laporan ske 2 tht(1)
DESCRIPTION
thtTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
BLOK TELINGA HIDUNG TENGGOROK
SKENARIO 2
“ADA APA DENGAN HIDUNGKU?”
KELOMPOK A-1
MULTAZAM HANIF (G0012141)HANUGROHO (G0012089)RISNU ARDIAN W (G0012189)AZMI FARAH FAIRUZYA (G0012039)IVO ARYENA (G0012099)PUTRI NUR KUMALASARI (G0012167)ASTRID ASTARI AULIA (G0012033)CHRISANTY AZZAHRA Y (G0012047)IGA KUSTIN M (G0012093)MARTINA DWI ARIANDINI (G0012127)WIDORETNO PRABANDARI (G0012229)ARTRINDA A K S P (G0012029)
TUTOR : Reni Wijayanti, dr. Msc
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Ada apa dengan hidungku?
Seorang laki-laki 35 tahun, datang dengan keluhan sering pilek dengan
ingus berbau busuk. Pasien juga mengeluh gangguan menghidu disertai nyeri
kepala separuh. Sejak lama, istrinya juga sering mendengar suaminya mengeluh
sakit gigi, tetapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, hanya berkumur air garam
dan rendaman daun sirih, dan jika bengkak menggunakan koyo yang ditempelkan
pada pipinya. Karena keluhan dirasakan makin berat maka ia mengantarkan
suaminya ke Poli THT.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat mukosa kavum nasi kanan
hiperemis, konkha hipertrofi, massa bening dengan permukaan licin, sekret kental,
kuning kecoklatan. Pada pemeriksaan orofaring didapat post nasal drip, dan gigi
gangren pada M1, M2 kanan atas.
Kemudian dokter merencanakan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang.
2
BAB II
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
A. Jump 1 : Klarifikasi istilah dan konsep
Berikut adalah istilah penting yang dibahas
1. Granuloma
Kumpulan makrofag yang termodifikaai bentuknya tersusun secara
epiteloid,yang dikelilingi oleh cincin limfosit
2. Rhinoskopi
Terdapat dua jenis pemeriksaan, yaitu rhinoskopi anterior (menggunakan
spekulum hidung yang dimasukkan ke dalam cavum nasi untuk
mengamati meatus, concha, dan sinus) dan rhinoskopi posterior
(pemeriksaan melalui nasofaring menggunakan cermin untuk melihat
dinding nasopharynx dan bagian posterior lidah)
3. Hiperemis
Peningkatan darah pada suatu bagian bisa disebabkan karena congesti,
biasa disebut juga engorgement.
4. Konkha hipertrofi
Pembesaran konkha
5. Post nasal dril
Menetesnya sekret dari bagian belakang hidung ke dalam faring akibat
hipersekresi lendir pada mukosa hidung atau nasofaringeal atau juga bisa
disebabkan karena sinusitis kronik.
6. Gangren
Luka yang memakan yang berakhir dengan kematian jaringan / nekrosis,
biasanya dalam jumlah besar dan umumnya disebabkan oleh kehilangan
suplai vaskular / nutrisi dan diikuti invasi bakteri serta pembusukkan.
7. M1, M2 (molar 1, 2)
geraham belakang yang berfungsi menghancurkan dan menggilingkan
makanan
3
B. Jump 2 : Menetapkan dan mendefinisikan masalah
1. Apakah hubungan pasien dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?
2. Mengapa pasien mengeluh sering pilek dengan ingus berbau busuk?
3. Mengapa pasien mengeluh gangguan menghidu disertai nyeri kepala
separuh dan apakah terdapat hubungan dengan keluhan utama?
4. Apakah hubungan sakit gigi dengan keluhan pasien?
5. Mengapa pasien memilih berkumur dengan air garam dan rendaman daun
sirih dan menggunakan koyo? Apa saja efek yang terdapat pada air garam,
rendaman daun sirih, dan koyo?
6. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan rhinoskopi anterior dan
oropharynx?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus ini?
8. Apa saja diagnosis pasti dan diagnosis banding dari kasus ini?
9. Bagaimana tatalaksana dari kasus ini?
10. Apa saja komplikasi yang bisa terjadi pada kasus ini?
C. Jump 3 : Analisis masalah
1. Bagaimanakah anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem penghidu ?
2. Mengapa pasien dapat mengalami keluhan sering pilek yang disertai ingus
berbau busuk?
3. Mengapa pasien juga mengalami gangguan menghidu disertai nyeri kepala
separuh ? apakah terdapat hubungan dengan keluhan utama ?
4. Apakah terdapat hubungan antara sakit gigi yang telah lama diderita pasien
dengan keluhannya yang sekarang ?
5. Apa pengaruh pemberian air garam, rendaman sirih, dan koyo terhadap
sakit gigi yang diderita pasien ?
4
6. Apakah terdapat hubungan antara sakit gigi pasien dengan gangren gigi
yang dialaminya ? bagaimana prosesnya ?
