laporan ske 2 tht(1)

47
LAPORAN TUTORIAL BLOK TELINGA HIDUNG TENGGOROK SKENARIO 2 “ADA APA DENGAN HIDUNGKU?” KELOMPOK A-1 MULTAZAM HANIF (G0012141) HANUGROHO (G0012089) RISNU ARDIAN W (G0012189) AZMI FARAH FAIRUZYA (G0012039) IVO ARYENA (G0012099) PUTRI NUR KUMALASARI (G0012167) ASTRID ASTARI AULIA (G0012033) CHRISANTY AZZAHRA Y (G0012047) IGA KUSTIN M (G0012093) MARTINA DWI ARIANDINI (G0012127) WIDORETNO PRABANDARI (G0012229) ARTRINDA A K S P (G0012029) TUTOR : Reni Wijayanti, dr. Msc FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: artrinda-anggita

Post on 20-Dec-2015

45 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tht

TRANSCRIPT

Page 1: laporan ske 2 THT(1)

LAPORAN TUTORIAL

BLOK TELINGA HIDUNG TENGGOROK

SKENARIO 2

“ADA APA DENGAN HIDUNGKU?”

KELOMPOK A-1

MULTAZAM HANIF (G0012141)HANUGROHO (G0012089)RISNU ARDIAN W (G0012189)AZMI FARAH FAIRUZYA (G0012039)IVO ARYENA (G0012099)PUTRI NUR KUMALASARI (G0012167)ASTRID ASTARI AULIA (G0012033)CHRISANTY AZZAHRA Y (G0012047)IGA KUSTIN M (G0012093)MARTINA DWI ARIANDINI (G0012127)WIDORETNO PRABANDARI (G0012229)ARTRINDA A K S P (G0012029)

TUTOR : Reni Wijayanti, dr. Msc

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET

TAHUN 2014

Page 2: laporan ske 2 THT(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Ada apa dengan hidungku?

Seorang laki-laki 35 tahun, datang dengan keluhan sering pilek dengan

ingus berbau busuk. Pasien juga mengeluh gangguan menghidu disertai nyeri

kepala separuh. Sejak lama, istrinya juga sering mendengar suaminya mengeluh

sakit gigi, tetapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, hanya berkumur air garam

dan rendaman daun sirih, dan jika bengkak menggunakan koyo yang ditempelkan

pada pipinya. Karena keluhan dirasakan makin berat maka ia mengantarkan

suaminya ke Poli THT.

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat mukosa kavum nasi kanan

hiperemis, konkha hipertrofi, massa bening dengan permukaan licin, sekret kental,

kuning kecoklatan. Pada pemeriksaan orofaring didapat post nasal drip, dan gigi

gangren pada M1, M2 kanan atas.

Kemudian dokter merencanakan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang.

2

Page 3: laporan ske 2 THT(1)

BAB II

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

A. Jump 1 : Klarifikasi istilah dan konsep

Berikut adalah istilah penting yang dibahas

1. Granuloma

Kumpulan makrofag yang termodifikaai bentuknya tersusun secara

epiteloid,yang dikelilingi oleh cincin limfosit

2. Rhinoskopi

Terdapat dua jenis pemeriksaan, yaitu rhinoskopi anterior (menggunakan

spekulum hidung yang dimasukkan ke dalam cavum nasi untuk

mengamati meatus, concha, dan sinus) dan rhinoskopi posterior

(pemeriksaan melalui nasofaring menggunakan cermin untuk melihat

dinding nasopharynx dan bagian posterior lidah)

3. Hiperemis

Peningkatan darah pada suatu bagian bisa disebabkan karena congesti,

biasa disebut juga engorgement.

4. Konkha hipertrofi

Pembesaran konkha

5. Post nasal dril

Menetesnya sekret dari bagian belakang hidung ke dalam faring akibat

hipersekresi lendir pada mukosa hidung atau nasofaringeal atau juga bisa

disebabkan karena sinusitis kronik.

6. Gangren

Luka yang memakan yang berakhir dengan kematian jaringan / nekrosis,

biasanya dalam jumlah besar dan umumnya disebabkan oleh kehilangan

suplai vaskular / nutrisi dan diikuti invasi bakteri serta pembusukkan.

7. M1, M2 (molar 1, 2)

geraham belakang yang berfungsi menghancurkan dan menggilingkan

makanan

3

Page 4: laporan ske 2 THT(1)

B. Jump 2 : Menetapkan dan mendefinisikan masalah

1. Apakah hubungan pasien dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?

2. Mengapa pasien mengeluh sering pilek dengan ingus berbau busuk?

3. Mengapa pasien mengeluh gangguan menghidu disertai nyeri kepala

separuh dan apakah terdapat hubungan dengan keluhan utama?

4. Apakah hubungan sakit gigi dengan keluhan pasien?

5. Mengapa pasien memilih berkumur dengan air garam dan rendaman daun

sirih dan menggunakan koyo? Apa saja efek yang terdapat pada air garam,

rendaman daun sirih, dan koyo?

6. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan rhinoskopi anterior dan

oropharynx?

7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus ini?

