skenario 1 tht

42
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT “Aduh Telingaku Bau!” Disusun oleh: Kelompok Tutorial A3 Emirita Wulan P G0011083 Melinda Didi Y G0011137 Pertiwi Rahmadhany G0011157 Rizka Abida F G0011181 Sarah Nadya Rosana G0011191 Winny Novietta K.N G0011211 Andreas Agung Kurniawan G0011021 Chandra Budi H G0011057 I Nyoman Surya Ari W G0011111 Yusiska Wahyu I G0011215 Rr Vita Aprilina P G0011185 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Upload: suryaariw

Post on 12-Jul-2016

64 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

tht

TRANSCRIPT

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 1 BLOK THT

“Aduh Telingaku Bau!”

Disusun oleh:

Kelompok Tutorial A3

Emirita Wulan P G0011083

Melinda Didi Y G0011137

Pertiwi Rahmadhany G0011157

Rizka Abida F G0011181

Sarah Nadya Rosana G0011191

Winny Novietta K.N G0011211

Andreas Agung Kurniawan G0011021

Chandra Budi H G0011057

I Nyoman Surya Ari W G0011111

Yusiska Wahyu I G0011215

Rr Vita Aprilina P G0011185

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2013

BAB I

PENDAHULUAN

Seseorang dengan riwayat alergi harus lebih berhati-hati dengan keadaan sekitar. Hal

ini disebabkan mudahnya seseorang tersebut untuk terpapar alergen yang ada di lingkungan

bebas. Selain itu, orang yang memiliki alergi tertentu dapat menderita suatu penyakit yang

masih bisa berhubungan dengan alerginya karena daya tahan tubuh yang menurun, seperti

pada skenario berikut:

Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek dokter umum

dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan kuning, kental dan berbau busuk.

Pasien juga mengeluh telinga berdengingsehingga pendengaran terganggu, disertai kepala

pusing. Pasien sejak remaja sering pilek, disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan

kiri terutama jika terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga kanan keluar cairan encer,

jernih dan ada sedikit darah. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika batuk dan pilek.

Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: discharge mukopurulen dan

granuloma. Rinoskopi anterior terdapat : discharge seromukous, konka hipertrofi, livide.

Pemeriksaan pharing didapatkan : mukosa hiperemi. Selanjutnya, dokter merencanakan

pemeriksaan penunjang.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Telinga

1. Anatomi Telinga

Telinga (auris) terdiri dari auris externa, auris media/ cavitas tympani, dan auris

interna/ labyrinthus. Auris interna berisi organ cochlearis (pendengaran) dan

vestibularis (keseimbangan).

Auris Externa

Auris Externa terdiri dari auricula dan meatus acusticus externus.

a. Auricula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi untuk

mengumpulkan getaran udara. Auricula terdiri dari lempeng cartilago

elastica tipis yang ditutupi oleh cutis. Auricula mempunyai otot intrinsik

dan ekstrinsik yang diinnervasi oleh nervus facialis.

b. Meatus Acusticus Externus adalah saluran berkelok yang menghubungkan

auricula dengan membrana tympanica. Meatus acusticus externus

berfungsi untuk menghantarkan gelombang suara dari auricula ke

membrana tympanica.

Skeleton 1/3 bagian lateral meatus acusticus externus adalah

cartilago elastica (pars cartilaginea); dan 2/3 bagian medial adalah tulang

(pars ossea), yang dibentuk oleh tegmen tympani. Meatus acusticus

externus juga dilapisi oleh cutis, dan 1/3 bagian lateralnya mempunyai

lanugo, glandula sebacea, dan glandula ceruminosa. Glandula ceruminosa

merupakan modifikasi dari glandula sudorifera yang menghasilkan secret

lilin berwarna coklat kekuningan. Lanugo dan lilin ini merupakan

pelindung yang lengket , untuk mencegah masuknya benda asing. Saraf

sensorik yang menginnervasi cutis yang melapisi meatus acusticus

externus berasal dari nervus auriculotemporalis (cabang nervus

mandibularis) dan ramus auricularis nervi vagi.

Aliran limfe menuju ke nodi parotidei superficiales, mastoidei, dan

cervicales superficiales.

Auris Media

Auris media atau cavitas tympani adalah ruang berisi udara di dalam pars

petrosa ossis temporalis. Cavitas tympani berbentuk celah sempit yang dilapisi

oleh membrana mucosa. Ruangan ini berisi ossicula auditiva yang berfungsi

meneruskan getaran dari membrana tympanica ke perilympha auris interna. Di

anterior, cavitas tympanica berhubungan dengan nasopharynx melalui tuba

auditiva; dan di posterior dengan antrum mastoideum.