7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan
1) Rhinoskopi anterior :
a) Mengapa mukosa kavum nasi kanan hiperemis ?
b) Mengapa konkha hipertrofi ?
c) Mengapa terdapat massa bening ? apakah massa tersebut ?
d) Mengapa dapat keluar sekret kental, kuning, kecoklatan ?
menandakan apakah sekret tersebut ?
2) Orofaring :
a) Mengapa terdapat post nasal drip ?
b) Mengapa dapat terjadi gigi gangrene pada M1, M2 kanan atas ?
8. Apakah pemeriksaan penunjang yang tepat dilakukan dalam kasus ini ?
9. Apakah diagnosis dan diagnosis banding dari kasus ini ?
10. Apakah komplikasi yang dapat terjadi dari kasus ini ?
11. Bagaiman tatalaksana yang tepat dalam kasus ini baik prefentif maupun
kuratif ?
D. Jump 4 : Menginventarisasi secara sistematik berbagai penjelasan yang
didapatkan pada langkah 3
a. Bagaimanakah anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem penghidu ?
5
1) Anatomi
NASUS ET SINUS PARANASALES
1. NASUS
Fungsi hidung dan cavum nasi berhubungan dengan:
Fungsi penghidung
Pernapasan
Penyaringan debu
Pelembaban udara pernapasan
Penampungan secret dari sinus paranasales dan ductus
nasolacrimalis
2. Cavum Nasi
Cavum nasi dapat dimasuki melalui nares, berhubungan dengan
nasopharynx melalui chonae. Cavum nasi dilapisi membran
mukosa kecuali vestibulum nasi, yang dilapisi kulit. Bagian 2/3
inferior membran mukosa cavum nasi termasuk area respiratoria,
dan bagian 1/3 superior adalah area olfactoria. Udara yang
melewati area respiratoria dihangatkan dan dilembabkan sebelum
masuk saluran napaslebih lanjut hingga ke paru-paru.
Gambar 1. Cavum nasi
Batas-batas
Atap cavum nasi berbentuk lengkung, dibentuk oleh os nasale
dan spina nasalis os frontalis (frontonasal) pada bagian depan,
6
lamina cribrosa os ethmoidale di bagian tengah, dan dibatasi
oleh corpus os sphenoidale di bagian belakang.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh processus palatines os
maxillae dan lamina horizontalis ossis palatine.
Dinding medial cavum nasi dibentuk oleh septum nasi.
Dinding lateral cavum nasi dibagi menjadi tiga:
- Vestibulum, di bagian anterior dimana akan dijumpai
vibrissae, bagian atas dan dorsal dibatasi limen nasi.
- Atrium dan meatus nasi di bagian tengah
- Concha dan meatus nasi di bagian posterior
3. Chonca
Chonca adalah penonjolan tulang yang memperluas cavum nasi,
chonca nasalis terdiri dari tiga buah yaitu chonca nasalis superior,
media, dan inferior.
4. Meatus nasi
a. Meatus nasi superior
Terletak di antara chonca nasalis superior dan chonca nasalis
media. Dimuarai oleh celullae ethmoidalis posteriores dan
sinus sphenoidalis.
b. Meatus nasi media
Terletak di antara concha nasalis media dan inferior. Dimuarai
oleh sinus frontalis, sinus maxillaries, dan celullae ethmoidalis
anteriores.
c. Meatus nasi inferior
Terletak di bawah concha nasalis inferior. Dimuarai oleh
ductus nasolacrimalis.
Neurovascularisasi
Vascularisasi
7
Bawah: cabang a. maxillaries interna antara lain a. palatine major
dan a. sphenopalatina.
Depan: cabang a. fascialiss.
Depan septum nasi: anastomosis r. septalis dari r. labialis superior
a. fascialis dengan a. sphenoalatina membentuk plexus kiesselbach
-> tempat serin terjadi epistaksis.
Vena-vena pada hidung bermuara pada v. ophtalmica.
Innervasi
2/3 inferior: n. nasopalatinus cabang n. maxillaries.
Anterior: n. ethmoidalis anterior cabang n. nasocilliaris cabang n.
ophtalmicus.
Lateral: rami naasales n. maxillaries, n. palatines major dan n.
ethmoidalis anterior (Septianto, 2010).
5. SINUS PARANASALIS
Gambar 2. Sinus Paranasales
Sinus paranasalis adalah perluasan bagian respiratorik cavum nasi
yang berisi udara kedalam ossa crania berikut: os frontale, os
ethmoidale, da os maxilla, nama sinus sesuai dengan nama tulang
yang ditempati.
a. Sinus frontalis
Terletak antara tabula externa dan tabula interna ossis
frontalis. Sinus ini berhubungan dengan infundibulum
8
melalui ductus nasofrontalis yang bermuara pada meatus nasi
media.
b. Sinus ethmoidales
Terdiri dari beberapa rongga kecil cellulae ethmoidales.