8. Apa saja diagnosis pasti dan diagnosis banding dari kasus ini?

9. Bagaimana tatalaksana dari kasus ini?

10. Apa saja komplikasi yang bisa terjadi pada kasus ini?

C. Jump 3 : Analisis masalah

1. Bagaimanakah anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem penghidu ?

2. Mengapa pasien dapat mengalami keluhan sering pilek yang disertai ingus

berbau busuk?

3. Mengapa pasien juga mengalami gangguan menghidu disertai nyeri kepala

separuh ? apakah terdapat hubungan dengan keluhan utama ?

4. Apakah terdapat hubungan antara sakit gigi yang telah lama diderita pasien

dengan keluhannya yang sekarang ?

5. Apa pengaruh pemberian air garam, rendaman sirih, dan koyo terhadap

sakit gigi yang diderita pasien ?

4

Page 5: laporan ske 2 THT(1)

6. Apakah terdapat hubungan antara sakit gigi pasien dengan gangren gigi

yang dialaminya ? bagaimana prosesnya ?

7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan

1) Rhinoskopi anterior :

a) Mengapa mukosa kavum nasi kanan hiperemis ?

b) Mengapa konkha hipertrofi ?

c) Mengapa terdapat massa bening ? apakah massa tersebut ?

d) Mengapa dapat keluar sekret kental, kuning, kecoklatan ?

menandakan apakah sekret tersebut ?

2) Orofaring :

a) Mengapa terdapat post nasal drip ?

b) Mengapa dapat terjadi gigi gangrene pada M1, M2 kanan atas ?

8. Apakah pemeriksaan penunjang yang tepat dilakukan dalam kasus ini ?

9. Apakah diagnosis dan diagnosis banding dari kasus ini ?

10. Apakah komplikasi yang dapat terjadi dari kasus ini ?

11. Bagaiman tatalaksana yang tepat dalam kasus ini baik prefentif maupun

kuratif ?

D. Jump 4 : Menginventarisasi secara sistematik berbagai penjelasan yang

didapatkan pada langkah 3

a. Bagaimanakah anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem penghidu ?

5

Page 6: laporan ske 2 THT(1)

1) Anatomi

NASUS ET SINUS PARANASALES

1. NASUS

Fungsi hidung dan cavum nasi berhubungan dengan:

Fungsi penghidung

Pernapasan

Penyaringan debu

Pelembaban udara pernapasan

Penampungan secret dari sinus paranasales dan ductus

nasolacrimalis

2. Cavum Nasi

Cavum nasi dapat dimasuki melalui nares, berhubungan dengan

nasopharynx melalui chonae. Cavum nasi dilapisi membran

mukosa kecuali vestibulum nasi, yang dilapisi kulit. Bagian 2/3

inferior membran mukosa cavum nasi termasuk area respiratoria,

dan bagian 1/3 superior adalah area olfactoria. Udara yang

melewati area respiratoria dihangatkan dan dilembabkan sebelum

masuk saluran napaslebih lanjut hingga ke paru-paru.

Gambar 1. Cavum nasi

Batas-batas

Atap cavum nasi berbentuk lengkung, dibentuk oleh os nasale

dan spina nasalis os frontalis (frontonasal) pada bagian depan,

6

Page 7: laporan ske 2 THT(1)

lamina cribrosa os ethmoidale di bagian tengah, dan dibatasi

oleh corpus os sphenoidale di bagian belakang.

Dasar cavum nasi dibentuk oleh processus palatines os

maxillae dan lamina horizontalis ossis palatine.

Dinding medial cavum nasi dibentuk oleh septum nasi.

Dinding lateral cavum nasi dibagi menjadi tiga:

- Vestibulum, di bagian anterior dimana akan dijumpai

vibrissae, bagian atas dan dorsal dibatasi limen nasi.

- Atrium dan meatus nasi di bagian tengah

- Concha dan meatus nasi di bagian posterior

3. Chonca

Chonca adalah penonjolan tulang yang memperluas cavum nasi,

chonca nasalis terdiri dari tiga buah yaitu chonca nasalis superior,

media, dan inferior.

4. Meatus nasi

a. Meatus nasi superior

Terletak di antara chonca nasalis superior dan chonca nasalis

media. Dimuarai oleh celullae ethmoidalis posteriores dan

sinus sphenoidalis.

b. Meatus nasi media

Terletak di antara concha nasalis media dan inferior. Dimuarai

oleh sinus frontalis, sinus maxillaries, dan celullae ethmoidalis

anteriores.

c. Meatus nasi inferior

Terletak di bawah concha nasalis inferior. Dimuarai oleh

ductus nasolacrimalis.

Neurovascularisasi

Vascularisasi

7

Page 8: laporan ske 2 THT(1)

Bawah: cabang a. maxillaries interna antara lain a. palatine major

dan a. sphenopalatina.

Depan: cabang a. fascialiss.

Depan septum nasi: anastomosis r. septalis dari r. labialis superior

a. fascialis dengan a. sphenoalatina membentuk plexus kiesselbach

-> tempat serin terjadi epistaksis.

Vena-vena pada hidung bermuara pada v. ophtalmica.

Innervasi

2/3 inferior: n. nasopalatinus cabang n. maxillaries.

Anterior: n. ethmoidalis anterior cabang n. nasocilliaris cabang n.

ophtalmicus.

Lateral: rami naasales n. maxillaries, n. palatines major dan n.

ethmoidalis anterior (Septianto, 2010).