Auris media mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior,

dinding lateral, dan dinding medial.

a. Atap dibentuk oleh tegmen tympani yang tipis, yang merupakan bagian

dari pars petrosa ossis temporalis. Tegmen tympani memisahkan cavitas

tympani dari meningen dan lobus temporalis cerebri di dalam fossa cranii

media.

b. Lantai dibentuk oleh lempeng tipis tulang , yang mungkin sebagian

diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini memisahkan cavitas tympani

dari bulbus superius vena jugularis interna.

c. Dinding anterior di bentuk di bagian inferior oleh lempeng tipis tulang

yang memisahkan cavitas tympani dari arteria carotis interna. Di bagian

superior terdapat muara dari dua buah saluran. Saluran yang lebih besar

dan terletak lebih inferior menuju ke tuba auditiva; dan yang lebih kecil

dan terletak lebih superior menuju ke saluran untuk musculus tensor

tympani. Septum tulang tipis, yang memisahkan kedua saluran ini

diperpanjang ke belakang pada dinding medial.

d. Di bagian superior dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang

tidak beraturan, yaitu aditus ad antrum. Di bagian inferior terdapat

penonjolan yang berbentuk kerucut, sempit, dan kecil, yang disebut

pyramis. Dari bagian apex pyramis ini, keluar tendo musculus stapedius.

e. Dinding lateral sebagian besar dibentuk oleh membrana tympanica.

f. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral auris interna. Bagian

terbesar dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, yang disebut

promontorium, yang disebabkan oleh lengkung pertama cochlea yang ada

di bawahnya. Di atas dan belakang promontorium terdapat fenestra

vestibuli/ fenestra ovalis yang berbentuk oval dan ditutupi oleh basis

stapedis. Pada sisi medial fenestra vestibuli, terdapat perilympha scalae

vestibuli auris interna. Di bagian bawah ujung posterior promontorium

terdapat fenestra cochleae/ fenestra rotunda, yang berbentuk bulat dan

ditutupi oleh membrana tympanica secundaria. Pada bagian medial

fenestra cochleae, terdapat perilympha pada ujung buntu scala tympani.

Auris Interna

Auris interna dibatasi sekelilingnya oleh tulang tengkorak. Di dalamnya

terdapat sistem keseimbangan (vestibular) yang terdiri dari 3 saluran setengah

lingkaran (canalis semicircularis) bersama bagian bernama sacculus dan utriculus.

Selain itu, terdapat pula organ pendengaran yang terdiri dari cochlea. Cochlea ini

menyerupai rumah siput dengan permukaan dalam yang berbentuk spiral.

2. Histologi Telinga

Telinga Luar

a. Daun Telinga

Daun telinga disusun oleh kartilago elastis yang ditutupi oleh kulit

yang tipis, yang menempel pada kartilago tesebut. Pada lapisan subkutis,

terdapat beberapa lembar otot lurik, yang pada manusia hanya berupa sisa

perkembangan, sedangkan pada hewan yang dapat menggerakkan telinganya,

otot ini berkembang dengan baik.

b. Meatus Akustikus Eksternus

Disusun oleh tulang rawaqn elastis, lanjutan dari daun telinga yang

ditutupi kulit dengan folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat

yang berdiferensiasi menjadi kelenjar seruminata yang akan menghasilkan

serumen.

Telinga Tengah

a. Membran Tympani

Di permukaan luarnya dilapisi oleh lapisan tipis epidermis, derivate

dari ectoderm. Sedangkan lapisan yang lebih dalam dilapisi oleh epitel gepeng

atau kuboid rendah, yang merupakan derivate endoderm. Diantara dua lapisan

inoi, terdapat serat kolagen, elastis, dan fibroblast.

b. Tuba Auditiva

Dilapisi oleh epitel selapis gepeng atau kuboid rendah pada bagian

yang lebih dekat dengan ruang telinga. Sedangkan pada bagian anteriornya,

dilapisi oleh epitel selapis silindris bersilia dengan sel goblet (Wonodirekso,

1990).

Telinga Dalam

a. Koklea

Merupakan organ berbentuk spiral yang mengelilingi modiolus. Di

dalam modiolus terdapat ganglion spiralis yang terdiri atas neuron bipolar

aferen. Akson panjang dari neuron bipolar ini akan menyatu menjadi nervus

cochlearis. Sedangkan dendrit yang lebih pendek akan menginervasi sel-sel

rambut dalam organ corti.

b. Ductus koklearis

Dinding luarnya dibentuk oleh area vaskuler yang disebut striae

vascularis. Epitel yang melapisinya adalah epitel berlapis yang mengandung

jalinan kapiler intraepithelial. Pada lamina proprianya, terdapat ligamentum

spiralis yang terdiri atas serat kolagen, fibroblast berpigmen, serta pembuluh

darah (Eroschenko, 2003).

3. Fisiologi Telinga

Telinga memiliki dua fungsi yakni sebagai alat pendengaran (organon

auditivus) dan keseimbangan (organon equilibrium) dimana sebagai pendengaran

untuk sensoris ada kokhlea yang mengandung reseptor untuk mengubah

gelombang suara menjadi impuls saraf sehingga kita bisa mendengar dan

apparatus vestibularis yang berfungsi untuk keseimbangan.