Cellulae ethmoidales anteriores berhubungan dengan meatus
nasi media. Cellulae ethmoidales posteriors bermuara ke
meatus nasi superior.
c. Sinus sphenoidalis
Terdapat pada corpus ossis sphenoidalis dapat meluas ke
dalam ala major dan ala minor ossis sphenoidalis. Sinus ini
membuka ke dalam recessus sphenoethmoidalis yang terletak
di atas concha nasalis superior.
d. Sinus maxillaries (anthrum of highmore)
Merupakan sinus terbesar, berbentuk pyramid. Puncak sinus
menjulang kea rah os zygomaticum. Dasarnya membentuk
dinding lateral cavum nasi. Atapnya dibentuk oleh dasar
orbita dan dasarnya dibentuk oleh bagian alveolar maxilla.
Masing-masing sinus berhubungan dengan meatus nasi media
melalui hiatus semilunaris pada sebuah ostium yang lebih
tinggi daripada alasnya. Karena letak ostium di atas, sinus
maxillaries tidak dapat menyalurkan secret di dalamnya
melalui lubang ini sewaktu kepala dalam posisi tegak, kecuali
dalam keadaan penuh (Septianto, 2010).
6. Kompleks Ostio-meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus
medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal
dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan
dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
9
resesus frontalis, bula etmoid dan ostium sinus maksila (Soepardi
et al, 2012).
2) Fisiologi
Secara fisiologis hidung berfungsi untuk alat respirasi, pengaturan
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan imunologi
local. Adapun system pertahanan dari hidung dan sinus paranasal
adalah:
Sistem pertahanan spesifik
Aliran turbulensi udara terhadap benda asing yang terhirup melalui
hidung
Sistem pertahanan non spesifik
Sistem mukosiliar yang terdiri atas sel silia epitel respiratorius,
palut lendir (mucous blanket), dan kelenjar penghasil mucus. Palut
lender sendiri dihasilkan oleh sel goblet pada epitel dan kelenjar
seromusinosa submukosa. Nantinya benda asing atau yang
dianggap membahayakan tubuh akan diarahkan menuju nasofaring.
(D soetjipto,2007)
Mukosa olfaktorius / penghidu yang terletak di langit-langit rongga
hidung mengandung 3 jenis sel yakni reseptor olfaktorius, sel
penunjang, dan sel basal. Sel-sel penunjang mengeluarkan mukus
yang melapisi saluran hidung, sedangkan sel basal merupakan
prekursor untuk sel-sel reseptor olfaktorius yang baru yang diganti
setiap sekitar 2 bulan hal ini berbeda dari reseptor indera lainnya
karena reseptor olfaktorius merupakan ujung-ujung neuron aferen
khusus bukan sel yang berdiri sendiri, sehingga keseluruhan neuron
tersebut termasuk akson aferen yang menuju ke otak akan
beregenerasi dan satu-satunya yang membelah diri. Akson-akson sel
reseptor tadi secara kolektif akan membentuk saraf olfaktorius. Bagian
10
reseptor dari sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah kepala yang
menggembung dan berisi beberapa silia panjang yang meluas ke
permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat pengikatan untuk
melekatnya berbagai molekul-molekul odoriferosa (pembentuk bau).
Selama bernapas biasa molekul odoran biasanya hanya mencapai
reseptor-reseptor peka hanya dengan berdifusi karena mukosa
olfaktorius terletak di atas jalur aliran udara normal, sedangkan saat
kita mengendus maka akan mempertajam proses ini dengan menarik
arus udara ke atas di dalam rongga hidung akibatnya semakin banyak
molekul odoriferosa yang berkontak dengan mukosa olfaktorius.
Syarat suatu zat dapat dibaui adalah harus :
1. Cukup mudah menjadi gas atau mudah menguap, sehingga
sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung bersama udara yang
dihirup.
2. Cukup mudah untuk larut air, sehingga dapat larut ke dalam lapisan
mukosa yang melapisi mukosa olfaktorius, sebab molekul-molekul
harus dilarutkan terlebih dahulu agar dapat dideteksi oleh reseptor
penghidu.
Setelahnya pengikatan suatu molekul odoriferosa ke tempat
perlekatan khusus di silia menyebabkan pembukaan saluran-saluran
Na dan K. Terjadilah perpindahan ion-ion yang menimbulkan
depolarisasi potensial reseptor yang menyebabkan terbentuknya
potensial aksi di serat eferen. Selanjutnya serat-serat aferen tadi
berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang datar yang
memisahkan mukosa olfaktorius dengan jaringan otak di atasnya.
Serat-serat tersebut segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu
struktur saraf kompleks yang mengandung beberapa lapisan sel yang
berbeda-beda. Kemudian serat-serat yang keluar dari bulbus
olfaktorius berjalan melalui dua rute :
11
1. Rute subkortikal yang terutama menuju ke daerah-daerah di system
limbik, khususnya sisi medial bawah lobus temporalis. Rute inilah
yang merupakan rute primer jalur penghidu.