5. SINUS PARANASALIS

Gambar 2. Sinus Paranasales

Sinus paranasalis adalah perluasan bagian respiratorik cavum nasi

yang berisi udara kedalam ossa crania berikut: os frontale, os

ethmoidale, da os maxilla, nama sinus sesuai dengan nama tulang

yang ditempati.

a. Sinus frontalis

Terletak antara tabula externa dan tabula interna ossis

frontalis. Sinus ini berhubungan dengan infundibulum

8

Page 9: laporan ske 2 THT(1)

melalui ductus nasofrontalis yang bermuara pada meatus nasi

media.

b. Sinus ethmoidales

Terdiri dari beberapa rongga kecil cellulae ethmoidales.

Cellulae ethmoidales anteriores berhubungan dengan meatus

nasi media. Cellulae ethmoidales posteriors bermuara ke

meatus nasi superior.

c. Sinus sphenoidalis

Terdapat pada corpus ossis sphenoidalis dapat meluas ke

dalam ala major dan ala minor ossis sphenoidalis. Sinus ini

membuka ke dalam recessus sphenoethmoidalis yang terletak

di atas concha nasalis superior.

d. Sinus maxillaries (anthrum of highmore)

Merupakan sinus terbesar, berbentuk pyramid. Puncak sinus

menjulang kea rah os zygomaticum. Dasarnya membentuk

dinding lateral cavum nasi. Atapnya dibentuk oleh dasar

orbita dan dasarnya dibentuk oleh bagian alveolar maxilla.

Masing-masing sinus berhubungan dengan meatus nasi media

melalui hiatus semilunaris pada sebuah ostium yang lebih

tinggi daripada alasnya. Karena letak ostium di atas, sinus

maxillaries tidak dapat menyalurkan secret di dalamnya

melalui lubang ini sewaktu kepala dalam posisi tegak, kecuali

dalam keadaan penuh (Septianto, 2010).

6. Kompleks Ostio-meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus

medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal

dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan

dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari

infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,

9

Page 10: laporan ske 2 THT(1)

resesus frontalis, bula etmoid dan ostium sinus maksila (Soepardi

et al, 2012).

2) Fisiologi

Secara fisiologis hidung berfungsi untuk alat respirasi, pengaturan

humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan imunologi

local. Adapun system pertahanan dari hidung dan sinus paranasal

adalah:

Sistem pertahanan spesifik

Aliran turbulensi udara terhadap benda asing yang terhirup melalui

hidung

Sistem pertahanan non spesifik

Sistem mukosiliar yang terdiri atas sel silia epitel respiratorius,

palut lendir (mucous blanket), dan kelenjar penghasil mucus. Palut

lender sendiri dihasilkan oleh sel goblet pada epitel dan kelenjar

seromusinosa submukosa. Nantinya benda asing atau yang

dianggap membahayakan tubuh akan diarahkan menuju nasofaring.

(D soetjipto,2007)

Mukosa olfaktorius / penghidu yang terletak di langit-langit rongga

hidung mengandung 3 jenis sel yakni reseptor olfaktorius, sel

penunjang, dan sel basal. Sel-sel penunjang mengeluarkan mukus

yang melapisi saluran hidung, sedangkan sel basal merupakan

prekursor untuk sel-sel reseptor olfaktorius yang baru yang diganti

setiap sekitar 2 bulan hal ini berbeda dari reseptor indera lainnya

karena reseptor olfaktorius merupakan ujung-ujung neuron aferen

khusus bukan sel yang berdiri sendiri, sehingga keseluruhan neuron

tersebut termasuk akson aferen yang menuju ke otak akan

beregenerasi dan satu-satunya yang membelah diri. Akson-akson sel

reseptor tadi secara kolektif akan membentuk saraf olfaktorius. Bagian

10

Page 11: laporan ske 2 THT(1)

reseptor dari sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah kepala yang

menggembung dan berisi beberapa silia panjang yang meluas ke

permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat pengikatan untuk

melekatnya berbagai molekul-molekul odoriferosa (pembentuk bau).

Selama bernapas biasa molekul odoran biasanya hanya mencapai

reseptor-reseptor peka hanya dengan berdifusi karena mukosa

olfaktorius terletak di atas jalur aliran udara normal, sedangkan saat

kita mengendus maka akan mempertajam proses ini dengan menarik

arus udara ke atas di dalam rongga hidung akibatnya semakin banyak

molekul odoriferosa yang berkontak dengan mukosa olfaktorius.

Syarat suatu zat dapat dibaui adalah harus :

1. Cukup mudah menjadi gas atau mudah menguap, sehingga

sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung bersama udara yang

dihirup.

2. Cukup mudah untuk larut air, sehingga dapat larut ke dalam lapisan

mukosa yang melapisi mukosa olfaktorius, sebab molekul-molekul

harus dilarutkan terlebih dahulu agar dapat dideteksi oleh reseptor

penghidu.

Setelahnya pengikatan suatu molekul odoriferosa ke tempat

perlekatan khusus di silia menyebabkan pembukaan saluran-saluran

Na dan K. Terjadilah perpindahan ion-ion yang menimbulkan

depolarisasi potensial reseptor yang menyebabkan terbentuknya

potensial aksi di serat eferen. Selanjutnya serat-serat aferen tadi

berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang datar yang

memisahkan mukosa olfaktorius dengan jaringan otak di atasnya.

