70%.

Dengan demikian tampak bahwa penyakit Scabies merupakan salah satu

masalah kesehatan utama yang perlu diperhatikan pada santri Ponpes. Walaupun

tidak sampai membahayakan jiwa, penyakit Scabies perlu mendapatkan perhatian

karena tingkat penularannya yang tinggi serta dapat mengganggu konsentrasi pada

saat santri sedang belajar dan mengganggu ketenangan pada waktu istirahat,

terutama pada waktu tidur di malam hari. Sanitasi lingkungan Ponpes yang diteliti

meliputi parameter sanitasi gedung, sanitasi kamar mandi, pengelolaan sampah,

system pembuangan air limbah, kepadatan hunian kamar tidur, dan kelembaban

ruangan. Hasil uji statistik Chi kuadrat menunjukkan bahwa diantara parameter

12

tersebut yang berperan terhadap prevalensi penyakit Scabies adalah sanitasi kamar

mandi (p <0,01), kepadatan hunian kamar tidur (p <0,01), dan kelembaban

ruangan (p <0,05).

Penyediaan air bersih merupakan kunci utama sanitasi kamar mandi yang

berperan terhadap penularan penyakit Scabies pada parasantri Ponpes, karena

penyakit Scabies merupakan penyakit yang berbasis pada persyaratan air bersih

(water washed disease) yang dipergunakan untuk membasuh anggota badan

sewaktu mandi. Pada kenyataannya kebutuhan air bersih untuk mandi,mencuci

dan kebutuhan kakus sebagian besar Ponpes di Kabupaten Lamongan dipasok dari

air sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu. Santri yang tinggal di pemondokan

dengan kepadatan hunian tinggi (<8 m2 untuk 2 orang) sebanyak 245 orang

mempunyai prevalensi penyakit Scabies 71,40%, sedangkan santri yang tinggal

dipemondokan dengan kepadatan hunian rendah (> 8 m2 untuk 2 orang) sebanyak

93 orang mempunyai prevalensi penyakit Scabies 45,20%. Dengan demikian

tampak peran kepadatan hunian terhadap penularan penyakit Scabies pada santri

di Ponpes Lamongan (Chikuadrat, p <0,01). Kepadatan hunian merupakan syarat

mutlak untuk kesehatan rumah pemondokan, karena dengan kepadatan hunian

yang tinggi terutama pada kamar tidur memudahkan penularan penyakit Scabies

secara kontak dari satu santri kepada santri lainnya. Sebanyak 232 orang santri

tinggal di ruangan dengan kelembaban udara yang buruk (> 90%) dengan

prevalensi penyakit scabies 67,70%, sedangkan 106 santri tinggal di ruangan

dengan kelembaban baik (65-90%) memiliki prevalensi penyakit scabies 56,60%.

Kelembaban ruangan pemondokan kebanyakan para santri nampak kurang

memadai, sebagai akibat buruknya ventilasi, sanitasi karena berbagai barang dan

baju, handuk, sarung tidak tertata rapi,dan kepadatan hunian ruangan ikut

berperan dalam penularan penyakit Scabies (Chi kuadrat, p <0,05). Hal ini

memudahkan tungau penyebab (Sarcoptes scabiei) berpindah dari reservoir ke

barang sekitarnya hingga mencapai pejamu baru.

Penilaian higiene perorangan dalam penelitian ini meliputi antara lain

frekuensi mandi, memakai sabun at au tidak, keramas, frekuensi mencuci pakaian

dan handuk, pakaian dan handuk dipakai bergantian, dan kebersihan alas tidur.

Sebagian besar santri (213orang) mempunyai higine perorangan yang jelek

13

dengan prevalensi penyakit Scabies 73,70%. Sedangkan santri dengan hygiene

perorangan baik (121 orang) mempunyai prevalensi penyakit Scabies 48,00%.

Tampak sekali peran higiene perorangan dalam penularan penyakit scabies (Chi

kuadrat, p <0,01). Tungau Sarcoptes scabiei akan lebih mudah menginfestasi

individu dengan higiene perorangan jelek, dan sebaliknya lebih sukar

menginfestasi individu dengan higiene perorangan baik karena tungau dapat

dihilangkan dengan mandi dan keramas teratur, pakaian dan handuk sering dicuci

dan kebersihan alas tidur.

Perilaku sehat diukur melalui tiga parameter yaitu pengetahuan, sikap, dan

tindakan terhadap penyakit Scabies. Ketiga parameter tersebut menunjukkan

peran yang nyata terhadap prevalensi penyakit Scabies (Chi kuadrat, ketiganya

dengan p <0,01). Perilaku yang tidak mendukung tersebut diantaranya adalah

sering memakai baju atau handuk bergantian dengan teman, tidur bersama dan

berhimpitan dalam satu tempat tidur.

Faktor sanitasi lingkungan yang dimaksud disini adalah merupakan parameter

keseluruhan yang dibentuk variabel penelitian sanitasi lingkungan Ponpes, higiene

perorangan dan perilaku sehatyang berperan dalam penularan penyakit Scabies.

Uji statistik dengan model Regresi Logistik Ganda dengan semua parameter yang

secara signifikan berperan dalam penularan penyakit Scabies menunjukkan bahwa

parameter yang paling berperan adalah berturut-turut sanitasi kamar tidur (p

<0,01, RR = 3,42) dan ventilasi kamar tidur (p <0,01, RR = 2,10); perilaku sehat

(p <0,01, RR = 3,05);serta higiene perorangan (p <0,05, RR = 1,80). Dengan

demikian faktor paling besar pengaruhnya terhadap penularan penyakit Scabies

diantara para santri Ponpes di Kabupaten Lamongan adalah kamar tidur santri

yang tidak saniter. Hasil penelitian ini berbeda dengan penemuan Kuspriyanto

(2002) yang menyatakan faktor paling berpengaruh dalam penularan penyakit

Scabies pada santri diPonpes kabupaten Pasuruan adalah penyediaan air bersih

yang tidak memenuhi syarat.

Contoh kasus lain yang dapat dijadikan tinjauan empiris pada Morbiditas

balita yang dianalisis meliputi penyakit ISPA dan diare. Penyakit ini merupakan

penyakit yang sering diderita anak balita, dan dapat memengaruhi perkembangan,

pertumbuhan, dan kesehatan balita. Penyakit ISPA dan diare yang diderita anak

14

balita sampel didasarkan pada diagnosa gejala dan diagnosis nakes,seperti

diperlihatkan pada Tabel berikut.

Morbiditas

Ya Tidak

N % n %

ISPA 18387 42,6 24775 57,4

Diare 7165 16,6 35997 83,4

Tabel 2.3 sebaran balita sampel menurut Morbiditas

Hampir separuh anak balita sampel (42,6%) menderita penyakit ISPA,

sedangkan penyakit diare kurang dari 20 persen. Tingginya kejadian ISPA

menggambarkan penyakit ini masih mendominasi buruknya kesehatan anak balita

yang dipengaruhi lingkungan, dan berimplikasi pada perkembangan

danpertumbuhan balita.

Maka dari itu telah di ketahui sanitasi lingkungan dapat mempengaruhi

kesehatan individu.Sanitasi lingkungan dapat menjadi factor pendukung

berkembangnya penyakit menular.Pada analisis ini sanitasi lingkungan meliputi

data kondisi keluar gabalita di mana konsumsi air minum adalah air yang sehat

yaitu air yang tidak berbau,berasa, berwarna dan di masak hingga mendidih.Juga

dilihat dari kondisi lingkungan keluarga balita yang sehat,yaitu keluarga tidak

memelihara hewan ternak di lingkungan rumah.

Secara umum diare biasa didefinisikan sebagai buang air besar yang berair

dengan frekuensi lebih sering dari biasanya. Anak balita yang menderita diare,

pada analisis ini, dinyatakan berdasarkan diagnosa gejala dan diagnosa nakes.

Tabel berikut menyajikan data statistik, hubungan kejadian diare dengan status

gizi balita.