2. Rute talamus-kortikal.( Sherwood,2001)
3) Histologi
Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas 2 struktur yakni
vestibulum nasi di luar dan fossa nasallis di dalam. Kullit hidung
memasuki nares yang berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki
kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan vibrisea atau bulu hidung yang
menyaring partikel-partikel besar dari udara inspirasi. Di dalam
vestibulum, epitelnya adalah epitel kolumner kompleks bersilia yang
diknal dengan epitel respiratorik yang sedikitnya memiliki 5 jenis sel
yang kesemuanya menyentuh membrana basalis yang tebal antara lain
: sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, brush cell, serta sel granul.
Rongga hidung berupa dua bilik kavernosa yang dipisahkan oleh
septum nasi oseosa. Di lateralnya terdapat tiga tonjolan bertulang
mirip rak yang disebut conchae terdiri atas conchae nasalis media dan
inferior yang dilapisi epitel respiratorik serta conchae nasalis superior
yang ditutupi oleh epitel penghidu khusus. Celah-celah sempit di
antara conchae memudah kan pengkondisian udara inspirasi dengan
menambah luas area epitel respiratorik yang hangat dan lembab dan
dengan melambatkan serta menambah turbulensi aliran udara.
Hasilnya adalah bertambahnya kontak antara aliran udara dan lapisan
mukosa.
Kemoreseptor olfaktorius terletak di epitel olfaktorius yangmana
merupakan regio khusus membran mukosa conchae superior yang
terletak di atap rongga hidung. Epitel ini merupakan epitel kolumner
kompleks yang terdiri atas 3 jenis sel yaitu sel basal, sel penyokong
atau sel sustentakuler, serta neuron olfaktorius. Lamina propria di
12
epitel olfaktorius memiliki kelenjar serosa besar yaitu kelenjar
Bowman yang menghasilkan suatu aliran cairan di sekitar silia
penghidu dan memudahkan akses zat pembau.
Sinus Paranasalis merupakan rongga bilateral di tulang frontal,
maksila, ethmoid, dan sfenoid tengkorak. Sinus-sinus ini dilapisi oleh
epitel respiratorik yang lebih tipis dan sedikit sel goblet. Lamina
proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan
periosteum di bawahnya. Sinus paranasalis berhubungan langsung
dengan rongga hidung melalui lubang-lubang kecil dan mukus yang
dihasilkan dalam sinus akan terdorong ke dalam hidung akibat
aktivitas sel-sel bersilia.
Nasofaring merupakan bagian pertama darii faring yang dilapisi
oleh epitel respiratorik dan memiliki tonsila pharyngealis.
(Mescher ,2011)
b. Mengapa pasien dapat mengalami keluhan sering pilek yang disertai ingus
berbau busuk?
Ingus berbasu busuk dikarenakan adanya infeksi oleh bakteri anaerob
yang memfermentasi lemak dan memiliki bau yang khas yaitu bau busuk,
hal ini dikarenakan mukus yang berlebihan pada cavum nasi yang
merupakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri anaerob.
c. Apakah terdapat hubungan antara sakit gigi yang telah lama diderita pasien
dengan keluhannya yang sekarang ?
Penyakit pada gigi berkontribusi sekitar 10 persen pada kasus sinusitis
maksillaris. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya
13
molar pertama, dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan
sinus maksilaris juga ikut terangkat. Nathaniel Highmore 1651
menyatakan bahwa terdapat tulang yang membungkus antrum maksilaris
dan memisahkannya dari soket gigi tebalnya tidak melebihi kertas
pembungkus, karena itu antrum maksillaris sering disebut juga antrum
Highmore.
Infeksi gigi lainnya seperti abses apikal atau penyakit periodontal juga
dapat menimbulkan kondisi yang serupa. Gambaran bakteriologik
umumnya didominasi leh infeksi gram negatif sehingga seringkali infeksi
tersebut menyebabkan pus yang berbau busuk dan akibatnya timbul bau
busuk dari hidung. Predisposisi lainnra lainya antara lain alergi hidung
kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi, serta deformitas rahang-
wajah terutama palatoskisis dapat menimbulkan masalah pada anak.
Gejala infeksi sinuistis maksillaris akut dapat berupa demam, malaise,
nyeri kepala yang tak jelas, wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa
nyeri pada gerakan kepala mendadak. Seringkali juga terdapat nyeri pada
pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta terdapat juga nyeri pada perkusi
dan palpasi. Sekret mukopurulen dapat juga keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga ada.
(Adams,1997)
d. Apa pengaruh pemberian air garam dan rendaman sirih terhadap sakit gigi
yang diderita pasien ?