Serat-serat tersebut segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu

struktur saraf kompleks yang mengandung beberapa lapisan sel yang

berbeda-beda. Kemudian serat-serat yang keluar dari bulbus

olfaktorius berjalan melalui dua rute :

11

Page 12: laporan ske 2 THT(1)

1. Rute subkortikal yang terutama menuju ke daerah-daerah di system

limbik, khususnya sisi medial bawah lobus temporalis. Rute inilah

yang merupakan rute primer jalur penghidu.

2. Rute talamus-kortikal.( Sherwood,2001)

3) Histologi

Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas 2 struktur yakni

vestibulum nasi di luar dan fossa nasallis di dalam. Kullit hidung

memasuki nares yang berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki

kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan vibrisea atau bulu hidung yang

menyaring partikel-partikel besar dari udara inspirasi. Di dalam

vestibulum, epitelnya adalah epitel kolumner kompleks bersilia yang

diknal dengan epitel respiratorik yang sedikitnya memiliki 5 jenis sel

yang kesemuanya menyentuh membrana basalis yang tebal antara lain

: sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, brush cell, serta sel granul.

Rongga hidung berupa dua bilik kavernosa yang dipisahkan oleh

septum nasi oseosa. Di lateralnya terdapat tiga tonjolan bertulang

mirip rak yang disebut conchae terdiri atas conchae nasalis media dan

inferior yang dilapisi epitel respiratorik serta conchae nasalis superior

yang ditutupi oleh epitel penghidu khusus. Celah-celah sempit di

antara conchae memudah kan pengkondisian udara inspirasi dengan

menambah luas area epitel respiratorik yang hangat dan lembab dan

dengan melambatkan serta menambah turbulensi aliran udara.

Hasilnya adalah bertambahnya kontak antara aliran udara dan lapisan

mukosa.

Kemoreseptor olfaktorius terletak di epitel olfaktorius yangmana

merupakan regio khusus membran mukosa conchae superior yang

terletak di atap rongga hidung. Epitel ini merupakan epitel kolumner

kompleks yang terdiri atas 3 jenis sel yaitu sel basal, sel penyokong

atau sel sustentakuler, serta neuron olfaktorius. Lamina propria di

12

Page 13: laporan ske 2 THT(1)

epitel olfaktorius memiliki kelenjar serosa besar yaitu kelenjar

Bowman yang menghasilkan suatu aliran cairan di sekitar silia

penghidu dan memudahkan akses zat pembau.

Sinus Paranasalis merupakan rongga bilateral di tulang frontal,

maksila, ethmoid, dan sfenoid tengkorak. Sinus-sinus ini dilapisi oleh

epitel respiratorik yang lebih tipis dan sedikit sel goblet. Lamina

proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan

periosteum di bawahnya. Sinus paranasalis berhubungan langsung

dengan rongga hidung melalui lubang-lubang kecil dan mukus yang

dihasilkan dalam sinus akan terdorong ke dalam hidung akibat

aktivitas sel-sel bersilia.

Nasofaring merupakan bagian pertama darii faring yang dilapisi

oleh epitel respiratorik dan memiliki tonsila pharyngealis.

(Mescher ,2011)

b. Mengapa pasien dapat mengalami keluhan sering pilek yang disertai ingus

berbau busuk?

Ingus berbasu busuk dikarenakan adanya infeksi oleh bakteri anaerob

yang memfermentasi lemak dan memiliki bau yang khas yaitu bau busuk,

hal ini dikarenakan mukus yang berlebihan pada cavum nasi yang

merupakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri anaerob.

c. Apakah terdapat hubungan antara sakit gigi yang telah lama diderita pasien

dengan keluhannya yang sekarang ?

Penyakit pada gigi berkontribusi sekitar 10 persen pada kasus sinusitis

maksillaris. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya

13

Page 14: laporan ske 2 THT(1)

molar pertama, dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan

sinus maksilaris juga ikut terangkat. Nathaniel Highmore 1651

menyatakan bahwa terdapat tulang yang membungkus antrum maksilaris

dan memisahkannya dari soket gigi tebalnya tidak melebihi kertas

pembungkus, karena itu antrum maksillaris sering disebut juga antrum

Highmore.

Infeksi gigi lainnya seperti abses apikal atau penyakit periodontal juga

dapat menimbulkan kondisi yang serupa. Gambaran bakteriologik

umumnya didominasi leh infeksi gram negatif sehingga seringkali infeksi

tersebut menyebabkan pus yang berbau busuk dan akibatnya timbul bau

busuk dari hidung. Predisposisi lainnra lainya antara lain alergi hidung

kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi, serta deformitas rahang-

wajah terutama palatoskisis dapat menimbulkan masalah pada anak.

Gejala infeksi sinuistis maksillaris akut dapat berupa demam, malaise,

nyeri kepala yang tak jelas, wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa

nyeri pada gerakan kepala mendadak. Seringkali juga terdapat nyeri pada

pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta terdapat juga nyeri pada perkusi

dan palpasi. Sekret mukopurulen dapat juga keluar dari hidung dan

terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga ada.

(Adams,1997)

d. Apa pengaruh pemberian air garam dan rendaman sirih terhadap sakit gigi

yang diderita pasien ?