15

Penyakit

Diare

BB/U TB/U BB/TB

Gizi Baik

(%)

Gizi

Kurang

(%)

Normal

(%)

Pendek

(%)

Tidak

Kurus

(%)

Kurus

(%)

Ya 77,4 22,6 56,5 43,5 84,1 19,9

Tidak

80,8 19,2 60,7 39,3 85,3 14,7

P : 0,001

OR=1,23

(Cl:1,17-1,29)

P : 0,001

OR=1,19

(Cl:1,1-1,24)

P : 0,001

OR=1,1

(Cl:1,3-1,15)

Tabel 2.4Hubungan Kejadian Diare denganStatus Gizi Balita

Hasil analisis data menyatakan bahwa proporsi balita yang menderita diare,

terjadi lebih besar pada balita berstatus gizi kurang (BB/U). Demikian halnya

pada anak balita pendek (TB/U), serta kurus (BB/TB) juga mempunyai proporsi

lebih besar dibanding proporsianak balita yang tidak sakit diare. Secara statistik

terdapat hubungan bermakna (P=0.001) antara anak balita yang pernah diare

dengan status gizi balita berdasarkan BB/U, TB/U maupun BB/TB. Pada balita

yang sering mengalami diare akan berpeluang menjadi penderita gizi kurang,

pendek dan mengalami kekurusan, satu kali (CI: 1,17-1,29) lebih besar dibanding

pada anak balita yang normal atau anak balita status gizi baik.

Pelaksanaan skrining dapat mencontoh dari pelaksanaan skrining malaria,

yang menggunakan kriteria skrining yaitu demam periodik, nyeri pada persendian

dan mual (muncul bersamaan) dalam waktu dua minggu terakhir dengan tujuan

memisahkan mereka yang sehat terhadap mereka yang kemungkinan besar

menderita malaria pada masyarakat sehingga dapat cepat dilakukan pengobatan.

Penyakit malaria dapat dicegah sedini mungkin serta mencegah terjadinya

penularan di masyarakat. Secara keseluruhan pada pelaksanaan skrining

ditemukan 174 orang yang diduga mengalami gejala klinis malaria kemudian

diambil 96 orang yang memenuhi kriteria inklusi untuk dijadikan sampel

penelitian. Sebanyak 78 orang tidak memenuhi kriteria inklusi karena hanya

16

mengalami gejala klinis tunggal (demamperiodik atau nyeri pada persendian atau

mual), gejala sudah dirasakan melebihi 2 minggu dan bertempat tinggal diluar

wilayah kerja Puskesmas Banyuasin.

Berdasarkan pada perhitungan validitas uji skrining gejala klinis malaria, nilai

sensitivitas dan spesifisitas gejala klinis tunggal yang paling baik untuk

memisahkan antara individu yang menderita malaria dan yang sehat adalah

demam periodic (sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%) dan mual (sensitivitas

100% dan spesifisitas 98,8%). Gejala nyeri pada persendian mempunyai nilai

sensitivitas58,3% dan spesifisitas 96,4%. Tes atau uji skrining dilakukan untuk

menemukan kasus agar mendapatkan perawatan dan pengobatan, maka dengan

tes sensitivitas yang lebih tepat digunakan tanpa memperhatikan nilai spesifisitas

dari tes atau ujiskrining tersebut. Masing-masing gejala klinis tunggal dihitung

sensitivitas dan spesifisitasnya, maka selanjutnya menghitung gejala klinis yang

dikombinasi untuk dijadikan uji skrining. Nilai validitas hasil uji skrining gejala

klinis demam periodik+mual dengan pemeriksaan sediaan darah tepi secara

mikroskopik sebagai baku emas memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas

98,8%. Nilai validitas hasil uji skrining gejala klinisdemam periodik+nyeri pada

persendian dengan pemeriksaan sediaan darah tepisecara mikroskopik bebagai

baku emas memiliki sensitivitas 58,3% dan spesifisitas96,4%. Nilai validitas hasil

uji skrining gejala klinis nyeri pada persendian+ mualdengan pemeriksaan sediaan

darah tepi secara mikroskopik bebagai baku emasmemiliki sensitivitas 58,3% dan

spesifisitas 100%. Nilai validitas hasil uji skrining gejala klinis demam

periodik+nyeri pada persendian+mual dengan pemeriksaan sediaan darah tepi

secara mikroskopik berbagai baku emas memiliki sensitivitas 58,3% dan

spesifisitas 100%.

Hal ini berarti gejala kombinasi demam deriodik+nyeri pada persendian +

mual tidak dapat digunakan sebagai uji skrining malaria karena hanya memiliki

sensitivitas 58,3%dan spesifisitas 100%. Rendahnya sensitivitas disebabkan

karena kebanyakan responden yang positif malaria terdapat pada kelompok umur

2-10 tahun (75,1%), sehingga peneliti tidak dapat menggali informasi terutama

mengenai gejala nyeri pada persendian. Penelitian yang dilakukan oleh

Sulistiyowati dengan gejala klinis yangberbeda dengan peneliti yaitu demam

17

memiliki sensitifitas 100% dan spesifisitas 79%, sakit kepala memiliki sensitifitas

48,38% dan spesifisitas 99,19%, menggigil/kedinginan memiliki sensitivitas

90,32%, serta gejala kombinasi panas+sakit kepala memiliki sensitivitas 45,16%

dan spesifisitas 100%, panas+menggigil/kedinginanmemiliki sensitivitas 93,53%

dan spesifisitas 98,38%, menggigil/kedingnan+sakitkepala memiliki sensitivitas

29% dan spesif isitas 100% dan demam+menggigil+sakit kepala memiliki

sensitivitas 74,19% dan spesifisitas 93,54% dan dikatakan dapat digunakan

sebagai uji skrining di masyarakat akan tetapi bila dibandingkan dengan baku

emas yaitu pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopis, ketiga gejala tersebut

belum memenuhi nilai standar untuk dijadikan uji skrining (nilai standarisasi

sensitivitas uji skrining berdasarkan criteria Dinkes yaitu 85%. Berdasarkan hasil

perhitungan validitas dari gejala tunggal demam periodic memiliki sensitivitas

100% dan mual sensitivitas 100%, begitupun apabila gejalatersebut

dikombinasikan yaitu demam periodik+mual memiliki sensitivitas 100% dan

spesifisitas 98,8%. Dengan demikian gejala kombinasi demam periodik+mual

dapat dijadikan uji skrining malaria berdasarkan gejala klinis di masyarakat

karena memiliki sensitivitas yang sangat tinggi yaitu 100% dibandingkan dengan

gejala klinis yang digunakan oleh sulistyowati yaitu

demam/panas+menggigil/kedinginan yang memiliki nilai sensitivitas 93,53%.

Penggunaan literatur dapat dijadikan salah satu tolok ukur kualitas suatu

penelitian. Salah satu kriteria penelitian yang baik adalah pemanfaatan jurnal

terbaru dan dalam jumlah yang cukup banyak sebagai dasar melakukan penelitian.

Dari tabel 2.3 terlihat bahwa sebagian besarpenelitian banyak menggunakan

penelitian sebelumnya dan menggunakan sumber dari buku-buku Depkes. Halini

menunjukkan bahwa bila dilihat dari pemanfaatan literatur kepustakaan, penulisan

skripsi dan tesis masih kurang baik kualitasnya. Penelitian yang dilakukan peneliti

merupakan duplikasi dari penelitian sebelumnya tanpa menghasilkan temuan baru

yang berarti dalam bidang kesehatan khususnya topik diare yang cukup banyak

diteliti.

Banyak faktor yang menimbulkan penyakit diare antara lain faktor

lingkungan, faktor balita, faktor ibu, danfaktor sosiodemografis. Dari beberapa

faktor tersebut,faktor lingkungan cukup banyak diteliti dan dibahas darisegala

18

aspek seperti dari sarana air bersih (SAB),jamban, saluran pembuangan air limbah

(SPAL),keadaan rumah, tempat pembuangan sampah,kualitas bakteriologis air

bersih dan kepadatan hunian. Tabel 2.4menunjukkan bahwa dari sekian banyak

faktor risikopenyebab penyakit diare, faktor risiko yang seringditeliti adalah

faktor lingkungan yaitu sarana air bersihdan jamban.Jadi bisa diambil kesimpulan

bahwa factor risiko yang paling rentan menyebabkan penyakit diareadalah faktor

lingkungan.