1) Air garam
Berkumur dengan air garam, daerah yang bengkak jadi hipertonik
sehingga bakteri yang ngumpul di plakakan keluar.Selain itu,
beberapa studi menunjukkan fungsi khusus dari air garam di bidang
kesehatan diantaranya adalah untuk melenturkan dan mengurangi rasa
nyeri pada otot yang sakit. Berkumur dengan air garam juga dapat
menurunkan suatu peradangan, menyembuhkan infeksi dan bersifat
14
astrigen yang dapat menguatkan gusi. Air garam yang digunakan
untuk mengurangi radang gusi adalah air garam yang berasal dari
garam dapur yang beriodium. Air garam ini haruslah memiliki
konsentrasi lebih dari 0,9 % berupa larutan hipertonis yang
mempunyai tekanan osmosis yang lebih besar dari cairan yang ada di
dalam sel. Perbedaan tekanan osmosis ini menyebabkan cairan dari sel
bakteri tertarik ke luar sel sehingga sitoplasma bakteri lama-kelamaan
akan menyusut akibatnya sel akan mati atau tidak mampu berkembang
biak.
2) Rendaman sirih
Daun sirih mengandung betIephenol, seskuiterpen, pati, diatase,
gula dan kavikol (memiliki kekuatan untuk membunuh kuman), anti-
oksidasi dan fungisida, anti jamur
E. Jump 5 : Merumuskan tujuan pembelajaran
Berikut pertanyaan yang menjadi tujuan pembelajaran
1. Menyapa pasien mengalami gangguan menghidung disertai nyeri kepala
separuh?
2. Apa pengaruh koyo terhadap sakit gigi pasien?
3. Apakah terdapat hubungan antara sakit gigi pasien dengan gangren gigi
yang dialaminya ? bagaimana prosesnya ?
4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan Rhinoskopi anterior dan
Orofaring?
5. Apakah pemeriksaan penunjang yang tepat dilakukan dalam kasus ini ?
6. Apakah diagnosis dan diagnosis banding dari kasus ini ?
7. Apakah komplikasi yang dapat terjadi dari kasus ini ?
8. Bagaiman tatalaksana yang tepat dalam kasus ini baik prefentif maupun
kuratif ?
F. Jump 6 : Belajar Mandiri
15
Kegiatan belajar mandiri dan diskusi tanpa tutor.
G. Jump 7 : Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah
terkumpul
1. Gangguan Menghidung dengan nyeri kepala separuh
Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di hidung bagian
sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada
lamina kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius di dasar fossa kranii
anterior. Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas
dengan kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir yang selalu ada di
permukaan mukosa daerah olfaktorius. Gangguan penghidu akan terjadi bila
ada yang menghalangi sampainya partikel bau ke reseptor saraf atau ada
kelainan pada n.olfaktorius, mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius.
Macam-macam kelainan penghidu :
- Hiposmia : daya penghidu berkurang
- Anosmia : daya penghidu hilang
- Parosmia : sensasi penghidu berubah
- Kakosmia : halusinasi bau
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain
(referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara
atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di
dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid
nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah
mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan
telinga.
2. Pengaruh Koyo
Koyo menganduk capsaisin yang berfungsi menurunkan substansi p di
terminal syaraf.substansi p sendiri bertanggung jawab terhadap transmisi
16
nayeri.sehingga efek dari koyo tersebut menurunkan nyeri.Selain itu koyo
mengandung metil salisilat yang bertanggung jawab terhadap anti radang
3. Sakit Gigi dan Gigi Ganggren
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman
akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk
gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium
menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga
terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai
tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk
dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi
silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan
akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan
kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah
sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis. Karies berasal dari bahasa latin
yaitu karies yang artinya kebusukan. Definisi sederhana karies adalah suatu
proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai
akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang
disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul
destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi kavitas.
Karies gigi adalah kerusakan jaringan keras gigi yang disebabkan oleh asam
yang ada dalam karbohidrat melalui perantara mikroorganisme yang ada
dalam saliva. Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu
email, dentin dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas jasad renik
dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan.
17
Hubungan karies gigi dengan terjadinya sinusitis maksilaris odontogen
Penyebab sinusitis maksilaris akut ialah rhinitis akut, infeksi faring seperti
faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta
Ml, M2, M3 (dentogen), berenang dan menyelam, trauma dapat
menyebabkan pendarahan mukosa sinus paranasal, barotrauma dapat
menyebabkan nekrosis mukosa. Antrum maksila mempunyai hubungan
yang sangat dekat dengan akar gigi premolar, molar atas dan sering terlihat
pada pemeriksaan radiologi oral dan fasial. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis, seperti infeksi yang berasal dari gigi dan
fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis
maksilaris diawali dengan kuman pada karies masuk ke sinus. Proses
inflamasi ini akan menyebabkan gangguan drainase sinus.