1) Air garam

Berkumur dengan air garam, daerah yang bengkak jadi hipertonik

sehingga bakteri yang ngumpul di plakakan keluar.Selain itu,

beberapa studi menunjukkan fungsi khusus dari air garam di bidang

kesehatan diantaranya adalah untuk melenturkan dan mengurangi rasa

nyeri pada otot yang sakit. Berkumur dengan air garam juga dapat

menurunkan suatu peradangan, menyembuhkan infeksi dan bersifat

14

Page 15: laporan ske 2 THT(1)

astrigen yang dapat menguatkan gusi. Air garam yang digunakan

untuk mengurangi radang gusi adalah air garam yang berasal dari

garam dapur yang beriodium. Air garam ini haruslah memiliki

konsentrasi lebih dari 0,9 % berupa larutan hipertonis yang

mempunyai tekanan osmosis yang lebih besar dari cairan yang ada di

dalam sel. Perbedaan tekanan osmosis ini menyebabkan cairan dari sel

bakteri tertarik ke luar sel sehingga sitoplasma bakteri lama-kelamaan

akan menyusut akibatnya sel akan mati atau tidak mampu berkembang

biak.

2) Rendaman sirih

Daun sirih mengandung betIephenol, seskuiterpen, pati, diatase,

gula dan kavikol (memiliki kekuatan untuk membunuh kuman), anti-

oksidasi dan fungisida, anti jamur

E. Jump 5 : Merumuskan tujuan pembelajaran

Berikut pertanyaan yang menjadi tujuan pembelajaran

1. Menyapa pasien mengalami gangguan menghidung disertai nyeri kepala

separuh?

2. Apa pengaruh koyo terhadap sakit gigi pasien?

3. Apakah terdapat hubungan antara sakit gigi pasien dengan gangren gigi

yang dialaminya ? bagaimana prosesnya ?

4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan Rhinoskopi anterior dan

Orofaring?

5. Apakah pemeriksaan penunjang yang tepat dilakukan dalam kasus ini ?

6. Apakah diagnosis dan diagnosis banding dari kasus ini ?

7. Apakah komplikasi yang dapat terjadi dari kasus ini ?

8. Bagaiman tatalaksana yang tepat dalam kasus ini baik prefentif maupun

kuratif ?

F. Jump 6 : Belajar Mandiri

15

Page 16: laporan ske 2 THT(1)

Kegiatan belajar mandiri dan diskusi tanpa tutor.

G. Jump 7 : Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah

terkumpul

1. Gangguan Menghidung dengan nyeri kepala separuh

Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di hidung bagian

sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada

lamina kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius di dasar fossa kranii

anterior. Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas

dengan kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir yang selalu ada di

permukaan mukosa daerah olfaktorius. Gangguan penghidu akan terjadi bila

ada yang menghalangi sampainya partikel bau ke reseptor saraf atau ada

kelainan pada n.olfaktorius, mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius.

Macam-macam kelainan penghidu :

- Hiposmia : daya penghidu berkurang

- Anosmia : daya penghidu hilang

- Parosmia : sensasi penghidu berubah

- Kakosmia : halusinasi bau

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan

ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain

(referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara

atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di

dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid

nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah

mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan

telinga.

2. Pengaruh Koyo

Koyo menganduk capsaisin yang berfungsi menurunkan substansi p di

terminal syaraf.substansi p sendiri bertanggung jawab terhadap transmisi

16

Page 17: laporan ske 2 THT(1)

nayeri.sehingga efek dari koyo tersebut menurunkan nyeri.Selain itu koyo

mengandung metil salisilat yang bertanggung jawab terhadap anti radang

3. Sakit Gigi dan Gigi Ganggren

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena

infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga

jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman

akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk

gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium

menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga

terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai

tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk

dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi

silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan

akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini

berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan

kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah

sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis. Karies berasal dari bahasa latin

yaitu karies yang artinya kebusukan. Definisi sederhana karies adalah suatu

proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai

akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang

disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul

destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi kavitas.

Karies gigi adalah kerusakan jaringan keras gigi yang disebabkan oleh asam

yang ada dalam karbohidrat melalui perantara mikroorganisme yang ada

dalam saliva. Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu

email, dentin dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas jasad renik

dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan.

17

Page 18: laporan ske 2 THT(1)

Hubungan karies gigi dengan terjadinya sinusitis maksilaris odontogen

Penyebab sinusitis maksilaris akut ialah rhinitis akut, infeksi faring seperti

faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta

Ml, M2, M3 (dentogen), berenang dan menyelam, trauma dapat

menyebabkan pendarahan mukosa sinus paranasal, barotrauma dapat

menyebabkan nekrosis mukosa. Antrum maksila mempunyai hubungan

yang sangat dekat dengan akar gigi premolar, molar atas dan sering terlihat

pada pemeriksaan radiologi oral dan fasial. Hubungan ini dapat

menimbulkan masalah klinis, seperti infeksi yang berasal dari gigi dan

fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis

maksilaris diawali dengan kuman pada karies masuk ke sinus. Proses

inflamasi ini akan menyebabkan gangguan drainase sinus.