Faktor risiko penyebab penyakit diare yang paling banyak diteliti oleh

mahasiswa adalah factor lingkungan.Faktor lingkungan ini berkaitandengan

sanitasi meliputi sarana air bersih (SAB),jamban, kualitas bakterologis air,

saluranpembuangan air limbah (SPAL), dan kondisirumah.Faktor lingkungan

yang paling banyakditeliti adalah aspek sarana air bersih dan jamban.Untuk

sarana air bersih, rata-rata odd ratio (OR)jenis SAB sebesar 3,19 dan rata-rata

ORpencemaran SAB sebesar 7,89 sedangkan untukjamban rata-rata OR

kepemilikan jamban sebesar 3,32. Perlu dilakukan intervensi terhadap factor

lingkungan untuk menurunkan angka kejadian diare di Indonesia dengan

membangun sarana airbersih dan sanitasi dalam Program Penyediaan AirMinum

dan Sanitasi Berbasis Masyarakat. Penelitian yang menggunakan systematic

review bermanfaat untuk melihat beberapa penelitian secara bersamaan sehingga

didapatkan suatu temuan baru pada topik tertentu yang telah diteliti.

Bila dilihat dari literatur kepustakaan dan penggunaan alat ukur, dapat

disimpulkan bahwa kualitas penulisan akademik dari peneliti FKM belum

memenuhi kriteria penulisan yang baik. Dalam hal mengeksplor variabel yang

akan diteliti,kualitas penulisan tesis lebih baik dibandingkandengan skripsi.

19

Peneliti Varia

bel

Ditelit

i

Variabel

Signifuk

an

Jumla

h

Samp

el

Desain

Penelitia

n

K.Dalam

Negri

K.Inter

nasiona

l

Alat ukur

Adhawiya

20009

13 7 290 Crass

ectionl

19(1984-

2000)

1 24 item

Renggani;

200210

14 4 235 Crass

ectionl

22(1975-

2002)

1 16 item

Febriyanti;

200311

14 7 120 Crass

ectionl

34(1985-

2002

1 28 item

Suryawija

y

200412

12 2 170 Crass

ectionl

29(1968-

2002)

6 24

item+

Formalin

inspeksi

sanitasi

Johar;

200413

13 4 125 Crass

ectionl

16 (1975

-2003)

2 Tidak

Disertakan

Rahmawar

y

200414

5 1 65 Crass

ectionl

38(1983

-2003)

4 Tidak

Disertakan

Iskandar

200515

7 6 255 Caze

section

43(1986-

2003)

0 37 item

Fitriayani

200516

10 6 160 Caze

control

40(1983-

2002)

2 51 item

Giyantini

200017

21 18 500 Caze

control

33(1975-

1999)

8 66

item+formali

n inspeku

sanitasi

Septa

200218

16 12 250 Caze

control

38 (1984

+2002)

8 Tidak

isertakan

20

Alamsyah

200219

19 12 274 Caze

control

58(1975-

2001)

8

89 item

Syabaini

200220

13 4 420 Caze

control

40(1983-

2002)

4 44 item

Susilawati

200221

11 7 250 Caze

control

50(1956-

200)

11 30 item

Caahono

200322

9 7 160 Caze

control

28(1975-

2002)

2 40

item+formali

n Observasi

sanitasi

Yunus

200323

7 6 160 Caze

control

50(1969-

2003)

11 59 item

Ibrahin

200324

17 15 240 Caze

control

45(1983-

2002)

5 43

item+formali

n inspeku

sanitasi

Zakianis

200325

16 7 300 Caze

control

44(1985-

2002)

19 81 item

+formalin

inspeku

sanitasi

Luza

200526

11 3 160 Caze

control

34(1974-

2005)5

5 56

item+formali

n inspeku

sanitasi

Tabel 2.5Gambaran Umum Penelitian Diare di FKM UI th. 2000-2005

21

Faktor resiko

Faktor Lingkungan

Penelitian Factor

Ibu

Fakt

or

Ana

k

Factor

Sosial

Ekono

mi

Fakt

or

lain

Sara

na

Air

Bers

ih

Jamba

n

Kualitas

Bekteri

ologis

Saluran

Pembuan

gan air

Limbah

Keada

an

Ruma

h

Adhawiya

20009

V V - V v v - - -

Renggani;

200210

- - - - v v V v -

Febriyanti;

200311

V V V - v v - - -

Suryawija

y

200412

- - - - v v - v V

Johar;

200413

- V - V V V - v -

Rahmawar

y

200414

V - - - - V - - V

Iskandar

200515

V - V - V V - - -

Fitriayani

200516

V V - - V V - v -

Giyantini

200017

- V V - V - V _ -

Septa

200218

V - v - V V V v V

Alamsyah

200219

V - - -v V V - - -

Syabaini

200220

V V V - V V - - -

22

Susilawati

200221

V V V - - V V V -

Caahono

200322

V V V V V V - - -

Yunus

200323

V - - - V V V V V

Ibrahin

200324

V V - - V V - V -

Zakianis

200325

V V V V V V - - -

Luza

200526

V V - V - V V V -

Total 14 11 9 7 15 17 7 8 3

Keterangan :

(-) tidak Diteliti

(V) factor yang diteliti

Tabel 2.6 Faktor Risiko Penyebab Penyakit Diare yang Diteliti

23

Sumur sebagai sumber air bersih sangat mudah tercemari sehingga

memudahkan terjadinya penularan penyakit, salah satunya adalah diare karena

sumur menyediakan air yang berasal darilapisan air tanah yang relatif dekat

dengan permukaan tanah. Oleh karena itu, dengan mudah terkena kontaminasi.

Kontaminasi yang paling umum adalah berasal dari penapisan air dari sarana

pembuangan kotoran manusia dan binatang. 14 Hasil penelitian terhadap kualitas

bakteriologis sarana air bersih di Jakarta menemukan bahwa sebanyak 24%air

permukaan tercemar fecal coliform dan hanya3% air dari PDAM yang tercemar.

15 Tingkat risiko sarana air bersih yang tinggi kemungkinan karena adanya

sumber pencemar yang berjarak kurang dari 10 meter, tidak adanya saluran

pembuangan air, lantai yang mengitari sumur yang tidak disemen, adanya

keretakan pada lantai sumur, adanya air yang merembes ke sumur sehingga

mengakibatkan tercemarnya air dalam sumur tersebut.

Ada berbagai cara untuk melindungi sumber air misalnya konstruksi di

sekitar sumur harus baik dan tersedia fasilitas drainase, menggunakan ember yang

bersih untuk mengambil air, lubang sumur hendaknya ditutup jika tidak

digunakan, tali pada ember jangan sampai mengotori sumur, tangan harusbersih

ketika memegang ember, air bekas mandidan cucian hendaknya dibuang jauh dari

sumur, serta menjauhkan binatang dari sumur. Saranapem buangan tinja yang

tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu yang tidak tertutup dan mudah dihinggapi

lalat secara statistik tidak berhubungan dengan kejadian diare akut pada balita di

Kecamatan Umbulharjo dan Kotagede. Hasil penelitian yang sama yang

dilakukan Zakianis di KecamatanPancoran Mas Kota Depok tahun

20039,menunjukkan bahwa sarana pembuangan tinja yangburuk tidak

berhubungan dengan kejadian diare padabayi dengan nilai p = 0,548, OR = 1,115.

Sarana pembuangan tinja yang tidak memenuhisyarat kesehatan bermakna secara

statistik akanmeningkatkan risiko terjadinya diare akut pada anaksebesar 2,71 kali

dibandingkan dengan keluargayang mempunyai kebiasaan membuang tinja yang

memenuhi syarat kesehatan (p=0,009).

