refrat open fracture
DESCRIPTION
Open FractureTRANSCRIPT
REFRAT ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
KEDARURATAN ORTHOPEDI
FRAKTUR TERBUKA
Periode : 9-14 Desember 2013
Oleh :
Ardiningsih G 99131002
Anindya O. G 99131015
Setyowati G 99131078
Rosalina P. A. G99122103
Pembimbing
dr. Tito S., Sp.OT (K)
KEPANITERAAN KLINIK ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
SMF BEDAH FK UNS / RS DR. MOEWARDI / RSO PROF. DR. SOEHARSO
SURAKARTA
2013
FRAKTUR TERBUKA
A. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang
berlebihan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung. Dimana trauma langsung menyebabkan
tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma
tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan
fraktur pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh
(Sjamsuhidajat, 2005). Fraktur terbuka adalah gambaran fraktur dengan
fragmen tulang yang patah menembus jaringan lunak di sekitarnya hingga
sampai kulit dan menyebabkan adanya hubungan dengan udara luar (Simon
dkk., 2001). Sedangkan menurut Chairuddin Rasjad (2008), fraktur terbuka
merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar
melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi
berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar
menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh peluru
atau trauma langsung. Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang
memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi.
selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan
restorasi fungsi anggota gerak. beberapa hal yang penting untuk dilakukan
dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan
segera, secara hati-hati, debrideman yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur,
penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang
adekuat. Patah tulang terbuka menurut PDT (2208) adalah patah tulang
dimana fragmen tulang yang bersangkutan sedang atau pernah berhubungan
dunia luar.
Gambar 1. Fraktur terbuka
B. Etiologi dan Patogenesis
Penyebab dari fraktur terbuka menurut Newton CD (2008) adalah :
a. Trauma langsung berupa benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur
pada tempat itu.
b. Trauma tidak langsung bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan.
Sedangkan Hubungan dengan dunia luar dapat terjadi karena :
a. Penyebab rudapaksa merusak kulit, jaringan lunak dan tulang.
b. Fragmen tulang merusak jaringan lunak dan menembus kulit.
C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustillo-Anderson adalah (Schaller,
2012):
Tabel 1. Klasifikasi fraktur terbuka
Tipe I Tipe II Tipe III
Ukuran luka < 1 cm 1- 10 cm > 10 cm
Soft tissue Kerusakan soft
tissue yang
minimal
Tidak ada
kerusakan yang
luas, flap atau
avulsi.
Kerusakan soft
tissue yang luas
meliputi otot, kulit
dan sering struktur
neurovaskular
Kerusakan
jaringan
(crush)
Tidak ada tanda-
tanda kerusakan
jaringan
Ringan sampai
menengah
Luas
Fraktur Biasanya simpel,
transversal atau
oblik pendek
dengan fragmen
tulang kominutif
Fragmen fraktur
kominutif tingkat
menengah
Berat dan tidak
stabil fragmennya
yang sedikit
Kontaminasi Sedikit Menengah Tinggi
Tipe III-A Tipe III-B Tipe III-C
Soft tissue Laserasi soft
tissue yang luas,
luka dapat ditutup
kembali tanpa
flap. Fraktur
segmental atau
kominutif berat.
Trauma soft tissue
yang luas dengan
patahan periostal
dan penampakan
tulang setelah
dilakukan
debridemen.
Membutuhkan
flap dari jaringan
lokal atau jaringan
bebas untuk
penutupan.
Sama dengan tipe
III-B
Trauma
vaskular
Tidak signifikan Tidak signifikan Trauma vaskular
yang
membutuhkan
perbaikan dalam
menyelamatkan
ekstremitas yang
terkena
Risiko infeksi:
Grade I : 0-12%
Grade II : 2-12%
Grade III : 9-55% (Gustilo & Anderson, 1976)
Gambar 2. Klasifikasi fraktur terbuka
D. Diagnosis Fraktur Terbuka
1. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan
mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
a) Syok, anemia atau perdarahan.
b) Pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau
organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
c) Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
3. Pemeriksaan lokal
a) Inspeksi (Look)
(1) Bandingkan dengan bagian yang sehat.
(2) Perhatikan posisi anggota gerak.
(3) Keadaan umum penderita secara keseluruhan.
(4) Ekspresi wajah karena nyeri.
(5) Lidah kering atau basah.
(6) Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.
(7) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka.
(8) Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa
hari.
(9) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan.
(10) Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain.
(11) Perhatikan kondisi mental penderita.
(12) Keadaan vaskularisasi.
b) Palpasi (Feel)
Dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri.
(1) Temperatur setempat yang meningkat.
(2) Nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang.
(3) Krepitasi, dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati.
(4) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena
(5) Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian
distal daerah trauma , temperatur kulit
(6) Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
c) Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami
trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan
menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
d) Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
e) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan
bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum
dilakukan pemeriksaan radiologis.