Proses mendengar dimulai dari adanya gelombang suara dari bagian luar

tubuh yang ditangkap oleh daun telinga kita yang kemudian melalui meatus

acusticus externus dihantarkan dari bagian luar ke tengah telinga dimana

gelombang suara tadi akan menggetarkan membran timpani. Getaran membran

timpani akan lanjut sebagai getaran tulang tulang pendengaran di telinga tengah

oleh maleus, incus, dan stapes. Getaran tulang pendengaran atau ossikula auditiva

tadi berakhir di ujung os stapes yaitu di basis stapedis yang akan menggetarkan

jendela oval (fenestra ovale) pada koklea dengan efek gerakan seperti piston.

Gerakan itu memicu gelombang tekanan di kompartemen atas atau skala vestibuli

koklea yang berisi perilimfe. Melalui skala vestibuli, getaran cairan perilimfe akan

lanjut mengelilingi helikotrema dan melalui skala timpani, menyebabkan jendela

bundar atau fenestra rotundum bergetar sebagai fungsinya untuk mereduksi energi

suara. Namun getaran tadi melalui jalan pintas dari skala vestibule ke skala

timpani akan melalui membran basalis yang ada di skala media yang berisi

endolimfe.

Rambatan getaran akan menyebabkan defleksi membran basilaris yang

diatasnya terdapat organ corti dan sel rambutnya. Menekuknya rambut di reseptor

sel rambut dalam organ corti sewaktu getaran membran basilaris menggeser

rambut rambut ini secara relative terhadap membran tektorium di atasnya yang

kontak dengan sel rambut. Akibatnya, terjadi perubahan potensial berjenjang di

sel reseptor yang menyebabkan perubahan dalam frekuensi potensial aksi yang

dikirim ke otak. Melalui mekanisme tersebut gelombang suara dapat diterima oleh

otak sebagai sensasi suara (Sherwood, 2007)

B. Otore

Sekret yang keluar dari liang telinga disebut Otore. Sekret yang sedikit

biasanya berasal dari infeksi telinga luar dan sekret yang banyak dan bersifat mukoid

umumnya berasal dari telinga tengah. Bila berbau busuk menandakan adanya

kolesteatom. Bila bercampur darah dicurigai adanya infeksi akut yang berat atau

tumor. Bila cairan yang keluar seperti air jernih, haruus curiga adanya cairan

serebrospinal. (Soepardi, 2010)

C. Telinga Berdenging (Tinnitus)

1. Definisi

Tinnitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan

mendengar bunyi tanpa rangsangan bunyi dari luar. Keluhannya bisa berupa bunyi

mendenging, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi lainnya. Gejalanya bisa

timbul terus menrus atau hilang timbul.

2. Etiologi

Tinnitus dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu tinnitus obyektif dan tinnitus

subyektif. Tinnitus obyektif adalah jika suara yang didengar oleh penderita dapat

didengar pula oleh pemeriksa, sedangkan pada tinnitus subyektif suara hanya

terdengar oleh penderita saja (Lockwood et.al., 2002).

Tinnitus subyektif bisa disebabkan oleh karena berasal dari gangguan telinga

(otologic), karena efek dari medikasi ataupun obat-obatan (Ototoxic), gangguan

neurologist, gangguan metabolisme, ataupun dikarenakan oleh depresi psikogenik.

Sedangkan tinnitus obyektif dapat disebabkan oleh karena adanya gangguan

vaskularisasi, gangguan neurologist ataupun gangguan pada tuba auditiva atau

Eustachian tube (Crummer & Hassan, 2004).

3. Patofisiologi

a. Tinnitus Subjektif

Penyakit atau gangguan pada telinga merupakan sebab yang paling

banyak sebagai etiologi tinnitus subyektif, yang kemudian disebut sebagai

otologic disorder atau gangguan otologik. Sebagian besar tinnitus sebyektif

disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran (hearing loss), baik

sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering

menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss)

karena adanya sumber suara eksternal yang terlalu kuat impedansinya

(Crummer & Hassan, 2004).

Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif

dikarenakan oleh impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas

85 dB akan membuat stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih

kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam, hal ini akan direspon oleh pusat

pendengaran dengan suara berdenging, jika sumber suara tersebut berhenti

maka stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa

menit atau beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang

didengar berulang-ulang (continous exposure) maka akan mengakibatkan

kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang kemudian akan mengakibatkan

ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh adanya

hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls

terus-menerus kepa ganglion saraf pendengaran (Folmer et. al., 2004).

Meniere’s syndrome  dengan adanya keadaan hidrops pada labirintus

membranaseous dikaranakan cairan endolimphe yang berlebih, tinnitus yang

terjadi pada penyakit ini ditandai dengan adanya episode tinnitus berdenging

dan tinnitus suara bergemuruh (Crummer & Hassan, 2004). Selain tinnitus,

yang merupakan trias penyakit meniere yaitu vertigo dan tuli sensorial

terutama nada rendah. Vertigo pada penyakit ini bersifat periodik dan merada

pada serangan-serangan berikutnya. Kemudian diikuti gangguan pendengaran

(tuli) juga tinitus, tapi hanya terasa ketika ada serangan saja (Hadjar, 2007).