Kondisijamban yang buruk berhubungan dengan kejadian diare pada balita

dengan nilai p = 0,000, OR = 3,87.18. Sarana pembuangan tinja yang buruk tidak

berhubungan dengan kejadian diare akut pada balita. Kemungkinan lainnya

24

septitank responden tidak memenuhi syarat (tidak kedap air), peneliti tidak dapat

memastikan apakah memenuhi syarat karena lokasinya tertanam di dalam tanah.

Sarana pembuangan tinja yang buruk dalam penelitian ini bukan merupakan

faktor risiko terjadinya diare akut pada balita. Hal ini tidak sesuai dengan teori

yang ada karena sarana pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan

dapat menjadi penyebaran penyakit atau tempat berkembang biak lalat dan dapat

meningkatkan risiko kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baikkasus

maupun kontrol sebagian besar sarana BABnya sudah memenuhi syarat dan

kemungkinan penularan kuman penyebab diare tidak melalui sarana BAB. Secara

statistik ada hubungan yang bermakna antara total coliform yang tinggi dengan

kejadian diare akut pada balita.

Tingkat kualitas total coliform (101 – 1000/ml) bakteri air bersih

berhubungan dengan terjadinyadiare pada balita.Namun hasil penelitian lain

menunjukkan, tidakada hubungan total coliform yang >0/100 ml sampelair

dengan terjadinya diare pada bayi (p = 0,883,OR = 1,044).9 Penelitian lain

menemukan tidak adahubungan bermakna secara statistik antara indicator bakteri

dengan penyakit gastrointestinal akutOR = 1,52 (95% CI : 0,33 – 6,92).

Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare Kementerian Kesehatan

dari tahun 2000 s/d 2010 kasus diare di Indonesia terlihat kecenderungan insidens

naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik

menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan

tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga

masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB

di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR

2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756

orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi

KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73

orang (CFR 1,74 %). Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kejadian

penyakit. Blum (1974) menyatakan bahwa lingkungan merupakan salah satu

faktor penentu terjadinya penyakit. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengkaji

keterkaitan antara faktor-faktor lingkungan dengan kejadian penyakit. Dalam

beberapa dekade terakhir, telah terjadi perubahan iklim secara bermakna.

25

Perubahan tersebut akan berpengaruh pula terhadap kemungkinan terjadinya

penyakit.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori-teoriyang ada, secara subtansi bahwa

telah terjadipencemaran lingkungan (kotoran hewan, tinja,sampah) terhadap

sumber/sarana air bersih. Adanya pencemaran lingkungan tersebut telah

ditunjukkan dengan indikator adanya total coliform pada saranaair bersih. Hal ini

dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap para pemakai sarana air bersih

tersebut. Proporsi kandungan total coliform yang buruk pada kasus maupun

kontrol besar yaitu 74,4% pada kasus dan 61,6% pada kontrol. Hal ini

mengindikasikan bahwa sebagian besar sumber airbersih (sumur) di Kecamatan

Umbulharjo dan Kotagede sudah tercemar. Pada analisis bivariat juga

menunjukkan bahwa ada hubungan antara total coliform dengan terjadinya diare

pada balita dengan risiko untuk terjadinya diare sebesar 1,81 kali. Untuk

selanjutnya kandungan coliform diikut sertakan dalam analisis multivariat, tetapi

pada analisis multivariate total coliform bukan merupakan faktor yang paling

dominan menyebabkan diare pada balita. Hal ini karena bakteri coliform bukan

merupakan penyebab sakit. Keberadaan coliform dalam sampel air bersih

mengindikasikan adanya kuman patogen dalam sistem penyediaan air bersih.

Berbeda dengan kandungan total coliform dalam sampel air bersih,

kandungan E. coli dalam sampelair bersih tidak berhubungan dengan kejadian

diare akut pada balita. Secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara

indikator bakteri dengan penyakit gastro intestinal akut. Kandungan E. coli (1000

E. coli/100 ml) berhubungan dengan peningkatan kasus diare, ada hubungan yang

positif antara kandungan E. coli dalam sampel air bersih dengan diare dan

disentri,walaupun hubungannya lemah dan risiko penyakit diare tidak bertambah

secara progresif dengan peningkatan kandungan E. coli dalam air bersih.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar(93,6%) kasus diare akut pada

balita adalah diareakut. Penyebab diare akut cair sebagian besar (40%– 70%)

adalah Rotavirus. Penyebab lainnya bakteri patogen seperti E. coli, Shigella,

ampylobacter dan Salmonella serta V. cholera pada saat KLB. 24 Penularan

Rotavirus adalah secara oro-fecal melalui kontak, udara dan air.25E. coli

merupakan subgroup dari fecal coliform. Sebagian besar bakteri E. coli tidak

26

berbahaya dan banyak ditemukan dalam usus manusia dan hewan berdarah panas.

Beberapa strain dapat menyebabkan sakit. Keberadaan E. coli dalam sampel air

bersih mengindikasikan adanya pencemaran yang berasal dari feses. Kejadian

luarbiasa (KLB) E. coli jenis O157:H7 sering terjadi. Memasak air sampai

mendidih dan disinfeksi dapat membunuh semua jenis E. coli termasuk O157:H7.

21 Upaya untuk menurunkan kandungan fecal coliform dalam sampel air bersih

dapat dilakukan dengan pemakaian saringan pasir lambat. Rumah tangga yang

menggunakan saringan pasir lambat lebih baik dari kontrol (fecal colifor

mgeometric mean, 30.0 CFU versus 89.0 CFU/100 ml,P< 0.001). Dilaporkan juga

lamanya sakit diare berkurang (86 hari pada 626 anak dalam seminggu)

dibandingkan dengan kontrol (203 hari pada 558anak dalam seminggu).

Berdasarkan Higiene Perorangan , proporsi perilaku mencuci tangan yang

buruk pada kasus (65,7%) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol (34,7%).

Berdasarkan uji statistic perilaku mencuci tangan ibu/pengasuh balita yangburuk

beresiko menyebabkan diare akut pada balitasebesar 2,45 kali jika dibandingkan

dengan perilakumencuci tangan ibu/pengasuh yang baik, nilai p = 0,003.Pada

analisis multivariat perilaku cuci tangan pakai sabun ini merupakan faktor paling

dominan menyebabkan diare akut pada balita. 17 Anak yang kebiasaan ibunya

mencuci tangan setelah BAB tanpa sabun, kemungkinan terjadi diare akut 2,7 kali

dibanding dengan anak yang kebiasaan ibunya mencuci tangan pakai sabun, p =

0,01. Anak berumur kurang dari 15 tahun yang menerima paket promosi cuci

tangan dan sabun menderita diare hanya setengah dari anak tetangganya sebagai

kontrol. Pengaruh cuci tangan pakai sabun dapat menurunkan insiden diare

sebesar 48%. Hasil ini membuat cuci tangan pakai sabun lebih efektif dari

penyediaan sarana air bersih, pengawasan lalat atau peningkatan sanitasi dalam

mencegah penyakit diare. Perusahaan sabun mengetahui bagaimana

mempromosikan alat-alat pembersih dan bekerjasama dalam upaya masyarakat

dunia untuk meningkatkan persentase cuci tangan pakai sabunyang sekarang baru

sekitar 10% – 20%.

Perilaku mencuci tangan merupakan salah satubagian dari higiene perorangan

seorang ibu. Higiene perorangan yang baik dapat mencegah terjadinya

27

insiden diare. Beberapa cara dapat dilakukan diantaranya adalah cuci tangan

setelah buang airbesar, cuci tangan sebelum menyiapkan makanan,cuci tangan

setelah menangani feces anak, dan yang paling penting setiap akan makan atau

memberikan makan pada anak ibu/pengasuh balita harus cuci tangan dengan

sabun atau desinfektan. Oleh karena itu, perilaku mencuci tangan merupakan

variabel penting yang harus disosialisasikan kepada masyarakat untuk mencegah

terjadinya diare. Proporsi yang tidak merebus air minum sampai mendidih selama

1 – 3 menit pada kasus lebih besar(70,4%) dibanding kontrol hanya 29,6%.