Infeksi sendiri merupakan masuknya kuman patogen atau toksin ke dalam

tubuh manusia serta menimbulkan gejala sakit. Infeksi odontogen adalah

infeksi yang awalnya bersumber dari kerusakan jaringan keras gigi atau

jaringan penyangga gigi yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora

normal rongga mulut yang berubah menjadi patogen. Penyebaran infeksi

odontogen ke dalam jaringan lunak dapat berupa abses. Secara harfiah,

abses merupakan suatu lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses

supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses

yang sering terjadi pada jaringan mulut adalah abses yang berasal dari regio

periapikal. Daerah supurasi terutama tersusun dari suatu area sentral berupa

polimorfonuklear leukosit yang hancur dikelilingi oleh leukosit hidup dan

kadang-kadang terdapat limfosit. Abses juga merupakan tahap akhir dari

suatu infeksi jaringan yang dimulai dari suatu proses yang disebut inflamasi.

Infeksi odontogenik dapat berasalInfeksi odontogenik dapat berasal dari tiga

jalur, yaitu (1) jalur periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi

bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur periodontal, sebagai hasil dari

inokulasi bakteri pada periodontal poket dan (3) jalur perikoronal, yang

terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi hal ini

18

Page 19: laporan ske 2 THT(1)

terjadi hanya pada gigi yang tidak atau belum dapat tumbuh sempuna.

Sering terjadi melalui jalur periapikal. Infeksi odontogen biasanya dimulai

dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang

pulpa kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi

kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara

lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan

bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen

apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi.

Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau

jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut.Infeksi

odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan

limfogen, yang disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang

berasal dari gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat

terjadi melalui berbagai jalan: (1) lewat penghantaran yang patogen yang

berasal dari luar mulut; (2) melalui suatu keseimbangan flora yang

endogenus; (3) melalui masuknya bakteri ke dalam pulpa gigi yang vital dan

steril secara normal. Infeksi odontogen menyebar ke jaringan-jaringan lain

mengikuti pola patofisiologi yang beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan

virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi dari

daerah yang terlibat. Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah

melalui kontinuitas.

4. Interpretasi Pemeriksaan

1) Pemeriksaan Rinoskopi anterior

Menggunakan spekulum hidung normal warna pink,kalau ada cairan

kental biasana dari sinus maxillris.Posterior memakai spatula lidah

Rhinoskopi Anterior

a) Pasien duduk menghadap pemeriksa

b) Speculum hidung dipegang dengan tangan kiri, horizontal, jari

telunjuk ditempelkan pada dorsum nasi

c) Tangan kanan mengatur posisi kepala

19

Page 20: laporan ske 2 THT(1)

d) Speculum dimasukkan ke dalam rongga hidung dalam posisi

tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi terbuka

e) Perhatikan,

a. Rongga hidung:

i. Luas (lapang bila pergerakan pallatum molle dapat terlihat

ketika pasien menelan)

ii. Secret (lokasi serta asal)

b. Concha (inferior, media, superior)

i. Warna (normalnya merah muda, pucat, hiperemis)

ii. Besar (eutrofi, atrofi, edem, hipertrofi)

c. Septum nasi

i. Lurus, deviasi, kista, spina

d. Sekret

i. Secret kental daerah antara konka media dan inferior :

kemungkinan sinusitis maksila, sinusitis frontal, sinusitis

etmoid anterior

ii. Secret di meatus superior : secret dari sinus etmoid posterior

atau sinus sphenoid

e. Masa dalam hidung

i. Polip

ii. Tumor

f. Asal perdarahan

i. Rongga hidung

ii. Krusta yang bau

20

Page 21: laporan ske 2 THT(1)

2) Pemeriksaaan Penunjang

a. Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk

menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila

terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.

b. Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,

patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar

orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.

Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif

mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal

mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.

c. Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,

meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan

merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan

anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan

medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada

rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. Contoh

gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang

dewasa dapat dilihat pada gambar 4.

d. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:

1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi

2. Tes alergi

3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,

mikroskop elektron dan nitrit oksida

4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory

peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri

5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing

6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

3) Diagnosis Banding

21

Page 22: laporan ske 2 THT(1)

1) Rinosinusitis

a) Patofisiologi

Biasanya didahului dari infeksi saluran nafas atas akut yang

disebabkan virus, biasanya infeksi bakteri merupakan lanjutan

infeksi virus. Infeksi virus tidak menunjukkan gejala sinusitis,

tetapi menyebabkan inflamasi pada mukosa sinus, dan akan

membaik tanpa terapi setelah 2 minggu.

Infeksi tersebut menyebabkan inflamasi mukosa termasuk

mukosa komplek osteo-meatal sehingga terjadi obstruksi ostium

sinus yang menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus.

Keadaan ini menyebabkan perubahan tekanan O2 didalamnya,

terjadi tekanan negatif, permeabilitas kapiler meningkat, sekresi

kelenjar meningkat dan terjadi transudasi yang menyebabkan

fungsi silia terganggu, retensi sekret yang terjadi merupakan media

yang baik untuk pertumbuhan kuman.

Virus yang sering menjadi penyebabnya adalah virus

influenza, corona virus dan rinovirus. Seringkali infeksi virus ini

diikuti infeksi kuman terutama kuman terutama kuman kokus

(streptokokus pneumonia, stapilokokus aureus) dan Haemophilus

Influenza.