Neoplasma berupa acoustic neuroma juga dapat menyebabkan

terjadinya tinnitus subyektif. Neoplasma ini berasal dari sel schwann yang

tumbuh dan menyelimuti percabangan NC VIII (Nervus Oktavus) yaitu n.

vestibularis sehingga terjadi kerusakan sel-sel saraf bahkan demyelinasi pada

saraf tersebut Crummer & Hassan, 2004).

Tinnitus yang diakibatkan oleh obat-obatan digolongkan dalam tinnitus

ototoksik. Ototoksisitas yang terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan

tertentu sebagaimana telah dibahas sebelumnya akan mempengaruhi sel-sel

rambut pada organon corti, NC VIII, ataupun saraf-saraf penghubung antara

cochlea dengan system nervosa central (Crummer & Hassan, 2004).

Gangguan neurologis ataupun trauma leher dan kepala juga dapat

menyebabkan adanya tinnitus subyektif, namun demikian patofisiologi

ataupun mekanisme terjadinya tinnitus karena hal ini belum jelas (Crummer &

Hassan, 2004).

Penelitian-penelitian yang dilakukan didapatkan karakteristik penderita

tinnitus obyektif yang memiliki gangguan metabolisme antara lain menderita

hypothyroidism, hyperthyroidism, anemia, avitaminosa B12, atau defisiensi

Zinc (Zn). Disamping itu penderita tinnitus rata-rata menunjukkan perubahan

sikap dan gangguan psikologis walaupun sebetulnya depresi merupakan salah

satu etiologi dari tinnitus subyektif (psikogenik). Gangguan tidur, deperesi,

dan gangguan konsentrasi lebih banyak ditemukan pada penderita tinnitus

subyektif dibandingkan dengan yang tidak mengalami gangguan psikologis

(Crummer & Hassan, 2004).

b. Tinnitus Obyektif

Tinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas

vascular yang mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa,

glomus jugularis, aliran darah yang terlalu cepat pada arteri carotis (high-

riding carotid) stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf pendengaran

oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis seperti adanya

palatal myoclonus, gangguan temporo mandibular joint, kekauan muscullus

stapedius pada telinga tengah (Folmer et. al., 2004).

Kelainan pada tuba auditiva (patulous Eustachian tube) akan

menyebabkan terdengarnya suara bergemuruh terutama pada saat bernafas

karena kelainan muara tuba pada nasofaring. Biasanya penderita tinnitus

dengan keadaan ini akan menderita penurunan berat badan, dan mendengar

suaranya sendiri saat berbicara atau autophony. Tinnitus dapat hilang jika

dilakukan valsava maneuver atau saat penderita tidur terlentang dengan kepala

dalam keadaan bebas atau tergantung melebihi tempat tidurnya (Crummer &

Hassan, 2004).

4. Pengobatan

Pada umumnya pengobatan gejala tinnitus dibagi dalam 4 cara, yaitu:

a. Elektrofisiologik, yaitu memberi stimulus elektroakustik (rangsangan bunyi)

dengan intensitas suara yang lebih keras dari tinnitusnya, dapat dengan alat

bantu dengar atau tinnitus masker.

b. Psikologik, yaitu dengan memberikan konsultasi psikologik untuk

meyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidakmembahayakan dan bisa

disembuhkan, serta mengajarkan relaksasi dengan bunyi yang harus

didengarnya setiap saat.

c. Terapi medikametosa, sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas

diantaranya untuk meningkatkan aliran darah koklea, transquilizer,

antidepresan sedatif, neurotonik, vitamin dan mineral.

d. Tindakan bedah, dilakukan pada tumor akustik neuroma. (Sosialisman,

2007)

D. Rinitis Alergi

Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen

spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on

Asthma) adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal

dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.

Usia 15-30 tahun sangat rentan akan paparan alergen sehingga menyebabkan rinitis

alergi.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau

debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.

b. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,

sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.

c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan

sengatan lebah.

d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

1.      Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang di awali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti tahap provokas/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase

yaitu Immediated Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan

Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL).

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap alergen yang

menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk

fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk

komplek peptida MHC komplek peptida MHC kelas II yang kemudian di

presentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin

seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th 0 yang berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE.

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,

maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia terutama histamin.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulakn rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan

kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler

meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat

vasodilatasi sinusoid.

2.     Klasifikasi Rinitis Alergi

Berdasarkan sifat berlangsungnya:

a. Rinitis alergi musiman

b. Rinitis Alergi sepanjang tahun

Berdasarkan rekomendasi dari WHO

a. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 minggu

b. Persisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4

minggu

Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit:

a. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

b. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

(Irawati, 2007)

3.      Gejala Klinis

Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar

ingus(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang

kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi). Awitan gejala

timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata ataupalatum yang

gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. Pada mata dapat menunjukkan

gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi.

Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.

4.      Pemeriksaan Fisik 

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau

lividdisertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior

tampak hipertofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di

daerah bawah matayang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.