Berdasarkan uji statistik perebusan air minum yang tidak memenuhi syarat

kesehatan berisiko menyebabkan diare pada balita sebesar 2,62 kali jika

dibandingkan dengan perilaku merebus air minumsampai mendidih selama 1 – 3

menit, p = 0,042. Dari 266 ibu/pengasuh balita hanya 50% yang merebusair

minum sesuai standar. 29 Perilaku merebus air minum yang baik dapat

menurunkan thermotolerant coliform (TTCs) sebesar97 %. (p=0,001). Walaupun

tingkat pencemaran fekal tinggi pada sumber air, dengan perebusan air yangbaik

sebanyak 37% sampel air memenuhi syarat WHO sebagai air yang aman untuk

dikonsumsi(0 TTC/100 ml) dan 38,3% sampel air berada dalamkategori risiko

rendah (1-10 TTC/100 ML).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hurtado-Diaz dan kawan-kawan (2008)

menunjukkan bahwa setiap peningkatan temperatur dan curah hujan di Kota

Acayuan Meksiko kasus diare meningkat sebesar 19%, di Coatzacoalcoss

meningkat sebesar 2%, dan 13% di Kota Las Choapas. Penelitian yang dilakukan

oleh Farida Istiani (2009) tentang hubungan variasi iklim dengan kejadian

penyakit diare di Kota Banjarbaru, dimana dikatakan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara curah hujan dan kelembaban dengan penyakit diare, serta

penelitian yang dilakukan oleh Kolstad dan kawan-kawan (2001) bahwa setiap

peningkatan temperatur 10C meningkatkan penyakit diare di Bangladesh. Curah

hujan yang tinggi berpotensi dapat meningkatkan banjir. Pada saat banjir, maka

sumber-sumber air minum masyarakat, khususnya sumber air minum dari sumur

dangkal akan banyak ikut tercemar. Di samping itu, pada saat banjir biasanya

akan terjadi pengungsian di mana fasilitas dan sarana serba terbatas termasuk

28

ketersediaan air bersih. Itu semua menjadi potensial menimbulkan penyakit diare

disertai penularan yang cepat (Yoga, 2012).

Menurut Khrisma Wijayanti (2008), salah satu penyakit yang meningkat

pada saat perubahan iklim adalah penyakit diare yang penyebab utamanya

kebanyakan disebabkan oleh bakteri E.Coli. Menurut Entjang dalam penelitian

yang dilakukan oleh salah satu Universitas, Eschericia coli merupakan indikator

yang paling baik untuk menunjukkan bahwa air rumah tangga sudah dikotori

feces manusia. Eschericia coli merupakan flora normal, hidup di dalam colon

manusia dan akan menimbulkan penyakit bila masuk ke dalam organ atau

jaringan lain, salah satunya adalah penyakit diare. Putri Wijayanti (2009) dalam

penelitiannya mengatakan, bahwa salah satu penyebab diare adalah tercemarnya

makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat dianggap

mengganggu karena kesukaannya hinggap di tempat-tempat lembab dan kotor

seperti sampah. Jika makanan yang dihinggapi lalat, maka dapat menyebabkan

penyakit diare. Menurut Departemen Kesehatan bahwa lalat merupakan serangga

yang penyebarannya memerlukan kelembaban sebesar 90 %. Cahaya, temperatur

dan kelembaban merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran lalat.

Perkembangbiakkannya memerlukan suhu sekitar 200C-250C dan kelembaban

yang optimal sebesar 90%, serta untuk istirahatnya memerlukan suhu sekitar 300C

-350C. Aktifitas lalat akan terhenti pada suhu <150C.

Merebus atau memasak air minum adalah cara yang sudah lama dan

digunakan banyak orang untuk membunuh kuman dalam air minum. Jika

dilakukan secara tepat merebus air minum dapat membunuh atau menonaktifkan

semua bentuk kuman termasuk spora bakteri dan cysta protozoa yang resisten

terhadap bahan kimia dan jenis virus yang sangat kecil yang lolos dari proses

penyaringan. Suatu penelitian di Kenya menunjukkan bahwa memasak air minum

sampai 70o C dapat meningkatkan jumlah rumah tangga yang air minumnya bebas

coliformdari 10,7% sampai 43,1% dan menurunkan insiden diare berat

dibandingkan dengan kontrol (OR = 0,55,p = 0,0016).

Untuk menghindarkan diri dari penyakit sepertidiare, maka air bersih harus

diolah terlebih dahulu agar layak dan sehat untuk diminum. Ada berbagai cara

untuk membuat air bersih agar layak untuk dikonsumsi oleh manusia antara lain:

29

a) merebus:air bersih direbus sampai matang (mendidih) danbiarkan mendidih

(tetap jerang air di atas komporyang menyala, jangan matikan kompor) selama

3 –5 menit untuk memastikan kuman-kuman yang ada di air tersebut telah

mati;

b) Solar Disinfection (Sodis)atau pemanasan air dengan menggunakan tenaga

matahari. Air bersih dimasukkan ke dalam botolbening kemudian diletakkan di

atas genteng rumah selama 4 – 6 jam saat cuaca panas atau 6–8 jamsaat cuaca

berawan. Panas matahari dan sinar ultraviolet akan membunuh kuman-kuman

yang adadi air sehingga air menjadi layak minum;

c) Klorinasi atau proses pemberian cairan yang mengandung klorin untuk

membunuh bateri dan kuman yang adadi dalam air bersih.

Merebus adalah cara yang tepat untuk membuatair aman untuk diminum

dan membunuh kuman penyakit seperti Giardia Lamblia dan Crypto sporidium

yang biasanya terdapat dalam sungai atau danau. Jika tidak diolah dengan baik

Giardia dapat menyebabkan diare, fatigue dan cramp. Crypto sporidium sangat

resisten terhadap desinfektan dan menyebabkan diare, mual dan kram pada perut.

Banyak sekali obat yang bermanfaat untuk terapi diare antara lain

obatuntuk menurunkan motilitas gastrointestinal, adsorben, dan obat

yangmempengaruhi transport elektrolit. Namun demikian, terapi lini

pertamauntuk diare adalah pemberian oralit, yaitu yang sering disebut terapi

suportif.Oralit berfungsi untuk mencegah dehidrasi yang sangat berbahaya

bagipenderita diare, terutama bayi dan lansia (Priyanto, 2008)

Pada umumnya terdapat dua perbedaan klinis diare akut, tergantungpada

tempat infeksi di kolon atau usus halus. Disentri pada umumnya terdapatinfeksi di

kolon disebabkan oleh Shigella dysentriae, E.coli, atau Salmonella,dan terdapat

tinja berlendir, sedikit berair, dan mengandung leukosit. Diareakibat infeksi di

usus halus disebabkan oleh Salmonella, bakteri enterotoksigenik, termasuk E.coli,

V.cholerae, Stafilokoki, Pseudomonas,Klebsiella, dan virus. Diare bersifat sering

(frekuensinya), volume banyak,berair, hijau atau kuning dan kadang-kadang

berlendir, terdapat juga gejala muntah dan panas yang mendadak berhubungan

dengan diare karena virus (Suharyono, 2008).

30

Penyakit Demam Berdarah Dengue, Infeksi Saluran Pernafasan Akut, dan

diare masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Angka

insidens DBD pada tahun 2007 meningkat sebesar 71,78 per 100.000 penduduk.

Pada 2011, penyakit ISPA mencapai 18.790.481 juta kasus batuk bukan

pneumonia dan 756.577 pneumonia. Pada tahun 2010 angka insiden diare

meningkat sebesar 411/1000 penduduk. Lingkungan merupakan salah satu faktor

penentu terjadinya penyakit. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengkaji

keterkaitan antara faktor-faktor lingkungan dengan kejadian penyakit. Dalam

beberapa dekade terakhir, telah terjadi perubahan iklim secara bermakna.

Perubahan tersebut akan berpengaruh pula terhadap kemungkinan terjadinya

penyakit. Studi literatur ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor iklim

yang berpengaruh terhadap kejadian DBD, ISPA, dan Diare. Pencarian literatur

tentang iklim dan DBD menggunakan database Pubmed.