Infeksi sendiri merupakan masuknya kuman patogen atau toksin ke dalam
tubuh manusia serta menimbulkan gejala sakit. Infeksi odontogen adalah
infeksi yang awalnya bersumber dari kerusakan jaringan keras gigi atau
jaringan penyangga gigi yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora
normal rongga mulut yang berubah menjadi patogen. Penyebaran infeksi
odontogen ke dalam jaringan lunak dapat berupa abses. Secara harfiah,
abses merupakan suatu lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses
supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses
yang sering terjadi pada jaringan mulut adalah abses yang berasal dari regio
periapikal. Daerah supurasi terutama tersusun dari suatu area sentral berupa
polimorfonuklear leukosit yang hancur dikelilingi oleh leukosit hidup dan
kadang-kadang terdapat limfosit. Abses juga merupakan tahap akhir dari
suatu infeksi jaringan yang dimulai dari suatu proses yang disebut inflamasi.
Infeksi odontogenik dapat berasalInfeksi odontogenik dapat berasal dari tiga
jalur, yaitu (1) jalur periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi
bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur periodontal, sebagai hasil dari
inokulasi bakteri pada periodontal poket dan (3) jalur perikoronal, yang
terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi hal ini
18
terjadi hanya pada gigi yang tidak atau belum dapat tumbuh sempuna.
Sering terjadi melalui jalur periapikal. Infeksi odontogen biasanya dimulai
dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang
pulpa kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi
kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara
lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan
bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen
apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi.
Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau
jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut.Infeksi
odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan
limfogen, yang disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang
berasal dari gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat
terjadi melalui berbagai jalan: (1) lewat penghantaran yang patogen yang
berasal dari luar mulut; (2) melalui suatu keseimbangan flora yang
endogenus; (3) melalui masuknya bakteri ke dalam pulpa gigi yang vital dan
steril secara normal. Infeksi odontogen menyebar ke jaringan-jaringan lain
mengikuti pola patofisiologi yang beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan
virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi dari
daerah yang terlibat. Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah
melalui kontinuitas.
4. Interpretasi Pemeriksaan
1) Pemeriksaan Rinoskopi anterior
Menggunakan spekulum hidung normal warna pink,kalau ada cairan
kental biasana dari sinus maxillris.Posterior memakai spatula lidah
Rhinoskopi Anterior
a) Pasien duduk menghadap pemeriksa
b) Speculum hidung dipegang dengan tangan kiri, horizontal, jari
telunjuk ditempelkan pada dorsum nasi
c) Tangan kanan mengatur posisi kepala
19
d) Speculum dimasukkan ke dalam rongga hidung dalam posisi
tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi terbuka
e) Perhatikan,
a. Rongga hidung:
i. Luas (lapang bila pergerakan pallatum molle dapat terlihat
ketika pasien menelan)
ii. Secret (lokasi serta asal)
b. Concha (inferior, media, superior)
i. Warna (normalnya merah muda, pucat, hiperemis)
ii. Besar (eutrofi, atrofi, edem, hipertrofi)
c. Septum nasi
i. Lurus, deviasi, kista, spina
d. Sekret
i. Secret kental daerah antara konka media dan inferior :
kemungkinan sinusitis maksila, sinusitis frontal, sinusitis
etmoid anterior
ii. Secret di meatus superior : secret dari sinus etmoid posterior
atau sinus sphenoid
e. Masa dalam hidung
i. Polip
ii. Tumor
f. Asal perdarahan
i. Rongga hidung
ii. Krusta yang bau
20
2) Pemeriksaaan Penunjang
a. Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk
menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila
terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.
b. Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar
orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.
Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal
mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.
c. Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan
merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan
anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. Contoh
gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dapat dilihat pada gambar 4.
d. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)
3) Diagnosis Banding
21
1) Rinosinusitis
a) Patofisiologi
Biasanya didahului dari infeksi saluran nafas atas akut yang
disebabkan virus, biasanya infeksi bakteri merupakan lanjutan
infeksi virus. Infeksi virus tidak menunjukkan gejala sinusitis,
tetapi menyebabkan inflamasi pada mukosa sinus, dan akan
membaik tanpa terapi setelah 2 minggu.
Infeksi tersebut menyebabkan inflamasi mukosa termasuk
mukosa komplek osteo-meatal sehingga terjadi obstruksi ostium
sinus yang menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus.
Keadaan ini menyebabkan perubahan tekanan O2 didalamnya,
terjadi tekanan negatif, permeabilitas kapiler meningkat, sekresi
kelenjar meningkat dan terjadi transudasi yang menyebabkan
fungsi silia terganggu, retensi sekret yang terjadi merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan kuman.
Virus yang sering menjadi penyebabnya adalah virus
influenza, corona virus dan rinovirus. Seringkali infeksi virus ini
diikuti infeksi kuman terutama kuman terutama kuman kokus
(streptokokus pneumonia, stapilokokus aureus) dan Haemophilus
Influenza.