Gejala ini disebut allergicshiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok

hidung, karena gatal dengan punggungtangan. Keadaan ini disebut allergic salute.

Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi

bagian sepertiga bawah yang disebut allergiccrease. Mulut sering terbuka dengan

lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan

pertumbuhan gigi-geligi ( facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler

dan edema(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah

tampak seperti gambaran peta ( geographictongue).

5.      Pemeriksaan Penunjang

a. Invitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian

pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.

b. Invivo : Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,

ujiintrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/

SET). SETdilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam

berbagai konsentrasiyang bertingkat kepekatannya. Untuk allergen makanan, uji kulit

Intracutaneus ProvocativeDilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas

dapat dilakukan dengan dieteliminasi dan provokasi (Challenge Test).

6. Penatalaksanaan

a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab

dan eliminasi.

b. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam

kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-

1(klasik) dan generasi-2 (non-sedatif).

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung

akibat responfase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.

c. Operatif 

Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured,

inferiorturbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan

tidak berhasildikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau

triklor asetat.

7.      Komplikasi

 Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

1.Polip hidung.

2.Otitis media.

3.Sinusitis paranasal.

E. Otitis Media Serosa / Otitis Media Efusi (OME)

Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret nonpurulen di telinga

tengah dengan  membran timpani utuh tampa adanya tanda – tanda infeksi. Apabila efusi

tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem

disebut otitis media mukoid (glue ear). Otitis media serosa terbagi menjadi otitis media

serosa akut (barotraumas = aerotitis) dan otitis media spesifik, seperti otitis media

tuberkulosa atau otitis media sifilitika. Otitis media yang lain ialah otitis media adhesive. 

(Soepardi, 2010).

Otitis media serosa disebut juga otitis media musinosa, otitis media efusi,

otitis media sekretoria, otitis media mukoid (glue ear) adalah keadaan terdapatnya sekret

nonpurulen di telinga tengah tanpa adanya tanda dan gejala infeksi aktif, sedangkan

membran timpani utuh. Secara teori, cairan ini sebagai akibat tekanan negative dalam

telinga tengah yang disebabkan oleh obstruksi tuba eustachii. Pada penyakit ini, tidak ada

agen penyebab definitive yang telah diidentifikasi, meskipun otitis media dengan efusi

lebih banyak terdapat pada anak yang telah sembuh dari otitis media akut dan biasanya

dikenal dengan “glue ear”. Bila terjadi pada orang dewasa, penyebab lain yang

mendasari terjadinya disfungsi tuba eustachii harus dicari. Efusi telinga tengah sering

terjadi  pada pasien setelah mengalami barotrauma contoh pada seorang  penyelam  dan

pada pasien dengan disfungsi tuba eustachii akibat infeksi atau alergi saluran napas atas.

(Thrasher,2005)

Kondisi yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya OME adalah

setiap keadaan yang mempengaruhi muara atau ujung proksimal tuba eustachius (TE) di

nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens dari TE. TE dianggap sebagai katup

(valve) penghubung telinga tengah dan nasofaring. Struktur ini menjamin ventilasi

telinga tengah, sehingga menjaga tekanan tetap ekual di kedua sisi gendang telinga.

Edema faring dan peradangan akibat ISPA biasanya berefek terhadap ujung proksimal

TE di nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens TE. Keadaan lain seperti: alergi

hidung, barotrauma, penekanan terhadap muara/torus tuba oleh massa seperti adenoid

yang membesar ataupun tumor di nasofaring, abnormalitas anatomi TE ataupun

deformitas celah palatum, benda asing seperti nasogastrik atau nasotrakeal tube, dapat

pula menjadi faktor predisposisi. (Thrasher,2005)

Otitis media serosa terjadi terutama akibat adanya transudat atau plasma yang

mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat

adanya perbedaan tekanan hidrostatik. Sedangkan Pada Otitis media mukoid, cairan yang

ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di

dalam mukosa telinga tengah, tuba eustachius, dan rongga mastoid.

Otitis media serosa / otitis media sekretoria / otitis media mukoid / otitis media

efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam kavum timpani dengan

membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi tersebut berbentuk pus,

disertai tanda-tanda radang maka disebut otitis media akut (OMA).

Otitis media serosa dibagi 2 jenis : otitis media serosa akut dan otitis media

serosa kronik (glue ear). Dimana pembagian ini berdasarkan pada durasi timbulnya

penyakit atau durasi timbulnya sekret dan bentuk sekret.

1.      Otitis Media Serosa Akut

Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara

tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Penyebabnya antara lain

sumbatan tuba (barotrauma), virus, alergi dan idiopatik.