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh curah hujan,

temperatur dan kelembaban udara terhadap kejadian penyakit DBD, ISPA dan

diare. Adanya pengaruh yang bermakna antara curah hujan, temperatur dan

kelembaban terhadap kejadian penyakit DBD, ISPA dan diare menandakan perlu

adanya kerjasama antara Badan Meteorolgi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)

dengan Dinas Kesehatan dengan tujuan untuk mencegah, memprediksi dan

menangani secara tepat Kejadian Luar Biasa DBD,

ISPA, Diare (Topan,2012).

Timbulnya diare yang dialami masyarakat kost dan banyaknya

tayanganmedia yang menonjolkan produk terbaik sebagai sumber informasi

tentang obatdan pemakainnya secara tepat memotivasi masyarakat kost untuk

memilihpengobatan sendiri sebagai salah satu cara untuk mengatasi keluhan

yangdirasakan. Upaya pengobatan sendiri dilakukan karena pengaruh

pertimbanganekonomi, kepraktisan dalam pengobatan, serta anggapan bahwa

gejala yang diderita masih tergolong ringan dan mudah diobati (Shankar, 2002).

Kondisi cuaca yang yang sering mengalami perubahan dan

meningkatnyaaktifitas manusia, secara tidak langsung berpengaruh terhadap

kesehatan manusia.Imbas yang paling dapat dirasakan adalah meningkatnya

intensitas penyakitberbasis ekosistem, seperti diare, demam berdarah, penyakit

31

kulit dan penyakitlainnya. Suatu fakta tentang peningkatan pasien diare di bulan

Oktober ketikacuaca ekstrim saat musim banjir yang melanda perumahan warga

yang tinggal disekitar Sungai Siak beberapa pekan lalu. Air banjir tercemar

bakteri E.coli yang

berasal dari kotoran, baik kotoran hewan dan manusia. Bakteri itu dapat

menularjika dikonsumsi manusia. Hal tersebut menyebabkan peran lingkungan

sebagaipenopang kehidupan makhluk hidup menurun seiring berjalannya waktu

dan initernyata berimbas terhadap perkembangan penyakit berbasis ekosistem

dilingkungan masyarakat (Andi, 2011).

Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan

penyebab non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan

metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari. Menurut

(Suharyono, 2008),

Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala

dehidrasi makin tampak. Berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan

ubun-ubun membesar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit

tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi

dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sedangkan berdasarkan tonisitas plasma dapat

dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik, dan hipertonik. (Mansjoer, 2009)

Menurut Widjaja (2004), bahwa host yaitu diare lebih banyak terjadi pada

balita, dimana daya tahan tubuh yang lemah/menurun system pencernaan dalam

hal ini adalah lambung tidak dapat menghancurkan makanan dengan baik dan

kuman tidak dapat dilumpuhkan dan betah tinggal di dalam lambung, sehingga

mudah bagi kuman untuk menginfeksi saluran pencernaan. Jika terjadi hal

demikian, akan timbul berbagai macam penyakit termasuk diare.

Menurut Junadi, purnawan dkk, (2002), bahwa penularan penyakit diare

pada balita biasanya melalui jalur fecal oral terutama karena: (1) Menelan

makanan yang terkontaminasi (makanan sapihan dan air). (2) Beberapa faktor

yang berkaitan dengan peningkatan kuman perut : (a) Tidak memadainya

penyediaan air bersih, (b) kekurangan sarana kebersihan dan pencemaran air oleh

tinja, (c) penyiapan dan penyimpanan makanan tidak secara semestinya.

32

Secara umum faktor resiko diare pada dewasa yang sangat berpengaruh

terjadinya penyakit diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air bersih, jamban

keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah), perilaku hidup bersih

dan sehat, kekebalan tubuh, infeksi saluran pencernaan, alergi, malabsorbsi,

keracunan, imunodefisiensi, serta sebab-sebab lain. (Budiarto,2002)

Balita faktor resiko terjadinya diare selain faktor intrinsic dan ekstrinsik

juga sangat dipengaruhi oleh perilaku ibu dan pengasuh balita karena balita masih

belum bisa menjaga dirinya sendiri dan sangat bergantung pada lingkungannya.

(Sutono ,2008)

Pengobatan diare dengan upaya rehidrasi oral, angka kesakitan bayi dan

anak balita yang disebabkan diare makin lama makin menurun. Menurut Suharti

(2007), bahwa kesakitan diare masih tetap tinggi ialah sekitar 400 per 1000

kelahiran hidup.

Hal yang tidak kalah penting dalam menanggulangi kehilangan cairan

tubuh adalah pemberian makanan kembali (refeeding) sebab selama diare

pemasukan makanan akan sangat kurang karena akan kehilangan nafsu makan dan

kehilangan makanan secara langsung melalui tinja atau muntah dan peningkatan

metabolisme selama sakit. (sitorus, 2008).

Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat

kesehatan tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air permukaan, tidak

mengotori air tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan

oleh lalat untuk bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindung atau

tertutup, pembuatannya mudah dan murah (Notoatmodjo, 2003).

33

BAB III

Metodologi Penelitian

3.1 Rencana Penelitian

Metodologi penelitian berdasarkan lokasi dan waktu penelitian, penelitian

ini dilakukan desa Guntung Paikat Daerah Banjarbaru Provinsi Kalimantan

Selatan.Penelitian dilaksanakan di pingir sungai, selama 1 hari pada tanggal 15

Oktober 2015 sampai dengan 3 November 2015.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Observasi di sungai Desa Guntung Paikat kota Banjarbaru Provinsi

Kalimantan Selatan. 15 November 2015.

3.3 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode analisa

deskriptif untuk mengetahui jumlah pasien diare di Rumah Sakit Umum Daerah

Banjarbaru tahun 2015.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah kualitas sanitasi di Desa Guntung

Paikat, khususnya di bantaran sungai Guntung Paikat yang dilihat dari kondisi

fisik sungai tersebut.

3.5 Objek Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah kondisi sanitasi lingkungan desa guntung

Paikat terutama lingkungan di sekitar sungai. Kondisi sungai yang kotor ditambah

dengan kurang kepedulian warga sekitar membuat sanitasi di desa Guntung Paikat

menjadi salah satu penyebab penyakit diare di desa tersebut.

3.6 Instrumen Penelitian

Data sekunder diperoleh dari Rumah Sakit Umum Daerah Banjarbaru.

Selain itu, pencarian literatur menggunakan Media Internet dengan kata kunci

jurnal dan/atau buku dan/atau skirining dan/atau diare.

34

3.7 Teknik Analisa Data

. Data yang telah diperoleh dari hasil lapangan terhadap kualitas air sungai

dan keadaan sanitasinya dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan sifat-

sifat bakteri E.coli (vektor diare) serta lingkungan sungai kemudian

membandingkan dengan Peraturan Pemerintah RI No. 66 Tahun 2014 tentang

kesehatan lingkungan pada pasal 8 tentang standar baku mutu persyaratan

kesehatan pada media lingkungan yang meliputi;air, udara, tanah, pangan, sarana-

bangungan, vektor penyakit kemudian diuraikan dalam bentuk narasi dan

selanjutnya dibuat suatu kesimpulan.

3.8 Jadwal Kegiatan

Kegunaan Minggu Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

1. Konsultasi

2. Persiapan Observasi

3. Perizinan Observasi

4. Observasi Lapangan

5. Pengumpulan Data

6. Penyusunan Laporan

Sementara

7. Penyusunan Laporan

35

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

a. Pengolahan Data berupa Diagram

Kegiatan memasukkan data hasil penelitian kedalam tabel sesuai kriteria

kemudian dianalisa yaitu dengan proses penyederhanaan data kedalam bentuk

diagram yang mudah dibaca dan diinterpretasikan.

Data pasien yang terkena diare tahun 2015 di RSUD Banjarbaru

No Bulan Jumlah penderita L. Ulin Banjarbaru G.