Kadang infeksi jamur dapat menyebabkan rinosinusitis
terutama pada orang-orang dengan imudefiensi. Faktor predisposisi
lokal yang harus dicermati adalah :
(1) Adanya septum deviasi (sekat hiduung yang bengkok)
(2) Konka bulosa
(3) Massa (tumor)
(4) Adanya gangguan fungsi silia
(5) Pemasangan tampon yang lama
2) Polip Hidung
22
Patogenesis
Terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan/aliran udara
yang berturbulensi (terutama di kompleks osteomeatal) prolaps
submukosa reepitelisasi dan pembentukan kel baru
meningkatnya penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel -> terjadi
retensi air polip
Ketidakseimbangan saraf vasomotor meningkatnya
permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular pelepasan
sitokin dan sel mast edema polip
Gejala
Primer :
Hidung tersumbat
Rinore
Hiposmia/anosmia
Nyeri daerah frontal
Sekunder
Sengu
Halitosis
Gangguan tidur
Stadium
1. Polip di meatus medius
2. Keluar meatus medius ke rongga hidung
3. Massif
Pemeriksaan : fotopolos, tomografi computer
3) Rinistis alergi
23
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi
dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.
Patofisiologi rhinitis alergi: merupakan suatu penyakit inflamasi
yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap
provokasi. Pada kontak pertama makrofag atau monosit berperan
sebagai sel penyaji (APC) allergen yang menempel di permukaan
mukosa. Setelah itu terbentuk fragmen pendek dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk MHC kelas II yang kemudai akan
dipresentasikan ke sel TH0. Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktfikan TH0 menjadi TH 1 dan
TH 2.
TH2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5
dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptor di permukaan sel
limfosit B. sehingga sel limfosit B akan menjadi aktif dan
menghasilkan IgE. IgE akan masuk sirkulasi darah dan diikat oleh
reseptor di mastosit atau basofil. Bila mukosa yang sudah tersensitasi
terpapat allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
allergen spesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan terlepasnya
mediator kimia terutama histamine. Histamine akan merangsang
reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi
dan permeabilitas kapiler mingingkat sehingga terjadi rinorea( Irawati
Nina, 2007)
4) Komplikasi
Faktor penyebab terjadinya komplikasi, antara lain karena :
24
(1) Terapi yang tidak adekuat
(2) Daya tahan tubuh yang rendah
(3) Virulensi kuman dan penanganan tindakan operatif (yang seharusnya)
terlambat dilakukan.
Komplikasi Rinosinusitis:
1. Komplikasi ke mata
Melalui dua jalur :
(a) Direk/langsung : melalui dehisensi kongenital ataupun adanya erosi
pada tulang barier terutama lamina paparisea
(b) Retrograde Tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah
yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan
orbita.
2. Komplikasi intrakranial
Penyebab tersering adalah sinusitis frontal, diikuti sinusitis ethmoid,
sfenoid dan maksila. Kompilkasi intrakranial dapat terjadi pada infeksi
sinus yang akut, eksaserbasi akut ataupun kronik. Komplikasi ini lebih
sering pada laki-laki dewasa diduga ada faktor predileksi yang
berhubungan dengan pertumbuhan tulang frontal dan meluasnya sistem
anyaman pembuluh darah yang terbentuk.
Tahap komplikasi intrakranial yang dikenal :
(a) Osteomielitis
Penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang
kranium menyebabkan osteitis yang akan mengakibatkan erosi
pada bagian anterior tulang frontal.
Gejala : tampak oedem yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan
penimbunan pus di superiosteum.
(b) Epidural abses
25
Terdapat timbunan pus diantara duramater dan ruang kranium yang
sering tampak pada tulang frontal dimana duramater melekat
longgar pada tulang dahi.
Gejala : sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri
kepala yang makin lama dirasakan makin berat dan sedikit demam.
(c) Subdural empiema
Terjadi karena retrograde tromboplebitis ataupun penyebaran
langsung dari abses epidural.
Gejala : nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda iskemik/infark kortek
seperti hemiparesis, hemiplegi, paralisis N.Facialis, kejang,
peningkatan tekanan intrakranial, demam tinggi, lekositosis dan
akhirnya kesadaran menurun.
(d) Abses otak
Lokasi di daerah frontal paling sering disebabkan sinusitis frontal
dengan penyebaran retrograde, septik emboli dari anyaman
pembuluh darah. Bila abses timbul perlahan.
Gejala : neurologi tak jelas tampak, bila oedem terjadi di sekitar
otak, tekanan intrakranial akan meningkat, gejala-gejala neurologi
jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila abses ruptur.
(e) Meningitis
Sinusitis frontal jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali
karena infeksi sekunder dari sinus ethmoid dan sfenoid.
Gejala : adanya demam, sakit kepala, kejang, diikuti kesadaran
menurun sampai koma.
5) Tata Laksana
1. Penatalaksanaan Medis / terapi
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis
akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa
serta membuka ostium sinus.