(Mansjoer A dkk., 2000).
E. Komplikasi
1. Perdarahan, syok septik sampai kematian.
2. Septikemi, toksemia oleh karena infeksi piogenik.
3. Tetanus.
4. Gangrene.
5. Perdarahan sekunder.
6. Osteomielitis kronik, jika tidak ditangani dalam waktu 6 jam (golden
period) akan menimbulkan osteomyelitis. Karena pada 6 jam pertama
investasi kuman masih melekat secara fisik sehingga dapat dibersihkan
dengan pencucian saja, sedangkan di atas golden period kuman akan
melekat secara kimiawi dan sulit dibersihkan dengan pencucian saja
(Ashford dkk., 2004).
7. Delayed union.
8. Non union dan malunion.
9. Kekakuan sendi.
10. Komplikasi lain oleh karena perawatan yang lama (Chairuddin Rasjad,
2008).
4. Penanganan di IGD
1. Memastikan airway clear, tidak ada masalah di breathing dan circulation.
2. Hilangkan kontaminan yang bisa diambil.
3. Luka ditutup kain bersih, fragmen jangan dimasukkan, bidai.
4. X foto.
5. Antibiotik, grade I dan II menggunakan cephalosporin generasi I misal
Cefazolin 1 gram IM. Grade III menggunakan cephalosporin generasi I + II,
misal Cefazolin dan Cefoxitin.
6. Analgetik, misal Ketorolac 60 mg IM.
7. Anti Tetanus Serum 1500 IU atau Tetagam 250 IU.
8. Debridement dalam golden periode (6 jam) (Yang & Eisler, 2003).
Gambar 3. Pemasangan bidai
5. Proses Penyembuhan Fraktur
A. Fase Inflamasi
Awalnya setelah terjadi fraktur, terbentuk hematom pada daerah ujung
fraktur dan dengan cepat membentuk clot. Kerusakan pembuluh darah tulang
menghilangkan osteosit pada daerah fraktur sehingga jaringan tersebut mati.
Dengan jaringan nekrotik ini, terjadi respon inflamasi, diikuti vasodilatasi,
edema, dan pelepasan mediator inflamasi. Leukosit PMN, makrofag, dan
osteoklas bermigrasi ke daerah ini untuk meresorbsi jaringan nekrotik.
B. Fase Reparasi
Fase reparasi dimulai dengan migrasi sel mesenkim dari periosteum. Sel
ini berfungsi untuk membentuk sel awal tulang. Osteoblas dari permukaan
endosteal juga membentuk tulang. Jaringan granulasi menginvasi dari sekeliling
pembuluh darah dan menggantikan hematom. Penyembuhan paling banyak
terjadi di sekitar anyaman kapiler yang menginvasi daerah fraktur.
Penyembuhan dengan pembentukan tulang baru muncul paling awal di daerah
subperiostal; pembentukan kartilago paling banyak terbentuk di area lain.
Osteoblas bertanggung jawab terhadap pembentukan kolagen, yang diikuti
dengan deposisi mineral dari kristal kalsium hidroksiapatit. Kalus terbentuk,
yang merupakan tanda klinis pertama union.
C. Fase Remodeling
Selama fase remodeling, fraktur yang mengalami penyembuhan mulai
mendapat kekuatan. Dengan berlanjutnya proses penyembuhan, tulang
membentuk trabekula. Aktivitas osteoklas pertama kali terlihat pada resorbsi
pembentukan trabekula. Tulang baru kemudian terbentuk dan berhubungan
pada garis terbentukanya fraktur (Simon et al., 2001).
Gambar 4. Fase penyembuhan fraktur
DAFTAR PUSTAKA
Ashford RU, Frasquet GA, Patel KK, Campbell P (2004). Delays in open fracture management: Where do they occur?. Injury; 35(11): 1107-9
Gustilo RB, Anderson JT (1976). Prevention of infection in the treatment of one thousand and twenty-five open fractures of long bones: retrospective and prospective. JBJS; 58-A(4): 453-8
Mansjoer A dkk. (2000). Kapita selekta kedokteran jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Newton CD (2008). Etiology, classification, and diagnosis of fracture. http://www.ivis.org [diakses 11 Des 2013].
Rasjad C (2008). Pengantar ilmu bedah ortopedi cetakan ke-V. Jakarta: Yarsif Watampone.
Schaller TM. 2012. Open fractures. http:/emedicine.medscape.com/article/1269242-overview [diakses 11 Des 2013].
Simon RR, Sherman SC, Koenigsknecht SJ (2001). Emergency orthopedics the extremities 4th ed. New York: McGraw-Hill
Sjamsuhidajat R, Jong W (2005). Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Jakarta: EGC.
Yang EC, Eisler J (2003). Treatment of isolated type I open fractures: Is emergent operative debridement necessary?. Clinical Orthopaedics & Related Research; 1(410) 289-294.