Gejala yang menonjol biasanya pendengaran yang berkurang, selain itu ada

rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda

pada telinga yang sakit. Kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak di dalam

telinga dengan perubahan posisi. Rasa nyeri relative. Vertigo kadang dalam bentuk

ringan. Dengan otoskop terlihat retraksi membrane timpani. Kadang tampak

gelembung udara atau permukaan cairan dalam kavum timpani. Tuli konduktif dapat

dibuktikan dengan garpu tala.(Effendi,2005)

Pengobatan dapat dengan medikamentosa dan pembedahan. Dapat diberikan

tetes hidung (vasokontriktor lokal), anti histamine, serta perasat valsava. Bila gejala

masih menetap setelah 1–2 minggu, dilakukan miringotomi, dan apabila belum

mebaik dengan miringotomi dapat ditambahkan pemasangan pipa ventilasi

(Grommet). (Effendi,2005)

2.      Otitis Media Serosa Kronik (Glue Ear)

Pada keadaan kronis secret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan

gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama.Otitis media kronik lebih sering

terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis media serosa akut lebih sering pada orang

dewasa. Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari OMA

yang tidak sembuh sempurna. Penyebab lain diduga adanya hubungan dengan infeksi

virus, keadaan alergi atau gangguan mekanis pada tuba.(Soepardi,2005)

Batasan antara kondisi otitis media serosa akut dengan otitis media serosa

kronik hanya pada cara terbentuknya sekret.

a. Pada otitis media serosa akut, sekret terbentuk secara tiba-tiba di telinga tengah

dengan disertai rasa nyeri pada telinga.

b. Pada otitis media serosa kronis, sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa

nyeridengan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama.

c. Otitis media serosa kronik lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis media

serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa.

d. Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental seperti lem, maka disebut glue ear.

e.  Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis media akut

(OMA) yang tidak sembuh sempurna.  (Effendi,2005).

F. Otitis Media Akut

Telinga tengah biasanya steril, meskipum terdapat mikroba di nasofaring dan

faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam

telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi.

Otitis media akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.

Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena

fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah

juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.

Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas atas.

Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin besar

terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba Eustachiusnya

pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.

1. Patologi

Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti

Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus. Selain itu, kadang

– kadang ditemukan juga Hemofilus influenza, Escherichia colli, Streptococcus

anhemoliticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aurugenosa.

Hemofilus influenza sering ditemukan pada anak yang berusia dibawah 5

tahun.

Stadium OMA

Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5

stadium. Keadaan ini berdasarkan pada gambaran membrane timpani yang diamati

melalui liang telinga luar.

a. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Tanda adanya oklusi tuba Eustachius ialah gambaran retraksi

membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga

tengah, akibat absorbsi udara. Kadang – kadang membran timpani tampak

normal (tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin

telah terjadi, tetapi tidak dapat di deteksi. Stadium ini sukar dibedakan

dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.

b. Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi)

Pada stadium hiperemesis, tampak pembuluh darah yang melebar di

membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemesis serta

edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang

serosa sehingga sukar terlihat.

c. Stadium Supurasi

Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel

epitel superficial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum

timpani, menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang

telinga luar.

Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat,

serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat.

Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi

iskemia, akibat tekanan pada kapiler – kapiler, serta timbul tromboflebitis

pada vena – vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini

pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan

berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.

Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada

stadium ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan rupture dan

nanah keluar ke liang telinga luar.

Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali,

sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi)

tidak mudah menutup kembali.

d. Stadium Perforasi

Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika

atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membrane

timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga

luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan

turun dan anak dapat tertidur nyenyak.

e. Stadium Resolusi

Bila membrane timpani tetap utuh, maka keadaan membrane

timpani perlahan – lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi

perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya

tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi

walaupun tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi

menetap dengan secret yang keluar terus menerus atau hilang timbul.

OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa

bila secret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.

2. Gejala Klinik OMA

Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.

Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam

telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat

batuk pilek sebelumnya.

Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri

terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang

dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat

sampai 39,5oC (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba – tiba

anak menjerit waktu tidur, diare, kejang – kejang dan kadang – kadang anak

memegang telinga yang sakit. Bila terjadi rupture membran timpani, maka secret

mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tertidur tenang (Soepardi,

2010).

Prognosis pada Otitis Media Akut baik apabila diberikan terapi yang

adekuat (antibiotik yang tepat dan dosis yang cukup ).

G. Otitis Media Supuratif Kronik

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah

dengan perforasi membrane timpani dan secret yang keluar dari telinga tengah terus

menerus atau hilang timbul. Secret mungkin encer atau kental, bening atau berupa

nanah.

Otitis media akut dengan perforasi membrane timpani menjadi otitis media

supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor yang

menyebabkan OMA menjadi OMSK adalah terapi yang tidak adekuat , virulensi

kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah, dan hygiene yang buruk (Soepardi,

2010).

Otitis media dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi bila tidak

ditangani secara benar. Sebelum ada antibiotika, OMA dapat menyebabkan terjadinya

abses sub-periosteal hingga komplikasi yang berat seperti meningitis atau abses otak.

Namun di masa sekarang dimana sudah ditemukan berbagai macam antibiotik, semua

komplikasi di atas biasanya ditemukan sebagai komplikasi dari OMSK.