26
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi
beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis
sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-
14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman
negatif gram dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi
lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid
oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan
(diatermi).
Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya
dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat
sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila
atau Proetz displacement theraphy juga merupakan terapi tambahan
yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien
menderita kelainan alergi yang berat.
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan
operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.
Indikasi : sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel;
polip ekstensif, adanya komplikasi sinusistis serta sinusitis jamur.
2. Pencegahan
a. Hindari allergen yang menderita alergi
b. Pertahankan kesehatan umum sehingga daya tahan tubuh alamiah
tidak menurun
c. Makan diet yang tepat
d. Olahraga
e. Istirahat yang cukup
f. Hindari orang yang menderita infeksi saluran nafas atas
27
g. Cari pertolongan medis jika gejala pernafasan atas menetap lebih
dari 7-10 hari
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis kelompok kami, pasien pada skenario menderita
rhinosinusitis dentogen. Untuk mencegah kondisi yang lebih parah, sebaiknya
pasien menjaga kebersihan dan kesehatan gigi, karena sakit gigi tersebut
merupakan penyebab rhinosinusitis pada pasien. Terapi yang terpenting di
sini adalah terapi pada gigi penyebab rhinosinusitis dan terapi rhinosinusitis
itu sendiri
B. SARAN
Skenario
1. Pasien sebaiknya menjaga kebersihan dan kesehatan gigi karena infeksi
pada gigi merupakan faktor predisposisi terjadinya rhinosinusitis pada
pasien.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang lebih lengkap untuk
mengetahui sejauh mana komplikasi dari sakit gigi dan rhinosinusitis
yang diderita pasien.
3. Pasien sebaiknya menjaga kondisi tubuh dan rutin kontrol ke dokter
walaupun gajala sudah membaik supaya tidak menimbulkan komplikasi
di kemudian hari.
Tutorial
28
1. Semua anggota kelompok diharapkan lebih berpartisipasi aktif dalam
diskusi.
2. Moderator lebih dapat memancing anggota kelompok yang kurang aktif
agar diskusi lebih hidup.
3. Lebih menghargai pendapat setiap anggota kelompok.
4. Jangan terpaku pada satu permasalahan saja.
5. Menyiapkan materi sehingga pada saat pertemuan kedua tutorial berjalan
dengan baik dan lancar
29
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L; Boies, R. Lawrence; Higler, H. Pieter.1997. BOIES Buku Ajar
Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC
Brooks, Geo F.; Butel, Janet S.; Morse, Stephen A. 2008. Mikrobiologi
Kedokteran. Jakarta: EGC
Busquets et al, 2006. Non Polypoid Rhinosinusitis : Classification, Diagnosis and Treatment. In : Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th
Fokkens W et al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology 2012; suppl 23:1-298
Hutchinson, Susan MD. 2006. Sinus Headache or Migraine ? Keys to Correct
Diagnosis. Women’s Health to Primary Care
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a0104. Diakses pada :
September 2014
Hwang PH, Abdalkhani A, 2009. Embriology, Anatomy, and Phisiology of The Nose and Paranasal Sinuses. In :Ballenger’s Otorhiolaryngology Head And Neck Surgery. Centennial Edition. BC Becker Inc. USA. p: 456-63.
Kamel R, 2002. Endoscopic anatomy of the lateral nasal wall, ostiomeatal complex and anterior skull base. Struck Druck GmBH, Germany. p : 7-32
Kennedy DW, Bolger WE, 2003, The Paranasal Sinuses : Embriology, Anatomy, Endoscopic Diagnosis, and Treatment. In: Essential Otolaryngology. Eight Edition. Head and Neck Surgery, McGraw Hill Companies. USA. p: 388-409
30
Kennedy, et al, 1995. Medical management of sinusitis : educational goals and management guideline. Ann Otol Rhinol Laryngol Supll. 167:22-30
Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan Pemeriksaan Tomografi Komputer dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 13-25.
Mescher, L. Anthony. 2011. Histologi Dasar Junqueira. Jakarta : EGC
Nizar, 2000, Anatomi Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofisiologi Sinusitis dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 1-12.
Pinheiro et al, 2001. Rhinosinusitis : Current concept management. In : Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. Third Edition. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. pp: 345-57
Septianto, Teddy (ed) (2010). Buku Panduan Praktikum Anatomi. Surakarta:
Laboratorium Anatomi dan Embriologi Fakultas Kedokteran UNS.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia Edisi 2. Jakarta: EGC
Silberstein, D. Stephen. 2004. Headache Due to Nasal and Paranasal Sinus
Disease. Philadelphia : Elsevier Saunders
Soepardi EA, Iskandar N, Bashruddin J, Restuti RD (eds) (2012). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Stammberger et al, 1993. Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall and Ethmoidal Sinuses. In : Essentials of Functional Endoscopic Sinus Surgery. Mosby. USA. p. 13-42.
31