Paikat

1 Januari 32 11 7 1

2 Februari 20 4 4 1

3 Maret 33 11 6 1

4 April 32 9 4 1

5 Mei 41 9 11 1

6 Juni 36 16 3 1

7 Juli 55 13 9 1

8 Agustus 83 15 16 3

9 September 86 20 8 1

10 Oktober 26 4 8 3

Tabel 3.1 Data pasien yang menderita diare

Dari hasil data tersebut, dapat diketahui bahwa daerah yang paling banyak

terkena diare yaitu landasan ulin sedangkan yang paling sedikit dari daerah

Guntung Paikat. Presentasi jumlah pasien dikarenakan perbedaan luas wilayah

dan banyaknya penduduk yang memungkinkan kurang disiplin dan terkontrolnya

sanitasi dilingkungan tersebut.

Berdasarkan waktu, yang mempunyai presentasi penyakit diare paling

banyak pada bulan september karena pada bulan itu merupakan puncak dari

musim penghujan. Pada bulan februari paling sedikit karena pada bulan itu awal-

awal dari musim kemarau.

65

36

3.2 PEMBAHASAN

Presentasi penyakit diare paling banyak pada bulan september karena pada

bulan itu merupakan puncak dari musim penghujan.Hal ini berkaitan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Hurtado-Diaz dan kawan-kawan (2008) yang

menunjukkan bahwa setiap peningkatan temperatur dan curah hujan di Kota

Acayuan. Meksiko kasus diare meningkat sebesar 19%, di Coatzacoalcoss

meningkat sebesar 2%, dan 13% di Kota Las Choapas serta penelitian yang

dilakukan oleh Farida Istiani (2009) tentang hubungan variasi iklim dengan

kejadian penyakit diare di Kota Banjarbaru, dimana dikatakan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara curah hujan dan kelembaban dengan penyakit

diare, serta penelitian yang dilakukan oleh Kolstad dan kawan-kawan (2001)

bahwa setiap peningkatan temperatur 10C meningkatkan penyakit diare di

Bangladesh. Sedangkan pada bulan februari paling sedikit karena pada bulan itu

awal-awal dari musim kemarau. Putri Wijayanti (2009) dalam penelitiannya

mengatakan,bahwa salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan

minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat dianggap mengganggu karena

kesukaannya hinggap di tempat-tempat lembab dan kotor seperti sampah.

Sehingga dapat dikatakan pada bulan februari populasi lalat sebagai vektor diare

lebih kecil.

Di desa Guntung Paikat masih banyak rumah-rumah yang berdiri di

samping sungai, tidak hanya itu lingkungan sungai yang kotor yang disebabkan

oleh sampah, peternakan, dan banyaknya semak belukar di pinggir sungai. Blum

(1974) menyatakan bahwa lingkungan merupakan salah satu faktor penentu

terjadinya penyakit. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengkaji keterkaitan

antara faktor-faktor lingkungan dengan kejadian penyakit.Lingkungan yang kotor

ini menyebabkan bau yang tidak sedap dikarenakan sampah atau kotoran dari

pertenakan mengendap di sungai sehingga akan menimbulkan bau dan kurang

enak di pandang. Masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan

lingkungan sekitar serta gaya hidup tidak sehat membuat resiko terkena penyakit

lebih tinggi terutama penyakit diare.

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang mudah menyerang

tubuh manusia. Penyakit diare biasanya disebabkan oleh infeksi saluran

37

pencernaan karena bakteri Escherichia coli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae

(kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik

seperti pseudomonas. Penyakit diare biasanya di tandai dengan buang air besar

encer lebih dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak.

Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak) peringkat

pertama di Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik balita, anak-

anak dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat dengan kematian yang tinggi

terutama terjadi pada bayi dan anak balita.

Penanggulangan pencemaran linkungan agar terhindar dari penyakit diare

dapat dilakukan dengan pembersihan lingkungan sekitar seperti, membersihkan

bantaran sungai, tidak membung sampah disungai, tidak menyalurkan air kotor

secara langsung ke sungai karena menyebabkan air sungai tercemar serta tidak

memilihara ternak di inggir sungai hal ini dapat menyebabkan kotoran dari ternak

dapat terbawa oleh airan sungai. Hal ini bertujuan agar bakteri dan lalat tidak

banyak berada di sekitar lingkungan, karena dapat menularkan penyakit pada

masyarakat di sekitar.

Selain itu kondisi dari rumah, wc dan dapur harus perlu di perhatikan juga,

karena hampir semua orang melalukan aktifitas di tempat-tempat tersebut setiap

harinya. Jadi jika semua semua tempat tersebut itu bersih dapat di pastikan akan

terhindar sari berbagai penyakit, terutama penyakit diare.

Penyakit diare dapat di deteksi dengan metode skrining secara umum, yaitu

ditandai dengan timbulnya sakit perut yang hebat yang menyebabkan buang air

bersar (BAB) secara berlebihan dengan peningkatan frekuensi BAB dalam 1 hari

lebih dari 4 kali dan tinja dalam keadan berair (diare/mencret). Jika penyakit diare

telah menyerang dapat diobati dengan cara medis melalui resep dokter maupun

mengkonsumsi Oralit, selain itu perbanyak minum air mineral untuk mencegah

kekurangan cairan (dehidrasi).

38

BAB V

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

1. Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak

menunjukkan gejala dengan tujuan mengelompokkan mereka.

2. Metode skrining secara umum, yaitu ditandai dengan timbulnya sakit perut

yang hebat yang menyebabkan buang air bersar (BAB) secara berlebihan

dengan peningkatan frekuensi BAB dalam 1 hari lebih dari 4 kali dan tinja

dalam keadan berair (diare/mencret).

3. Diare yang disebabkan oleh infeksi saluran pencernaan karena bakteri

E.coli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae (kolera), dan serangan bakteri

lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik seperti pseudomonas

mengakibatkan terserang penyakit diare dalam kelompok semua umur

sebesar 25,4% dan 11,2 % untuk kelompok umur 1-14 tahun.

4. Diare dapat di tanggulangi dengan cara medis melalui resep dokter

maupun mengkonsumsi Oralit, selain itu perbanyak minum air mineral

untuk mencegah kekurangan cairan (dehidrasi). Sedangkan pencegahannya

dapat melalui pembenahan, perbaikan sanitasi lingkungan seperti

kebersihan tempat, sungai, makanan, dan pola hidup.

4.1 SARAN

1. Untuk mengetetahui proses skiring yang baik perlu ada tes terhadap orang

yang tidak menunjukkan gejala penyakit

2. Untuk metode yang digunakan selain analisa lapangan juga ada analisa

laboratorium

3. Untuk kevaliditasan data dilakukan repitisi penelitian setiap tahunnya

4. Untuk penanggulangan harus ada partisipasi dan antusias warga serta

komitmen menjaga sanitasi lingkungan

39

SOAL LATIHAN MULTIPLE CHOICE

Contoh Soal

Akan dilakukan sebuahb skrinning pada semua umur yang menderita

diare. Jumlah seluruhnya adalah 444 orang, yang true positive 300, true negative

50dan false negative masing-masing 50 orang, sedangkan yang false positive

berjumlah 44 orang.

Hasil Skrinning True False Total

Positif 300 44 344

Negatif 50 50 100

Total 350 94 444

1. Berapakah orang yang skrinning tes diarenya positif dan benar sakit?

a. 301

b. 300

c. 302

d. 305

e. 310

= b. 300

Jadi, yang positif dan benar sakit adalah 300 orang berdasarkan tabel

2. Berapakah sensitivitasnya?

a. 0.85

b. 0.78

c. 0.80

d. 0.70

e. 0.71

= a. 0.85

Sensitivitas = 𝑎

𝑎+𝐶=

300

300+50= 0.85

3. Berapa nilai predictive value (+)?

a. 0.67

b. 0.87

40

c. 0.57

d. 0.97

e. 0.77

= b. 0.87

Predictive Value (+) = 𝑎

𝑎+𝑏=

300

300 +44= 0.87

4. Berapa nilai spesifitasnya?

a. 0.59

b. 0.70

c. 0.87

d. 0.67

e. 0.53

= e. 0.53

Spesifitas = 𝑑

𝑏+𝑑=

50

50+44= 0.53

5. Berapa nilai predictive value (-)?

a. 0.5

b. 0.4

c. 0.6

d. 0.7

e. 0.8

=a. 0.5

Predictive Value (-) = 𝑑

𝑐+𝑑=

50

50+50= 0.5

41

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yamin dkk.(2008). Upaya Ibu yang memiliki Balita dalam Pencegahan

dan Penanggulangan Diare di Daerah Kerja Puskesmas Cililin Desa

Cililin Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Kesehatan Balita. Vol 10

No. XVIII Maret 2008 – September 2008 Hal – 28

Bambang Priyono. . Buku Ajar Epidemiologi untuk Kesehatan gigi. Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta

Depkes RI. 2007. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare, Ditjen PP&PL.