Kadang infeksi jamur dapat menyebabkan rinosinusitis

terutama pada orang-orang dengan imudefiensi. Faktor predisposisi

lokal yang harus dicermati adalah :

(1) Adanya septum deviasi (sekat hiduung yang bengkok)

(2) Konka bulosa

(3) Massa (tumor)

(4) Adanya gangguan fungsi silia

(5) Pemasangan tampon yang lama

2) Polip Hidung

22

Page 23: laporan ske 2 THT(1)

Patogenesis

Terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan/aliran udara

yang berturbulensi (terutama di kompleks osteomeatal) prolaps

submukosa reepitelisasi dan pembentukan kel baru

meningkatnya penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel -> terjadi

retensi air polip

Ketidakseimbangan saraf vasomotor meningkatnya

permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular pelepasan

sitokin dan sel mast edema polip

Gejala

Primer :

Hidung tersumbat

Rinore

Hiposmia/anosmia

Nyeri daerah frontal

Sekunder

Sengu

Halitosis

Gangguan tidur

Stadium

1. Polip di meatus medius

2. Keluar meatus medius ke rongga hidung

3. Massif

Pemeriksaan : fotopolos, tomografi computer

3) Rinistis alergi

23

Page 24: laporan ske 2 THT(1)

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh

reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi

dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia

ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.

Patofisiologi rhinitis alergi: merupakan suatu penyakit inflamasi

yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap

provokasi. Pada kontak pertama makrofag atau monosit berperan

sebagai sel penyaji (APC) allergen yang menempel di permukaan

mukosa. Setelah itu terbentuk fragmen pendek dan bergabung dengan

molekul HLA kelas II membentuk MHC kelas II yang kemudai akan

dipresentasikan ke sel TH0. Kemudian sel penyaji akan melepas

sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktfikan TH0 menjadi TH 1 dan

TH 2.

TH2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5

dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptor di permukaan sel

limfosit B. sehingga sel limfosit B akan menjadi aktif dan

menghasilkan IgE. IgE akan masuk sirkulasi darah dan diikat oleh

reseptor di mastosit atau basofil. Bila mukosa yang sudah tersensitasi

terpapat allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat

allergen spesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan terlepasnya

mediator kimia terutama histamine. Histamine akan merangsang

reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa

gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi

dan permeabilitas kapiler mingingkat sehingga terjadi rinorea( Irawati

Nina, 2007)

4) Komplikasi

Faktor penyebab terjadinya komplikasi, antara lain karena :

24

Page 25: laporan ske 2 THT(1)

(1) Terapi yang tidak adekuat

(2) Daya tahan tubuh yang rendah

(3) Virulensi kuman dan penanganan tindakan operatif (yang seharusnya)

terlambat dilakukan.

Komplikasi Rinosinusitis:

1. Komplikasi ke mata

Melalui dua jalur :

(a) Direk/langsung : melalui dehisensi kongenital ataupun adanya erosi

pada tulang barier terutama lamina paparisea

(b) Retrograde Tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah

yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan

orbita.

2. Komplikasi intrakranial

Penyebab tersering adalah sinusitis frontal, diikuti sinusitis ethmoid,

sfenoid dan maksila. Kompilkasi intrakranial dapat terjadi pada infeksi

sinus yang akut, eksaserbasi akut ataupun kronik. Komplikasi ini lebih

sering pada laki-laki dewasa diduga ada faktor predileksi yang

berhubungan dengan pertumbuhan tulang frontal dan meluasnya sistem

anyaman pembuluh darah yang terbentuk.

Tahap komplikasi intrakranial yang dikenal :

(a) Osteomielitis

Penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang

kranium menyebabkan osteitis yang akan mengakibatkan erosi

pada bagian anterior tulang frontal.

Gejala : tampak oedem yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan

penimbunan pus di superiosteum.

(b) Epidural abses

25

Page 26: laporan ske 2 THT(1)

Terdapat timbunan pus diantara duramater dan ruang kranium yang

sering tampak pada tulang frontal dimana duramater melekat

longgar pada tulang dahi.

Gejala : sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri

kepala yang makin lama dirasakan makin berat dan sedikit demam.

(c) Subdural empiema

Terjadi karena retrograde tromboplebitis ataupun penyebaran

langsung dari abses epidural.

Gejala : nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda iskemik/infark kortek

seperti hemiparesis, hemiplegi, paralisis N.Facialis, kejang,

peningkatan tekanan intrakranial, demam tinggi, lekositosis dan

akhirnya kesadaran menurun.

(d) Abses otak

Lokasi di daerah frontal paling sering disebabkan sinusitis frontal

dengan penyebaran retrograde, septik emboli dari anyaman

pembuluh darah. Bila abses timbul perlahan.

Gejala : neurologi tak jelas tampak, bila oedem terjadi di sekitar

otak, tekanan intrakranial akan meningkat, gejala-gejala neurologi

jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila abses ruptur.

(e) Meningitis

Sinusitis frontal jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali

karena infeksi sekunder dari sinus ethmoid dan sfenoid.

Gejala : adanya demam, sakit kepala, kejang, diikuti kesadaran

menurun sampai koma.