Komplikasi pada otitis media supuratif baik yang akut maupun yang kronis

dapat mengancam kesehatan dan menyebabkan kematian. Biasanya komplikasi

ditemukan pada pasien dengan OMSK tipe bahaya, tapi OMSK tipe aman pun dapat

menyebabkan komplikasi bila kuman yang menginfeksi adalah kuman yang virulen.

Pedoman Penatalaksanaan OMSK

(Soepardi, 2010)

BAB III

PEMBAHASAN

Dalam skenario, pasien laki-laki berusia 25 tahun sejak remaja sering pilek, disertai

hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu. Hal ini

mengindikasikan pasien memiliki riwayat rinitis alergi; kelainan pada hidung dengan gejala

bersin, rinore, gatal, dan tersumbat setelah mukosa terpapar alergen spesifik yang

diperantarai IgE. Dalam kasus ini, alergen spesifik yang diamaksud adalah debu. Namun,

pekerjaan pasien sebagai buruh bangunan membuat rinitis alergi menjadi kronis karena

pasien yang tidak dapat menghindari kontak terhadap debu sebagai alergen.

Pasien juga sering kali mengalami Otitis Media Akut (OMA) dimulai oleh infeksi

saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, hal ini seperti pada kasus dalam skenario dimana

telinga pasien mengeluarkan cairan encer, jernih dan ada sedikit darah yang kambuh

terutama ketika pasien batuk ataupun pilek. Adanya pilek yang terus menerus dapat

mengakibatkan terjadinya ISPA sehingga dapat terjadi kongesti dan edema pada mukosa

saluran napas atas, termasuk nasofaring dan Tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi

sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan

demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari

nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.

Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses

ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan

mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini

merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba

Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi

akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret.

Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi

yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat

meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imun pasien

terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,

membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap

getaran.

Komplikasi dari otitis media akut dan kronik dapat melibatkan perubahan perubahan

langsung pada struktur telinga dan mastoid, atau infeksi sekunder pada struktur di sekitarnya.

Selain berbagai komplikasi seperti tersebut di atas, gangguan pendengaran juga merupakan

komplikasi yang sering terjadi pada otitis media. Tuli konduktif dapat disebabkan oleh otitis

media kronis. Derajat tuli konduktif tidak selalu berkorelasi dengan beratnya penyakit karena

jaringan patologi pun masih mampu menyalurkan suara ke fenestra ovalis. Sedangkan tuli

persepsi atau sensorineural dapat disebabkan baik oleh otitis media akut maupun kronis.

Setiap ada infeksi di telinga tengah, terutama bila terjadi pada tekanan negatif, maka ada

kemungkinan produk-produk infeksi akan menyebar ke telinga dalam melalui fenestra

rotundum mengakibatkan terjadinya tuli persepsif menyebabkan telinga berdenging atau

tinnitus sehingga pendengaran menjadi semakin terganggu. (Soepardi, 2010).

Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani

akibat tekanannya yang meninggi. Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal

dan ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi

terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain

itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal

dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal

seperti tumor, dan hipertrofi adenoid.

Kemudian apabila terjadi perforasi membran yang menetap, dan pengobatan OMA

yang tidak adekuat disertai dipicu beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kegagalan

terapi sehingga menyebababkan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua

bulan, maka keadaan ini akan berlanjut menjadi Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). Pada

skenario, stadium resolusi pada OMA yang sudah dialami sejak 1 tahun yang lalu tidak

terjadi atau terjadi perforasi membrane timpani yang menetap. Karena hal tersebut OMA

dapat berlanjut menjadi OMSK yang ditandai dengan keluarnya cairan kuning, kental, dan

berbau busuk.

Sedangkan pusing pada pasien di skenario kemungkinan disebabkan oleh gangguan

pada sistem vestibuler atau keseimbangannya, karena telinga selain berfungsi sebagai alat

pendengaran juga terdapat canalis semicircularis yang berfungsi sebagai alat keseimbangan.

Selain itu pusing kemungkinan karena pasien menderita otitis media supuratif kronik karena

manifestasi kliniknya selain otorem tinnitus, telinga penuh, juga dapat terjadi vertigo

(Soepardi, 2010). Namun perlu ditelaah lagi melalui anamnesis apakah pusing yang

dikeluhkan pasien akibat dari sakit telinga yang dialaminya atau karena hal lain dan juga tipe

pusing yang dialami apakah berdenyut, terjadi di salah satu sisi kepala dan sebagainya.

Penatalaksanaan OMA pada prinsipnya memberikan terapi medikamentosa. Pemberian terapi

medikamentosa ini tergantung pada stadium penyakitnya.

1. Stadium oklusi

Pada stadium ini pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba

Eustachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes

hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (anak <12 tahun) atau HCl efedrin 1%

dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa.

Disamping itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab infeksi

adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.

2. Stadium Presupurasi

Pada stadium ini antibiotika, obat tetes hidunng dan analgetika perlu diberikan.

Bilamembran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.

Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan penisilin atau ampisilin. Pemberian

antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka

diberikan eritromisin. Pada anak ampisilin diberikan dengan dosis 50 – 100 mg/kgBB/hari,

dibagi dalam 4 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari.

3. Stadium Supurasi

Diamping diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila

membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala – gejala klinis lebih cepat hilang

dan ruptur dapat dihindari. Pada stadium ini bila terjadi perforasi sering terlihat adanya sekret

berupa purulen dan kadang terlihat keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan

yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 selam 3 – 5 hari serta antibiotika yang adekuat.

Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7 – 10 hari.

4. Stadium Resolusi

Pada stadium ini jika terjadi resolusi maka membran timpani berangsur normal

kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Tetapi bila tidak

terjadi resolusi akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi membran

timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah.

Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila 3 minggu setelah

pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkina telah terjadi mastoiditis.

Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3

minggu,maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan

sekret masih tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan maka keadaan ini

disebut otitis media supuratif kronik (OMSK).

(Soepardi, 2010)

Sedangkan terapi OMSK memerlukan waktu lama serta harus berulang-ulang. Bila

secret keluar terus menerus maka diberikan obat pencuci telinga (H2O2 3%) selama 3-5 hari.

Setelah secret berkurang maka terapi dengan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika

dan kortikosteroid namun hanya dalam batas waktu maksimal 1-2 minggu. Bila secret kering

tetapi perforasi masih ada setelah observasi selama 2 bulan maka dilakukan miringoplasti

untuk menghentikan infeksi permanen, memperbaiki membrane timpani yang perforasi,

mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta

memperbaiki pendengaran. Jika terjadi OMSK yang telah mengenai tulang (tipe maligna)

maka dilakukan mastoidektomi. Bila terjadi abses subperiosteal retroaurikuler maka insisi

abses dilakukan sebelum mastoidektomi. (Arsyad, 2007)

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

1. Pasien mengalami gangguan pada sistem pendengarannya.

2. Penyakit yang dialami pasien saat ini berawal dari riwayat alergi (rinitis alergi) yang

menjadi kronis akibat dari pajanan alergen berulang.

3. Diagnosis banding pada kasus skenario adalah rinitis alergi, otitis media akut (OMA),

otitis media supuratif kronis (OMSK), otitis media serosa (OMS), dan penyakit

Meniere

Saran

1. Pasien harus segera memperoleh diagnosis penyakit yang tepat agar dapat segera

diberikan medikamentosa maupun tindakan yang tepat dan adekuat.

2. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan harus sesuai agar lebih efisien dan tepat guna

untuk keperluan diagnosis.

3. Pemberian obat-obatan dan tindakan kepada pasien harus diberikan berdasarkan

riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, dan tentunya sesuai dengan

diagnosis.

4. Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya rhinitis alergi yang dialami

oleh pasien. Karena dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dapat

mengurangi faktor resiko dari terjadinya rhinitis alergi serta pada Otitis Media Akut.

Salah satunya dengan cara melakukan tes alergi (Skin Prick Test) dan mendapatkan

pengobatan secara adekuat, Sehingga keadaan OMA tidak berlanjut sebagai OMSK.

Akan tetapi pada keadaan pasien ini telah berlanjut pada keadaan OMSK, sehingga

perlu dilakukan pengobatan yang adekuat serta tindakan miringoplasti dan

timpanoplasti.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Efiaty. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.

Jakarta: FKUI.

Crummer, Richard W., M.D., and Hassan Ghinwa A., M.D. 2004. Diagnostic Approach to Tinnitus

http://www.aafp.org/afp/20040101/120.html. (28 Februari 2010).

Djaafar, Z.A., Helmi, dan Restuti, R. 2007. Kelainan Telinga Tengah, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Eds. Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Resturi, R.D. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 64-77

Efendi, Harjanto; Santoso Kuswidayati. Editor: Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, Ed.6. Jakarta: EGC. 2005.p 97-98.

Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Ed.9.

Jakarta: EGC.

Hadjar, Entjep. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi Keenam : Penyakit Meniere. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Irawati, Nina, dkk. 2007. Rinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL edisi keenam.

Jakarta:Balai Penerbit FK UI.

Roland, Peter S et.al. 2013. Chronic Supurative Otitis Media

http://emedicine.medscape.com/article/859501-overview

Sherwood, Lauralee. 2007. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Balai penerbit

Buku Kedokteran EGC

Soepardi, Efiaty Arsyad. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

& Leher edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sosialisman, JB. 2007. TINNITUS: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL edisi keenam.

Jakarta:Balai Penerbit FK UI.

Thrasher, Richard D. 2009. Middle Ear, Otitis Media With Effusion (28 Agustus 2013) http:// emedicine.medscape.com/article/858990-overview

Wijaya, Putu. 2012. Kuliah KBK: Rinitis Alergi. FK UNS: Surakarta.

Wonodirekso S, tambajong J. 1990. Organ-organ Indera Khusus dalam Buku Ajar Histologi

Leeson and Leeson Ed.V. Jakarta: EGC