Jakarta

Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten

Bandung Barat: Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat; 2010

Hannif dkk. (2011). Faktor Risiko Diare Akut pada Balita. Jurnal KedokteranVol.

27, No. 1, Maret 2011halaman 10 – 17

Haryati Ningsih dkk (2010) Perilaku Ibu terhadap Pencegahan dan

Pengobatan Anak Balita Penderita Diare di Wilayah Kerja

Puskesmas Belawa Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo. Jurnal

Kesehatan Masyarakat

Hurtado.Dìaz. et all. Effect of the Temperature and Precipitation on the Incidence

of Acute Respiratory Infections and Acute Diarrheic Disease in

Veracruz, Mexico. Article outline National Institute of Public Health,

Cuernavaca, Mexico. 2008.

Isa M.,Soedjajadi K dkk. (2005). Faktor Sanitasi Lingkungan yang Berperan

42

terhadap Prevalensi Penyakit Scabies Studi pada Santri di Pondok Pesantren

Kabupaten Lamongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, VOL.2,

NO.1,JULI 2005 : 11 – 18

Istiani. Farida (mahasiswa PSKM FK UNLAM). Hubungan Variasi Iklim dengan

Kejadian Penyakit ISPA dan Diare di Kabupaten Banjar Periode tahun

2005-2009. Banjar. [diunduh tanggal 26 November 0122 jam 16:40]

Tersedia dari: http://www.pskmfk1.blogspot.com.

Impacts on Human Health: A Case Study for Diarrhea. Journal Environmental

Health Perspectives. 2011; Volume 119 no 3 (Impacts of Climate

Change on Child Health).

Kementerian Kesehatan. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela dan Informasi

Kesehatan Volume 2. Jakarta: 2011. hlm 1.

MN Amani dkk.(2009).Skrining Malaria di wilayah Kerja Puskesmas Banyuasin

Kec. Loano Kab. Purworejo Provinsi Jawa Tengah.jurnal Kesehatan

MasyarakatVol. 3, No. 3, September 2009 : 162-232

Mujiyono. (2011).Pengaruh Faktor Petugas Diare Puskesmas terhadap Kualitas

Penatalaksanaan Diare pada Balita di Kabupaten Magetan. Jurnal

Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume II Nomor 2, April 2011

Nasili dkk.(2010 ). Perilaku Pencegahan Diare Anak Balita di Wilayah Bantaran

Kali Kelurahan Bataraguru Kecamatan Wolio Kota Bau-Bau.(??)

Ni Ketut Elsi dkk.(2014). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejaian

Diare pada Baliata yang Berobat ke Badan Rumah Sakit Umum

Tabanan.Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 4 no 2, November

2014 : 134-139

43

Priyanto. (2008). kualitas fisik air bersih, kepemilikan jamban (pembuangan

kotoran) serta penyediaan air minum.

Rajab, Wahyudin.2009. Buku ajar Epidemiologi u/ Mahasiswa Kebidanan.

EGC:Jakarta

Rahmawati. Faktor-faktor Perilaku Penyebab Diare (Skripsi). Universitas

Sebelas Maret. Surakarta. 2009.

Sitorus, Ronald. 2008. Pedoman Perawatan Kesehatan Anak. Bandung : Yama

Widya.

Singh et all. The Influence of Climate Variation and Change on Diarrheal Disease

in the Pacific Islands. Journal Environmental Health Perspectives.

2001; Volume 109 No 2 (Increased Diarrhea Diseases in Pacific Island

as the Impact of Climate Variation).

Segeren. C, Djufri M, Sunarto M, Sunarto S. Faktor Resiko Kejadian

Hipernatremia pada Anak dengan Diare Cair Akut. Jurnal kesehatan

Vol. 37. No. 4 Desember 2005: 198-203.

TS Hidayat dkk.(2011).Hubungan Sanitasi Lingkungan, Morbiditas dan status

gizi balita di Indonesia.Jurnal Sanitasi lingkungan, morbiditas dan

statusgiziPGM 34(2):104-113

Topan Nirwana(2012). Pengaruh Curah Hujan, Temparatur dan Kelembaban

Terhadap Penyakit DIARE. Jurnal Program Studi Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran,Bandung.

Universitas Sumatera Utara. Hubungan antara jarak distribusi air bersih dengan

jumlah Escheria coli di Rumah Pelanggan PDAM Tirtanadi Sunggal

di Kecamatan Medan Sunggal (PDF). Medan; 2010 [diunduh tanggal

4 Juli 2012 Jam 16:18] Tersedia dari: http://repository.usu.ac.id/.

44

Yulisa. Faktor yang mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita (Studi pada

Masyarakat Etnis Dayak Kelurahan Kasongan Baru Kecamatan

Kentingan Kabupaten Kentingan Kalimantan Tengah) Tahun 2008

http:/www.fkm.undip.mht. Diakses 23 Januari 2016

Warman Y. Hubungan Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Ibu

dengan Kejadian Diare Akut Pada Balita di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilah Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2008. Skripsi

Fakultas Kesehan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Http://Library.usu.ac.id./ Diakses 23 Januai 2016

WHO. 2005. Pocket book of hospital care for children. Guidelines for the

management of common illnesses with limited resources.

Wiku Adisasmito. (2007). Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di

Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan

Masyarakat. Jurnal Kesehatan Masyarakat.VOL.11, NO. 1, JUNI

2007: 1-10

Wijayanti. Puteri. Hubungan Kepadatan Lalat dengan Kejadian Diare. FKMUI.

Depok; 2009.

World Health Organization. (2009). World Health Organization. Identifying

Priorities for Child Health Research to Achieve Millennium

Development Goal 4: Consultation Proceedings., (March), 26–27.

www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/9789241598651/

en/index.html

45

GAMBAR HASIL OBSERVASI LAPANGAN

Gambar 1

Kondisi sungai di belakang rumah warga

Tempat : desa Guntung Paikat

Waktu : 15 November 2015

Gambar 2

Kondisi pinggiran sungai saat musim kemarau

Tempat : desa Guntung Paikat

Waktu : 15 November 2015

46

Gambar 3

Kondisi air sungai yang keruh dan berbau

Tempat : desa Guntung Paikat

Waktu : 15 November 2015

Gambar 4

Kondisi pinggir sungai

Tempat : desa Guntung Paikat

Waktu : 15 November 2015

47

Gambar 5

Saat melakuakan survey lokasi desa guntung paikat

Tempat : desa Guntung Paikat

Waktu : 15 November 2015

48

INDEKS

A

Agent7

C

Coliform24

Coliform24,27

cysta protozoa27

Crypto sporidium27

D

Diagnostik 1,2

Detectable 4

E

Epidemiologi 1

Episode 8

F

fecal coliform24, 26

feces 26

fatigue 27

G

Gastro 25

I

lead time 4

insiden 10

intestinal 25

M

Mgeometric mean 25

O

oro-fecal 26

P

pre-clinicalphase4

Predictive 5

Prevalensi 11

R

Responden 11

Rotavirus 26

S

Skrining 1,2

Survey 8

Scabies 11

Sarcoptes 11

Spesifisitas 16

Sensitivitas 16

Salmonella 26

V

Value 5

Validitas 16