5) Tata Laksana

1. Penatalaksanaan Medis / terapi

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis

akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa

serta membuka ostium sinus.

26

Page 27: laporan ske 2 THT(1)

Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti

amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi

beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis

sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-

14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.

Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman

negatif gram dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi

lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid

oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan

(diatermi).

Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya

dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat

sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila

atau Proetz displacement theraphy juga merupakan terapi tambahan

yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien

menderita kelainan alergi yang berat.

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan

operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.

Indikasi : sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi

adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel;

polip ekstensif, adanya komplikasi sinusistis serta sinusitis jamur.

2. Pencegahan

a. Hindari allergen yang menderita alergi

b. Pertahankan kesehatan umum sehingga daya tahan tubuh alamiah

tidak menurun

c. Makan diet yang tepat

d. Olahraga

e. Istirahat yang cukup

f. Hindari orang yang menderita infeksi saluran nafas atas

27

Page 28: laporan ske 2 THT(1)

g. Cari pertolongan medis jika gejala pernafasan atas menetap lebih

dari 7-10 hari

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis kelompok kami, pasien pada skenario menderita

rhinosinusitis dentogen. Untuk mencegah kondisi yang lebih parah, sebaiknya

pasien menjaga kebersihan dan kesehatan gigi, karena sakit gigi tersebut

merupakan penyebab rhinosinusitis pada pasien. Terapi yang terpenting di

sini adalah terapi pada gigi penyebab rhinosinusitis dan terapi rhinosinusitis

itu sendiri

B. SARAN

Skenario

1. Pasien sebaiknya menjaga kebersihan dan kesehatan gigi karena  infeksi

pada gigi merupakan faktor predisposisi terjadinya rhinosinusitis pada

pasien.

2. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang lebih lengkap untuk

mengetahui sejauh mana komplikasi dari sakit gigi dan rhinosinusitis

yang diderita pasien.

3. Pasien sebaiknya menjaga kondisi tubuh dan rutin kontrol ke dokter

walaupun gajala sudah membaik supaya tidak menimbulkan komplikasi

di kemudian hari.

 Tutorial

28

Page 29: laporan ske 2 THT(1)

1. Semua anggota kelompok diharapkan lebih berpartisipasi aktif dalam

diskusi.

2. Moderator lebih dapat memancing anggota kelompok yang kurang aktif

agar diskusi lebih hidup.

3. Lebih menghargai pendapat setiap anggota kelompok.

4. Jangan terpaku pada satu permasalahan saja.

5. Menyiapkan materi sehingga pada saat pertemuan kedua tutorial berjalan

dengan baik dan lancar

29

Page 30: laporan ske 2 THT(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L; Boies, R. Lawrence; Higler, H. Pieter.1997. BOIES Buku Ajar

Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC

Brooks, Geo F.; Butel, Janet S.; Morse, Stephen A. 2008. Mikrobiologi

Kedokteran. Jakarta: EGC

Busquets et al, 2006. Non Polypoid Rhinosinusitis : Classification, Diagnosis and Treatment. In : Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th

Fokkens W et al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology 2012; suppl 23:1-298

Hutchinson, Susan MD. 2006. Sinus Headache or Migraine ? Keys to Correct

Diagnosis. Women’s Health to Primary Care

http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a0104. Diakses pada :

September 2014

Hwang PH, Abdalkhani A, 2009. Embriology, Anatomy, and Phisiology of The Nose and Paranasal Sinuses. In :Ballenger’s Otorhiolaryngology Head And Neck Surgery. Centennial Edition. BC Becker Inc. USA. p: 456-63.

Kamel R, 2002. Endoscopic anatomy of the lateral nasal wall, ostiomeatal complex and anterior skull base. Struck Druck GmBH, Germany. p : 7-32

Kennedy DW, Bolger WE, 2003, The Paranasal Sinuses : Embriology, Anatomy, Endoscopic Diagnosis, and Treatment. In: Essential Otolaryngology. Eight Edition. Head and Neck Surgery, McGraw Hill Companies. USA. p: 388-409

30

Page 31: laporan ske 2 THT(1)

Kennedy, et al, 1995. Medical management of sinusitis : educational goals and management guideline. Ann Otol Rhinol Laryngol Supll. 167:22-30

Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan Pemeriksaan Tomografi Komputer dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 13-25.

Mescher, L. Anthony. 2011. Histologi Dasar Junqueira. Jakarta : EGC

Nizar, 2000, Anatomi Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofisiologi Sinusitis dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 1-12.

Pinheiro et al, 2001. Rhinosinusitis : Current concept management. In : Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. Third Edition. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. pp: 345-57

Septianto, Teddy (ed) (2010). Buku Panduan Praktikum Anatomi. Surakarta:

Laboratorium Anatomi dan Embriologi Fakultas Kedokteran UNS.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia Edisi 2. Jakarta: EGC

Silberstein, D. Stephen. 2004. Headache Due to Nasal and Paranasal Sinus

Disease. Philadelphia : Elsevier Saunders

Soepardi EA, Iskandar N, Bashruddin J, Restuti RD (eds) (2012). Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran UI.

Stammberger et al, 1993. Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall and Ethmoidal Sinuses. In : Essentials of Functional Endoscopic Sinus Surgery. Mosby. USA. p. 13-42.

31